Rabu, 30 November 2011

Menyucikan Hati


Oleh: Yang Mulia Ajahn Chah




Akhir-akhir ini banyak orang pergi ke berbagai tempat untuk melakukan kebajikan (memberikan persembahan) ke vihara. Dan mereka tampaknya selalu singgah di Wat Ba Pong (sebuah vihara di Thailand), entah dalam perjalanan perginya, atau pada pulangnya. Beberapa orang begitu terburu-buru sehingga saya tidak sempat bertemu atau pun bercakap dengan mereka. Kebanyakan orang mencari kebajikan, tetapi saya lihat tidak banyak yang mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Mereka begitu bernafsu mendapatkan jasa, tetapi tidak tahu akan menempatkannya di mana. Ini seperti mencoba mewarnai kain yang kotor, dengan tidak mencucinya.


Walau para bhikkhu berbicara terus terang seperti ini, tetapi banyak orang mengalami kesulitan untuk melaksanakannya dalam praktek. Hal ini sulit karena mereka tidak mengerti, padahal jika mereka mengerti akan menjadi lebih mudah. Misalkan ada sebuah lubang dan ada sesuatu pada dasarnya. Siapapun yang memasukkan tangannya ke dalam lubang tersebut dan tidak dapat menyentuh dasarnya akan mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam. Dari 100 bahkan 1000 orang yang melakukannya, mereka semua berkata bahwa lubangnya yang terlalu dalam. Tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek!


Ada begitu banyak orang yang mencari jasa/kebajikan. Cepat atau lambat mereka harus mulai mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Akan tetapi tidak banyak orang tertarik akan hal ini. Ajaran Sang Buddha begitu singkat, tetapi sebagian besar orang melewatkannya begitu saja, seperti halnya mereka hanya melewati Wat Ba Pong. Bagi banyak orang itulah Dhamma, hanya sekedar titik perhentian.


Hanya 3 baris, tidak lebih.


Sabba papassa akaranam: menahan diri dari semua perbuatan salah; 



Kusalassupasampada: senantiasa mengembangkan kebajikan;

Sacittapariyodapanam: menyucikan batin; Itulah ajaran dari semua Buddha.

Inilah inti dari ajaran Buddha.


Tetapi orang terus melewatinya, mereka tidak menginginkan itu. Pelepasan dari segala perbuatan salah, besar atau kecil, baik dalam ucapan, fisik dan mental.... inilah inti ajaran pertama dari semua Buddha.


Jika kita ingin mewarnai sehelai kain kita harus mencucinya terlebih dahulu. Tetapi banyak orang tidak mau melakukan hal ini. Tanpa melihat kondisi kain, mereka langsung saja mewarnai kain tersebut. Jika kain itu kotor, mewarnainya hanya akan membuat kain itu lebih kotor. Pikirkanlah hal ini. Mewarnai kain kotor, dapatkah kelihatan baik?


Kita lihat? Beginilah agama Buddha mengajarkan, tapi banyak orang melewatkannya begitu saja. Mereka hanya ingin melakukan perbuatan baik, tetapi mereka tidak mau melepaskan perbuatan salah mereka. Ini sama halnya dengan mengatakan "lubang itu terlalu dalam". Semua mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam, tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek. Kita harus kembali kepada diri kita sendiri. Dengan ajaran ini kita harus mundur dan mengamati diri kita sendiri.


Kadang-kadang mereka pergi mencari jasa kebajikan bagaikan berada di dalam bis. Mereka mungkin bertengkar dalam bis, atau bahkan mabuk. Tanyakan pada mereka arah tujuannya dan mereka akan mengatakan mereka mencari jasa. Mereka mau jasa, tetapi mereka tidak mau menghentikan perbuatan salah mereka. Maka mereka tidak akan memperoleh jasa dengan cara seperti itu.


Begitulah manusia. Kita harus mengamati diri sendiri dengan dekat dan jelas. Sang Buddha mengajarkan tentang adanya kesadaran (awareness) dan perenungan (recollection) dalam segala situasi. Perbuatan salah dapat timbul baik lewat tindakan secara fisik, lewat kata-kata, dan pikiran. Apakah kita membawa pikiran, perbuatan dan perkataan kita hari ini? Atau hanya kita tinggalkan di rumah? Di situlah harus kita lihat, tepat di situ. Kita tidak perlu melihat terlalu jauh. Lihatlah pada pikiran, perkataan, dan perbuatan. Lihat apakah tingkah laku kita sudah betul, atau masih salah.


Orang tidak benar-benar melihat hal-hal semacam ini. Seperti seorang ibu yang mencuci piring dengan cemberut. Dia begitu terpaku pada usahanya membersihkan piring-piring tersebut sehingga tidak menyadari bahwa pikirannya sendiri kotor. Pernahkah anda melihat hal semacam ini? Dia hanya melihat piring-piring tersebut. Dia melihat terlalu jauh, bukan? Saya kira beberapa di antara kita mungkin telah mengalami hal semacam ini. Di sinilah kita harus melihat. Orang berkonsentrasi untuk membersihkan piring tetapi mereka membiarkan pikiran mereka kotor. Ini tidak baik. Mereka melupakan diri sendiri.


Karena orang tidak melihat diri sendiri, maka mereka dapat melakukan segala macam perbuatan tercela. Mereka tidak melihat pikiran mereka sendiri. Ketika akan melakukan sesuatu yang jelek, orang sering melihat ke sekeliling terlebih dahulu untuk melihat apakah ada orang yang mengamati... "Apakah dilihat Ibu?" "Apakah dilihat suami saya?" "Apakah dilihat anak-anak?" "Apakah dilihat istri saya?" Jika tidak ada yang mengamati maka mereka akan langsung melakukannya. Ini sebenarnya merendahkan diri sendiri. Mereka berkata: "Tidak kelihatan orang, kok", jadi langsung saja mereka lakukan. Tetapi bagaimana dengan mereka sendiri? Bukankah mereka juga "orang"?


Kita lihat bahwa lewat pengamatan terhadap diri sendiri seperti itu, orang tidak akan pernah menemukan nilai yang sesungguhnya. Mereka tidak menemukan Dhamma. Jika kita dapat melihat diri kita sendiri sewaktu akan melakukan sesuatu yang buruk, dan kita dapat melihat diri sendiri tepat pada waktunya, kita dapat berhenti. Jika lkita ingin melakukan sesuatu yang berarti, lihatlah pikiran kita. Dengan bisa melihat diri sendiri, kita akan tahu tentang kebaikan/keburukan, keuntungan/kerugian, nilai-nilai buruk/nilai-nilai luhur. Inilah hal-hal yang harus kita ketahui.


Jika hal-hal seperti ini tidak dibicarakan, kita tidak akan tahu. Kita mempunyai ketamakan dan kegelapan batin dalam pikiran, tetapi kita tidak tahu. Kita tidak akan tahu apapun jika kita selalu melihat keluar. Inilah masalah orang yang tidak melihat diri sendiri. Melihat ke dalam, kita akan melihat baik dan buruk. Melihat kebaikan, kita dapat menyimpannya dalam hati dan mempraktekkannya.


Meninggalkan yang jelek, melakukan yang baik..... ini adalah jiwa agama Buddha. Sabba papassa akaranam —tidak melakukan perbuatan salah, baik melalui fisik, kata-kata ataupun pikiran. Inilah latihan yang benar, ajaran dari semua Buddha. Nah, sekarang "kain" kita sudah bersih.


Kemudian kita punya kusalassupasampada —membuat pikiran luhur dan trampil. Jika pikiran kita luhur dan trampil, kita tidak perlu naik "bis" ke mana-mana untuk mencari jasa/kebajikan. Dengan duduk di rumah pun kita bisa berbuat jasa yang baik. Tetapi kebanyakan orang hanya mau pergi ke mana-mana untuk mencari jasa tanpa mau meninggalkan perbuatan jelek mereka. Saat mereka pulang, sia-sialah usaha mereka! Mereka kembali berwajah masam/kecut. Itulah mencuci piring dengan penuh perhatian dengan wajah yang masam. Di sinilah orang jarang mengamati. Mereka jauh dari jasa/kebajikan.


Kita mungkin tahu tentang hal-hal seperti ini, tetapi kita belum benar-benar mengerti jika hal itu tidak kita pahami dalam pikiran kita. Jika pikiran kita luhur dan trampil, itulah bahagia. Ada senyum di hati kita. Tetapi kebanyakan dari kita bahkan tidak punya waktu untuk tersenyum. Kita hanya tersenyum jika keadaan berjalan seperti harapan kita. Banyak orang yang kebahagiaannya tergantung dari keadaan/kondisi sekelilingnya. Mereka butuh orang lain untuk mengatakan hal-hal yang indah dan hanya yang indah. Begitukah kalian mencari kebahagiaan? Dapatkah kita mengharapkan semua orang untuk mengatakan hanya hal-hal yang menyenangkan saja? Jika begitu kemauan kita, kapan kita akan menemukan kebahagiaan?


Kita harus menggunakan Dhamma untuk mencapai kebahagiaan. Apapun itu, benar atau salah, jangan mengukuhinya dengan membuta. Cukup diketahui saja, dan kemudian dilepaskan. Jika pikiran kita tenang, kita bisa tersenyum. Pada saat kita menolak sesuatu, pikiran menjadi jelek. Dan kemudian tidak ada apapun yang baik.


Ketika orang mengatakan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita, kita tersenyum. Ketika mereka mengatakan hal yang tidak mengenakkan, kita cemberut. Bagaimana kita dapat mengharapkan orang untuk selalu mengatakan hal yang kita sukai setiap waktu? Apakah mungkin? Bahkan anak-anak kita... pernahkah mereka mengatakan pada kita hal-hal yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita mengecewakan orang tua kita? Tidak hanya orang lain, pikiran kita sendiri pun dapat mengecewakan kita. Kadangkala hal yang kita pikirkan pun tidak menyenangkan. Apa yang dapat kita lakukan? Kadang kita sedang berjalan dan tiba-tiba tersandung akar pohon... Dug... Aduh...! Dimana permasalahannya? Siapa yang membuat kita tersandung? Siapa yang akan kita salahkan? Itu adalah salah kita sendiri. Bahkan pikiran kita sendiri pun dapat menjengkelkan. Jika kita pikirkan hal ini, kita akan tahu bahwa ini benar. Kadangkala kita melakukan hal-hal yang bahkan kita sendiri pun tidak suka. Yang dapat kita katakan hanyalah "sialan". Namun tidak ada yang dapat disalahkan.


Jasa atau kebaikan dalam ajaran Buddha adalah melepaskan perbuatan salah. Jika kita meninggalkan kesalahan, kita tidak lagi salah. Jika tidak ada lagi kesalahan, tidak ada lagi tekanan (stress). Jika tidak ada tekanan lagi, timbullah ketenangan. Pikiran yang tenang adalah pikiran yang bersih, yang tidak menyimpan kemarahan, dan jernih.


Bagaimana kita membuat pikiran jernih? Hanya dengan mengendalikannya. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir, "Hari ini suasana hati saya jelek sekali, apapun yang saya temui adalah menjengkelkan, bahkan piring-piring di meja pun menjengkelkan saya". Kita mungkin merasa ingin membanting semuanya. Apapun yang kita temui menjadi kelihatan salah atau jelek, ayam, anjing, kucing.... kita membenci semuanya. Segala yang dikatakan sang suami terasa menyinggung. Bahkan melihat pikiran kita sendiri pun kita tidak suka. Apa yang dapat kita lakukan dalam situasi seperti ini? Dari mana datangnya penderitaan ini? Inilah yang disebut tidak mempunyai jasa kebajikan (merit). Akhir-akhir ini di Thailand ada ungkapan bahwa orang yang sudah meninggal jasanya juga sudah berakhir. Ini tidak benar, karena banyak orang yang meskipun masih hidup tetapi jasanya telah berakhir.... itulah orang-orang yang tidak mempunyai jasa. Pikiran yang jelek terus-menerus menumpuk kejelekan.


Perjalanan pergi mencari jasa/kebajikan seperti ini sama seperti membangun rumah tanpa menyiapkan lahannya terlebih dahulu. Dalam waktu yang tidak lama rumah tersebut akan runtuh, bukan? Rancangannya tidak begitu baik. Nah, sekarang kita harus mencoba cara lain. Kita harus melihat ke dalam diri sendiri. Lihatlah kesalahan-kesalahan pada perbuatan, perkataan, dan pikiran kita. Di mana lagi kita akan berlatih bila tidak dalam semua bentuk pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri? Banyak orang tersesat. Mereka ingin pergi dan berlatih Dhamma di tempat yang tenang, di hutan atau di Wat Ba Pong. Apakah Wat Ba Pong tenang? Tidak, tidak benar-benar tenang. Tempat yang benar-benar tenang adalah di rumah sendiri.


Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun pergi kita akan merasa senang. Dunia sudah indah sebagaimana adanya saat ini. Semua pohon di hutan sudah indah seperti apa adanya: ada yang tinggi, ada yang pendek, berbagai jenis. Semuanya seperti apa adanya. Karena kebodohan, kita tidak mengerti sifat alami mereka dan kita memaksakan penilaian kita... "Wah, pohon yang ini terlalu pendek, yang itu terlalu besar". Pepohonan itu ya cuma pohon, yang lebih baik daripada kita.


Biarkan pepohonan mengajarkan kita. Sudahkah kita belajar sesuatu dari mereka? Paling tidak, kita harus belajar satu hal dari mereka. Ada banyak pohon, semua dengan sesuatu yang bisa mengajar kita. Dhamma ada di mana saja, dalam segala hal di alam ini. Kita harus memahami hal ini. Jangan menyalahkan lubang yang terlalu dalam... lihat di sisi yang lain, lengan kita sendiri! Jika kita dapat melihat hal ini, kita akan bahagia.


Jika kita berbuat baik, simpanlah dalam pikiran. Itu adalah tempat terbaik untuk menyimpan. Berbuat kebajikan adalah hal yang baik, tetapi bukan yang terbaik. Mengkonstruksikan bangunan adalah hal yang baik tapi bukan yang terbaik. Membangun pikiran baik itulah yang terbaik. Dengan begitu kita akan menemukan kebaikan baik di sini maupun di rumah sendiri. Temukanlah keunggulan ini dalam pikiranmu. Rangka luar seperti bangunan ini hanyalah seperti kulit pada pohon dan bukan kayu inti.


Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun kita melihat di situ ada Dhamma. Jika kita kekurangan kebijaksanaan, bahkan hal yang baik akan menjadi buruk adanya. Darimana datangnya yang buruk itu? Tak lain dari pikiranmu sendiri. Lihat bagaimana pikiran ini mengubah segala sesuatu. Suami istri yang biasanya rukun, suatu saat ketika perasaan hati mereka sedang tidak baik, apapun yang dikatakan oleh pasangannya membuat tersinggung. Pikiran telah menjadi jelek, dan segalanya berubah. Begitulah.


Jadi, untuk melepaskan kejahatan dan menggali kebaikan kita tidak harus pergi mencari ke mana-mana. Jika pikiran sedang jelek jangan melihat ke orang yang ini atau yang itu. Lihatlah pikiran kita sendiri dan carilah darimana pikiran-pikiran itu muncul. Mengapa pikiran ini berpikir sedemilian rupa? Pahamilah ini: segala sesuatu adalah sementara. Cinta adalah sementara, benci demikian pula. Pernahkah kita mencintai anak-anak kita? Tentu saja. Pernahkah kita membenci mereka? Saya akan menjawab... kadangkala. Benar 'khan? Bisakah kita membuang mereka? Tidak. Mengapa? Anak-anak bukanlah seperti peluru yang ditembakkan ke luar, anak-anak ditembakkan balik pada orang tua. Jika mereka baik, mereka anak-anak kita. Jika jelek pun, mereka juga tetap anak-anak kita. Kita dapat berkata bahwa anak adalah kamma kita. Ada yang baik ada yang buruk. Tetapi, baik ataupun buruk, mereka tetap anak kita. Bahkan yang buruk pun berharga. Ada yang mungkin terlahir sakit polio, cacat tubuh, tetapi bisa menjadi lebih berarti dibanding anak lainnya. Setiap kali akan pergi kita meninggalkan pesan: "Tolong jagai si kecil ini, dia tidak begitu mampu". Kita mencintainya lebih dari yang lain.


Jika begitu kita harus menyeimbangkan pikiran: setengah cinta, setengah benci. Jangan hanya mengambil satu sisi, selalu lihatlah dari kedua sisi. Anak-anak adalah kamma kita, semua sesuai dengan hukumnya sendiri. Mereka adalah kamma kita, kita harus bertanggung jawab terhadapnya. Jika mereka betul-betul memberi kita penderitaan, kita ingatkan diri kita: "Ini kammaku". Jika mereka menyenangkan, kita ingatkan diri kita: "Ini kammaku". Kadangkala begitu frustasinya kita di rumah sehingga kita ingin melarikan diri. Beberapa malahan begitu frustasi sehingga mereka bunuh diri. Ini adalah kamma. Kita harus menerima kenyataan. Hindarilah perbuatan jelek. Dengan demikian kita akan dapat melihat diri kita sendiri dengan lebih jelas.


Inilah sebabnya sangat penting bagi kita untuk merenungkan segala sesuatu. Biasanya saat meditasi kita menggunakan suatu obyek, misalkan Buddho, Dhammo, atau Sangho. Tetapi kita dapat membuatnya lebih singkat. Pada saat pikiran kita jelek atau jengkel, katakanlah "A-ha!". Ketika perasaan kita enak, katakanlah "A-ha!... ini bukanlah hal yang pasti". Jika kamu mencintai seseorang, katakan "A-ha". Demikian juga saat kamu akan marah. Kamu tidak perlu mencari di Tipitaka. Katakan saja "A-ha". Ini berarti "tidak kekal". Cinta, benci, baik, buruk, semua tidak kekal. Bagaimana bisa kekal? Di mana unsur kekekalannya?


Dapat kita katakan bahwa semuanya itu hanya permanen dalam ketidak-permanennannya. Menit ini ada cinta, menit berikutnya timbul benci. Begitulah adanya. Sifat berubahnya inilah yang permanen. Maka dari itu saya katakan bahwa ketika timbul cinta, katakanlah "A-ha". Ini menghemat banyak waktu. Kita tidak harus mengatakan "Anicca, dukkha, anatta". Jika kita tidak menginginkan tema meditasi yang panjang, gunakan saja kata yang singkat ini... katakan saja: "A-ha".


Nah, jika semua orang lebih sering mengatakan "A-ha", dan melatihnya dalam kehidupan sehari-hari, maka kemelekatan akan semakin berkurang. Orang tidak akan tersuruk dalam cinta dan benci. Mereka tidak akan melekat kepada hal-hal demikian. Mereka akan menaruh kepercayaan terhadap kebenaran dan bukan yang lain. Sudah cukup bagi kita untuk mengetahui sebegini saja. Apalagi yang ingin kita ketahui?


Setelah mengetahui ajaran ini, kita harus selalu mencoba untuk mengingatnya. Apa yang harus diingat? Meditasi.... Mengerti, bukan? Kalau kita mengerti, dan Dhamma menyatu dengan kita, pikiran akan berhenti. Jika ada kemarahan dalam pikiran, hanya "A-ha".. dan itu cukup, berhenti di situ. Jika belum benar-benar mengerti, lihatlah lebih dalam ke pokok masalahnya. Jika ada pengertian, ketika kemarahan timbul di dalam pikiran, kita dapat membungkamnya dengan berkata "A-ha, inipun tidak kekal".


Yang paling penting adalah perekam yang ada di pikiran kita. Bacaan ini dapat musnah begitu saja tapi jika Dhamma telah dapat terekam dengan baik di dalam pikiran, itu tidak akan dapat dimusnahkan, akan berada di situ selamanya.






[ Dikutip dari Mutiara Dhamma VII, Living Dhamma ]

Di Kegelapan Malam



 
LIHATLAH KETAKUTAN MU... 


Suatu hari, ketika malam menjelang, tiada yang lainnya... Jika saya berunding dengan diri sendiri, saya tak akan pernah pergi, jadi saya mengajak seorang pa-kow dan pergi.

"Jika tiba saatnya mati maka biarlah mati. Jika pikiranku bandel dan bodoh maka biarlah ia mati..." begitulah saya memikirkan untuk diri sendiri. Sesungguhnya di dalam hati saya tidak ingin pergi tetapi saya paksakan diri". Bila demikian keadaannya, lalu jika kamu tunggu sampai semuanya beres maka kamu tak akan pernah pergi. Kapan kamu akan melatih dirimu?" Oleh karena itu saya pergi juga.

Sebelumnya saya tidak pernah tinggal di tanah perkuburan. Ketika saya sampai di sana, tiada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan saya. Si pa-kow ingin berada di samping saya tetapi tidak saya berikan. Saya menyuruhnya diam di kejauhan. Sebenarnya saya ingin dia berada di dekat saya untuk menemani, tetapi tidak saya lakukan. Saya biarkan ia pergi, kalau tidak saya akan mengharapkan dukungannya.

"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini".

Saya takut, tetapi saya tertantang. Bukannya saya tidak takut, tetapi saya punya semangat. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati.

Ketika hari mulai gelap saya mendapat kesempatan, yaitu orang-orang datang membawa sesosok jenazah. Beruntunglah saya! Saya bahkan tak bisa merasakan kaki saya menyentuh tanah, saya begitu ingin keluar dari sana. Mereka menginginkan saya melakukan upacara pemakaman tersebut tetapi saya tak mau terlibat, saya hanya menyingkir. Tak lama kemudian, setelah mereka pergi, saya kembali dan menemukan bahwa mereka telah mengubur jenazah tepat di samping tempat saya.

Sekarang apa yang harus saya kerjakan? Ini bukannya karena di sini dekat desa, yang sekitar tiga kilometer jaraknya.

"Baik, jika saya akan mati, biarlah saya mati..."

Jika kalian tak pernah berani melakukannya, kalian tak akan pernah mengetahui bagaimana sesungguhnya. Ini sungguh merupakan satu pengalaman.

Ketika hari bertambah gelap saya bigung kemana harus lari di tengah daerah pekuburan.

"Oh, biarlah mati. Orang lahir dalam kehidupan ini hanyalah untuk mati".

Segera setelah matahari terbenam sang malam mengisyaratkan agar saya masuk kedalam "glot" ("Glot" —payung besar milik "dhutanga" Thai atau para bhikkhu yang berdiam di hutan, yang digantungkan di pohon, di mana mereka memasang jala nyamuk (kelambu) sebagai tempat tinggal selama berada di hutan.). Saya tidak ingin melakukan meditasi berjalan sedikit, saya hanya ingin masuk kedalam kelambu saya. Setiap kali saya berusaha jalan ke arah kuburan tampaknya ada sesuatu yang mendorong saya kembali dari belakang, yang mencegah saya berjalan. Tampaknya perasaan takut dan semangat saya bersaing ketat. Tetapi saya lakukan itu. Begitulah cara kalian melatih diri sendiri.

Ketika hari telah gelap, saya masuk kedalam kelambu saya. Rasanya bagaikan saya mempunyai tembok berlapis tujuh di sekeliling saya. Melihat mangkuk saya yang setia di sisi saya bagaikan melihat seorang teman lama. Kadangkala hanya sebuah mangkuk bisa menjadi teman! Keberadaannya di sisi saya sungguh menyenangkan. Paling tidak saya mempunyai mangkuk sebagai teman.

Sepanjang malam saya duduk di dalam kelambu mengamati badan jasmani. Saya tidak rebahan ataupun tertidur sejenak, saya hanya duduk tenang. Saya tidak bisa mengantuk walaupun saya ingin bisa mengantuk, saya begitu takut. Ya, saya takut, meskipun demikian saya melakukannya. Saya duduk sepanjang malam.


Sekarang siapa yang punya keberanian untuk praktek seperti itu? Cobalah dan alamilah. Jika pengalamannya seperti ini, siapa yang berani pergi dan tinggal di daerah perkuburan? Jika kalian tidak menjalankannya sendiri, kalian tidak memperoleh hasil, kalian belum praktek sesungguhnya. Kali ini saya sudah mempraktekkannya.

Ketika fajar menyingsing saya merasa, "Oh! Saya berhasil!" Saya begitu gembira, saya hanya ingin siang hari, tanpa malam hari sama sekali. Saya ingin memusnahkan sang malam dan menyisakan siang hari saja. Saya begitu senang, saya telah berhasil. Saya berpikir, "Oh, sesungguhnya tidak ada apapun, hanya ada ketakutan saya, itulah semuanya".

Setelah pergi berpindapata dan makan, saya merasa baikan. Matahari bersinar, membuat saya merasa hangat dan enak. Saya beristirahat dan berjalan sebentar. Saya berpikir, "malam ini saya akan bermeditasi dengan lebih baik dan tenang, karena saya sudah melaluinya malam tadi. Mungkin tidak ada yang lebih dari itu".

Selanjutnya, ketika lewat tengah hari, tahukah kalian apa yang terjadi? Datang lagi jenazah yang lain, kali ini jenazah yang besar (Pada malam pertama tampaknya jenazah seorang anak keci). Mereka membawa jenazah itu dan memperabukannya tepat di sebelah tempat saya, tepat di depan "glot" saya. Ini bahkan lebih buruk dari kemarin malam!

"Baik", saya pikir, "dengan membawa jenazah dan membakarnya di sini akan membantu praktek saya".

Tetapi saya tetap tidak melakukan upacara apapun untuk mereka, saya tunggu mereka sampai pergi sebelum melihatnya.

Membakar badan/jenazah itu untuk saya amati sepanjang malam, tak dapat saya katakan bagaimana sebenarnya. Kata-kata tidak dapat menggambarkannya. Tak ada yang bisa saya sampaikan untuk menggambarkan rasa takut saya. Di kegelapan malam, ingat itu. Api pembakaran jenazah berkelip-kelip merah dan hijau serta nyala api meletup-letup pelan. Saya ingin melakukan meditasi jalan di depan jenazah itu tetapi saya hampir tidak bisa melakukannya. Akhirnya saya masuk ke dalam kelambu saya. Bau busuk dari daging yang terbakar tetap ada sepanjang malam.

Dan hal ini, sebelum semuanya benar-benar terjadi...

Ketika nyala api berkelip-kelip lemah saya membelakangi api itu. Saya lupa tentang tidur, saya bahkan tak bisa memikirkannya, mata saya kaku ketakutan. Dan tak ada orang yang bisa ditoleh, hanya ada saya. Saya harus percaya pada diri sendiri. Saya tak bisa berpikir harus ke mana, tak ada tempat untuk berlari pada malam yang kelam itu.

"Baik, saya akan duduk dan mati di sini. Saya tak akan pindah dari tempat ini".

Di sini, berbicara dengan pikiran biasa, apakah ia mau melakukannya? Apakah ia akan membawa kalian pada situasi semacam itu? Jika kalian berusaha untuk menimbang-nimbang, kalian tak akan pernah pergi. Siapa yang mau melakukan hal ini? Jika kalian tidak mempunyai keyakinan yang kuat pada ajaran Sang Buddha, kalian tak akan pernah melakukannya.
Sekarang, sekitar pukul sepuluh malam, saya duduk membelakangi api. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi terdengar suara langkah kaki terseret dari api di belakang saya. Apakah peti jenazahnya telah hancur? Atau mungkin seekor anjing mendekati jenazah itu? Tetapi tidak, suara itu lebih mirip langkah pasti seekor kerbau. 

"Oh, tak apalah..." Tetapi selanjutnya ia mulai berjalan ke arah saya, persis seperti orang! Ia berjalan di belakang saya, langkahnya berat, seperti seekor kerbau, tetapi bukan...! Gemerisik daun di bawah langkah kaki tampak berputar ke depan. Baik, saya hanya bisa bersiap untuk yang terburuk, kemana lagi harus pergi? Tetapi semuanya tidak terjadi, ia hanya berkeliling di depan dan selanjutnya pergi ke arah pa-kow. Selanjutnya semua tenang. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ketakutan membuat saya berpikir tentang berbagai kemungkinan.

Satu setengah jam kemudian, saya kira, langkah kaki tersebut datang kembali dari arah pa-kow. Persis seperti orang! Ia datang tepat ke arah saya, kali ini menuju ke arah saya bagaikan mau menubruk saya! Saya memejamkan mata dan tak mau membukanya.

"Saya akan meninggal dengan mata terpejam".

Ia lebih mendekat sampai akhirnya berhenti di hadapan saya dan duduk tidak bergerak. Saya merasa seolah-olah ia melambai-lambaikan tangan di depan mata saya yang terpejam. Oh! Memang begitu! Saya membuang segalanya, lupa semua tentang Buddho, Dhammo dan Sangho. Saya melupakan semuanya, hanya ada rasa takut dalam diri saya, menumpuk sepenuhnya. Pikiran saya tak bisa pergi kemana pun, hanya ada rasa takut. Sejak saya dilahirkan saya belum pernah mengalami rasa takut seperti ini. Buddho dan Dhammo telah menyingkir, saya tidak tahu kemana. Hanya ada rasa takut yang mengalir di dada sampai terasa menyesakkan.

"Baik, biarlah begitu, tak ada yang bisa dikerjakan".

Saya duduk bagaikan tidak menyentuh tanah dan hanya mengamati apa yang terjadi. Rasa takut begitu menguasai saya, bagaikan kendi yang penuh terisi air. Jika kalian mengisi kendi hingga penuh, lalu menuang sedikit lagi, kendi itu akan meluap. Begitu pula, rasa takut berkembang dalam diri saya sampai mencapai titik puncak dan mulai meluap.

"Mengapa aku begitu takut?" Suara dalam diri saya bertanya.

"Saya takut akan kematian", suara yang lain menjawab.

"Baik, sekarang di manakah kematian itu? Mengapa panik? Cari di mana tempat kematian. Di manakah kematian?"

"Mengapa, kematian ada di dalam diriku!"

"Jika kematian ada di dalam diriku, kemanakah kamu akan lari untuk menghindarinya? Jika kamu lari kamu mati, jika kamu tetap di sini kamu mati. Kemana pun kamu pergi ia pergi bersamamu karena kematian berada di dalam dirimu, tidak ada tempat bagimu untuk melarikan diri. Apakah kamu takut atau tidak, kamu akan mati, tidak ada tempat untuk menghindari kematian".

Segera setelah saya berpikir begitu, pemahaman saya sepenuhnya berubah. Semua rasa takut hilang semudah membalikkan telapak tangan. Ini sungguh menakjubkan. Begitu besar rasa takut tadinya toh itu bisa hilang begitu saja! Rasa tidak takut muncul di tempat rasa takut tadi. Sekarang batin saya bangkit lebih tinggi dan lebih tinggi sampai saya merasakan bagaikan berada di awan.

Segera setelah saya mengalahkan rasa takut, hujan mulai turun. Saya tidak tahu hujan macam apakah itu, anginnya begitu kencang. Tetapi saya tidak takut mati lagi. Saya tidak takut bahwa dahan-dahan di pohon bisa jatuh menimpa saya. Saya tidak mempedulikannya. Hujan bergemuruh bagaikan aliran air yang deras di musim panas, sungguh lebat. Ketika hujan reda semuanya basah kuyub.

Saya duduk tidak bergerak.

Lalu apakah yang saya lakukan selanjutnya, dengan keadaan basah kuyub seperti itu? Saya menangis! Air mata membasahi kedua pipi saya. Saya menangis karena berpikir, "Mengapa aku duduk di sini bagaikan anak yatim piatu atau anak yang ditinggalkan, duduk, berbasah kuyub di bawah hujan bagaikan orang yang tidak memiliki apapun, bagaikan orang bujangan?".

Selanjutnya saya berpikir, "Semua orang yang duduk nyaman di rumah saat ini mungkin sama sekali tidak menduga bahwa ada seorang bhikkhu yang duduk di sini, berbasah kuyub di bawah curah hujan sepanjang malam seperti ini. Apakah tujuannya semua itu?" Dengan berpikir begitu saya mulai menyesali akan air mata yang telah mengalir.

"Air mata ini bukanlah barang yang baik, biarlah mereka mengalir keluar semuanya".

Beginilah cara saya berlatih.

Sekarang saya tidak tahu bagaimana saya bisa menjelaskan hal-hal seterusnya. Saya duduk... duduk dan mendengar. Setelah mengalahkan perasaan saya, saya hanya duduk dan mengamati semua hal yang muncul dalam diri saya, begitu banyak hal yang bisa diketahui tetapi tidak mungkin untuk dijabarkan. Dan saya merenungkan kata-kata Sang Buddha.... Paccattam veditabbo viññuhi.(Baris terakhir ungkapan tradisional Pali yang mencantumkan sifat-sifat Dhamma.) "Ia yang bijaksana akan mengetahui untuk dirinya sendiri".

Bahwa saya sudah menahan penderitaan seperti itu dan duduk di bawah curah hujan... siapakah yang mengalami bersama saya? Hanya saya saja yang bisa mengetahuinya. Begitu banyak air mata namun rasa takut lenyap. Siapakah yang bisa menjadi saksi? Mereka yang berada di rumahnya di kota tak bisa mengetahuinya, hanya saya yang bisa melihatnya. Itu merupakan pengalaman pribadi. Meskipun saya ceritakan pada orang lain mereka tidak akan mengerti sepenuhnya, itu merupakan sesuatu untuk dirasakan oleh tiap-tiap orang untuk dirinya sendiri, lebih banyak saya merenungkan hal ini, ia menjadi lebih jelas. Saya menjadi lebih kuat, keyakinan saya menjadi lebih kokoh, sampai fajar menyingsing.

Sang fajar ketika saya membuka mata, semua tampak kuning.

Semalam sesungguhnya saya ingin buang air kecil tetapi perasaan telah menghalanginya. Pada pagi hari ketika saya bangkit dari duduk di manapun yang saya lihat tampak kuning, seperti sinar matahari pagi pada hari lain. Ketika saya buang air kecil, ada darah di sana.

"Eh? Apakah usus saya sobek atau ada sesuatu?" Saya agak takut... "Mungkin benar ada yang sobek di dalam".

"Baik, lalu kenapa? Jika memang sobek siapa yang harus disalahkan?" Segera suatu suara berkata. "Jika sobek tetap sobek, jika saya mati tetap mati. Saya hanya duduk di sini, saya tidak melakukan kejahatan apapun. Jika akan meledak, biarlah meledak", kata suara itu.

Batin saya bagaikan sedang berdebat dan berperang dengan dirinya sendiri. Satu suara dari sisi lain berkata, "Hei, ini berbahaya!" Suara yang lain akan menjawab, menegur dan mengesampingkannya.

Air seni saya tercemar oleh darah.

"Hmm. Di manakah saya bisa mendapatkan obat?"

"Saya tak akan mempedulikan hal itu. Bagaimanapun, seorang bhikkhu tak mungkin memotong tanaman untuk obat. Jika saya mati, lalu kenapa? Apa lagi yang harus dilakukan? Jika saya mati ketika sedang berlatih seperti ini maka saya sudah siap. Jika saya mati karena melakukan keburukan itu tidak baik, tetapi mati karena berlatih seperti ini saya siap".

Jangan ikuti suasana-hati kalian. Lihatlah dirimu sendiri. Praktek ini membutuhkan pertaruhan kehidupan kalian. Kalian harus sudah menangis paling tidak dua atau tiga kali. Itu baik, itulah praktek. Jika kalian mengantuk dan ingin berbaring maka jangan biarkan sampai tertidur. Singkirkan rasa kantuk sebelum kalian berbaring. Tetapi lihatlah diri kalian, kalian tidak mengetahui bagaimana cara berlatih.

Kadang-kadang, saat kalian kembali dari berpindapata dan kalian merenungkan makanan itu sebelum dimakan, kalian tidak bisa tenang, pikiran kalian bagaikan seekor anjing gila. Air liur mengalir, kalian begitu lapar. Kadang-kadang kalian bahkan tidak mempedulikan perenungan, kalian langsung makan. Itu adalah suatu malapetaka. Jika batin tak mau tenang dan sabar maka singkirkan mangkuk kalian dan jangan makan. Latihlah dirimu sendiri, itulah praktek. Jangan hanya mengikuti pikiran kalian. Singkirkan mangkuk kalian, berdiri dan tinggalkan, jangan izinkan diri kalian makan. Jika ia begitu ingin makan dan begitu keras kepala maka jangan biarkan ia makan. Air liur akan berhenti mengalir. Jika kekotoran-kekotoran batin tahu bahwa ia tak akan mendapatkan apapun untuk dimakan maka mereka akan takut. Besok mereka tak berani mengganggu kalian, mereka takut tak mendapatkan apapun untuk dimakan. Cobalah jika kalian tidak mempercayai saya.

Orang-orang tidak mempercayai praktek, mereka tidak berani untuk benar-benar melakukannya. Mereka takut akan kelaparan, mereka takut mati. Jika kalian tidak mencobanya kalian tak mengetahui yang sebenarnya. Kebanyakan kita tak berani melakukannya, tak berani mencobanya, kita takut. 

Jika tiba saatnya makan dan semacamnya, saya sudah mengalaminya lama sekali, sehingga saya mengerti seperti apa mereka itu. Dan itu juga hanyalah hal kecil. Jadi praktek bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dengan mudah.

Pertimbangkan: Apakah yang paling penting di antara semuanya? Tiada yang lain, kecuali kematian. Kematian adalah hal yang terpenting di dunia ini. Pertimbangkan, praktekkan, selidiki... Jika kalian tak mempunyai pakaian, kalian tak akan mati. Jika kalian tak mempunyai buah pinang untuk dikunyah atau rokok untuk dihisap, kalian tetap tak akan mati. Tetapi jika kalian tidak mempunyai nasi atau air, maka kalian akan mati. Saya melihat di dunia ini hanya dua hal ini yang penting. Kalian memerlukan nasi dan air untuk memberi makan tubuh ini. Jadi saya tidak tertarik pada yang lainnya, saya puas dengan apapun yang diberikan. Selama saya mendapatkan nasi dan air, itu cukuplah untuk praktek, saya merasa puas.

Apakah itu cukup bagi kalian? Semua yang lainnya hanyalah barang tambahan, kalian memperolehnya atau tidak, itu tidaklah penting. Kalian memperolehnya atau tidak, itu bukanlah masalah, bahan-bahan yang terpenting hanyalah nasi dan air.

"Jika saya hidup seperti ini mampukah saya bertahan?" Kutanyai diri sendiri, "Tampaknya cukup untuk dilewati dengan baik. Paling tidak saya bisa mendapatkan nasi pada saat berpindapata di desa manapun, sejumput dari setiap rumah. Air biasanya tersedia. Hanya dua ini saja cukup..." Saya tidak bertujuan untuk menjadi kaya.

Berkenaan dengan praktek, benar dan salah biasanya berdampingan. Kalian harus berani melakukannya, berani praktek. Jika kalian belum pernah ke tanah perkuburan, kalian harus melatih diri untuk pergi. Jika kalian tidak bisa pergi saat malam, pergilah di siang hari. Selanjutnya latihlah diri kalian untuk pergi sore sampai kalian bisa pergi saat menjelang malam dan tinggal di sana. Maka kalian akan melihat efek-efek dari praktek itu. Selanjutnya kalian akan mengerti.

.
Batin ini sekarang sudah diperdaya sebanyak berapa kali kehidupan yang tidak kita ketahui. Kita menghindari apapun yang tidak kita sukai atau cintai, kita hanya menuruti ketakutan-ketakutan kita. Dan kita katakan kita sedang praktek. Ini tidak bisa disebut "praktek"! Jika itu adalah praktek yang sejati, kalian bahkan akan mempertaruhkan kehidupan kalian. Jika kalian benar-benar telah memutuskan untuk praktek, mengapa kalian memperhatikan urusan-urusan yang sepele?... "Saya hanya mendapat sedikit, kalian memperoleh banyak". "Kamu berdebat denganku maka aku berdebat denganmu..." Saya sama sekali tidak memiliki pikiran-pikiran semacam ini karena saya tidak mencari hal-hal demikian. Apapun yang dilakukan orang lain itu urusan mereka. Pergi ke vihara lain, saya tidak melibatkan diri dalam urusan-urusan seperti itu. Bagaimanapun tinggi atau rendah praktek orang lain, saya tak akan mencampurinya, saya hanya mengurusi urusan saya sendiri. Dengan begitu saya berani praktek, dan praktek itu membangkitkan kebijaksanaan dan pandangan terang.


Jika praktek kalian benar-benar telah mengenai sasaran maka kalian benar-benar praktek. Siang atau malam kalian tetap berlatih.

Pada malam hari, ketika sunyi, saya akan duduk bermeditasi, lalu turun untuk berjalan, bergantian ke muka dan ke belakang, semalam paling tidak dua atau tiga kali. Berjalan lalu duduk, terus berjalan lagi... Saya tidak bosan, saya menikmatinya.

Kadang-kadang turun hujan rintik-rintik dan saya merenungkan saat saya dulu bekerja di ladang padi. Celana kerja saya masih basah dari hari sebelumnya tetapi saya harus bangun sebelum fajar dan mengenakannya lagi. Selanjutnya saya harus ke kolong rumah untuk mengeluarkan kerbau. Yang bisa saya lihat dari si kerbau hanyalah lehernya saja, karena di situ sangat berlumpur. Saya jangkau talinya yang terbungkus lumpur. Selanjutnya ekor kerbau akan dikibaskan dan ujungnya akan memercikku dengan lumpur. Kaki saya pedih karena kutu air dan saya akan berjalan dengan merenungkan, "Mengapa hidup begitu menyengsarakan?" Dan sekarang di sini saya sedang bermeditasi-jalan... apakah arti sedikit hujan bagi saya? Dengan berpikir begitu saya mendorong diri saya dalam praktek.

Jika praktek sudah memasuki sang arus maka tidak ada apapun yang bisa dibandingkan dengannya. Tiada penderitaan seperti penderitaan seorang pencari Dhamma, dan tiada kebahagiaan seperti kebahagiaannya juga. Tidak ada semangat yang bisa dibandingkan dengan semangat seorang pencari Dhamma dan tak ada kemalasan yang bisa dibandingkan dengannya pula. Para pelaksana Dhamma adalah hebat. Itulah sebabnya saya katakan jika kalian benar-benar praktek itu merupakan suatu pemandangan untuk dilihat.

Tetapi kebanyakan dari kita hanya membicarakan praktek tanpa melaksanakan atau mencapainya. Praktek kita bagaikan seorang yang atapnya bocor di satu sisi sehingga ia tidur di sisi lain rumah itu. Ketika cahaya matahari masuk pada sisi itu ia berguling ke sisi lain, dan selalu berpikir "Kapan aku bisa mempunyai rumah yang layak seperti yang lainnya?" Ketika seluruh atap berlubang maka ia akan bangun dan meninggalkannya. Ini bukanlah cara melaksanakan sesuatu, tetapi begitulah orang pada umumnya.

Batin kita, kekotoran-kekotoran batin kita... jika kalian ikuti mereka, mereka akan menimbulkan kesulitan. Lebih banyak kalian mengikutinya lebih merosot praktek kalian. Dengan praktek yang sesungguhnya, kadang-kadang kalian bahkan akan takjub melihat semangat kalian. Apakah orang lain praktek atau tidak, jangan pedulikan, laksanakan saja praktek kalian sendiri secara terus-menerus. Siapapun yang datang atau pergi tidaklah masalah, kerjakan saja praktek itu. Kalian harus melihat ke dalam diri sendiri sebelum hal itu bisa disebut "praktek". Jika kalian benar-benar praktek maka tidak ada konflik/pertentangan di dalam batin kalian, di sana hanya ada Dhamma.

Di mana saja kalian masih merasa janggal, di mana saja kalian masih kurang, di sanalah kalian harus melatih diri kalian. Jika kalian belum memecahkannya janganlah menyerah. Setelah selesai dengan satu hal kalian melekat pada hal lain, begitu terus-menerus sampai itu berakhir. Kapan saja kalian melekat, bertahanlah sampai kalian memecahkannya, jangan berhenti. Jangan merasa puas sampai itu berakhir. Arahkan semua perhatian kalian pada titik itu. Ketika duduk, berbaring, atau berjalan, amatilah tepat di situ.

Bagaikan seorang petani yang belum menyelesaikan sawahnya. Setiap tahun ia menanam padi tetapi tahun ini ia belum menyelesaikannya, sehingga pikirannya melekat pada pekerjaan itu, ia tidak bisa beristirahat. Pekerjaannya belum selesai. Bahkan pada saat ia bersama teman-temannya, ia tidak bisa santai, setiap saat ia dibayangi oleh pekerjaannya yang belum rampung. Atau seperti seorang ibu yang meninggalkan bayinya di atas loteng di dalam rumah ketika ia memberi makan hewan di bawah: ia selalu memikirkan bayinya, kalau-kalau ia terjatuh dari rumah. Walaupun ia mungkin melakukan pekerjaan lain, bayinya tak pernah lepas dari pikirannya.

Semua ini sama bagi kita dan praktek kita —kita tak pernah melupakannya. Walaupun kita mungkin mengerjakan hal lain, praktek kita tak pernah lepas dari pikiran kita, ia selalu bersama kita, siang dan malam. Semuanya harus seperti itu jika kalian ingin memperoleh kemajuan.
Pada awalnya kalian harus mempercayai seorang guru untuk memberi petunjuk serta menasehati kalian. Ketika kalian mengerti, maka praktekkanlah. Bila guru telah memberi petunjuk, kalian ikuti petunjuk-petunjuk itu. Jika kalian mengerti praktek itu, maka tidaklah perlu bagi sang guru untuk mengajar kalian, lakukanlah pekerjaan itu sendiri. Bilamana kelengahan atau sifat-sifat buruk muncul kenalilah sendiri, ajarilah diri kalian sendiri. Lakukanlah latihan itu sendiri. Batin adalah satu-satunya yang mengetahui, yang menjadi saksi. Batin mengetahui jika kalian masih sangat dibodohi atau hanya sedikit dibodohi. Kapan saja kalian masih salah cobalah untuk berlatih tepat pada titik itu, curahkanlah tenaga padanya. .
Praktek adalah seperti itu. Hal itu hampir seperti menjadi gila, atau kalian bahkan bisa mengatakan bahwa kalian gila. Jika kalian benar-benar praktek kalian memang gila, kalian "memberontak". Kalian sudah mengubah persepsi/pemahaman dan kemudian kalian menyesuaikan persepsi kalian. Jika kalian tidak menyesuaikannya, ia akan tetap menyusahkan dan menyedihkan seperti sebelumnya.


Jadi ada banyak penderitaan dalam praktek, tetapi jika kalian tidak mengenali penderitaan kalian sendiri, kalian tidak akan mengetahui Kesunyataan Mulia tentang Penderitaan. Untuk mengetahui penderitaan, untuk memusnahkannya, pertama-tama kalian harus mengalaminya. Jika kalian ingin menembak seekor burung tetapi tidak pergi dan mencarinya, bagaimana kalian akan pernah menembaknya? Penderitaan, penderitaan... Sang Buddha mengajarkan tentang penderitaan: Penderitaan karena kelahiran, penderitaan karena usia tua... jika kalian tidak mau mengalami penderitaan kalian tak akan melihat penderitaan. Jika kalian tidak melihat penderitaan kalian tak akan mengerti penderitaan. Jika kalian tidak mengerti penderitaan kalian tak akan bisa bebas dari penderitaan.

Sekarang orang tidak mau melihat penderitaan, mereka tidak mau mengalaminya. Jika mereka menderita di sini mereka lari ke sana. Kalian tahu? Mereka hanya menyeret penderitaan mereka di sekitar mereka, mereka tak pernah mengatasinya. Mereka tidak merenungkan atau menyelidikinya. Mereka berusaha melarikan diri dari penderitaan secara fisik. Selama kalian masih tidak tahu, kemana pun kalian pergi, kalian akan menemui penderitaan. Bahkan jika kalian naik pesawat terbang untuk menghindarinya, ia akan naik pesawat terbang bersama kalian. Jika kalian menyelam di bawah air, ia akan menyelam bersama kalian, karena penderitaan berada di dalam diri kita. Tetapi kita tidak mengetahuinya. Jika ia berada di dalam diri kita, ke mana kita bisa lari untuk menghindarinya?

Mereka pikir mereka telah menghindari penderitaan tetapi sesungguhnya tidak, penderitaan pergi bersama mereka. Mereka membawa serta penderitaan tanpa disadari. Jika kita tidak mengerti penderitaan maka kita tidak bisa mengerti sebab penderitaan. Jika kita tidak mengerti sebab penderitaan maka kita tidak bisa mengerti akhir penderitaan, tidak ada jalan bagi kita untuk menghindarinya.

Kalian harus perhatikan hal ini dengan tekun sampai kalian tidak meragukannya lagi. Kalian harus berani untuk melaksanakan praktek. Jangan melalaikannya, baik ketika di dalam kelompok ataupun sedang sendiri. Jika orang lain malas, itu bukan urusan kalian. Siapa pun yang banyak melakukan meditasi jalan, banyak praktek... saya jamin hasilnya. Jadi kalian benar-benar berlatih dengan konsisten, apakah orang lain datang atau pergi atau yang lainnya, satu masa vassa saja sudah cukup. Kerjakan seperti yang sudah saya ajarkan di sini. Dengarkan nasihat guru, jangan berdalih, jangan keras kepala. Apapun yang beliau katakan untuk dikerjakan, segeralah pergi dan kerjakan. Kalian tidak perlu takut pada praktek, pengetahuan pasti akan muncul darinya.

Praktek adalah juga patipada. Apakah patipada? Prakteklah dengan tekun dan terus-menerus. Jangan berlatih seperti Pendeta Tua Peh. Pada satu masa vassa ia memutuskan untuk tidak berbicara tetapi ia mulai menulis catatan,... "Besok tolong gorengkan nasi untukku". Ia ingin makan nasi goreng! Ia berhenti berbicara tetapi mulai menulis begitu banyak pesan sehingga ia bahkan lebih bingung daripada sebelumnya. Dalam satu menit ia akan menulis satu hal, selanjutnya yang lain, betapa lucunya!

Saya tidak tahu mengapa ia bersusah-payah memutuskan untuk tidak berbicara. Ia tidak mengetahui bagaimana praktek itu sebenarnya.


Sesungguhnya praktek kita adalah merasa puas dengan yang sedikit, hanya bersikap wajar. Jangan risaukan apakah kalian merasa malas atau rajin. Bahkan jangan katakan "aku rajin" atau "aku malas". Orang pada umumnya hanya berlatih ketika mereka merasa rajin, jika mereka merasa malas mereka tidak peduli. Beginilah orang pada umumnya. Tetapi para bhikkhu seharusnya tidak berpikir seperti itu. Bila kalian rajin, kalian berlatih; ketika kalian malas, kalian tetap berlatih. Jangan risaukan hal lain, potong mereka, singkirkan mereka, latihlah dirimu sendiri. Berlatihlah dengan terus-menerus, apakah siang atau malam, tahun ini, tahun depan, apapun waktunya... jangan perhatikan pikiran rajin atau malas, jangan cemas apakah hari panas atau dingin, berlatihlah. Ini disebut sammapatipada —Praktek Benar.

Sebagian orang benar-benar mencurahkan diri mereka pada latihan selama enam atau tujuh hari, selanjutnya, ketika mereka tidak memperoleh hasil yang diinginkan, mereka menyerah dan kembali pada cara semula, gemar mengobrol, bergaul, dan yang lainnya. Lalu mereka teringat praktek itu serta berlatih lagi selama enam atau tujuh hari, menyerah lagi... Ini seperti cara kerja kebanyakan orang. Pertama mereka melibatkan dirinya... lalu, ketika berhenti, mereka bahkan tidak ingat untuk membawa peralatan mereka, mereka hanya pergi dan meninggalkannya di sana. Kelak, ketika tanah semua kering, mereka teringat pekerjaannya dan mengerjakan sedikit lagi, hanya untuk ditinggalkan lagi.

Mengerjakan sesuatu dengan cara ini kalian tak akan pernah memperoleh taman atau padi yang baik. Begitu juga praktek kita. Jika kalian pikir patipada ini tidak penting, kalian tak akan sampai kemana pun dengan praktek ini. Sammapatipada tak dapat disangkal sangatlah penting. Lakukanlah secara terus-menerus. Jangan dengarkan suasana-hati kalian. Lalu kenapa jika suasana-hati kalian baik atau buruk? Sang Buddha tidak peduli dengan hal itu. Beliau telah mengalami semua hal yang baik dan buruk, hal-hal yang benar dan salah. Itulah praktek Beliau. Hanya mengambil apa yang kalian sukai dan membuang apa yang tidak kalian sukai, itu bukan merupakan praktek, tapi itu merupakan malapetaka. Kemana pun kalian pergi kalian tak akan pernah puas, di manapun kalian tinggal di sana ada penderitaan.

Berlatih seperti ini adalah bagaikan kaum Brahmana yang melaksanakan kurban mereka. Mengapa mereka lakukan itu? Karena mereka menginginkan sesuatu sebagai gantinya. Beberapa di antara kita berlatih seperti itu. Mengapa kita berlatih? Karena kita mencari kelahiran-kembali, bentuk keberadaan yang lain, kita ingin mencapai sesuatu. Jika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan maka kita tidak mau berlatih, tepat seperti kaum Brahmana melaksanakan upacara kurban mereka. Mereka melakukan hal itu karena nafsu-keinginan.

Pada suatu ketika ada seorang Thera yang mengikuti tradisi Mahanikai. Tetapi ia menilai itu kurang keras jadi ia mengambil penahbisan Dhammayuttika (Mahanikai dan Dhammayuttika merupakan dua tradisi sangha Theravada di Thailand). Lalu ia mulai berlatih. Kadangkala ia berpuasa selama lima belas hari, selanjutnya ketika makan ia hanya memakan daun dan rumput. Ia pikir memakan daging merupakan karma buruk, dan akan lebih baiklah bila memakan daun dan rumput.

Setelah beberapa saat... "Hmm. Menjadi seorang bhikkhu tidaklah begitu baik, ia tidak menyenangkan. Sangat sulit untuk menjaga latihan vegetarian saya sebagai seorang bhikkhu. Mungkin saya akan lepas jubah dan menjadi seorang pha khaow. Jadi ia lepas jubah dan menjadi pha khaow sehingga ia bisa mengumpulkan daun dan rumput untuk dirinya sendiri serta menggali akar dan ubi jalar. Ia terus begitu untuk beberapa saat sampai akhirnya ia tidak mengetahui apa yang harus ia kerjakan. Ia menyerah. Ia berhenti sebagai bhikkhu, berhenti sebagai pha khaow , ia melepaskan semuanya. Saat ini saya tidak tahu apa yang dikerjakannya. Mungkin ia sudah meninggal, saya tidak tahu. Ini semua karena ia tidak bisa menemukan sesuatu yang cocok untuk batinnya. Ia tidak menyadari bahwa ia hanya mengikuti kekotoran-batin. Kekotoran-batin mengendalikannya tetapi ia tidak mengetahuinya.

“Apakah Sang Buddha lepas jubah dan menjadi seorang pha khaow ?
Bagaimana Sang Buddha berlatih ? Apa yang Beliau kerjakan ?”Ia tidak mempertimbangkan hal ini. Apakah Sang Buddha pergi dan makan daun dan rumput seperti sapi ? Jadi, jika kalian ingin makan seperti itu…silahkan. Jika itu semua adalah yang bisa kalian lakukan,tetapi jangan mencela orang lain.

Apapun patokan praktek yang kalian rasa cocok ,bertahanlah dengan itu.
“Jangan mencungkil atau memahat terlalu banyak atau kalian tidak akan mempunyai pegangan yang baik.”
Kalian akan tertinggal tanpa hasil apa pun dan akhirnya menyerah.






Oleh: Ajahn Chah






MAHĀ-BODHI-JĀTAKA


Sumber : Indonesia Tipitaka Center


“Apa arti dari benda-benda ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang kesempurnaan dalam kebijaksanaan.


Kisahnya berhubungan di dalam Mahāummagga-Jātaka.


Sekarang dalam kisah ini, Sang Guru berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, Tathāgata adalah yang bijaksana dan mengalahkan para penganut pandangan salah (pembantah),” dan dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________


Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Bodhisatta terlahir di Benares dalam Kerajaan Kasi, di keluarga seorang brahmana yang kaya raya, yang memiliki kekayaan sebesar delapan ratus juta, dan mereka memberinya nama Bodhi.


Ketika dewasa, ia diajari semua cabang ilmu pengetahuan di Takkasilā, dan sekembalinya ke rumah, ia hidup dalam lingkungan kehidupan rumah tangga. Seiring berjalannya waktu, dengan tujuan untuk melenyapkan kesenangan indriawi yang buruk, ia pergi ke daerah pegunungan Himalaya [228] dan menjalani kehidupan suci dari seorang petapa pengembara, tinggal di sana untuk waktu yang lama, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan (yang tumbuh liar).


Pada musim hujan, ia turun gunung dan dengan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, akhirnya ia tiba di Benares. Di sana ia mengambil tempat tinggalnya di dalam taman kerajaan. Keesokan harinya, sewaktu berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, dengan penampilannya sebagai seorang petapa pengembara, ia menghampiri gerbang istana. Raja yang sedang berdiri dekat jendela melihat dirinya, dan karena merasa senang dengan kelakuannya yang tenang, raja mempersilakan ia masuk ke dalam istananya dan duduk di dipan raja.


Setelah perbincangan kecil yang ramah, raja mendengarkan pemaparan kebenaran dan kemudian mempersembahkan kepadanya berbagai jenis makanan lezat. Sang Mahasatwa menerima makanan tersebut dan berpikir, “Sesungguhnya istana raja ini penuh dengan kebencian dan terdapat musuh yang berlimpah ruah. Saya bertanya-tanya siapa gerangan yang akan menghilangkan rasa takut yang muncul dalam pikiranku?”


Dan sewaktu melihat seekor anjing pemburu yang berwarna kuning kecoklatan, hewan kesayangan raja, yang berdiri di dekatnya, ia mengambil segenggam makanan dan membuat gerakan yang menunjukkan ia ingin untuk memberikannya kepada anjing itu. Raja yang menyadari ini meminta pengawal untuk membawakan piring anjing itu dan memintanya untuk mengambil makanan itu kemudian memberikannya kepada anjing tersebut. Demikian Sang Mahasatwa memberikannya dan kemudian selesai bersantap.


Setelah mendapatkan persetujuan darinya atas satu perencanaan, raja meminta anak buahnya untuk membangun sebuah gubuk daun untuknya di taman kerajaan di dalam kota, dan raja memintanya untuk tinggal di sana setelah memberikan kepadanya semua barang perlengkapan petapa. Dua atau tiga kali setiap harinya, raja datang untuk memberikan penghormatan kepadanya. Dan pada saat makan, Sang Mahasatwa tetap duduk di dipan raja dan saling berbagi makanan. Dengan keadaan demikian, dua belas tahun berlalu.


Ketika itu, raja memiliki lima orang penasihat yang memberinya nasihat dalam masalah pemerintahan dan spiritual. Salah satu dari mereka membantah adanya akar penyebab (ahetukavāda). Yang kedua percaya bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi (issarakatavāda). Yang ketiga percaya dalam perbuatan telah terjadi sebelumnya (pubbekatavāda). Yang keempat percaya dalam pemusnahan setelah kematian (ucchedavāda). Yang kelima percaya dalam doktrin Kesatria (khattavijjavāda).


Ia yang membantah adanya akar penyebab, mengajarkan orang-orang bahwa makhluk di dunia ini menjadi suci/bersih kembali oleh kelahiran kembali. Ia yang percaya dalam segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk mahatinggi, mengajarkan bahwa dunia ini diciptakan oleh dirinya. Ia yang percaya dalam perbuatan masa lampau mengajarkan bahwa penderitaan atau kebahagiaan yang terjadi pada diri manusia di dunia ini adalah hasil dari perbuatan masa lampau. Yang percaya dalam pemusnahan setelah kematian mengajarkan bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir kembali di alam manapun, melainkan kehidupan di dunia ini mengalami pemusnahan. Ia yang percaya dalam doktrin Kesatria mengajarkan bahwa keinginan seseorang harus dipenuhi meskipun harus dengan membunuh orang tuanya.


Orang-orang ini ditunjuk untuk menduduki jabatan di pengadilan kerajaan, [229] dan dikarenakan keserakahan akan uang suap, mereka merampas harta benda milik orang yang sah. Suatu hari ada seorang laki-laki, yang disalahkan dalam tindakan yang tidak benar dalam hukum, melihat Sang Mahasatwa masuk ke dalam istana untuk berpindapata, ia memberi hormat kepadanya dan memberitahukan penderitaannya dengan berkata, “Bhante, mengapa Anda, yang mengambil makananmu di dalam istana raja, menanggapi dengan ketidakpedulian atas tindakan dari para pejabat pengadilan yang dengan menerima uang suap menghancurkan kehidupan orang-orang? Baru saja kelima penasihat raja ini, setelah menerima suap dari seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tidak benar, telah merampas harta benda milikku.”


Maka Sang Mahasatwa, yang tergerak oleh rasa belas kasihan terhadap dirinya, pergi ke pengadilan dan dengan memberikan keputusan yang benar mengembalikan harta benda miliknya seperti sediakala. Orang-orang serempak bertepuk tangan dengan meriah atas tindakannya tersebut. Raja yang mendengar suara ribut itu menanyakan apa maksudnya itu, dan ketika diberitahukan jawabannya, ketika Sang Mahasatwa telah selesai bersantap, raja mengambil tempat duduk di sampingnya dan bertanya, “Apakah benar, Bhante, seperti yang mereka katakan, bahwasannya Anda telah memutuskan suatu perkara di pengadilan?” “Benar, Paduka.” Raja berkata, “Akan menjadi suatu keuntungan bagi banyak orang jika Anda yang memutuskan perkara. Mulai saat ini, Anda harus menduduki jabatan di pengadilan.” “Paduka,” jawabnya, “Kami adalah para petapa. Ini bukanlah urusan kami.” “Bhante, Anda harus melakukannya atas dasar rasa belas kasihan terhadap orang-orang. Anda tidak perlu menjadi hakim sepanjang hari, tetapi ketika Anda datang ke sini dari taman, pergilah sewaktu fajar pagi ke pengadilan dan adili empat perkara, kemudian kembali ke taman dan setelah selesai bersantap, adili empat perkara lagi; Dengan cara ini orang-orang akan memperoleh keuntungan.” Setelah secara berulang-ulang diminta kesediaannya, ia pun menyetujuinya dan sejak saat itu ia bertindak dengan benar.


Mereka yang melakukan perbuatan yang tidak benar, tidak menemukan peluang lebih lanjut lagi, dan para penasihat yang tidak lagi mendapatkan uang suap berada dalam keadaan yang buruk dan berpikir, “Sejak si Petapa Pengembara Bodhi ini menduduki jabatan di pengadilan, kita tidak mendapatkan apa pun sama sekali.” Dan dengan menyebutnya sebagai musuh raja, mereka berkata, “Ayo, mari kita rusak nama baiknya di hadapan raja dan menyebabkan kematiannya.” Maka dengan menghampiri raja, mereka berkata, “Paduka, Petapa Pengembara Bodhi ingin mencelakaimu.” Raja tidak memercayai mereka dan berkata, “Tidak, ia adalah seorang yang baik dan terpelajar. Ia tidak akan melakukan hal yang demikian.” “Paduka,” mereka membalas, “semua penduduk menjadi pengikutnya. [230] Tinggal kami berlima yang tidak dapat ia kendalikan. Jika Anda tidak memercayai kami, di saat ia datang nanti, perhatikanlah pengikutnya.” Raja setuju untuk melakukan demikian, dan dengan berdiri di jendelanya, raja mengawasi kedatangannya dan ketika melihat kerumunan penuntut yang mengikuti Bodhi tanpa sepengetahuannya, raja berpikir bahwa mereka itu adalah rombongannya, dan dengan memiliki prasangka buruk terhadap dirinya, raja memanggil para penasihatnya dan bertanya, “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” “Tangkap ia, Paduka,” kata mereka. “Jika kita tidak melihat pelanggaran buruk yang dilakukannya,” kata raja, “Bagaimana kita dapat menahan dirinya?” “Baiklah kalau begitu, kurangi kehormatan yang biasa diberikan kepadanya, dan ketika melihat kurangnya kehormatan ini, dikarenakan menjadi seorang petapa yang bijaksana, ia akan pergi dengan sendirinya tanpa berkata apa pun kepada siapa pun.” Raja setuju dengan saran ini dan secara berangsur-angsur mengurangi kehormatan yang diberikan kepadanya.


Pada hari pertama, mereka memberikannya dipan tanpa alas. Ia memperhatikannya dan segera mengetahui bahwa ia telah difitnah terhadap raja, dan sekembalinya ke taman, ia berpikir untuk pergi pada hari itu juga, tetapi kemudian ia berpikir, “Di saat saya mengetahui kepastian ini, baru saya akan pergi,” dan ia pun tidak jadi pergi. Maka keesokan harinya ketika ia duduk di dipan tanpa alas, mereka datang dengan membawa makanan (yang disiapkan) untuk raja dan makanan yang lainnya juga, dan memberikan kepadanya campuran dari kedua jenis makanan tersebut. Pada hari ketiga mereka tidak membolehkannya mendekati dipan, tetapi menempatkan dirinya di ujung tangga dan mempersembahkan kepadanya makanan campuran tersebut. Ia mengambilnya dan pulang kembali ke taman untuk menyantap makanannya di sana. Pada hari keempat, mereka menempatkan dirinya di bawah, teras, dan memberikan kepadanya bubur yang tercampur dengan sekam, dan ini juga dibawanya ke taman dan membuat makanannya di sana.


Raja berkata, “Walaupun kehormatan yang diberikan kepadanya telah dikurangi, tetapi Petapa Bodhi tidak juga pergi. Apa yang harus kita lakukan?” “Paduka,” kata mereka, “Ia datang ke sini bukanlah untuk mendapatkan derma makanan, tetapi untuk mendapatkan kekuasaan. Jika ia memang datang hanya untuk memperoleh derma makanan, ia pasti sudah pergi pada hari di saat ia tidak dihormati.” “Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?” “Perintahkanlah kami untuk membunuhnya, Paduka.” Raja berkata, “Baiklah,” dan dengan menempatkan pedang di tangan orang-orang itu raja berkata, “Besok, di saat ia datang dan berdiri di pintu, penggal kepalanya dan hancurkan ia berkeping-keping, dan tanpa mengatakan apa pun kepada siapa pun buanglah jasadnya di tempat tumpukan kotoran, kemudian mandilah dan kembali ke sini.” Mereka langsung menyetujuinya dan berkata, “Besok kami akan datang dan melakukan demikian,” [231] dan setelah menyusun semua hal satu sama lain, mereka kembali ke rumah masing-masing.


Raja juga setelah menyantap makan malam, berbaring di tempat tidur kerajaan dan teringat akan kebajikan dari Sang Mahasatwa. Segera kesedihan melandanya dan keringat bercucuran keluar dari tubuhnya, dan karena tidak mendapatkan kenyamanan di tempat tidurnya, ia berbaring ke sana dan ke sini dari satu sisi ke sisi yang lain.


Kala itu, permaisuri tidur di sampingnya, tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun kepadanya. Maka permaisuri bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa, Paduka, Anda tidak berbicara sepatah kata pun kepadaku? Apakah saya telah berbuat kesalahan kepadamu secara tidak disengaja?” “Tidak, Ratu,” katanya, “tetapi mereka mengatakan kepadaku bahwa si Petapa Bodhi telah menjadi seorang musuh kita. Saya telah memerintahkan lima penasihatku untuk membunuhnya besok. Setelah membunuhnya, mereka akan memotongnya menjadi hancur berkeping-keping dan membuangnya di tempat tumpukan kotoran. Tetapi selama dua belas tahun ia telah mengajarkan kepada kita tentang banyak kebenaran. Tidak ada satu kesalahan pun dalam dirinya yang benar-benar saya lihat dengan jelas sebelumnya, melainkan karena omongan dari orang lain saya telah menurunkan perintah untuk membunuhnya, dan inilah alasan mengapa saya bersedih.”


Kemudian ratu menghibur dirinya dengan berkata, “Paduka, jika ia adalah musuhmu, mengapa Anda bersedih untuk membunuhnya? Keselamatanmu harus dijaga, meskipun musuh yang Anda harus bunuh itu adalah putramu sendiri. Jangan terlalu memikirkannya.” Raja menjadi yakin kembali dengan perkataan ratu dan kemudian tidur.


Pada waktu itu, anjing pemburu yang berwarna kuning kecoklatan tersebut mendengar pembicaraan mereka dan berpikir, “Besok dengan kekuatan diriku sendiri, saya harus menyelamatkan nyawa orang ini.” Maka pagi-pagi keesokan harinya, anjing itu turun dari teras, menuju ke pintu utama dan berbaring dengan kepalanya di ambang pintu sambil memperhatikan jalan yang akan dilalui oleh Sang Mahasatwa. Sedangkan para penasihat, dengan pedang di tangan mereka, datang pada pagi-pagi sekali dan mengambil posisi di balik pintu itu. Dan Bodhi yang datang tepat waktu dari taman mendekat ke arah pintu istana tersebut. Kemudian anjing pemburu itu yang melihat dirinya, membuka mulutnya dan menunjukkan empat gigi besarnya dan berpikir, “Mengapa, Bhante, Anda tidak berkeliling untuk mencari derma makanan di tempat yang lain di India? Raja kami telah menempatkan lima penasihat yang dipersenjatai dengan pedang di balik pintu ini untuk membunuhmu. Janganlah datang untuk menerima kematian sebagai nasibmu, tetapi cepat pergilah,” dan ia menyalak dengan keras.


Dari pengetahuannya atas arti dari semua jenis suara, Bodhi mengerti akan permasalahannya dan kembali ke taman [232] dan mengambil semua yang diperlukan untuk perjalanannya. Raja yang berdiri di jendelanya, ketika ia mengetahui Bodhi tidak datang, berpikir, “Jika orang ini adalah musuhku, ia akan kembali ke taman dan mengumpulkan semua kekuatan pasukannya dan akan bersiap untuk bertempur. Tetapi jika sebaliknya, ia pasti akan mengambil semua yang ia perlukan dan bersiap untuk pergi. Saya akan mencari tahu apa yang ia kerjakan.” Dan setelah pergi ke taman, raja menemukan Sang Mahasatwa keluar dari gubuk daunnya dan dengan semua barang perlengkapannya di ujung beranda, bersiap untuk pergi, dan setelah memberi hormat, raja berdiri di satu sisi dan mengucapkan bait pertama berikut:


Apa arti dari benda-benda ini,
tongkat, jubah kulit (antelop), payung, sandal,
galah, patta, dan jubah luar (sangghati)?
Saya ingin untuk dapat mengerti mengapa
dengan tergesa-gesa Anda akan pergi dan ke mana.


Ketika mendengar ini, Sang Mahasatwa berpikir, “Saya rasa ia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya. Saya akan membuatnya mengerti.” Dan ia mengucapkan dua bait kalimat berikutnya:


Selama dua belas tahun yang panjang ini
saya telah tinggal, wahai raja, di dalam taman kerajaanmu;
Tidak pernah sekalipun sebelumnya
anjing pemburu ini menyalak.


Hari ini ia menunjukkan giginya yang begitu putih,
bersifat menantang dan angkuh, dan karena telah mendengar
apa yang Anda bicarakan dengan ratu,
untuk memperingatkan diriku, ia menyalak dengan keras.

Kemudian raja mengakui kesalahannya, dan meminta maaf, mengucapkan bait keempat berikut:


[233] Saya telah melakukan perbuatan buruk:
Tujuanku adalah untuk membunuhmu.
Tetapi sekarang saya memohon kepadamu sekali lagi,
dan ingin sekali untuk memintamu tetap tinggal di sini.

Mendengar ini, Sang Mahasatwa berkata, “Sebenarnya, Paduka, orang bijak tidak tinggal dengan seseorang yang tanpa melihat sesuatu dengan matanya sendiri langsung memercayai omongan orang lainnya,” dan setelah berkata demikian, ia memaparkan perbuatan buruknya dan berkata demikian:


Mulanya makananku berwarna putih bersih,
berikutnya beraneka ragam warna, kemudian berwarna merah;
Sudah seharusnya lah saya pergi di saat seperti ini.


Mulanya di dipan (atas), berikutnya di tangga (tengah), kemudian di teras (bawah);
Sebelum saya diseret keluar dengan ditarik pada bagian leher
dan dipenggal, saya akan mengundurkan diri.


Jangan berteman dengan seorang yang tak setia:
ia itu seperti sebuah sumur kering; Betapa dalamnya pun seseorang menggali,
air yang dikeluarkannya tetap kotor (berlumpur).


Bersahabatlah dengan teman yang setia, jauhilah teman
yang tak setia; seperti orang kehausan yang bergegas ke sebuah kolam,
demikianlah seharusnya kita mengejar seorang teman yang setia.


Eratlah dengan teman yang setia padamu,
balaslah cinta kasihnya dengan cinta kasih juga;
Orang yang meninggalkan seorang teman setia
adalah orang yang menyedihkan.


Barang siapa yang tidak bersahabat erat dengan seorang teman setia,
juga tidak membalas cinta kasihnya dengan cinta kasih,
maka ia adalah orang yang paling buruk,
bahkan tidak berada di atas peringkat dari bangsa kera.


Terlalu sering berjumpa sama buruknya
dengan sama sekali tidak pernah berjumpa;
Meminta hadiah kecil terlalu awal—ini juga
dapat menyebabkan hilangnya cinta kasih.


Kunjungilah teman, tetapi jangan terlalu sering,
jangan pula tinggal terlalu lama;
Pada waktu tepat meminta hadiah:
demikian cinta kasih tidak akan hilang.


Barang siapa yang tinggal terlalu lama (bersama teman)
sering kali mendapatkan kawan berubah menjadi lawan;
Demikianlah sebelumnya saya kehilangan persahabatanmu,
saya akan berangkat dan pergi.
[234] Raja berkata:


Meskipun dengan tangan terlipat (sikap anjali) saya memohon,
Anda tidak akan mendengarkanku, Anda tidak mempunyai kata-kata lagi
bagi kami yang menghargai jasamu,
Saya memohon satu hal, datanglah lagi dan berkunjung ke sini.
Bodhisatta berkata:


Jika tidak ada yang mengambil kehidupan kita, wahai raja,
jika saya dan Anda masih hidup, wahai pemimpin kerajaan,
mungkin saya akan datang ke sini, dan kita dapat berjumpa kembali,
seperti siang dan malam yang datang silih berganti.

[235] Demikianlah Sang Mahasatwa mengkhotbahkan kebenaran kepada raja, ditambah dengan berkata, “Waspadalah (jangan lengah), Paduka.” Setelah meninggalkan taman dan berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, ia pun meninggalkan Benares dan secara berangsur-angsur akhirnya tiba di suatu tempat di daerah Himalaya.


Setelah tinggal beberapa lama di sana, ia turun gunung dan berdiam di dalam hutan dekat suatu desa perbatasan. Segera setelah ia pergi, para penasihat tersebut kembali menduduki pengadilan, merampas penduduk, dan mereka berpikir, “Jika Petapa Pengembara Mahābodhi (Mahabodhi) datang kembali, kita akan kehilangan mata pencaharian kita. Apa yang harus dilakukan untuk mencegah kedatangannya kembali?” Kemudian ini muncul di dalam pikiran mereka, “Orang-orang demikian ini tidak bisa meninggalkan benda yang memikat hatinya. Apa kira-kira yang mungkin menjadi benda itu di sini yang dapat memikat hatinya?”


Kemudian dengan merasa yakin bahwa benda itu adalah permaisuri raja, mereka berpikir, “Ini adalah alasannya mengapa ia akan datang kembali ke sini. Kita akan mendahului mereka dan membunuh ratu.” Dan mereka mengatakan ini kepada raja, dengan berkata, “Paduka, hari ini ada satu berita hangat yang tersebar di kota.” “Berita apa?” katanya. “Petapa Pengembara Mahabodhi dan permaisuri saling mengirim pesan.” “Atas masalah apa?” “Pesan darinya kepada ratu, dikatakan, adalah ini, ‘Apakah Anda mampu membunuh raja dengan kekuatanmu sendiri dan memberikan payung putih kepadaku?’ Pesan dari permaisuri kepadanya adalah, ‘Serahkanlah tugas kematian raja padaku. Anda cepat datang ke sini.’ ” Mereka secara terus-menerus mengulangi ini sampai raja memercayainya dan bertanya, “Kalau begitu apa yang harus dilakukan?” Mereka menjawab, “Kita harus membunuh permaisuri.” Dan tanpa menyelidiki kebenaran masalahnya, raja berkata, “Baiklah kalau begitu, bunuh permaisuri. Setelah memotong tubuhnya menjadi hancur berkeping-keping, buanglah di tempat tumpukan kotoran.” Mereka pun melakukan demikian, dan berita kematian ratu tersebar luas di seluruh kota.


Kemudian keempat putra ratu berkata, “Meskipun tidak bersalah, tetapi ibu kita dibunuh oleh orang ini,” mereka pun menjadi musuh raja. Dan raja menjadi amat cemas. Seiring berjalannya waktu, Sang Mahasatwa mendengar apa yang telah terjadi dan berpikir, “Selain diriku, tidak ada orang lain yang dapat menenangkan pangeran-pangeran ini dan membujuk mereka untuk memaafkan ayah mereka. Saya akan menyelamatkan nyawa raja dan membebaskan pangeran-pangeran muda ini dari niat mereka melakukan perbuatan buruk.”


Maka pada keesokan harinya, ia masuk ke sebuah desa perbatasan dan setelah memakan daging kera yang diberikan kepadanya oleh para penduduk desa tesebut, [236] ia meminta kulit kera tersebut yang kemudian dikeringkan di dalam gubuknya sampai hilang bau-nya dan dijadikan sebagai satu jubah dalam dan satu jubah luar yang disampirkan pada bahunya. Mengapa ia melakukan hal demikian? Ia berkata, “Ini sangatlah berguna bagiku.”


Dengan membawa kulit itu bersamanya, secara berangsur-angsur ia menuju ke Benares dan setelah menghampiri para pangeran muda tersebut, ia berkata kepada mereka, “Membunuh ayah (kandung) adalah suatu pelanggaran berat. Kalian tidak boleh melakukan ini. Tidak ada manusia yang terbebas dari usia tua dan kematian. Saya datang ke sini untuk mendamaikan kalian. Di saat saya mengirim pesan nanti, kalian harus datang kepadaku.” Setelah demikian menasihati para pangeran muda itu, ia masuk ke taman kerajaan dan duduk pada satu papan batu, dengan terlebih dahulu membentangkan kulit kera tersebut di atasnya.


Ketika penjaga taman melihatnya, ia bergegas pergi untuk memberitahu raja. Mendengar ini, raja diliputi oleh kegembiraan dan dengan membawa serta para penasihat tersebut bersamanya, ia pergi memberi hormat kepada Sang Mahasatwa dan setelah duduk, ia mulai untuk berbincang dengan bahagianya kepadanya. Tanpa membalas salam yang diberikan kepadanya, Sang Mahasatwa hanya mengelus-elus kulit kera tersebut.


Raja berkata, “Bhante, tanpa mengucapkan sepatah kata, Anda cuma mengelus kulit kera itu. Apakah ini lebih berharga bagimu dibandingkan diriku?” “Ya, Paduka, kera ini memberikan pelayanan terbesar kepada diriku. Saya bepergian dengan duduk pada punggungnya. Ia membawakan kendi airku. Ia membersihkan tempat tinggalku. Ia melakukan berbagai pekerjaan kecil untukku. Dikarenakan kepolosannya, saya (dapat) memakan dagingnya dan setelah mengeringkan kulitnya, saya membentangkannya dan duduk serta berbaring di atasnya. Jadi ia sangatlah berguna bagiku.”


Demikianlah untuk membantah ajaran (pandangan) para penganut pandangan salah itu, ia mempersalahkan perbuatan seekor kera sehingga menjadi kulit kera, dan ia berbicara dengan objek ini seolah-olah seperti ia sendiri yang melakukannya. Dikarenakan perbuatannya yang mengenakan kulit kera itu, ia berkata, “Saya bepergian dengan duduk pada punggung kera ini.” Dikarenakan perbuatannya yang menyampirkan kulit kera itu pada bahunya dan dengan cara demikian membawa kendi airnya, ia berkata, “Kera ini membawakan kendi airku.” Dikarenakan ia membersihkan lantai dengan kulit kera itu, ia berkata, “Kera ini membersihkan tempat tinggalku.” Karena punggungnya tersentuh oleh kulit kera itu di saat ia berbaring, dan karena kulit kera itu menyentuh kakinya di saat ia berdiri, ia berkata, “Kera ini melakukan berbagai pekerjaan kecil ini untukku.” Dikarenakan ia memakan daging kera itu di saat ia merasa lapar, ia berkata, [237] “Karena ia adalah satu makhluk yang demikian polos, maka saya memakan dagingnya.”


Ketika mendengar hal ini, para penasihat tersebut berpikir, “Orang ini melakukan pembunuhan. Coba pikirkan perbuatan dari pabbajita ini: ia mengatakan ia membunuh seekor kera, memakan dagingnya dan pergi ke sana dan ke sini dengan kulitnya,” dan sambil bertepuk tangan, mereka mengolok-olok dirinya. Ketika melihat mereka melakukan ini, Sang Mahasatwa berkata, “Orang-orang ini tidak tahu bahwa saya datang dengan kulit kera ini untuk membuktikan kesalahan pandangan mereka. Saya tidak akan memberitahu mereka.” Dan untuk menyapa ia yang membantah adanya akar penyebab, pabbajita itu berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan saya?” “Karena Anda telah bersalah atas suatu tindakan pengkhianatan terhadap seorang teman, dan atas pembunuhan.”


Kemudian Sang Mahasatwa berkata, “Jika seseorang percaya kepadamu dan ajaranmu, kemudian bertindak sesuai dengan itu, perbuatan buruk apa yang telah dilakukannya?” Dan untuk membuktikan kesalahan ajarannya, ia berkata:


Jika ini adalah ajaranmu, ‘Semua perbuatan manusia,
yang baik maupun yang buruk, muncul secara alamiah,’
Di manakah perbuatan buruk dapat menemukan tempatnya
dalam hal perbuatan yang buruk?


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.

[238] Demikianlah Sang Mahasatwa mengecamnya dan membuatnya membisu. Raja, yang menjadi galau atas kecaman di hadapan banyak orang, jatuh tidak berdaya dan terduduk. Setelah membuktikan kesalahan pandangan yang pertama, Sang Mahasatwa menyapa ia yang percaya bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi, dan berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan diriku jika Anda benar-benar berpegangan pada pandangan yang mengatakan bahwa segala hal adalah atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi?” Dan ia mengucapkan bait berikut:


Jika benar ada seorang makhluk kuat yang mahakuasa
untuk memberikan, dalam kehidupan semua makhluk,
kebahagiaan atau penderitaan, dan perbuatan baik atau buruk,
maka Tuan itu telah ternoda oleh perbuatan buruk;
Manusia hanya berbuat atas (sesuai dengan) keinginannya.


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.
Demikianlah, seperti seseorang yang menyodok jatuh buah mangga dengan batang kayu yang diambil dari pohon mangga itu sendiri, ia membuktikan kesalahan pandangan orang tersebut, yang percaya dalam segala hal adalah atas keinginan suatu makhluk mahatinggi, dengan ajaran dari orang itu sendiri. Dan kemudian ia demikian menyapa orang yang percaya dalam hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, dengan berkata, “Āvuso, mengapa Anda menyalahkan diriku jika Anda percaya dalam kebenaran dari ajaran bahwa semuanya telah terjadi sebelumnya?” Dan ia mengucapkan bait berikut:


Hal-hal yang telah terjadi sebelumnya
menimbulkan kebahagiaan dan penderitaan;
Kera ini membayar utangnya, untuk melunasi perbuatan buruk terdahulunya:
Setiap perbuatan melunasi utangnya.
Kalau begitu, dari mana kesalahan itu datang?


[239] Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.

Setelah demikian membuktikan kesalahan pandangan dari orang tersebut, kemudian ia beralih kepada orang yang percaya dalam pemusnahan118 dan berkata, “Āvuso, Anda menganut pandangan bahwa tidak ada ganjaran dan sebagainya, dengan percaya bahwa semua makhluk hidup mengalami pemusnahan di kehidupan ini, dan bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir kembali di kehidupan berikutnya. Kalau begitu, mengapa Anda menyalahkan diriku?” Dan untuk mengecamnya, ia berkata:


Makhluk hidup terdiri atas empat unsur;
Setiap bagian dari elemen ini akan lenyap
di saat badan jasmani hancur terurai.
Orang yang meninggal tidak akan terlahir lagi
dan orang yang hidup masih menjalankan kehidupannya;


Jika dunia ini (kehidupan ini) hancur, baik orang-orang bijak
maupun orang-orang dungu akan musnah:
Di tengah-tengah kehidupan yang akan hancur ini (tidak ada kehidupan berikutnya),
noda kesalahan dari perbuatan buruk tak akan mengotori apa pun.


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.

[240] Demikianlah ia membuktikan kesalahan pandangan dari orang ini juga, dan kemudian untuk menyapa orang yang percaya dalam doktrin Kesatria, ia berkata, “Āvuso, Anda mengajarkan bahwa seseorang harus dapat memenuhi keinginannya sendiri, bahkan meskipun ia harus membunuh ayah dan ibunya sendiri. Jika Anda mengajarkan pandangan ini, mengapa Anda menyalahkan diriku?” Dan ia mengucapkan syair berikut:


Para penganut doktrin kesatria, orang dungu yang merasa dirinya cendekia,
mengatakan seseorang boleh saja membunuh kedua orang tuanya,
atau saudara-saudaranya, anak, istri, jika hal itu memang diperlukan.


Demikianlah ia menentang pandangan dari orang ini juga,
dan memaklumkan pandangannya, ia melanjutkan berkata:
‘Di bawah satu pohon rindang seseorang duduk berteduh dan beristirahat;
Adalah merupakan suatu tindak pengkhianatan bila ia mematahkan satu cabangnya.
Kita tidak menyukai teman yang tidak setia.


Tetapi kemudian ketika keadaan lain muncul,
pohon itu dicabut (ditebang sampai ke akarnya).’
Kera tersebut juga mati disembelih,
untuk memenuhi kebutuhanku.


Jika demikian ini yang Anda anut dan ini benar,
maka perbuatanku juga tidak salah di saat saya membunuh kera itu.
Jika Anda dapat melihat betapa salahnya pandanganmu,
Anda tidak akan lagi menyalahkan perbuatanku dengan alasan itu.
[241] Demikianlah ia membuktikan kesalahan pandangan dari orang ini juga, dan di saat kelima penganut pandangan salah ini tercengang bingung119 dan duduk membisu, untuk menyapa sang raja, ia berkata, “Paduka, orang-orang ini yang selalu bersamamu adalah pencuri besar yang menjarah kerajaanmu.


Oh, Anda adalah orang dungu, orang yang bergaul dengan orang-orang yang seperti ini baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan berikutnya akan memperoleh penderitaan yang besar,” dan setelah berkata demikian, ia memaparkan kebenaran kepada raja dan berkata:


Orang yang ini menganut tidak ada akar penyebab,
yang lain menganut adanya makhluk mahatinggi,
yang lainnya menganut hal-hal yang telah terjadi sebelumnya,
berikutnya menganut semuanya akan musnah dalam satu kehidupan ini,
yang terakhir menganut doktrin Kesatria.


Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;
Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan perbuatan buruk
terhadap diri sendiri dan orang lain, pandangan salah
menyebabkan penderitaan dan hukuman berat.
Kemudian dengan perumpamaan, untuk menambah uraian kebenarannya, ia berkata:


Seekor serigala menyamar sebagai domba jantan di masa lampau,
mendekati kawanan domba tanpa dicurigai.
Kawanan domba yang menjadi panik dibunuhnya,
kemudian berlari cepat ke padang rumput yang baru.


Demikian juga para petapa dan brahmana
yang sering menggunakan pakaian (penampilannya)
untuk mengelabui orang-orang yang mudah percaya.
Sebagian berbaring tanpa alas di tanah yang kotor,
sebagian berpantang makan, sebagian lagi menahan sakit lainnya.


[242] Sebagian tidak minum, sebagian makan dengan peraturan,
masing-masing bersikap seperti orang suci, orang dungu yang kejam itu.
Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;


Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan perbuatan buruk
terhadap diri sendiri dan orang lain, pandangan salah
menyebabkan penderitaan dan hukuman berat.


Ia yang mengatakan, ‘Tidak ada yang muncul dalam hal apa pun,’
membantah adanya akar penyebab, menganggap perbuatan mereka sendiri
dan orang lain sebagai hal yang tidak ada hasilnya, wahai raja,
Orang-orang demikian ini adalah orang-orang dungu
yang berpikir bahwa mereka itu cendekia;


Mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan perbuatan buruk
terhadap diri sendiri dan orang lain, pandangan salah
menyebabkan penderitaan dan hukuman berat.


Jika tidak ada yang muncul dalam hal (perbuatan) apa pun,
yang baik atau yang buruk, mengapa seorang raja harus mempekerjakan
para tukang untuk mendapatkan keuntungan dari keahlian mereka?


Dikarenakan ada yang muncul dan perbuatan itu ada yang baik
dan yang buruk, maka raja mempekerjakan para tukang
dan mendapatkan keuntungan dari keahlian mereka.


Jika selama ratusan tahun tidak ada hujan atau salju yang turun,
maka kita, di tengah satu kehidupan yang akan hancur, akan musnah selamanya.
Tetapi karena adanya hujan dan salju yang turun,
memastikan tahun yang terus berganti, sehingga hasil panen dan tanah
bertahan untuk waktu yang lama dan panjang.

Sapi yang mengambil jalan berliku-liku di dalam banjir, dan seterusnya120.


Barang siapa yang memetik buah sebelum buah itu matang di pohon,
akan membuat benihnya hancur dan tidak akan pernah tahu
bagaimana manisnya buah tersebut.


[243] Demikianlah ia, yang dengan menggunakan aturan yang tidak benar,
telah menghancurkan buah-buah manis yang muncul dari kebenaran
yang tidak pernah dinikmati sekalipun.


Tetapi barang siapa yang membiarkan buah itu matang di pohonnya
sebelum dipetik, akan melindungi benihnya dan mengetahui dengan amat baik
bagaimana manisnya buah tersebut.


Demikian juga ia, yang dengan menggunakan aturan yang benar,
telah melindungi kerajaannya, dapat memahami dengan benar
bagaimana manisnya buah dari kebenaran.


Raja yang memerintah kerajaannya dengan tidak benar
tidak akan memiliki dan menderita kerugian pada tanaman dan herba,
atau apa pun yang tanah (kerajaan) itu hasilkan.


Demikianlah jika ia menghancurkan rakyatnya dengan merampas,
maka satu sumber pendapatan yang tidak benar
akan menyebabkan keuangannya habis.


Dan jika ia menyalahkan pasukannya yang gagah berani,
yang demikian ahli dalam pertempuran, maka pasukannya akan berpaling darinya
dan menggulingkan kekuasaannya.


Demikianlah jika melukai resi atau orang-orang yang menapaki kehidupan suci,
maka ia akan mendapatkan ganjaran yang sesuai:
Dan dikarenakan perbuatan buruknya itu, ia akan terhalang untuk masuk ke alam surga,
betapa pun tingginya status kelahiran dirinya.


Dan jika seorang istri, meskipun tidak bersalah, dibunuh oleh raja yang kejam,
maka ia akan menimbulkan penderitaan bagi anak-anaknya
dan tersiksa kesakitan di alam neraka.


Berikanlah perlakuan benar kepada penduduk kota dan desa,
dan perlakukan para pasukanmu dengan baik, bersikaplah yang baik
kepada anak dan istri, dan janganlah melukai para resi (petapa suci).


Seorang pemimpin kerajaan yang demikian ini, wahai raja,
jika bebas dari semua nafsu keinginan, seperti Dewa Indra,
pemimpin para asura, akan memerangi keburukan di mana saja.
[245] Setelah demikian memaparkan kebenaran kepada raja, Sang Mahasatwa memanggil keempat pangeran muda tersebut dan menasihati mereka, dengan menjelaskan perbuatan raja kepada mereka, dan berkata, “Minta maaflah kepada raja,” dan setelah membujuk raja untuk memaafkan mereka, ia berkata, “Paduka, mulai saat ini, jangan menerima pernyataan dari para penghasut tanpa menyelidiki perkataan mereka, dan jangan melakukan kesalahan atas perbuatan buruk yang sama lagi. Dan kepada kalian, Para Pangeran Muda, jangan melakukan tindak pengkhianatan terhadap raja,” dan demikianlah ia menasihati mereka semuanya.


Kemudian raja berkata kepadanya, “Bhante, dikarenakan orang-orang ini saya telah melakukan perbuatan buruk terhadap Anda dan permaisuri, dan karena menerima hasutan mereka, saya melakukan perbuatan buruk ini. [246] Saya akan membunuh mereka berlima.” “Paduka, Anda tidak boleh melakukan ini.” “Kalau begitu, saya akan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangan mereka.” “Anda juga tidak boleh melakukan ini.” Raja menyetujuinya dengan berkata, “Baiklah,” dan ia mengambil semua harta benda mereka dan membuat mereka malu dengan cara yang beraneka ragam, dengan membuat rambut mereka menjadi berkucir lima121, dengan mengikat mereka menggunakan belenggu dan rantai, dan dengan menyiramkan kotoran sapi pada mereka, ia mengusir mereka keluar dari kerajaannya.


Setelah tinggal selama beberapa hari di sana, memberikan wejangan kepada raja, dengan memintanya untuk tetap waspada, Bodhisatta berangkat ke pegunungan Himalaya dan mengembangkan kesaktian yang timbul dari meditasi jhana, dan hidup dengan mengembangkan kediaman luhur (brahmavihāra), ia pun menjadi penghuni alam brahma.
____________________


Sang Guru mengakhiri uraian-Nya di sini dan setelah berkata, “Bukan hanya kali ini, Para Bhikkhu, tetapi juga di masa lampau, Tathāgata adalah yang bijaksana dan mengalahkan para pembantah,” demikian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, kelima penganut pandangan salah itu122 adalah Purāṇa Kassapa, Makkhali Gosāla, Pakudha Kaccāna, Ajita Kesakambalī, Nigaṇṭha Nāthaputta, anjing kuning kecoklatan itu adalah Ānanda, dan Petapa Pengembara Mahabodhi (Mahābodhi) adalah saya sendiri.


____________________


Catatan kaki :


117 Bandingkan Jātaka-Mālā, XXIII. Cerita Mahābodhi, dan Digha Nikāya, II. Sāmañña-Phala (Dialogues of the Buddha diterjemahkan oleh R. Davids, hal. 65).


118 ucchedavāda. Bandingkan Vinaya Texts, ii. 111, Dhamma Saṅgaṇi, hal. 268 dari terjemahan, dan Buddhist Suttas, hal. 149 (S.B.E. XI) dan Kathā Vatthu, Pakaraṇa Aṭṭakathā, hal. 6 (P.T.S.J. 1889).


119 nippaṭibhāna, bandingkan appaṭibhāna, Cullavagga, IV. 4. 8.


120 Syair-syair ini muncul di dalam Jātaka Vol. III, hal. 74 (versi bahasa Inggris) dan Jātaka Vol. IV. hal. 1113 (versi bahasa Inggris), sudah ada di halaman sebelumnya.


121 Bandingkan Kathā Sarit Sāgara, xii. 168, Tawney’s Transalation, Vol. I. hal. 80, sebagai suatu tanda aib, kepala seorang wanita akan dicukur sampai hanya ada lima kucir yang tersisa. Di Jātaka VI. 135 menunjukkan bahwa kata cūỊā kadang-kadang adalah tanda dari perbudakan (status/kasta rendah). Di Jātaka V. hal. 249 seorang anak laki-laki kecil yang miskin diuraikan memiliki penampilan rambut yang sama seperti model ini.


122 Untuk nama para penganut ini lihat Hardy’s Manual, hal. 300, dan Vinaya Texts, II. 111. Sebagian nama mereka ditemukan di tempat lain dengan bentuk yang berbeda, Pūraṇa, Kakudha Kaccāyana dan Nātaputta.


(www.samaggi-phala.or.id)

Meski Cacat Tapi Bisa Merawat 130 Anak di Panti Asuhan



Cacat bukanlah menjadi penghalang bagi wanita satu ini untuk berjuang membantu anak-anak yang tidak memiliki keluarga.
Wanita China yang tidak memiliki kaki ini berjalan hanya dibantu dengan menggunakan bangku kecil, tapi dia mampu merawat 130 anak yatim piatu.
Xu Yuehua (55), kehilangan kakinya saat berusia 12 tahun ketika dia tertabrak kereta saat mengumpulkan batu bara di jalur kereta.
Dia juga kehilangan kedua orangtuanya saat masih kecil dan akhirnya dirawat oleh Panti Asuhan Xiangtan, di provinsi Hunan.
Xu membantu dengan mencuci, memberi makan, mengganti popok, membersihkan dan terkadang membuatkan sepatu bagi anak-anak di panti.


Selama 37 tahun, Xu telah menggunakan lebih dari 40 bangku kecil untuk membantunya berjalan, dan telah membantu membesarkan 130 anak, semua memanggilnya Ibu Besar.


Salah satu anak yang ia rawat adalah Sheng Li, anak tersebut memiliki cacat bibir sumbing dan dia ditemukan saat bayi di selokan, entah siapa yang tega membuangnya, Xu menyelamatkan bayi tersebut.
“Tanpa Ibu Besar, saya mungkin sudah lama mati. Bangku kecilnya adalah suara terindah di telinga saya,” ujarnya.


Pada tahun 1987, Xu menikahi Lai Ziyuan, seorang petani sayuran di panti asuhan. Tiga tahun kemudian, putra mereka, Lai Mingzhi lahir, tapi dia masih mengasuh anak-anak di panti.
“Saya bukanlah orang yang hebat, tapi saya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, untuk memberikan anak-anak malang ini kasih sayang seorang ibu,” ujar Xu.

Sumber : Internet