Kamis, 27 September 2012

PERANAN ORANGTUA MENENTUKAN MASA DEPAN ANAK






"Orang bijaksana mengharapkan anak yang meningkatkan martabat keluarga,
dan mempertahankan martabat keluarga,
dan tidak mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga;
yang menjadi penghancur keluarga."

 (Khuddaka Nikaya, 252) 


PERMASALAHAN

"Anakku sulit diatur!"
"Anakku tidak berbakti."
"Anakku semaunya sendiri !"
"Anakku benci orangtuanya sendiri."

Inilah beberapa pernyataan bernada negatif yang sekarang amat sering diucapkan oleh para orangtua dalam menghadapi sikap anak-anaknya. Bahkan dengan pesimistis Bette Davis menulis dalam karyanya The Lonely Life, jika engkau belum pernah dibenci oleh anakmu maka engkau berarti belum pernah menjadi orangtua (INFOPEDIA). Kelihatannya sebagian besar orangtua jaman sekarang seakan telah kehilangan segala akal dan ilmu untuk dapat memahami tingkah laku anak-anak mereka. Mereka sering menanyakan pada diri sendiri maupun pada para penasehat, karma buruk apakah yang sedang mereka jalani saat ini. 

Pertanyaan ini terus menggema tanpa menemukan jawabnya. Sedihnya, mereka kadang
memperoleh jawaban yang menuduh bahwa semua bentuk kesalahan dan kenakalan anak-anak adalah akibat ketidakmampuan orangtua mendidik anak. Benar, mungkin memang mereka tidak mampu mendidik anak tetapi tentunya ada jalan keluar untuk mengatasi hal ini. Tentunya ada cara atau pedoman untuk memperbaiki sekaligus melatih orangtua untuk menghadapi situasi kurang menyenangkan ini.
Sesungguhnya, mendidik anak memang lebih sulit daripada melahirkan anak. Oleh karena itu, sebagai calon orangtua ataupun yang telah menjadi orangtua, hendaknya dibekali dengan pengetahuan yang memadai tentang pendidikan anak. Pada masa sekarang sebenarnya telah banyak buku diterbitkan membahas tentang pendidikan anak. Hanya saja, mungkin para calon orangtua maupun para orangtua belum sempat membacanya. Dalam agama Buddha, Sang Buddha juga telah mengajarkan para orangtua cara mendidik anak dengan baik.
Dalam kaitan dengan pembahasan ajaran Sang Buddha tentang pendidikan anak itulah maka makalah ini disusun.

PEMBAHASAN
Dalam masa serba materi ini persaingan untuk memenuhi kebutuhan hidup terasa semakin bertambah.Akibatnya, kesibukan setiap orang juga semakin bertambah. Pada pagi hari, mereka sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja dan kelelahan pada sore hari sepulang kerja. Bahkan kini juga ada kecenderungan suami istri bekerja bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan sehari-hari.Akibat perubahan gaya hidup ini, waktu untuk berkomunikasi dalam keluarga, termasuk komunikasi antara orangtua dan anak, menjadi kurang diperhatikan. Anak kebanyakan hanya bertemu orangtua pada pagi hari ketika akan berangkat sekolah dan malam hari menjelang tidur. Sepanjang hari di rumah, anak hanya bersama dengan pembantu dan pengasuh yang akan memberikan pengarahan sesuai dengan kemampuan mereka, tentunya. Padahal Brian Tracy menyebutkan bahwa peranan tunggal sebagai orangtua yang paling penting adalah mencintai dan memelihara anak-anak, serta membangun dalam diri mereka perasaan harga diri dan keyakinan tinggi (hal. 318). Peran penting ini jelas tidak dapat digantikan oleh pembantu rumah tangga maupun pengasuh. Agar dapat melaksanakan peran sebagai orangtua yang bermanfaat bagi anak-anaknya dibutuhkan sikap saling pengertian antara orangtua dan anak. Sikap penuh pengertian ini adalah salah satu tonggak keharmonisan rumah tangga. Sikap ini dapat dicapai dengan meningkatkan kelancaran komunikasi setiap individu pembentuk rumah tangga tersebut. Merintis hubungan baik dalam keluarga dapat dimulai dengan menyediakan waktu untuk makan bersama minimal sekali dalam satu hari, misalnya. Acara makan ini sebaiknya terbebas dari berbagai macam gangguan,misalnya pembicaraan yang rumit tentang pekerjaan maupun acara televisi. Dengan demikian, kegiatan makan ini akan memberikan banyak kesempatan kepada seluruh anggota keluarga untuk saling bertukar pikiran dan berbagi rasa. Kelihatannya memang sepele, namun apabila dilaksanakan akan dapat menghasilkan keharmonisan keluarga yang tidak terbayangkan sebelumnya.Jika acara makan bersama telah dapat dijadikan tradisi dalam keluarga maka selanjutnya orangtua dapat berperan sebagai teman yang baik bagi anak-anaknya. Teman yang mampu dan mau mendengarkan segala keluh-kesah maupun kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Pada saat itulah orangtua dapat mengarahkan anak dengan memberikan nasehat dan bimbingan moral yang diperlukan sebagai bekal dalam menghadapi masa depan mereka yang mandiri dan penuh percaya diri. Hal ini tentu membutuhkan sedikit pengorbanan waktu orangtua yang amat berharga. Hanya saja, bila kita tidak ingin berkorban untuk anak saat ini, di masa depan kita akan banyak mendapatkan kesulitan hidup karena masalah yang disebabkan oleh anak-anak. Bila tiba saat seperti demikian, maka penyesalan orangtua terhadap kegagalan hasil pendidikan anak barulah muncul. Segala cara ditempuh, semua biaya dikeluarkan dengan hasil yang belum tentu sesuai dengan harapan. Tampaknya, sungguh sulit hidup ini.
Oleh karena itu, masalah komunikasi antara orangtua dan anak adalah sangat penting dalam
meningkatkan peranan orangtua terhadap masa depan anak. Dengan bekal komunikasi dalam keluarga yang baik, orangtua dapat mengarahkan anak-anak menuju tercapainya sikap mandiri dalam masyarakat dan memiliki kebaikan serta kebijaksanaan sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Pada saat memberikan pengarahan hendaknya orangtua memperhatikan lima kondisi ideal yaitu berilah pengarahan pada saat yang tepat, bahaslah masalah yang sesuai dengan kenyataan bukan mengada-ada, katakanlah nasehat dan pengarahan itu dengan lemah lembut dan berbicaralah tentang tujuan bukan metoda serta bicaralah dengan pikiran penuh cinta kasih (Anguttara Nikaya III, 195). 

Sedangkan pengarahan orangtua dalam membimbing anak-anaknya adalah dengan berpedoman pada Ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam Digha Nikaya III, 189 yaitu:

1. MENCEGAH ANAK BERBUAT JAHAT
Kejahatan anak dimulai dari kebiasaan buruk anak sejak kecil yang dibiarkan oleh orangtuanya. Anak kecil sejak umur awal (kira-kira 18 bulan) telah berusaha memaksakan kehendak pada orangtuanya(Dobson, hal. 133). Pemaksaan ini dapat dilakukan misalnya pada saat menentukan makanan yang disukai dan menggunakan saat istirahatnya. Anak sering rewel karena tidak suka dengan makanan yang telah disediakan oleh orangtuanya. Menghadapi pemaksaan semacam ini seringkali orangtua kemudian mengalah. Inilah awal kekerasan anak pada orangtua. Inilah awal ketidaktaatan anak kepada orangtua.
Seharusnya orangtua dengan tegas namun bijaksana dan penuh kasih sayang berusaha menyadarkan bahwa anak harus makan makanan sesuai dengan yang telah disediakan orangtuanya. Caranya adalah dengan mengajak anak bermain-main dahulu sampai datang rasa laparnya dan selanjutnya dihadapkan kembali pada makanan yang telah disediakan tadi. Pertamanya mungkin anak tetap tidak menyukainya,namun lama-kelamaan karena lapar tentu akhirnya ia mau juga. Tidur pun ternyata dapat menjadi alat yang efektif anak memaksa orangtua. Ketika anak diingatkan waktu tidur telah tiba, sering anak beralasan untuk menentang orangtuanya. Untuk menghadapi masalah ini, anak dapat diberikan cerita-cerita menarik sebelum tidur sehingga anak merasakan bahwa kegiatan tidur adalah kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan. Cerita menarik itu dapat diambil dari cerita Buddhis yang dapat dibaca dari buku maupun didengar dari sekolah minggu Buddhis di vihara-vihara terdekat. Memang untuk mempersiapkan hal itu membutuhkan perhatian dan pengorbanan orangtua, namun mengingat besar manfaatnya dimasa datang,kenapa masih ada orangtua yang tidak ingin melakukannya?

Apabila anak sejak dini sudah dapat didisplinkan sehingga menurut kehendak orangtua, kini tiba saatnya orangtua mengisi batin anak-anak dengan kemoralan. Ajarkan pada mereka hal-hal yang perlu dihindari. Pokok dasar pendidikan ini adalah dengan menerapkan pengertian bahwa bila kita tidak ingin dicubit maka janganlah mencubit orang lain. Sebagai seorang umat Buddha maka pengenalan Pancasila Buddhis sejak awal adalah langkah terbaik menuju masa depan anak yang bersusila. Pancasila Buddhis adalah lima latihan kemoralan yang terdiri dari latihan untuk mengurangi pembunuhan dan penganiayaan;latihan untuk mengurangi mengambil barang-barang yang tidak diberikan secara sah / mencuri; latihan untuk mengurangi tindakan yang melanggar kesusilaan; latihan untuk mengurangi mengucapkan katakata yang tidak benar/berbohong; serta,latihan untuk mengurangi makan dan minum barang-barang yang memabukkan (Anguttara Nikaya III, 203). 

Pengenalan ini dapat diberikan selain pada saat acara makan bersama juga pada saat orangtua menemani anak-anak menonton televisi. Arahkan mereka sehingga dapat menentukan tokoh mana yang tidak baik agar perbuatannya dapat dihindari dan tokoh mana yang baik untuk ditiru. Jadikanlah televisi sebagai alat pelajaran kemoralan. Oleh karena itu, sering-seringlah menemani anak bila ia sedang menonton televisi. Jangan terlalu sering membiarkan anak menonton televisi sendirian. Sebab, acara televisi kadang kurang sesuai untuk pertumbuhan batin anak-anak bila tanpa bimbingan orangtua. Sesungguhnya, televisi bila digunakan dengan benar akan dapat memberikan manfaat besar bagi dunia pendidikan.
Disamping menganjurkan anak melaksanakan Pancasila Buddhis, anak hendaknya juga dikenalkan dengan berbagai bentuk perbuatan buruk selain perbuatan yang disebutkan dalam Pancasila Buddhis,misalnya memaki, memfitnah, berjudi dlsb. Terangkanlah bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dapat merugikan atau tidak menyenangkan lingkungan. Pengenalan ini dapat menggunakan media surat kabar ataupun cerita-cerita Buddhis sederhana dan mudah diterima anak-anak. Tujuannya jelas, agar mereka tahu dan berusaha tidak melakukannya.


2. MENGANJURKAN ANAK BERBUAT BAIK
Selain mencegah kejahatan sebagai bentuk aktif negatif, kita juga harus mengarahkan anak melakukan tindakan aktif positif yaitu mengembangkan kebaikan. Tentu saja untuk hal ini juga dibutuhkan beberapa alat bantu. Salah satunya adalah dengan kembali memanfaatkan televisi seperti yang telah disebutkan di atas. Selain itu, usaha membacakan atau menceritakan cerita-cerita Buddhis setiap malam sebelum tidur kepada anak-anak akan menumbuhkan konsep berpikir positif yang sesuai dengan Buddha Dhamma dalam diri anak-anak. Anak-anak, menurut Dr. Charles Schaefer, cenderung meniru orang-orang lain yaitu orang yang mereka kagumi dan hormati serta orang-orang yang mereka sayangi yaitu para tokoh masyarakat dan pahlawan dari cerita yang mereka baca atau ketahui (hal. 19). Cerita-cerita Buddhis yang banyak mengambil suasana alam binatang akan lebih mudah diterima dan ditiru anak-anak. Memang, dalam usia tertentu anak akan lebih mudah meniru nasehat yang diberikan oleh tokoh-tokoh binatang.
Suatu bukti nyata, tokoh kartoon yang disukai anak-anak kebanyakan adalah tokoh binatang. Selain itu juga, ajarilah anak-anak menyanyikan lagu-lagu Buddhis sehingga Ajaran Sang Buddha secara sederhana dapat mereka hafalkan melalui lagu yang mereka nyanyikan. Hafal syair lagu ini diharapkan akan membantu anak untuk memiliki keyakinan yang kuat dan pedoman hidup sesuai dengan Buddha Dhamma.
Pokok-pokok perbuatan baik yang perlu dikenalkan kepada anak-anak terutama adalah pengembangan kerelaan, kemoralan dan konsentrasi. Sebagai contoh dalam mengembangkan sikap kerelaan pada anak dapat dilakukan dengan membiasakan anak memberikan uang atau makanan kepada pengemis yang datang ke rumah. Dapat juga anak dibiasakan berbagi barang-barang kesukaannya dengan saudara-saudaranya, misalnya saja, mainan ataupun makanan kesukaannnya. Bila hal ini telah dilatih sejak dini maka anak akan memiliki watak penuh welas asih dan akan lebih mudah memaafkan orang lain, lebih-lebih lagi, anak akan lebih menyayangi orangtuanya. Sebagai contoh latihan menyayangi orangtua dapat dibangkitkan dengan jalan membiasakan anak mengingat ulang tahun ayah dan ibunya. Pada hari ulang tahun ayah dan ibunya, anak hendaknya diminta, misalnya menyediakan sebuah bingkisan hadiah atau mungkin memberikan sebagian uang sakunya. Perlu ditekankan di sini, bukan nilai materinya yang penting melainkan nilai perhatian dan kasih sayangnya. Semakin banyak hari dalam setahun yang digunakan untuk mengingat jasa ayah dan ibunya, akan semakin dekat hubungan orangtua dengan anak,begitu pula sebaliknya. Hal ini akan menjadikan anak selalu ingat jasa kebajikan yang telah orangtua berikan kepadanya. 

Dengan demikian, sampai orangtua pikun dan renta pun anak-anak masih sayang dan ingin merawat mereka. Anak-anak akan selalu teringat bahwa dalam Dhamma telah disebutkan bahwa anak yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai anak (Khuddaka Nikaya,393).

Kemoralan yang pada intinya pelaksanaan Pancasila Buddhis pada hari-hari biasa dan pelaksanaan Atthasila atau Delapan Sila pada hari-hari Uposatha dapat dikenalkan pada anak-anak sedikit demi sedikit. Tentu saja contoh dan teladan orangtua amatlah diperlukan. Artinya perbuatan orangtua yang sesuai dengan sila akan lebih mudah ditiru anak daripada nasehat belaka tanpa contoh nyata. Sang Buddha juga bersabda, sebagaimana ia mengajar orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat
(Dhammapada XII, 3). 


Hal senada juga dikatakan oleh Mr. Sigourney, jika Anda menginginkan anak Anda untuk sesuatu ...berusahalah menunjukkan sesuatu itu dalam hidup Anda dan dalam pembicaraan Anda sendiri. Sesungguhnya, tenaga yang paling potensial untuk membuat anak menjadi mahluk sosial adalah dengan mengamati perbuatan oranglain, terutama orangtuanya. Dengan demikian, usahakan setiap hari Uposatha (tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan bulan) di cetiya di rumah diadakan pembacaan paritta khusus oleh ayah, ibu dan anak-anak pada pagi hari dan dilanjutkan dengan tekad melaksanakan Delapan Sila pada hari itu. Karena orangtua ikut aktif bersama dengan anak-anak, maka tidak akan ada lagi kesempatan bagi anak-anak untuk tidak melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari mereka. Anak-anak akan berbahagia memiliki orangtua yang bijaksana dan penuh kasih. Dengan demikian, mereka akan memiliki panutan hidup yang jelas. Mereka akan hormat dan kagum pada orangtuanya. Dan Dr. J.C. Dobson pun menuliskan, jika anak-anak dibawa untuk menghormati serta mengagumi orangtuanya, maka banyak kenakalan anak-anak dan kecerobohan dapat dihindari (hal. 105).
Konsentrasi dapat dikenalkan dengan melatih anak bermeditasi sejenak (kira-kira 15 menit) setiap hari. Sebaiknya dua kali sehari yaitu pagi sore setelah membaca paritta bersama ayah dan ibu. Ajarkan anak duduk bersila sesuai dengan petunjuk meditasi yang pernah didapat kemudian anjurkan anak mengucapkan kata "Bud-dho" sebanyak dua puluh kali, misalnya. Karena diucapkan, maka apabila pikiran anak menyimpang kita akan lebih gampang mengawasinya dan kemudian membenahinya.
Tunjukkanlah manfaat meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, bila anak telah bersekolah,meditasi akan dapat membantu meningkatkan kecerdasan anak. Tentunya jika prestasi sekolah anak meningkat maka orangtua pun akan merasa bangga.


3. MEMBERIKAN PENDIDIKAN
Pendidikan yang dimaksudkan di sini meliputi pendidikan lahir dan batin. Pendidikan anak Dewasa dalam Dhamma hal.sesungguhnya diawali dari rumah artinya diperoleh dari orangtua si anak sendiri. Disebutkan dalam Buddha Dhamma bahwa ayah dan ibu adalah guru yang pertama (Khuddaka Nikaya, 286). Oleh karena itu, sebaiknya pendidikan anak sudah dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Tentu saja pendidikan sejak dalam kandungan lebih bersifat batin daripada badan. Pendidikan batin di sini, salah satunya adalah pendidikan agama yaitu Agama Buddha. Ketika perkawinan sepasang suami istri telah diresmikan di sebuah vihara maka pada saat itulah mereka mulai mempersiapkan diri untuk memberikan pendidikan kepada calon anak-anaknya. Pasangan yang baru hendaknya selalu berusaha menjaga segala bentuk pikiran, ucapan dan perbuatannya agar ditujukan pada kebaikan. Dengan kata lain, mereka mendidik diri mereka sendiri dahulu sebelum memulai mendidik anaknya. Mereka hendaknya berusaha memiliki sebuah cetiya / altar di rumah. Setiap pagi dan sore sediakanlah waktu khusus untuk membaca paritta dan bermeditasi bersama. Pada hari Minggu atau hari kebaktian lainnya, suami istri kiranya dapat meluangkan waktunya untuk pergi ke vihara untuk melaksanakan puja bhakti serta mendengarkan dan berdiskusi Dhamma. 

Apabila kebiasaan ini terus dilanjutkan pada saat telah terjadi kehamilan, 
maka sesungguhnya kedua calon orangtua tersebut telah siap mengawali tanggung jawab pendidikan anak  yang amat penting. Dalam usia kehamilan tertentu, tujuh bulan misalnya, dapat mengundang teman-teman maupun para bhikkhu untuk membacakan paritta agar anak dalam kandungan memperoleh keselamatan,begitupula ayah dan ibunya hendaknya memperoleh kebahagiaan. Menjelang kelahiran dan kemudian beberapa hari setelah kelahiran, alangkah baiknya bila juga mengundang teman maupun bhikkhu untuk membacakan paritta untuk keselamatan ayah, ibu dan anak. Demikian pula ketika ada peringatan-peringatan penting lainnya, ulang tahun misalnya, maka sungguh amat bermanfaat orangtua mengundang rekan vihara dan juga para bhikkhu untuk membaca paritta di rumah. Dengan demikian, anak telah dikenalkan tradisi Buddhis sejak usia dini. Disebutkan Dobson, hendaknya latihan kerohanian sudah dimulai sebelum anak-anak bisa memahami apakah artinya semua itu (hal. 123). Hal ini menyebabkan dimasa datang anak akan tetap menjadikan Buddha Dhamma sebagai pedoman hidupnya. Karena,meskipun anak-anak akhirnya akan membuat pilihan mereka sendiri dan menentukan arah kehidupan mereka, tetapi keputusan-keputusan itu akan dipengaruhi oleh dasar-dasar yang telah diletakkan oleh orangtuanya (Dobson, hal. 125).

Selain mengundang teman membaca paritta, hal yang jelas tidak boleh dihentikan apalagi dilupakan adalah kegiatan membaca paritta serta meditasi pagi-sore di cetiya di rumah oleh seluruh anggota keluarga. Dalam kegiatan membaca paritta bersama ini dapat pula dilakukan pembahasan Dhamma oleh ayah atau ibu atau mendengarkan pembabaran Dhamma yang terdapat di kaset-kaset rekaman.
Apabila telah tiba saatnya seorang anak masuk sekolah, maka anak akan memperoleh pendidikan ganda. Anak akan tetap memperoleh pendidikan di rumah namun sekaligus juga di sekolah yang telah ditentukan oleh orangtua. Penentuan sekolah ini merupakan hal penting pula. Perlu dijadikan dasar pemikiran pada saat memilih sekolah adalah faktor lingkungan, pergaulan, agama yang dominan di sekolah tersebut di samping masalah jarak rumah ke sekolah dan juga mutu sekolah tentunya. Perlu diingat, bahwa pergaulan anak amat menentukan corak watak anak dimasa depan. Ibarat kayu cendana yang wangi akan memberikan keharuman bagi kertas yang membungkusnya, sebaliknya daging busuk juga akan menyebarkan kebusukannya pada daun yang membungkusnya. Oleh karena itu, sekali lagi,berhati-hatilah memilihkan teman bergaul anak-anak agar tidak menjadikan penyesalan bagi semua fihak nantinya.

Dengan demikian jelas di sini bahwa yang dimaksudkan dengan pendidikan bukan hanya di sekolah saja. Sekolah selain sebagai tempat pendidikan sebenarnya lebih cenderung menjadi tempat pengajaran.Namun, rumah dengan kondisi rumahtangga yang damai dan harmonis antara setiap individu pembentuk rumah tangga adalah menjadi tempat pendidikan anak yang baik sekali.

4. MENYETUJUI CALON PASANGAN HIDUP ANAK
Satu hal wajar dalam proses kehidupan setelah anak beranjak dewasa adalah menentukan teman hidup. Di masa sekarang, pada umumnya anak memilih sendiri calonnya, tinggal tugas orangtua menyeleksi dan memberikan persetujuannya. Apabila calon menantu telah memenuhi persyaratan tertentu dari orangtua maka anak dapat meneruskan hubungan mereka ke jenjang perkawinan. Namun, apabila orangtua kurang berkenan dengan pilihan anak maka hendaknya anak disarankan untuk mencari lagi calon pasangan hidup yang lebih sesuai. Di sinilah peranan orangtua dalam menentukan masa depan anak menjadi amat penting. Orangtua hendaknya dengan bijaksana dan penuh kasih menyelesaikan tugas mulia ini. 
Orangtua dapat menghindarkan diri dari kebingungan di belakang hari karena masalah memilih calon menantu dengan cara seperti yang telah disinggung di atas, yaitu dengan memilihkan anak lingkungan yang sesuai. Bila anak telah terarah pada lingkungan yang benar, maka tentunya calon pasangan hidup pilihannya pun cenderung akan sesuai dengan harapan orangtua. Pilihan yang sesuai tentu saja harus memenuhi kriteria kepantasan dasar yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat tempat keluarga tersebut tinggal. Kriteria kepantasan ini bersifat relatif. Sedangkan kriterian memilih menantu yang terdapat dalam Buddha Dhamma sebagai yang telah disebut dalam Maha Manggala Jataka bahwa pedoman memilih menantu perempuan, ia hendaknya ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati dan mampu memberikan keturunan, memiliki keyakinan, memiliki kemoralan serta berasal dari keluarga baik-baik (Jataka X, 453). Sedangkan kriteria memilih menantu laki-laki, ia hendaknya setia tidak tergolong lelaki hidung belang, pemabuk, penjudi dan pemboros (Parabhava Sutta, 16).
Selain kriteria di atas ada beberapa persyaratan penting lainnya yang perlu diketahui orangtua dalam memilih dan menentukan calon menantu. Persyaratan ini penting karena memperoleh menantu yang sesuai akan dapat menumbuhkan kebahagiaan untuk anak. Sedangkan kebahagiaan anak adalah pasti merupakan kebahagiaan orangtua pula. Pada kitab Anggutara Nikaya II, 59 Sang Buddha memberikan minimal empat kesamaan sebagai persyaratan agar rumah tangga berbahagia. Persyaratan itu adalah memiliki kesamaan dalam keyakinan yaitu yakin dengan Agama Buddha, kemoralan, kedermawanan serta kebijaksanaaan sesuai dengan Dhamma. Bila keempat kesamaan ini dapat dipenuhi maka kebahagiaan pasangan tersebut akan dapat tercapai.


5. MEMBERIKAN WARISAN PADA SAAT YANG SESUAI
Masalah memberikan warisan sering dihindari dalam pembicaraan masyarakat sehari-hari padahal urusan ini banyak menimbulkan perkara antar anggota keluarga bila orangtua telah meninggal. Oleh karena itu dalam tradisi Buddhis, memberikan warisan sebaiknya ketika orangtua masih hidup. Hal ini mempunyai maksud, bila anak ternyata tidak mampu memenuhi harapan orangtua maka orangtua masih dapat memberikan dukungan maupun nasehat yang diperlukan sehingga anak akhirnya akan mampu memperoleh kemajuan sesuai harapan orangtua.Warisan dapat diartikan peninggalan orangtua pada anak baik yang bersifat materi maupun bukan.Warisan yang bukan materi misalnya pendidikan, sopan santun, sikap hidup dan sebagainya. Sedangkan warisan yang dimaksudkan di sini lebih cenderung pada warisan yang bersifat materi. Hal yang penting ditekankan di sini adalah bukan besarnya nilai materi warisan yang diberikan tetapi kegunaan dan kemampuan anak memanfaatkan warisan yang diterimanya. Kemampuan ini tentunya merupakan hasil pendidikan orangtuanya pula. Oleh karena itu, peranan orangtua dalam mengarahkan anak agar memiliki ketrampilan tertentu untuk mempertahankan kehidupan dan menjadi mandiri setelah dewasa adalah menjadi salah satu tanggung jawab utama orangtua.


KESIMPULAN
Masa depan anak, kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi oleh peranan orangtua di masa kecil anak. Komunikasi yang dibina dengan semaksimal mungkin akan memberikan dasar terpenting dalam pendidikan anak. Dasar pembinaan komunikasi adalah dengan menanamkan pengertian pada diri orangtua bahwa bayi adalah manusia sepenuhnya sejak kelahiran (Dobson, hal. 32). Hal inilah yang sering dilupakan oleh orangtua. Orangtua cenderung menganggap anaknya tidak tahu apa-apa. Orangtua merasa tidak perlu memberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan pikirannya kepada anak-anaknya.
Mereka menganggap anak-anaknya belum saatnya berbicara dan berdiskusi tentang sesuatu masalah dalam keluarga tersebut. Padahal mungkin masalah itu berkaitan dengan anak tersebut. Sikap inilah yang akan menghambat komunikasi orangtua dengan anak. 

Namun apabila hal ini dapat disadari dan diperbaiki maka komunikasi akan dapat terjalin baik. Apabila komunikasi telah terbina, maka nilai-nilai apapun yang hendak orangtua tanamkan pada anak akan lebih gampang diterima. Penanaman watak yang penting adalah meningkatkan mutu kebajikan dalam segala bentuk tingkah laku, ucapan dan cara berpikir anak yang benar dan sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Cara penanaman watak baik ini dapat menggunakan beberapa dorongan sebagai pertolongan. Jeremy Benthan, seorang ahli filsafat abad 19, mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dua tenaga pendorong yaitu kesenangan dan kesakitan. Oleh karena itu, sistem memberikan hadiah dan hukuman bila diperlukan dapat diterapkan dengan bijaksana dan penuh kasih pada anak-anak. 
Perlu ditambahkan di sini bahwa hukuman atau pengendalian secara fisik haruslah merupakan metoda terakhir dalam usaha mengendalikan anak. Dr. Charles Schaefer menegaskan bahwa paksaan secara fisik bukanlah merupakan hukuman tetapi suatu pencegahan agar anak tidak berbuat hal-hal yang berbahaya dan merusak bagi dirinya sendiri, orang lain, atau benda-benda di sekitarnya (hal. 117).
Dr. Charles Schaefer pernah membuat survey terhadap 2000 orang anak yang menanyakan mereka tentang perubahan apakah yang mereka kehendaki atau inginkan terjadi dalam kehidupan keluarga mereka. Jawaban terbanyak bila diurutkan adalah pelajaran agama lebih banyak, kemudian komunikasi yang lebih baik dan ketiga adalah waktu yang lebih banyak untuk bersama-sama sebagai satu keluarga(hal. 160).
Menyadari sedemikian rindunya anak-anak generasi penerus kita pada kebersamaan dan komunikasi dengan orangtuanya yang telah hilang ditelan kebutuhan, maka renungkanlah sebuah slogan yang mulai sering terdengar: 

SUDAHKAH ANDA PELUK ANAK ANDA HARI INI ?


RENUNGAN



Anak-anak Mempelajari Hal yang Mereka Hayati dalam Hidup,
Kalau seorang anak hidup dengan kritik,
Dia akan belajar mengecam.
Kalau seorang anak hidup dengan kebencian,
Dia akan belajar berkelahi.
Kalau seorang anak hidup dengan ejekan,
Dia akan belajar menjadi pemalu.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa malu,
Dia akan belajar merasa bersalah.
Kalau seorang anak hidup dengan toleransi,
Dia akan belajar sabar.
Kalau seorang anak hidup dengan dorongan,
Dia akan belajar memiliki keyakinan.
Kalau seorang anak hidup dengan pujian,
Dia akan belajar menghargai.
Kalau seorang anak hidup dengan kejujuran,
Dia akan belajar adil.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa aman,
Dia akan belajar mempunyai iman.
Kalau seorang anak hidup dengan persetujuan,
Dia akan belajar menyukai dirinya sendiri.
Kalau seorang anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan,
Dia akan belajar menemukan cinta di dunia.



(Dorothy Noltie,
dikutip Brian Tracy hal. 328-329)


SEMOGA SEMUA MAHLUK BERBAHAGIA.

Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id


Rabu, 26 September 2012

Mencari Jawaban : Beban hidup




Suatu hari, seorang pemuda yang gagah namun penampilannya dekil dan bajunya compang-camping mendatangi guru Zen Wu Ji. Katanya, 'guru, saya datang dari jauh dan telah menempuh perjalanan yang sangat jauh dan berat. Saya kesepian, menderita dan sangat letih. Sepatu saya sudah sobek dan badan saya penuh luka. Ini semua saya lakukan demi mencari jawaban atas penderitaan saya. Kenapa saya belum menemukan cahaya petunjuk sedikit pun?'.

Sang guru Zen melihat pemuda ini membawa sebuah buntelan besar. 'apa isi buntelanmu itu?', tanya si guru. Jawab si pemuda, 'isinya sangat penting bagi saya. Di dalamnya ada barang2 yang mengingatkan saya pada setiap tangisan, ratapan, dan air mata saya. Benda2 ini menjadi penyemangat saya dalam menempuh perjalanan berat mencari jawaban ini'. 'Baik, sekarang ikutlah denganku', kata si guru Zen.

Mereka berjalan sebentar dan tiba di tepi sebuah sungai kecil. Di tepi sungai itu ada sebuah perahu sampan kecil. Si guru naik ke atas sampan tsb. 'naiklah', ajak si guru pada pemuda itu. Si pemuda itu pun naik ke atas sampan, dan mereka menyeberangi sungai tsb. Ketika sampai di seberang, mereka berdua turun dari sampan ke tepian. Kata si guru Zen, 'kita sudah sampai. Sekarang pikullah sampan ini, dan kita akan melanjutkan perjalanan kita'. Pemuda itu kaget dan protes, 'tapi sampan ini begitu berat, mana kuat saya memikulnya?'. 'benar sekali katamu itu. Ketika kita menyeberangi sungai, sampan ini sangat berguna dan besar artinya bagi kita. Namun ketika sudah siap meneruskan perjalanan kita berikutnya, sampan ini hanya akan menjadi beban saja. Kita harus meninggalkannya di tepi sungai, kalau tidak sampan ini hanya akan memberatkan langkah kita'.

'Begitu juga dengan kehidupan kita. Penderitaan, kesepian, kegagalan, tangisan, air mata, dan bencana, semuanya sangat berguna dalam kehidupan kita. Semua itu membuat kita tabah dan kuat menghadapi tantangan hidup di masa depan. Namun pada saat kita ingin melangkah maju, kalau kita tidak melepaskan hal2 tersebut, maka hal2 tersebut hanya akan menjadi beban langkah kita. Letakkanlah beban itu! Kehidupan akan menjadi lebih ringan.

'Sekarang letakkan tas mu di sini, dan mari kita melanjutkan perjalanan'. Si pemuda mengikuti perintah si guru, dan melanjutkan perjalanan. Beberapa jauh kemudian si guru menanyakan perasaan si pemuda ini. Jawab si pemuda, 'kini rasanya langkahku begitu ringan dan cepat. Aku baru sadar bahwa kehidupan sebenarnya bisa dijalani dengan begitu sederhana.....'

Moral:

Masa lalu tidak sama dengan masa kini dan masa depan. Masa lalu tidak terlalu penting. Yang penting adalah masa kini dan masa yang akan datang. Orang berhasil pasti pernah jatuh dan gagal dalam hidupnya, tetapi mereka tidak terus-terusan membawa beban itu di pundaknya. Jadikan masa lalu yang baik sebagai teladan, dan masa lalu yang buruk sebagai pelajaran. Namun jangan membawa-bawa masa lalu itu sendiri.


(Regina Kim)

Kematian




Seorang pengembara yang bernama Vaccha bertanya kepada seorang master , mengenai apa yang akan terjadi kepada dirinya setelah kematian.

Sang Master menjawab " Vaccha, ide dalam dirimu yang mempertanyakan apa yang akan kau alami setelah kematian, akan membawa pikiranmu ke padang pasir yang gersang, Hutan belantara yang berduri dan kemarau panjang tiada berkesudahan. Pikiran itu menciptakan ketakutan, kemarahan, delusi dan argumentasi. Apa yang kau harapkan dengan pemikiran seperti itu ? Pertanyaanmu itu tidak akan menciptakan kedamaian dan pencerahan."

Vaccha " Lantas, apakah anda memiliki pemikiran sendiri mengenai kematian ?"

Sang master itu diam sejenak. Kemudian menjawab pertanyaan pengembara itu dengan senyum "
"Vaccha, Saya tidak mau terlibat dengan semua iman dan kepercayaan, tapi saya akan mengatakan apa yang saya sudah mengerti. Semua hal dalam kehidupan ini adalah hasil dari persepsi pikiran, sebagaimana semua hal datang dan pergi, menjadi ada dan kemudian tidak ada...lahir dan kematian juga merupakan rangkaian peristiwa yang ada di dalamnya. Mereka yang sudah tidak terikat oleh persepsi akan melihat bahwa semua yang terjadi, sebagaimana itu terjadi. Semua hanyalah kumpulan dari berbagai "saat".
Sebagaimana "saat" kita menarik nafas, kemudian akan dilanjutkan dengan "saat" kita menghembuskan nafas. "Saat" kita lahir, "Saat" kita beranjak dewasa, "Saat" kita menikah, "Saat" kita tua, "Saat" kita mati, semuanya adalah kumpulan "Saat". Tidak ada alur maju atau mundur, kita hanyalah hidup di "Saat sekarang" yang abadi. Seperti buih yang naik ke permukan air untuk kemudian kembali ke bawah permukaan, seperti angin yang mendadak bertiup dan kemudian juga mendadak berhenti. Seperti hujan yang turun dan hujan yang berhenti, semuanya ada dalam "saat sekarang" yang abadi, sekarang...katakan pada saya...apakah kematian itu ada ?"

Vaccha tersenyum " Saya mengerti"


(Regina Kim)

Selasa, 25 September 2012

KISAH CINCIN KEBERUNTUNGAN

Alkisah seorang bapak memiliki sebuah cincin yang membawa keberuntungan kita sebut aja namanya pak Atong, tetapi belakangan pak Atong bingung, rencananya pak Atong akan mewariskan cincin tersebut kepada anak laki2nya tapi yang membuat bapak itu pusing anak laki2nya ada 3 orang gak mungkin kan cuma kasih ama salah satu anaknya tentu yang lain akan protes.

Tetapi akhirnya pak Tong gak habis akal dia pergi ke tukang cincin dan minta tukang cincin membuat cincin 2 buah yang sama persis dgn cincin keberuntungan miliknya jadi siapa dari anaknya yang beruntung akan mendapatkan cincin yang asli, tetapi sayangnya sebelum cincin itu di serahkan pak Tong keburu pindah alam alias game over.


Ketiga anak laki2 pak Tong jadi ribut, kenapa cincin keberuntungan papa mereka kok bisa jadi tiga yang mana yang asli. Mereka pun mencari paranormal dan para tidak normal tetapi paranormal dan para tidak normal tersebut juga tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang bukan....begitu juga ahli2 pembuat cincin mereka juga gak bisa membantu.

Akhirnya masalah ini sampai juga kepengadilan dan kebetulan mereka bertemu dengan hakim yang adil dan bijaksana kita sebut aja hakim PAU...pertama2 hakim Pau juga kebingungan bagaimana caranya menyelesaikan perkara ini... hakim Pau pun memutar otak dan beliau mendapatkan ide cemerlang " Sekarang begini aja anak2 muda kalau kalian mau tau mana yang asli dan mana yang bukan kalian harus membuktikannya sendiri " kata hakim Pau " bagaimana cara membuktikan Yang Mulia" celetuk salah satu dari tiga bersaudara itu...jawab hakim Pau " gampang sekali mulai hari ini kalian bertindak dan bekerjalah dengan bersungguh2 dan buktikan klo cincin yang kalian miliki benar2 membawa keberuntungan ...nah siapa yang sukses diantara kalian itu lah yang memiliki cincin yang asli " ke tiga anak Pak Tong pun paham dan mereka pergi dari pengadilan tersebut dgn semangat ...mereka pun berpencar ke tiga penjuru untuk membuktikan keaslian cincin yang mereka miliki.

Akhir cerita setelah puluhan tahun berlalu ketiga bersaudara tersebut pun sudah tua dan mereka kembali ke kampung halaman dan ternyata mereka semuanya sukses....jadi siapa sebenarnya yang memiliki cincin yang asli itu....?

Ternyata bukan cincin itu yang membawa keberuntungan tetapi semangat dan keuletan mereka lah yang membawa kebeuntungan...karna masing2 dari mereka merasa cincin yang asli la yang mereka pakai sehingga mereka berupaya menunjukan keaslian cincin mereka...mereka terpacu dan terdorong untuk membuktikannya...alhasil kesuksesanlah yang mereka raih.....

Dari cerita ini kita bisa mengambil suatu kesimpulan jimat keberuntungan apapun yang kita pakai...seperti HU PO, cincin gelang, rantai dst itu hanya simbol....dan pemacu...keberuntungan sesungguhnya ada di tangan kita masing2...dengan bekerja keras, ulet, penuh perhitungan dan tetap semangat...keberuntungan akan menjadi milik anda.....!!!!!


(post : Regina Kim)

Jumat, 21 September 2012

JALAN KE SURGA




Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana,
namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma,
bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur. 

(Dhammapada V, 6)


Pembabaran Dhamma hari ini mungkin agak berbeda dengan yang biasa diberikan pada waktu-waktu lampau. Kalau biasanya selalu diuraikan Dhamma tentang bagaimana supaya kita hidup berbahagia didunia, sekarang kita akan melihat dari sisi yang lain. Sesungguhnya, dalam Agama Buddha, ada tiga tujuan hidup yang bisa didapatkan.
Tujuan hidup yang pertama adalah memperoleh hidup bahagia di dunia. Buddha Dhamma
menguraikanberbagai cara dan jalan agar tujuan tersebut dapat tercapai. Sebagai seorang mahasiswa,sebagai seorang pelajar, sebagai seorang tua, sebagai pedagang, sebagai pekerja, dll. dengan melaksanakan Ajaran Sang Buddha pasti akan mencapai tujuan itu. 

Cara kita mendidik anak, sikap anak kepada orang tua, sikap atasan kepada bawahan, sikap bawahan kepada atasan, dan yang lain-lain, telah diajarkan pula oleh Sang Buddha agar orang dapat mencapai tujuan ini.
Tujuan hidup yang kedua sebagai seorang umat Buddha, selain hidup di dunia bahagia, adalah dapat terlahir di surga setelah kehidupan ini. Bahasa sederhana kedua tujuan hidup ini adalah hidup di dunia bahagia, mati pun masuk surga. Kenapa demikian? Karena orang tentunya tidak bisa hidup kekal di dunia.
Sang Buddha telah bersabda bahwa hidup ini tidak pasti, justru kematianlah yang pasti. Kita tahu saat ini sedang hidup, namun kita tidak akan pernah tahu sampai kapan kita masih hidup. Kalau sekarang kita sudah berusaha menjadi mahasiswa yang baik, menjadi orang tua yang baik.... Kemana kita akan pergi setelah mati? Oleh karena itu, kita juga diajarkan cara agar mati masuk surga.

Tujuan hidup yang ketiga lebih tinggi lagi. Tujuan ini juga menjadi tujuan tertinggi seorang umat Buddha yaitu bagaimana agar bisa mencapai Nirwana atau Nibbana. Nirwana atau Nibbana adalah kondisi tidak terlahirkan kembali, baik di dalam kehidupan ini maupun setelah kehidupan ini. Nirwana tidak sama dengan surga. Nirwana adalah konsep Ketuhanan di dalam Agama Buddha, yang kekal, yang abadi. Surga tempatnya lain lagi.
Biasanya kita berbicara tentang bagaimana agar bahagia hidup di dunia. Kali ini akan diceritakan bagaimana pandangan Agama Buddha tentang surga. Apakah seorang umat Buddha bisa masuk surga? Ini merupakan problem yang pertama. Banyak yang mengatakan bahwa umat Buddha tidak punya surga. Walaupun jarang diceritakan tentang surga, bukan berarti Agama Buddha tidak mempunyainya. Bahkan kalau kita melihat kitab suci agama Buddha yaitu Tripitaka, terdapat surga sebanyak 26 tingkat! Jadi, kalau kita sudah siap, boleh langsung 'berangkat' ke surga. Memang, seseorang berangkat ke surga tidak bisa ditentukan sebelumnya, tidak tergantung umur. Orang dapat meninggal walau usia masih muda, tanpa harus menunggu usia tua terlebih dahulu. Hidup ini tidaklah pasti, yang pasti adalah kematian. 


Kita tahu bahwa sekarang ini kita hidup, tetapi kapan kita mati? Hari ini bisa, besok pun bisa. Seratus tahun lagi juga mungkin bisa. Karena itu, marilah kita berbicara tentang surga, karena keberangkatan kita ini tidaklah pasti. Apabila diibaratkan seseorang yang naik pesawat, orang yang meninggal itu sudah take off, sudah lepas landas. Kita yang berada di sini ini baru boarding, sebentar lagi take off. Ada juga yang baru punya tiket saja. Masih lama. Tetapi semua pasti berangkat, tidak ada pilihan lain. Karena itu, apakah seorang umat Buddha bisa masuk surga? Jawabannya: Bisa! Gampang lagi. Karena terlalu gampang sehingga jarang diceritakan. akhirnya orang menduga bahwa dalam Agama Buddha tidak mempunyai surga. Padahal, sebaliknya, amat banyak surganya. Ada 26 surga. Kenapa dibutuhkan 26 surga? Karena sesungguhnya setiap makhluk mempunyai perbuatan baik yang tidak sama banyaknya maupun tingkatannya. Seseorang yang telah berbuat baik sejak kecil, tentu surganya lebih tinggi daripada orang yang berbuat baik hanya ketika akan meninggal. Kalau surga bagi yang berbuat baik ketika akan meninggal sama dengan yang berbuat baik sejak kecil berarti rugi dan tidak adil. Melakukan perbuatan baik itu tidaklah gampang. Perbuatan baik lebih membutuhkan pengendalian diri daripada perbuatan jahat.

Perbuatan baik adalah melatih mengurangi ketamakan, kebencian dan kegelapan batin. Itu sulit. Sebaliknya, bila hendak menambah ketamakan, kebencian dan kegelapan batin jauh lebih gampang. Coba orang diberitahu: "Jangan marah. Marah itu jelek." Ia akan menganggukkan kepala, setuju, tetapi tetap saja ia masih suka marah-marah. Kalau kita bisa bersabar, berarti sudah termasuk luar biasa. Karena apa?
Karena memang mengatasi diri sendiri itu sangat sulit. Oleh karena itu, kalau orang sudah bisa mengatasi diri sendiri untuk waktu yang cukup lama, berbuat baiknya juga sudah cukup lama, pasti surganya lebih tinggi daripada mereka yang berbuat baik hanya sedikit. Di dalam Agama Buddha jelas ada surga, bahkan 26 tingkat, sesuai dengan tingkat perbuatan baik yang telah dilakukan oleh seseorang.

Apabila problem pertama sudah terjawab bahwa dalam Agama Buddha ada surga, bahkan 26 tingkat; problem kedua adalah apakah syarat masuk surga? Ini lebih penting, sebab bila kita sudah memenuhi persyaratannya, berangkat ke surga saat ini pun pikiran akan tenang. Tiket sudah siap. Syarat untuk bisa lahir di surga, terdapat di dalam Tripitaka kitab Anguttara Nikaya IV, 288. Disebutkan di sana, agar terlahir di surga, syarat pertama adalah memiliki keyakinan, yakin kepada ajaran Sang Buddha, masuk surga. Apakah hanya dengan berbekal keyakinan saja dapat masuk surga? Dapat! Kenapa tidak pernah disebutkan? Terlalu gampang. Tetapi sekarang akan diceritakan agar diketahui.
Memiliki keyakinan pada Ajaran Sang Buddha langsung masuk surga. Apakah buktinya? 
Ada sebuah cerita di jaman Sang Buddha. Ada seorang anak lelaki yang tinggal dengan ayahnya yang amat kikir/pelit. Begitu kikirnya sehingga kalaupun anaknya sakit, anak itu tidak dibawa ke dokter. Dia berusaha mengobatinya sendiri. Karena dia merasa dokter itu mahal. Karena diobati sendiri maka anaknya tidak sembuh. Malah makin sakit. Si ayah khawatir kalau anaknya akan meninggal. Diletakkannya anak itu di teras rumah agar para tetangga yang datang ke rumahnya tidak akan melihat harta kekayaannya. Karena anak itu diletakkan di teras, maka sakitnya malah tambah berat dan gawat. 
Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang bermeditasi, dengan mata batin Beliau melihat bahwa anak itu akan meninggal hari itu juga. Beliau juga memahami bila anak itu meninggal dalam kondisi seperti ini maka ia akan terlahir di alam menderita. Maka Sang Buddha kemudian bertekad untuk menolong anak tersebut. Sang Buddha sengaja lewat di depan rumahnya. Sang Buddha dengan anggun dan agungnya melangkah lewat di depan rumah itu. Anak itu melihat Sang Buddha. Ketika dia melihat Sang Buddha, dia kagum, terpesona dengan keagungan dan keanggunan Beliau. Pada saat dia melihat dan terpesona, anak ini kemudian bersikap anjali. Merangkapkan kedua tangan di depan dada, menghormat. Kemudian anak itu berseru: "Aku Berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha." Setelah selesai mengucapkan kalimat perlindungan itu sebagai tanda keyakinannya kepada Sang Tiratana, dia meninggal. Dan, memang anak ini terlahir di alam surga. Dengan modal keyakinan (saddha)-lah dia terlahir di alam surga.
Persyaratan pertama adalah memiliki keyakinan (saddha) kepada Ajaran Sang Buddha, seseorang apabila meninggal dapat terlahir di surga. Lebih dari itu, persyaratan kedua, memiliki dan melaksanakan sila atau kemoralan. Latihan kemoralan yang paling sederhana adalah latihan untuk tidak melakukan lima hal, pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan dan mabuk-mabukan. Lima latihan kemoralan ini dijalankan, mati masuk surga.

Ada sebuah cerita di jaman dahulu. Pada waktu itu hiduplah seorang penjahat besar, penjahat ini suka membunuh, suka merampok serta berbagai bentuk kejahatan dan kekejaman lainnya. Tetapi penjahat ini mempunyai kebiasaan unik, setiap hari Uposatha atau tanggal 1, 8, 15, 23 menurut penanggalan bulan (Imlek), dia menjalani sila atau latihan kemoralan. Libur, tidak berbuat segala bentuk kejahatan. Selama penjahat ini libur, dia menjalankan sila. Dia betul-betul menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukan. Hari itu adalah hari libur total. Pelaksanaan latihan kemoralan sehari dalam satu minggu ini dilakukannya selama bertahun-tahun. Setelah meninggal dunia, penjahat ini karena kejahatannya, dia terlahir di alam menderita, alam peta. 
Namun, akibat kebiasaannya melaksanakan sila seminggu sekali, ia terlahir di alam Vemanika Peta. Alam Peta ini punya kekhususan. Makhluk yang terlahir di alam Peta ini bila malam merasakan penderitaan yang luar biasa namun bila siang berbahagia di surga. Benar-benar suatu kehidupan yang amat berlawanan. Setengah hari di alam menderita dan setengah hari sisanya di alam bahagia. Terlahir di alam bahagia selama setengah hari ini adalah buah perbuatan baiknya, setiap bulan empat kali menjalankan sila di luar 25 hari yang digunakannya untuk membunuh,mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukan. Jadi kalau kita sekarang setiap hari sudah menjalankan sila dengan baik, tidak membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukan untuk jangka waktu yang lama, lahir di surga kiranya sudah bukan masalah besar lagi.
Tetapi lebih dari keyakinan (saddha) dan kemoralan (sila), agar dapat terlahir di surga persyaratan ke tiga, mengembangkan watak kedermawanan (caga). Ada pula sebuah cerita tentang pengembangan watak kedermawanan sehingga terlahir di surga. Dimasa yang telah sangat lama, ada seorang pemuda yang suka berbuat baik. Ia bersama-sama temannya selalu berusaha memberikan dan melakukan yang terbaik untuk lingkungannya. Apabila ia melihat ada sebuah sungai yang arusnya deras, sehingga banyak orang yang tidak bisa menyeberang, maka orang ini kemudian mengajak 32 orang temannya untuk membangun jembatan. 
Di waktu yang lain, ketika mereka melihat banyak orang berjalan jauh dan kehausan, mereka ber-33 orang sepakat untuk menyediakan tempat-tempat peristirahatan untuk para pengembara ini lengkap dengan tempat makan dan minumnya. Mereka selalu sibuk berbuat baik dengan berbagai macam cara. Melepaskan binatang yang dikurung dan menderita, dsb. Pokoknya, kebahagiaan mereka, 33 orang ini, adalah berbuat baik. kebajikan ini selalu mereka lakukan sampai saat meninggalnya.
Setelah 33 orang ini meninggal dunia, mereka memiliki satu alam surga baru. Surga untuk mereka dinamakan Alam Surga Tiga Puluh Tiga Dewa (tavatimsa).

Dalam Anguttara Nikaya IV, 288 disebutkan bahwa seseorang dapat terlahir di alam surga dengan memiliki persyaratan keempat, kebijaksanaan. Kebijaksanaan di dalam agama Buddha artinya orang yang bisa melihat hidup sebagaimana adanya. Orang yang tidak gampang tergoyahkan batinnya karena proses perubahan dunia. Kehidupan hanyalah berisikan proses sukha-dukkha, untung-rugi, memperoleh pangkat-dipecat, dipuju-dicela. Mereka yang masih diliputi oleh ketamakan, kebencian dan kegelapan batin pasti akan banyak mengalami kekecewaan menghadapi perubahan dunia. 
Namun, orang setelah mengenal Dhamma, ia akan mengerti bahwa keseimbangan batin dalam menghadapi perubahan akan diperoleh dari pengendalian keinginannya sendiri. Makin keinginan dikendalikan, makin sedikit kekecewaan dialami. Buddha Dhamma telah mengajarkan cara-cara paling praktis untuk mengendalikan keinginan yaitu dengan melatih meditasi. Latihan meditasi yang rutin akan menimbulkan ketenangan pikiran. Ketenangan pikiran adalah modal utama kebahagiaan. Orang semacam ini ketika masih dalam kehidupan saat ini pun ia telah berbahagia. Apalagi setelah meninggal. 

Empat hal inilah yang harus disiapkan supaya kita dapat hidup di dunia bahagia. Memiliki keyakinan adalah hal penting. Menjaga dan mengembangkan keyakinan juga hal yang tidak boleh dipandang ringan. Menjaga dan menumbuhkan keyakinan salah satu caranya adalah dengan setiap hari Minggu datang ke cetiya atau vihara, membaca Paritta, mendengarkan dan berdiskusi Dhamma. Dari sini akan muncul keyakinan yang kuat pada kebenaran dan keluhuran Dhamma. Apalagi bila sering memperoleh pengalaman dari orang yang telah merasakan manfaat mengikuti Agama Buddha. Manfaat, dapat bersifat batin maupun fisik. Manfaat batin, misalnya memperoleh ketenangan, kesabaran. 

Manfaat fisik, misalnya, memperoleh kesembuhan dari suatu penyakit tertentu, kesuksesan kerja, terbebas dari suatu bencana, dll.
Sesungguhnya, di dalam kehidupan seorang umat Buddha, banyak juga mengalami mukjizat.
Oleh karena itu, marilah kita tingkatkan keyakinan kita, sering-seringlah ke vihara, mendengarkan dan diskusi Dhamma. Kemudian selain meningkatkan keyakinan, kita juga hendaknya meningkatkan praktek Dhamma di dalam kehidupan sehari-hari. Kita tekun mengembangkan kemoralan tidak membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukan. Kemudian mengembangkan kedermawanan: suka memberi, berbagi pikiran, suka menyumbang pikiran, suka menyumbang nasehat, juga suka menyumbang tenaga untuk kegiatan sosial, untuk teman kita, untuk orang tua kita dan akhirnya kita mengembangkan kebijaksanaan dengan meditasi agar dapat menyadari bahwa segala sesuatu adalah proses. Kalau empat hal ini telah dimantapkan, maka jalan ke surga ibarat jalan tol, mulus, lancar sehingga akhirnya akan diperoleh kebahagiaan di dunia ini dan di kehidupan yang akan datang.

Seperti yang dikatakan dalam syair Dhammapada di atas, seorang bijaksana hendaknya bisa mengenal dan melaksanakan Dhamma walaupun baru sebentar dia mengenal Dhamma. Seperti ibaratnya lidah kita. Lidah akan dapat merasakan sayur walaupun sayur itu hanya sebentar melewatinya. Minum pun juga demikian. Satu tegukan sangat cepat air melewati lidah, tahu-tahu sudah masuk. Walaupun demikian, lidah tetap dapat merasakan rasa manis, pahit, asin ataupun yang lain. Tetapi orang yang tidak bijaksana, diibaratkan seperti sebuah sendok. Sendok, walaupun direndam dalam sayur selama 2 minggu, tetap saja ia tidak dapat merasakan rasa sayur itu. 
Sendok yang setiap hari digunakan untuk menyendok makanan enak dari piring menuju ke mulut, tidak akan pernah dapat merasakan rasa enak makanan itu. Oleh karena itu, dalam mempelajari dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha, ukuran yang digunakan bukan lamanya seseorang telah menjadi umat Buddha, tetapi seberapa banyak dia mengerti dan memahami Dhamma. Walaupun sebentar, walaupun sepintas, tetapi kalau dia langsung mengerti Dhamma dan menembus Dhamma, itu sesungguhnya yang lebih bermanfaat. Kita bisa memanfaatkan hidup dan memanfaatkan Dhamma sehingga memperoleh kebahagiaan.


Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id

http://www.google.co.id/imgreshl=id&sa=X&noj=1&tbm=isch&prmd=imvns&tbnid=lMgbIekgOoZdTM:&imgrefurl=http://darmaharefa.wordpress.com/2012/07/03/bausurga/&docid=uuVR1wRtJKrK9M&imgurl=http://darmaharefa.files.wordpress.com/2012/07/bausurga.jpg&w=315&h=271&ei=KBRcULG4OYvKrAexn4DoCA&zoom=1&iact=rc&dur=614&sig=111097092107907739228&page=2&tbnh=152&tbnw=177&start=21&ndsp=25&ved=1t:429,r:13,s:21,i:187&tx=120&ty=79&biw=1280&bih=880

BRAHMAVIHARA


Oleh: Venerable Nyanaponika Thera

Alih bahasa : Willy Yanti Wijaya
Editor : Marlin S.T.
Sampul dan Tata Letak : Adiniaga











Bab 1 : Empat Keadaan-Batin Luhur

Empat keadaan batin yang luhur telah diajarkan oleh Sang Buddha:
Cinta atau cinta kasih (metta)

Welas Asih (karuna)
Turut berbahagia (mudita)
Keseimbangan batin (upekkha)

Dalam bahasa Pali, bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Buddhis, empat keadaan batin ini dieknal juga dengan nama Brahma-vihara. Istilah ini dapat juga diungkapkan sebagai keadaan batin yang sempurna, luhur atau mulia; atau seperti keadaan batin para brahma atau dewa.
Empat keadaan batin ini dikatakan sempurna atau luhur karena merupakan cara bertindak dan bersikap yang benar dan ideal terhadap semua makhluk hidup (sattesu samma patipatti). Keempatnya menyediakan jawaban terhadap semua situasi yang muncul dalam kontak social. Empat keadaan batin luhur ini merupakan pereda tekanan yang hebat, pencipta kedamaian dalam konflik sosial, serta penyembuh terhadap luka-luka yang diderita dalam perjuangan hidup. Empat kedaan batin luhur ini dapat menghancurkan rintangan-rintangan sosial, membangun komunitas yang harmonis, membangunkan kemurahan hati yang telah lama tertidur dan terlupakan, menghidupkan kembali kebahagiaan dan harapan yang telah lama ditinggalkan, serta mendorong persaudaraan dan kemanusiaan untuk melawan kekuatan egoisme.
Brahma-vihara bertentangan dengan keadaan batin yang penuh kebenciaan, da oleh sebab itulah ia dikatakan bersifat Brahma, pemimpin tertinggi (yang tidak abadi) dari alam-alam surga tingkat atas dalam gambaran Buddhis tradisional mengenai alam semesta. Akan tetapi, berbeda dengan banyak gambaran mengenai dewa-dewi, baik di Timur maupun Barat, yang oleh para pemujanya sendiri dikatakan dapat menunjukkan kemarahan, kemurkaan, iri hati; Brahma dalam Buddhisme dinyatakan telah terbebas dari kebencian. Oleh sebab itu, seseorang yang dengan giat mengembangkan empat keadaan batin luhur ini, melalui tindakan dan meditasi, dapat dikatakan telah menjadi setara dengan Brahma (brama-samo). Jika empat keadaan batin luhur menjadi pengaruh yang dominant dalam batin orang tersebut, maka ia akan terlahir kembali dalam dunia yang sesuai, yaitu alam-alam Brahma. Oleh sebab itu, empat keadaan batin ini disebut seperti dewa atau Brahma.
Empat keadaan batin ini disebut kediaman (vihara) sebab keempatnya semestinya menjadi tempat tinggal yang tetap bagi batin, seperti yang kit rasakan "dirumah"; empat keadaan batin ini janganlah hanya menjadi tempat yang jarang ataupun hanya sebentar dikunjungi, yang segera dilupakan. Dengan kata lain, batin kita harus melebur sepenuhnya dalam keadaan luhur ini. Empat keadaan luhur ini seharusnya menjadi sahabat kita yagn tak terpisahkan, dan kita harus sadar terhadapnya dalam semua aktivitas sehari-hari. Sebagaimana ungkapan dari Metta Sutta, Syair Cinta Kasih:

Ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring.
Selagi tiada lelapIa tekun mengembangkan kesadaran ini -
Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma.

Ke-empat keadaan ini - cinta kasih, welas asih, turut berbahagia, dan keseimbangan batin - dikenal juga sebagai keadaan tanpa batas (appamanna), karena, dalam kesempurnaan dan sfiat sejatinya, keempat tidak dapat disempitkan oleh batasan-batasan dalam hal jangkauannya terhadap semua makhluk. Keempat keadaan batin ini haruslah tidak ekslusif dan tidak hanya mencakup sebagian dari makhluk; tidak dibatasi oleh keberpihakan maupun prasangka-prasangka. Batin yang telah mencapai Brama-vihara yang tak terbatas ini tidak akan menyimpan kebencian terhadap bangsa, suku, agama, maupun kelas/golongan manapun.
Akan tetapi, jika sikap mental luhur ini tidak berakar kuat, tentu tidak akan mudah bagi kita untuk berupaya mewujudkan ketanpa-sekatan maupun menghindarkan diri dari keberpihakan. Dalam banyak kasus, untuk mencapainya kita harus menggunakan empat kualitas ini tidak hanya sebagai prinsip berperilaku dan objek refleksi saja, namun juga sebagia subjek dari meditasi. Meditasi ini disebut Brahma-vihara-bhavana, pengembangan meditatif dari keadaan batin yang luhur. Tujuan praktisnya adalah untuk mencapai dengan bantuan dari keadaan-keadaan luhur ini, tahap-tahap konsentrasi mental yang tinggi yagn disebut jhana, "pencerapan meditatif". Meditasi terhadap cinta, welas asih, dan turut berbahagia masing-masing dapat menghasilkan pencapaian dari tiga pencerapan yang pertama. Sedangkan meditasi terhadap keseimbangan batin akan menuntun pada pencapaian jhana keempat yagn mana ketenangan batin merupakan faktor yang paling signifikan.

Secara umum, latihan meditasi yang tekun akan menghasilkan dua efek tertinggi: pertama, empat kualitas ini akan tenggelam masuk ke dalam hati sehingga keempat kualitas tersebut menjadi sikap yang spontan dan tidak mudah luntur; kedua, meditasi tersebut akan memunculkan dan mempertahankan perluasan yagn tanpa batas dari empat kualitas ini dan menyebarkan jangkauan penerimaannya terhadap semua makhluk. Sebenarnya, insntruksi rinci yang diberikan dalam naskah-naskah Buddhis mengenai latihan empat meditasi ini dengan jelas dimaksudkan untuk membuka secara bertahap ketanpabatasan dari keadaan luhur tersebut. Empat keadaan batin yang luhur ini secara sistematis menghancurkan semua rintangan yang membatasi perwujudan suatu tempat atau individu tertentu.
Dalam latihan meditasi tersebut, pemilihan orang yagn akan dipancarkan cinta, welas asih atau turut berbahagia, dimulai dari yang mudah ke yang makin sulit. Sebagai contoh, ketika bermeditasi cinta kasih, seseorang mulai dengan kehendak untuk hal-hal yang baik bagi dirinya sendiri, kemudian menggunakannya sebagai titik acuan untuk perluasan bertahap: "Sama seperti saya yang ingin bahagia, dan bebas dari derita, demikian juga makhluk lain, semoga semua makhluk berbahagia dan bebas dari penderitaan!" Kemudian ia memperluas pikiran cinta kasihnya kepada orang atau siapapun yang ia hormati dan cintai, misalnya seorang guru; kemudian kepada orang-orang yang ia sangat sayangi, kepada orang-orang yang netral, dan terakhir kepada musuh-musuhnya ataupun orang-orang yang tidak disukai. Karena meditasi ini berkaitan dengan kesejahteraan makhluk hidup, seseorang seharusnya tidak memilih objek orang yang telah meninggal maupun orang yang dapat menimbulkan perasaan / ketertarikan seksual.

Setelah mampu mengatasi tugas yang tersulit yaitu mengarahkan pikiran cinta kasih kepada orang-orang yang tidak disukai, ia sekarang seharsunya telah "menghancurkan rintangan" (sima-sambheda). Tanpa membeda-bedakan keempat tipe orang yang telah disebutkan diatas, ia memancarkan cinta kasihnya kepada semua secara sama dan merata. Dalam tahap latihan ini, ia akan mencapai tingkat konsentrasi yang lebih tinggi: dengan munculnya gambaran refleksi mental (patibhaganimitta), "konsentrasi mendekati" (upacara samadhi) akan telah tercapai, dan kemajuan lebih jauh akan menuntun menuju "konsentrasi pencapaian" (appana) dari jhana pertama, kemudian ke jhana-jhana berikutnya yang lebih tinggi.
Dalam hal perluasan ruang, latihan meditasi ini dimulai dari lingkungan diri sendiri dulu seperti keluarga, kemudian diperluas ke rumah-rumah tetangga, ke seluruh jalan, kota, negara, negara lain, dan seluruh dunia. Dalam "perluasan arah", pikiran cinta kasih seseorang diarahlan dulu ke arah timur, kemudian ke barat, utara, selatan, tengah, atas (zenith) dan bawah (nadir).
Prinsip yang asma digunakan juga dalam pengembangan meditatif terhadap welas asih, turut berbahagia, dan keseimbangan batin, dengan variasi yang tepat dalam pemilihan orang-orang yang dituju. Perincian latihan ini lebih lanjut dapat ditemukan dalam naskah-naskah.(lihat Visuddhimagga, Bab IX)

Tujuan akhir dari pencapaian Brahma-vihara-jhana ini adalah untuki menghasilkan suatu keadaan batin yang dapat menjadi landasan kokoh untuk penembusan pemahaman atau pencapaian pencerahan mengenai sifat sejati dari semua fenomena, yaitu ketidak-kekalan, dapat mengalami penderitaan, dan tanpa inti. Bnatin yagn telah mencapai pencerapan meditatif yang dipengaruhi oleh empat keadaan luhur ini akan menjadi murni, damai, teguh, terpusat dan bebas dari egoisme yang kasar. Dengan demikian, batin akan siap untuk pembebasan akhir yang hanya dapat dilengkapi melalui pencerahan.
Pembahasan sebelumnya menunjukkan ada dua cara mengembangkan keadaan batin yang luhur: pertama, melalui tingkah laku dan pengarahan pikiran yang tepat; dan kedua, melalui metode meditasi yang menuju pada pencerapan-pencerapan. Kedua cara ini akan membantu satu sama lain. Latihan meditasi secara bertahap akan membantu meninimbulkan cinta, welas asih, kebahagiaan dan keseimbangan batin menjadi spontan. Latihan ini juga akan membuat batin lebih teguh dan tenang dalam menghadapi berbagai masalah hidup yang menyakitkan yang menantang kita untuk mempertahankan empat kualitas lhuhur ini dalam pikiran, ucapan, maupun perbuatan.


Di sisi lain, jika tingkah laku seseorang semakin banyak diarahkan oleh empat keadaan luhur ini, batin akan memndam semakin sedikit sakit hati, tekanan dan ketersinggungan, gema-gema yang seringkali secara halus menssup masuk pada saat meditasi, membentuk yagn disebut "belenggu-kegelisahan". Kehidupan dan pikiran kita sehari-hari memiliki pengaruh yang kuat terhadap batin saat meditasi; hanya apabla celah diantara keduanya disemptikan secara terus menerus barulah ada kesempatan untuk kemajuan meditasi yang mantap dan pencapaian tujuan tertinggi dari latihan kita.
Pengembangan meditatif dari keadaan batin yang luhur ini dapat dibantu dengan refleksi yang berulang-ulang terhadap kualitas-kualitas keadan luhur tersebut, manfaat yang ditawarkan oleh keadaan luhur dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sifat-sifat yang bertentangan dengan keadan luhur tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Buddha, "Apa yang seseorang pikirkan dan refleksikan selama jangka waktu yang panjang, ke sanalah batinnya akan condong dan mengarah."



Bab 2 : Kutipan Mengenai Empat KeadaanLuhur dari Wejangan Sang Buddha

Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi cinta kasih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan dimana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi cinta kasih, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.

Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi welas asih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan dimana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi welas asih, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.

Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi turut berbahagia, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan dimana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi turut berbahagia, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.

Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang terisi keseimbangan batin, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan dimana-mana di seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi keseimbangan batin, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.
- Digha Nikaya 13


Bab 3 : Perenungan Terhadap Empat Keadaan Luhur

1. Cinta (Metta)
Cinta, tanpa nafsu untuk memiliki, memahami dengan baik bahwa dalam hakikat tertinggi, tidaklah ada kepemilikan maupun pemilik; inilah cinta yang tertinggi.
Cinta, tanpa berbicara dan berpikir mengenai "Aku", memahami dengan baik bahwa apa yang dinamakan "Aku" sebenarnya hanyalah delusi.
Cinta, tanpa memiliki maupun mengecualikan, memahami dengan baik bahwa melakukan hal tersebut (diskriminasi) berarti menciptakan kualitas sifat-sifat yang bertentangan dengan cinta itu sendiri; perasaan tidak suka, kejengkelan maupun kebencian.
Cinta, merangkul semua makhluk; kecil maupun besar, jauh maupun dekat, baik di darat, air maupun udara.
Cinta merangkul semua makhluk tanpa memihak, bukan hanya terhadap orang-orang yang berguna, menyenangkan atau kita sukai.
Cinta, merangkul semua makhluk, baik yang memiliki batin luhur maupun rendah, batin yang baik ataupun jahat. Mereka yang berhati mulai dan baik dirangkul karena cinta mengalir ke mereka secara spontan. Mereka yang berhati rendah dan jahat juga dirangkul karen amerka lah yang sangat membutuhkan cinta. Banyak dalam diri mereka, benih-benih kebajikan mungkin telah mati karena kurangnya kehangatan untuk dapat tumbuh dan tertunas, karena benih itu telah musnah akibat kedinginan dalam dunia yang tanpa cinta.
Cinta, merangkul semua makhluk, memahami dengan baik bahwa kita semua sama-sama merupakan pengembara dalam siklus eksistensi - bahwa kita semua mengalami hukum yang sama mengenai penderitaan.
Cinta, bukan api sensasi yang membakar, menghanguskan dan menyiksa, yang menyebabkan lebih banyak luka daripada yang dapat ia obati - yang seketika menyala terang, dan tiba-tiba padam, menyisakan banyak perasaan dingin dan kesepian dibandingkan sebelumnya.
Melainkan, cinta yang terulur bagaikan tangan yang lembut namun kokoh kepada makhluk-makhluk yang sakit dan bermasalah, tidak berubah dalam hal perasaan simpatiknya, tanpa kebimbangan, tidak menyurut ketika mendapatkan respon apapun. Cinta yang memberikan kesejukan yang nyaman kepada mereka yang terkabar oleh api penderitaan dan nafsu; yang merupakan kehangatan pemberi kehidupan bagi mereka yang ditinggalkan dalam padang pasir kesepian yang dingin, bagi mereka yang gemetaran kedinginan dalam kebekuan dunia tanpa cinta; bagi mereka yang hatinya seolah telah menjadi kosong dan kering akibat panggilan berulang-ulang meminta pertolongan yang tak kunjung tiba, akibat perasaan putus asa yang paling dalam.
Cinta, yang merupakan keagungan hati dan pikiran yang luhur yang mengerti, memahami dan siap untuk membantu.
Cinta, yang merupakan kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: inilah cinta tertinggi.
Cinta, yang oleh "Ia yang Telah Tercerahkan" disebut sebagai "pembebasan dari hati", "keindahan yang paling luhur": inilah cinta tertinggi.
Dan apa perwujudan tertinggi dari cinta?
Menunjukkan kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya penderitaan, jalan tersebut ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.


2. Welas Asih (Karuna)
Dunia menderita. Namun kebanyakan manusia menutup mata dan telinganya. Mereka tidak melihat aliran air mata yang terus mengalir dalam kehidupan: mereka tidak mendengar jeritan dan ratap tangis kesedihan yang secara terus menerus menyelubungi dunia ini. Kesedihan dan kesenangan kecil mereka sendiri telah menghalangi pandangan mereka, menulikan telinga mereka. Terikat oleh sikap mementingkan diri sendiri, hati mereka berubah menjadi kaku dan sempit. Dengan hati yang kaku dan sempit, bagaimana mereka dapat berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih tingggi, untuk menyadari bahwa dengan terlepas dari kemelekatan egois barulah dapat mencapai keterbebasan dari penderitaan?
Welas asihlah yang menyingkirkan penghalang berat tersebut, membuka pintu menuju pembebasan, membuat hati yang sempit menjadi seluas dunia. Welas asih menyingkirkan beban berat yang ada di hati, beban yang melumpuhkan: welas asih memberi sayap bagi mereka yang berada dalam keadaan diri yang rendah.
Melalui welas asih, fakta adanya penderitaan akan dengan jelas selalu hadir dalam batin kita, bahkan pada masa-masa ketika kita secara pribadi sedang terbebas dari penderitaan. Welas asih akan memberi kita pengalaman yang kaya mengenai penderitaan, sehingga menguatkan kita untuk menghadapinya, ketika penderitaan tersebut menimpa diri kita.
Welas asih membuat kita bersyukur dan menghargai nasib kita dengan menunjukkan pada kita bagaimana kehidupan pihak lain, yang seringkali jauh lebih sukar dan menyedoihkan dibanding hidup kita.
Lihatlah perjalanan tanpa akhir makhluk-makhluk, manusia dan hewan terbebani oleh kesedihan dan rasa sakit! Beban yang ada pada setiap dari mereka, juga telah kita bawa melalui rentetan kehidupan berulang yang tak terukur dalamnya dari suatu masa yang sangat lampau. Lihatlah ini, dan bukalah hatimu terhadap welas asih!
Dan kesengsaraan ini mungkin saja menjadi nasib kita lagi! Ia yang tanpa welas asih sekarang, suatu saat akan menangis menyesalinya. Jika perasaan simpatik terhadap pihak lain sangat sedikit, perasaan simpatik ini juga akan kita capai melalui pengalaman diri sendiri yang panjang dan menyakitkan. Inilah hukum yang luar biasa dari kehidupan. Pahamilah ini, jagalah dirimu!
Makhluk-makhluk tenggelam dalam ketidakpedulian (ignorance), tersesat dalam delusi, tergesa-gesa dari satu penderitaan ke yang lain, tidak mengetahui penyebab sesungguhnya, tidak tahu bagaimana melarikan diri darinya. Penembusan pemahaman terhadap hukum universal mengenai penderitaan ini merupakan landasan nyata dari welas asih yang kita miliki, bukanlah karena adanya fakta penderitaan tertentu saja.
Dengan demikian, welas asih kita juga akan mencakup mereka yang saat ini mungkin sedang bahagia, namun bertindak dengan batin yang jahat dan terdelusi. Dalam perbuatan yang mereka lakukan saat ini, kita akan dapat melihat masa depan mereka yang penuh kesedihan, dan karenanya welah asih akan muncul.
Welas asih dari seseorang yang bijaksana tidak akan menyebabkannya menjadi korban dari penderitaan. Pikiran, kata-kata dan perbuatannya penuh belas kasih. Akan tetapi, hatinya tidaklah bimbang; sebagaimana adanya, jernih dan tenang. Dengan bagiamana lagi ia dapat membantu?
Semoga welas asih demikian dapat tumbuh dalam hati kita! Welas asih yang merupakan keagungan hati dan pikiran yang luhur yang mengerti, memahami, dan siap untuk membantu.
Welas asih yang merupakan kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: inilah welas asih tertinggi.
Dan apa perwujudan tertinggi dari welas asih?
Menunjukkan kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya penderitaan, jalan tersebut ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh Beliau. Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.


3. Turut Berbahagia (Mudita)
Tidak hanya terhadap welas asih, namun juga terhadapturut berbahagia, bukalah hatimu!
Kecil memang, porsi kebahagiaan dan kegembiraan yang terbagi ke makhluk-makhluk! Ketika secercah kecil kebahagiaan datang kepada mereka, maka kamu dapat ikut berbahagia bahwasannya satu berkas kegembiraan telah membelah kegelapan dalam hidup mereka, dan mengusur kabut kelabu dan muram yang membungkus hati mereka.
Hidupmu akan meraih kegembiraan dengan berbagi kebahagiaan, orang lain seakan-akan sebagai kebahagiaanmu sendiri. Tidak pernahkah kamu mengamati bagiamana dalam momen-momen kebahagiaan, karakterisitk seseorang dapat berubah dan menjadi cerah dengan kegembiraan? Tidak pernahkah kamu memperhatikan bagaimana kegembiraan membangkitkan manusia ke dalam aspirasi dan perbuatan yang mulia, melampaui kepasitas normal mereka? Bukanlah pengalaman demikian akan mengisi hatimu sendiri dengan berkah kegembiraan? Apa pada dirimu sendiri kemampuan untuk meningkatkan pengalaman kebahagiaan simpatik sedemikian, dengan menghasilkan kebahagiaan dalam diri orang lain, dengan membawakan mereka kegembiraan dan kenyamanan.
Mari kita mengajarkan suka cita yang sesungguhnya kepada manusia! Banyak yang telah melupakannya. Kehidupan, meski penuh dengan lara nestapa, juga membawakan sumber-sumber kebahagiana dan suka cita, tidak disadari olehg banyakj orang. Mari kita mengajarkan mereka untuk menyingkapkan suka cita mereka pada derajat yang semakin mulia.
Suka cita yang luhur dan mulia adalah penolong dalam jalan menuju lenyapnya penderitaan. Bukankah ia yang depresi dan tertekan dalam kesedihan, melainkan ia yang memiliki kebahagiana, yang dapat menemukan keheningan yang jernih yang menuntun pada keadaan batin yang komtemplatif. Dan hanya batin yang hening damai dan terpusat yang dapat mencfapai kebijaksanaan yang membebaskan.
Semakin luhur dan mulia suka cita orang lain, semakin kukuh kebahagiaan simpatik dalam diri kita sendiri. Penyebab turut berbahagianya diri kita teradap suka cita pihak lain adalah karena kehidupan mereka yang mulia akan menjaga mereka dalam kebahagiaan saat ini maupun di kehidupan sesudahnya. Penyebab yang lebih mulia turut berbahagianya diri kita terhadap suka cita pihak lain adalah keyakinan mereka dalam Dhamma, pemahaman mereka mengenai Dhamma, kehidupan mereka yang mengikuti Dhamma. Marilah kita memberikan bantian Dhamma kepada mereka! Marilah kita berjuang untuk menjadi diri kita semakin mampu menawarkan bantuan tersebut!
Turut berbahagia berarti keagungan hati dan pikiran yang luhur yang mengerti, memahami dan siap untuk membantu.
Turut berbahagia yang merupakan kekuatan sekaligus pemberi kekuatan: adalah kebahagiaan tertinggi.
Dan apa perwujudan tertinggi dari turut berbahagia?
Menunjukkan kepada dunia jalan yang menuntun pada berakhirnya penderitaan, jalan tersebut ditunjukkan, dijalani dan direalisasikan untuk mencapai kesempurnaan oleh Beliau, Ia yang Paling Berbahagia, Sang Buddha.


4. Keseimbangan Batin (Upekkha)
Keseimbangan batin adalah kondisi seimbangnya batin yang sempurna dan tak tergoyahkan, yang berakar dalam penembusan pemahaman.
Melihat dunia di sekitar kita, dan melihat ke dalam hati kita sendiri, mengerti dengan jelas betapa sulitnya untuk mencapai dan mempertahankan keseimbangan batin.
Melihat ke dalam kehidupan, kita perhatikan bagaimana ia bergerak antara hal-hal yang kontras: keuntungan dan keheilangan, terkenal dan tidak terkenal, dipuji dan dihina, kebahagiaan dan penderitaan. Kita meraskan bagaimana hati kita merespon terhadap semua ini dengan perasaan bahagia dan kesedihan, semangat dan keputus-asaan, kekecewaan dan kepuasan, harapan dan rasa takut. Gelombang-gelombang emosi ini melambungkan kita ke ats dan juga mencampakkan kita ke bawah; dan belum lama kita dapat isitrahat sebentar, kita sudah diseret oleh gelombang baru berikutnya. Bagaimana kita dapat mengharapkan untuk terus menapaki puncak kejayaan? Bagaimanabisa kita mendirikan bangunan kehidupan kita di tengah-tengah samudera keberadaan yang tak pernah diam ini, jika bukan di atas pulai keseimbangan batin?
Sebuah dunia dimana seporsi kecil kebahagiaan dapat terbagi ke makhluk-makhluk yang dicapai setelah melalui banyak kekecewaan, kegagalan dan kekalahan.
Sebuah dunia dimana hanya keberanian untuk memulai sesuatu yang baru, lagi dan lagi, yang menjanjikan kesuksesan;
Sebuah dunia dimana sejumlah kecil kebahagiaan tumbuh di antara kesakitan, perpisahan dan kematian;
Sebuah dunia dimana makhluk-makhluk yang baru saja mendapatkan kebahagiana simpatik dari kita, pada saat berikutnya membutuhkan welas asih dari kita - dunia yang seperti ini membutuhkan keseimbangan batin.
Akan tetapi, jenis keseimbangan batin yang diperlukan mestilah yang berlandaskan pada keberadaan batin yang waspada, bukan pada kemalasn yang tidak peduli dan sikap masa bodoh. Keseimbangan batin ini mestilah hasil dari latihan keras dan tekun, bukan egfek kebetulan dari suasana hati yang sedang dialami. Namun keseimbangan batin tidaklah pantas dinamakan "keseimbagnan batin" seandainya ia mesti dihasilkan melalui pengerahan upaya lagi dan lagi. Dalam kasus demikian, keseimbangan batin akan semakin dilemahkan dan akhirnya dikalahkan oleh perbuatan-perbuatan dalam hidup. Keseimbangan batin yang sejati, bagaimanapun juga, haruslah mampu menjawab semua ujian-ujian yang keras ini danb mampu menghidupkan kembali kekuatannya dari sumber-sumber dalam diri. Keseimbangan batin akan memiliki kekuatan ketahanan dan pemahaman diri hanya jika ia berakar dari penembusan pemahaman (insight).
Lantas, bagaimana sifat dari penembusan pemahaman tersebut? Yaitu pemahaman yang jernih bagaimana semua perubahan hidup ini berasal, dan sifat sejati diri kita sendiri. Kita harus mengerti bahwa pengalaman beraneka ragam yang kita alami berasal dari kamma kita - tidanakan kita baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan - yang dilakukan pada kehdiupan ini maupun kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kamma merupakan rahim darimana kita berasal (kamma-yoni), dan suka tidak suka, kita adalah pemilik tak terhindarkan dari perbuatan kita (kamma-ssaka). Akan tetapi, segera sesudah kita melakukan tindakan, kendali kita terhadapnya hilang; ia selamanya bersama kita dan tidak terhindarkan akan kemali ke kita sebagai warisan yang sesuai (kamma-dayada). Tidak ada hal yang terjadi pada kita berasal dari dunia luar asing yang bermusuhan dengan diri kita; segalanya dalah hasil dari batin dan perbuatan kita sendiri. Karena pengetahuan ini membebaskan kita dari rasa takut, ia adalah landasan pertama dari keseimbangan batin. Pada ketika dalam segala hal yag menimpa kita disebabkan diri kita sendiri mengapa kita mesti merasa takut?
Akan tetapi, jika rasa takut ataupun kekhawatiran tetap muncul, kita mengetahui naungan yang dapat meredakan perasaan-perasaan ini: perbuatan baik kita (kamma-patisarana). Dengan mengambil naungan ini, keyakinan diri dan keheranian akan tumbuh dalam diri kita - keyakinan diri terhadap kekuatan perlindungan dari perbuatan baik kita di masa lampau; keberanian untuk melalukan lebih banyak lagi perbuatan baik sekarang: walaupun kita sedang menghadapi kehidupan yang penuh kesukaran saat ini. Sebab kita mengetahui bahwa perbuatan yang mulia dan tidak mementingkan diri sendiri menyediakan pertahanan terbaik terhadap hantaman takdir yang keras; bahwasannya tidak pernah terlambat dan selalu saja tiap saat adalah waktu yang sesuai untuk melakukan perbuatan baik.
Jika perlindungan ini, melakukan dan menghindari kejahatan telah kukuh tertanam dalam diri kita, suatu hari kita akan merasa yakin: "Semakin banyak dan semakin banyak yang menghentikan kesengsaraan dan kejahatan yang berakar pada masa lalu. Dan pada kehidupan saat ini - saya mencoba untuk membuatnya tanpa noda dan murni. Apalagi yang dapat masa depan berikan selain meningkatnya kebaikan?" Dari keyakinan inilah, batin kita menjadi tenang, dan kita akan memperoleh kekuatan kesabaran dan keseimbangan batin untuk menahan segala beban kesulitan diri kita pada saat ini. Lantas perbuatan-perbuatan kita akan menjadi sahabat kita (kamma-bandhu).
Demikian juga, semua peristiwa beragam dalam hidup kita, sebagai akibat dari perbuatan kita, juga akan menjadi sahabat-sahabat kita, bahkan sekalipun hal-hal tersebut membawakan kita kesedihan dan rasa sakit. Perbuatan-perbuatan kita kembali pada diri kita dalam samaran yang seringkali sulit dikenali. Terkadang tindakan-tindakan kita kembali pada diri kita melalui bagaimana sikap orang lain memperlakukan kita. Kadangkala ,melalui perubahan mendadak keseluruhn dalam hidup kita; serng pula hasil-hasil perbuatan kita bertentangan dengan pengharapan ataupun keinginan kita. Pengalaman-pengalaman demikian menunjukkan pada kita konsekuensi-konsekuensi perbuatna yang tidak kita perkirakan sebelumnya: mereka menunjukkan motif-motif setengah sadar dari tindakan lampau kita yang bahkan ingin kita sembunyikan dari diri kita sendiri, yang ingin kita tutupi dengan berbagai dalih dan alasan palsu. Jika kita belajar untuk melihat hal-hal dari sudut ini dan membaca pesan yang dibawakan oleh pengalaman kita sendiri, maka penderitaan sekalipun akan menjadi sahabat kita. Ia akan menjadi sahabat yang tegas, namun juga sahabat yang penuh kebenaran dan berniat baik yang mengajarkan kita pelajaran yang paling sulit, pengetahuan mengenai diri kita sendiri, serta memperingatkan kita terhadap jurang yang sedang kita tuju secara membuta. Dengan melihat penderitaan sebagai guru dan sahabat kita, kita akan lenbih berhasil menghadapinya dalam keseimbangan batin. Sebagai akibatnya, ajaran tentang kamma akan memberkan kita kekuatan/gerak hati yang kuat untuk membebaskan diri kita dari Kamma, dari perbuatan-perbuatan yang lagi dan lagi melemparkan kita ke dalam penderitaan kelahiran berulang. Perasaan jijik akan timbul terhadap nafsu kemelekatan diri kita sendiri, terhadap delusi, terhadap kecenderungan alamiah diri kita sendiri untuk menciptakan situasi yang mencoba kekuatna kita, ketahanan kita dan keseimbangan batin kita.
Penembusan pemahaman kedua sebagai landasan keseimbangan batin adalah ajaran Buddha tentang tanpa-aku (anatta). Ajaran ini menunjukkan bahwa dalam hakikat yang tertinggi, perbuatan tidaklah dilakukan oleh diri manapun, juga akibat perbuatan teresbut tidak berakibat pada diri manapun. Lebih jauh, hal ini menunjukkan bahwa jika tidak ada diri, kita tidak dapat mengatakan "milikku". Adalah delusi terhadap suatu "aku" yang menciptakan penderitaan dan mengusik atau mengganggu keseimbangan batin. Jika sifat tertentu dari diri kita disalahkan, kita akan berpikir: "Aku disalahkan" dan keseimbangan batin menjadi goyah. Jika suatu kerja tidak berhasil, kita berpikir: "Pekerjaanku telah gagal" dan keseimbangan batin menjadi goyah. Jika kehilangan kekayaan atau orang-orang yang dicintai, kita perikir: "Apa yang menjadi milikku telah pergi" dan keseimbangan batin menjadi goyah.
Untuk mewujudkan keseimbangan batin sebagai keadaan batin yang tak tergoyahkan, seseorang harus melepaskan semua pikiran-pikiran posesif mengenai "milikku", dimulai dari hal-hal kecil yang mudah dilepas, dan secara bertahap hingga kepemilikan dan tujuan yang sangat didambakan segenap hati. Seseorang juga harus menghentikan penyokong pikiran-pikiran yang demikian, semua pikiran egois tentang "aku", dimulai dari sebuah bagian kecil kepribadian, yang tidak terlalu penting, dari kelemahan kecil yang ia lihat dengan jelas, dan secara bertahap hingga kepada bentuk-bentuk emosi dan ketidaksukaan terhadap sesuatu yang ia anggap sebagai pusat dirinya. Pelepasan seperti ini mestilah dilatih.
Hingga suatu tahapan kita meninggalkan pikiran tentnag "milikku" atau "aku", keseimbangan batin akan memasuki hati kita. Sebab bagaimana mungkin sesuatu yngkita sadari adalah asing dan tanpa suatu diri dapat mengusik kita melalui nafsu, kebencian atau kesedihan? Dengan demikian, ajaran mengenai tiada-aku akan menjadi penuntun kita dalam jalan pembebasan, menuju keseimbangan batin yang sempurna.
Keseimbangan batin dalah mahkotadan puncak dari empat keadaan batin yang luhur. Namun hal ini bukan dipahami bahwasannya keseimbangan batin adalah penolakan terhadap cinta, welas asih, dan kebahagiaan simpatik, ataupun bahwasannya keseimbangan batin lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Jauh dari itu, keseimbangan batin mencakup dan menyebar menyeluruh di dalam tiga keadaan luhur tersebut, sama halnya tiga keadaan luhur menyebar menyeluruh di dalam keseimbangan batin yang sempurna.


Bab 4 : Kesalingterikatan antara Empat Keadaan Luhur

Lantas, bagaimana empat keadaan batin yang luhur ini saling menyebar dan meresap satu sama lain?
Cinta yang tak tersekat menjaga welas asih agar tidak memihak, mencegahnya dari pendiskriminasian memilih dan mengecualikan dan dengan demikian melindunginya dari keberpihakan ataupun ketidaksukaan terhadap sisi yang dikecualikan.
Cinta membagikan sifat tanpa egonya kepada keseimbangan batin, sifatnya yang tanpa sekat dan bahkan kehangatannya. Sebab kehangatan juga, apabila ditransformasikan dan dikendalikan, merupakan bagian dari keseimbangan batin yang sempurna, menambah kekuatan penembusan mendalam dan kendali drii yang bijaksana dari keseimbangan batin tersebut.
Welas asih mencegah cinta dan turut berbahagia melupakan bahwa, selagi keduanya sedang menikmati atau memberikan kebahagiaan yang terbatas dan sementara, pada saat yang bersamaan terdapat keadaan penderitaan yang sangat mengerikan di dunia. Welas asih mengingatkan bahwa kebahagiaan mereka ada pada saat yang sama dengan kesengsaraan yang tidak terukur, mungkin saja di pintu tetangga sebelah. Ia adalah pengingat kepada cinta dan turut berbahagia bahwa ada lebih banyak penderitaan di dunia dibanding yang dapat mereka redakan; bahwa setelah efek dari peredaran penderitaan tersebut sirna, kesedihan dan rasa sakit tentu saja akan muncul lagi hingga penderitaan tersebut dapat dicabut sampai ke akar-akarnya melalui pencapaian Nibbana. Welas asih tidak mengizinkan cinta dan turut berbahagia menutup diri terhadap dunia luas dengan membatasi pada suatu bagian semput. Welas asih mencegah cinta dan turut berbahagia berubah menjadi keadaan ouas diri di dalam kebahagiaan sempit. Welas asih mengerakkan dan mendorong cinta untuk meluaskan cakupannya; welas asih menggerakkan dan mendorong turut berbahagia untuk mencari perbaikan baru. Dengan demikian, welas asih membantu keduanya tumbuh di dalam keadaan yang sungguh-sungguh tanpa batas (appamanna).
Welas asih menjaga keseimbangan batin agar tidak jatuh ke dalam ketidakpedulian yang dingin, dan menjaganya dari isolasi yang egois dan malas. Hingga keseimbangan batin mencapai kesempurnaan, welas asih terus mendorongnya lagi dan lagi untuk masuk ke dalam pertempuran dunia, agar mampu menghadapi ujian, dengan melakukan penempaan dan penguatan diri (keseimbangan batin).
Turut berbahagia mencegah welas asih terhanyutkan akibat melihat penderitaan dunia, mencegahnya terserap di dalam penderitaan dan mengacuhkan semua yang lain. Turut berbahagia melegakan tekanan batin, meredakan sakit akibat terkabarnya hati yang welas asih. Turut berbahagia mengecah welas asih dari pikiran panjang murung tanpa tujuan, dari perasaan sedih sia-sia yang hanya semakin melemahkan dan menguras energi hati dan pikiran. Turut berbahagia mengembangkan welas asih menjadi perasaan simpatik yang aktif.
Turut berbahagia memberikan keseimbangan batin suatu ketenangan yang lembut yang melunakkan penampilannya yangkaku. Ia adalah senyuman indah pada wajah Ia yang Tercerahkan, senyuman yang tetap bertahan di antara pengetahuan Beliau yang sangat mendalam mengenai penderitaan dunia, suatu senyuman yang memberikan kenyamanan dan harapan, perasaan tanpa takut dan keyakinan diri: "Pintu terbuka lebar untuk menuju pembebasan" demikian yang dikatakan.
Keseimbangan batin yang berakar dalam penembusan pemahaman adalah kekuatan kendali diri dan penuntun bagi tiga keadaan luhur lainnya. Keseimbangan batin menunjukkan arah bagi ketiganya, dan melihat apakah arah itu diikuti. Keseimbangan batin menjaga cinta dan welas asih agar tidak terbuang dalam pencarian yang sia-sia dan tersesat dalam labirin emosi yang tak terkontrol. Keseimbangan batin, yang merupakan pengendalian diri yang waspada untuk mencapai tujuan akhir, tidak mengizinkan turut berbahagia untuk berpuas diri dengan hasil yang rendah dan melupakan tujuan sebenarnya yang harus kita perjuangkan.
Keseimbangan batin, yang berarti "kesadaran yang tenang", memberikan kepada cinta suatu kesetiaan dan kekokohan yang tidak berubah dan tenang. Keseimbangan batin memberikan cinta kasih kebijaksanaan agung dari kesabaran. Keseimbangan batin melengkapi welas asih dengan suatu perasaan tanpa takut serta keberanian yang tenang dan tak tergoyahkan, yang memungkinkan welas asih untuk menghadapi jurang kesengsaraan dan keputusasaan yang sangat dalam dan menakutkan, yang terus menantang welas asih tanpa batas lagi dan lagi. Bagi sisi aktif welas asih, keseimbangan batin merupakan tangan (bantuan) yang kuat dan tenang yang dituntun oleh kebijaksanaan - yang tak ternilai harganya bagi mereka yang ingin melatih seni menolong orang lain yang sulit dipelajari. Dan lagi, di sini keseimbanga batin berarti kesabaran, pencurahan hati yang sabar terhadap pekerjaan welas asih.
Dalam hal ini dan hal lainnya, keseimbangan batin boleh dikatakan sebagai mahkota dan puncak dari tiga keadaan luhur lainnya. Tiga keadaan yang pertama, jika tidak terhubung dengan keseimbanga batin dan penembusan pemahaman, dapat mengerut/menyusut akibat kurangnya faktor penstabil. Kebajikan-kebajikan yang terisolasi, jika tidak didukung oleh kualitas-kualitas lain yang memberikannya kelenturan dan kekokohan yang dibutuhkan, seringkali merosot ke dalam kekurangan-kekurangannya sendiri. Sebagai contoh, cinta kasih, tanpa energi dan penembusan pemahaman, dapat mudah condong menjadi hanya kebaikan emosional yang sifatnya lemah dan tidak dapat diyakini. Lagi pula, kebajikan-kebajikan terisolasi yang demikian mungkin serngkali membawa kita ke arah yang bertentangan dengan tujuan asli kita dan bertentangan dengakesejahteraan pihak lain juga. Adalah karakter pribadi yang kokoh dan seimbang yang dapat merajut kebajikan-kebajikan terisolasi tersebut menjadi keseluruhan yang menyatu dan harmonis, di mana masing-masing kualitas menunjukkan perwujudan terbaiknya dan menghindari perangkap kelemahan sendiri. Dan inilah fungsi sesungguhnyadari keseimbangan batin, bagiamana halnya ia berkontribusi dalam hubungan yang ideal di antara semua empat keadaan batin yang luhur.
Keseimbangan batin adalah keadaan batin yang sempurna, seimbang tak tergoyahkan, yang berakar pada penembusan pemahaman. Namun dalam kesempurnaan dan sifat tak tergoyahkan, keseimbangan batin tidaklah dingin, kaku, masa bodoh dan tidak berperasaan. Kesempurnaannya bukanlah karena "kekosongan" emosional, namun karena "penuhnya" pemahaman, karena kelengkapan dalam dirinya sendiri. Sifatnya yang tak tergoyahkan bukanlah seperti batu dingin, mati, yang tak dapat digeser; melainkan perwujudan dari kekuatan tertinggi.
Dalam hal bagaimana, keseimbangan batin sempurna dan tak tergoyahkan?
Apapun yang menyebabkan kemandekan telah dihancurkan, apa yang membendung telah disingkirkan, apa yang menghalangi telah dihancurkan. Sirna sudah pusaran-pusaran emosi dan lekak-lekuk intelektualitas. Tiada terganggu gerak aliran kesadaran yang tenang dan agung, murni serta memancarkan cinta kasih dan kebahagiaan. Perhatian yang waspada 9sati) telah mengharmoniskan kehangatan dari keyakinan (saddha) dengan tajamnya penembusan dari kebijaksanaan (panna); telah menyeimbangkan kekuatan dari semangat (viriya) dengan ketenangan dari batin (samadhi); dan lima kekuatan indria (indriya) telah tumbuh menjadi kekuatan-kekuatan dalam diri (bala) yang tidak dapat hilang lagi. Ia tidak akan hilang karena tidak lagi tersesat dalam labirin dunia (samsara); dalam ketersebaran hidup (papanca). Kekuatan-kekuatan dalam ini mengalir dari batin dan bertindak pada dunia, namun karena terjaga oleh kesadaran, kekuatan-kekuatan ini tidak mengikatkan diri di manapun lagi, dan oleh karena itu tidak berubah lagi. Cinta, welas asih dan turut berbahagia terus mengalir dari batin dan bertindak pada dunia, namun karena terjaga oleh keseimbangan batin, mereka tidak menggantungkan diri lagi di manapun, dan kembali tanpa menjadi semakin lemah dan ternoda.
Dengan demikian, di dalam diri arahat, Ia yang Terbebaskan, tidak ada yang berkurang akibat memberi, dan ia tidak menjadi semakin miskin dengan menawarkan orang lain kekayaan hati dan pikirannya. Arahat bagaikan kristal yang jernih dan terpotong dengan baik, tanpa noda, menyerap sepenuhnya semua berkas cahaya dan memancarkannya keluar kembali, sambil diperkuat oleh kekuatan konsentratifnya. Berkas cahaya tidak dapat menodai kristal tersebut dengan aneka warna-warninya. Berkas-berkas cahaya ini tidak dapta membelah kerasnya kristal tersebut, dan juga mengganggu strukturnya yangharmonis. Di dalam kemurnian dan kekuatannya yang tulen, kristal tersebut tetap tak berubah. "Seperti halnya semua aliran sungai dunia masuk ke samudera luas dan semua air di langit hujan ke samudera tersebut, namun samudera luas tersebut tidak terlihat bertambah atau berkurang" - demikian juga sifat dasar dari keseimbangan batin yang suci.
Keseimbangan batin yang suci, atau - sebagaimana yang mungkin kita ungkapkan - arahat yang berada dalam keseimbangan batin yang suci, adalah pusat inti dari dunia. Tetapi pusat inti ini haruslah dibedakan dari pusat-pusat lingkupan terbatas yang tampak dan tak terkira banyaknya, dalam hal "karakteristik" khasnya, hukum-hukum yang mengatur, dan sebagainya. Semua ini hanyalah pusat-pusat yang tampak, karena mereka akan berhenti menjadi pusat ketika lingkupannya, mematuhi hukum-hukum ketidakkekalan, mengalami perubahan total dalam strukturnya; dan akibatnya pusat dari gaya tariknya, material maupun mental, akan berubah. Namun, pusat ini inti dari keseimbangan batin arahat adalah tak tergoyahkan, karena ia tidak lagi berubah. Ia tidak lagi berubah karena ia tidak bergantung pada apapun lagi.
Seperti yang dikatakan Guru:
Bagi ia yang bergantung, akan ada gerakan; namun bagi ia yang tidak lgai bergantung, tiada lagi gerakan. Di mana tiada gerakan, di sana ada keheningan. Di mana ada keheningan, tidak ada lagi kemelekatan. Ketika tiada lagi kemelekatan, tiada lagi datang maupun pergi. Dimana tiada lagi datang maupun pergi, tiada lagi kemunculan (kelahiran) maupun kepergian (kematian). Ketika tiada lagi kemunculan maupun kepergian, tiada lagi dunia ini maupun dunia di luar ini, ataupun keadaan di antara kedua dunia ini. Ini, sesungguhnya, adalah berakhirnya penderitaan.



Source : http://www.kalyanadhammo.net/