Rabu, 24 Oktober 2012

PERANGKAP TIKUS


Suatu ketika, ada seekor tikus yg hidup di rumah seorang petani. Ia adalah seekor tikus kecil yg bahagia, sebab ia mendapat cukup banyak makanan. Sungguh bagus punya tikus di rumah, karena itu artinya kita tidak memerlukan penyedot debu. Biar si tikus saja yang memunguti remah-remah kecil dan mungil..., tapi itu kalau kita bisa melatih si tikus untuk mengambil remah di tempat yang benar. Ha-ha-ha.

Masalahnya, petani pemilik rumah tak pernah menyukai tikus itu. Suatu hari, ketika si tikus mengintip melalui retakan di tembok, ia melihat petani itu tengah membuka sebuah bungkusan. Saat ia melihat benda dalam bungkusan itu, ia ketakutan. Petani itu ternyata membeli sebuah perangkap tikus!

Begitu gegernya tikus itu sampai-sampai ia langsung menemui sahabatnya, Si Ayam, dan berseru, "Pak Tani beli perangkap tikus! Ini mengerikan! Ini bencana!"

Namun Si Ayam malah berkata, "Bukan masalahku. Tak ada hubunganya denganku. Itu urusanmu, Tikus! Pergi sana!"

Tikus itu tidak mendapat simpati dari ayam, jadi ia pergi menemui sahabatnya yang lain, Tuan babi. "Tuan Babi, Tuan Babi! Pak Tani beli perangkap tikus. Ini berita mengerikan, aku tidak tahu apa aku bisa tidur nyenyak malam ini! Aku dalam bahaya!"

Tuan Babi berkata, "Gak ada urusannya denganku. Urusanmu! Perangkap tikus gak bisa menangkap babi. Kamu lagi sial aja, sana pergi!"

Tikus itu kecewa dengan Tuan Babi, maka ia menemui sahabatnya yang lain, Nyonya Sapi.

"Nyonya Sapi! Tolonglah aku! Pak Tani sudah beli perangkap tikus! Aku begitu paranoid sekarang! Kamu tahu kan tikus biasanya lari ke sana kemari dan tidak tahu lari menginjak apa. Aku bisa menginjak perangkap itu dan aku akan terbunuh...!"

Nyonya Sapi berkata, "Wah, wah.... Itu pasti karma dari kehidupan lampaumu.... Tapi sayangnya, tidak ada hubungannya denganku."

Tikus itu tidak mendapatkan simpati dari satu pun sahabatnya. Dengan muram, ia pulang ke liangnya. Malam itu seekor ular menyusup ke rumah petani itu dan ekornya terkena perangkap tikus itu.

Ketika istri petani datang untuk memeriksa apakah perangkap itu sudah menangkap tikus, ular itu mematuk istri petani itu. Akibatnya, istri petani itu menderita sakit berat. Karena beratnya sakit sang istri, petani itu berpikir, "Apa ya yang bagus untuk orang sakit? Aah... sup ayam!"

Maka petani itu mengambil ayam, memotong kepalanya, membuluinya, dan merebusnya menjadi sup untuk istrinya. Si ayam kehilangan nyawanya.

Istri petani tak kunjung sembuh. Sanak saudara berdatangan untuk memastikan apakah istri petani itu baik-baik saja. Karena banyak tamu berkunjung, petani tidak tahu harus menyediakan makanan dari mana buat mereka. Jadi ia menangkap si babi, menjagalnya, lalu menyajikan sosis dan ham untuk tamu-tamunya. Si babi pun kehilangan nyawanya.

Sekalipun telah melakukan segala upaya, istri petani malang itu meninggal jua. Karena ia meninggal---Anda tahu betapa mahalnya upacara pemakaman, maka petani harus memotong sapi dan menjual dagingnya untuk membayar biaya upacara. Jadi pada akhirnya, si ayam mati, si babi kehilangan nyawa, dan si sapi dijagal..., semua ini karena perangkap tikus.

Jadi, itu bukan hanya masalah si tikus, tapi masalah semuanya.

Kita sering berpikir, "Ini tidak akan mempengaruhiku, tak ada urusannya denganku. Ini masalah orang lain." Tapi kisah ini memberitahu kita: "Bukan! Ini bisa jadi masalahku juga."

Itulah sebabnya mengapa kita harus saling menolong satu sama lain, walau kita tidak tahu bagaimana hal itu berakibat pada kita. Jika ada masalah dalam hidup Anda, mohon jangan pernah berpikir bahwa ini masalah Anda, atau masalah dia. Alih-alih, pikirkan itu sebagai masalah kita, sebab kita semua berada di dalamnya bersama-sama, dan bagian yang indah dalam proses ini adalah berbagi dengan orang lain.

Kita akan menyelesaikan ini bersama-sama. Jika upaya kita berhasil dan mencapai akhir yang baik, luar biasa. Tapi meskipun tidak berhasil, hal yang paling penting adalah: kita bekerja bersama-sama. Pokok masalahnya bukanlah dalam menyelesaikan semua masalah kita, namun pada kenyataan bahwa kita tidak bekerja sama. Di situlah masalahnya.

Jika kita belajar untuk saling bekerja sama, kita akan memiliki kehidupan spiritual yang menakjubkan ini, dan kita tidak akan merasa begitu kesepian. Lalu, kita pun makin dekat dengan realitas bahwa kita semua ada dalam perahu ini bersama-sama.


Sumber : buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3" 

Senin, 08 Oktober 2012

Hati yang Penuh syukur


Alkisah, di sebuah senja kelabu di pinggiran kota kecil Taiwan, tampak seorang laki-laki sedang berjalan pulang ke rumah dari tempat kerjanya sebagai supir taksi. Tiba-tiba, perhatiannya tertuju pada gerakan rumput dan suara gemerisik di sela-sela bebatuan di tepi jalan.

Segera, dihampiri dengan perasaan sedikit was was. Seketika, matanya terbelalak kaget melihat bungkusan berisi bayi merah yang tergeletak di situ. Setelah melihat di sekeliling tempat itu yang tampak sepi-sepi saja, segera diangkat bungkusan bayi itu dengan hati-hati dan dengan tergopoh-gopoh dibawa pulang ke rumahnya.

Setelah terkaget-kaget mendengar cerita dan melihat temuan suaminya, si istri segera mengambil alih menggendong si bayi dengan perasaan sayang. Mereka adalah sepasang suami istri, yang telah lama mendambakan kehadiran anak di tengah keluarga. Bayi yang masih merah itu terasa seperti pemberian Yang Maha Kuasa kepada keluarga mereka.

Waktu terus berjalan. Selang kira-kira usia dua tahun, karena merasa ada yang janggal dengan kemampuan berbicara dan reaksi pendengarannya yang sangat lambat, kedua orangtua itu membawa anaknya ke rumah sakit. Kecurigaan mereka pun terjawab, anak tersebut memang cacat sejak lahir, yaitu bisu-tuli. Walaupun sempat terpukul sesaat, namun perasaan sayang yang telah terpupuk selama ini, membuat mereka memutuskan untuk tetap memelihara dan membesarkan si kecil yang sedang lucu-lucunya.

Tahun pun dengan cepat berganti. Walaupun cacat, si gadis kecil adalah anak yang cerdas dan mendapat pendidikan yang baik di sekolah luarbiasa hingga mampu lulus SMA. Setelah lulus, melalui tes dia diterima masuk untuk bidang seni di perguruan tinggi kota besar.

Perasaan gembira dan sedih pun silih berganti. Gembira karena diterimanya si anak ke universitas terkenal, sedih harus berpisah jauh dan dibutuhkan biaya yang besar untuk itu.

Demi mewujudkan impian anaknya, kedua orangtua itu bertekad untuk berhemat dan bekerja mati-matian. Sejak saat itu, si ayah bekerja sangat keras, hampir setiap hari pulang ke rumah hingga larut malam.

Namun…hidup memang sering tidak sesuai dengan rencana manusia. Di saat kuliah memasuki tahun ke-2, suatu malam si ayah pergi dan tidak pernah kembali. Taksi yang dikendarainya bertabrakan dan nyawanya tidak terselamatkan.

Si anak tahu, betapa berat beban biaya yang harus dipikul ibunya dan dia memutuskan untuk berhenti kuliah, pulang dan bekerja serta menemani ibunya di rumah.

Mengetahui itu, si ibu sangat tersentuh dengan pengertian anaknya. Tetapi, ia menegaskan,
“Ibu tahu kesedihanmu, Nak. Ibu juga sangat kehilangan ayahmu. Tetapi kamu tidak boleh berhenti kuliah. Belajarlah yang benar! Selesaikan kuliahmu secepatnya dan ibu tunggu kepulanganmu dengan ijazah di tangan. Dan setiap bulan, ibu akan berusaha mengirimkan uang untuk biaya kuliahmu di sana. Ingat, jangan berpikir pulang sebelum kuliahmu selesai. Jika kamu gagal, ibu dan ayahmu di alam sana pasti kecewa karena kerja keras dan pengorbanan kami selama ini akan sia-sia.”

Waktu terus berjalan. Selesai wisuda, dengan bangga dan kegembiraan yang meluap serta kerinduan yang sangat, si anak segera pulang ke desanya.

Setiba di rumah, dia mengetuk berulangkali pintu rumahnya yang tertutup rapat. Dan sungguh tidak pernah diduga sama sekali, pertemuan dengan tetangganya ternyata membuat hatinya lumpuh seketika.

“Nak, ibumu setahun lalu telah meningal dunia. Maafkan kami tidak memberitahu karena ibumu meminta kami bersumpah untuk merahasiakannya. Semua sisa uang tabungan ibumu dititipkan ke kami untuk dikirimkan kepadamu setiap bulan dan dia pun meminta kami membalaskan surat-suratmu. Masih ada satu rahasia besar yang sebenarnya ayah ibumu sembunyikan darimu. Bahwa kamu sesungguhnya bukan anak kandung mereka. Walaupun kamu cacat dari bayi, mereka tidak peduli. Mereka tetap menyayangimu melebihi anak kandung sendiri.”

Mendengar semua cerita tentang dirinya, duka yang mendalam tidak mampu diwujudkan dalam teriakan histeris. Hanya derasnya airmata yang mengalir tak terbendung.

Di depan makam kedua orangtuanya, sambil bersimbah air mata, si gadis bersujud dan mendoakan kebahagiaan orangtuanya. Dan, demi mengenang dan mencurahkan rasa syukur yang besar atas kasih sayang dan pengorbanan kedua orangtuanya, lahirlah sebuah puisi yang sangat menyentuh, berjudul “Gan En De Xin” (Hati yang Penuh Syukur)

“Gan En De Xin”
(Hati yang Penuh Syukur)
Terjemahan bebas isi puisi tersebut kira2 spt ini....


Aku datang secara kebetulan seperti sebutir debu
Siapa yang mengetahui… saat aku begitu lemah
Entah dari mana aku datang… dan di manakah cintaku berada
Siapa… yang akan menyapaku di kemudian hari
Walaupun dunia ini begitu luas
Tetapi perjalanan ini begitu berat untuk dilalui
Begitu banyak penderitaann terasa mendera
Berapa banyak cinta… yang masih kumiliki
Berapa banyak tetes air mata yg masih kupunyai
Biarkanlah Tuhan mengetahui …Aku tak akan pernah mengaku kalah
Aku bersyukur ada engkau Ibu yg menemaniku sepanjang hidup ku
Hingga membuat ku mampu menjadi diri sendiri
Aku bersyukur … aku berterima kasih pada keadaan ku ini
Dalam duka dan bahagia aku tetap bersyukur


sumber : internet

Rabu, 03 Oktober 2012

20.VITAKKASANTHANA SUTTA



Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta, 1996) 


1. Demikianlah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu: “Para bhikkhu.” “Ya, Bhante,” jawab mereka.
Selanjutnya, Sang Bhagava berkata:

2. “Para bhikkhu, apabila seorang bhikkhu sedang mengembangkan batin yang lebih tinggi, ada lima tanda yang dapat diperhatikan olehnya dari saat ke saat. Apakah kelima tanda tersebut?”

3. (i) “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memperhatikan beberapa tanda, dan berdasarkan pada tanda itu, muncul dalam dirinya pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik. Bilamana ia memperhatikan kepada beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, maka pikiran-pikiran buruk dan jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan akan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang tukang kayu atau pembantunya yang dapat mengeluarkan, memindahkan dan mengganti sebuah pasak kasar dengan pasak halus, begitu pula … ketika seorang bhikkhu memperhatikan beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik … maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.”

4. (ii) “Apabila, ketika ia sedang memperhatikan tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu, sebagai berikut: ‘Pikiran-pikiran ini buruk, patut dicela dan menyebabkan penderitaan.’ Ketika ia memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seorang pria atau wanita, muda, remaja, yang menyenangi perhiasan, akan ketakutan, menderita dan muak jika bangkai ular, anjing atau mayat digantungkan di lehernya, begitu pula … ketika seorang bhikkhu memeriksa bahaya dalam pikiran-pikiran itu … maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.”

5. (iii) “Apabila, sementara ia memeriksa bahaya dari pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus berusaha melupakan dan harus tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu.Ketika ia berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan orang bermata baik yang tidak mau melihat bentuk-bentuk yang terjangkau oleh pandangan akan menutup mata atau memalingkan pandangannya, begitu pula … ketika seorang bhikkhu berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu … maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.

6. (iv) “Apabila, sementara ia melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu. Ketika ian memberikan perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang berjalan cepat berpikir: ‘Mengapa saya berjalan cepat? Bagaimana bila saya berjalan perlahan?’ dan ia akan berjalan perlahan; kemudian ia berpikir: ‘Mengapa saya berjalan perlahan? Bagaimana bila saya berdiri?’ dan ia akan berdiri; kemudian ia berpikir: ‘Mengapa saya berdiri? Bagaimana bila saya duduk?’ dan ia akan duduk; kemudian ia berpikir: ‘Mengapa saya duduk? Bagaimana bila saya berbaring?’ dan ia akan berbaring. Dengan melakukan seperti itu, ia akan mengganti setiap posisi yang kasar dengan yang halus; begitu pula … ketika seorang bhikkhu memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu … maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.

7. (v) “Apabila, ketika ia memberikan perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu, namun dalam dirinya masih muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, maka dengan menggertak gigi dan lidah menekan langit-langit mulutnya, maka ia harus memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran dengan pikiran. Ketika, dengan menggertak gigi dan lidah menekan langit-langit mulutnya, ia memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan ditinggalkan dan lenyap darinya. Dengan meninggalkan hal-hal itu, pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bagaikan seseorang kuat menangkap kepala atau bahu dari orang lemah dan memukulnya, memaksanya, dan menghancurkannya begitu pula … ketika seorang bhikkhu memberi perhatian untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu … maka pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi.”

8. “Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu memberikan perhatian pada beberapa tanda, dan berdasarkan pada tanda itu dalam dirinya muncul pikiran-pikiran buruk jahat yang berhubungan dengan keinginan indera, kebencian dan kebodohan, kemudian ketika ia memberikan perhatian pada beberapa tanda lain yang berhubungan dengan apa yang baik, maka pikiran-pikiran buruk jahat ditinggalkan dan lenyap, dengan meninggalkan pikiran-pikiran itu pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Ketika ia memeriksa bahaya dari pikiran-pikiran itu …. Ketika ia berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu …. Ketika ia memberikan perhatikan untuk menenangkan bentuk-bentuk pikiran dari pikiran-pikiran itu ….Ketika, dengan menggertak gigi dan menekankan lidah pada langit-langit mulutnya, ia memukul, mendesak dan menghancurkan pikiran dengan pikiran, maka pikiran-pikiran buruk jahat ditinggalkannya … dan pikirannya menjadi kokoh, tenang, terpusat dan terkonsentrasi. Bhikkhu ini disebut sebagai ahli pikiran kasar. Ia akan memikirkan pikiran apa pun yang ingin ia pikirkan dan ia tidak memikirkan apa yang ia tidak ingin pikirkan. Ia telah memutuskan keinginan (tanha), menghempaskan belenggu-belenggu (samyojana), dan dengan sempurna menembus kesombongan (mana) ia melenyapkan penderitaan.Demikianlah yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikhu merasa puas dan gembira dengan apa yang dikatakan Sang Bhagava.

Sumber :www.samaggi-phala.or.id

19.DVEDHAVITAKKA SUTTA



Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997 

1. Demikianlah saya dengar : Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Vihara milik Anathapindika, Savatthi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu : “Para bhikkhu.”"Ya, Bhante,” jawab mereka.Selanjutnya, Sang Bhagava berkata :

2. “Para bhikkhu, sebelum saya mencapai penerangan sempurna, ketika saya masih seorang Bodhisatva yang belum mencapai penerangan sempurna, terpikir olehku : ‘Seandainya saya membagi pikiranku menjadi dua bagian?’ Kemudian aku mulai menerapkan satu sisi pemikiran dengan keinginan-keinginan nafsu (kama), berpikir dengan kemauan jahat (byapada) serta berpikir dengan kekejaman (vihimsa), dan aku menerapkan sisi pemikiran yang lain dengan meninggalkan pemuasan nafsu indera (nekhamma), berpikir tanpa kemauan jahat (abyapada) serta berpikir tanpa kekejaman (avihimsa).

3. “Sementara saya hidup seperti itu, rajin, tekun dengan keteguhan hati, sebuah pikiran keinginan nafsu (kama) muncul kepadaku. Saya mengerti : ‘Pikiran keinginan nafsu muncul padaku. Hal ini mengarah pada penderitaanku, penderitaan orang lain dan penderitaan kedua pihak; hal ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana.’ Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku sendiri,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan kedua pihak,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana,’ hal itu mereda dalam diriku. Bilamana ada pikiran keinginan nafsu muncul dalam diriku, saya meninggalkannya, memindahkannya dan melenyapkannya.

4. “Sementara saya hidup seperti itu, rajin, tekun dengan keteguhan hati, sebuah pikiran kemauan jahat (vyapada) muncul padaku. Saya mengerti: ‘Pikiran kemauan jahat muncul padaku. Hal ini mengarah pada penderitaanku, penderitaan orang lain dan penderitaan kedua pihak; hal ini menghambat kebijaksanan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana.’ Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku sendiri,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan kedua pihak,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana,’ hal itu mereda dalam diriku. Bilamana ada pemikiran kemauan jahat muncul dalam diriku, saya meninggalkannya, memindahkannya dan melenyapkannya.

5. “Sementara saya hidup seperti itu, rajin, tekun dengan keteguhan hati, sebuah pikiran kejam (vihimsa) muncul padaku. Saya mengerti: ‘Pikiran kejam muncul padaku. Hal ini mengarah pada penderitaanku, penderitaan orang lain dan penderitaan kedua pihak; hal ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana.’ Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku sendiri,’ hal itu mereda dalam diriku; Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan kedua pihak,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana,’ hal itu mereda dalam diriku. Bilamana ada pikiran kejam muncul dalam diriku, saya meninggalkannya, memindahkannya dan melenyapkannya.

6. “Para bhikkhu, apapun yang sering dipikir atau direnungkan oleh seorang bhikkhu, itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Bilamana ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran nafsu indera, (berarti) ia telah meninggalkan ‘pikiran pemuasan nafsu indera’ (nekkhamma), mengembangkan pikiran keinginan nafsu, dan pikirannya cenderung pada pikiran keinginan nafsu. Bilamana ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran kemauan jahat (byapada), (berarti) ia telah meninggalkan ‘pikiran tanpa kemauan jahat (abyapada)’, mengembangkan pikiran keinginan nafsu, dan pikirannya cenderung pada pikiran kemauan jahat. Bilamana ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran kejam (vihimsa), (berarti) ia telah meninggalkan ‘pikiran tanpa kekejaman (avihimsa)’, mengembangkan pikiran keinginan nafsu, dan pikirannya cenderung pada pikiran kejam.

7. “Para bhikkhu, itu seperti pada akhir bulan musim-hujan, di musim gugur ketika hasil panen itu menjadi matang, seorang gembala akan menjaga sapi-sapinya sebidang tanah yang sempit di tengah-tengah tanaman yang akan dipanen, dan akan memukulkan tongkat di punggung atau di sisi tubuh mereka, mengendalikan serta memeriksa mereka. Mengapa hal itu dilakukan? Para bhikkhu, sebab ia mengetahui bahaya pembantaian, pengurungan, kehilangan atau celaan, bila (sapi-sapi) itu makan buah yang akan dipanen itu. Demikian pula, saya melihat kesalahan, keburukan dan kekotoran dalam pikiran buruk, serta manfaat yang muncul dari kesucian pikiran yang ‘meninggalkan pemuasan nafsu’ (nekkhamma).

8. “Para bhikkhu, sementara saya rajin, tekun dengan keteguhan hati, ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu’ (nekkhamavitakka) muncul dan saya mengerti: ‘Pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu. Pikiran ini tidak mencelakakan saya, tidak mencelakakan orang lain, juga tidak mencelakakan saya maupun orang lain. Pikiran ini (memotivasikan) perkembangan kebijaksanaan (panna), tidak menyebabkan kesedihan, namun mengarah pada pencapaian nibbana (nibbanasamvattanika).’Para bhikkhu, walaupun di waktu malam saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu indera’. Begitu pula, di waktu siang saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu’. Demikian pula, di waktu siang maupun malam ketika saya berpikir atau merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu’.Namun, setelah lama berpikir dan merenung, tubuh menjadi lelah; bila tubuh lelah, maka pikiran terganggu; jika pikiran terganggu, maka ‘pemusatan pikiran’ (samadhi) menghilang. Para bhikkhu, sehubungan dengan hal itu, maka saya menjaga pikiran dengan hanya memusatkan pada sebuah obyek yang ada dalam diriku, saya menenangkan pikiranku dengan baik, saya mengarahkan pikiranku menjadi terkonsentrasi; saya mengembangkan pikiranku dengan baik. Mengapa demikian? Karena dengan begitu pikiranku tidak terganggu.

9. “Para bhikkhu, sementara saya rajin, tekun dengan keteguhan hati, ‘pikiran tanpa kebencian’ (abhyapadavitakka) muncul … ‘pikiran tanpa kekejaman’ (avihimsavitakka) muncul dalam diriku dan saya mengerti: “Pikiran tanpa kekejaman telah muncul dalam diriku. Pikiran ini tidak mencelakakan saya, tidak mencelakakan orang lain, juga tidak mencelakakan saya maupun orang lain. Pikiran ini (memotivasikan) perkembangan kebijaksanaan (panna), tidak menyebabkan kesedihan, namun mengarah pada pencapaian nibbana (nibbanasamvattanika).”Para bhikkhu, walaupun di waktu malam saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran tanpa kekejaman’. Begitu pula, di waktu siang saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran tanpa kekejaman’. Demikian pula, di waktu siang maupun malam ketika saya berpikir atau merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran tanpa kekejaman’.Namun, setelah lama berpikir dan merenung, tubuh menjadi lelah; bila tubuh lelah, maka pikiran terganggu; jika pikiran terganggu, maka ‘pemusatan pikiran’ (samadhi) menghilang. Para bhikkhu, sehubungan dengan hal itu, maka saya menjaga pikiran dengan hanya memusatkan pada sebuah obyek yang ada dalam diriku, saya menenangkan pikiranku dengan baik, saya mengarahkan pikiranku menjadi terkonsentrasi; saya mengembangkan pikiranku dengan baik. Mengapa demikian? Karena dengan begitu pikiranku tidak terganggu.

10. Para bhikkhu, pikiran maupun perenungan apa pun yang dilakukan berulang-ulang kali, maka pikiran akan berkecenderungan pada apa yang dipikirkan maupun direnungkan itu. Jika seorang bhikkhu berulang-ulang kali berpikir dan merenungkan ‘pembebasan dari keinginan memuaskan nafsu’ (nekhammavitakka), ia telah meninggalkan pikiran untuk memuaskan nafsu dan menyibukkan diri dengan berulang-ulang kali memikirkan kebebasan (dari nafsu). Maka pikiran bhikkhu itu berkecenderungan hanya pada memikirkan kebebasan. Jika seorang bhikkhu berulang-ulang kali memikirkan dan merenungkan tentang ‘tanpa kebencian’ … ‘tanpa kekejaman’, ia telah meninggalkan ‘pikiran kejam’ serta telah menyibukkan dirinya dengan berulang-ulang kali berpikir tanpa kekejaman. Maka pikiran bhikkhu itu cenderung hanya pada pikiran tanpa kekejaman.Para bhikkhu, itu seperti pada bulan terakhir dari musim panas, ketika semua hasil panen telah diangkut ke desa, seorang pengembala akan menjaga sapi-sapi dengan berada di bawah pohon atau di tempat terbuka, maka ia hanya akan memperhatikan sapi-sapi yang digembalakannya. Para bhikkhu, begitu pula, saya hanya perlu memperhatikan apa yang muncul dalam pikiranku.

11. Para bhikkhu, semangat tanpa lelah telah muncul dalam diriku, perhatian tanpa lupa telah mantap, tubuhku telah tenang dan tanpa gangguan, pikiranku telah terkonsentrasi dan terpusat (ekagata).Agak bebas dari nafsu indera, bebas dari dhamma yang tak berguna, saya mencapai dan berada dalam Jhana I yang disertai oleh vitakka (usaha pikiran untuk menangkap obyek), vicara (obyek telah tertangkap), kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) karena pemusatan pikiran. Dengan meninggalkan vitakka dan vicara, saya mencapai dan berada dalam Jhana II yang disertai ‘percaya diri’ (sampasa-danam), pemusatan pikiran, kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) karena pemusatan pikiran, tanpa vitakka dan tanpa vicara.Dengan lenyapnya kegiuran (piti), saya diliputi ketenangan, penuh perhatian (sati) dan kebahagiaan jasmani saya mencapai dan berada dalam Jhana III, yang dinyatakan oleh para Ariya sebagai: “Ia senang karena memiliki ketenangan dan perhatian (sati).”Dengan lenyapnya kebahagiaan (sukha) dan penderitaan (dukkha) jasmani, yang didahului oleh lenyapnya ‘Kebahagiaan dan penderitaan batin’ (somanassadomanassa), saya mencapai dan berada pada Jhana IV, yang tanpa dukkha (adukkha) dan tanpa sukha (asukha) disertai ‘perhatian dan keseimbangan suci’ (upekhasati-parisuddhi).

12. Ketika batinnya (citta) telah suci, terang, tak ternoda, bersih dari kekotoran, lentur, mudah digunakan, mantap dan mencapai ketenangan, saya mengarahkan batin (citta) pada ‘pengetahuan tentang kehidupan-kehidupan yang lampau’ (pubbenivasanus-satinana).Saya mengingat banyak kehidupanku yang lampau, yaitu: satu kelahiran, dua kelahiran … lima kelahiran, sepuluh kelahiran … lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penjadian dunia (samvattakappa), banyak kappa penghancuran dunia (vivattakappa), dan banyak kappa penjadian dan penghancuran dunia (samvattavivattakappa): “Di sana saya bernama, ras, penampilan, makanan, mengalami kesenangan serta penderitaan, panjang usia seperti itu; meninggal dari sana, saya terlahir kembali di tempat-tempat lain; di sana pun saya bernama, ras, penampilan, makanan, mengalami kesenangan serta penderitaan, panjang usia seperti itu; dan meninggal dari alam itu, saya terlahir di sini.” Demikianlah, dengan rinci dan khusus, saya mengingat banyak kelahiran yang lampau.Inilah pengetahuan pertama yang saya capai pada masa pertama di malam hari. Kebodohan (avijja) dilenyapkan dan pengetahuan (vijja) muncul, kegelapan lenyap dan cahaya bersinar, begitulah seseorang yang hidup rajin, bersemangat dan waspada.

13. Ketika batinnya (citta) telah suci, terang, tak ternoda, bersih dari kekotoran, lentur, mudah digunakan, mantap dan mencapai ketenangan, saya mengarahkan batin (citta) pada ‘pengetahuan tentang lenyap dan munculnya makhluk-makhluk’ (cutupa-patanana). Dengan pandangan mata dewa (dibbacakkhu) yang suci dan melampaui kemampuan manusia biasa, saya melihat makhluk-makhluk lenyap (meninggal) dan muncul (lahir) kembali sebagai terhormat atau hina, berwajah cakap atau jelek, berprilaku baik atau jahat; saya mengerti bagaimana makhluk-makhluk hidup sesuai dengan karma mereka, sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang melakukan perbuatan baik melalui ucapan perbuatan dan pikiran, menghina para ariya, berpandangan keliru, melakukan perbuatan berdasarkan pandangan keliru mereka, setelah mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali dalam keadaan yang tidak menyenangkan, di alam yang menyedihkan, bahkan di neraka; sedangkan makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui ucapan, perbuatan dan pikiran, tidak menghina para ariya, berpandangan benar, melakukan perbuatan berdasarkan pada pandangan benar, setelah mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali dalam keadaan menyenangkan, di alam yang membahagiakan, bahkan di surga.” Demikianlah dengan dibba cakku yang suci dan melampaui kemampuan manusia biasa, saya melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali sebagai terhormat atau hina, berwajah cakap atau jelek, berprilaku baik atau jahat; saya mengerti bagaimana makhluk-makhluk hidup sesuai dengan karma mereka.Inilah pengetahuan kedua yang saya capai pada masa kedua di malam hari. Kebodohan (avijja) dilenyapkan dan pengetahuan (vijja) muncul, kegelapan lenyap dan cahaya bersinar, begitulah seseorang yang hidup rajin, bersemangat dan waspada.

14. Ketika batinnya (citta) telah suci, terang, tak ternoda, bersih dari kekotoran, lentur, mudah digunakan, mantap, dan mencapai ketenangan, saya mengarah batin (citta) pada ‘pengetahuan tentang pelenyapan kotoran batin’ (asavanamkhayanana). Saya memiliki pengetahuan: “Inilah Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah sebab Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah lenyapnya Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah Jalan untuk melenyapkan Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah kekotoran-kekotoran batin.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah sebab kekotoran-kekotoran batin.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah lenyapnya kekotoran-kekotoran batin.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah Jalan untuk melenyapkan kekotoran-kekotoran batin.”Ketika saya mengetahui dan melihat seperti itu, batinku terbebas dari ‘kekotoran-batin nafsu indera’ (kamasava), ‘kekotoran-batin untuk menjadi’ (bhavasava) dan ‘kekotoran-batin kebodohan’ (avijjasava). Ketika terbebas, muncul pengetahuan: ‘telah terbebas’. Saya memiliki pengetahuan: “Kelahiran telah dilenyapkan, kehidupan suci telah direalisasi, apa yang harus dikerjakan telah dilaksanakan, tidak ada lagi sesuatu di seberang sana.”Inilah pengetahuan ketiga yang saya capai pada masa ketiga di malam hari. Kebodohan (avijja) dilenyapkan dan pengetahuan (vijja) muncul, kegelapan lenyap dan cahaya bersinar. Begitulah seseorang yang hidup rajin, bersemangat dan waspada.

15. Para bhikkhu, misalnya, di sebuah hutan besar terdapat rawa besar dan di dekatnya ada sekelompok rusa yang hidup di situ. Seandainya ada seseorang yang datang ke tempat itu dengan berkeinginan jahat, tidak bermanfaat dan mengganggu kelompok rusa itu. Ia menutup jalan yang aman dan baik, lalu membuka jalan jebakan dengan menempatkan umpan (benda berupa seperti) rusa jantan dan rusa betina sebagai pemikat. Setelah hal ini dilakukan, maka tidak seberapa lama kemudian, kelompok rusa itu akan menemui malapetaka dan kematian. Para bhikkhu, tetapi jika ada seseorang yang datang ke tempat itu dengan berkeinginan baik, aman ketenangan para rusa itu, maka ia akan membuka penutup jalan, mengamankan jalan dan menutupi jalan jebakan, membuang umpan (benda berupa seperti) rusa jantan dan betina sebagai pemikat. Setelah hal ini dilakukan, maka setelah beberapa waktu kemudian kelompok rusa itu akan berkembang biak, maju dan bertambah.Para bhikkhu, untuk menerangkan arti perumpamaan ini, adalah sebagai berikut: Rawa besar adalah nafsu indera; kelompok rusa adalah makhluk-makhluk. Orang yang berkeinginan jahat, tidak bermanfaat dan mengganggu adalah Mara, si Jahat. Jalan jebakan adalah Jalan Salah Berunsur Delapan. Apakah Jalan Salah Berunsur Delapan itu? Itu adalah Jalan yang terdiri dari Pandangan Salah, Pikiran Salah, Ucapan Salah, Perbuatan Salah, Mata Pencaharian Salah, Usaha Salah, Perhatian Salah dan Meditasi Salah. Umpan rusa jantan adalah Nandiraga, nafsu kemelekatan (pada obyek-indera). Rusa betina pemikat adalah kebodohan (avijja). Sedangkan, orang yang berkeinginan baik, aman dan ketenangan adalah Tathagata, Arahat Samma Sambuddha. Jalan yang aman adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan. Apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan itu? Itu adalah Jalan yang terdiri dari Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar.

16. Para bhikkhu, demikianlah saya telah membuka Jalan Mulia yang aman, damai dan meyenangkan, serta telah menutup Jalan Salah, dan telah membuang umpan Nandiraga, nafsu kemelekatan, juga telah melenyapkan betina pemikat, kebodohan, Avijja. Apapun yang harus dilakukan berdasarkan kasih sayang oleh seorang guru yang berkeinginan untuk mensejahterakan para siswanya, hal itu telah saya lakukan demi kasih sayangku pada kamu sekalian. Para bhikkhu, di sini banyak naungan pohon, tempat yang tenang, bermeditasilah. Jangan lalai (pamadattha), agar tidak menyesal nanti. Inilah pesanku pada kamu sekalian.”Demikianlah kata-kata Sang Bhagava. Para bhikkhu senang dan gembira terhadap kata-kata Sang Bhagava.
Sumber :www.samaggi-phala.or.id

18.MADHUPINDIKA SUTTA



Sumber : TIPITAKA
KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
MAJJHIMA NIKAYA
Penerbit Dewi Kayana Abadi, Jakarta 2003 


1. Demikian yang saya dengar :
Pada suatu ketika Sang Bhagava menginap di Nigrodha arama, Kapilavatthu, di kerajaan suku Sakka (Sakya). Ketika menjelang pagi, Sang Bhagava selesai menyiapkan diri, sambil membawa mangkuk (patta) dan jubah luarnya (civara), beliau pergi ke Kapilavatthu untuk menerima dana makanan (pindapata). Seusai pindapata, dalam perjalanan pulang beliau pergi ke Mahavana (hutan besar) untuk beristirahat di situ pada hari itu. Setelah berada di Mahavana untuk beristirahat, beliau duduk di bawah pohon Beluvalatthika. Pada waktu itu, Dandapani, seorang Sakya, yang biasa jalan kesana kemari, berpergian dengan berjalan ke arah mahavana. Setelah memasuki Mahavana ia menuju pohon Beluvalatthika di mana Sang Bhagava berada; setelah mendekat ia memberi salam kepada Sang Bhagava. Setelah saling memberi salam dan menyapa dengan santun, ia berdiri di samping sambil bertopang pada tongkatnya.

2. Kemudian ia bertanya kepada Bhagava : ”Petapa, apakah ajaran(vada)-mu dan apa pandangan-pandanganmu?”

3. ”Kawan, sebagaimana seseorang mengatakan bahwa dia tidak berselisih dengan siapapun di dunia ini, yakni dengan para dewa, para mara, para makhluk suci, dalam generasi ini, para petapa orang-orang suci, para raja, dan para rakyat jelata, sebagaimana seseorang mengatakan bahwa pengertian tidak lagi menjadi landasan dari pengertian suci, apabila seseorang hidup terlepas dari keinginan akan segala macam keadaan apapun, maka demikianlah apa yang Aku ucapkan, kawan, maka demikianlah apa yang Aku khotbahkan”

4. Setelah Yang Mulia mengucapkan kata-kata tersebut, si pembawa tongkat, seorang suku Sakya itu menggelengkan kepalanya, menggoyangkan lidahnya, mengerutkan dahinya sehingga menimbulkan tiga garis kerutan pada keningnya. Kemudian ia pergi sambil bertopang pada tongkatnya.

5. Ketika hari petang, Yang Mulia bangkit dari meditasinya dan Beliau pergi ke Taman Nigrodha dimana Beliau duduk pada sebuah bangku yang telah dipersiapkan untuknya, ketika Beliau duduk, Beliau mengatakan pada para bhikkhu apa gerangan yang telah terjadi, setelah itu salah seorang diantara bhikkhu bertanya kepada Yang Mulia :

6. ”Tetapi Tuanku Yang Mulia, apakah artinya ucapan tadi ketika Yang Mulia mengatakan bahwa : ’Apabila seseorang tidak berselisih kepada siapapun di dunia ini, yakni dengan para dewa, para mara, para makhluk suci, dalam generasi ini, para petapa orang-orang suci, para raja, dan para rakyat jelata?’.Dan, Tuanku Yang Mulia, bagaimana mungkin bahwa pengertian tidak lagi menjadi landasan dari pengertian suci, apabila seseorang hidup terlepas dari nafsu indera, dari keragu-raguan, dari kecemasan, dari keinginan akan segala macam bentuk apapun?”.

7. Para bhikkhu, perihal penilaian tentang persepsi aneka ragam yang terjadi pada seseorang, sumbernya adalah sebagai berikut :’Apabila tiada sesuatupun yang diperoleh seseorang untuk bersenang-senang, untuk yakin begitu saja terhadap sesuatu dan menerima apa saja, maka hal ini adalah merupakan akhir dari semua kecenderungan akan timbulnya nafsu, keras kepala, pandangan-pandangan keliru, keragu-raguan, penipuan, keinginan akan sesuatu dan kebodohan; Inilah akhir dari upaya mengandalkan tongkat pemukul, upaya mengandalkan senjata, perselisihan pergulatan, pertengkaran, balas dendam, niat jahat, dan ucapan kotor; disinilah ajaran-ajaran yang tidak berguna hilang tanpa bekas’.Demikianlah jawaban Yang Mulia, sesudah mengatakan demikian, Yang Mulia bangkit dari tempat duduk-Nya dan pergi ke tempat tinggal-Nya.Kemudian setelah Yang Mulia pergi, para bhikkhu berpikir : ’Saat ini, Yang Mulia telah bangkit dari tempat duduk-Nya dan pergi ke tempat tinggal-Nya, setelah memberikan wejangan singkat (inti sari) tanpa terperinci, inilah yang diucapkan beliau : ”Apabila tiada sesuatupun yang diperoleh seseorang untuk bersenang-senang, untuk yakin begitu saja terhadap sesuatu dan menerima apa saja, maka hal ini adalah merupakan akhir dari semua kecenderungan akan timbulnya nafsu, keras kepala, pandangan-pandangan keliru, keragu-raguan, penipuan, keinginan akan sesuatu dan kebodohan; Inilah akhir dari upaya mengandalkan tongkat pemukul, upaya mengandalkan senjata, perselisihan pergulatan, pertengkaran, balas dendam, niat jahat, dan ucapan kotor; disinilah ajaran-ajaran yang tidak berguna hilang tanpa bekas”. Kini, siapa gerangan yang akan membabarkan secara terperinci ucapan tersebut?’.

Para bhikkhu teringat akan Yang Arya Bhikkhu Maha Kaccana, ia adalah seorang yang dipuji dan dihargai oleh Yang Mulia maupun oleh rekan-rekannya dalam menjalankan kesucian. Dia pasti sanggup menjelaskannya. ”Teman-teman bagaimana kalau kita datang menghadap kepadanya untuk mohon penjelasan?”.

8. Kemudian mereka pergi menghadap ke Yang Arya Bhikkhu Maha Kaccana, setelah mereka saling menyapa dalam suasana ramah tamah, para bhikkhu duduk pada satu sisi, lalu mereka menceritakan apa yang terjadi pada Yang Arya Maha Kaccana, dan mereka menambahkan : ’Biarlah Yang Arya Maha Kaccana membabarkan penjelasannya kepada kami’.

9. ”Wahai para sahabat, bagaikan seseorang yang sedang memerlukan hati kayu (inti keras batang kayu), yang sedang mencari hati kayu, dan mengembara mencari hati kayu, kemudian mendapatkan pengertian bahwa hati kayu harus dicari diantara dahan-dahan dari sebuah pohon besar yang memiliki hati kayu, setelah sebelumnya mencari diantara akar dan ranting pohon itu. Demikian pula dengan kalian, Oh, para bhikkhu, karena kalian sudah memiliki pengertian, maka kalian harus bertanya tentang arti ucapan tersebut (saat dimana kalian sebelumnya sedang bertanya dan berhadapan langsung ) kepada Yang Mulia. Karena dalam hal penglihatan, Beliau dapat melihat semuanya; Beliau adalah Sang Mata, Beliau adalah Sang Pengetahuan, Beliau adalah Sang Dhamma, Beliau adalah Sang Suci; Sang Tathagata adalah seorang Penyambung lidah (perantara), seorang Pencetus, seorang yang memberi Penjelasan tentang arti Dhamma, seorang Pemberi jalan kehidupan kekal. Sesungguhnya kesempatan tadi adalah saat yang tepat bagi kalian untuk bertanya kepada Yang Mulia tentang arti ucapan tersebut. Dan sebagaimana Beliau menjelaskan kepada kalian, maka kalianpun harus mengingatnya”.

10. ”Memang betul, sahabat Kaccana, dalam hal penglihatan, Beliau dapat melihat semuanya; Beliau adalah Sang Mata, Beliau adalah Sang Pengetahuan, Beliau adalah Sang Dhamma, Beliau adalah Sang Suci; Sang Tathagata adalah seorang Penyambung lidah (perantara), seorang Pencetus, seorang yang memberi Penjelasan tentang arti Dhamma, seorang Pemberi jalan kehidupan kekal. Sesungguhnya kesempatan tadi adalah saat yang tepat bagi kami untuk bertanya kepada Yang Mulia tentang arti ucapan tersebut. Dan sebagaimana Beliau menjelaskan kepada kami, maka kami pun harus mengingatnya.Akan tetapi, Yang Arya Bhikkhu Maha Kaccana adalah seorang yang dipuji dan dihargai oleh Yang Mulia maupun teman-teman dalam kehidupan suci. Anda pasti sanggup menjelaskan secara terperinci arti daripada intisari singkat tanpa penjelasan terperinci yang diberikan oleh Yang Mulia. Biarkanlah Yang Arya Maha Kaccana membabarkannya dengan tanpa bersusah payah”.

11. ”Jikalau demikian, para sahabat dengarkanlah dan patuhilah apa yang aku katakan”. ”Memang seharusnya demikian, sahabat”, para bhikkhu menjawab. Yang Arya Maha Kaccana mengatakan sebagai berikut :

12. ”Para sahabat, ketika Yang Mulia bangkit dari duduknya dan pergi ke tempat tinggalnya setelah memberikan sebuah intisari singkat tanpa penjelasan terperinci, yakni beliau mengatakan : ’ Para bhikkhu, perihal penilaian tentang persepsi aneka ragam yang terjadi pada seseorang, sumbernya adalah sebagai berikut :Apabila tiada sesuatupun yang diperoleh seseorang untuk bersenang-senang, untuk yakin begitu saja terhadap sesuatu dan menerima apa saja, maka hal ini adalah merupakan akhir dari semua kecenderungan akan timbulnya nafsu, keras kepala, pandangan-pandangan keliru, keragu-raguan, penipuan, keinginan akan sesuatu dan kebodohan; Inilah akhir dari upaya mengandalkan tongkat pemukul, upaya mengandalkan senjata, perselisihan pergulatan, pertengkaran, balas dendam, niat jahat, dan ucapan kotor; disinilah ajaran-ajaran yang tidak berguna hilang tanpa bekas’.Menurut pengertianku arti rincian tersebut adalah sebagai berikut :

13. Bergantung pada mata dan bentuk-bentuk benda maka kesadaran akan penglihatan timbul. Kontak adalah sebagai penghubung ketiga unsur tadi secara kebetulan. Dengan adanya kontak sebagai keadaan maka timbullah perasaan. Apa yang dirasakan seseorang adalah apa yang dia pahami. Apa yang dia pahami adalah apa yang dia pikir. Apa yang dia pikir adalah apa yang dia kembangkan (diperluas). Dengan apa yang telah dia kembangkan sebagai sumber dari penafsiran akan beragam pengertian, maka itulah yang memberikan seseorang pengertian akan bentuk-bentuk benda pada masa lampau, masa akan datang dan masa kini, yang terlihat oleh mata.Bergantung pada telinga dan bentuk-bentuk suara maka kesadaran akan pendengaran timbul. Kontak adalah sebagai penghubung ketiga unsur tadi secara kebetulan. Dengan adanya kontak sebagai keadaan maka timbullah perasaan. Apa yang dirasakan seseorang adalah apa yang dia pahami. Apa yang dia pahami adalah apa yang dia pikir. Apa yang dia pikir adalah apa yang dia kembangkan (diperluas). Dengan apa yang telah dia kembangkan sebagai sumber dari penafsiran akan beragam pengertian, maka itulah yang memberikan seseorang pengertian akan bentuk-bentuk suara pada masa lampau, masa akan datang dan masa kini, yang terdengar oleh telingaBergantung pada hidung dan aroma wangi-wangian maka kesadaran akan penciuman timbul. Kontak adalah sebagai penghubung ketiga unsur tadi secara kebetulan. Dengan adanya kontak sebagai keadaan maka timbullah perasaan. Apa yang dirasakan seseorang adalah apa yang dia pahami. Apa yang dia pahami adalah apa yang dia pikir. Apa yang dia pikir adalah apa yang dia kembangkan (diperluas). Dengan apa yang telah dia kembangkan sebagai sumber dari penafsiran akan beragam pengertian, maka itulah yang memberikan seseorang pengertian akan aroma wangi-wangian pada masa lampau, masa akan datang dan masa kini, yang tercium oleh hidung.Bergantung pada lidah dan cita rasa (jenis-jenis rasa) maka kesadaran akan pengecapan timbul. Kontak adalah sebagai penghubung ketiga unsur tadi secara kebetulan. Dengan adanya kontak sebagai keadaan maka timbullah perasaan. Apa yang dirasakan seseorang adalah apa yang dia pahami. Apa yang dia pahami adalah apa yang dia pikir. Apa yang dia pikir adalah apa yang dia kembangkan (diperluas). Dengan apa yang telah dia kembangkan sebagai sumber daripenafsiran akan beragam pengertian, maka itulah yang memberikan seseorang pengertian akan cita rasa (jenis-jenis rasa) pada masa lampau, masa akan datang dan masa kini, yang terkecap oleh lidah.

Bergantung pada badan jasmani dan segala sesuatu yang berbentuk maka kesadaran akan sentuhan (peraba) timbul. Kontak adalah sebagai penghubung ketiga unsur tadi secara kebetulan. Dengan adanya kontak sebagai keadaan maka timbullah perasaan. Apa yang dirasakan seseorang adalah apa yang dia pahami. Apa yang dia pahami adalah apa yang dia pikir. Apa yang dia pikir adalah apa yang dia kembangkan (diperluas). Dengan apa yang telah dia kembangkan sebagai sumber dari penafsiran akan beragam pengertian, maka itulah yang memberikan seseorang pengertian akan segala sesuatu yang berbentuk pada masa lampau, masa akan datang dan masa kini, yang tersentuh oleh badan jasmani.

Bergantung pada sarana pikiran dan ajaran-ajaran benar maka kesadaran akan pikiran timbul. Kontak adalah sebagai penghubung ketiga unsur tadi secara kebetulan. Dengan adanya kontak sebagai keadaan maka timbullah perasaan. Apa yang dirasakan seseorang adalah apa yang dia pahami. Apa yang dia pahami adalah apa yang dia pikir. Apa yang dia pikir adalah apa yang dia kembangkan (diperluas). Dengan apa yang telah dia kembangkan sebagai sumber dari penafsiran akan beragam pengertian, maka itulah yang memberikan seseorang pengertian akan ajaran-ajaran benar pada masa lampau, masa akan datang dan masa kini, yang tercipta oleh pikiran.

14. Apabila terdapat mata dan bentuk-bentuk benda serta kesadaran penglihatan, maka hal ini mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari kontak. Apabila terdapat manifestasi kontak, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila terdapat manifestasi perasaan, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila terdapat manifestasi pengertian, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.Apabila terdapat telinga dan bentuk-bentuk suara serta kesadaran pendengaran, maka hal ini mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari kontak. Apabila terdapat manifestasi kontak, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila terdapat manifestasi perasaan, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila terdapat manifestasi pengertian, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.Apabila terdapat hidung dan aroma wangi-wangian serta kesadaran penciuman, maka hal ini mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari kontak. Apabila terdapat manifestasi kontak, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila terdapat manifestasi perasaan, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila terdapat manifestasi pengertian, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.Apabila terdapat lidah dan cita rasa (jenis-jenis rasa) serta kesadaran pengecapan, maka hal ini mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari kontak. Apabila terdapat manifestasi kontak, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila terdapat manifestasi perasaan, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila terdapat manifestasi pengertian, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.

Apabila terdapat badan jasmani dan segala sesuatu yang berbentuk serta kesadaran sentuhan (peraba), maka hal ini mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari kontak. Apabila terdapat manifestasi kontak, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila terdapat manifestasi perasaan, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila terdapat manifestasi pengertian, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.

Apabila terdapat sarana pikiran dan ajaran-ajaran benar serta kesadaran pikiran, maka hal ini mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari kontak. Apabila terdapat manifestasi kontak, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila terdapat manifestasi perasaan, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila terdapat manifestasi pengertian, hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.

15. Apabila tidak terdapat mata dan bentuk-bentuk benda maupun kesadaran akan penglihatan, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi kontak. Apabila tidak terdapat manifestasi kontak, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila tidak terdapat manifestasi perasaan, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila tidak terdapat manifestasi pengertian, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila tidak terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.Apabila tidak terdapat telinga dan bentuk-bentuk suara maupun kesadaran akan pendengaran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi kontak. Apabila tidak terdapat manifestasi kontak, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila tidak terdapat manifestasi perasaan, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila tidak terdapat manifestasi pengertian, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila tidak terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.Apabila tidak terdapat hidung dan aroma wangi-wangian maupun kesadaran akan penciuman, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi kontak. Apabila tidak terdapat manifestasi kontak, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila tidak terdapat manifestasi perasaan, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila tidak terdapat manifestasi pengertian, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila tidak terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.Apabila tidak terdapat lidah dan cita rasa (jenis-jenis rasa) maupun kesadaran akan pengecapan, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi kontak. Apabila tidak terdapat manifestasi kontak, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila tidak terdapat manifestasi perasaan, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila tidak terdapat manifestasi pengertian, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila tidak terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.

Apabila tidak terdapat badan jasmani dan segala sesuatu yang berbentuk maupun kesadaran akan sentuhan (peraba), maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi kontak. Apabila tidak terdapat manifestasi kontak, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila tidak terdapat manifestasi perasaan, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila tidak terdapat manifestasi pengertian, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila tidak terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.

Apabila tidak terdapat sarana pikiran dan ajaran-ajaran benar maupun kesadaran akan pikiran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi kontak. Apabila tidak terdapat manifestasi kontak, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi perasaan. Apabila tidak terdapat manifestasi perasaan, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pengertian (pemahaman). Apabila tidak terdapat manifestasi pengertian, dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi pikiran. Apabila tidak terdapat manifestasi pikiran, maka dalam hal ini adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal manifestasi dari keadaan dimana seseorang terjangkau oleh berbagai penafsiran (penilaian) akan berbagai macam pengertian.

16. Para sahabat, ketika Yang Mulia bangkit dari duduknya dan pergi ke tempat tinggalnya setelah memberikan sebuah intisari singkat tanpa penjelasan terperinci, yakni beliau mengatakan : ’ Para bhikkhu, perihal penilaian tentang persepsi aneka ragam yang terjadi pada seseorang, sumbernya adalah sebagai berikut :Apabila tiada sesuatupun yang diperoleh seseorang untuk bersenang-senang, untuk yakin begitu saja terhadap sesuatu dan menerima apa saja, maka hal ini adalah merupakan akhir dari semua kecenderungan akan timbulnya nafsu, keras kepala, pandangan-pandangan keliru, keragu-raguan, penipuan, keinginan akan sesuatu dan kebodohan; Inilah akhir dari upaya mengandalkan tongkat pemukul, upaya mengandalkan senjata, perselisihan pergulatan, pertengkaran, balas dendam, niat jahat, dan ucapan kotor; disinilah ajaran-ajaran yang tidak berguna hilang tanpa bekas’, demikianlah menurut pengertianku arti rincian dari intisari singkat tersebut.Sekarang, para sahabat, apabila kalian mau, pergilah ke Yang Mulia dan tanyailah kepada Beliau tentang arti rincian dari intisari singkat tersebut. Sebagaimana Yang Mulia menerangkan kepada kalian, demikian pula kalian harus mengingatnya”.

17. Para bhikkhu merasa puas dan bergembira akan kata-kata dari Yang Arya Maha Kaccana. Kemudian, mereka bangkit dari posisi duduk mereka dan pergi menghadap kepada Yang Mulia dan setelah memberi hormat kepada Beliau mereka duduk pada salah satu sisi, lalu mereka menceritakan kepada Beliau semua yang telah terjadi setelah Yang Mulia meninggalkan mereka tadi, dan mereka menambahkan : ”Kemudian, Yang Mulia, kami pergi ke Yang Arya Bhikkhu Maha Kaccana dan bertanya kepadanya tentang arti dari ucapan tersebut, dan lalu Yang Arya Maha Kaccana telah menerangkan arti dari ucapan Yang Mulia secara jelas dengan alasan-alasannya serta ungkapan-ungkapannya hingga kesuku katanya”.

18. ”Bhikkhu Maha Kaccana adalah seorang yang bijaksana, oh para bhikkhu. Ia mempunyai pengertian yang hebat. Seandainya kalian bertanya kepada-Ku akan arti dari ucapan tadi Akupun akan memberikan jawaban yang sama seperti apa yang diterangkan oleh Maha Kaccana kepada kalian. Memang demikianlah arti ucapan tersebut sebagaimana kalian harus mengingatnya”.

19. Setelah itu Yang Arya Bhikkhu Ananda berkata kepada Yang Mulia :”Yang Mulia bagaikan seorang yang lelah karena lapar dan lemah, menemukan bola madu (kembang gula), dia akan menemukan rasa manis dan murni ketika menyantapnya. Demikian pula Yang Mulia, bagi setiap bhikkhu yang mempunyai kemampuan berpikir, sewaktu mereka mengamati dengan penuh perhatian akan arti dari pembicaraan dhamma ini, akan menemukan kepuasan dan rasa percaya diri dengan hati yang teguh. Yang Mulia, apakah nama dari pembicaraan dhamma ini?”.”Untuk pertanyaan itu, Ananda, engkau boleh menamakan pembicaraan dhamma ini dengan nama Pembicaraan Kembang Gula (Madhupindika Sutta)”.Itulah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Yang Arya Ananda merasa puas dan senang akan ucapan Sang Bhagava.

Sumber :www.samaggi-phala.or.id

17.VANAPATTHA SUTTA



Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka,
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992 


1. Demikian telah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berdiam di Savathi, di hutan Jeta, di Taman Anathapindika. Di sana Beliau berbicara kepada para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu.”
“Yang Mulia,” jawab para bhikkhu. Sang Bhagava berkata:

2. “Para bhikkhu, Aku akan menguraikan secara rinci kepadamu, satu khotbah hutan belukar. Dengarkan dan perhatikanlah dengan baik apa yang akan Aku katakan.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab para bhikkhu. Sang Bhagava berkata demikian:

3. “Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dalam hutan belukar. Ketika tinggal di sana kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit juga sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya meninggalkan hutan itu malam itu juga atau hari itu juga; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

4. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dalam hutan belukar. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku tak memperoleh kemajuan (dalam dhamma) di sini.’ Ia selayaknya meninggalkan hutan itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

5. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dalam hutan belukar. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan rumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku memperoleh kemajuan di sini.’ Ia selayaknya terus tinggal di hutan belukar itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya meninggalkan tempat itu.

6. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dalam hutan belukar. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang semula belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya terus tinggal di hutan itu; ia tak selayaknya meninggalkan tempat tersebut.

7. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di sebuah desa tertentu. Ketika tinggal di sana kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit juga sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya meninggalkan desa itu malam itu juga, atau hari itu juga; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

8. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di desa tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung : ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku tak memperoleh kemajuan (dalam dhamma) di sini.’ Ia selayaknya meninggalkan desa itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tidak selayaknya terus berdiam di sana.

9. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di desa tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku memperoleh kemajuan di sini.’ Ia selayaknya terus tinggal di desa itu. Setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya meninggalkan tempat itu.

10. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di desa tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya, yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang semula belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya terus tinggal di desa itu; ia tak selayaknya meninggalkan tempat tersebut.

11. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota kecil tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit juga sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya meninggalkan kota kecil itu malam itu juga, atau hari itu juga; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

12. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota kecil tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, ia patut merenung; ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku tidak memperoleh kemajuan (dalam dhamma) di sini.’ Ia selayaknya meninggalkan kota kecil itu setelah mempertimbangkan dengan cermat; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

13. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota kecil tertentu. Ketika tinggal di sana kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku memperoleh kemajuan di sini.’ Ia selayaknya terus tinggal di kota kecil itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat, ia tak selayaknya meninggalkan tempat itu.

14. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota kecil tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang semula belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya terus tinggal di kota kecil itu; ia tak selayaknya meninggalkan tempat tersebut.

15. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota besar tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit juga sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya meninggalkan kota besar itu malam itu juga, atau hari itu juga; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

16. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota besar tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan, tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku tak memperoleh kemajuan (dalam dhamma) di sini.’ Ia selayaknya meninggalkan kota besar itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

17. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota besar tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku memperoleh kemajuan di sini.’ Ia selayaknya terus tinggal di kota besar itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya meninggalkan tempat itu.

18. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di kota besar tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya terus tinggal di kota besar itu; ia tak selayaknya meninggalkan tempat tersebut.

19. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di negeri tertentu. Ketika tinggal di sana kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit juga sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya meninggalkan negeri itu malam itu juga, atau hari itu juga; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

20. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di negeri tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku tak memperoleh kemajuan (dalam dhamma) di sini.’ Ia selayaknya meninggalkan negeri itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya terus berdiam di sana.

21. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di negeri tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit sulit diperoleh, bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku memperoleh kemajuan di sini.’ Ia selayaknya terus tinggal di negeri itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya meninggalkan tempat itu.

22. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal di negeri tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya terus tinggal di negeri itu; ia tak selayaknya meninggalkan tempat tersebut.

23. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dengan orang tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit juga sulit diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya meninggalkan orang itu malam itu juga, atau hari itu juga tanpa bertanya; ia tak selayaknya terus mengikutinya.

24. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dengan orang tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh tidak menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi tidak terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan tidak disingkirkan, kebebasan tertinggi yang belum dicapai tidak dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku tak memperoleh kemajuan (dalam dhamma) di sini.’ Ia selayaknya meninggalkan orang itu, setelah mempertimbangkannya dengan cermat tanpa bertanya; ia tak selayaknya terus mengikutinya.

25. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dengan orang tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, namun kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit sulit diperoleh. Bhikkhu harus memperhatikan hal ini, tetapi ia patut merenung: ‘Aku pergi dari kehidupan berumah-tangga ke kehidupan kebhikkhuan tidak untuk mendapatkan jubah, dana makanan, tempat istirahat dan kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit, namun aku memperoleh kemajuan di sini.’ Ia selayaknya terus tinggal bersama orang itu setelah mempertimbangkannya dengan cermat; ia tak selayaknya meninggalkan orang itu.

26. Demikian para bhikkhu, seorang bhikkhu tinggal dengan orang tertentu. Ketika tinggal di sana, kesadarannya yang belum teguh menjadi teguh, batinnya yang belum terkonsentrasi menjadi terkonsentrasi, noda batinnya yang semula belum disingkirkan telah dikikis, kebebasan tertinggi yang belum dicapai telah dicapai, dan juga kebutuhan untuk hidup seperti jubah, dana makanan, tempat istirahat, kebutuhan obat guna menyembuhkan penyakit mudah diperoleh. Bhikkhu tersebut harus memperhatikan hal ini. Ia selayaknya terus tinggal bersama orang itu sepanjang hidup; ia tak selayaknya meninggalkan orang tersebut.”

Demikianlah yang dikatakan oleh Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas dan mereka bersuka cita dengan perkataan Sang Bhagava.

Sumber :www.samaggi-phala.or.id

16.CETOKHILA SUTTA



Penerbit : Dewi Kayana Abadi, Jakarta 2003 

1. Demikian telah saya dengar :
Pada suatu ketika Sang Bhagava menginap di Jetavana, arama milik Anathapindika, di Savatthi. Di sana Sang Bhagava menyapa para bhikkhu dengan berkata : ”Para Bhikkhu”. ”Bhante”, jawab para bhikkhu.

2. Sang Bhagava berkata demikian : ”Para Bhikkhu, pada Bhikkhu siapa pun di mana kelima ’kegersangan batin’ (cetokhila) tidak disingkirkan, kelima ’belenggu batin’ (cetaso vinibhanda) tidak dicabut hingga ke akar-akarnya, maka ia akan bertumbuh, berkembang, matang dalam dhamma dan vinaya, keadaan seperti ini tidak akan terjadi.

Lima kegersangan batin yang tidak dilenyapkan

Kelima kegersangan batin manakah yang tidak dilenyapkan olehnya?

Para bhikkhu, dalam hal ini bhikkhu tersebut memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti terhadap Guru (Sattha).

Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti terhadap Guru, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

3. Para bhikkhu, selanjutnya, bhikkhu tersebut memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti, terhadap dhamma. Para bhikkhu, bhikkhu siapapun yang memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti, terhadap dhamma, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang. Inilah kegersangan batin kedua yang apabila tidak disingkirkan oleh pikirannya dan tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

4. Para bhikkhu, selanjutnya, bhikkhu tersebut memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti, terhadap sangha.Para bhikkhu, bhikkhu siapapun yang memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti, terhadap sangha, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah kegersangan batin ketiga yang apabila tidak disingkirkan oleh pikirannya dan tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

5. Para bhikkhu, selanjutnya, bhikkhu tersebut memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti, terhadap sila.Para bhikkhu, bhikkhu siapapun yang memiliki keragu-raguan, bingung, tidak yakin, tidak pasti, terhadap sila, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah kegersangan batin keempat yang apabila tidak disingkirkan oleh pikirannya dan tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

6. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu marah, tidak senang terhadap rekan bhikkhunya, pikirannya memburuk dan gersang.Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang marah, tidak senang terhadap rekan bhikkhunya, pikirannya memburuk, gersang, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, untuk bergiat, untuk berjuang.Inilah kegersangan batin kelima yang apabila tidak disingkirkan dari dirinya pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.
Inilah kelima kegersangan batin itu.

Lima belenggu batin yang tidak disingkirkan

7. Selanjutnya, apakah kelima belenggu batin yang tidak tercabut dari akar-akarnya dalam dirinya?Para bhikkhu, dalam hal ini, seorang bhikkhu tidak bebas dari kemelekatan terhadap kesenangan indera, tidak bebas dari keinginan, tidak bebas dari cinta (nafsu indera), tidak bebas dari kehausan, tidak bebas dari demam, tidak bebas dari keserakahan.Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang tidak terbebas dari kemelekatan terhadap kesenangan indera, tidak bebas dari keinginan, tidak bebas dari cinta (nafsu indera), tidak bebas dari kehausan, tidak bebas dari demam, tidak bebas dari keserakahan, pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin pertama yang apabila tidak dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

8. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu tidak terbebas dari kemelekatan pada badan jasmani, tidak bebas dari keinginan, tidak bebas dari cinta (nafsu indera), tidak bebas dari kehausan, tidak bebas dari demam, tidak bebas dari keserakahan, pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin kedua yang apabila tidak dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

9. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu tidak terbebas dari kemelekatan pada bentuk-bentuk materi (di luar jasmani), tidak bebas dari keinginan, tidak bebas dari cinta (nafsu indera), tidak bebas dari kehausan, tidak bebas dari demam, tidak bebas dari keserakahan, pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin ketiga yang apabila tidak dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

10. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu setelah makan sebanyak yang dapat ditampung perutnya, hidup dalam kenikmatan tidur di ranjang, berbaring dan bermalas-malasan. Bhikkhu siapa pun, yang setelah makan sebanyak yang dapat ditampung perutnya, hidup dalam kenikmatan tidur di ranjang, berbaring dan bermalas-malasan, pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin keempat yang apabila tidak dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

11. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu menjalani kehidupan brahmacari (selibat) berkeinginan untuk menjadi salah satu dari beberapa tingkatan deva, berpikir : ’Dengan kebiasaan dan adat-istiadat moral, bertapa atau melaksanakan kehidupan brahmacari, saya akan menjadi sesosok deva atau salah satu di antara tingkatan para deva’.Bhikkhu siapa pun yang menjalani kehidupan brahmacari (selibat) berkeinginan untuk menjadi salah satu dari beberapa tingkatan deva, berpikir : ’Dengan kebiasaan dan adat-istiadat moral, bertapa atau melaksanakan kehidupan brahmacari, saya akan menjadi sesosok deva atau salah satu di antara tingkatan para deva’, pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin kelima yang apabila tidak dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya, maka pikirannya tidak cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

12. Para bhikkhu, bhikkhu siapapun dimana kelima kegersangan batin tidak disingkirkan, kelima belenggu batin tidak dicabut hingga ke akar-akarnya, maka ia akan bertumbuh, berkembang, matang dalam dhamma dan vinaya-keadaan seperti ini tidak akan terjadi.

13. Para bhikkhu, bhikkhu siapapun dimana kelima kegersangan batin disingkirkan, kelima belenggu batin dicabut hingga ke akar-akarnya, maka ia akan bertumbuh, berkembang, matang dalam dhamma dan vinaya-hal ini akan terjadi.

Lima kegersangan batin yang disingkirkan

14. Apakah kelima kegersangan batin yang disingkirkan olehnya?

15. Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap Guru.Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap Guru, maka pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah kegersangan batin pertama disingkirkan oleh pikirannya yang cenderung untuk berusaha terus-menerus, giat dan berjuang.

16. Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap dhamma.Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap dhamma, maka pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah kegersangan batin kedua disingkirkan oleh pikirannya yang cenderung untuk berusaha terus-menerus, giat dan berjuang.

17. Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap sangha.Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap sangha, maka pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah kegersangan batin ketiga disingkirkan oleh pikirannya yang cenderung untuk berusaha terus-menerus, giat dan berjuang.

18. Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap sila.Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang tidak memiliki keragu-raguan, tidak bingung, yakin, pasti terhadap sila, maka pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah kegersangan batin keempat disingkirkan oleh pikirannya yang cenderung untuk berusaha terus-menerus, giat dan berjuang.

19. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu tidak marah, senang terhadap rekan bhikkhunya, pikirannya tidak memburuk dan tidak gersang.Para bhikkhu, bhikkhu siapa pun yang tidak marah, senang terhadap rekan bhikkhunya, pikirannya tidak memburuk, tidak gersang, maka pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, untuk bergiat, untuk berjuang.Inilah kegersangan batin kelima disingkirkan oleh pikirannya yang cenderung untuk berusaha terus-menerus, giat dan berjuang.
Inilah kelima kegersangan batin yang disingkirkan olehnya.

Lima belenggu batin yang dicabut

20. Apakah lima belenggu batin yang dicabut hingga ke akar-akarnya olehnya?

21. Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu bebas dari kemelekatan pada kesenangan indera, bebas dari keinginan, bebas dari cinta, bebas dari kehausan, bebas dari demam dan bebas dari keserakahan.Bhikkhu siapa pun yang terbebas dari kemelekatan pada kesenangan indera, bebas dari keinginan, bebas dari cinta, bebas dari kehausan, bebas dari demam dan bebas dari keserakahan, pikirannya cenderung berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin pertama yang apabila dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya pikirannya cenderung berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

22. Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu bebas dari kemelekatan pada badan jasmani, bebas dari keinginan, bebas dari cinta, bebas dari kehausan, bebas dari demam dan bebas dari keserakahan.Bhikkhu siapa pun yang terbebas dari kemelekatan pada badan jasmani, bebas dari keinginan, bebas dari cinta, bebas dari kehausan, bebas dari demam dan bebas dari keserakahan, pikirannya cenderung berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin kedua yang apabila dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya pikirannya cenderung berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

23. Para bhikkhu, dalam hal ini seorang bhikkhu bebas dari kemelekatan pada bentuk-bentuk materi (di luar jasmani), bebas dari keinginan, bebas dari cinta, bebas dari kehausan, bebas dari demam dan bebas dari keserakahan.Bhikkhu siapa pun yang terbebas dari kemelekatan pada bentuk-bentuk materi, bebas dari keinginan, bebas dari cinta, bebas dari kehausan, bebas dari demam dan bebas dari keserakahan, pikirannya cenderung berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin ketiga yang apabila dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya pikirannya cenderung berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

24. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu tidak makan sebanyak perutnya dapat menampung, tidak hidup dalam kenikmatan tidur di ranjang, berbaring dan bermalas-malasan. Bhikkhu siapa pun, yang tidak makan sebanyak perutnya dapat menampung, tidak hidup dalam kenikmatan tidur di ranjang, berbaring dan bermalas-malasan, pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin keempat yang apabila dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya, maka pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

25. Para bhikkhu, selanjutnya seorang bhikkhu menjalani kehidupan brahmacari (selibat) tidak berkeinginan untuk menjadi salah satu dari beberapa tingkatan deva, tidak berpikir : ’Dengan kebiasaan dan adat-istiadat moral, bertapa atau melaksanakan kehidupan brahmacari, saya akan menjadi sesosok deva atau salah satu di antara tingkatan para deva’.Bhikkhu siapa pun yang menjalani kehidupan brahmacari (selibat) tidak berkeinginan untuk menjadi salah satu dari beberapa tingkatan deva, tidak berpikir : ’Dengan kebiasaan dan adat-istiadat moral, bertapa atau melaksanakan kehidupan brahmacari, saya akan menjadi sesosok deva atau salah satu di antara tingkatan para deva’, pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.Inilah belenggu batin kelima yang apabila dicabut hingga ke akar-akarnya dari dalam dirinya, maka pikirannya cenderung untuk berusaha sungguh-sungguh, melaksanakan terus-menerus, giat dan berjuang.

26. Inilah kelima belenggu batin yang dicabut hingga ke akar-akarnya.Para bhikkhu, bhikkhu siapapun dimana kelima kegersangan batin disingkirkan, kelima belenggu batin dicabut hingga ke akar-akarnya, maka ia akan bertumbuh, berkembang, matang dalam dhamma dan vinaya-keadaan seperti ini akan terjadi.

27. Ia mengembangkan dasar kekuatan batin (iddhipada) yang dihasilkan meditasi-keinginan (chanda-samadhi) yang disertai usaha-usaha perjuangan (padhana-sankhara); Ia mengembangkan dasar kekuatan batin (iddhipada) yang dihasilkan meditasi-semangat (viriya-samadhi) yang disertai usaha-usaha perjuangan (padhana-sankhara); Ia mengembangkan dasar kekuatan batin (iddhipada) yang dihasilkan meditasi-kesadaran (citta-samadhi) yang disertai usaha-usaha perjuangan (padhana-sankhara); Ia mengembangkan dasar kekuatan batin (iddhipada) yang dihasilkan meditasi-penyelidikan (vimamsa-samadhi) yang disertai usaha-usaha perjuangan (padhana-sankhara) sebagai yang keempat.

28. Para bhikkhu, apabila seorang bhikkhu memiliki lima belas faktor termasuk semangat, ia akan menjadi seseorang yang berhasil menembus (abhinibbhidaya), ia akan menjadi seorang yang sadar(sambhodhaya), ia menjadi seorang pemenang kedamaian tiada taranya (anuttarassa yogakkhemassa) dari belenggu-belenggu tersebut.

29. Para bhikkhu, sebagaimana jika ada delapan, sepuluh atau selusin telur ayam yang diduduki dengan baik, dierami dengan baik , ditetaskan dengan baik oleh induknya; harapan seperti ini tidak akan timbul pada ayam betina tersebut : ’Semoga anak-anak ayamku, setelah menembus kulit telur dengan ujung cakar pada kaki mereka atau dengan paruh mereka, keluar dengan selamat’, karena anak-anak ayam ini merupakan hewan yang dapat keluar dengan selamat setelah menembus kulit telur dengan ujung dari cakar pada kaki mereka atau dengan paruh mereka.Para bhikkhu, demikian pula seorang bhikkhu yang memiliki lima belas faktor termasuk semangat, menjadi seseorang yang berhasil menembus, ia menjadi seorang yang sadar, ia menjadi seorang pemenang kedamaian tiada taranya dari belenggu-belenggu tersebut”.

Demikianlah apa yang dikatakan Sang Bhagava. Para bhikkhu senang dan gembira dengan apa yang diuraikan Sang Bhagava.



Sumber :www.samaggi-phala.or.id