Minggu, 21 April 2013

Riwayat Hidup Buddha Gotama - BAB VI - TAMBAHAN

KALAMA SUTTA
A-I-191


Demikianlah telah kudengar:


1. Suatu ketika Yang Dirahmati (Sang Buddha) mengembara di negara Kosala dengan rombongan besar bhikkhu dan memasuki kota Kesaputta.

Suku Kalama, yang menjadi penduduk kota Kesaputta mendengar bahwa Pertapa Gotama, seorang putra dari suku Sakya yang pergi bertapa, sekarang telah tiba di Kesaputta.

Berita yang tersiar luas tentang Pertapa Gotama yang sekarang menjadi Buddha, mengatakan:

“Beliau adalah Arahat, Yang memperoleh Penerangan Agung, Sempurna Dalam Pengetahuan dan Pelaksanaannya, Yang Terbahagia, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, Sang Buddha, Yang Dirahmati. Beliau memberitahukan dunia ini, bersama-sama dengan alam para dewa, mara, dan brahma, disertai para pertapa, brahmana, para dewa, dan manusia, sesuatu yang Beliau sendiri telah mengerti melalui pengetahuan yang luar biasa. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, baik dalam teori maupun dalam pelaksanaannya. Secara sempurna Beliau menerangkan tentang penghidupan suci yang benar-benar bersih. Sungguh berharga sekali dapat melihat Arahat tersebut!”

Karena itu, maka suku Kalama dari Kesaputta datang mengunjungi Sang Buddha. Tiba di sana, ada yang memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan kemudian duduk di satu sisi; ada juga yang memberi hormat dengan berlutut, ada yang memberi hormat hanya dengan ucapan; ada yang menyembah; ada yang memberitahukan nama dan nama keluarganya; dan ada juga yang terus duduk tanpa mengucapkan kata apa pun.


2. Setelah mereka semua duduk, kemudian seorang berkata, “Yang Mulia, banyak pertapa dan brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, tetapi mencaci maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Lalu datang pula pertapa dan brahmana lain ke Kesaputta. Dan mereka ini juga menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, dan mencaci-maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Kami yang mendengar merasa ragu-ragu dan bingung, siapa diantara para pertapa dan brahmana yang berbicara benar dan siapa yang berdusta.”


3. “Benar, warga suku Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu, sudah sewajarnyalah kamu bingung. Dalam hal yang meragukan memang akan menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, warga suku Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.

Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut.”


4. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau keserakahan (lobha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu membawa keuntungan atau kerugian?”

“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”

“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang serakah dicengkeram oleh keserakahan dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian, Yang Mulia.”


5. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kebencian (dosa) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?”

“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”

“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang membenci, dicengkeram oleh kebencian dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian, Yang Mulia.”


6. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kegelapan batin (moha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?”

“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”

“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang diliputi kegelapan batin (moha), dicengkeram oleh kegelapan batin dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian, Yang Mulia.”


7. “Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut baik atau tidak baik?”

“Tidak baik, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?”

“Tercela, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?”

“Tidak dibenarkan, Yang Mulia.”

“Kalau terus dilakukan, apakah itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan?”

“Akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, Yang Mulia. Demikianlah pendapat kami.”


8. “Karena itu, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, ‘Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.’

Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan,’ maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut.”


9. “Kesimpulannya, warga suku Kalama, ‘Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.’ Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,’ maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.”


10. “Bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari keserakahan (lobha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”

“Keuntungan, Yang Mulia.”

“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari keserakahan dan tidak lagi dicengkeram oleh keserakahan, dan oleh karena ia dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan berhenti membunuh makhluk hidup, berhenti mengambil sesuatu yang tidak diberikan (mencuri), berhenti melakukan perzinahan berhenti mengucapkan kata-kata yang tidak benar, berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”


11. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kebencian (dosa), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”

“Keuntungan, Yang Mulia.”

“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kebencian tidak lagi dicengkeram oleh kebencian….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”


12. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kegelapan batin (moha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”

“Keuntungan, Yang Mulia.”

“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kegelapan batin dan tidak lagi dicengkeram oleh kegelapan batin ….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapat kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”


13. “Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan?”

“Menguntungkan, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?”

“Tidak tercela, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?”

“Dibenarkan, Yang Mulia.”

“Kalau terus dilakukan, apakah akan membawa kebahagiaan atau tidak?”

“Tentu akan membawa kebahagiaan. Demikianlah pendapat kami.”


14. “Demikianlah, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, ‘Janganlah percaya begitu saja….., Tetapi apabila setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.’ Itulah sebabnya, mengapa Aku mengucapkan kata-kata tersebut.”


15. “Sekarang, warga suku Kalama, seorang siswa Yang Ariya telah terbebas dari keserakahan dan kebencian, dan tidak lagi bingung tetapi dapat mengendalikan dirinya dengan baik dan pikirannya terpusat, sedangkan batinnya dipenuhi oleh kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan; orang itu diumpamakan seperti diam di seperempat alam, kemudian di setengah alam, kemudian di tiga per empat alam dan akhirnya di seluruh alam. Dan dengan cara yang sama ke atas, ke bawah, ke samping, ke segenap penjuru, kepada semua makhluk, ia diam dengan batin penuh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang ditujukan ke segenap penjuru alam, berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan. Siswa yang demikian itu, yang hatinya terbebas dari permusuhan, terbebas dari perasaan tertekan, tidak ternoda dan beersih, orang itu dalam kehidupan ini juga akan memperoleh berkah yang menyenangkan, yaitu :


16. Kalau sekiranya ada alam lain setelah meninggal dunia, ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; saat badan jasmaninya hancur setelah mati, ia akan bertumimbal lahir di alam surga. Ini adalah berkah pertama yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada alam lain setelah meninggal dunia, tidak ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; namun kehidupan ini ia telah terbebas dari perasaan bermusuhan dan tertekan. Ini adalah berkah kedua yang diperolehnya.

Kalau sekiranya bencana menimpa yang berbuat jahat; namun aku sama sekali tidak bermaksud berbuat jahat terhadap siapa pun juga. Mana mungkin bencana dapat menimpa diriku yang tidak berbuat jahat? Ini adalah berkah ketiga yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada bencana menimpa yang berbuat jahat, maka aku tahu bahwa diriku bersih dari kedua segi. Ini adalah berkah keempat yang diperolehnya.

Dengan demikian, warga suku Kalama, siswa Ariya tersebut yang hatinya terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan, tak ternoda dan bersih, maka dalam kehidupan ini memperoleh empat berkah.”


17. “Memang demikianlah halnya, Yang Dirahmati. Memang demikianlah, Yang Terbahagia. Siswa Ariya tersebut dalam kehidupan ini akan memperoleh empat berkah (dengan mengulang apa yang diucapkan Sang Buddha).

Sungguh indah, Yang Mulia! Dengan ini kami menyatakan kami berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Yang Mulia berkenan menerima kami sebagai upasaka dan upasika, mulai hari ini sampai seumur hidup kami.”


SIGALOVADA SUTTANTA
(D.III.31)



KAMMA DAN TUMIMBAL LAHIR
A.X.205


Pemilik dari perbuatan (kamma- pali; karma- skrt) adalah makhluk, ia adalah pewaris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim dari mana ia lahir, kepada perbuatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan pelindungnya. Perbuatan apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga kelak yang akan mewarisinya.

Terdapat orang yang gemar membunuh makhluk hidup, mengambil milik orang lain, melakukan perbuatan asusila, berbicara yang tidak benar, sering menceritakan keburukan orang, menggunakan kata-kata kasar, suka bicara hal-hal yang tidak perlu, tamak, berhati kejam, dan mengikuti pandangan yang keliru.

Dan ia terikat erat kepada perbuatan yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan, atau pikiran. Dengan sembunyi-sembunyi ia melakukan perbuatan-perbuatan, mengucapkan kata-kata dan memikirkan sesuatu; dan sembunyi-sembunyi pula cara dan tujuannya.

Tetapi Aku katakan kepadamu, “Bagaimanapun tersembunyi cara dan tujuannya, orang itu pasti akan menerima salah satu dari kedua akibat ini, yaitu siksaan di neraka atau terlahir sebagai binatang yang merangkak.”

Demikianlah tumimbal lahir dari makhluk-makhluk, “Sesuai dengan kammanya, mereka akan bertumimbal lahir. Dan dalam tumimbal lahirnya itu, mereka akan menerima akibat dari perbuatan mereka sendiri.”

Karena itu Aku menyatakan, “Pemilik dari perbuatan adalah rnakhluk, ia adalah pewaris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim darimana ia lahir, kepada perbuatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan pelindungnya. Perbuatan apa pun yang ia lakukan, baik atau buruk, ia juga kelak yang akan menjadi pewarisnya.”


M.123


Pemilik dan pewaris adalah makhluk ….., perbuatanlah yang kelak akan membedakan manusia menjadi mulia dan rendah. Terdapat lelaki dan perempuan yang membunuh makhluk hidup, kejam, gemar memukul dan membunuh, tanpa mempunyai rasa kasihan kepada makhluk-makhluk hidup. Dengan perbuatan yang dilakukannya ini, maka orang itu, ketika badan jasmaninya hancur setelah meninggal, akan terjatuh di alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka umurnya akan pendek.

Terdapat orang yang mempunyai kebiasaan menyakiti makhluk lain dengan menggunakan tinju, batu, tongkat, atau pedang. Dengan melakukan perbuatan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia, atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan menderita banyak penyakit.

Terdapat orang yang cepat marah, lekas naik darah; untuk hal kecil saja yang diceritakan kepadanya ia sudah menjadi murka, marah, keras kepala, memperlihatkan kegusarannya, kebenciannya, dan kecurigaannya. Dengan melakukan perbuatan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia, atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan mempunyai rupa yang buruk.

Terdapat orang yang suka iri hati, penuh rasa dengki dan benci, iri bila orang lain menerima hadiah, diberi tempat menginap, penghargaan, penghormatan, dimuliakan, dan diberikan persembahan dengan penuh sopan santun. Dengan melakukan perbuatan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan, atau neraka. Atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan mempunyai pengaruh sedikit sekali.

Terdapat orang yang tak pernah memberikan makanan, minuman, jubah, transportasi, bunga, wangi-wangian, obat-obatan, tempat menginap, tempat tinggal, lampu, dan sebagainya kepada para bhikkhu atau pandita. Dengan tidak pernah melakukad perbuatan ini, ia akan terjatuh di alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan menjadi orang yang miskin.

Terdapat orang yang tinggi hati dan penuh kesombongan, tidak mau menghormat kepada mereka yang patut dihormati, tidak mau berdiri untuk siapa ia patut berdiri, tidak memberikan tempat duduk kepada yang patut diberi tempat duduk, tidak memberikan tempat menginap kepada yang patut untuk diberikan tempat menginap, tidak menjamu mereka yang patut dijamu, tidak memberikan penghormatan dan penghargaan kepada mereka yang patut diberikan penghormatan dan penghargaan, dan juga tidak memberikan persembahan kepada yang patut diberi persembahan. Dengan tidak pernah melakukan perbuatan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan menjadi orang rendah.

Terdapat orang yang tidak mengunjungi para bhikkhu dan pandita untuk menanyakan kepada mereka, “Apakah yang dimaksud dengan kamma baik, Bhante? Apakah yang dimaksud dengan kamma tidak baik? Apa yang tercela? Apa yang terpuji? Apa yang harus dilakukan? Apa yang tidak baik dilakukan? Perbuatan apakah yang mengakibatkan celaka dan penderitaan untuk waktu yang lama? Perbuatan mana yang dapat membawa berkah dan kebahagiaan untuk waktu yang lama?” Dengan tidak melakukan perbuatan ini, ia akan terjatuh ke alam-alam rendah yang penuh kesedihan dan penderitaan atau apabila ia terlahirkan kembali sebagai manusia atau di alam mana pun ia bertumimbal lahir, maka ia akan menjadi orang dungu.


A.IV. 197


Apakah sebabnya, Bhante, ada perempuan yang buruk rupanya dan sangat jahat kelihatannya; dan perempuan ini miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, dan tanpa pengaruh?

Dan apakah sebabnya ada perempuan yang buruk parasnya dan sangat jahat kelihatannya; namun perempuan ini kaya raya, mempunyai wibawa yang besar, memiliki harta dan pengaruh?

Dan apakah sebabnya ada perempuan yang cantik parasnya, sedap dipandang, elok sekali; tetapi perempuan ini miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, den tanpa pengaruh?

Dan apakah sebabnya ada perempuan yang cantik parasnya, sedap dipandang, elok sekali, kaya-raya, mempunyai wibawa yang besar, serta memiliki harta dan pengaruh?

Ada perempuan yang bernama Mallika yang cepat marah, lekas naik darah; untuk hal kecil saja yang diceritakan kepadanya, ia sudah menjadi murka, marah, keras kepala, memperlihatkan kegusarannya, kebenciannya, den kecurigaannya.

Dan ia tidak pernah mempersembahkan makanan, minuman, jubah, transportasi, bunga, wangi-wangian, obat-obatan, tempat menginap, tempat tinggal, lampu, dan sebagainya kepada para bhikkhu dan pandita.

Dan ia sering iri, penuh rasa dengki den benci, iri jika orang lain menerima hadiah, diberikan tempat menginap, penghargaan, penghormatan, dimuliakan, dan diberikan persembahan dengan penuh sopan santun.

Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini maupun di alam mana pun dengan paras yang buruk dan sangat jahat kelihatannya, di samping itu ia pun miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, dan tanpa pengaruh.

Ada perempuan yang cepat marah, lekas naik darah, hal kecil saja yang diceritakan kepadanya menjadikannya murka, marah, keras kepala, memperlihatkan kegusarannya, kebenciannya dan kecurigaannya. Tetapi ia mempersembahkan makanan, minuman, jubah, transportasi, bunga, wangi-wangian, obat-obatan, tempat menginap, tempat tinggal, lampu, dan sebagainya kepada para bhikkhu dan pandita.

Dan ia juga tidak suka iri hati, tidak dengki dan benci, tidak iri jika orang lain menerima hadiah, diberikan tempat menginap, penghargaan, penghormatan, dimuliakan, dan diberikan persembahan dengan penuh sopan santun.

Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini maupun di alam mana pun dengan paras yang buruk dan sangat jahat kelihatannya tetapi ia akan kaya raya, mempunyai wibawa yang besar, serta memiliki harta dan pengaruh.

Ada perempuan lain yang tidak cepat marah, tidak lekas naik darah, …..tetapi ia tidak mempersembahkan makanan, minuman, dan ia suka iri hati dan diliputi dengki dan benci, …….

Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini, maupun di alam mana pun dengan paras yang cantik, sedap dipandang, dan elok sekali tetapi ia miskin, tanpa wibawa, tanpa harta, dan tanpa pengaruh.

Ada perempuan lain yang tidak cepat marah, tidak lekas naik darah, dan ia mempersembahkan makanan, minuman, …. dan ia tidak suka iri hati, tidak diliputi dengki den benci …….

Perempuan ini setelah meninggal akan bertumimbal lahir lagi, baik di dunia ini maupun di alam mana pun dengan paras yang cantik, sedap dipandang, elok sekali, kaya raya, mempunyai wibawa yang besar, serta memiliki harta dan pengaruh.


A.III.40


Membunuh makhluk hidup, oh Bhikkhu, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering membunuh mahluk hidup membuat orang tersebut pendek umur.

Mengambil milik orang lain, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering mengambil milik orang lain membuat orang tersebut kehilangan miliknya.

Melakukan perbuatan asusila, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering melakukan perbuatan asusila membuat orang tersebut dijauhi dan dimusuhi oleh lingkungannya.

Berdusta, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering berdusta membuat orang tersebut mendapat tuduhan atas sesuatu yang tidak dilakukannya.

Sering membicarakan keburukan orang lain, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat dari orang yang suka menceritakan keburukan orang lain membuat ia ditinggalkan kawan-kawannya.

Menggunakan kata-kata kasar, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering menggunakan kata-kata kasar membuat orang tersebut sering menerima kata-kata yang tidak menyenangkan.

Berbicara hal yang tidak perlu (omong-kosong), menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering berbicara hal yang tidak perlu (omong-kosong) membuat orang tersebut tidak dapat berbicara dengan jelas.

Minum minuman keras, seperti anggur dan arak, menganjurkan, melakukan sendiri, dan sering dilakukan akan membawa orang tersebut setelah meninggal akan bertumimbal lahir di alam neraka, di alam binatang, atau di alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat sering minum minuman keras dan mengkonsumsi zat lain yang dapat melemahkan kesadaran akan membuat orang tersebut mabuk dan ketagihan.


A.III.33


Oh Bhikkhu, terdapat tiga keadaan yang merupakan akar dari terjadinya kamma (perbuatan), yaitu: keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha).

Perbuatan, oh Bhikkhu, yang dilakukan berdasarkan lobha, yang timbul karena lobha, dihasilkan oleh lobha, maka perbuatan ini akan masak, dimana saja makhluk itu bertumimbal lahir; dan bilamana perbuatan itu masak, maka makhluk itu akan memetik buah (hasil) dari perbuatannya, mungkin dalam kehidupan ini, dalam kehidupan berikutnya, atau dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

Perbuatan yang dilakukan berdasarkan dosa, yang timbul karena dosa, dihasilkan oleh dosa, maka perbuatan ini akan masak dimana saja makhluk itu bertumimbal lahir; dan bilamana perbuatan itu masak, maka makhluk itu akan memetik buah (hasil) dari perbuatannya, mungkin dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan berikutnya, atau dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

Perbuatan yang dilakukan berdasarkan moha, yang timbul karena moha, dihasilkan oleh moha, maka perbuatan ini akan masak dimana saja makhluk itu bertumimbal lahir; dan bilamana perbuatan itu masak, maka makhluk itu akan memetik buah (hasil) dari perbuatannya, mungkin dalam kehidupan ini, atau dalam kehidupan berikutnya, atau dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

Keadaannya sama seperti benih yang tidak rusak dan tidak busuk, tidak rusak oleh angin dan panas matahari tetapi sehat dan tahan lama; setelah ditebarkan di tanah yang subur dan dipersiapkan dengan baik serta cukup mendapat air hujan, akan menitis, tumbuh dengan baik dan berkembang dengan sempurna.


S.XXII


Maka akan datanglah waktunya, oh para Bhikkhu, bahwa samudra besar ini akan menjadi kering, lenyap, dan tidak ada lagi. Tetapi hal itu bukan berarti akhir dari penderitaan bagi makhluk-makhluk yang digelapkan oleh Avijja (kebodohan batin) dan dibelenggu oleh Tanha (nafsu keinginan) berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir. Demikianlah sabda-Ku.

Maka akan datanglah waktunya, bahwa dunia yang perkasa ini akan dilahap oleh api, musnah, dan tidak ada lagi. Tetapi hal ini bukan berarti akhir penderitaan bagi makhluk-makhluk yang digelapkan oleh Avijja dan dibelenggu oleh Tanha berlari berputar-putar dalam lingkaran tumimbal lahir. Demikianlah sabda-Ku.


A.X.208


Tidak mungkinlah, oh para Bhikkhu, bahwa kamma (perbuatan) yang dikehendaki, dilaksanakan, dan ditimbun akan berhenti, selama orang itu masih belum mengalami akibatnya, baik di kehidupan ini, di kehidupan berikutnya, atau di dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

Dan tak mungkinlah, sabda-Ku, bahwa sebelum mengalami sendiri akibat dari kamma yang dikehendaki, dilaksanakan, dan ditimbun orang dapat mengakhiri penderitaan.

Riwayat Hidup Buddha Gotama – Bab IV – Masa Menyebarkan Dhamma



BAB IV
MASA MENYEBARKAN DHAMMA

Mulai Menyebarkan Dhamma

Pada suatu hari, Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridNya yang berjumlah enam puluh orang Arahat dan berkata, “Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, oh Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah, demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya, dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma.”
Kemudian berangkatlah keenam puluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar, mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.
“Aku perkenankan kamu, oh Bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kasaya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu, “Aku berlindung kepada Sang Buddha, aku berlindung kepada Dhamma, aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya.”
Mulai saat itu terdapat dua cara pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu” dan yang kedua diberikan oleh murid-muridNya yang dinamakan pentahbisan “Tisaranagamana”.
Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu, tiga puluh orang pemuda sedang bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. Ia rnembawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.
Setelah tahu apa yang terjadi, mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata, “Oh, Anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?” Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbikatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.

Kassapa Bersaudara

Di tiga tempat sepanjang Sungai Neranjara, tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadi Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gaya Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadi Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.
Pada suatu hari, Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan sebagai berikut:
“Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, Aku ingin bermalam di pondokmu.”
“Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku khawatir Anda akan celaka.” jawab Uruvela Kassapa.
“Oh, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan, Aku akan bermalam di pondokmu.”
“Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat.”
Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.
Waktu tengah malam, benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta kasih) dan badan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.
Esok paginya, Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. Ia terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi.
Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. “Tidak, ular itu ada di sini.” jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk menerima dana makanan.
Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.
Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air “membelah” membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.
Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya, ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Pada suatu hari, Nadi Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya.
Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadi Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.
Setelah tiba, Nadi Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadi Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gaya Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha.
Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanan-Nya menuju Gayasisa di tepi Sungai Gaya.
Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridNya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Adittapariyaya Sutta.
Ringkasan dari khotbah itu adalah sebagai berikut:
“Oh, Bhikkhu, semuanya menyala. Apakah itu yang menyala? Mata, penglihatan, kesadaran mata, kesan-kesan mata dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan mata (Ini adalah kelompok pertama).
Telinga, suara, kesadaran telinga, kesan-kesan telinga dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan telinga (Ini adalah kelompok kedua).
Hidung, bebauan, kesadaran hidung, kesan-kesan hidung dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan hidung (Ini adalah kelompok ketiga).
Lidah, rasa, kesadaran lidah, kesan-kesan lidah dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan lidah (Ini adalah kelompok keempat).
Tubuh, sentuhan, kesadaran tubuh, kesan-kesan tubuh dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan tubuh (Ini adalah kelompok kelima).
Batin, pikiran, kesadaran batin, kesan-kesan batin dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan batin (Ini adalah kelompok keenam).
Semua itu menyala-nyala. Menyala dengan apa? Menyala dengan api dari keserakahan, kebencian dan khayalan yang menyesatkan, menyala dengan api dari kelahiran, usia tua dan kematian, menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, duka cita, dan putus asa.
Seorang siswa Yang Ariya, yang melihat keadaan ini akan merasa jemu. Karena merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan, batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada segala sesuatu akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.”
Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.

Maha Kassapa

Dalam perjalanan ke Rajagaha, Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rajagaha dan Nalanda dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.
Pada waktu itu, seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanadevi dari Desa Mahatittha di negara Magadha.
Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.
Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat, “Oh, Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda, dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi.”
Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rajagaha.
Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari kedelapan, ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Maha Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (pembungkus mayat), sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.
Menjawab pertanyaan, mengapa Beliau menuntut kehidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Maha Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang-orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan, Beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung).
Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia, Maha Kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-Samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rajagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun.
Maha Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.

Raja Bimbisara

Di sebelah Tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisara adalah Maha raja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rajagaha.
Setelah beberapa lama diam di Gayasisa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana.
Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa Pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rajagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya, dan mulia di akhirnya, yang telah mengumumkan kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul.
Mendengar berita itu, Raja Bimbisara datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat, Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut, ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan, ada yang menyembah, ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya, dan ada yang duduk diam saja.
Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima ajaran. Karena itu Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa, “Oh, Kassapa, kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kamu lakukan? Aku bertanya padamu, oh Kassapa, mengapa kamu meninggalkan kebiasaan memuja api?”
Uruvela Kassapa menjawab, “Semua Yañña atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indria tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api.”
Kemudian Sang Buddha bertanya lagi, “Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indria, oh Kassapa, apa sebenarnya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan.”
Kassapa menjawab, “Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indria, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dipahami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang di atas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan.”
Selesai memberi jawaban, Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah murid-Nya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbikatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia.
Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dari dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semenjak kecil.
“Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan, aku mempunyai lima macam keinginan, yaitu pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha. Kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah. Ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut. Keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku. Kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu telah terpenuhi.” .
Selanjutnya Raja Bimbisara memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikut-Nya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana, Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan hari, Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana. Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanarama (hutan pohon bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa di sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang.
Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut, Raja Bimbisara kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa Beliau berhasrat menyerahkan Veluvanarama untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiring-Nya, sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut.
Sang Buddha beserta pengiring-Nya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk pata bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.

Sariputta Dan Moggallana

Di Rajagaha, waktu itu hidup dua orang pemuda dari kasta brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. Yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rupasari, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli.
Mereka berdua berguru kepada Sanjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbajaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang pandai dan sering mewakili gurunya memberi bimbingan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Pada suatu hari Ayasma Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma.
Sebagaimana biasa, Ayasma Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah Beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Ayasma Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan, atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan
Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur, tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Ayasma Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Ayasma Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat, “Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah guru Anda? Dan ajaran siapakah yang Anda ikuti?”
Ayasma Assaji menjawab, “Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi guruku. Dan ajaran-Nya yang aku ikuti.”
“Apakah yang diajar guru Anda, Saudara?”
“Aku seorang pendatang baru. Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan pelajaran itu secara terperinci. Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya.”
“Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari ajaran tersebut, yang lain tidak dapat membantu apa-apa.”
Ayasma Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini:


“Ye dhamma hetuppabhava,
Tessam hetum Tathagato,
Tesañca yo nirodho ca,
Evam vadi mahasamano.”

Artinya :


“Semua benda yang timbul karena satu ‘sebab’
‘Sebabnya’ telah diberitahukan oleh Sang Tathagata,
Dan juga lenyapnya kembali,
Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung. “

Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan berkata dalam hatinya,


“Yankiñci samudayadhammam
Sabbantam nirodha dhammam.”

Artinya:


“Segala sesuatu yang timbul karena satu ‘sebab’
Di dalamnya pun terdapat ‘sebab’ yang membuat ia musnah kembali. “

Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Ayasma Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita.
Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sanjaya, dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. Ia mengulang syair yang diucapkan Ayasma Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sanjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sanjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa.
Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di Desa Kallavalamuttagama di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang. Pada suatu ketika ia merasa ngantuk sekali. Sang Buddha menghampirinya dan memberikan petunjuk untuk menanggulangi perasaan ngantuk,
“Apa pun pencerapanmu pada waktu kamu diserang perasaan mengantuk, Moggallana (Kolita di kemudian hari terkenal dengan nama ini yang berarti : anak Moggalli), kamu harus terus menyadari pencerapan tersebut. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini tidak menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus mengulang dengan suara keras Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus menggosok-gosok kupingmu dengan jeriji dan mengusap-usap tubuhmu dengan tangan. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus bangun dan mencuci matamu dengan air, kemudian memandang ke sekelilingmu dan mengamat-amati bintang di langit. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada pencerapan dari cahaya terang, dan pikiranmu selalu membayangkan ‘cahaya siang hari’ baik pada waktu siang hari maupun pada waktu malam hari, membuka batinmu dari selubung yang menutupinya dan mengembangkan batinmu bermandi cahaya terang. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk.”
“Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus berbaring dengan ‘sikap seekor singa’, yaitu miring ke kanan dengan kaki kiri di atas kaki kanan, batin dalam keadaan ‘sadar’ dan pikiran terpusat kepada saat kamu ingin bangun. Setelah bangun kamu harus segera bangkit sambil merenung ‘Aku tidak ingin memanjakan diriku dengan berbaring, menyender atau tidur’. Ini Moggallana, yang kamu harus selalu ingat.”
“Selanjutnya, Moggallana, kamu harus selalu ingat ‘aku tidak boleh merasa ingin terlalu dihormat kalau masuk ke rumah seorang umat biasa’. Sebab kalau seorang bhikkhu masuk ke rumah seorang umat biasa dengan perasaan ingin terlalu dihormat dan pada waktu itu mungkin ada urusan rumah tangga yang sangat penting yang harus diselesaikan terlebih dulu sehingga bhikkhu itu ‘terlupakan’, maka akan timbul pikiran dalam batin bhikkhu tersebut, “Siapakah yang menghasut orang ini terhadap diriku? Orang ini kelihatannya sekarang ‘acuh tak acuh’. Karena merasa tak diacuhkan lagi timbul perasaan malu, karena malu pikirannya kacau, karena pikirannya kacau ia tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik, karena tidak dapat mengendalikan diri dengan baik, ia gagal melakukan meditasi.”
“Selain dari itu, Moggallana, kamu harus selalu ingat, ‘aku tidak ingin mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain’. Sebab kalau orang berbicara tentang sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain, maka hal itu mengakibatkan perdebatan yang panjang. Dengan adanya perdebatan yang panjang, ia tak dapat memusatkan pikirannya. Karena tak dapat memusatkan pikirannya, ia tak dapat mengendalikan diri, karena ia tak dapat mengendalikan diri, ia gagal melakukan meditasi.”
“Sekarang, Moggallana, aku tidak selalu memujikan orang berkumpul dan juga aku tidak selalu menolaknya. Aku tidak memujikan berkumpul dengan orang banyak, baik itu bhikkhu atau orang biasa. Tetapi kalau ada tempat sunyi dan tidak terganggu oleh suara berisik dari orang yang lalu lalang, cocok sekali untuk seorang pertapa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang lebih menyukai hidup menyendiri, maka berdiam di tempat demikian itu selalu aku pujikan.”
Setelah diberikan petunjuk di atas, Moggallana menanyakan tentang kesimpulan terakhir bagi orang yang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginan dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’. Sang Buddha menjawab,
“Moggallana, seorang bhikkhu yang melaksanakan Dhamma ini, tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk dilekati. Setelah tahu hal tersebut, ia kemudian mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, setelah mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi, ia dapat menyelami hakekat benda-benda tersebut, maka sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral ia memandangnya sebagai sesuatu yang tidak kekal. Jadi, ia memandangnya dengan perasaan jemu untuk kemudian menyingkir dan melepaskan diri dari perasaan tersebut.
Dengan merenung seperti itu, ia tidak melekat lagi kepada apa pun dalam dunia ini, karena tidak lagi melekat, ia tidak dapat lagi diganggu, karena tidak dapat lagi diganggu, ia dapat rnenyingkirkan semua kekotoran batin dan mengetahui bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Dengan kesimpulan terakhir inilah, Moggallana, seorang bhikkhu dapat dipandang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginannya dan sudah siap untuk memperoleh hasil ‘di luar duniawi’.”
Dengan melaksanakan petunjuk tesebut, Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga.
Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sariputta, anak Sari), berdiam bersama-sama Sang Buddha di Goa Sukarakhata dari Gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha.
Seorang pertapa golongan Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat, ia berdiri di satu sisi. Ia kemudian memberikan pandangannya dengan mengatakan, “Yang Mulia Gotama, semua benda tidak menyenangkan hatiku. Aku tidak merasa tertarik kepadanya.”
“Kalau begitu, Aggivesana, pandangan yang demikian itu pasti tidak menyenangkan hatimu dan sudah semestinya kamu tidak tertarik lagi kepadanya.”
Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut.
“Ada kelompok pertapa dan Brahmana, Aggivesana, yang mempunyai pandangan bahwa semua benda menyenangkan hati mereka, mereka tertarik kepada semua benda.
Ada kelompok lain berpegang teguh kepada pandangan bahwa semua benda tidak menyenangkan hati mereka, mereka tidak tertarik kepada apa pun juga. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahwa ada benda-benda yang menyenangkan hati dan mereka tertarik kepada benda-benda tersebut.
Terhadap benda-benda lain yang tidak menyenangkan hati, mereka tidak tertarik. Pandangan kelompok pertama ialah condong ingin memiliki benda-benda tersebut. Pandangan kelompok kedua condong untuk membenci atau mempunyai pikiran buruk terhadap benda-benda. Pandangan kelompok ketiga ialah condong ingin memiliki beberapa benda-benda dan membenci benda-benda yang lain.
Seorang bijaksana melihat bahwa kalau ia mengambil sikap dan mengatakan bahwa ini yang benar dan yang dua itu salah, ia akan bertentangan pendapat dengan mereka yang mempunyai kedua pandangan yang lain itu.
Dengan adanya pertentangan pendapat akan timbul pertengkaran.
Dengan adanya pertengkaran akan timbul perasaan benci. Dengan adanya perasaan benci akan timbul permusuhan.
Setelah menyelami keadaan ini, seorang bijaksana akan menyingkirkan pandangan itu dan juga tidak menganut pandangan pandangan yang lain. Dengan melakukan ini, ia telah melepaskan ketiga pandangan tersebut.”
Setelah menjelaskan tentang ketiga pandangan salah tersebut, Sang Buddha kemudian memberikan uraian tentang cara bagaimana orang dapat menyingkirkan kemelekatan.
“Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas empat unsur pokok (Mahabhutarupa), yaitu tanah, air, hawa udara, dan api. Ia berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan makanan nasi dan sayur-sayuran, selalu memerlukan wangi-wangian dan sabun untuk menutupi bau yang menyerang keluar, dan selalu harus dibersihkan dan digosok (untuk membersihkan kotoran yang melekat di kulit).”
Ia ditakdirkan untuk lapuk dan membusuk. Kamu harus melihatnya sebagai sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, sulit untuk dipertahankan, kamu harus melihatnya sebagai penyakit, sebagai bisul yang terkena anak panah dan menimbulkan kepedihan dan kesakitan, kamu harus melihatnya sebagai tanpa aku. Kalau melihat semua ini dengan terang, kamu dapat melepaskan keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indria.
“Selain dari itu, perasaan terdiri atas tiga jenis, yaitu yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan yang netral. Kalau perasaan menyenangkan timbul, maka perasaan tidak menyenangkan dan netral tidak bisa muncul.
Kalau perasaan tidak menyenangkan timbul, maka perasaan menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan netral timbul, maka perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan tidak bisa muncul.
Itulah tiga jenis perasaan yang tidak kekal dan timbul oleh sesuatu sebab dan dilahirkan oleh sebab. Perasaan itu ditakdirkan untuk mati kembali, menyusut, menciut, dan hilang sama sekali.
Siswa Yang Ariya, yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral.
Karena jemu, ia akan melepaskan diri dari nafsu-nafsu keinginan.
Tanpa nafsu-nafsu keinginan, ia akan bebas dari kemelekatan.
Dalam batin yang bebas dari kemelekatan akan timbul pengetahuan bahwa batinnya sekarang benar-benar telah bebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Bhikkhu yang demikian itu tidak mungkin akan bertengkar lagi mengenai sesuatu pandangan. Apa pun dalil keduniawian yang dikemukakan orang, ia dapat mengikutinya, tetapi ia tidak menganutnya dan juga tidak melekat kepada salah satu dalil.”
Selama itu Sariputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, “Sang Bhagava menganjurkan untuk melepaskan ikatan kepada semua benda melalui Kebijaksanaan Tertinggi.”
Merenungkan arti yang terkandung dalam khotbah tersebut, batinnya terbebas dari semua kekotoran batin dengan jalan menyingkirkan kemelekatan.
Setelah khotbah selesai, Dighanakha memperoleh Mata Dhamma dan.terbebas dari keragu-raguan terhadap keampuhan dan keunggulan Dhamma. Ia memuji khotbah yang baru saja didengar dan menyatakan diri sebagai upasaka.
“Indah, sungguh indah Bhante. Dengan panjang lebar Bhante telah menguraikan Dhamma, menjelaskannya sebagai seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, atau membuka apa yang tertutup, atau menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan api sewaktu keadaan gelap gulita. Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang berlindung kepada Sang Ti-Ratana untuk seumur hidup.”
Dengan cara-cara inilah Moggallana dan Sariputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat.
Sang Buddha sendiri pernah menerangkan di hadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa Sariputta adalah murid-Nya yang terpandai dalam kebijaksanaan dan Moggallana yang terpandai dalam kekuatan gaib.
Kalau Sang Buddha dinamakan Dhammaraja (Raja Dhamma) maka Sariputta diberi gelar Dhammasenapati (Jenderal Dhamma).

Pertemuan Besar Para Arahat

Ketika Sang Buddha berada di kota Rajagaha, seribu dua ratus lima puluh orang Arahat datang berkumpul.
Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Caturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:

Mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu.
Mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña).
Semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan “Ehi bhikkhu”.
Waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovadda Patimokkha.

Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanarama (hutan pohon bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnama sidhi di bulan Magha.
Ovada Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183;5) :


“Sabba papassa akaranam,
Kusalassa upasampada,
Sacittapariyo dapanam,
Etam Buddhana sasanam.

Khanti paramam tapo titikkha,
Nibbanam paramam vadanti Buddha,
Na hi pabbajjito parupaghati,
Samano hoti param vihethayanto.

Anupavado, anupaghato,
Patimokkhe ca samvaro,
Mattaññuta ca bhattasmim,
Pantham ca sayanasanam,
Adhicitte ca ayogo,
Etam Budhana sasanam. “

Artinya:


“Janganlah berbuat kejahatan,
Perbanyaklah perbuatan baik,
Sucikan hati dan pikiranmu,
Itulah ajaran semua Buddha.

Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik,
Sang Buddha bersabda; Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya,
Beliau bukan pertapa yang menindas orang lain,
Beliau bukan pula pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain.

Tidak menghina, tidak melukai,
Mengendalikan diri sesuai dengan tata tertib,
Makanlah secukupnya,
Hidup dengan menyepi,
Dan senantiasa berpikir luhur,
Itulah ajaran semua Buddha.”

Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Magha-Puja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai / Thailand.

Kembali Ke Kapilavatthu

Setelah Raja Suddhodana menerima berita bahwa Sang Buddha berada di Rajagaha, ibukota negara Magadha, maka Beliau mengirim berturut-turut sembilan orang utusan untuk mengundang Sang Buddha pulang ke Kapilavatthu. Namun utusan-utusan tersebut ‘lupa’ untuk menyampaikan undangan dari Raja Suddhodana, setelah mereka mendengarkan khotbah Sang Buddha dan mencapai tingkat Arahat.
Akhirnya Raja Suddhodana mengutus Kaludayi untuk mengundang Sang Buddha. Kaludayi adalah kawan bermain Pangeran Siddhattha waktu kecil dan lahir pada hari, bulan, dan tahun yang sama. Kaludayi berangkat menuju Rajagaha. Waktu mendengar Sang Buddha memberikan khotbah, Kaludayi pun mencapai tingkat Arahat. Ia mohon untuk diterima sebagai bhikkhu dan Sang Buddha mentahbiskannya dengan memakai kalimat “ehi bhikkhu”. Kemudian Kaludayi menyampaikan undangan Raja Suddhodana kepada Sang Buddha untuk berkunjung ke Kapilavatthu. Sang Buddha menerima baik undangan tersebut dan setelah Kaludayi berdiam tujuh hari di Rajagaha, berangkatlah Sang Bhagava beserta rombongan dua puluh ribu bhikkhu menuju Kapilavatthu. Perjalanan yang jauhnya enam puluh Yojana (1 Yojana = 16 Km) ditempuh dalam waktu enam puluh hari, yaitu tiap hari ditempuh satu Yojana.
Berita dengan cepat sampai kepada Raja Suddhodana bahwa Sang Buddha dan rombongan sedang menuju ke Kapilavatthu. Beliau memerintahkan agar disiapkan tempat untuk rombongan yang akan tiba. Tempat itu terletak di luar kota dan dikenal dengan nama Nigrodharama (hutan pohon beringin).
Waktu rombongan tiba, Raja Suddhodana berikut pengiring dengan disertai penduduk Kapilavatthu, berduyun-duyun datang ke Nigrodharama.
Mengenai peristiwa penting dan menarik ini, yaitu bertemunya kembali Raja Suddhodana dengan anaknya dapat dituturkan sebagai berikut (Mhvu. III, 114-121).
Waktu rombongan mendekati Nigrodharama, Sang Buddha merenung, “Bangsa Sakya terkenal sebagai bangsa yang tinggi hati. Kalau Aku menyambut mereka dengan tetap duduk di tempat duduk-Ku, mereka mungkin akan mencela sikap-Ku dan mengatakan, ‘Sungguh keterlaluan yang dilakukan Pangeran yang telah meninggalkan tahta, menjadi pertapa dan sekarang telah memperoleh Penerangan Agung dan mengaku sebagai Raja Dhamma, Ia duduk saja dan tidak berdiri untuk menyambut kedatangan ayah-Nya yang sudah tua dan sangat dihormati oleh seluruh rakyat Sakya.’ Tetapi tidak ada makhluk atau kelompok makhluk yang kepalanya tidak dibelah tujuh, kalau sekiranya Sang Tathagata bangun untuk menghormatnya. Lebih baik Aku terbang setinggi orang dewasa dan berjalan-jalan di udara.”
Kemudian Sang Buddha terbang ke udara dan berjalan-jalan setinggi orang dewasa. Dari kejauhan, Raja dapat melihat anaknya sedang berjalan-jalan di udara dan merasa sangat kagum. Tiba di pinggir hutan Nigrodharama, Raja turun dari keretanya dan bersama-sama dengan pengiringnya berjalan kaki menuju ke tempat tinggal Sang Buddha. Sang Buddha yang sedang berjalan-jalan di udara setinggi orang dewasa naik lebih tinggi sedikit dan berdiri setinggi pohon palem, sehingga dapat dilihat oleh segenap yang hadir.
Pada waktu itulah Sang Buddha mempertontonkan kekuatan gaib-Nya yang hanya dapat dilakukan oleh seorang Buddha, yaitu Yamakapatihariya atau Mukjizat Ganda. Api berkobar-kobar di badan sebelah atas dan air dingin melalui lima ratus pancaran turun dari badan sebelah bawah. Setelah itu air memancar dari sebelah atas badan dan api berkobar-kobar dari badan sebelah bawah.
Yang hadir bersorak-sorak gembira melihat kemukjizatan tersebut. Waktu itu hadir juga Yasodhara yang menuntun Mahapajapati. Mahapajapati matanya buta karena sedih dan terlalu banyak menangis sewaktu Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dan pergi bertapa di hutan Uruvela.
Mahapajapati mendengar hadirin bersorak-sorak, tetapi karena tidak dapat melihat, maka semua peristiwa yang terjadi harus diceritakan oleh Yasodhara. Yasodhara merasa terharu sekali melihat keadaan Mahapajapati. Dengan penuh kesujudan, Yasodhara menampung dengan kedua tangannya air yang keluar dari badan Sang Buddha sewaktu melakukan Mukjizat Ganda. Dengan air itu Yasodhara membasahi dan mencuci mata Mahapajapati berulang kali disertai doa semoga air itu dapat mengembalikan penglihatan Mahapajapati.
Satu mukjizat telah terjadi. Sedikit demi sedikit Mahapajapati dapat melihat kembali sehingga penglihatannya pulih seluruhnya. Sekarang Mahapajapati dapat menyaksikan sendiri peristiwa yang membuat para hadirin bersorak-sorak, sehingga membuat hatinya gembira sekali.
Setelah melakukan Mukjizat Ganda, Sang Buddha kemudian menghilang. Tiba-tiba di udara muncul seekor banteng besar dengan tengkuk yang bergetar-getar lari dari arah Timur dan lenyap disebelah Barat, kemudian lari dari arah Barat dan lenyap di sebelah Timur.
Kemudian muncul lagi dan lari dari arah Utara dan lenyap di sebelah Selatan, selanjutnya lari dari sebelah Selatan dan lenyap di sebelah Utara.
Setelah pemandangan yang di atas lenyap sama sekali, kemudian Sang Buddha terlihat duduk dengan tenang di tempat duduk-Nya.
Hilang sudah keragu-raguan dan sekarang semua hadirin yakin bahwa Pangeran Siddhattha sesungguhnya telah menjadi Buddha.
Kemudian mereka semua berlutut memberi hormat kepada Sang Buddha. Dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada, Raja Suddhodana menghampiri anaknya dan berkata, “Ini adalah untuk ketiga kalinya aku menundukkan kepalaku di bawah kakimu, oh Yang Maha Tahu, pertama kali waktu seorang pertapa meramalkan bahwa anakku kelak akan menjadi Buddha, kedua kali waktu aku lihat anakku bermeditasi di bawah Pohon jambu dan ini untuk yang ketiga kalinya.
Kemudian menuruti bisikan hatinya, Raja Suddhodana menanyakan apakah sekarang Sang Buddha baik-baik saja. “Dulu anakku selalu memakai sandal terbuat dari kain wol halus yang berjalan di atas permadani yang empuk dan dipayungi dengan payung putih. Tetapi sekarang kaki anakku yang halus dan berwarna tembaga serta penuh garis-garis ajaib itu harus berjalan di atas rumput kasar, duri, dan batu kerikil. Apakah kaki anakku tidak pernah merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab,
“Aku adalah Sang Penakluk, Yang Maha Tahu, tak ternoda oleh kekotoran-kekotoran batin di dunia ini. Aku telah melepaskan diri dari semua benda dan telah terbebas dengan musnahnya nafsu-nafsu keinginan. Orang seperti Aku tak dapat lagi diganggu oleh perasaan enak dan tidak enak.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu para pelayan tiap hari memandikan dan menggosok-gosok badan anakku dengan minyak kayu cendana yang baunya harum semerbak. Tetapi sekarang anakku mengembara di waktu malam yang dingin dari satu hutan ke hutan yang lain. Sekarang siapakah yang memandikan anakku dengan air bersih dan menyegarkan apabila anakku merasa lelah?”
Sang Buddha menjawab,
“Oh, Baginda, murni adalah arus air yang datang dari pantai kebajikan yang tak ternoda dan dipujikan oleh para bijaksana. Dengan mandi dan menyelam dalam air dewata itulah Aku telah tiba di pantai seberang.
Raja Suddhodana berkata,
“Sewaktu anakku masih memakai kain buatan Benares dan memakai baju bersih yang berbau wangi bunga teratai dan cempaka, anakku adalah orang yang paling bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit. Tetapi sekarang anakku memakai pakaian dari kain kasar yang terbuat dari serat kayu merah. Sungguh aneh anakku berbuat seperti ini.”
Sang Buddha menjawab,
“Para Penakluk, oh Baginda, tidak menghiraukan pakaian, tempat tidur atau makanan, dan juga para Penakluk tidak menghiraukan apakah yang diterimanya menyenangkan atau tidak menyenangkan.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, kereta yang mahal dan bergemerlapan dengan emas dan tembaga selalu tersedia untuk dipakai dan kemana pun anakku pergi selalu ikut serta sebuah payung putih, sebuah pusaka, sebatang pedang, dan sebuah lambang kerajaan. Lagipula Kanthaka, kuda yang terkenal paling bagus dan paling cepat di seluruh negeri selalu menyertai anakku. Meskipun hingga kini masih tersedia kereta, kereta perang, kuda dan gajah, namun anakku lebih senang berjalan kaki dari satu kerajaan ke kerajaan lain. Coba katakan, apakah anakku tidak lelah?”
Sang Buddha menjawab,
“Kekuatan gaib adalah kereta-Ku. Ketetapan hati, kebijaksanaan dan pikiran yang terpusat adalah sais-Ku. Padhana yang terdiri atas Sanvara (pengekangan diri dari nafsu-nafsu), Pahana (melenyapkan kekotoran batin), Bhavana. (melaksanakan meditasi) dan Anurakkhana (menjaga watak sendiri) adalah kuda-kuda-Ku. Seorang diri Aku mengembara ke tempat-tempat yang jauh.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu anakku makan dari piring perak dan minum dari mangkuk emas. Selalu tersedia makanan yang lezat-lezat dengan bumbu yang terpilih, sebagaimana layaknya disajikan kepada seorang raja. Tetapi sekarang anakku dengan tanpa perasaan muak, makan hidangan asin atau tidak asin, kasar atau lembut, dengan bumbu atau tanpa bumbu. Sungguh aneh anakku berbuat hal seperti itu.”
Sang Buddha menjawab,
“Seperti juga Buddha-Buddha dari zaman dulu dan Buddha-Buddha di zaman yang akan datang, maka Aku, Sang Tathagata, makan yang lembut dan kasar, yang pakai bumbu atau yang tidak pakai bumbu dengan pikiran yang terkendali guna kepentingan dunia ini.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, anakku tidur di dipan tinggi yang dilapisi kulit kambing hutan dengan bantal yang empuk dilapisi sutra halus. Kaki dipan terbuat dari emas dan dibalut dengan untaian bunga yang harum semerbak, sedang lantai ditutup dengan permadani yang terbuat dari bahan wol dan kapas. Sekarang anakku memakai rumput dan daun-daunan sebagai kasur dan tidur di atas tanah yang kasar dan berbatu. Dan rupanya anakku menyukainya. Apakah tubuh Yang Maha Bijaksana tidak merasa sakit?”
Sang Buddha menjawab,
“Oh, Baginda, orang seperti Aku tidak akan tidur dengan tidak nyenyak. Semua duka cita dan kesedihan telah Kutinggalkan. Dengan terbebas dari duka cita dan kesedihan, Aku selalu menjaga batin-Ku agar selalu berbelas-kasih kepada semua makhluk.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, anakku tinggal di istana yang kamarnya (di lantai atas) menyerupai tempat kediaman para dewa dan diterangi oleh sekumpulan kunang-kunang, dengan dilengkapi jendela putar yang serasi, dimana pelayan wanita yang memakai perhiasan dan kalungan bunga menunggu dengan sabar kata-kata yang akan keluar dari mulut Tuannya.”
Sang Buddha menjawab,
“Sekarang, oh Baginda, di tempat ini pun yang dihuni oleh manusia terdapat para Brahma dan Dewa Agung yang senantiasa mengikuti petunjuk-petunjuk-Ku dan lagi pula Aku dapat pergi kemana pun yang Kukehendaki.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, diiringi musik yang merdu, para penyanyi selalu menyanyikan lagu-lagu yang anakku senangi. Dan anakku adalah orang yang bercahaya di antara orang-orang dari suku Sakya, sebagaimana Dewa Sakka yang paling bercahaya di antara dewa-dewa di langit.”
Sang Buddha menjawab,
“Aku sekarang menyanyikan lagu dengan khotbah dan pembabaran Dhamma dan terbebas karena memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi. Aku sekarang bercahaya di antara bhikkhu-bhikkhu seperti Brahma di antara dewa-dewa di langit.”
Raja Suddhodana berkata,
“Dulu, oh Yang Maha Kuat, di istana, kamar anakku yang menyerupai tempat kediaman para dewa, selalu dijaga oleh pengawal bersenjata yang mahir menggunakan pedang. Tetapi sekarang, di hutan anakku seorang diri berada di tengah-tengah teriakan burung hantu dan jeritan anjing-anjing hutan, dimana pada malam hari binatang buas berkeliaran mencari mangsa. Apakah anakku tidak takut? Coba terangkan hal ini kepadaku.”
Sang Buddha menjawab,
“Meskipun semua gerombolan Yakka datang bersama gajah-gajah liar yang mengarungi hutan belantara, tetapi makhluk-makhluk itu tidak akan mengganggu walaupun selembar rambut-Ku karena Aku telah menyingkirkan semua perasaan takut. Justru karena tanpa perasaan takut itulah Aku menang dan berhasil keluar dari lingkaran tumimbal lahir.
Seorang diri Aku berkelana, seorang pertapa yang selalu waspada dan tidak tergoyahkan oleh celaan atau pujian, seperti seekor singa tidak takut kepada suara, seperti angin tidak dapat dijerat oleh jala.
Karena itu, oh Baginda, bagaimana Anda dapat katakan bahwa Sang Penakluk, Pemimpin yang tidak dipimpin oleh siapa pun, dapat merasa takut?”
Raja Suddhodana kembali bertanya,
“Sebenarnya seluruh dunia bisa menjadi tanah milikmu dan seribu orang anak dapat pula menjadi milikmu, kalau saja anakku tidak melepaskan tujuh rupa pusaka (lambang seorang Raja) dan menjadi seorang pertapa.”
Sang Buddha menjawab,
“Sekarang pun seluruh dunia masih tetap menjadi milik-Ku dan Aku tetap masih memiliki ribuan orang anak. Lagipula sekarang Aku memiliki Delapan Mustika yang tidak ada bandingannya di dunia ini.”
Selesai percakapan ini, Raja Suddhodana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna.
Karena tidak mendapat undangan makan di istana, maka keesokan harinya Sang Buddha bersama-sama dengan pengikutNya memasuki kota Kapilavatthu untuk mengumpulkan makanan. Penduduk kota Kapilavatthu menjadi heboh sekali. Memang sering mereka lihat seorang pertapa atau Brahmana berjalan berkeliling mengumpulkan makanan dari penduduk, tetapi baru sekarang ini mereka menyaksikan seorang dari kasta Khattiya, putra dari seorang Raja yang masih memerintah, berjalan keliling mengumpulkan makanan.
Hal ini segera diberitahukan kepada Raja Suddhodana dan Raja menjadi terkejut dan malu sekali. Dengan tergesa-gesa Raja keluar dari istana dan pergi menemui Sang Buddha.
Raja Suddhodana kemudian menegur,
“Mengapakah anakku melakukan perbuatan yang sangat memalukan ini? Mengapa anakku tidak datang saja ke istana untuk mengambil makanan? Apakah pantas seorang putra Raja minta-minta makanan di kota, tempat dulu ia sering mondar-mandir dengan menggunakan kereta emas? Mengapa anakku membuat malu ayah seperti ini?”
“Aku tidak membuat ayah malu, oh Baginda. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan kami.” jawab Sang Buddha dengan tenang.
“Apa? kebiasaan kita? Bagaimana mungkin?! Tidak pernah seorang anggota keluarga kita minta-minta makanan seperti ini. Dan anakku mengatakan bahwa ini sudah menjadi kebiasaan kita?”
“Oh, Baginda, memang ini bukan merupakann kebiasaan seorang anggota keluarga kerajaan, tetapi ini adalah kebiasaan para Buddha. Semua Buddha di zaman dulu hidup dengan jalan mengumpulkan makanan dari para penduduk.”
Setelah Raja Suddhodana tetap mendesak agar Sang Buddha beserta pengikut-Nya mengambil makanana di istana, maka pergilah Sang Buddha beserta rombongan menuju ke istana.




http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/riwayat-hidup-buddha-gotama-bab-iv-masa-menyebarkan-dhamma/

Riwayat Hidup Buddha Gotama – Bab V – Hari-hari Terakhir




BAB V
HARI-HARI TERAKHIR


Maha Parinibbana Suttanta (D.II-16)


CULLAVAGGA XI
(Vin. II; B.D.V)


Ayasma Maha Kassapa bercerita kepada para bhikkhu :

“Pada suatu waktu aku bersama-sama dengan kira-kira lima ratus bhikkhu sedang berada dalam perjalanan dari Pava menuju Kusinara. Kemudian aku berhenti di pinggir jalan dan mencari tempat duduk di bawah pohon yang rindang.”

Pada waktu itu lewat di depanku seorang pertapa “tak berpakaian” dengan membawa bunga Pohon Karang, yaitu semacam bunga yang hanya dapat ditemukan, bila terjadi peristiwa penting. Lalu aku menyapa pertapa tersebut, “Apakah Anda kenal Guru kami?” Ia menjawab, “Benar, aku mengenal Guru Anda, tetapi Beliau telah mangkat seminggu yang lalu. Oleh karena itulah aku dapat memperoleh bunga Mandarava (Pohon Karang) ini.”

Mendengar berita tersebut, maka para bhikkhu yang masih belum terbebas dari hawa nafsu, mengangkat tangan mereka dan menangis tersedu-sedu; beberapa orang lagi berguling-gulingan di atas tanah dan menangis sambil meratap, “Terlalu cepat Sang Bhagava memasuki parinibbana! Terlalu cepat Yang Terbahagia memasuki parinibbana! Terlalu cepat Sang Mata Dunia lenyap dari pandangan kami!”

Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat, merenung, “Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Mana mungkin hal ini tak akan terjadi?”

Tetapi aku berkata, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Bukankah sejak semula Sang Bhagava menerangkan bahwa segala sesuatu yang disenangi dan dicintai suatu ketika pasti akan berubah dan akan berpisah darimu? Apa yang timbul karena suatu sebab, menjadi seorang makhluk, terdiri dari paduan unsur-unsur dan dikodratkan akan lapuk, bagaimana engkau masih menginginkan, ‘Semoga itu tak akan berubah dan hancur kembali!”

Pada waktu itu hadir pula seorang bhikkhu bernama Subhadda, yang telah ditahbiskan pada usia lanjut. Subhadda kemudian turut bicara, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Sekarang kita telah terbebas dari Pertapa Tua itu. Sudah terlalu lama, Avuso, kita telah dikekang oleh Beliau dengan mengatakan, ‘Ini boleh kamu lakukan, itu tidak boleh kamu lakukan!’ Sekarang kita dapat berbuat sesuka hati kita dan kita tidak usah melakukan hal-hal yang kita tidak senangi.”

Lalu aku berkata, “Mari, Avuso, kita akan membacakan Dhamma dan Vinaya, sebelum apa yang “bukan Dhamma” mendapat angin dan berkembang, dan Dhamma akan terdesak; sebelum apa yang “bukan Vinaya” mendapat angin dan berkembang, dan Vinaya akan terdesak; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Dhamma” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dhamma menjadi lemah; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Vinaya” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Vinaya menjadi lemah.”

Kemudian dijawab, “Kalau demikian halnya, harap Bhante memilih bhikkhu-bhikkhu yang akan membacakannya.”

Kemudian Ayasma Maha Kassapa memilih 499 orang bhikkhu, yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.

Setelah itu seorang bhikkhu berkata, “Bhante, meskipun Bhikkhu Ananda masih seorang siswa, tetapi ia sudah tidak mungkin lagi melakukan hal-hal yang salah karena dorongan keinginan rendah, kebencian, nafsu-nafsu yang menggelapkan batin dan ketakutan. Selain itu Bhikkhu Ananda memahami Dhamma dan Vinaya dengan seksama di bawah asuhan langsung Sang Bhagava. Karena itu aku mengusulkan agar Bhikkhu Ananda pun diikutsertakan.” Dengan demikian Bhikkhu Ananda pun terpilih.

Setelah itu timbul pertanyaan, “Di manakah akan diadakan pembacaan Dhamma dan Vinaya?”

Kemudian diusulkan oleh beberapa orang bhikkhu “Di Rajagaha terdapat banyak umat yang bersedia memberikan makanan dan tempat penginapan pun jumlahnya berlebih-lebihan. Bagaimana kalau waktu bervassa di Rajagaha kita membacakan Dhamma dan Vinaya, dan bhikkhu-bhikkhu lain selama vassa (musim hujan), tidak diperkenankan untuk berada di Rajagaha?”

Ayasma Maha Kassapa lalu berkata kepada Sangha, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik maka Sangha dapat memberi persetujuan agar kelima ratus bhikkhu ini membacakan Dhamma dan Vinaya pada waktu mereka bervassa di Rajagaha. Dan selama vassa itu jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha.

Inilah usulku. Para Bhante yang terhormat, Sangha sedang mempertimbangkan untuk menyetujui kelima ratus bhikkhu ini membicarakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha. Kalau sekiranya Sangha menyetujui, pada waktu kelima ratus bhikkhu tersebut membacakan Dhamma dan Vinaya di Rajagaha agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Kalau Sangha menyetujuinya, maka aku harap Sangha diam dan kepada mereka yang berkeberatan aku persilakan untuk bicara.

Kelima ratus bhikkhu tersebut, oleh Sangha telah disetujui untuk membacakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha dan juga telah disetujui agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha, karena tidak ada yang bicara.

Begitulah apa yang kumengerti.”

Kemudian kelima ratus bhikkhu tersebut berangkat menuju Rajagaha untuk membacakan Dhamma dan Vinaya.

Setibanya di Rajagaha mereka melihat banyak kayu-kayu yang patah serta lapuk di tempat mereka menginap. Mereka berpikir, “Memperbaiki bagian-bagian bangunan yang patah serta lapuk dipujikan oleh Sang Bhagava. Mari, selama bulan pertama kita akan memperbaiki bagian-bagian yang patah serta lapuk dan kemudian baru membacakan Dhamma dan Vinaya.

Kemudian di bulan pertama mereka sibuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan mengganti kayu-kayu yang patah serta lapuk dengan yang baik.

Besok akan dimulai pembacaan Dhamma dan Vinaya.

Bhikkhu Ananda sedang merenung, “Besok kita akan berkumpul. Sebenarnya, sebagai seorang siswa, aku tidak layak menghadiri pertemuan itu.” Setelah itu Bhikkhu Ananda giat melatih meditasi dengan obyek badan jasmaninya sampai larut malam. Dan setelah merasa amat letih, Bhikkhu Ananda ingin membaringkan dirinya di atas kasur. Ia lalu memiringkan tubuhnya, tetapi sebelum kepalanya menyentuh kasur dan kakinya sudah terangkat dari tanah, pada saat itu dengan tiba-tiba batinnya telah bersih dari kekotoran batin dan Bhikkhu Ananda mencapai tingkat Arahat. Kemudian pertemuan dibuka oleh Ayasma Maha Kassapa, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Upali mengenai Vinaya.”

Lalu dijawab oleh Bhikkhu Upali, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”

Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,


“Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?”

“Di Vesali, Bhante.”

“Mengenai siapa?”

“Mengenai Bhikkhu Sudinna dari Desa Kalandaka.”

“Tentang persoalan apa?”

“Tentang hubungan kelamin.”


Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat; selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.


“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang kedua?”

“Di Rajagaha, Bhante.”

“Mengenai siapa?”

“Mengenai Bhikkhu Dhaniya, anak seorang pembuat jambangan tanah.”

“Tentang persoalan apa?”

“Tentang mengambil sesuatu yang tidak diberikan.”


Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, …


“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang ketiga?”

“Di Vesali, Bhante.”

“Mengenai siapa?”

“Mengenai beberapa bhikkhu.”

“Tentang persoalan apa?”

“Tentang manusia.”


Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dam tentang orang-orangnya yang terlibat,…


“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang keempat?”

“Di Vesali, Bhante.”

“Mengenai siapa?”

“Mengenai bhikkhu-bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda.”

“Tentang persoalan apa?”


“Tentang mereka yang menggunakan tipu muslihat dengan mengaku mencapai tingkat kesucian atau memiliki kekuatan-kekuatan gaib.”

Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.

Setelah itu ditanyakan tentang peraturan-peraturan yang lain baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun yang berlaku untuk para bhikkhuni. Semua pertanyaan dijawab oleh Bhikkhu Upali dengan terang dan jelas.

Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai Dhamma.”

Lalu dijawab oleh Bhikkhu Ananda, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Dhamma yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”

Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,

“Bhikkhu Ananda, di manakah Brahmajala-sutta disabdakan?”

“Bhante, di tempat peristirahatan Raja di Ambalatthika antara Rajagaha dan Nalanda.”

“Dengan siapa?”

“Dengan pertapa Suppiya dan seorang Brahmin muda bernama Brahmadatta.”

“Mengenai persoalan apa?”

“Mengenai apa yang terpuji dan apa yang tidak terpuji.”

Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.

“Dan di manakah Samaññaphala-sutta disabdakan, Bhikkhu Ananda?”

“Di Rajagaha, Bhante, di taman mangga Jivaka.”

“Dengan siapa?”

“Dengan Ajatasattu, putra dari Videhi.”

Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.

Setelah itu Bhikkhu Ananda ditanya tentang lima Nikaya yang semuanya dijawab dengan terang dan jelas.

Kemudian Bhikkhu Ananda memberitahukan para hadirin, “Para Bhante yang terhormat, pada waktu Sang Bhagava hendak mencapai parinibbana, Beliau telah meninggalkan pesan, “Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sangha, maka peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan.”

“Tetapi apakah ditanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting?”

“Tidak, Bhante, aku tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting.”

Ada hadirin yang mengatakan,

“Selain 4 (empat) peraturan Parajika, semua yang lain termasuk peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”

Ada pula yang mengatakan,

“Selain 4 peraturan Parajika dan 13 peraturan Sanghadisesa, semua peraturan yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”

Ada lagi yang mengatakan,

“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa dan 2 peraturan Aniyata, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”

Ada pula yang mengatakan,

“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa, 2 peraturan Aniyata dan 30 peraturan Nissagiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”

Ada lagi yang mengatakan,

“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 92 peraturan Pacittiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”

Ada juga yang mengatakan,

“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 4 peraturan Patidesaniya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”

Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata,

“Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku katakan. Tata tertib para bhikkhu ada juga yang berhubungan dengan umat dan umat pun mengetahui mengenai hal tersebut.

Mereka tahu bahwa ini “diperbolehkan” dan itu pasti “tidak diperbolehkan” untuk para pertapa, putra-putra Sakya.

Kalau kita menghapuskan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting, mungkin diantara mereka ada yang berkata, “Pada waktu Buddha Gotama masih hidup, Beliau telah menetapkan tata tertib untuk murid-murid-Nya. Sewaktu Buddha Gotama masih hidup, memang mereka melatih diri dalam tata tertib tersebut, tetapi setelah Buddha Gotama mencapai parinibbana mereka tidak lagi melatih diri dalam tata tertib tersebut.

Kalau Sangha menganggap baik, maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Inilah usulku.

Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.

Kalau para Bhante setuju dengan tidak menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan dan segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, maka Sangha harap diam. Kalau ada yang tidak setuju, diharap bicara.

Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.

Karena Sangha diam, maka Sangha telah setuju.

Begitulah apa yang kumengerti.”

Kemudian para Thera berkata kepada Bhikkhu Ananda “Bhikkhu Ananda, ini merupakan suatu pelanggaran, karena Anda telah lalai untuk menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”

“Para Bhante yang terhormat, karena kurang waspada aku tidak menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil yang kurang penting. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatan kepada para Bhante, aku mengaku melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”

“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah Anda menginjaknya terlebih dulu. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”

“Para Bhante yang terhormat, bukan karena rasa kurang hormat aku telah menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah dengan tidak disengaja menginjaknya. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku kepada para Bhante, aku mengakui telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak pantas.”

“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda mengizinkan para wanita memberi penghormat terlebih dulu terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga air mata mereka mengotori jenazah Sang Bhagava. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”

“Para Bhante yang terhormat, karena aku pikir, lebih baik aku memberikan waktu terlebih dulu kepada para wanita untuk memberi penghormatan terakhir terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga mereka nanti tidak berada dalam waktu yang tidak tepat (kalau para Thera telah berkumpul).

Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”

Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena meskipun diberi isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang jelas dapat diraba maksudnya, Anda telah lalai untuk memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan untuk hidup terus sampai satu kappa, semoga Sang Sugata berkenan untuk hidup terus demi kesejahteraan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas asih-Nya terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”

Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.

“Para Bhante yang terhormat, karena pada saat itu pikiranku tergoda oleh Mara, maka aku telah lalai tidak memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan ……demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”

Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”

“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni.

Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak baik.”

“Para Bhante yang terhormat, aku telah melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni oleh karena aku pikir, “Maha Pajapati adalah bibi Sang Bhagava, ibu tiri-Nya, yang merawat-Nya, yang memberikan air susunya sendiri kepada bayi Siddhattha setelah ibu-Nya meninggal dunia.

Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak baik.”

Beberapa waktu setelah pembacaan Dhamma dan Vinaya selesai, Bhikkhu Ananda menghadap para Thera dan berkata : “Pada waktu Sang Bhagava hendak memasuki parinibbana, Beliau juga telah meninggalkan pesan, “Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.”

“Tetapi, Bhikkhu Ananda, apakah Anda menanyakan apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”

“Aku telah menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu. Beliau mengatakan, “Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”

“Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhikkhu Channa.”

“Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan hukuman berat tersebut kepada Bhikkhu Channa karena Bhikkhu Channa orangnya kuat dan kekar badannya.”

“Kalau begitu, Bhikkhu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus bhikkhu lain.”

“Baiklah, Bhante,” jawab Bhikkhu Ananda.

Kemudian berangkatlah Bhikkhu Ananda dengan lima ratus bhikkhu lain. Berselang beberapa hari tibalah mereka di Kosambi, tidak jauh dari taman hiburan Raja Udena.

Di taman itu Raja Udena sedang bersenang-senang dengan para selirnya. Kemudian para selir mendengar bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman tersebut dan sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka lalu memohon kepada Raja Udena, “Paduka Tuan, telah dikabarkan bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman dan sekarang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang.

“Perkenankanlah kami menemui Guru Ananda.”

“Pergilah kamu menemui Guru Ananda.”

Pergilah para selir Raja Udena menemui Bhikkhu Ananda. Setelah bertemu, mereka memberi hormat dan mengambil tempat duduk. Bhikkhu Ananda kemudian memberikan wejangan tentang Dhamma yang membuat hati para selir menjadi tenang, gembira dan bahagia. Para selir yang telah tenang hatinya, gembira dan bahagia lalu memberikan lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda dan kemudian mereka kembali ke taman Raja Udena.

Setelah tiba di sana, mereka ditanya oleh Raja Udena, “Apakah kamu telah bertemu dengan Guru Ananda?”

“Kami telah bertemu dengan Guru Ananda.”

“Apakah kamu memberikan sesuatu kepada Guru Ananda?”

“Kami telah memberikan lima ratus pakaian dalam kepada Guru Ananda.”

Mendengar itu, Raja Udena merasa kecewa dan mengecam Bhikkhu Ananda,

“Bagaimana mungkin pertapa Ananda menerima sekian banyak baju dalam.

Apakah pertapa Ananda ingin berdagang pakaian atau apakah ia ingin menawarkannya untuk dijual di toko?”

Setelah itu Raja Udena sendiri pergi menemui Bhikkhu Ananda dan setelah memberi hormat sebagaimana layaknya lalu mengambil tempat duduk.

Raja Udena kemudian bertanya,

“Bhante, apakah para selirku tadi telah datang kemari?”

“Benar, Paduka Tuan.”

“Apakah mereka memberikan sesuatu kepada Bhante?”

“Mereka memberikan lima ratus pakaian dalam kepadaku.”

“Tetapi, apakah yang Bhante ingin lakukan dengan lima ratus pakaian dalam itu?”

“Aku akan membagi-bagikannya kepada para bhikkhu yang jubahnya telah tipis.”

“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah bekas dari para bhikkhu tersebut?”

“Kami akan memakainya sebagai jubah luar.”

“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah luar yang bekas pakai itu?”

“Kami akan menggunakan jubah-jubah bekas itu untuk membuat penutup kasur.”

“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan tutup kasur yang lama?”

“Kami akan memakainya untuk penutup lantai.”

“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penutup lantai yang lama?”

“Kami akan membuat penyeka-penyeka kaki.”

“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penyeka kaki yang lama?”

“Kami akan membuat kain-kain untuk menyeka debu.”

“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan kain penyeka debu yang lama?”

“Setelah mencabik-cabiknya dan mengaduknya dengan tanah fiat, kami akan gunakan untuk memplester lantai.”

Setelah itu Raja Udena berpikir, “Pertapa-pertapa, putra-putra Sakya, memakai segala sesuatu dengan cara yang teratur, hemat dan tidak boros.”

Maka oleh karena itu, ia memberikan lagi lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda. Inilah untuk pertama kali Bhikkhu Ananda mendapat hadiah seribu potong baju dalam.

Setelah itu bhikkhu Ananda pergi ke Vihara Ghosita.

Di tempat itu Bhikkhu Channa, yang setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, mempersilakan Bhikkhu Ananda mengambil tempat duduk.

Pada waktu itulah Bhikkhu Ananda memberitahukan Bhikkhu Channa, “Bhikkhu Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri Anda.”

“Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”

“Bhikkhu Channa, Anda boleh mengatakan apa saja yang Anda suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak diperkenankan untuk bicara kepada Anda, tidak diperkenankan untuk menasehati Anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Anda.”

Bhikkhu Channa lalu menjawab,

“Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada bhikkhu yang boleh bicara kepadaku, tidak ada bhikkhu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada bhikkhu yang boleh memberi petunjuk kepadaku.”

Kemudian ia jatuh pingsan di tempat itu.

Setelah siuman, karena merasa malu, cemas dan muak dikenakan hukuman berat, Bhikkhu Channa lalu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia kemudian dengan giat, tekun dan dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai tingkat Arahat “Hancurlah tumimbal lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa.”

Dengan demikian Bhikkhu Channa menjadi Arahat.

Setelah itu Bhikkhu Channa mencari Bhikkhu Ananda dan setelah bertemu, Bhikkhu Channa lalu berkata, “Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman berat terhadap diriku.”

Dijawab oleh Bhikkhu Ananda,

“Bhikkhu Channa, pada saat Anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah hukuman berat terhadap diri Anda telah dicabut kembali.” (Bhikkhu Channa yang dimaksud di sini ialah bekas kusir dari Pangeran Siddhattha Gotama).


Keterangan:


Parajika : pelanggaran yang membuat seorang bhikkhu/ bhikkhuni dipecat/diusir ke luar Sangha.

Sanghadisesa : pelanggaran yang harus diselesaikan dalam rapat resmi dari Sangha.

Aniyata : pelanggaran yang masih belum ditentukan masuk golongan yang mana.

Nissagiya : pelanggaran yang menyebabkan sesuatu barang disita.

Pacittiya : pelanggaran yang menyebabkan seseorang harus menjalankan hukuman “penebusan dosa”.






http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/riwayat-hidup-buddha-gotama-bab-v-hari-hari-terakhir/