Jumat, 29 Juni 2012

SUNGAI PERASAAN



Perasaan kita memainkan peranan yang sangat penting dalam
mengarahkan semua pemikiran dan perbuatan kita. Di dalam diri
kita, ada sungai perasaan dimana setiap tetes airnya merupakan
perasaan yang berbeda dan untuk keberadaannya, setiap
perasaan tergantung pada semua hal lainnya. Untuk
mengamatinya, kita cukup duduk di tepi sungai dan mengenali
setiap perasaan begitu ia muncul, mengalir dan lenyap.
Ada tiga macam perasaan – yang menyenangkan, tidak
menyenangkan dan yang netral. Ketika kita memiliki perasaan
yang tidak menyenangkan, kita mungkin ingin menghalaunya.
Tetapi akan lebih efektif untuk kembali pada kesadaran napas
kita dan hanya mengamatinya, dan diam-diam mengenalinya untuk
diri kita:”Menarik napas, saya tahu ada perasaan tidak
menyenangkan dalam diriku. Menghembuskan napas, saya tahu
ada perasaan tidak menyenangkan dalam diriku”. Menyebut
perasaan dengan namanya, seperti “marah”, “duka cita”,
“kegembiraan”, atau “kebahagiaan”, membantu kita mengenalinya
secara jelas dan memahaminya secara lebih mendalam.
Kita dapat memakai napas kita untuk berhubungan dengan
perasaan-perasaan kita dan menerima mereka. Jika pernapasan
kita ringan dan tenang – suatu hasil wajar dari bernapas dengan
sadar – batin dan jasmani kita perlahan-lahan akan ringan, tenang
dan cerah, demikian pula perasaan kita. Pengamatan yang sadar
waspada berdasarkan pada prinsip “tanpa dualisme” : perasaan
kita tidak terpisah dari kita atau semata-mata disebabkan oleh
sesuatu di luar kita, perasaan kita adalah kita dan untuk saat itu
kita adalah perasaan tersebut. Kita tidak tenggelam maupun diteror
oleh perasaan tersebut, kita tidak perlu menolaknya. Sikap kita
untuk tidak melekat atau menolak perasaan-perasaan kita
merupakan sikap melepaskan, suatu bagian yang penting dari
praktik meditasi.
Jika kita menghadapi perasaan yang tidak menyenangkan dengan
perhatian, kasih sayang dan tanpa kekerasan, kita bisa mengubah
mereka menjadi energi yang sehat dan memiliki kemampuan untuk
merawat kita. Dengan kerja pengamatan yang sadar ini, perasaan
tak menyenangkan kita itu bisa banyak menjelaskan kepada kita,
memberi penerangan dan pemahaman kepada diri kita dan
masyarakat.

Thich Nhat Hanh
(DAMAI DI SETIAP LANGKAH)

RUANG BERNAPAS



Kita mempunyai ruang untuk segala sesuatu – makan, tidur,menonton tv-, tetapi kita tidak mempunyai ruang untuk sati(penyadaran). Saya menganjurkan agar kita menyediakan ruang kecil di rumah kita dan menamainya “ruang bernapas”, di mana kita bisa menyendiri dan hanya berlatih bernapas dan tersenyum,paling tidak pada saat-saat sulit. Ruang yang kecil itu harus dianggap sebagai Kedutaan Besar dari Kerajaan Kedamaian. Ia
harus dihargai dan tidak diganggu dengan kemarahan, teriakan atau hal-hal semacam itu. Ketika seorang anak hampir dibentak,
ia bisa berlindung di ruang itu. Baik ayah maupun ibu tidak bisa
membentaknya lagi. Ia aman di dalam daerah Kedutaan Besar
itu. Orangtua kadang-kadang juga perlu berlindung di ruang itu,
duduk bernapas, tersenyum dan memulihkan diri mereka. Oleh
karena itu, ruang tersebut digunakan untuk kebaikan seluruh keluarga.
Saya sarankan agar ruang bernapas itu ditata dengan sangat
sederhana dan jangan terlalu terang. Anda mungkin ingin
mempunyai sebuah genta kecil, dengan suara yang merdu.
Beberapa alas duduk atau kursi, dan mungkin satu pot bunga
untuk mengingatkan kita tentang sifat sejati kita. Anda atau anakanak
anda bisa menata bunga dalam kesadaran, tersenyum.
Setiap kali anda merasa agak sedih, anda tahu bahwa hal terbaik
yang harus dikerjakan adalah pergi ke ruang itu, perlahan-lahan
buka pintunya, duduk, membunyikan gentanya – di negara saya
kami tidak mengatakan “memukul” atau “menabuh” genta – dan
mulai bernapas. Genta itu tidak hanya akan menolong orang-orang
yang berada di ruang bernapas, tetapi juga kepada yang lainnya di rumah.
Seandainya suami anda sedang jengkel. Karena ia sudah
mempelajari latihan bernapas, ia tahu hal yang terbaik adalah
masuk ke ruang itu, duduk dan berlatih. Anda mungkin tidak
menyadari kemana ia pergi, anda sibuk memotong wortel di dapur.
Tetapi anda juga anda menderita, karena anda dan dia sedang
berselisih. Anda memotong wortel dengan sedikit kasar, karena
energi kemarahan itu diterjemahkan ke dalam gerakan. Tiba-tiba
anda mendengar genta, dan anda tahu apa yang harus dilakukan.
Anda berhenti memotong, lalu anda menarik dan menghembuskan
napas. Anda merasa lebih baik, dan anda mungkin tersenyum.
Memikirkan tentang suami anda, yang mengetahui apa yang harus
dilakukan ketika ia marah. Ia sekarang duduk di ruang bernapas,
bernapas dan tersenyum. Itu sungguh indah, tidak banyak orang
yang melakukan hal ini. Tiba-tiba, perasaan lembut, dan anda
merasa jauh lebih baik. Setelah tiga kali pernapasan anda mulai
memotong wortel lagi, tetapi kini sudah sangat berbeda.
Anak anda yang menyaksikan adegan itu, mengetahui bahwa akan
terjadi semacam badai. Ia masuk ke kamarnya, menutup pintu
dan diam-diam menunggu. Tetapi bukannya badai, ia mendengar
genta dan ia memahami apa yang terjadi. Ia merasa begitu ringan,
dan ia ingin, menunjukkan penghargaannya kepada ayahnya. Ia
pelan-pelan pergi ke ruang bernapas, membuka pintu dan diamdiam
masuk serta duduk di sebelahnya untuk menunjukkan dukungannya. 
Hal itu sangat membantunya. Ia sudah merasa siap
untuk keluar, ia mampu tersenyum sekarang tetapi karena putrinya
di situ, ia ingin membunyikan genta lagi agar putrinya bisa bernapas.
Di dapur, anda mendengar genta yang kedua dan anda tahu bahwa
memotong wortel bukanlah hal terbaik untuk dikerjakan saat ini.
Jadi anda meletakkan pisau dan pergi ke ruang bernapas. Suami
anda menyadari bahwa pintunya terbuka dan anda masuk. Jadi
walaupun sekarang ia sudah baik, karena anda datang, ia
melanjutkan lebih lama lagi dan membunyikan genta bagi anda
untuk bernapas. Ini merupakan adegan yang indah. Jika anda
sangat kaya, anda bisa membeli lukisan berharga karya Van Gogh
dan menggantungnya di ruang tamu anda. Tetapi ia tidak seindah
daripada adegan di ruang bernapas. Praktik dari kedamaian dan
perdamaian merupakan perbuatan manusia yang sangat penting dan artistik.
Saya mengenal keluarga yang anak-anaknya pergi ke ruang
bernapas setelah sarapan, duduk dan bernapas,”masuk-keluarsatu”,
“masuk-keluar-dua”, “masuk-keluar-tiga”, dan seterusnya
sampai sepuluh, lalu mereka pergi ke sekolah. Jika anak anda
tidak ingin bernapas sepuluh kali, mungkin tiga kali cukup.
Mengawali hari dengan cara ini sangatlah indah dan berguna bagi
segenap keluarga. Jika anda penuh kesadaran di pagi hari dan
berusaha memelihara kesadaran sepanjang hari, anda bisa
kembali ke rumah dengan senyuman di penghujung hari, yang
membuktikan bahwa kesadaran tetap berada di sana.
Saya yakin bahwa setiap rumah sebaiknya memiliki satu ruang
bernapas. Praktik sederhana seperti bernapas dan tersenyum
sangatlah penting. Mereka dapat mengubah peradaban kita.

Thich Nhat Hanh
(DAMAI DI SETIAP LANGKAH)


WAWASAN SEKUNTUM BUNGA



Ada satu cerita tentang sekuntum bunga yang sangat terkenal di
lingkungan Zen. Pada suatu hari Sang Buddha memegang
sekuntum bunga di hadapan 1250 orang bhikkhu dan bhikkhuni.
Beliau tidak mengatakan sesuatu dalam waktu cukup lama. Para
hadirin diam sepenuhnya. Setiap orang tampaknya berpikir keras,
berusaha memahami arti di balik isyarat Sang Buddha. Lalu tibatiba
Sang Buddha tersenyum. Beliau tersenyum karena salah
seorang yang hadir di sana tersenyum kepada Beliau dan kepada
bunga itu. Nama bhikkhu itu adalah Mahakashyapa. Beliau adalah
satu-satunya orang yang tersenyum, dan Sang Buddha
membalasnya serta berkata, “Saya memiliki sesuatu yang
berharga dari wawasan pandangan terang, dan saya telah
meneruskannya kepada Mahakashyapa”.
Cerita ini telah didiskusikan oleh beberapa generasi dari muridmurid
Zen, dan orang-orang terus mencari tahu tentang artinya.
Menurut saya artinya cukup sederhana. Ketika seseorang
memegang sekuntum bunga dan menunjukkannya pada anda, ia
ingin anda melihatnya. Jika anda tetap berpikir anda kehilangan
bunga itu. Orang yang tidak berpikir, yang menjadi dirinya saja,
mampu melihat bunga itu secara mendalam, dan ia tersenyum.
Itulah persoalan kehidupan. Jika kita tidak sepenuhnya menjadi
diri kita benar-benar berada pada saat ini, kita kehilangan
semuanya. Ketika seorang anak memperkenalkan dirinya pada
anda dengan senyumannya, jika anda tidak benar-benar berada
di sana – tetapi memikirkan masa yang akan datang atau masa
lalu, atau asyik dengan persoalan-persoalan lain – maka si anak
tidak benar-benar berada di sana untuk anda. Teknik untuk menjadi
hidup adalah kembali pada diri sendiri agar si anak bisa muncul
seperti kenyataan yang mengagumkan. Lalu anda bisa melihatnya
tersenyum dan anda bisa memeluknya dalam gendongan anda.
Saya akan berbagi sajak dengan anda, yang ditulis oleh teman
saya yang wafat pada usia 28 tahun di Saigon, kira-kira tiga puluh
tahun yang lalu. Setelah ia wafat, orang menemukan banyak syair
indah yang telah ia tulis, dan saya terkejut ketika saya membaca
sajak ini. Ia mengandung hanya sedikit kalimat pendek, tetapi ia
sangat indah.


Berdiri dengan tenang di dekat pagar,
Kamu menyunggingkan senyumanmu yang menakjubkan.
Kuterdiam, dan inderaku dipenuhi
oleh suara nyanyian indahmu,
tanpa awal dan tanpa akhir.
Kumenunduk sangat dalam untukmu.


“Kamu” adalah menunjukkan bunga, bunga dahlia. Pagi itu ketika
ia melewati pagar, ia melihat bunga kecil itu dengan sangat
mendalam dan terpaku oleh pemandangan itu, ia berhenti dan
menulis sajak tadi.
Saya sangat menikmati sajak ini. Anda mungkin berpikir bahwa
sajak ini merupakan suatu mistik, karena caranya memandang
dan melihat sesuatu sangatlah mendalam. Tetapi ia hanyalah
orang biasa seperti kita. Saya tidak tahu bagaimana atau mengapa
ia mampu memandang dan melihat seperti itu, tetapi itulah cara
kita berlatih kesadaran. Kita berusaha untuk berhubungan dengan
kehidupan dan melihat secara mendalam ketika kita minum teh,
berjalan, duduk atau merangkai bunga. Rahasia keberhasilan
adalah bahwa anda benar-benar menjadi diri sendiri, dan ketika
anda benar-benar menjadi diri sendiri, anda bisa menghadapi
kehidupan pada saat ini.



Thich Nhat Hanh
(DAMAI DI SETIAP LANGKAH)

PENGHARAPAN SEBAGAI SUATU RINTANGAN



Pengharapan sangatlah penting, karena ia bisa menjadikan saat
ini tidak begitu sulit untuk dipikul. Jika kita percaya bahwa besok
akan lebih baik maka kita bisa memikul kesulitan pada hari ini.
Tetapi hanya itulah yang paling banyak bisa diberikan oleh sebuah
pengharapan bagi kita menjadikan kesulitan kita lebih ringan.
Ketika saya merenungkan secara mendalam tentang sifat dari
suatu pengharapan, saya melihat sesuatu yang tragis. Karena
kita melekat pada pengharapan kita di masa yang akan datang,
kita tidak memusatkan tenaga dan kemampuan kita pada saat
ini. Kita gunakan pengharapan untuk mempercayai sesuatu yang
lebih baik bakal terjadi di kelak kemudian hari bahwa kita akan
sampai pada kedamaian, atau Kerajaan Tuhan. Pengharapan
menjadi semacam rintangan. Jika anda bisa menghindarkan diri
dari pengharapan, anda bisa membawa diri anda sepenuhnya
pada saat ini, dan menemukan kegembiraan yang sudah ada di sini.
Pencerahan, kedamaian dan kegembiraan tidak akan dihadiahkan
oleh orang lain. Sumurnya ada di dalam diri kita, dan jika kita
menggalinya dengan dalam pada saat ini, airnya akan menyembur
keluar. Kita harus kembali pada saat ini agar bisa benar-benar
hidup. Kita berlatih napas yang disadari, kita berlatih untuk kembali
pada saat ini, di mana segala sesuatunya sedang terjadi.
Peradaban Barat memberikan begitu banyak penekanan pada
gagasan pengharapan, sehingga kita mengorbankan saat ini.
Pengharapan adalah untuk masa yang akan datang. Ia tidak bisa
membantu kita menemukan kegembiraan, kedamaian atau
pencerahan pada saat ini. Banyak agama yang berdasarkan pada
gagasan pengharapan ini; dan ajaran tentang menahan diri dari
pengharapan bisa membuat suatu reaksi yang keras. Tetapi suatu
kejutan bisa membawa sesuatu yang penting. Saya tidak
mengatakan bahwa anda tidak boleh mempunyai pengharapan,
tetapi pengharapan itu tidak cukup. Pengharapan bisa
menciptakan rintangan bagi anda, dan jika anda berada dalam
kekuatan pengharapan, anda tidak akan membawa diri anda
kembali sepenuhnya pada saat ini. Jika anda menyalurkan kembali
tenaga tersebut untuk menjadi sadar sepenuhnya terhadap apa
yang terjadi pada saat ini, anda akan mampu membuat suatu
terobosan dan menemukan kegembiraan serta kedamaian tepat
pada saat ini, di dalam diri anda dan di sekeliling anda.
A.J. Muste, seorang pemimpin gerakan perdamaian di Amerika
pada pertengahan abad ke-20 yang mengilhami jutaan orang,
berkata, “Tidak ada jalan menuju perdamaian, perdamaian itulah
Sang Jalan”. Ini berarti kita bisa memahami perdamaian tepat
pada saat ini dengan penampilan kita, senyum kita, ucapan kita
dan perbuatan kita. Karya perdamaian bukanlah suatu alat.
Setiap langkah yang kita buat haruslah merupakan kedamaian.
Setiap langkah yang kita buat haruslah merupakan kegembiraan.
Jika kita mempunyai tekad, kita dapat melakukannya. Kita tidak
memerlukan masa yang akan datang. Kita bisa tersenyum dan
rileks. Segala sesuatu yang kita inginkan ada di sini pada saat ini.



Thich Nhat Hanh
(DAMAI DI SETIAP LANGKAH)

KEHIDUPAN KITA MERUPAKAN SEBUAH KARYA SENI



Setelah suatu retret di California Selatan, seorang seniman bertanya
kepada saya “Bagaimana cara memandang setangkai bunga
sehingga saya bisa menjadikannya yang terbaik bagi karya saya?”
Saya katakan,”Jika anda melihat dengan cara itu, anda tidak dapat
menyentuh bunga itu. Tinggalkan semua proyek anda sehingga
anda bisa bersama dengan si bunga tanpa ada keinginan untuk
memanfaatkannya atau mendapatkan sesuatu darinya”. Seniman
yang sama mengatakan padaku, “Ketika saya bersama seorang
teman, saya ingin memanfaatkannya”. Tentu saja kita bisa
memanfaatkan seorang teman, tetapi seorang teman sesungguhnya
lebih dari sekedar sumber keuntungan. Hanya bersama dengan
seorang teman, tanpa memikirkan untuk meminta dukungan
bantuan atau nasehatnya, merupakan suatu seni.
Telah menjadi semacam kebiasaan untuk melihat sesuatu dengan
tujuan memperoleh sesuatu. Kita menyebutnya “pragmatisme” dan
kita mengatakan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang berbalas.
Jika kita bermeditasi untuk mendapatkan kebenaran, tampaknya
kita akan mendapatkan balasan yang baik. Di dalam meditasi,
kita berhenti dan kita melihat ke dalam. Kita berhenti hanya untuk
bernapas, untuk berada bersama diri kita sendiri dan dunia. Jika
kita mampu berhenti, kita mulai melihat dan jika kita dapat melihat,
kita memahami. Kedamaian dan kebahagiaan adalah buah dari
proses ini. Kita harus menguasai seni berhenti ini agar benarbenar
dapat bersama teman kita dan dengan bunga tersebut.
Bagaimana kita bisa membawa unsur-unsur kedamaian kepada
masyarakat yang sangat terbiasa mengambil keuntungan?
Bagaimana senyuman kita bisa menjadi sumber kegembiraan dan
bukan hanya satu manuver diplomatik? Ketika kita tersenyum pada
diri sendiri, senyum itu bukan diplomasi, ia merupakan bukti bahwa
kita adalah diri kita sendiri, bahwa kita memiliki kedaulatan
terhadap diri kita sendiri. Dapatkah kita menulis sajak tentang
berhenti, tentang tanpa tujuan atau hanya seperti apa adanya?
Bisakah kita menggambarkan sesuatu tentang hal itu? Segala
sesuatu yang kita kerjakan akan menjadi satu tindakan berpuisi
atau melukis, jika kita melakukannya dengan kesadaran.
Menanam selada adalah berpuisi. Berjalan ke supermarket bisa
merupakan suatu lukisan.
Ketika kita tidak merisaukan diri kita mengenai apakah sesuatu
itu merupakan karya seni atau tidak, jika dalam setiap saat kita
hanya bertindak dengan ketenangan dan kesadaran, setiap menit
dari kehidupan kita merupakan karya seni. Bahkan ketika kita tidak
melukis atau menulis, kita tetap berkarya. Kita mengandung
keindahan, kegembiraan dan kedamaian, dan kita menjadikan
kehidupan ini lebih indah bagi banyak orang. Kadangkala lebih
baik tidak membicarakan kesenian dengan menggunakan kata
“seni”. Jika kita hanya berbuat dengan kesadaran dan ketulusan
hati, kesenian kita akan berbunga dan kita sama sekali tidak perlu
membicarakannya. Bilamana kita tahu bagaimana untuk menjadi
damai, kita menemukan bahwa seni adalah jalan yang sangat
indah untuk membagi kedamaian kita. Ekspresi seni akan muncul
pada satu atau lain kesempatan, tetapi manusianya adalah yang
perlu sekali. Jadi kita harus kembali pada diri sendiri, dan ketika
kita memiliki kegembiraan serta kedamaian di dalam diri sendiri,
karya seni kita akan cukup wajar dan mereka akan melayani dunia
secara positif.



Thich Nhat Hanh
(DAMAI DI SETIAP LANGKAH)

TANPA TUJUAN




Di Barat, kita sangat berorientasi kepada tujuan. Kita tahu kemana
kita akan pergi, dan kita sangat terarah untuk tiba di sana. Ini
mungkin berguna tetapi kita kerapkali lupa untuk menikmati diri
sendiri sepanjang perjalanan itu.
Dalam Agama Buddha terdapat satu kata yang berarti “tanpa
pengharapan” atau “tanpa tujuan”. Gagasannya adalah: anda tidak
meletakkan sesuatu di depan anda dan mengejarnya, karena
segala sesuatu telah ada di sini, di dalam diri anda. Ketika kita
berlatih meditasi berjalan, kita tidak berusaha sampai di mana
pun. Kita hanya membuat langkah-langkah yang damai, dan
bahagia. Jika kita tetap memikirkan masa yang akan datang, apa
yang ingin kita capai, kita akan kehilangan langkah-langkah kita.
Hal yang sama berlaku pula untuk meditasi duduk. Kita duduk
hanya untuk menikmati duduk kita, kita tidak duduk untuk mencapai
suatu tujuan. Ini cukup penting. Setiap saat dari meditasi duduk
membawa kita kembali kepada kehidupan, dan kita harus duduk
sedemikian rupa sehingga kita menikmati duduk kita selama kita
melakukannya. Apakah memakan jeruk keprok, minum secangkir
teh, atau berjalan dalam meditasi, kita harus melakukannya
sedemikian rupa sehingga itu “tanpa tujuan”.
Kerapkali kita berkata pada diri sendiri, “Jangan hanya duduk di
sana, lakukan sesuatu!” tetapi ketika kita melatih kesadaran, kita
menemukan sesuatu yang tidak lazim. Kita menemukan bahwa
yang sebaliknya akan lebih membantu, yaitu: “Jangan hanya
melakukan sesuatu, duduklah di sana!” Kita harus belajar untuk
berhenti dari waktu ke waktu, agar bisa melihat dengan jelas. Pada
awalnya, “berhenti” tampak seperti semacam perlawanan terhadap
kehidupan modern, tetapi sesungguhnya tidak. Ia bukan hanya
reaksi, ia merupakan gaya hidup. Kelangsungan hidup umat
manusia bergantung pada kemampuan kita untuk berhenti berlari.
Kita mempunyai lebih dari 50.000 bom nuklir, tetapi kita masih
belum bisa berhenti untuk membuat lebih banyak. “Berhenti”
bukanlah hanya menghentikan yang negatif, tetapi membiarkan
penyembuhan positif berperan. Itulah tujuan latihan kita, yaitu tidak
untuk menghindari kehidupan, tetapi untuk merasakan dan
menunjukkan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan dapat terjadi
sekarang dan juga pada masa yang akan datang.
Landasan bagi kebahagiaan adalah sati (perhatian atau
penyadaran). Kondisi dasar untuk berbahagia adalah kesadaran
kita untuk menjadi bahagia. Jika kita tidak sadar bahwa kita
berbahagia, kita tidak benar-benar berbahagia. Ketika kita sakit
gigi, kita tahu bahwa tidak mengalami sakit gigi adalah hal yang
membahagiakan. Tetapi ketika kita tidak sakit gigi, kita tetap tidak
berbahagia. Tidak sakit gigi sungguh menyenangkan. Ada begitu
banyak hal yang menyenangkan, tetapi ketika kita tidak berlatih
kesadaran, kita tidak menghargai hal-hal ini. Ketika kita
mempraktikkan kesadaran, kita menjadi menghargai hal-hal ini
dan kita belajar bagaimana melindungi mereka. Dengan
menghargai saat ini, kita menghargai hal-hal ini. Ketika kita
mempraktikkan kesadaran, kita menjadi menghargai hal-hal ini
dan kita belajar bagaimana melindungi mereka. Dengan
menghargai saat ini, kita menghargai masa yang akan datang.
Bekerja demi kedamaian pada masa yang akan datang adalah
bekerja untuk kedamaian saat ini.



Thich Nhat Hanh
(DAMAI DI SETIAP LANGKAH)

BERNAPAS DAN MENYABIT




Apakah anda pernah memotong rumput dengan sabit? Tidak
banyak orang melakukannya saat ini. Sekitar sepuluh tahun yang
lalu, saya membawa pulang sebuah sabit dan berusaha untuk
memotong rumput di sekitar pondok saya dengan alat itu.
Diperlukan lebih dari satu minggu sebelum saya menemukan cara
terbaik untuk menggunakannya. Cara anda berdiri, cara anda
memegang sabit, sudut mata pisau terhadap rumput, semuanya
sangat penting.
Saya dapati bahwa jika saya menyelaraskan pergerakan tangan
saya dengan irama pernapasan saya, dan bekerja tidak tergesagesa
untuk mempertahankan kesadaran terhadap aktivitas saya,
saya mampu bekerja dengan lebih lama. Jika saya tidak lakukan
itu, saya menjadi lelah hanya dalam sepuluh menit.
Selama beberapa tahun terakhir ini saya telah menghindari
melelahkan diri sendiri dan kehilangan pernapasan. Saya harus
merawat tubuh saya, memperlakukannya dengan baik seperti
seorang musikus memperlakukan instrumennya. Saya tidak
menggunakan kekerasan terhadap tubuh saya, karena ia bukan
hanya suatu alat untuk menyelesaikan sesuatu. Ia sendiri
merupakan akhir. Begitu pula saya memperlakukan sabit saya.
Ketika saya menggunakan seraya mengikuti pernapasan, saya
merasa bahwa sabit dan saya bernapas seirama. Ini juga berlaku
untuk peralatan yang lain.
Pada suatu hari seorang pria tua mengunjungi tetangga saya,
dan ia menawarkan untuk menunjukkan pada saya bagaimana
menggunakan sabit. Beliau jauh lebih mahir daripada saya, tetapi
pada umumnya ia menggunakannya pada posisi dan gerakan yang
sama. Yang mengejutkan saya adalah beliau juga menyelaraskan
gerakan-gerakannya dengan pernapasannya. Sejak saat itu, di
mana pun saya melihat seseorang memotong rumput dengan
sabit, saya tahu ia sedang mempraktikkan kesadaran.

PENGHAPUSAN PEMBAGIAN



Kita memiliki begitu banyak pembagian dalam kehidupan kita.
Bagaimana kita dapat membawa meditasi keluar dari ruang
meditasi ke dapur, dan kantor? Di ruang meditasi kita duduk diam
dan berusaha untuk menyadari setiap pernapasan. Bagaimana
saat (meditasi) duduk kita mempengaruhi saat tidak (meditasi)
duduk kita? Ketika seorang dokter menyuntik anda, tidak hanya
tangan anda, tetapi seluruh tubuh anda memetik manfaatnya. Jika
setiap hari anda berlatih meditasi duduk selama setengah jam,
waktu itu seharusnya untuk seluruh dua puluh empat jam, dan
tidak untuk setengah jam itu. Seberkas senyuman, satu
pernapasan, seharusnya demi kebaikan sepanjang hari, tidak
hanya untuk saat itu. Kita harus berlatih dengan cara
menyingkirkan rintangan antara praktik dan tidak praktik.
Ketika kita berjalan di ruang meditasi, kita membuat langkahlangkah
yang cermat, sangat perlahan. Tetapi ketika kita pergi ke
bandar udara atau supermarket, kita menjadi berbeda. Kita
berjalan sangat cepat, kurang kesadaran. Bagaimana kita bisa
berlatih kesadaran di bandar udara dan supermarket? Saya
mempunyai teman yang bernapas di antara panggilan-panggilan
telepon, dan itu sangat membantunya. Teman yang lain melakukan
meditasi berjalan di antara perjanjian-perjanjian usahanya, berjalan
dengan penuh kesadaran di antara gedung-gedung di kota Denver.
Orang yang lalu-lalang tersenyum padanya, pertemuanpertemuannya,
bahkan dengan orang-orang yang sulit, kerap kali
berakhir cukup menyenangkan, dan sangat berhasil.
Kita harus mampu membawa latihan dari ruang meditasi ke dalam
kehidupan kita sehari-hari. Kita harus berdiskusi dengan diri kita
sendiri bagaimana cara melakukannya. Apakah anda berlatih
pernapasan di antara panggilan-panggilan telepon? Apakah anda
berlatih pengenduran setelah bekerja keras berjam-jam? Ini
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang berguna. Jika anda tahu
bagaimana menggunakan meditasi saat makan malam, saat
santai, saat tidur, ia akan menembus kehidupan sehari-hari anda,
dan ia juga akan memberikan efek yang sangat besar dalam
urusan sosial. Kesadaran (sati) dapat menembus di dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari, setiap menit, setiap jam dari kehidupan
kita sehari-hari, dan itu bukan hanya suatu gambaran dari sesuatu
yang sangat jauh.

Thich Nhat Hanh
(DAMAI DI SETIAP LANGKAH)


Kamis, 28 Juni 2012

PATICCASAMUPPADA




Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan
(Paticcasamuppada)


Ketika Sang Buddha berdiam di Savatthi…” Para bhikkhu, saya akan dan menganalisa sebab-musabab yang saling bergantungkan kepada kalian.”

”Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu? Dari ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan (vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha). Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan (upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang). Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan.”
(Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})

Paticcasamuppada atau hukum sebab-musabab yang saling bergantungan merupakan salah satu ajaran yang terpenting dalam Buddha Sasana. Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk, khususnya manusia. Dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada inilah, Petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha.

Dalam kotbahNya di dalam Maha-hatthipadopama Sutta; Majjhima Nikaya 28, Y.A. Sariputta, menyampaikan bahwa Sang Buddha mengatakan betapa pentingnya Paticcasamuppada, ” Yo paticcasamuppadam passati, so Dhammam passati. Yo Dhammam passati, so paticcasamuppadam passati.” (Ia yang melihat Paticcasamuppada, juga melihat Dhamma. Ia yang melihat Dhamma, juga melihat Paticcasamuppada) -

Secara sederhana Paticcasamuppada yang juga merupakan hukum sebab akibat yang dapat dipahami dengan rumusan seperti di bawah ini:


Imasming Sati Idang Hoti
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
Imassuppada Idang Uppajjati
Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu.
Imasming Asati Idang Na Hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Imassa Nirodha Idang Nirujjati.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.


Dengan menganalisa rumusan atau prinsip yang saling menjadikan, relatifitas, dan saling bergantungan ini, maka dapat ditemukan 12 sebab-musabab (nidana) yang ada dalam setiap makhluk khususnya manusia. Keduabelas nidana itu yaitu:

Avijja Paccaya Sankharang
Dengan adanya Avijja (ketidaktahuan/kebodohan), maka muncullah
Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma).

Sankhara Paccaya Vinnanang
Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk perbuatan/kamma), maka muncullah
Vinnana (kesadaran).

Vinnana Paccaya Nama-Rupang
Dengan adanya Vinnana (kesadaran), maka muncullah
Nama-Rupa (batin dan jasmani).

Nama-Rupa Paccaya Salayatanang
Dengan adanya Nama-Rupang (batin dan jasmani), maka muncullah
Salayatana (enam indera).

Salayatana Paccaya Phassa
Dengan adanya Salayatana (enam indera), maka muncullah
Phassa (kesan-kesan).

Phassa Paccaya Vedana
Dengan adanya Passa (kesan-kesan), maka muncullah
Vedana (perasaan)

Vedana Paccaya Tanha
Dengan adanya Vedana (perasaan), maka muncullah
Tanha (keinginan/kehausan).

Tanha Paccaya Upadanang
Dengan adanya Tanha (keinginan/kehausan), maka muncullah
Upadana (kemelekatan).

Upadana Paccaya Bhavo
Dengan adanya Upadana (kemelekatan), maka muncullah
Bhava (proses tumimbal lahir).

Bhava Paccaya Jati
Dengan adanya Bhava (proses tumimbal lahir), maka muncullah
Jati (kelahiran kembali).

Jati Paccaya Jaramaranang
Dengan adanya Jati ( kelahiran kembali), maka muncullah
Jaramaranag (kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya).

Jaramaranang
Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit, dan sebagainya merupakan akibat dari adanya kelahiran kembali.

Kemudian dalam Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2, juga dijelaskan dengan terhentinya dan tidak munculnya salah satu penyebab yaitu Avijja(ketidaktahuan/kebodohan), maka terhenti dan tidak muncul pula sebab-musabab yang mengikutinya. Dengan terhentinya Avijja maka tidak akan muncul Sankhara, Vinnana, Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana, Tanha, Upadana, Bhava, Jati, dan Jaramaranang.

Dalam kehidupan sehari-hari kita, yaitu dalam diri kita sendiri, kita dapat menemukan dan menganalisa sebagian dari Hukum Paticcasamuppada. Sebagai contoh, diuraikan dibawah ini.

Kita dilahirkan di dunia ini dengan memiliki jasmani dan batin/pikiran. Dengan menganalisa kita dapat memahami bahwa kita memiliki tubuh yang bermateri yang sifatnya adalah kasatmata. Kita memiliki kepala, tubuh, kedua tangan dan kaki dan lain sebaginya. Kemudian kita menganalisa bahwa kita dapat berpikir, memiliki kehendak, maka dengan demikian itu berarti kita memiliki batin atau pikiran yang sifatnya tidak kasatmata. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.4 mengenai keberadaan Nama-Rupa (jasmani dan batin).

Kemudian dengan adanya jasmani dan batin pada umumnya kita memiliki indera antara lain, indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera pengecap (lidah), indera penciuman (hidung), indera peraba/sentuhan (kulit) dan indera pikiran. Dengan indera-indera ini kita dapat melihat bentuk dan warna, mendengar suara, merasakan rasa, merasakan aroma/bau, merasakan tekstur, lembut dan kasar. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.5 mengenai keberadaan Salayatana (6 indera).

Dengan memiliki indera, kita dapat mengalami berbagai kesan-kesan. Kita bisa melihat bentuk dan warna yang memberi kesan indah atau buruk, suara yang merdu atau sumbang, rasa yang lezat atau tidak, aroma yang harum atau bau busuk, merasakan kelembutan atau kekasaran. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.6 mengenai keberadaanPhassa (kesan-kesan).

Setelah kita memiliki kesan-kesan terhadap sesuatu melalui indera kita, kemudian kita mulai merasakan dan memisahkan mana yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Kita merasa senang dengan bentuk dan warna yang indah dan menolak bentuk-bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita merasa senang dengan suara-suara yang merdu dan nyaman di telinga kita dan menolak suara yang tidak merdu, kita merasa senang dengan rasa yang nikmat, aroma yang harum dan merasa tidak senang dengan rasa yang tidak enak dan aroma yang berbau busuk. Pada tahap ini, kita telah menganalisa tentang keberadaan nidana no.7 mengenai keberadaan Vedana (perasaan).

Ketika perasaan, baik perasaan yang menyenangkan ataupun perasaan yang tidak menyenangkan telah muncul, bagi kita yang belum sadar, kita terlena dengan perasaan-perasaan tersebut. Kita terlena pada perasaan yang menyenangkan sehingga kita menginginkan terus sesuatu yang membuat perasaan senang tersebut muncul. Inilah nidana no.8 yaitu Tanha (keinginan/kehausan).

Keinginan kita untuk terus menerus memiliki, menikmati, memeluk erat, tidak ingin kehilangan, tidak ingin berpisah atau berjauhan dari sesuatu yang membuat perasaan kita senang, membuat diri kita tidak bisa melepaskannya, tidak merelakan jika sesuatu itu harus hilang, pergi, menjauh dari diri kita. Inilah nidana no.9 yaitu Upadana (kemelekatan).

Dengan munculnya kemelekatan pada pikiran kita, maka kita tidak bisa terlepas dari Bhava(proses kelahiran kembali). Hal ini dapat digambarkan sebagai seseorang yang kembali lagi dan lagi ke sebuah restoran yang menyajikan makanan kesukaannya. Hanya dengan menghentikan kemelekatan akan hidup dan kehidupan maka kita dapat menghentikan proses kelahiran kembali.



Disusun oleh: Bhagavant.com

TIGA CORAK UMUM




Tiga Corak Umum adalah Kebenaran alam semesta yang dikaitkan dengan seluruh kehidupan walaupun berbeda ruang dan waktu. Tiga Corak Umum mengatakan tentang sifat sejati segala sesuatu. Buddha mengajarkan bahwa semua keberadaan yang berkondisi terpengaruh oleh Tiga Corak Umum. Hal ini disebut juga sebagai Tiga Pelindung Hukum (Dharma) sebagaimana yang Buddha ajarkan bahwa setiap ajaran yang berpegang pada ketiga corak ini bisa dikatakan sebagai ajaran sejati. Ajaran apa pun yang tidak mengandung Tiga Corak Umum dan Empat Kebenaran Mulia tidak dapat dikatakan sebagai ajaran Buddha. (Pada ajaran Buddha tradisi Theravada, Dukkha diajarkan sebagai corak umum ketiga; sementara pada ajaran Buddha tradisi Mahayana, Nirwana diajarkan sebagai corak umum ketiga). Untuk mencapai Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan, semua Kebenaran ini harus disadari untuk membantu kita menerima kenyataan.

Anicca—Ketidakkekalan (Perubahan)
Segala yang terkondisi selalu dalam perubahan.

Dukkha—Ketidakpuasan (Penderitaan)
Segala yang terkondisi tidaklah memuaskan.

Anatta—Ketiadaan Diri (Tiada Aku)
Segala fenomena adalah tanpa inti/aku yang kekal.

Nirwana—Pencerahan (Keheningan Sempurna)
Pencerahan adalah pencapaian Kedamaian Sejati dan Kebahagiaan Sejati.

Hubungan Corak-Corak Umum

Apa pun yang akan selalu dalam perubahan (Anicca) adalah tanpa inti yang kekal (Anatta) dan menyebabkan ketidakpuasan (Dukkha) jika kita melekat pada mereka. Nirwana adalah keadaan damai tanpa terpengaruh oleh ketiga corak di atas.

Anicca

Anicca menggambarkan fenomena dari sudut pandang waktu. Segala sesuatu di alam semesta, baik fisik (dari sel terkecil dari tubuh kita sampai bintang terbesar) maupun mental (seperti bentuk-bentuk pikiran yang berkeliaran dalam pikiran kita) selalu mengalami perubahan, tidak pernah tetap sama sekalipun hanya dalam perbedaan detik. Karena segala sesuatu merupakan hasil atau akibat dari sebab-sebab dan kondisi yang berubah, maka segala sesuatu juga terus-menerus berubah.

Komponen terkecil dari benda yang paling padat sekalipun hanyalah gumpalan energi yang mengalir. Pikiran yang tidak terlatih bahkan lebih berkeliaran dan rentan untuk berubah, tidak punya kestabilan. Semua unsur hidup dan tidak hidup adalah subjek pembusukan dan penghancuran. Hukum Anicca bersifat netral dan tidak memihak, tidak diatur oleh hukum apa pun yang lebih tinggi; segalanya berlalu dan terperbarui secara alamiah.

Mengapa Kita Perlu Menyadari Anicca?

Ketika kita menyadari bahwa orang (kepribadian, minat, dan sikap mereka) dan situasi hidup tidaklah tetap dan terus berubah, kita akan menyikapi setiap momen hubungan dengan pikiran terbuka, mampu bereaksi terhadap setiap situasi baru tanpa melekat pada konsepsi yang telah lalu. Dengan demikian hubungan dapat dikembangkan dengan baik.

Kesuksesan dalam hidup tergantung pada kemampuan kita untuk beradaptasi dengan perubahan situasi dan menciptakan kesempatan-kesempatan baru. Kita akan lebih sukses dalam semua upaya kita jika Kebenaran ini disadari. Kita juga akan belajar untuk menghargai kesehatan, kesejahteraan materi, hubungan, dan hidup yang tidak terlalu melekat, menggunakan kesejahteraan kita untuk dengan penuh kesadaran mempraktikkan jalan menuju Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan. Juga dengan Anicca, kita dapat mengubah penderitaan menjadi Kebahagiaan.

Anatta

Anatta menggambarkan fenomena dari sudut pandang ruang. Segala sesuatu di alam semesta tersusun dari berbagai bagian, yang juga terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil. Setiap bagian selalu berubah, kadang perubahan besar, tapi kebanyakan halus (bagi indra kita). Tak satu pun komponen yang tidak berubah, segalanya selalu berubah. Sesuatu itu ada hanya jika bagian-bagian penyusunnya bergabung. Jadi, tidak ada inti atau diri yang tetap dalam segala sesuatu, inilah yang disebut tanpa-pribadi. Ini juga berarti bahwa segala sesuatu saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain. Tidak ada sesuatu pun yang berdiri sendiri sebagai diri yang terpisah.

Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, kita harus dapat mengidentifikasikannya. Bagaimanapun juga, tubuh kita berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi, kita tidak dapat mengatakan bahwa badan, batin, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita.

Jika tubuh adalah diri, tubuh seharusnya mampu menghendaki atau mengendalikan dirinya untuk menjadi kuat dan sehat. Namun demikian, tubuh dapat menjadi lelah, lapar, dan jatuh sakit. Begitu pula, jika pikiran adalah diri, seharusnya pikiran dapat melakukan apa pun yang dikehendakinya, tetapi pikiran sering berlarian dari yang benar menjadi salah. Pikiran menjadi terganggu, kacau, dan bertentangan dengan kehendaknya. Oleh karena itu, baik batin maupun badan bukanlah diri.

Mengapa Kita Perlu Menyadari Anatta?

Orang yang tidak menyadari Kebenaran ini akan cenderung mementingkan diri sendiri dan egois. Orang itu tidak hanya merasa terus terancam oleh orang lain dan situasi tertentu, dia juga akan merasa terdorong untuk terus melindungi dirinya, harta bendanya, bahkan pendapatnya, dengan segala cara.

Dengan menyadari Kebenaran ini, kita akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang, bermurah hati, baik hati, dan berwelas asih karena kita tidak merasa selalu harus membentengi diri. Kita juga akan menghadapi situasi sehari-hari dengan lebih baik, membantu kemajuan menuju Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan. Sepanjang kita menganggap kita memiliki diri, sikap “aku–punyaku–milikku” akan menguasai hidup kita dan membawa berbagai macam masalah.

Dukkha

Tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang dapat memberi kita kepuasan yang lengkap dan abadi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan terus-menerus pada segala hal (termasuk apa yang kita nilai berharga) dan nafsu keinginan yang selalu berubah dalam pikiran kita yang tidak terlatih. Bahkan selama pengalaman yang paling menyenangkan pun, terdapat kecemasan bahwa momen itu pun tidak akan berlangsung lama. Mencari kebahagiaan abadi dalam perubahan terus-menerus akan mengganggu kedamaian batin, menyebabkan penderitaan. Hal ini juga berakhir dalam penderitaan kelahiran kembali yang terus berulang.

Mengapa Kita Perlu Menyadari Dukkha?

Menyadari bahwa ketidakpuasan bersifat universal dan tak terhindari, memungkinkan kita untuk menghadapi kenyataan hidup dengan ketenangan. Kita akan mampu mengatasi penuaan, kesakitan, dan kematian tanpa merasa kecil hati atau putus asa. Kesadaran ini juga menyemangati kita untuk mencari penyelesaian masalah ketidakpuasan seperti yang Buddha lakukan, serta mencari Kebahagiaan Sejati atau Pencerahan.

Nirwana

Nirwana adalah dasar kehidupan, substansi dari segala sesuatu. Contohnya, ombak tidak harus “mati” untuk menjadi air. Air adalah substansi ombak. Ombak merupakan air juga. Kita juga seperti itu. Kita membawa dasar antar-makhluk (saling keterhubungan), Nirvana, “dunia” yang melampaui kelahiran dan kematian, kekal dan tidak kekal, diri dan tiada diri. Nirwana adalah keheningan sejati dari konsep dan fenomena—Kedamaian Sejati. Nirwana adalah dasar dari semua itu, seperti ombak yang tidak akan ada tanpa ada air. Jika Anda tahu bagaimana menyentuh ombak, Anda tahu bagaimana menyentuh air pada saat yang sama. Nirwana tidak berdiri terpisah dari Anicca dan Anatta. Jika Anda tahu bagaimana menggunakan hal itu untuk menyadari kenyataan, Anda bersentuhan dengan Nirwana di sini dan saat ini.

Nirwana adalah punahnya segala konsep pemikiran. Kelahiran dan kematian adalah konsep pemikiran. Jadi dan tidak jadi adalah konsep pemikiran. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus berurusan dengan kenyataan relatif ini. Akan tetapi, jika kita mengamati hidup dengan lebih mendalam, kenyataan akan terungkap dengan sendirinya dalam jalan yang lain. Ketika Anda memahami Anicca dan Anatta, Anda telah terbebas dari penderitaan dan mencapai Nirwana. Nirwana bukanlah sesuatu yang Anda cari-cari untuk masa mendatang. Sebagai pelindung Dharma, Nirwana ada dalam semua ajaran Buddha. Nirwana bukanlah tiadanya kehidupan. Nirwana dapat ditemukan dalam kehidupan ini juga. Nirwana berarti keteduhan, keheningan, atau padamnya api penderitaan. Nirwana mengajarkan bahwa kita telah menjadi apa yang kita inginkan. Kita tidak harus mengejar segala sesuatu lagi. Kita hanya perlu kembali kepada kita sendiri dan memahami hakikat sejati kita. Ketika kita melakukan ini, kita akan berada dalam kedamaian dan sukacita sejati.

Mengapa Kita Perlu Menyadari Nirwana?

Nirwana adalah istilah “teknis” Buddhis untuk Pencerahan—pembebasan dari segala penderitaan atau Kebahagiaan Sejati! Jika kita ingin sungguh-sungguh berbahagia, Nirwana harus kita capai.

(Ehipassiko Foundation)

Tingkat kesucian dalam Agama Buddha




Manusia suci menurut pandangan Buddhis ada empat yaitu :

1. Sotapanna,
Orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.

Sotãpanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana),yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa.

2. Sakadagami,
Orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.

Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana) yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa dan telah melemahkan belenggu (4) kãma-rãga dan (5) vyãpãda.

3. Anagami,
Orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Dari salah sebuah alam Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat dan akhirnya ia mencapai parinibbana.

Anãgami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana) yaitu (1) sampai dengan (5).

4. Arahat,
Orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam mana pun. Ia akan parinibbana.

Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 - 10).

Terdapat empat macam arahat:

1. Sukhavipassako Arahat.

Arahat yang tidak memiliki jhana/abhinna, hanya mencapai kesucian dengan melaksanakan vipassana bhavana.

2.Tevijjo Arahat.

Arahat yang memiliki tiga pengetahuan (vijja):

a. Pubbenivasanussati Nana; memiliki kesadaran akan kelahirannya yang lampau
b. Dibbacakkhu Nana; memiliki "mata dewa" sehingga dapat mengetahui kelahiran makhluk di alam dewa atau peta setelah meninggal.
c. Asavakhaya Nana; memiliki pengetahuan bagaimana cara melenyapkan asava (kekotoran batin yang paling dalam).

3. Chalabhino Arahat:

a sampai c seperti di atas ditambah dengan tiga kemampuan lain, yaitu:
d. Cetopariya Nana (paracitta vijja Nana); dapat membaca atau mengetahui pikiran makhluk lain.
e. Dibbasota Nana (telinga dewa); dapat mendengar percakapan suara dari alam dewa, brahma, dan apaya.
f. Iddhividha Nana, yang terdiri dari:

1. Adhitthana Iddhi, kekuatan kehendak mengubah tubuh dari satu menjadi banyak, dari banyak menjadi satu lagi.
2. Vikubbana Iddhi, kemampuan `menyalin rupa' menjadi anak kecil, raksasa, rupa buruk, menjadi tak tampak.
3. Manomaya Iddhi. Kemampuan `mencipta' dengan kekuatan pikiran. Misalnya: mencipta istana, taman, binatang. Lamanya ciptaan itu tergantung dari kekuatan pikiran.
4. Nana vipphara Iddhi. Pengetahuan menembus ajaran yang sulit.
5. Samadhivipphara Iddhi. Kekuatan konsentrasi untuk:

i. menembus dinding

ii. meyelam ke dalam bumi seperti di air

iii. berjalan di atas air seperti di tanah datar

iv. masuk ke dalam api tanpa hangus

v. terbang seperti burung


4. Patisambhidappatto Arahat.

Arahat yang memiliki empat patisambhida (pengetahuan sempurna):

a) Atthapatisambhida.
Pengertian mengenai arti/maksud ajaran dan dapat memberi penerangan secara rinci, hampir seperti Sang Buddha.

b) Dhammapatisambhida.
Pengertian mengenai intisari dari ajaran dan mampu mengajukan pertanyaan ajaran yang mendalam.

c) Niruttipatisambhida.
Pengertian mengenai bahasa dan mampu menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pendengar.

d) Patibhanapatisambhida.
Pengertian mengenai kebijaksanaan dan mampu menjawab spontan bila ada pertanyaan mendadak

Ada sepuluh macam belenggu (samyojana) yaitu :

1. Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi).

2. Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicchã).

3. Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parãmãsa).

4. Nafsu indriya (kãma-rãga).

5. Dendam atau dengki (vyãpãda).

6. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rüpa-rãga).

7. Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arüpa-rãga).

8. Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mãna).

9. Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).

10. Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijjã).

Lima samyojana (1 - 5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau Orambhãgiya-samyojana.

Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 - 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhãgiya-samyojana.

Orambhãgiya-samyojana dan Uddhambhãgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat. 



(Internet)

UPACARA DAN HARI RAYA




Dalam praktiknya, upacara dan perayaan Buddhis memberikan keragaman dalam pembelajaran kehidupan dan ajaran Buddha. Upacara Buddhis mencakup banyak ibadah, beberapa di antaranya umum bagi seluruh pengikut Buddha, sementara yang lainnya merupakan ciri khas budaya atau negara tertentu. Karena kita adalah makhluk-makhluk yang memiliki rasio dan emosi, upacara kebaktian adalah penting untuk membantu kita terhubung secara emosional dengan Buddha dan ajaran-Nya. Ritual dapat memberikan kekhusukan yang berarti dalam latihan, membantu kita memusatkan pikiran dan mencapai ketenangan. Ini harus dilakukan dengan keyakinan tulus, bukan karena rasa takut, ketamakan, atau takhayul.

Altar

Altar yang dijumpai di vihara-vihara atau di rumah-rumah pengikut Buddha adalah sebuah titik fokus peribadahan pengikut Buddha terhadap Tiga Permata. Citra (arca dan/atau gambar) Buddha di tengah altar mewakili dan mengingatkan kita kepada Buddha, cita-cita Pencerahan, serta kesempurnaan Kebijaksanaan dan Welas Asih-Nya. Hal ini membantu menginspirasi kita karena kita mengingat kembali keagungan Buddha dan ajaran-Nya. Beberapa objek lain juga dapat diletakkan di altar, seperti naskah-naskah suci Buddhis yang melambangkan Dharma. Di beberapa altar juga terdapat gambar atau foto bhikkhu dan bhikkhuni yang melambangkan Sangha. Ketika seorang pengikut Buddha berdiri di depan altar, objek-objek yang dilihatnya di sana membantunya mengingat sifat-sifat Tiga Permata. Ini akan menginspirasinya untuk berjuang mengembangkan sifat-sifat positif tersebut di dalam dirinya.

Bersujud

Bersujud di hadapan citra Buddha bukanlah memuja berhala, ini merupakan ungkapan rasa hormat yang mendalam. Sujud merupakan pengakuan bahwa Buddha telah mencapai Pencerahan Sempurna. Sikap seperti ini membantu kita untuk mengatasi perasaan egois, untuk menjadi lebih siap belajar dari Buddha.

Beranjali

Menangkupkan telapak tangan di depan dada (anjali) merupakan suatu tradisi sikap tubuh untuk mengungkapkan penghormatan mendalam kepada Tiga Permata. Ketika sesama pengikut Buddha saling menyapa, mereka menangkupkan telapak tangan seperti sekuntum kuncup teratai (lambang kesucian dalam ajaran Buddha), sedikit membungkukkan badan, dan dalam hati mengucap: “Sekuntum teratai untukmu, seorang bakal Buddha.” Salam ini memberikan pengakuan adanya benih-benih Pencerahan atau benih ke-Buddha-an di dalam diri orang lain, oleh karenanya kita mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya. Menangkupkan telapak tangan juga memiliki efek pemusatan dan penenangan pikiran.

Padakkhina

Padakkhina merupakan kegiatan mengelilingi sebuah objek pemujaan, seperti stupa (bangunan tempat menyimpan relik Buddha atau guru Dharma), pohon Bodhi (pohon yang menaungi Buddha saat mencapai Pencerahan), atau citra Buddha, sebanyak tiga kali atau lebih sebagai wujud sikap hormat. Hal ini dilakukan dengan meditasi berjalan searah jarum jam—menjaga sisi kanan tubuh kita ke arah objek pemujaan.

Persembahan

Memberikan persembahan di altar merupakan wujud bakti, yang mengekspresikan penghargaan dan penghormatan kepada Tiga Permata. Setiap objek yang dipersembahkan memiliki makna masing-masing.

Pelita

Persembahan pelita (lilin atau lampu minyak) mengingatkan kita pada pancaran cahaya Kebijaksanaan yang menghalau gelapnya ketidaktahuan dalam jalan menuju Pencerahan. Hal ini mendorong kita untuk mencari terang Kebijaksanaan tertinggi.

Menghormati Buddha, kita mempersembahkan pelita:

Kepada-Nya, yang merupakan terang dunia, kami persembahkan pelita. Dari pelita-Nya yang agung, kami nyalakan pelita dalam diri kami. Semoga pelita Pencerahan bersinar dalam hati kami.

Bunga

Persembahan bunga-bunga yang segar dan indah, yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi, dan pudar warnanya, mengingatkan kita akan ketidakkekalan segala sesuatu, termasuk kehidupan kita juga. Hal ini mendorong kita untuk menghargai setiap momen dalam hidup kita sekaligus tidak melekat padanya.

Menghormati Buddha, kita mempersembahkan bunga:

Bunga-bunga yang saat ini segar dan mekar dengan indahnya. Bunga-bunga ini esok akan memudar, layu, dan berguguran. Begitu jualah tubuh kita ini, seperti bunga, akan lapuk juga.

Dupa

Persembahan dupa wangi yang dibakar memenuhi udara sekitar melambangkan kebajikan dan efek pemurnian tingkah laku yang bermanfaat. Hal ini mendorong kita untuk mengakhiri semua kejahatan dan mengembangkan hal-hal yang baik.

Menghormati Buddha, kita mempersembahkan dupa:

Dupa nan harum semerbak di udara. Harumnya hidup nan sempurna, lebih semerbak daripada dupa. Menyebar ke segenap penjuru dunia.

Air

Persembahan air melambangkan kemurnian, kejernihan, dan ketenangan. Hal ini mendorong kita untuk melatih pikiran, perkataan, dan perbuatan kita untuk mencapai kualitas-kualitas di atas.

Buah-buahan

Buah-buahan melambangkan buah dari pencapaian spiritual yang membawa ke buah tertinggi—Pencerahan, yang merupakan tujuan akhir semua pengikut Buddha. Hal ini mendorong kita untuk berjuang mencapai Pencerahan bagi kebahagiaan semua makhluk.

Puja

Puja adalah penguncaran ayat-ayat ajaran Buddha secara beralun. Di samping membantu pengingatan akan ajaran Buddha, lantunan puja mempunyai efek menenangkan, baik bagi penguncarnya maupun pendengarnya. Puja seharusnya dilakukan dengan khidmat, dengan perhatian murni dan semangat. Seperti meditasi, puja membantu kita berkonsentrasi dan mengembangkan kedamaian batin.

Ucapan-ucapan Buddha juga dapat diuncarkan dengan perhatian murni pada Tiga Permata pada saat kita merasa takut atau resah sehingga gangguan itu dapat teratasi. Hal ini bisa terjadi karena Tiga Permata bebas dari segala cemaran dan rintangan seperti ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin. Puja bisa dilakukan dalam segala bahasa. Bahasa-bahasa yang populer antara lain adalah Pali, Sanskerta, Mandarin, Tibet, Thai, Inggris, dan lain-lain.

Para perumah tangga biasanya melakukan puja pada pagi dan sore hari. Tujuan puja pagi adalah mengingatkan kita untuk sadar sepanjang hari akan ajaran yang diuncarkan. Tujuan puja sore adalah untuk merenung kembali apakah sepanjang hari tersebut kita telah melaksanakan apa yang telah kita tekadkan pada pagi harinya. Walaupun pilihan puja berbeda-beda dari satu tradisi ke tradisi yang lain, beberapa isi puja yang umum meliputi: Pernyataan Perlindungan, Lima Sila, Pujian Kepada Tiga Permata, Sutta, Mantra, Penghormatan Kepada Para Buddha dan Bodhisatta, Pengakuan Kesalahan, Sukacita Jasa Kebajikan, dan Pelimpahan Jasa.

Mantra

Mantra adalah frasa-frasa atau ungkapan pendek yang melambangkan ajaran atau kualitas tertentu yang mewakili Kebenaran dalam berbagai aspeknya (seperti mantra enam suku kata: “Om Mani Padme Hum” yang melambangkan Welas Asih). Menguncarkan mantra membantu membawa ketenangan dan kedamaian pikiran sembari memurnikannya. Setiap mantra khusus dapat membantu menumbuhkan sifat-sifat positif dalam pikiran, seperti Welas Asih, Kebijaksanaan, Semangat, dan sebagainya.

Penghormatan Kepada Para Buddha dan Para Bodhisatta

Penghormatan pada nama para Buddha dan Bodhisatta bisa dilafalkan untuk mengingat dan membangkitkan kebajikan dan kualitas yang mereka lambangkan. Melakukan hal ini akan mengingatkan kita bahwa seperti halnya para Buddha dan Bodhisatta, kita pun dapat mencapai kesempurnaan dalam berbagai sifat.

Hari Waisak

Waisak adalah peristiwa tahunan yang terpenting bagi umat Buddha. Waisak memperingati kelahiran, pencapaian Pencerahan, dan Parinirwana Buddha. Ketiga peristiwa ini jatuh pada hari bulan purnama, bulan kelima penanggalan bulan. Peristiwa ini diperingati oleh jutaan umat Buddha di seluruh dunia. Ini merupakan perayaan untuk bersukacita dan berbagi niat baik bagi semua. Ini juga merupakan momen untuk merenungkan kembali perkembangan spiritual kita.

Bagi sebagian pengikut Buddha, perayaan Waisak dimulai pagi-pagi sekali dengan berkumpul di vihara untuk melaksanakan Delapan Sila. Sebagian yang lain bergabung dengan perayaan umum untuk mengikuti upacara dengan mengambil Tiga Pernaungan, menjalankan Lima Sila, membuat persembahan di altar, dan menguncarkan Sutta. Mereka juga bisa mengikuti prosesi dan padakkhina, serta mendengarkan ceramah-ceramah Dharma.

Di beberapa vihara, umat Buddha mengambil bagian dalam upacara pemandian arca bayi Pangeran Siddhattha yang ditempatkan di bejana air wangi yang bertaburan bunga. Air wangi digayung dengan sendok besar dan dicucurkan ke arca tersebut. Ini melambangkan pemurnian perbuatan buruk dengan perbuatan baik.

Sebagian umat hanya menyantap makanan vegetarian pada hari ini sembari merenungkan ajaran Welas Asih universal. Pada hari Waisak, vihara-vihara dirias indah dengan bendera Buddhis dan lampu-lampu; altar dipenuhi bunga-bunga, buah-buahan, dan persembahan lainnya.

Hari Uposatha

Saat Uposatha atau hari bulan baru dan bulan purnama (tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan), banyak umat Buddha berhimpun di vihara untuk bermeditasi, melakukan persembahan, menguncarkan Sutta, dan melakukan penghormatan kepada Tiga Permata. Sebagian juga melaksanakan vegetarian pada hari-hari tersebut, sekaligus menjalankan Delapan Sila.

Hari Ullambana

Ullambana adalah perwujudan rasa hormat umat Buddha kepada leluhur mereka dan Welas Asih mereka kepada semua makhluk yang menderita di alam-alam menyedihkan. Peringatan Ullambana pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan bulan didasarkan pada kejadian saat Mogallana, siswa Buddha, melalui kekuatan meditasinya mendapati bahwa ibunya terlahir kembali di salah satu alam menyedihkan. Karena sedih, Mogallana memohon bantuan Buddha, yang kemudian menasihatinya untuk membuat persembahan kepada Sangha, karena jasa perbuatan itu dapat membantu membebaskan penderitaan ibunya dan makhluk-makhluk lain di alam-alam menyedihkan. Karena itulah, melakukan persembahan untuk membebaskan penderitaan orang yang telah meninggal dan makhluk-makhluk lain di alam sengsara menjadi perayaan umum yang populer.

Ullambana dirayakan dengan mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan Sangha, menguncarkan Sutta, dan melakukan perbuatan-perbuatan amal. Jasa dari perbuatan-perbuatan ini lalu dilimpahkan kepada semua makhluk.

Upacara Pengalihan Pelita

Dalam upacara ini, para umat memegang sebatang lilin yang disulut setelah matahari terbenam sambil berjalan mengitari vihara, objek suci, atau bangunan bersejarah sembari menguncarkan mantra atau nama Buddha. Upacara ini melambangkan penerusan pelita Kebijaksanaan (penyebaran Kebenaran) ke segenap penjuru dunia untuk menghalau gelap ketidaktahuan. Pada tataran pribadi, hal ini bermakna menyulut pelita Kebijaksanaan dalam diri kita.

Nyala api yang dipindahkan ke lilin-lilin lain yang tak terhitung banyaknya tanpa memadamkan nyalanya sendiri, melukiskan bahwa Kebijaksanaan tidak pernah habis terbagi. Terbakarnya sumbu disertai lelehnya lilin mengingatkan kita pada ketidakkekalan dan perubahan segala sesuatu yang terkondisi, termasuk hidup kita sendiri. Merenungkan hal ini dapat membantu kita menghargai setiap momen dalam hidup tanpa menjadi melekat padanya. Perhatian murni dapat dilatih dengan menjaga agar nyala lilin tidak padam. Ini melambangkan penjagaan pikiran dari faktor-faktor negatif yang merusak kehidupan spiritual. Dalam upacara ini, menyaksikan secercah api yang menerangi kegelapan, hingga samudra cahaya yang saling berbagi penerangan, sungguh sangat menginspirasi.

Upacara Tiga Langkah Satu Sujud           

Dalam upacara ini, para pengikut biasanya berbaris sebelum matahari terbit dengan mengitari vihara, membungkukkan badan satu kali setiap tiga langkah, sambil menguncarkan mantra-mantra atau nama Buddha sebagai penghormatan. Pada setiap sujud, Buddha dapat divisualisasikan tengah berdiri di telapak tangan kita yang terbuka. Telapak tangan yang terbuka melambangkan bunga teratai, lambang merekahnya kesucian (sekalipun akar teratai berada di lumpur kotor, bunganya mekar dengan anggun dan bersih dari lumpur). Setiap sujud merupakan penyampaian rasa hormat kepada Buddha (atau kepada para Buddha dan Bodhisatta yang tidak terhitung jumlahnya). Latihan ini membantu pemurnian pikiran, mengikis ego, dan mengurangi rintangan sepanjang jalan spiritual, sambil kita menyesali tindakan-tindakan buruk yang lalu dan mencita-citakan kemajuan spiritual. Dengan perhatian murni pada pikiran, perkataan, dan perbuatan selama latihan, konsentrasi dan ketenangan dapat dicapai.

Upacara yang panjang ini mengingatkan kita pada perjalanan menuju Pencerahan yang panjang dan sulit. Namun, ini juga mengingatkan kita bahwa asalkan kita bertekad kuat, seluruh rintangan akan dapat ditanggulangi. Keteguhan dalam menuntaskan latihan ini dengan segala kesulitannya juga membantu memperkuat keyakinan pada Buddha dan ajaran-Nya yang menuntun kita menuju Pencerahan.

Merekahnya fajar pada akhir upacara melambangkan cahaya Kebijaksanaan yang menghalau kegelapan batin karena kita terus melaju dalam perjalanan menuju Pencerahan.


(Internet)