Minggu, 31 Agustus 2014

Nasehat Biksu Tua



Seorang biksu tua dalam biara mengajak muridnya yang masih muda untuk pergi turun gunung mencari sedekah. Di dalam perjalan pulang mereka bertemu dengan seorang nenek tua yang hampir menemui ajalnya karena kelaparan.

Biksu tua segera memerintahkan muridnya untuk meninggalkan makanan dan sedikit uang kepada nenek tua itu, akan tetapi muridnya merasa enggan.

Biksu tua lalu menasehati muridnya itu dengan berkata, "Mati hidup dan pahala itu hanya terletak pada sekilas pikiran, uang dan makanan tersebut bagi kita hanyalah sekedar untuk mempertahankan hidup kita untuk sementara saja. Akan tetapi bagi nenek tua itu, benda-benda tersebut dapat menolong nyawanya."

Murid biksu tua itu setengah mengerti setengah tidak, dengan hormat dan berhati-hati dia berkata, "Bimbingan Guru selamanya akan murid camkan dalam hati, suatu hari nanti jika murid berhasil memajukan biara dan ketika telah terkumpul banyak uang dan pangan, pasti membantu dan menolong rakyat miskin."

Siapa sangka setelah mendengarkan kata-kata itu biksu tua hanya menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Beberapa tahun kemudian, biksu tua ini telah hampir mencapai ajalnya. Sebelum ajalnya tiba dia telah menyerahkan sebuah kitab sutra kepada muridnya, mulutnya bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu tapi tidak keburu mengucapkan sepatah kata pun, biksu tua itu telah berpulang.

Muridnya yang masih muda ini setelah mewarisi kedudukannya,sangat piawai dalam memimpin biara. Dia tak henti-hentinya memperluas biara kecil yang sudah usang itu. Di dalam hati muridnya ini berpikir, tunggu hingga perluasan biara ini rampung, saya pasti bersungguh-sungguh melaksanakan bimbingan dari biksu tua untuk menolong masyarakat secara luas.

Akan tetapi setelah biaranya sudah mencapai skala tertentu,dalam hatinya berpikir lagi, tunggu biara ini mencapai skala yang lebih besar lagi, baru saya laksanakan perbuatan amal untuk menolong masyarakat.

Waktu berlalu dengan cepat, ketika murid ini sudah mencapai umur 80-an, kuilnya juga sudah menjadi besar dan mentereng, juga memiliki sawah ratusan hektar.

Akan tetapi, selama puluhan tahun ini, dikarenakan sibuk dengan pembangunan kuil, telah mengabaikan perbuatan amal (kebaikan), akhirnya dia tidak pernah melaksanakan satu hal apapun yang bisa mendatangkan pahala.

Sebelum ajalnya tiba, murid ini tiba-tiba teringat kepada buku sutra yang ditinggalkan oleh biksu tua. Ketika dia membuka halaman judul dari buku itu, tertera tulisan nasihat biksu tua yang ketika itu tidak sempat biksu tua tunjukkan :

"Memberi pertolongan kepada orang satu kali, melebihi melafalkan sutra (kitab suci agama Buddha) selama sepuluh tahun."

Sebenarnya, menolong orang itu tidak perlu menunggu setelah kita sendiri memiliki kemampuan yang cukup baru melaksanakannya. Penting untuk diketahui bahwa mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang lain dengan kemampuan yang kita miliki, akan mengandung makna yang lebih mendalam.

Hati belas kasih yang timbul untuk menolong orang lain, merupakan watak hakiki yang nampak secara alami, dijalankan dan dilaksanakan kapan dan dimana saja.Cara kerja yang harus menunggu setelah kita memiliki kemampuan yang cukup, sebenarnya adalah suatu alasan untuk menutupi ketidak relaan hati kita untuk berkorban. (The Epoch Times/lin)

Sabtu, 30 Agustus 2014

Kisah Labu Kembar (Shuang Hu Lu 双葫芦)

Alkisah pada masa lampau di China, terdapat 2 orang kakak beradik yang berbeda ibu, ibu si kakak sudah lama meninggal. Kini dia tinggal bersama ayah, ibu tiri dan adik tirinya. Mereka berdua sangat akrab, sang kakak sangat menyayangi adiknya dan si adik sangat menghormati kakaknya. Ibu mereka juga menyayangi mereka berdua. Sang kakak menanam pohon labu dan dengan rajin memeliharanya hingga tumbuh besar. Ketika pohon labu berbuah sang kakak menyadari kalau ada buah labu kembar yang berdampingan.

Suatu hari mereka mendengar kabar bahwa raja negeri mereka sedang sakit parah, tabib istana mengatakan bahwa labu kembar dapat menyembuhkan penyakit raja. Maka diadakanlah sayembara, barangsiapa yang memiliki labu kembar akan mendapatkan satu peti emas. Sang kakak sangat senang mendengarnya, dia segera memberitahu kepada keluarganya.

Pada hari keberangkatan sang kakak ke ibukota, ibu memanggil si adik kedalam dapur. Dia memberi 2 buah kue pia kepada adik lau berkata:
"Ada 2 buah kue pia, yang polos dan bergambar bunga. Berilah kakakmu kue yang bergambar bunga. Sebab ibu telah memberi racun didalamnya."

"Kenapa ibu ingin membunuh kakak?bukankah ibu juga menyayangi kakak?" tanya si adik keheranan,

"Ibu memang menyayanginya, tetapi kamu adalah anakku dan aku tidak rela bila kakakmu mendapatkan emas itu, maka biarlah dia memakan kue beracun ini"

Kemudian si adik membawa kue itu ke kakaknya. Sang kakak yang dari tadi mencari adiknya senang melihat adiknya, dipeluknya dan kemudian berkata

"Adikku, tunggu kakak ya, kakak janji akan segera pulang, kakak akan membeli banyak oleh oleh untukmu dari kota dan uang emas hadiahnya untuk kita bersama!"

Sang adik terdiam, kemudian berkata kepada kakaknya. "Kakak, ibu memberi kita berdua kue, makanlah...tapi aku ingin kue yang bergambar bunga." Setelah itu si adik dengan lahap memakan kue beracun itu. Setelah kepergian kakaknya, dia berkata kepada ibunya"Ibu, kue beracun itu telah kumakan, kakak sangat baik kepadaku, mana mungkin aku tega membunuhnya. Setelah aku mati, sayangilah dia seperti ibu menyayangiku..."

Ibunya yang mendengarnya kemudian memeluknya "Anak bodoh, tidak ada racun sama sekali di kue bergambar bunga itu. Ibu hanya menguji rasa sayangmu kepada kakakmu, ibu kuatir kamu menjadi iri dengan kemujuran kakakmu..."

Orang2 yang mengetahui kisah mereka mengabadikannya dengan membuat bermacam2 aksesori labu kembar seperti layangan, dll sebagai lambang keberuntungan dan persaudaraan.

sumber : Internet

WORTEL, TELUR, ATAU KOPI



Ada seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air-air di atas panci itu mendidih, ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua, dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.

Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk yang lainnya. Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang engkau lihat, nak?” “Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. 

Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras, dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah di rebus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur, atau kopi?”
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak, dan kehilangan kekuatanmu.

Apakah kamu telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya penderitaan dan kesulitan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi kamu menjadi keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Apakah kamu bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

Bagaimana dengan kita? Hanya diri kita sendiri yang mengetahuinya.

sumber : Internet

Rabu, 27 Agustus 2014

PISANG DAN MELEPAS





Pada zaman dahulu,menangkap monyet itu gampang.Pemburu masuk ke hutan,mencari kelapa matang,membuat lubang kecil seukuran kepalan tangan monyet.Ia lalu meminum air kelapa manisnya dan makan sebagian daging buahnya.

Setelah makan,ia akan menggantungkan kelapa kosong itu di pohon dengan tambang tebal atau sabuk kulit.Setelah menaruh sebuah pisang di dalam kelapa itu,si pemburu akan pulang.

Benar saja,seekor monyet akan menemukan kelapa berongga dengan pisang di dalamnya itu,dan berusaha menarik pisang itu keluar .Namun lubangnya hanya cukup besar untuk monyet memasukkan tangan kosong.Ketika tangannya menggengam pisang,ia tidak bisa mengeluarkannya dari kelapa itu.

Pada saat pemburu kembali , monyet itu berjuang berjam-jam untuk mengeluarkan kepalannya berikut pisangnya.Melihat pemburu , monyet itu berusaha makin keras untuk menarik kepalan dan pisangnya keluar.

Yang perlu monyet itu lakukan untuk meloloskan diri hanyalah melepas pisangnya.Lalu ia bisa menarik keluar tangannya dan kabur. Tetapi apakah monyet itu melepaskannya..?

Tidak ! Sebab monyet itu berpikir,”Ini pisangku.aku menemukannya.ini milikku.” Dan begitulah bagaimana monyet tertangkap setiap saat.

Begitulah cara manusia tertangkap. Misalnya,putera tercinta Anda meninggal dan Anda tidak bisa berhenti meratapinya.Anda memikirinya sepanjang waktu.Anda tidak bisa tidur atau bekerja.Mengapa..?

Yang perlu Anda lakukannya hanyalah “melepas pisangnya” dan Anda akan bisa meneruskan hidup Anda tanpa terlalu berduka.

Namun Anda tidak bisa melepas.Hanya karena Anda berpikir,” Ini puteraku.Aku membesarkannya.Ia milikku.”

Para ibu memberitahu saya bahwa tak kala mereka melihat mata mata anak mereka yang baru lahir untuk pertama kalinya,mereka secara naluriah tahu bahwa makhluk ini tidak seluruhnya terbuat dari orangtuanya,makhluk dengan masa silam dan pribadinya sendiri,seorang pengunjung entah dari mana,yang kini telah memasuki kehidupan mereka.Bayi itu adalah untuk mereka rawat,besarkan,dan cintai,namun bukan untuk di miliki.

Sayangnya,banyak orangtua melupakan hal ini selama bertahun-tahun dan mulai melekati anak mereka.Jadi,ketika tiba waktunya untuk melepas mereka,mereka tidak mampu.jika saja mereka ingat bahwa seseorang tak pernah bisa memiliki orang lain,tidak bahkan itu adalah anak sendiri,maka mereka tidak akan pernah tertangkap seperti monyet dan berduka karenanya.


Mencintai seseorang berarti rela melepasnya suatu hari.

sumber : buku DON'T WORRY BE HOPEY

(Ajahn Brahm)

Minggu, 03 Agustus 2014

Pajjota Sutta



“Ada berapakah sumber cahaya di dunia ini
Yang dengannya dunia ini diterangi?
Kita harus bertanya kepada Sang Bhagavā
Bagaimana memahami hal ini?”

“Ada empat sumber cahaya di dunia ini;
Tidak ada yang ke lima.
Matahari bersinar di siang hari,
Bulan bersinar di malam hari,

Dan api menyala di sana-sini
Baik di siang hari maupun di malam hari.
Namun Sang Buddha adalah yang terbaik dari semua itu:
Beliau adalah cahaya yang tidak terlampaui.”







©2011 Edisi DhammaCitta Pedia. Sumber: Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha, Terjemahan baru Saṃyutta Nikāya. ©2010 DhammaCitta Press.
Saran Penulisan Kutipan: "SN 1.26: Pajjota Sutta - Sumber Cahaya" oleh Bhikkhu Bodhi. DhammaCitta Pedia, revisi 14/11/2011,http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.26:_Pajjota_Sutta

Jaṭā Sutta

“Kusut di dalam, kusut di luar,
Generasi ini terjerat dalam kekusutan.
Aku bertanya kepada-Mu, O, Gotama,
Siapakah yang mampu menguraikan kekusutan ini?”[1]

“Seseorang yang mantap dalam moralitas, bijaksana,
Mengembangkan batin dan kebijaksanaan,
Seorang bhikkhu yang tekun dan waspada:
Ia mampu menguraikan kekusutan ini.[2]

“Mereka yang mana nafsu dan kebencian
Bersama dengan kebodohan telah dihapuskan,
Para Arahanta dengan noda terhancurkan:
Bagi mereka, kekusutan telah diuraikan.[3]

“Di mana nama-dan-bentuk lenyap,
Berhenti tanpa sisa,
Dan juga benturan dan persepsi atas bentuk:
Di sinilah, kekusutan telah diuraikan.”[4]



Catatan Kaki

1.Syair ini dan yang berikutnya membentuk tema pembuka dari Vism dan dikomentari pada Vism 1-4 (Ppn 1:1-8); Penjelasan ini digabungkan dalam Spk. VĀT menyarankan bahwa kata antojāṭa bahijaṭā seharusnya dianggap sebagai kata majemuk bahubbīhi sebagai kebalikan dari pajā (“memiliki kekusutan di dalam, memiliki kekusutan di luar”), tetapi saya menerjemahkan sesuai dengan Spk, yang memperlakukan sebagai tappurisa.
Spk: Kekusutan (jaṭā) adalah suatu istilah bagi jaringan keinginan, dalam pengertian “saling menjalin”, karena muncul berulang-ulang naik dan turun di antara objek-objek indria seperti bentuk-bentuk. Ada kekusutan di dalam, kekusutan di luar, karena keinginan muncul sehubungan dengan kepemilikan seseorang dan kepemilikan orang lain; sehubungan dengan jasmani diri sendiri dan jasmani orang lain; dan sehubungan dengan landasan-landasan internal dan eksternal.
2. Jawaban Sang Buddha adalah pernyataan yang ringkas atas tiga latihan, dengan Samadhi dirujuk oleh kata citta. Spk mengatakan bahwa kebijaksanaan disebutkan tiga kali dalam syair ini: pertama sebagai kecerdasan halus (“bijaksana”); kedua sebagai kebijaksanaan vipassana (vipassanā-paññā), kebijaksanaan yang harus dikembangkan; dan ketiga sebagai “bijaksana”, kebijaksanaan pragmatis yang menuntun dalam semua tugas (sabbakiccaparināyikā parihāriyapaññā).
Spk: “Bagaikan seseorang yang berdiri di atas tanah dan memegang sebilah pisau tajam dapat menguraikan kekusutan bambu, demikian pula seorang bhikkhu ... berdiri di atas tanah moralitas dan memegang pisau kebijaksanaan-vipassanā yang diasah di atas batu asah konsentrasi, dengan tangan kecerdasan praktis yang diupayakan oleh kekuatan usaha, dapat menguraikan, memotong, dan membongkar seluruh kekusutan keinginan yang tumbuh berlebihan dalam keseluruhan batinnya.” (diadaptasi dari Ppn 1:7)
3.Syair sebelumnya menunjukkan siswa (sekha), yang mampu menguraikan kekusutan, syair ini menunjukkan para Aharanta, seorang yang telah menyelesaikan latihan (asekha), yang telah selesai menguraikan kekusutan.
4. Spk mengatakan bahwa syair ini disebutkan untuk menunjukkan kesempatan (atau wilayah) untuk menguraikan kekusutan (jaṭāya vijaṭanokāsa). Di sini, nama (nāma) mewakili empat kelompok unsur batin. Spk memperlakukan benturan (paṭigha) sebagai bentuk singkat karena tuntutan irama dari benturan (paṭighasaññā). Menurut Spk-pṭ, dalam pāda c, kita harus membaca bentuk gabungan ringkas dvanda, paṭigharūpasaññā (“persepsi benturan dan persepsi bentuk”), bagian pertama telah dipotong, dipecah, dan dibuat berbunyi sengau untuk menyesuaikan irama. Benturan sebagai kontak dari lima objek indria dengan lima landasan indria, “persepsi benturan” (paṭighasaññā) didefinisikan sebagai lima persepsi indria (baca Vibh 261, 31-34 dan Vism 329,22-24; Ppn 10:16). Persepsi bentuk (rūpasaññā) memiliki daerah yang lebih luas, termasuk juga persepsi bentuk yang terlihat dalam jhāna-jhāna [Spk-pṭ: persepsi bentuk dari kasiṇa-tanah, dan lain-lain]. Spk menjelaskan bahwa yang pertama menyiratkan kehidupan alam-indria, yang terakhir, kehidupan alam-berbentuk, dan gabungan keduanya menyiratkan kehidupan alam tanpa-bentuk, dengan demikian mencakup tiga alam kehidupan.
Di sinilah kekusutan ini dipotong. Kekusutan ini dipotong, dalam pengertian bahwa lingkaran dengan tiga alamnya terhenti. Terpotong dan lenyap dalam ketergantungan pada Nibbāna.


©2011 Edisi DhammaCitta Pedia. Sumber: Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha, Terjemahan baru Saṃyutta Nikāya. ©2010 DhammaCitta Press.
Saran Penulisan Kutipan: "SN 1.23: Jaṭā Sutta - Kekusutan" oleh Bhikkhu Bodhi. DhammaCitta Pedia, revisi 14/11/2011, http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.22:_Jaṭā_Sutta