Kalian, para bhikkhu, harus menjalani kehidupan, membaktikan diri pada kebajikan, terkendali oleh peraturan Patimokkha, sempurna dalam perilaku dan usaha, karena melihat bahaya dalam kesalahan terkecil sekalipun. Setelah menjalankan peraturan-peraturan latihan ini, kalian harus melatih diri di dalamnya. Tetapi jika seorang bhikkhu hidup seperti itu, apa lagi yang harus dilakukannya?
Jika ketika sedang berjalan, berdiri, duduk atau berbaring, seorang bhikkhu bebas dari keserakahan dan niat jahat, dari kemalasan dan kelambanan, dari kegelisahan dan kecemasan, dan telah meninggalkan keraguan,6 maka kemauannya telah menjadi kuat dan tak-tertembus; kewaspadaannya tajam dan tak-kabur; tubuhnya tenang dan tak-tergoyahkan; pikirannya terkonsentrasi dan terpusat.
Seorang bhikkhu yang dengan demikian senantiasa menunjukkan usaha yang tekun dan memiliki malu dalam moral disebut bersemangat dan bertetap hati.
Para bhikkhu, pada suatu ketika aku berdiam di Uruvela di tepi sungai Neranjara di kaki Pohon-Beringin-Pengembala-kambing persis setelah Siddhattha mencapai pencerahan sempurna. Ketika aku sedang berada di dalam kesendirian itu, suatu perenungan muncul dalam pikiranku demikian: “Orang berdiam di dalam penderitaan jika dia tidak memiliki rasa hormat dan rasa menghargai. Petapa atau brahmana mana yang dapat kuhormati dan kuhargai dan kepada siapa aku dapat hidup bergantung?”
Kemudian muncul di dalam diriku: “Aku harus menghormati dan menghargai dan hidup bergantung pada petapa atau brahmana lain untuk terpenuhinya kelompok moralitas yang belum terpenuhi. Tetapi, di dunia ini dengan para dewa, Mara dan Brahmanya, di generasi ini dengan para petapa dan brahmananya, para dewa dan manusianya, aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam moralitas dibandingkan dengan diriku sendiri, yang dapat kuhormati dan kuhargai dan kugantungi.
“Aku harus menghormati dan menghargai dan hidup bergantung pada petapa atau brahmana lain untuk terpenuhinya kelompok konsentrasi yang belum terpenuhi. Tetapi, di dunia ini … aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam konsentrasi dibandingkan dengan diriku sendiri, yang dapat kuhormati dan kuhargai dan kugantungi.
“Aku harus menghormati dan menghargai dan hidup bergantung pada petapa atau brahmana lain untuk terpenuhinya kelompok kebijaksanaan yang belum terpenuhi. Tetapi di dunia ini … aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam kebijaksanaan dibandingkan dengan diriku sendiri, yang dapat kuhormati dan kuhargai dan kugantungi.
“Aku harus menghormati dan menghargai dan hidup bergantung pada petapa atau brahmana lain untuk terpenuhinya kelompok pembebasan yang belum terpenuhi. Tetapi di dunia ini … aku tidak melihat petapa atau brahmana lain yang lebih sempurna dalam pembebasan dibandingkan dengan diriku sendiri, yang dapat kuhormati dan kuhargai dan kugantungi.9
“Kalau demikian, biarlah aku menghormati dan menghargai dan bergantung pada Dhamma ini, yang telah sepenuhnya kusadari.”
Kemudian, setelah dengan pikirannya sendiri mengetahui perenungan di dalam pikiranku, dengan sangat cepat seperti orang kuat meluruskan tangan yang tadinya terlipat, atau secepat dia melipat tangan yang tadinya lurus, Brahma Sahampati lenyap dari Alam Brahma dan muncul di hadapanku.10Dia mengatur jubah atasnya di satu bahu, bertumpu lutut di tanah, menghormatku dengan khusuk, dan berkata kepadaku: “Demikianlah, Yang Terberkahi! Demikianlah, Yang Agung! Yang Mulia, mereka yang telah menjadi Arahat di masa lalu, Mereka yang Telah Sepenuhnya Tercerahkan di masa lalu – Mereka semua juga menghormati dan menghargai dan bergantung hanya pada Dhamma itu sendiri. Mereka yang akan menjadi Arahat, Mereka yang Sepenuhnya Tercerahkan di masa mendatang – Mereka semua juga akan menghormati dan menghargai dan bergantung hanya pada Dhamma itu sendiri. Demikian juga, biarlah Yang Terberkahi, yang pada saat ini adalah Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, menghormati dan menghargai dan hidup bergantung hanya pada Dhamma itu sendiri.”
Inilah yang dikatakan Brahma Sahampati. Setelah berkata demikian, dia selanjutnya mengatakan:
Demikian mereka hidup dahulu, dan akan hidup demikian juga.
(Tak peduli di masa lalu, masa kini, atau masa mendatang).
Demikianlah, para bhikkhu, apa yang dikatakan oleh Brahma Sahampati. Setelah berkata demikian, dia memberi hormat kepadaku dan pergi sambil tetap menjaga agar aku berada di sisi kanannya. Kemudian, para bhikkhu, setelah memahami permintaan Brahma itu dan memahami juga apa yang cocok untuk diriku, aku hidup dengan menghormati dan menghargai dan bergantung hanya pada Dhamma yang telah sepenuhnya kusadari. Tetapi karena Sangha juga telah mencapai keagungan, aku juga memilliki rasa hormat yang dalam untuk Sangha.
Para bhikkhu, dunia ini telah sepenuhnya dipahami oleh Tathagata; Tathagata telah terbebas dari dunia ini.11
Asal mula dunia telah sepenuhnya dipahami oleh Tathagata; asal mula dunia telah ditinggalkan oleh Tathagata.
Berhentinya dunia telah sepenuhnya dipahami oleh Tathagata; berherhentinya dunia telah direalisasikan oleh Tathagata.
Jalan menuju berhentinya dunia telah sepenuhnya dipahami oleh Tathagata; jalan menuju berhentinya dunia telah dikembangkan oleh Tathagata.
Para bhikkhu, di dunia dengan para dewa, Mara dan Brahmanya, di generasi ini dengan para petapa dan brahmananya, para dewa dan manusianya, apa pun yang terlihat, terdengar, dirasakan dan dipahami, dicapai, dicari, direnungkan oleh pikiran – semua itu telah sepenuhnya dipahami oleh Tathagata. Itulah sebabnya Ia disebut Tathagata.
Para bhikkhu, demikian pula apa pun yang dikatakan, diucapkan dan disampaikan oleh Tathagata sejak hari pencerahan sempurnaNya sampai hari Tathagata telah sepenuhnya lenyap ke dalam elemen-Nibbana tanpa sisa12 – semua itu memang demikian dan tidak sebaliknya. Itulah sebabnya Ia disebut Tathagata.
Para bhikkhu, sebagaimana yang dikatakan Tathagata, begitu pula yang dilakukanNya; sebagaimana yang dilakukanNya, itu pula yang dikatakanNya. Itulah sebabnya Ia disebut Tathagata.
Para bhikkhu, di seluruh dunia dengan para dewa, Mara dan Brahmanya, di generasi ini dengan petapa dan brahmananya, para dewa dan manusianya ini, Tathagata adalah Sang Penakluk, yang tak-tertaklukkan, orang yang melihat-dengan-kemauan-sendiri, pemegang kekuatan. Itulah sebabnya Ia disebut Tathagata.
Di dalam semua dunia Ia tidak melekati apa pun.
Nibbana yang bebas dari rasa takut.
Terbebas karena hancurnya penopang-penopang kehidupan.
Ia telah memutar Roda Agung.
Ia yang kuat, yang terbebas dari keraguan-diri.
Para bhikkhu, ada empat garis keturunan agung-yang murni, berlangsung lama, tradisional, kuno, tidak tercemar dan belum pernah tercemar sebelumnya, yang tidak sedang tercemar dan tidak akan tercemar, tidak dicela oleh petapa dan brahmana bijaksana.13 Apakah yang empat itu?
Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu puas dengan jubah apa pun, dan dia berbicara memuji perihal kepuasan dengan jubah apa pun, dan dia tidak terlibat dalam pencarian yang salah, dalam apa yang tidak pantas, hanya demi sebuah jubah. Jika tidak memperoleh jubah, dia tidak gelisah, dan jika memperoleh jubah, dia mengenakannya tanpa terikat pada jubah itu, tidak tergila-gila padanya, tidak membuta terserap ke dalamnya, karena melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan keluarnya. Walaupun demikian, karena hal ini, dia tidak meninggikan dirinya sendiri atau merendahkan yang lain. Siapa pun bhikkhu yang terampil dalam hal ini, yang penuh semangat, memahami dengan jernih dan waspada, dikatakan berdiri di garis keturunan yang agung, murni, dan kuno.
Selanjutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang puas dengan dana makanan apa pun, dan dia berbicara memuji perihal kepuasan dengan dana makanan apa pun, dan dia tidak terlibat dalam pencarian yang salah, dalam apa yang tidak pantas, hanya demi dana makanan. Jika tidak memperoleh dana makanan, dia tidak gelisah, dan jika memperoleh dana makanan, dia menggunakannya tanpa terikat pada dana makanan itu, tidak tergila-gila padanya, tidak membuta terserap ke dalamnya, karena melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan keluarnya. Walaupun demikian, karena hal ini, dia tidak meninggikan diri sendiri atau merendahkan yang lain. Siapa pun bhikkhu yang terampil dalam hal ini, yang penuh semangat, memahami dengan jernih dan waspada, dikatakan berdiri di garis keturunan yang agung, murni, dan kuno.
Selanjutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang puas dengan tempat tinggal apa pun, dan dia berbicara memuji perihal kepuasan dengan tempat kediaman apa pun, dan dia tidak terlibat dalam pencarian yang salah, dalam apa yang tidak pantas, hanya demi tempat tinggal. Jika tidak memperoleh tempat tinggal, dia tidak gelisah, dan jika memperoleh tempat tinggal, dia menggunakannya tanpa terikat pada tempat tinggal itu, tidak tergila-gila padanya, tidak membuta terserap ke dalamnya, karena melihat bahaya di dalamnya dan memahami jalan keluarnya. Walaupun demikian, karena hal ini, dia tidak meninggikan diri sendiri atau merendahkan yang lain. Siapa pun bhikkhu yang terampil dalam hal ini, yang penuh semangat, memahami dengan jernih dan waspada, dikatakan berdiri di garis keturunan yang agung, murni, dan kuno.
Selanjutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu yang memperoleh kegembiraan di dalam pengembangan (meditasi), bersuka-cita dengan pengembangan (meditasi), memperoleh kegembiraan di dalam lenyapnya (kekotoran batin), bersuka-cita dengan lenyapnya (kekotoran batin).14 Walaupun demikian, karena hal ini, dia tidak meninggikan dirinya sendiri atau merendahkan yang lain. Siapa pun bhikkhu yang terampil dalam hal ini, yang penuh semangat, memahami dengan jernih dan waspada, dikatakan berdiri di garis keturunan yang agung, murni, dan kuno.
Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu berdiri di empat garis keturunan agung ini, jika dia berdiam di timur, dia menghancurkan ketidakpuasan, ketidakpuasan tidak menghancurkan dia; jika dia berdiam di barat … di utara … di selatan dia menghancurkan ketidakpuasan, ketidakpuasan tidak menghancurkan dia. Mengapa demikian? Karena orang yang kokoh ini disebut “Ia yang menghancurkan ketidakpuasan dan kegembiraan”.
Karena ketidakpuasan tidak dapat menghancurkan orang yang kokoh.
Karena orang yang kokoh punya daya tahan terhadap ketidakpuasan.
Oleh Brahma pun ia dipuji.
(IV, 62)
69. Hormat kepada Orang TuaPara bhikkhu, keluarga berdiam dengan Brahma bila di rumah mereka orang tua dihormati oleh anak-anaknya. Keluarga itu berdiam dengan guru-guru kuno bila di rumah mereka orang tua dihormati oleh anak-anaknya. Keluarga itu berdiam dengan dewa-dewa kuno bila di rumah mereka orang tua dihormati oleh anak-anaknya. Keluarga itu berdiam dengan mereka yang pantas dipuja bila di rumah mereka orang tua dihormati oleh anak-anaknya.44
Para bhikkhu, “Brahma” adalah istilah untuk ayah dan ibu. “Guru-guru awal” adalah istilah untuk ayah dan ibu. “Dewa-dewa awal” adalah istilah untuk ayah dan ibu. “Mereka yang pantas dipuja” adalah istilah untuk ayah dan ibu. Mengapa? Orang tua amat banyak membantu anak-anaknya, mereka membesarkan anak-anaknya memberi makan dan menunjukkan dunia kepada anak-anaknya.
(IV, 63)
70. Manusia SuperiorPara bhikkhu, manusia yang memiliki empat sifat ini harus dianggap manusia rendah. Apakah yang empat ini?
Bahkan tanpa ditanya pun, manusia rendah mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain, apalagi jika ditanya. Tetapi jika ditanya dan dipancing dengan pertanyaan-pertanyaan, dia membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain tanpa menghilangkan apa pun, tanpa menahan apa pun, secara lengkap dan mendetil. Dia harus dianggap manusia rendah.
Selanjutnya: sekalipun ditanya, manusia rendah tidak mengungkapkan apa yang pantas dipuji pada diri orang lain, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan apa yang pantas dipuji pada diri orang lain dengan menghilangkan sebagian dan secara ragu-ragu, tidak lengkap dan tidak mendetil. Dia harus dianggap manusia rendah.
Selanjutnya: manusia rendah tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahannya sendiri sekalipun ditanya, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan kesalahan-kesalahannya sendiri dengan menghilangkan sebagian dan secara ragu-ragu, tidak lengkap, dan tidak mendetil. Dia harus dianggap manusia rendah.
Selanjutnya: manusia rendah mengungkapkan sifat-sifatnya sendiri yang pantas dipuji sekalipun tidak ditanya, apalagi jika ditanya. Tetapi jika ditanya dan dipancing dengan pertanyaan, dia membicarakan sifat-sifatnya sendiri yang patut dipuji tanpa menghilangkan sebagian dan tanpa keraguan, secara lengkap dan mendetil. Dia harus dianggap manusia rendah.
Manusia yang memiliki empat sifat ini harus dianggap manusia rendah.
Para bhikkhu, manusia yang memiliki empat sifat ini harus dianggap manusia superior.45 Apakah yang empat itu?
Sekalipun ditanya, manusia superior tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahan orang lain, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi jika ditanya dan dipancing dengan pertanyaan, dia membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain dengan menghilangkan sebagian dan secara ragu-ragu, tidak lengkap dan tidak mendetil. Dia harus dianggap manusia superior.
Selanjutnya: sekalipun tidak ditanya, manusia superior mengungkapkan apa yang pantas dipuji pada diri orang lain, apalagi jika ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan apa yang pantas dipuji pada diri orang lain tanpa menghilangkan apa pun, tanpa menahan apa pun, secara lengkap dan mendetil. Dia harus dianggap manusia superior.
Selanjutnya: sekalipun tidak ditanya, manusia superior mengungkapkan kesalahannya sendiri, apalagi jika ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan kesalahan-kesalahannya sendiri tanpa menghilangkan apa pun, tanpa menahan apa pun, secara lengkap dan mendetil. Dia harus dianggap manusia superior.
Selanjutnya: sekalipun ditanya, manusia superior tidak mengungkapkan sifat-sifatnya sendiri yang pantas dipuji, apalagi jika tidak ditanya. Tetapi jika ditanya dan harus menjawab, dia membicarakan sifat-sifatnya sendiri yang pantas dipuji dengan menghilangkan sebagian dan secara ragu-ragu, tidak lengkap dan tidak mendetil. Dia harus dianggap manusia superior.
Manusia yang memiliki empat sifat ini harus dianggap manusia superior.
(IV, 73)
71. Dari Gelap Menuju TerangEmpat macam orang ini, O para bhikkhu, terdapat di dunia ini. Apakah yang empat itu? Orang yang dari gelap menuju gelap, orang yang dari gelap menuju terang, orang yang dari terang menuju gelap, orang yang dari terang menuju terang.
Para bhikkhu, bagaimanakah orang yang dari gelap menuju gelap? Di sini seseorang telah terlahir kembali di keluarga yang rendah -keluarga buangan atau keluarga pekerja bambu atau keluarga pemburu atau keluarga penarik gerobak atau keluarga penyapu bunga- keluarga miskin yang hanya memiliki sedikit makanan dan minuman, keluarga yang bertahan hidup dengan kesulitan, keluarga yang sulit memperoleh makanan dan pakaian. Dan dia buruk rupa, tidak sedap dipandang, cacat fisiknya, dan sakit kronis – bodoh atau bertangan lemas atau lumpuh atau cacat. Dia bukanlah orang yang memperoleh makanan, minuman, pakaian dan kendaraan; bunga dan wewangian; tempat tidur, tempat tinggal dan penerangan. Dia terlibat dalam perilaku yang salah lewat tubuh, ucapan dan pikiran. Sesudah melakukan demikian, ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, dia terlahir lagi di alam menderita, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.
Para bhikkhu, bagaimanakah orang yang dari gelap menuju terang? Di sini seseorang telah terlahir kembali di keluarga yang rendah … keluarga yang sulit memperoleh makanan dan pakaian. Dan dia buruk rupa … atau cacat. Dia bukanlah orang yang memperoleh makanan … dan penerangan. Dia terlibat dalam perilaku yang baik lewat tubuh, ucapan dan pikiran. Sesudah melakukan demikian, ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, dia terlahir lagi di alam tujuan yang baik, di alam surgawi.
Para bhikkhu, bagaimanakah orang yang dari terang menuju gelap? Di sini seseorang telah terlahir kembali di keluarga yang tinggi -keluarga agung, keluarga brahmana atau perumah tangga yang kaya- keluarga yang berkelimpahan, dengan kekayaan dan harta yang besar, dengan emas dan perak yang melimpah, harta karun dan komoditas yang melimpah, dengan kekayaan dan hasil yang melimpah. Dia berparas elok, menarik, anggun, memiliki kulit yang indah. Dia adalah orang yang memperoleh makanan, minuman, pakaian dan kendaraan; bunga dan wewangian; tempat tidur, tempat tinggal dan penerangan. Dia terlibat dalam perilaku yang salah lewat tubuh, ucapan dan pikiran. Setelah melakukan demikian, ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, dia terlahir lagi di alam menderita, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.
Para bhikkhu, bagaimanakah orang yang dari terang menuju terang? Di sini seseorang telah terlahir kembali di keluarga yang tinggi … dengan kekayaan dan hasil yang melimpah. Dia berparas elok, menarik, anggun, memiliki kulit yang indah. Dia adalah orang yang memperoleh makanan … dan penerangan. Dia terlibat dalam perilaku yang baik lewat tubuh, ucapan dan pikiran. Setelah melakukan demikian, ketika tubuhnya hancur setelah kematian, dia terlahir lagi di alam tujuan yang baik, di alam surgawi.
Para bhikkhu, inilah empat jenis orang yang terdapat di dunia ini.
(IV, 85)
72. Ketenangan dan Pandangan TerangEmpat jenis orang ini, O para bhikkhu, terdapat di dunia ini. Apakah empat orang ini?
Para bhikkhu, di sini ada orang yang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal.46 Orang lain memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal tetapi tidak memperoleh ketenangan pikiran internal. Ada orang yang tidak memperoleh ketenangan pikiran internal dan tidak juga kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal. Dan ada lagi orang lain yang memperoleh ketenangan pikiran internal dan kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal.
Di sini, para bhikkhu, orang yang memperoleh ketenangan pikiran internal tetapi tidak memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal harus mendatangi orang yang memiliki kebijaksanaan yang lebih tinggi dan bertanya kepadanya: “Sahabat, bagaimana bentukan-bentukan harus dilihat? Bagaimana bentukan-bentukan harus dijelajahi? Bagaimana bentukan-bentukan harus dipahami dengan pandangan terang?”47 Yang lain kemudian menjawab sebagaimana yang telah dilihat dan dipahaminya demikian: “Bentukan-bentukan harus dilihat dengan cara begini; mereka harus dijelajahi dengan cara begini; mereka harus dipahami dengan pandangan terang dengan cara begini.” Nantinya orang ini akan memperoleh baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal.
Di sini, para bhikkhu, orang yang memperoleh kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal tetapi tidak ketenangan pikiran internal harus mendatangi orang yang memperoleh ketenangan internal dan bertanya kepadanya: “Sahabat, bagaimana pikiran dapat ditenangkan? Bagaimana pikiran harus dimantapkan? Bagaimana pikiran harus dipusatkan? Bagaimana pikiran harus dikonsentrasikan?” Yang lain kemudian menjawab sebagaimana yang telah dilihat dan dipahaminya demikian: “Pikiran harus dimantapkan dengan cara begini, ditenangkan dengan cara begini, dipusatkan dengan cara begini, dikonsentrasikan dengan cara begini.” Nantinya orang ini akan memperoleh baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal.
Di sini, para bhikkhu, orang yang tidak memperoleh ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi mengenai hal-hal harus mendatangi orang yang memperoleh kedua-duanya dan bertanya kepadanya: “Sahabat, bagaimana pikiran harus dimantapkan? … Sahabat, bagaimana bentukan harus dilihat? …” Yang lain kemudian menjawab sebagaimana yang telah dilihat dan dipahaminya demikian: “Pikiran harus dimantapkan dengan cara begini … Bentukan-bentukan harus dilihat dengan cara begini …” Nantinya orang ini akan memperoleh baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan yang lebih tinggi mengenai hal-hal.
Di sini, para bhikkhu, orang yang memperoleh baik ketenangan pikiran internal maupun kebijaksanaan yang lebih tinggi mengenai hal-hal harus memantapkan diri hanya dalam keadaan-keadaan yang bajik ini dan mengerahkan usaha selanjutnya untuk menghancurkan noda-noda.
(IV, 94)
73. Kebaikan Diri Sendiri dan Kebaikan Orang LainEmpat jenis orang ini, O para bhikkhu, terdapat di dunia ini. Apakah yang empat itu? Ada orang yang hidup untuk kebaikannya sendiri tetapi tidak untuk kebaikan yang lain; orang yang hidup untuk kebaikan orang lain tetapi tidak untuk kebaikannya sendiri; orang yang hidup tidak untuk kebaikannya sendiri dan tidak juga untuk kebaikan orang lain; dan orang yang hidup untuk kebaikannya sendiri dan untuk kebaikan orang lain.
(1) (IV, 96) Dan para bhikkhu, bagaimana orang hidup untuk kebaikannya sendiri tetapi tidak untuk kebaikan orang lain? Dia berlatih untuk menghilangkan nafsu, kebencian dan kebodohan batin di dalam dirinya, tetapi tidak mendorong orang lain untuk menghapus nafsu, kebencian, dan kebodohan batin.
(IV, 99) Dia sendiri menjauhkan diri dari membunuh, mencuri, perilaku seksual yang salah, ucapan yang tidak benar dan zat-zat yang bersifat racun, tetapi dia tidak mendorong orang lain untuk pengendalian seperti itu.
(2) (IV, 96) Dan para bhikkhu, bagaimana orang hidup untuk kebaikan orang lain tetapi tidak untuk kebaikannya sendiri? Dia mendorong orang lain untuk menghilangkan nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, tetapi dia sendiri tidak berlatih untuk menghapusnya.
(IV, 99) Dia mendorong orang lain untuk menjauhkan diri dari membunuh, mencuri, perilaku seksual yang salah, ucapan yang tidak benar dan zat-zat yang bersifat racun, tetapi dia sendiri tidak mempraktekkan pengendalian seperti itu.
(3) (IV, 96) Dan para bhikkhu, bagaimana orang hidup tidak untuk kebaikannya sendiri dan tidak juga untuk kebaikan orang lain? Dia tidak berlatih untuk menghilangkan nafsu, kebencian dan kebodohan batinnya sendiri, dan tidak juga dia mendorong orang lain untuk melakukan itu.
(IV, 99) Dia sendiri tidak berlatih untuk menjauhkan diri dari membunuh dan sebagainya, dan tidak juga dia mendorong orang lain untuk pengendalian seperti itu.
(4) (IV, 99) Dan para bhikkhu bagaimana orang hidup untuk kebaikannya sendiri dan untuk kebaikan orang lain? Dia sendiri berlatih untuk menghilangkan nafsu, kebencian dan kebodohan batin, dan dia juga mendorong orang lain untuk melakukan itu.
(IV, 99) Dia sendiri berlatih menjauhkan diri dari membunuh dan sebagainya, dan dia juga mendorong orang lain untuk pengendalian seperti itu.48
(IV, 96, 99)
74. Empat Keturunan MurniPara bhikkhu, empat kuda keturunan murni yang bagus terdapat di dunia ini. Apakah yang empat itu?
Ada satu jenis kuda keturunan murni yang bagus. Hanya dengan melihat bayang-bayang tongkat saja ia sudah langsung waspada dan tergugah, sambil berpikir, “Tugas apa yang akan ditentukan untukku oleh pelatihku hari ini? Tidakkah aku seharusnya mematuhinya?” Inilah kuda keturunan murni bagus pertama yang terdapat di dunia.
Ada juga, para bhikkhu, satu jenis kuda keturunan murni bagus yang tidak langsung waspada dan tergugah hanya dengan melihat bayang-bayang tongkat, tetapi ketika rambutnya disentuh dengan tongkat ia langsung waspada dan tergugah, sambil berpikir, “Tugas apa yang akan ditentukan untukku oleh pelatihku hari ini?… ” Inilah kuda keturunan murni bagus kedua yang terdapat di dunia.
Ada juga, para bhikkhu, satu jenis kuda keturunan murni bagus yang tidak langsung waspada dan tergugah hanya dengan melihat bayang-bayang tongkat atau pun ketika rambutnya disentuh tongkat, tetapi ketika kulitnya ditusuk tongkat ia langsung waspada dan tergugah, sambil berpikir, “Tugas apa yang akan ditentukan untukku oleh pelatihku hari ini?… ” Inilah kuda keturunan murni bagus ketiga yang terdapat di dunia.
Ada juga, para bhikkhu, satu jenis kuda keturunan murni bagus yang tidak langsung waspada dan tergugah hanya dengan melihat bayang-bayang tongkat atau ketika rambutnya disentuh tongkat atau ketika kulitnya ditusuk tongkat, tetapi ketika disodok tongkat sampai ke tulang, ia langsung waspada dan tergugah, sambil berpikir, “Tugas apa yang akan ditentukan untukku oleh pelatihku hari ini? … ” Inilah kuda keturunan murni bagus keempat yang terdapat di dunia.
Para bhikkhu, inilah empat jenis kuda keturunan murni bagus yang terdapat di dunia.
Para bhikkhu, demikian pula ada empat jenis manusia unggulan bagus terdapat di dunia ini. Apakah yang empat itu?
Para bhikkhu, di sini ada manusia unggulan bagus yang mendengar hal ini dikatakan, “Di desa ini atau di kota itu, ada orang yang sedang sakit atau telah mati.” Pada saat itu dia langsung tergerak dan tergugah. Karena tergerak, dia berusaha dengan sepenuh hati. Dengan pikiran yang sepenuhnya terarah, dia mewujudkan di dalam dirinya sendiri kebenaran tinggi (Nibbana) dan melihatnya lewat penembusan dengan kebijaksanaan. Kukatakan, inilah manusia unggulan yang bagus, yang mirip dengan kuda keturunan murni bagus yang langsung waspada dan tergugah ketika melihat bayang-bayang tongkat. Inilah manusia unggulan bagus pertama yang terdapat di dunia.
Para bhikkhu, ada manusia unggulan bagus yang tidak mendengar hal itu dikatakan, tetapi dia melihatnya sendiri di desa ini atau di kota itu bahwa ada orang yang sedang sakit atau telah mati. Pada saat itu dia langsung tergerak dan tergugah … dia mewujudkan di dalam dirinya sendiri kebenaran tertinggi dan melihatnya lewat penembusan dengan kebijaksanaan. Kukatakan, manusia unggulan bagus ini mirip dengan kuda keturunan murni bagus yang langsung waspada dan tergugah ketika rambutnya disentuh. Inilah manusia unggulan bagus kedua yang terdapat di dunia.
Para bhikkhu, ada manusia unggulan bagus yang tidak mendengar maupun melihat ada orang yang sedang sakit atau telah mati; tetapi ada saudaranya, famili dekatnya yang sedang sakit atau telah mati. Pada saat itu dia langsung tergerak dan tergugah … dia mewujudkan di dalam dirinya sendiri kebenaran tertinggi dan melihatnya lewat penembusan dengan kebijaksanaan. Kukatakan, manusia unggulan bagus ini mirip dengan kuda keturunan murni bagus yang langsung waspada dan tergugah ketika kulitnya ditusuk. Inilah manusia unggulan bagus ketiga yang terdapat di dunia.
Para bhikkhu, ada manusia unggulan bagus lain yang tidak mendengar hal itu dikatakan atau melihat ada orang yang sedang sakit atau telah mati, dan hal itu juga tidak terjadi pada saudaranya, famili dekatnya; tetapi dia sendiri terserang rasa sakit fisik yang luar biasa, yang tajam, menusuk, parah, amat tidak menyenangkan dan tidak disukai, yang membahayakan hidupnya. Pada saat itu dia langsung tergerak dan tergugah. Karena tergerak, dia berusaha dengan sepenuh hati. Dengan pikiran yang sepenuhnya terarah, dia mewujudkan di dalam dirinya sendiri kebenaran tertinggi dan melihatnya lewat penembusan dengan kebijaksanaan. Kukatakan, manusia unggulan bagus ini mirip dengan kuda keturunan murni bagus yang langsung waspada dan tergugah ketika disodok tongkat sampai ke tulang. Inilah manusia unggulan keempat yang terdapat di dunia ini.
Para bhikkhu, inilah empat manusia unggulan bagus yang terdapat di dunia.
(IV, 113)
75. Empat Kesempatan untuk KetekunanPara bhikkhu, untuk empat hal ini, ketekunan harus diterapkan.49 Apakah yang empat itu?
Engkau harus menghentikan perilaku buruk dalam tindakan dan mengembangkan perilaku bajik dalam tindakan. Janganlah lengah dalam hal itu.
Engkau harus menghentikan perilaku buruk dalam ucapan dan mengembangkan perilaku bajik dalam ucapan. Janganlah lengah dalam hal itu.
Engkau harus menghentikan perilaku buruk dalam pikiran dan mengembangkan perilaku bajik dalam pikiran. Janganlah lengah dalam hal itu.
Engkau harus menghentikan pandangan salah dan mengembangkan pandangan benar. Janganlah lengah dalam hal itu.
Jika seorang bhikkhu telah menghentikan perilaku buruk lewat tindakan, ucapan dan pikiran, dan telah mengembangkan perilaku bajik dalam tindakan, ucapan dan pikiran; jika dia telah meninggalkan pandangan salah dan mengembangkan pandangan benar, dia tidak perlu takut akan kematian di kehidupan mendatang.
(IV, 116)
76. Demi Dirinya SendiriPara bhikkhu, demi dirinya sendiri, kewaspadaan yang terus-menerus harus diciptakan sebagai penjaga pikiran, dan inilah empat alasannya:
“Semoga pikiranku tidak menyimpan nafsu terhadap apa pun yang akan membangkitkan nafsu!” -untuk alasan inilah kewaspadaan yang terus-menerus harus diciptakan sebagai penjaga pikiran, demi dirinya sendiri.
“Semoga pikiranku tidak menyimpan kebencian terhadap apa pun yang membangkitkan kebencian!” -untuk alasan inilah kewaspadaan yang terus-menerus harus diciptakan sebagai penjaga pikiran, demi dirinya sendiri.
“Semoga pikiranku tidak menyimpan kebodohan batin berkenaan dengan apa pun yang membangkitkan kebodohan batin!” -untuk alasan inilah kewaspadaan yang terus-menerus harus diciptakan sebagai penjaga pikiran, demi dirinya sendiri.
“Semoga pikiranku tidak tergila-gila pada apa pun yang membangkitkan respon tergila-gila!”50 -untuk alasan inilah kewaspadaan yang terus-menerus harus diciptakan sebagai penjaga pikiran, demi dirinya sendiri.
Para bhikkhu, bila pikiran seorang bhikkhu tidak menyimpan nafsu terhadap objek-objek yang membangkitkan nafsu, karena dia bebas dari nafsu; bila pikirannya tidak menyimpan kebencian terhadap objek-objek yang membangkitkan kebencian, karena dia bebas dari kebencian; bila pikirannya tidak menyimpan kebodohan batin berkenaan dengan apa pun yang membangkitkan kebodohan batin, karena dia bebas dari kebodohan batin; bila pikirannya tidak tergila-gila oleh apa pun yang membangkitkan respon tergila-gila, karena dia bebas dari tergila-gila -maka bhikkhu seperti itu tidak akan goyah, goncang atau tergetar, dia tidak akan menyerah pada rasa takut, tidak juga dia akan mengambil pandangan-pandangan para petapa lain.51
(IV, 117)
77. Jhana dan Kelahiran UlangPara bhikkhu, empat jenis manusia ini terdapat di dunia. Apakah yang empat itu?
Di sini, para bhikkhu, seseorang memasuki dan berdiam di jhana pertama, yang dibarengi oleh pemikiran dan pemeriksaan, dengan suka-cita dan kebahagiaan yang terlahir dari kesendirian. Dia menikmatinya, merindukannya dan menemukan kepuasan di dalamnya. Setelah menjadi mantap di dalamnya, kokoh di dalamnya, sering berdiam di dalamnya, tanpa terjatuh darinya, ketika mati dia terlahir kembali di kelompok para dewa di Alam Brahma.52 Ukuran masa kehidupan dewa-dewa itu adalah satu kalpa. Makhluk duniawi itu berada di sana untuk satu masa kehidupan, dan kemudian setelah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia jatuh ke alam neraka atau ke alam binatang atau ke alam setan. Tetapi siswa Sang Buddha berada di sana untuk satu masa kehidupan, dan kemudian setelah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia mencapai Nibbana akhir. Para bhikkhu, inilah perbandingan, ketidaksamaan, dan perbedaan antara siswa agung yang telah berlatih dan makhluk duniawi yang tidak berlatih, berkenaan dengan tujuan dan kelahiran ulang.53
Selanjutnya, para bhikkhu, di sini seseorang -dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan- memasuki dan berdiam di jhana kedua, yang memiliki keyakinan internal dan kemanunggalan pikiran, yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan, dan memiliki suka-cita dan kebahagiaan yang terlahir dari konsentrasi. Dia menikmatinya, merindukannya dan menemukan kepuasan di dalamnya. Setelah menjadi mantap di dalamnya, kokoh di dalamnya, sering berdiam di dalamnya, tanpa terjatuh darinya, ketika mati dia terlahir lagi di kelompok para dewa di alam Sinar Yang Mengalir (lih. Tabel Anguttara jilid 1).54 Ukuran masa kehidupan para dewa itu adalah dua kalpa. Makhluk duniawi itu berada di sana untuk satu masa kehidupan, dan kemudian setelah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia jatuh ke alam neraka atau ke alam binatang atau ke alam setan. Tetapi siswa Sang Buddha berada di sana selama satu masa kehidupan, dan kemudian setetah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia mencapai Nibbana akhir. Para bhikkhu, inilah perbandingan, ketidaksamaan dan perbedaan antara siswa agung yang telah berlatih dan manusia duniawi yang tidak berlatih, berkenaan dengan tujuan dan kelahiran ulang.
Selanjutnya, para bhikkhu, di sini seseorang -dengan memudarnya suka-cita juga- berdiam dengan tenang seimbang. Dengan waspada dan pemahaman yang jelas, dia mengalami kebahagiaan lewat tubuh; dia memasuki dan berdiam di jhana ketiga yang dinyatakan para ariya sebagai berikut: “Dia tenang-seimbang, waspada, orang yang berdiam dengan bahagia.” Dia menikmatinya, merindukannya, dan menemukan kepuasan di dalamnya. Setelah menjadi mantap di dalamnya, kokoh di dalamnya, sering berdiam di dalamnya, tanpa terjatuh darinya, setelah mati dia terlahir lagi di kelompok para dewa di alam Keagungan Yang Cemerlang.55 Ukuran masa kehidupan para dewa itu adalah empat kalpa. Makhluk duniawi itu berada di sana selama satu masa kehidupan, dan kemudian setelah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia jatuh ke alam neraka atau ke alam binatang atau ke alam setan. Tetapi siswa Sang Buddha berada di sana selama satu masa kehidupan, dan kemudian setelah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia mencapai Nibbana akhir. Para bhikkhu, inilah perbandingan, ketidaksamaan dan perbedaan antara siswa agung yang telah berlatih dan manusia duniawi yang tidak berlatih, berkenaan dengan tujuan dan kelahiran ulang.
Selanjutnya, para bhikkhu, di sini seseorang -dengan meninggalkan kesenangan dan penderitaan, dan dengan sudah lenyapnya kegembiraan dan kesedihan- memasuki dan berdiam di jhana keempat, yang tidak-menyakitkan-pun-tidak-menyenangkan dan mencakup pemurnian kewaspadaan lewat ketenang-seimbangan. Dia menikmatinya, merindukannya dan menemukan kepuasan di dalamnya. Setelah menjadi mantap di dalamnya, kokoh di dalamnya, sering berdiam di dalamnya, tanpa terjatuh darinya, dia terlahir lagi di kelompok para dewa di alam Buah Yang Besar.56 Ukuran masa kehidupan para dewa itu adalah lima ratus kalpa. Makhluk duniawi itu berada di sana selama satu masa kehidupan, dan kemudian setelah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia jatuh ke alam neraka atau ke alam binatang atau ke alam setan. Tetapi siswa Sang Buddha berada di sana selama satu masa kehidupan, dan kemudian setelah selesai menjalani masa kehidupan para dewa itu, dia mencapai Nibbana akhir. Para bhikkhu, inilah perbandingan, ketidaksamaan dan perbedaan antara siswa agung yang berlatih dan menusia duniawi yang tidak berlatih, berkenaan dengan tujuan dan kelahiran ulang.
Inilah empat jenis manusia yang terdapat di dunia.57
(IV, 123)
78. Empat Hal yang Luar BiasaPara bhikkhu, pada saat munculnya Sang Tathagata, Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, empat hal yang bagus dan menakjubkan terwujud. Apakah yang empat itu?
Manusia biasanya menemukan kesenangan dalam kemelekatan, bergembira dalam kemelekatan dan menikmati kemelekatan. Tetapi ketika Dhamma tentang tanpa-kemelekatan diajarkan oleh Sang Tathagata, manusia ingin mendengarkannya, membuka telinga dan berusaha memahaminya. Inilah hal indah dan menakjubkan pertama yang muncul pada saat munculnya Sang Tathagata, Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan.
Manusia biasanya menemukan kesenangan dalam kesombongan, bergembira dalam kesombongan dan menikmati kesombongan. Tetapi ketika Dhamma diajarkan oleh Sang Tathagatha untuk menghapus kesombongan, manusia ingin mendengarkannya, membuka telinga dan berusaha memahaminya. Inilah hal indah dan menakjubkan kedua yang muncul pada saat munculnya Sang Tathagata, Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan.
Manusia biasanya menemukan kesenangan dalam kehidupan yang bergairah, bergembira dalam kegairahan dan menikmati kegairahan. Tetapi ketika Dhamma yang damai diajarkan oleh Sang Tathagata, manusia ingin mendengarkannya, membuka telinga dan berusaha memahaminya. Inilah hal indah dan menakjubkan ketiga yang muncul pada saat munculnya Sang Tathagata, Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan.
Manusia biasanya hidup dalam kebodohan batin, dibutakan oleh ketidaktahuan dan dibelenggu oleh ketidaktahuan. Tetapi ketika Dhamma diajarkan oleh Sang Tathagata untuk melenyapkan ketidaktahuan, manusia ingin mendengarkannya, membuka telinga dan berusaha untuk memahaminya. Inilah hal indah dan menakjubkan keempat yang muncul pada saat munculnya Sang Tathagata, Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan.
Pada saat munculnya Sang Tathagata, Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, empat hal indah dan menakjubkan ini menjadi terwujud.
(IV, 128)
79. Empat KemegahanPara bhikkhu, ada empat kemegahan ini. Apakah yang empat itu? Kemegahan rembulan, kemegahan matahari, kemegahan api, dan kemegahan kebijaksanaan. Dari empat kemegahan ini, inilah yang terbaik: kemegahan kebijaksanaan.
Para bhikkhu, ada empat kecemerlangan ini … empat sinar ini … empat kemilau ini… empat sumber penerangan ini… dari empat sumber penerangan ini, inilah yang terbaik: penerangan kebijaksanaan.
(IV,141-45)
80. BhikkhuniPada suatu ketika YM Ananda sedang berdiam di Kosambi di Vihara Goshita. Pada saat itu ada seorang bhikkhuni yang memanggil seorang pria dan berkata: “Umat yang baik, pergilah menjumpai YM Ananda. Berilah penghormatan kepada beliau atas nama saya dan berkatalah demikian: ‘Yang Mulia, seorang bhikkhuni yang bernama ini telah jatuh sakit, dia menderita kesakitan dan sedang sakit keras. Dia menyampaikan hormat di kaki YM Ananda.’ Dan engkau boleh menambahkan: ‘Yang Mulia, akan sangat baik jika YM Ananda mau berkunjung ke tempat kediaman bhikkhuni dan menemui bhikkhuni itu, demi kasih sayang.’ “58
“Ya, bhikkhuni yang mulia,” laki-laki itu menjawab dan lalu pergi menjumpai YM Ananda untuk menyampaikan pesan itu. YM Ananda menyetujui dengan berdiam diri. Di pagi berikutnya, beliau berpakaian, membawa mangkuk dan jubahnya dan pergi ke tempat tinggal bhikkhuni itu. Ketika dari jauh bhikkhuni itu melihat YM Ananda berjalan mendekat, dia berbaring di tempat tidurnya dan menarik penutup tubuhnya sampai ke kepala.
Ketika YM Ananda tiba di tempat bhikkhuni itu, beliau duduk di tempat duduk yang telah disediakan dan berbicara demikian:59 “Saudari, tubuh ini telah terwujud karena makanan; walaupun berdasar atas makanan, makanan dapat ditinggalkan. Tubuh ini telah terwujud karena nafsu keinginan; walaupun berdasar atas nafsu keinginan, nafsu keinginan dapat ditinggalkan. Tubuh ini telah terwujud karena kesombongan; walaupun berdasar atas kesombongan, kesombongan dapat ditinggalkan. Tubuh ini telah terjadi karena tindakan seksual; tetapi sehubungan dengan tindakan seksual, Sang Buddha telah menasehatkan penghancuran jembatan itu.60
“Telah dikatakan: ‘Saudari, tubuh ini telah terwujud karena makanan; walaupun berdasar atas makanan, makanan dapat ditinggalkan.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Di sini, seorang bhikkhu atau bhikkhuni, dengan bijaksana merenungkan, mengambil makanan bukan untuk kenikmatan, bukan untuk bermanja-manja, bukan untuk keindahan atau daya tarik fisik, melainkan hanya untuk menopang dan mempertahankan tubuh ini, untuk menghindarkannya dari bahaya dan untuk menopang kehidupan suci, sambil berpikir: ‘Demikian saya akan menghentikan perasaan-perasaan lama (rasa lapar) dan tidak akan menimbulkan perasaan-perasaan baru, dan saya akan sehat dan tanpa-cela dan hidup dalam kenyamanan.’ Kemudian beberapa saat sesudahnya, walaupun berdasarkan atas makanan, dia meninggalkan makanan.61 Karena hal inilah dikatakan: ‘Tubuh ini telah terwujud karena makanan; walaupun berdasar atas makanan, makanan dapat ditinggalkan.’
“Telah dikatakan: ‘Saudari, tubuh ini telah terwujud karena nafsu keinginan; walaupun berdasar atas nafsu keinginan, nafsu keinginan dapat ditinggalkan.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Di sini, seorang bhikkhu mendengar hal ini disampaikan: ‘Dikatakan bahwa seorang bhikkhu yang bernama ini, lewat hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga memasuki dan berdiam di kebebasan pikiran tanpa-noda, kebebasan lewat kebijaksanaan, karena telah mewujudkannya bagi dirinya sendiri lewat pengetahuan langsung.’ Kemudian dia berpikir, ‘Oh, kapankah saya juga akan mewujudkan kebebasan pikiran tanpa-noda, kebebasan lewat kebijaksaan?’ Kemudian, beberapa saat sesudahnya, walaupun berdasar atas nafsu keinginan, dia meninggalkan nafsu keinginan.62Karena hal inilah dikatakan: ‘Tubuh ini telah terwujud karena nafsu keinginan; walaupun berdasar atas nafsu keinginan, nafsu keinginan dapat ditinggalkan.’
“Dikatakan: ‘Saudari, tubuh ini telah terwujud karena kesombongan; walaupun berdasar atas kesombongan, kesombongan dapat ditinggalkan.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan? Di sini, seorang bhikkhu mendengar hal ini disampaikan: ‘Dikatakan bahwa seorang bhikkhu yang bernama ini, lewat hancurnya noda-noda, di dalam kehidupan ini juga memasuki dan berdiam di kebebasan pikiran tanpa-noda, kebebasan lewat kebijaksanaan, karena telah mewujudkan bagi dirinya sendiri lewat pengetahuan langsung.’ Kemudian dia berpikir, ‘Oh, kapankah saya juga akan mewujudkan kebebasan pikiran tanpa-noda, kebebasan lewat kebijaksanaan?’ Kemudian, beberapa saat sesudahnya, walaupun berdasar atas kesombongan, dia meninggalkan kesombongan. Karena hal inilah dikatakan: ‘Tubuh ini telah terjadi karena kesombongan; walaupun berdasar atas kesombongan, kesombongan dapat ditinggalkan.’
“Bhikkhuni, tubuh ini telah terjadi karena tindakan seksual; tetapi sehubungan dengan tindakan seksual, Sang Buddha telah menasehatkan penghancuran jembatan itu.”
Saat itu bhikkhuni tersebut bangkit dari tempat tidurnya, mengatur jubah atasnya di satu sisi, berlutut di hadapan YM Ananda, dan berkata:
“O, Yang Mulia, saya telah melakukan pelanggaran ketika saya berperilaku dengan amat tolol, amat bodoh dan tidak terampil! Biarlah Yang Mulia Ananda menerima pengakuan pelanggaran ini dan memaafkan saya, dan saya akan melatih pengendalian diri di masa mendatang.”63
“Saudari, sebenarnya engkau telah melakukan pelanggaran ketika berperilaku dengan amat tolol, amat bodoh, dan tidak terampil. Tetapi karena engkau telah mengenali pelanggaranmu sendiri seperti itu dan memperbaikinya sesuai dengan peraturan, kami memaafkanmu. Karena ini merupakan tanda pertumbuhan di dalam Vinaya para Ariya bahwa seseorang mengenali pelanggarannya sendiri, memperbaikinya sesuai dengan peraturan dan di masa mendatang melatih pengendalian diri.”
(IV, 159)
81. Empat Cara KemajuanPara bhikkhu, ada empat cara kemajuan. Apakah yang empat itu? Cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang lambat; cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat; cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan yang lambat; dan cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung cepat.
Dan apakah cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, para bhikkhu, seseorang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang kuat terhadap nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, dan dia sering mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir dari nafsu, kebencian dan kebodohan batin. Lima kemampuan ini muncul lemah di dalam dirinya -yaitu kemampuan keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan- dan karena kelemahan ini dia lambat mencapai kondisi perantara bagi hancurnya noda-noda.64 Inilah cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang lambat.
Dan apakah cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, para bhikkhu, seseorang pada dasarnya memiliki kecenderungan yang kuat terhadap nafsu, kebencian, dan kebodohan batin, dan dia sering mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir dari nafsu, kebencian dan kebodohan batin. Lima kemampuan ini muncul menonjol di dalam dirinya -yaitu kemampuan keyakinan … kebijaksanaan- dan karena kemenonjolan ini dia cepat mencapai kondisi perantara bagi hancurnya noda-noda. Inilah cara kemajuan yang menyakitkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat.
Dan apakah cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung yang lambat? Di sini, para bhikkhu, seseorang pada dasarnya tidak memiliki kecenderungan yang kuat terhadap nafsu, kebencian, kebodohan batin, dan dia tidak sering mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir dari nafsu, kebencian, kebodohan batin. Lima kemampuan ini muncul lemah di dalam dirinya -yaitu kemampuan keyakinan … kebijaksanaan- dan karena kelemahan ini dia lambat mencapai kondisi perantara bagi hancurnya noda-noda. Inilah cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung yang lambat.
Dan apakah cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat? Di sini, para bhikkhu, seseorang pada dasarnya tidak memiliki kecenderungan yang kuat terhadap nafsu, kebencian, kebodohan batin, dan dia tidak sering mengalami penderitaan dan kesedihan yang terlahir dari nafsu, kebencian, dan kebodohan batin. Lima kemampuan itu muncul menonjol di dalam dirinya -yaitu kemampuan keyakinan … kebijaksanaan- dan karena kemenonjolan ini dia cepat mencapai kondisi perantara bagi hancurnya noda-noda. Inilah cara kemajuan yang menyenangkan, dengan pengetahuan langsung yang cepat.
Para bhikkhu, inilah empat cara kemajuan.
(IV, 162)
82. Empat Cara BerperilakuPara bhikkhu, ada empat cara berperilaku. Apakah yang empat itu? Cara tidak sabar, cara sabar, cara menjinakkan, dan cara menenangkan.
Para bhikkhu, apakah cara tidak sabar itu? Jika dicaci maki, orang itu membalas mencaci maki; jika dihina, dia membalas menghina; jika dilecehkan, dia membalas melecehkan.
Dan para bhikkhu, apakah cara yang sabar itu? Jika dicaci maki, dia tidak balik mencaci maki; jika dihina, dia tidak balik menghina; jika dilecehkan, dia tidak balik melecehkan.
Dan apakah cara menjinakkan itu? Di sini, ketika melihat bentuk dengan mata, mendengar suara dengan telinga, atau mencium bau dengan hidung, atau mencicipi cita-rasa dengan lidah, atau menyentuh objek dengan tubuh, atau memahami objek mental dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak melekati penampilan umum atau detil objek itu. Karena jika dia membiarkan kemampuan inderanya tidak terjaga, keadaan-keadaan ketamakan serta kesedihan yang jahat dan tidak bermanfaat akan menyerangnya, maka dia menerapkan pengendalian kemampuan indera itu, menjaganya dan mencapai penguasaan atasnya.
Dan apakah cara untuk menenangkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak mentoleransi di dalam dirinya sendiri pemikiran sensual, atau pemikiran niat jahat, atau pemikiran kekerasan, atau keadaan-keadaan lain apa pun yang jahat dan tidak bermanfaat yang mungkin muncul di dalam dirinya. Dia meninggalkannya, menghalaunya, menghilangkannya, dan menghancurkannya. Para bhikkhu, inilah empat cara berperilaku.
(IV, 165)
83. Jalan Menuju Tingkat ArahatDemikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika YM Ananda berdiam di Kosambi di Vihara Ghosita. Di sana YM Ananda menyapa para bhikkhu demikian:
“Para sahabat!”
“Ya, sahabat,” jawab para bhikkhu. Kemudian YM Ananda berkata:
“Para sahabat, siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang menyatakan di hadapanku bahwa mereka telah mencapai pengetahuan akhir tingkat Arahat, semua melakukannya dengan salah satu dari empat cara ini. Apakah yang empat itu?
“Di sini, para sahabat, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan terang yang didahului ketenangan.65 Ketika dia telah mengembangkan pandangan terang yang didahului ketenangan itu, Sang Jalan pun muncul di dalam dirinya. Sekarang dia mengejar, mengembangkan dan mengolah jalan itu. Sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari pun lenyap.66
“Atau juga, para sahabat, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang.67 Sementara dia mengembangkan ketenangan yang didahului oleh pandangan terang itu, Sang Jalan pun muncul di dalam dirinya. Sekarang dia mengejar, mengembangkan dan mengolah jalan itu. Sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari pun lenyap.
“Atau juga, para sahabat, seorang bhikkhu mengembangkan ketenangan dan pandangan terang yang digabungkan berpasangan.68 Sementara dia mengembangkan ketenangan dan pandangan terang yang digabungkan secara berpasangan itu, Sang Jalan pun muncul di dalam dirinya. Sekarang dia mengejar, mengembangkan dan mengolah jalan itu. Sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari pun lenyap.
“Atau juga, para sahabat, pikiran seorang bhikkhu dicengkeram oleh kegelisahan yang disebabkan oleh keadaan-keadaan pikiran yang lebih tinggi.69 Tetapi ada saat ketika pikirannya secara internal menjadi mantap, tenang, terpusat, dan terkonsentrasi; kemudian Sang Jalan itu muncul di dalam dirinya. Sekarang dia mengejar, mengembangkan dan mengolah jalan itu. Sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari pun lenyap.
“Para sahabat, siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang menyatakan di hadapanku bahwa mereka telah mencapai pengetahuan akhir tingkat Arahat, semuanya melakukannya dengan salah satu dari empat cara ini.”
(IV, 170)
84. NiatPara bhikkhu, bila ada tubuh jasmani, di dalam diri orang itu muncullah kesenangan dan penderitaan yang disebabkan oleh niat jasmani.70 Bila ada ucapan, di dalam diri orang itu muncullah kesenangan dan penderitaan yang disebabkan oleh niat berucap. Bila ada pikiran, di dalam diri orang itu muncullah kesenangan dan penderitaan yang disebabkan oleh niat mental. Dan semua ini dikondisikan oleh ketidaktahuan.71
Para bhikkhu, bisa dengan kemauan sendiri orang menimbulkan bentukan niat jasmani yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam dirinya; atau bisa juga dia melakukannya bila didorong oleh orang lain. Bisa dengan pengetahuan yang jernih orang membangkitkan bentukan niat jasmani yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam dirinya; atau bisa juga dia melakukannya tanpa pengetahuan yang jernih.72
Bisa dengan kemauan sendiri orang menimbulkan bentukan niat berucap yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam dirinya; atau bisa juga dia melakukannya bila didorong oleh orang lain. Bisa dengan pengetahuan yang jernih orang membangkitkan bentukan niat berucap yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam dirinya; atau bisa juga dia melakukannya tanpa pengetahuan yang jernih.
Bisa dengan kemauan sendiri orang menimbulkan bentukan niat mental yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam dirinya; atau bisa juga dia melakukannya bila didorong oleh orang lain. Bisa dengan pengetahuan yang jernih orang membangkitkan bentukan niat mental yang menyebabkan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam dirinya; atau bisa juga dia melakukannya tanpa pengetahuan yang jernih.
Di dalam semua keadaan ini, para bhikkhu, ketidaktahuan terlibat.73 Tetapi dengan pudarnya dan berhentinya ketidaktahuan secara total, tidak ada lagi tubuh jasmani, ucapan atau pikiran yang mengondisikan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam diri seseorang. Tidak ada lagi ladang, tempat, landasan atau fondasi yang mengondisikan munculnya kesenangan dan penderitaan di dalam diri seseorang.74
(IV, 171)
85. Tidak ada JaminanPara bhikkhu, ada empat hal yang tidak ada jaminannya, entah dari petapa, brahmana, dewa atau Mara atau Brahma, atau siapa pun lainnya di dunia ini. Apakah yang empat itu?
Bahwa apa yang dapat mengalami kelapukan tidak akan lapuk; bahwa apa yang dapat mengalami penyakit tidak akan jatuh sakit; bahwa apa yang dapat mengalami kematian tidak akan mati; dan bahwa tidak ada buah yang muncul dari tindakan jahat orang itu sendiri, yang mengotori, yang menyebabkan kelahiran ulang, yang menakutkan, yang memberikan akibat yang menyakitkan, yang membawa menuju tumimbal lahir, kelapukan dan kematian.
Terhadap empat hal ini tidak ada jaminan, entah dari petapa, brahmana, dewa atau Mara atau Brahma, atau siapa pun lainnya di dunia ini.
(IV, 182)
86. Rasa Takut Akan KematianPada suatu, ketika brahmana Janussoni mendekati Sang Buddha dan menyapa Beliau demikian:
“Tuan Gotama, saya mempertahankan dan memegang pandangan bahwa tidak ada orang yang tidak takut akan kematian, yang tidak gentar akan kematian.”
“Brahmana, memang ada orang yang takut akan kematian, yang gentar akan kematian. Tetapi juga ada orang yang tidak takut akan kematian, yang tidak gentar akan kematian. Dan siapakah orang yang takut akan kematian dan siapakah yang tidak takut akan kematian?
“Brahmana, ada orang yang tidak bebas dari nafsu kesenangan indera, tidak bebas dari nafsu dan cinta terhadap kesenangan-kesenangan indera, tidak bebas dari kehausan dan kerinduan mengejarnya, tidak bebas dari nafsu keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indera. Lalu ada penyakit serius yang menimpa dia. Karena terserang penyakit serius, dia berpikir: ‘Oh, kesenangan-kesenangan indera tercinta ini akan meninggalkan aku, dan aku terpaksa meninggalkan mereka!’ Oleh karenanya dia bersedih hati, meratap, meraung-raung, menangis memukuli dadanya dan menjadi kacau. Orang inilah yang takut akan kematian, yang gentar akan kematian.
“Selanjutnya, brahmana, ada orang yang tidak bebas dari nafsu terhadap tubuh ini, tidak bebas dari nafsu dan cinta terhadap tubuh ini, tidak bebas dari kehausan dan kerinduan terhadapnya, tidak bebas dari nafsu keinginan terhadap tubuh. Lalu ada penyakit serius yang menimpa dia. Karena terserang penyakit serius, dia berpikir: ‘Oh, tubuh tercinta ini akan meninggalkan aku, dan aku terpaksa meninggalkannya.’ Oleh karenanya dia bersedih hati … dan menjadi kacau. Orang inilah juga yang takut akan kematian, yang gentar akan kematian.
“Selanjutnya, brahmana, ada orang yang belum melakukan apa pun yang bajik dan bermanfaat, yang belum membuat perlindungan bagi dirinya sendiri; tetapi dia telah melakukan apa yang jahat, kejam dan buruk. Lalu ada penyakit serius yang menimpa dia. Karena terserang penyakit serius, dia berpikir: ‘Oh, aku belum melakukan apa pun yang bajik dan bermanfaat, aku belum membuat perlindungan bagi diriku sendiri; tetapi aku telah melakukan apa yang jahat, kejam dan buruk. Dari sini aku akan pergi ke tempat bagi mereka yang melakukan tindakan-tindakan semacam itu.’ Oleh karenanya dia bersedih hati … dan menjadi kacau. Orang inilah juga yang takut akan kematian, yang gentar akan kematian.
“Selanjutnya, brahmana, ada orang yang memiliki keraguan dan kebingungan tentang Dhamma yang baik dan belum sampai pada kepastian di dalamnya. Lalu ada penyakit serius yang menimpanya. Karena terserang penyakit serius, dia berpikir: ‘Oh, aku penuh keraguan dan kebingungan tentang Dhamma yang baik dan belum sampai pada kepastian di dalamnya!’ Oleh karenanya dia bersedih hati, meratap, meraung-raung, menangis memukuli dadanya dan menjadi kacau. Orang inilah juga yang takut akan kematian, yang gentar akan kematian.
“Brahmana, inilah empat jenis manusia yang takut akan kematian dan yang gentar akan kematian.
“Tetapi brahmana, siapakah orang yang tidak takut akan kematian?
“Brahmana, ada orang yang bebas dari nafsu terhadap kesenangan indera, bebas dari nafsu dan cinta terhadapnya, bebas dari kehausan dan kerinduan mengejarnya, bebas dari nafsu keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indera. Bila ada penyakit serius yang menimpanya, tidak ada buah-pikir semacam ini yang datang kepadanya: ‘Oh, kesenangan-kesenangan indera tercinta ini akan meninggalkan aku, dan aku terpaksa meninggalkan mereka!’ Oleh karenanya dia tidak bersedih hati, meratap, meraung-raung, menangis memukuli dadanya atau menjadi kacau. Orang inilah yang tidak takut akan kematian, yang tidak gentar akan kematian.
“Selanjutnya, brahmana, ada orang yang bebas dari nafsu terhadap tubuh ini … Bila ada penyakit serius menimpanya, tidak ada pemikiran semacam ini yang datang padanya: ‘Oh, tubuh tercinta ini akan meninggalkan aku, dan aku terpaksa meninggalkannya.’ Oleh karenanya dia tidak bersedih hati … atau menjadi kacau. Orang inilah juga yang tidak takut akan kematian, yang tidak gentar akan kematian.
“Selanjutnya, brahmana, ada juga orang yang tidak melakukan apa pun yang jahat, kejam atau buruk, tetapi telah melakukan apa yang bajik dan bermanfaat, yang telah membuat perlindungan bagi dirinya sendiri. Bila ada penyakit serius yang menimpanya, pemikiran ini datang kepadanya: “Aku tidak melakukan apa pun yang jahat, kejam atau buruk, tetapi telah melakukan apa yang bajik dan bermanfaat, aku telah membuat perlindungan bagi diriku sendiri. Dari sini aku akan pergi menuju tempat bagi mereka yang melakukan tindakan-tindakan semacam itu.” Oleh karenanya dia tidak bersedih hati … atau menjadi kacau. Orang inilah juga yang tidak takut akan kematian, yang tidak gentar akan kematian.
“Selanjutnya, brahmana, ada orang yang tidak memiliki keraguan dan kebingungan tentang Dhamma yang baik dan telah memperoleh kepastian di dalamnya. Bila ada penyakit serius yang menimpanya, pemikiran ini datang kepadanya: “Aku bebas dari keraguan dan kebingungan tentang Dhamma yang baik dan telah memperoleh kepastian di dalamnya.” Oleh karenanya dia tidak bersedih hati, meratap, meraung-raung, menangis memukuli dadanya atau menjadi kacau. Orang inilah juga yang tidak takut akan kematian, yang tidak gentar akan kematian.
“Inilah, brahmana, empat jenis manusia yang tidak takut akan kematian dan tidak gentar akan kematian.”75
“Luar biasa, Guru Gotama! … Biarlah Guru Gotama menerimaku sebagai pengikut awam yang telah pergi berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat.”
(IV, 184)
87. Memuji SanghaPada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi di Taman Timur, di Gedung Ibu Migara. Pada saat itu -hari Uposatha tanggal 15- Sang Buddha duduk dikelilingi oleh Sangha para bhikkhu.76Kemudian, mengamati Sangha para bhikkhu yang diam, Sang Buddha menyapa para bhikkhu demikian:
“Para bhikkhu, kelompok ini bebas dari celoteh, bebas dari obrolan. Ini murni dan mantap pada intinya. Sangha para bhikkhu ini merupakan kelompok yang jarang terlihat di dunia. Sangha para bhikkhu ini merupakan kelompok yang pantas menerima pemberian, pantas menerima keramah-tamahan, pantas menerima persembahan, pantas menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada bandingnya bagi dunia. Pemberian yang kecil pun bila diberikan kepada Sangha para bhikkhu ini akan menjadi besar dan pemberian yang besar menjadi makin besar.77 Sangha para bhikkhu ini merupakan kelompok yang pantas untuk ditemui walaupun harus berjalan bermil-mil, bahkan dengan tas bepergian.
“Ada bhikkhu-bhikkhu yang berdiam di dalam Sangha ini setelah mencapai status dewa; para bhikkhu yang berdiam setelah mencapai status Brahma; para bhikkhu yang berdiam setelah mencapai Ketidak-tergangguan; para bhikkhu yang berdiam setelah mencapai status orang suci.
“Dan bagaimana seorang bhikkhu mencapai status dewa? Di sini, para bhikkhu, terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tidak bajik, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di jhana pertama … (seperti dalam Teks 39) … di jhana keempat, yang tidak-menyakitkan-pun-tidak-menyenangkan dan mencakupkan kemurnian kewaspadaan lewat ketenang-seimbangan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai status dewa.78
“Dan bagaimana seorang bhikkhu mencapai status Brahma?79 Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam menyebarkan ke satu sudut pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian juga sudut kedua, ketiga dan keempat. Kemudian ke atas, ke bawah, ke sekeliling dan ke mana-mana, dan pada semua makhluk seperti pada dirinya sendiri, dia berdiam memenuhi seluruh dunia dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, luas, tinggi, tak terbatas, tanpa rasa permusuhan, dan tanpa niat jahat. Dia menyebarkan ke satu sudut pikiran yang penuh dengan kasih sayang … dengan suka-cita tanpa-ego … dengan ketenang-seimbangan … tanpa niat jahat. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai status Brahma.
“Dan bagaimana seorang bhikkhu mencapai Ketidak-tergangguan?80 Di sini, para bhikkhu, dengan sepenuhnya melampaui persepsi tentang bentuk, dengan lenyapnya persepsi tentang sentuhan sensori, dengan tanpa-perhatian pada persepsi tentang perbedaan, sadar bahwa ‘ruang adalah tidak-terbatas’, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di dasar ketidak-terbatasan ruang. Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui dasar ketidak-terbatasan ruang, sadar bahwa ‘kesadaran adalah tidak-terbatas’, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di dasar ketidak-terbatasan kesadaran. Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui dasar ketidak-terbatasan kesadaran, sadar bahwa ‘tidak ada apa pun’, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di dasar kekosongan. Kemudian, dengan sepenuhnya melampaui dasar kekosongan, seorang bhikkhu memasuki dan berdiam di dasar bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi. Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai Ketidak-tergangguan.
“Dan bagaimana seorang bhikkhu mencapai status orang suci? Di sini, para bhikkhu, dia memahami sebagaimana apa adanya; ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal mula penderitaan. Ini adalah berhentinya penderitaan. Ini adalah cara menuju berhentinya penderitaan.’ Dengan cara inilah seorang bhikkhu mencapai status orang suci.”
(IV, 190)
88. Bagaimana Menilai Karakter SeseorangEmpat fakta mengenai seseorang, O para bhikkhu, dapat diketahui dari empat keadaan ini. Apakah yang empat itu?
Dengan hidup bersama seseorang maka moralitasnya dapat diketahui. Hal ini pun baru diketahui setelah waktu yang lama, bukan secara asal-asalan; dengan pengamatan dari dekat, bukan tanpa pengamatan; oleh orang yang bijak, bukan oleh orang yang dungu.
Dengan mengadakan hubungan dengan seseorang maka integritasnya dapat diketahui. Hal ini pun baru diketahui setelah waktu yang lama, bukan secara asal-asalan; dengan pengamatan dari dekat, bukan tanpa pengamatan; oleh seseorang yang bijak, bukan oleh orang yang dungu.
Di dalam kemalangan maka ketabahan seseorang dapat diketahui. Hal ini pun baru diketahui setelah waktu yang lama, bukan secara asal-asalan; dengan pengamatan dari dekat, bukan tanpa pengamatan; oleh orang yang bijak, bukan oleh orang yang dungu.
Lewat percakapan maka kebijaksanaan seseorang dapat diketahui. Hal ini pun baru diketahui setelah waktu yang lama, bukan secara asal-asalan; dengan perhatian dari dekat, bukan tanpa perhatian; oleh orang yang bijak, bukan oleh orang yang dungu.
(1) Dikatakan: “Dengan hidup bersama seseorang maka moralitasnya dapat diketahui.” Berdasarkan apa hal ini dikatakan?
Hidup bersama seseorang, orang bisa mengenalnya demikian: “Setelah waktu yang lama tindakan-tindakan orang ini ternyata menunjukkan kelemahan, cacat, noda dan cela berkenaan dengan moralitasnya; dan secara moral dia tidak sesuai di dalam tindakan dan perilaku. Orang ini adalah orang yang tidak bermoral; dia tidak luhur.”
Di dalam kasus lain, ketika hidup bersama seseorang, orang bisa mengenalnya demikian: “Setelah waktu yang lama tindakan-tindakan orang ini ternyata tidak menunjukkan kelemahan, cacat, noda dan cela berkenaan dengan moralitasnya; dan secara moral dia sesuai di dalam tindakan dan perilaku.” Orang ini adalah orang yang bermoral; dia bukan orang yang tidak bermoral.”
Berdasarkan hal inilah maka dikatakan: “Dengan hidup bersama seseorang maka moralitasnya dapat diketahui.”
(2) Selanjutnya dikatakan: “Dengan mengadakan hubungan dengan seseorang maka integritasnya dapat diketahui.” Berdasarkan apa hal ini dikatakan?
Mengadakan hubungan dengan seseorang, orang bisa mengenalnya demikian: “Orang ini berkelakuan begini pada satu orang dan berkelakuan lain pada dua, tiga orang atau lebih.81 Perilaku sebelumnya menyimpang dari perilaku sesudahnya. Perilaku orang ini tidak jujur; dia tidak berperilaku jujur.”
Di dalam kasus lain, ketika mengadakan hubungan dengan seseorang, orang bisa mengenalnya demikian: “Dengan cara yang sama dia berkelakuan pada satu orang, seperti dia berkelakuan pada dua, tiga orang atau lebih. Perilaku sebelumnya tidak menyimpang dari perilaku sesudahnya. Perilaku orang ini jujur; dia bukan orang yang tidak jujur.”
Berdasarkan hal inilah maka dikatakan: “Dengan mengadakan hubungan dengan seseorang maka integritasnya dapat diketahui.”
(3) Selanjutnya dikatakan: “Di dalam kemalangan maka ketabahan seseorang dapat diketahui.” Berdasarkan apa hal ini dikatakan?
Ada orang yang menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan, tetapi dia tidak merenungkan demikian: “Inilah sifat alami kehidupan di dunia ini, inilah sifat alami kemampuan keberadaan individu, bahwa delapan kondisi duniawi terus membuat dunia berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini, yaitu: untung dan rugi, terkenal dan tercemar, dipuji dan dicela, senang dan menderita.”82 Tanpa mempertimbangkan hal ini, dia berduka dan khawatir, dia meratap dan memukuli dadanya, dan menjadi gelisah ketika menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatannya.
Dalam kasus lain, ketika seseorang menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan, dia merenungkan demikian: “Inilah sifat alami kehidupan di dunia ini, inilah sifat alami kemampuan keberadaan individu, bahwa delapan kondisi duniawi terus membuat dunia berputar, dan dunia memutar delapan kondisi duniawi ini, yaitu: untung dan rugi, terkenal dan tercemar, dipuji dan dicela, senang dan menderita.” Dengan mempertimbangkan hal ini, dia tidak berduka atau khawatir, atau meratap dan memukuli dadanya, atau menjadi gelisah ketika menderita kehilangan sanak keluarga, kekayaan atau kesehatan.
Berdasarkan hal inilah maka dikatakan: “Di dalam kemalangan maka ketabahan seseorang dapat diketahui.”
(4) Selanjutnya dikatakan: “Lewat percakapan maka kebijaksanaan seseorang dapat diketahui.” Berdasarkan apa hal ini dikatakan?
Ketika bercakap-cakap dengan seseorang, orang bisa mengenalnya demikian: “Dinilai dari cara orang ini memeriksa, merumuskan dan mengemukakan masalah,83 dia adalah orang yang dungu, bukan orang yang bijaksana. Mengapa? Dia tidak menyampaikan kata-kata yang dalam, menenangkan, luhur, melampaui penalaran biasa, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana. Ketika berbicara tentang Dhamma, dia tidak mampu menjelaskan artinya, baik secara singkat maupun terperinci. Dia adalah orang dungu, bukan orang bijaksana.”
Seperti halnya, para bhikkhu, bila orang yang baik penglihatannya berdiri di tepi kolam, dia akan melihat ikan kecil muncul dan berpikir: “Dinilai dari munculnya,84 dari riak yang disebabkan oleh ikan ini dan dari kecepatannya, ini adalah ikan kecil, bukan ikan besar” -demikian juga, ketika bercakap-cakap dengan seseorang, orang bisa mengenalnya: “Ini adalah orang dungu, bukan orang bijaksana.”
Dalam kasus lain, ketika bercakap-cakap dengan seseorang, orang bisa mengenalnya demikian: “Dinilai dari cara orang ini memeriksa, merumuskan dan mengemukakan masalah, dia adalah orang yang bijaksana, bukan orang yang dungu. Dia menyampaikan kata-kata yang dalam, menenangkan, luhur, melampaui penalaran biasa, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana. Ketika berbicara tentang Dhamma, dia mampu menjelaskan artinya, baik secara singkat maupun terperinci. Dia adalah orang bijaksana, bukan orang dungu.”
Seperti halnya, para bhikkhu, bila orang yang baik penglihatannya berdiri di tepi kolam, dia akan melihat ikan besar muncul dan berpikir: “Dinilai dari munculnya, dari riak yang disebabkan oleh ikan ini dan dari kecepatannya, ini adalah ikan besar, bukan ikan kecil” -demikian juga, ketika bercakap-cakap dengan seseorang, orang bisa mengenalnya: “Ini adalah orang bijaksana, bukan orang dungu.”
Berdasarkan hal inilah maka dikatakan: “Lewat percakapan maka kebijaksanaan seseorang dapat diketahui.”
Inilah, para bhikkhu, empat fakta tentang seseorang yang dapat diketahui dari empat keadaan di atas.
(IV, 192)
89. Ratu MallikaPada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi, di hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Kemudian Ratu Mallika mendekati Yang Terberkahi, memberikan hormat, dan duduk di satu sisi. Setelah duduk, dia berkata kepada Yang Terberkahi:85
“Yang Mulia, apakah penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini buruk rupa, cacat fisiknya, tidak sedap dipandang mata, dan juga miskin, melarat, sedikit harta kekayaannya, dan kecil pengaruhnya? Dan apakah penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini buruk rupa … tetapi kaya, makmur, banyak harta kekayaannya, dan besar pengaruhnya? Dan apakah penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini cantik, menarik, agung, memiliki kulit yang sangat indah, tetapi miskin … dan kecil pengaruhnya? Dan apakah penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini cantik … dan juga kaya, banyak harta kekayaannya, dan besar pengaruhnya?”
“Di sini, Mallika, sebagian wanita adalah pemberang dan lekas marah. Bila dia dikritik -walaupun hanya sedikit- dia sudah kehilangan ketenangan, menjadi marah dan kacau; dia keras kepala dan memperlihatkan kemarahan, kebencian dan dendam. Juga, dia bukan orang yang memberikan dana kepada petapa atau brahmana – makanan, minuman, pakaian, kendaraan; bunga, wangi-wangian, krim; tempat tidur, tempat tinggal, penerangan. Dia dengki, cemburu, membenci dan iri terhadap keberuntungan, penghormatan, pujian, penghargaan, dan pemujaan yang diberikan kepada orang lain. Ketika dia meninggal dunia dari keadaan itu, jika dia terlahir kembali ke dunia ini, di mana pun dia terlahir dia buruk rupa, cacat fisiknya, tidak sedap dipandang mata, dan juga miskin, melarat, sedikit harta kekayaannya, dan kecil pengaruhnya.
“Kemudian, Mallika, sebagian wanita di sini adalah pemberang dan lekas marah … dan memperlihatkan kemarahan, kebencian dan dendam. Tetapi dia adalah orang yang memberikan dana kepada petapa atau brahmana … Dia tidak dengki, tidak cemburu, tidak membenci dan tidak iri terhadap keberuntungan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pemujaan yang diberikan kepada orang lain. Ketika dia meninggal dunia dari keadaan itu, jika dia terlahir kembali ke dunia ini, di mana pun dia terlahir dia buruk rupa, cacat fisiknya, tidak sedap dipandang mata, tetapi kaya, banyak harta kekayaannya, dan besar pengaruhnya.
“Kemudian, Mallika, sebagian wanita tidak pemberang dan tidak lekas marah. Jika dia dikritik walaupun banyak -dia tidak kehilangan ketenangannya, tidak marah dan kacau; dia tidak keras kepala dan tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian dan dendam. Tetapi dia bukan orang yang memberikan dana kepada petapa atau brahmana … Dia dengki, cemburu, membenci dan iri terhadap keberuntungan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pemujaan yang diberikan kepada orang lain. Ketika dia meninggal dunia dari keadaan itu, jika dia terlahir kembali ke dunia ini, di mana pun dia terlahir dia cantik, menarik, agung, memiliki kulit yang sangat indah, tetapi miskin, melarat, sedikit harta kekayaannya, dan kecil pengaruhnya.
“Kemudian, Mallika, sebagian wanita tidak pemberang dan tidak lekas marah … orang yang tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian dan dendam. Dan dia adalah orang yang memberikan dana kepada petapa atau brahmana … dan dia tidak dengki, tidak cemburu, tidak membenci dan tidak iri terhadap keberuntungan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pemujaan yang diberikan kepada orang lain. Ketika dia meninggal dunia dari keadaan ini, jika dia terlahir kembali ke dunia ini, di mana pun dia terlahir dia cantik, menarik, agung, memiliki kulit yang sangat indah, dan juga kaya, banyak harta kekayaannya, dan besar pengaruhnya.
“Inilah, Mallika, penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini buruk rupa … dan kecil pengaruhnya. Inilah penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini buruk rupa … dan besar pengaruhnya. Inilah penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini cantik … dan kecil pengaruhnya. Inilah penyebab dan alasannya sehingga sebagian wanita di sini cantik … dan besar pengaruhnya.”
Setelah Sang Buddha selesai berbicara, Ratu Mallika berkata: “Saya kira, Yang Mulia, di suatu kehidupan lampau saya pemberang dan lekas marah, dan bila saya dikritik -walau pun hanya sedikit- saya sudah kehilangan ketenangan dan menjadi marah dan kacau; karena itulah saya sekarang buruk rupa, cacat fisik dan tidak sedap dipandang mata. Tetapi, Yang Mulia, saya kira di suatu kehidupan lampau saya memberikan dana kepada petapa atau brahmana; karena itulah sekarang saya kaya, makmur, banyak harta kekayaan. Dan, Yang Mulia, saya kira di suatu kehidupan lampau saya tidak dengki, tidak cemburu, tidak membenci dan tidak iri terhadap keberuntungan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pemujaan yang diberikan kepada orang lain; karena itulah sekarang saya memiliki pengaruh yang besar.
“Yang Mulia, di ruang ini ada wanita-wanita luhur, wanita kasta brahmana, dan keluarga perumah tangga yang berada di bawah perintah saya. Mulai hari ini, Yang Mulia, saya tidak akan menjadi pemberang dan lekas marah, dan bila saya dikritik -walaupun banyak- saya tidak akan kehilangan ketenangan dan menjadi marah dan kacau; saya tidak akan keras kepala atau memperlihatkan kemarahan, kebencian dan dendam. Saya akan memberikan dana kepada petapa atau brahmana – makanan, minuman, pakaian dan kendaraan; bunga, wangi-wangian dan krim; tempat tidur, tempat tinggal dan penerangan. Saya tidak akan dengki, cemburu, membenci dan iri akan keberuntungan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pemujaan yang diberikan kepada orang lain.
“Luar biasa, Yang Mulia! … Biarlah Yang Terberkahi menerima saya sebagai pengikut awam yang telah pergi untuk berlindung sejak hari ini hingga akhir hayat.”
(IV, 197)
90. Empat Jenis KammaPara bhikkhu, empat jenis kamma ini dinyatakan oleh-Ku setelah Aku merealisasikannya melalui pengetahuan langsung. Apakah yang empat itu?
Ada kamma gelap dengan hasil yang gelap; ada kamma terang dengan hasil yang terang; ada kamma gelap dan terang dengan hasil yang gelap dan terang; ada kamma yang tidak terang atau tidak gelap dengan hasil yang tidak gelap atau tidak terang, yang menuju pada hancurnya kamma.
Dan apa, para bhikkhu, kamma gelap dengan hasil yang gelap? Di sini, para bhikkhu, seseorang membangkitkan bentukan niat jasmani, niat berucap atau niat mental yang menyebabkan penderitaan. Setelah melakukannya, dia terlahir kembali di dunia yang menderita. Ketika dia terlahir kembali di dunia yang menderita, kontak-kontak yang menyebabkan penderitaan menyentuhnya. Karena disentuh oleh kontak-kontak yang menyebabkan penderitaan, dia mengalami perasaan yang menimbulkan penderitaan, yang amat menyakitkan, seperti misalnya yang dialami oleh para makhluk di neraka.86 Inilah yang disebut kamma gelap dengan hasil yang gelap.
Dan apa, para bhikkhu, kamma terang dengan hasil yang terang? Di sini, para bhikkhu, seseorang membangkitkan bentukan niat jasmani, niat berucap atau niat mental yang tidak menyebabkan penderitaan. Setelah melakukannya, dia terlahir kembali di dunia yang tidak menderita. Ketika dia terlahir kembali di dunia yang tidak menderita, kontak-kontak yang tidak menyebabkan penderitaan menyentuhnya. Karena disentuh oleh kontak-kontak yang tidak menyebabkan penderitaan, dia mengalami perasaan yang tidak menderita, yang amat menyenangkan, seperti misalnya yang dialami oleh para dewa di Keagungan Yang Cemerlang.87 Inilah yang disebut kamma terang dengan hasil yang terang.
Dan apa, para bhikkhu, kamma gelap dan terang dengan hasil yang gelap dan terang? Di sini, para bhikkhu, seseorang membangkitkan campuran dari bentukan niat jasmani, niat berucap, atau niat mental yang menyebabkan penderitaan dan bentukan niat jasmani, niat berucap atau niat mental yang tidak menyebabkan penderitaan. Setelah melakukannya, dia terlahir kembali di dunia yang menderita dan juga yang tidak menderita. Ketika dia terlahir kembali di dunia seperti itu, kontak-kontak yang menyebabkan penderitaan dan sekaligus yang tidak menyebabkan penderitaan menyentuhnya. Setelah disentuh oleh kontak-kontak seperti itu, dia mengalami perasaan yang menderita dan juga yang tidak menderita, suatu campuran dan kumpulan dari kesenangan dan penderitaan, seperti misalnya yang dialami oleh manusia dan beberapa dewa serta makhluk di alam rendah. Inilah yang disebut kamma gelap dan terang dengan hasil yang gelap dan terang.
Dan apa, para bhikkhu, kamma yang tidak-gelap-pun-tidak-terang, dengan hasil yang tidak-gelap-pun-tidak-terang, yang menuju pada hancurnya kamma? Niat untuk meninggalkan kamma gelap dengan hasil gelap, dan untuk meninggalkan kamma terang dengan hasil terang, dan untuk meninggalkan kamma gelap-dan-terang dengan hasil gelap-dan-terang – inilah yang disebut kamma yang bukan-gelap-pun-bukan-terang dengan hasil yang bukan-gelap-pun-bukan-terang yang menuju pada hancurnya kamma.88
Para bhikkhu, inilah empat jenis kamma yang dinyatakan olehku setelah aku merealisasikannya sendiri lewat pengetahuan langsung.
(IV, 232)
91. Pertumbuhan KebijaksanaanPara bhikkhu, empat hal ini akan menopang pertumbuhan kebijaksanaan. Apakah yang empat itu?
Bergaul dengan orang-orang yang superior, mendengarkan Dhamma dengan baik, perhatian yang tepat, dan praktek yang sesuai dengan Dhamma. Empat hal ini akan menopang pertumbuhan kebijaksanaan.89
Empat hal ini juga merupakan bantuan yang besar bagi makhluk manusia.90
(IV, 246)
Catatan1 “Arus” berarti dunia (samsara) dan keduniawian. Daratan yang kering atau tanah yang aman adalah Nibbana. Kata “brahmana” digunakan di sini dengan pengertian orang yang paling menonjol dalam kemurnian dan kesucian.
2 Dia melanggar Lima Sila.
3 Menurut AA, ini mengacu pada pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali-lagi, (khususnya mereka yang jalan kemajuannya sulit) dan orang-orang luhur yang masih belum terbebas (puthujjana).
4 Bacaan ini mengacu pada yang-tidak-kembali-lagi (anagami) yang wataknya kokoh karena ia memiliki keyakinan yang tak-tergoyahkan dan sifat-sifat kokoh lainnya. Dan karena pikirannya terbebas dari nafsu indera dan kebencian, ia tidak akan kembali lagi dari alam surgawi menuju alam rendah.
5 Sang Buddha di sini mengidentifikasikan brahmana sejati dengan Arahat. Dalam hubungan ini, lihat Dhp 383-423.
6 Ini adalah lima rintangan.
7 Khandhanam udayabbayam. Ini mengggambarkan praktek meditasi pandangan terang mengenai muncul dan lenyapnya lima kelompok khanda; lihat Teks 59 mengenai “konsentrasi yang menuju pada hancurnya noda-noda”.
8 AA mengacukan kejadian ini pada minggu kelima setelah pencerahan Sang Buddha sementara Beliau masih di Buddhagaya. Pohon-Beringin-Penggembala-kambing berada di dekat Pohon Bodhi.
9 Teks yang berhubungan (SN 6:2) menambahkan butir kelima di sini, “pengetahuan dan pandangan pembebasan”, yang diidentifikasikan oleh AA sebagai pengetahuan pengkajian, yaitu pengetahuan yang membuat orang dapat memastikan bahwa pikirannya telah sepenuhnya terbebas.
10 Brahma Sahampati adalah dewa yang muncul di hadapan Sang Buddha di persimpangan yang penting di dalam kehidupan Beliau. Dialah yang pertama memohon pada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma kepada dunia (lihat MN 26 = SN 6:1 = Vin I 5-7), dan dia juga mengucapkan syair berkabung setelah wafatnya Sang Buddha (SN 6:15 = DN 16.6.10). Menurut SN 48:57, pada masa Buddha Kassapa dahulu dia adalah seorang bhikkhu, dan dengan mengembangkan lima kemampuan spiritualnya dia telah menghilangkan nafsu indera dan terlahir di alam Brahma. Pengaturan jubah di satu bahu merupakan tanda penghormatan.
11 Mengenai penunjukan “Tathagata” lihat Bab I, no. 17.
12 Anupadisesaya nibbanadhatuya (tidak terdapat di Ee). “Residu” adalah lima khanda. Ini tetap ada selama Sang Buddha atau Arahat itu masih hidup, dan di dalam hal itu Beliau dikatakan berdiam di dalam “elemen-Nibbana dengan residu yang tersisa”, yaitu hancurnya secara total semua kekotoran batin yang diawali oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin (lihat Teks 32 dan Bab III, no. 28). Setelah kematian fisik, residu terakhir yaitu lima khanda itu ditinggalkan dan dia mencapai elemen-Nibbana tanpa residu yang tersisa’; lihat It 44.
13 Sutta pendek mengenai kesederhanaan dan kepuasan terhadap kehidupan bhikkhu itu sangat populer di zaman dahulu, seperti yang tampak dari komentar yang panjang dan mendetil mengenai hal itu (12 halaman di Be). Selama sejarah awal Buddhisme di Sri Lanka, sutta ini merupakan tema umum untuk khotbah dan bahkan menjadi inspirasi untuk festival tahunan yang populer. Lihat Rahula, hal. 268-73.
14 AA: dia bergembira di dalam mengembangkan empat landasan kewaspadaan, empat usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima kemampuan, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, tujuh perenungan (Vism XX, 4), delapan belas pandangan terang yang agung (Vism XXII,113), tiga puluh tujuh bantuan untuk pencerahan, tiga puluh delapan subjek meditasi, dan dia bergembira di dalam meninggalkan berbagai jenis kekotoran batin, seperti misalnya nafsu indera, dsb.
15 Sakkaya, “kepribadian”, merupakan penamaan kolektif untuk lima kelompok khanda (Lihat Bab III, no. 45). Kata itu berasal dari sat, dalam pengertian “ada”, dan kaya dalam pengertian “massa”, yaitu massa proses-proses fisik dan mental yang tidak kekal dan tanpa suatu diri yang tinggal di dalamnya. Di dalam penjelasan tentang Kebenaran pertama, Sang Buddha menyatakan bahwa lima kelompok khanda itu adalah penderitaan. Ini menyiratkan bahwa “kepribadian” dapat digunakan untuk mewakili Kebenaran pertama, seperti pada penjelasan sekarang ini.
16 AA: siapakah mereka yang diperkecualikan di sini (lewat kata “sebagian besar”)? Dewa-dewa yang merupakan siswa agung. Karena mereka sudah menghancurkan noda-noda, maka rasa takut dan teror tidak muncul di pikiran mereka.
17 AA: jadi ketika Yang Sepenuhnya Tercerahkan mengajarkan Dhamma kepada mereka dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan di dalam lingkaran dumadi yang ditandai dengan tiga ciri (ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri), “rasa takut yang muncul melalui pengetahuan” (ñana-bhaya) menimpa mereka.
18 Makhluk-makhluk “dengan bentuk” itu (rupino) adalah makhluk-makhluk yang memiliki tubuh materi; mereka yang tanpa-bentuk” (arupino) adalah para makhluk dari empat alam tanpa-bentuk, yang tidak memiliki tubuh materi. Para makhluk “tanpa-sadar” (asaññino) adalah sekelompok makhluk di alam bentuk yang tidak memiliki pengalaman kesadaran. Mereka yang “bukan-sadar-pun-bukan-tak-sadar” (nevasaññi-nasaññino) adalah penghuni alam tanpa-bentuk yang keempat. Kata sañña, yang diterjemahkan “persepsi”, di sini menggantikan seluruh kesadaran dan faktor-faktor mental yang mengiringinya.
19 Aggo vipako, yaitu buah terbaik dari kamma bajik.
20 Jalan Mulia Berunsur Delapan terdiri dari delapan faktor mental yang muncul dari penyebab dan kondisi, dan dengan demikian merupakan fenomena “terkondisi” (sankhata). Walaupun Sang Jalan merupakan yang terbaik di antara semua keadaan yang terkondisi, namun karena “terkondisi” maka jalan itu cacat. Ini dikontraskan di bawah dengan Nibbana, yang “tidak terkondisi” (asankhata) dan dengan demikian merupakan yang terbaik dari segala yang ada.
21 Semua istilah ini merupakan sinonim Nibbana, satu-satunya keadaan yang tak terkondisi.
22 Mengenai delapan individu agung, lihat Pendahuluan II (Jilid 1 hal. 37-39) dan Teks 40, 157, 171.
23 Sabbakaraparipurani. Tanda-tanda roda di telapak kaki merupakan salah satu dari tiga puluh dua tanda manusia agung (mahapurisalakkhana) yang dimiliki Sang Buddha (lihat DN 30, MN 91).
24 Pertanyaan brahmana itu menggunakan bhavissati (bentuk kata untuk masa mendatang), tetapi sulit diketahui apakah dia sesungguhnya menujukan pertanyaan itu untuk mengacu pada masa depan Sang Buddha (sebagaimana diperkirakan AA), atau hanya untuk menunjukkan sopan santun. Mungkin ada permainan kata sehingga brahmana itu menggunakan bentuk kata untuk masa mendatang demi sopan santun, sedangkan Sang Buddha sengaja berbicara seolah-olah masa mendatang itulah yang secara harafiah dimaksudkan. AA: “Brahmana itu sebetulnya juga bisa bertanya apakah saat ini beliau adalah dewa, tetapi karena berpikir bahwa Sang Buddha di masa mendatang bisa menjadi raja para dewa yang kuat, dia merumuskan pertanyaannya dengan acuan ke masa mendatang.”
25 Gandhabba: kelompok setengah-dewa yang termasuk di dalam surga Empat Raja Besar, dikatakan sebagai musisi surgawi. Mereka juga berdiam di pohon-pohon dan bunga-bunga dan mendiami lautan. Yakkha adalah makhluk setan yang digambarkan sebagai penghuni hutan dan lereng bukit.
26 Menurut AA, di akhir khotbah Dona mencapai tiga jalan-dan-buah yang pertama, dan menciptakan syair panjang untuk memuji Sang Buddha yang disebut “Guntur Dona” (dona-gajjita). Dia dikatakan identik dengan brahmana Dona yang, setelah wafatnya Sang Buddha, membagikan relik Sang Buddha seperti yang digambarkan di akhir Maha Parinibbana Sutta (DN 16.6.25).
27 AA menerangkan “pengetahuan dan pandangan” (ñanadassana) di sini sebagai mata dewa, kesaktian supranormal penglihatan yang membuat makhluk dapat melihat bentuk dari jauh dan di alam-alam lain, serta juga memahami proses bekerjanya kamma (lihat Teks 41). Praktek awal untuk pencapaian ini membutuhkan pengembangan “persepsi sinar”. Sesudahnya, sinar dari dalam ini kemudian diarahkan ke objek-objek yang jauh dan ke alam-alam lain. Lihat Vism XIII, 72-101.
28 Ini adalah konsentrasi yang dihubungkan dengan meditasi pandangan terang yang diarahkan pada muncul dan lenyapnya lima kelompok khanda. Persepsi tentang kemunculan dan kelenyapan akan membuat jelasnya sifat ketidakkekalan, dan berlandaskan pada ini meditator lalu memahami bahwa apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan dan tanpa-diri. Lihat Vism XX, 93-104.
29 Mengenai “Jalan menuju Pantai Seberang”, lihat Bab III, no. 10. Syair yang dicantumkan di sini adalah Sn. 1048. AA menjelaskan bahwa di akhir sutta Sang Buddha telah membahas tentang konsentrasi Sang Jalan, sedangkan di sini, di syair ini, Beliau menunjukkan pencapaian buah secara meditatif (phalasamapatti).
30 Di baris c kita harus membaca santo (damai) dan bukan sato (waspada) di Ee. Yang disebut pertama didukung oleh Be dan oleh AA juga sebagaimana di Teks Sn. AA menjelaskan: “Damai karena redanya kekotoran batin yang berlawanan; tak berasap karena tidak adanya api kemarahan.”
31 Devaputta: makhluk dewa yang masih muda.
32 Tidak ada perjalanan dunia atau perjalanan ruang angkasa, tidak ada perjalanan panjang melalui segala pengalaman manusia atau dewa, yang dapat menghentikan dunia dengan penderitaannya, yang dapat menghentikan migrasi dan transmigrasi makhluk yang terpanggil lagi dan lagi oleh janji-janji khayalan dari cakrawala yang senantiasa menjauh.
33 Sang Buddha menjelaskan “asal-mula dunia” sebagai penciptaan-kembali eksistensi duniawi yang terus-menerus, melalui nafsu keinginan yang muncul sebagai respon terhadap objek-objek yang menyenangkan pada enam pintu indera. Maka berhentinya dunia, atau pembebasan dari lingkaran eksistensi, harus dicapai dengan cara menghilangkan nafsu keinginan; dalam hubungan ini lihat SN 12:44. Proses dumadi itu sendiri, yaitu lingkaran tumimbal lahir, tidak memiliki awal-mula yang dapat ditemukan, sebagaimana dinyatakan pada Teks 197.
34 Vipallasa: penyelewengan, atau pembelokan, dari realitas. Penyelewengan persepsi (sañña-vipallasa) adalah yang paling mendasar; penyelewengan buah-pikir (citta-vipallasa) memperkenalkan kesan yang lebih bersifat perenungan bagi persepsi yang terselewengkan; dan penyelewengan pandangan (ditthi-vipallasa) mengubah buah-pikir menjadi pandangan yang bersifat pasti. Sebagai perumpamaan: secara spontan seseorang dalam kegelapan memiliki persepsi tentang tali yang melingkar sebagai ular (= penyelewengan persepsi); dia beranggapan bahwa apa yang dilihatnya adalah ular (penyelewengan buah-pikir); dia membentuk pandangan bahwa objek melingkar yang dilihatnya di kegelapan itu adalah ular (= penyelewengan pandangan).
35 Asura adalah makhluk raksasa yang dikatakan tinggal di daerah surga Tavatimsa; mereka senantiasa konflik dengan para dewa (lihat SN 11:1-6; 35; 207). Mereka juga bergembira di lautan; lihat Teks 157. Rahu adalah raja asura yang tinggal di langit, yang secara berkala menculik rembulan dan matahari (lihat SN 2:9,10). Mitos ini menunjukkan interpretasi India kuno tentang gerhana matahari dan rembulan.
36 Dari empat kekotoran batin bagi para petapa, minum minuman keras terlarang bagi para bhikkhu Buddhis di bawah Pacittiya 51; hubungan seksual di bawah Parajika 1; menerima emas dan perak (termasuk juga apa pun yang berfungsi sebagai alat penukar moneter) di bawah Nissaggiya-pacittiya 18. Berbagai macam mata pencaharian salah yang terlarang bagi bhikkhu Buddhis dijelaskan di DN 2; untuk terjemahan bacaan itu, lihat Bhikkhu Bodhi (1989), hal. 35-38.
37 Empat “arus” yang disebutkan di sini juga dikenal sebagai empat faktor pemasuk-arus; “keyakinan yang tak-tergoyahkan” (aveccappasada) adalah keyakinan siswa agung, yang berdasar atas realisasi aktual dari kebenaran Dhamma. Rumusan untuk kumpulan Tiga Permata adalah tetap; istilah-istilah ini dijelaskan menurut metode komentar di Vism VII, 4-100. “Moralitas yang berharga bagi mereka yang agung” (ariyakantani silani) adalah Lima Sila; AA di sini menjelaskannya sebagai moralitas yang dihubungkan dengan jalan-dan-buah yang agung. Lihat Teks 166 yang mirip.
38 Chava secara harafiah adalah mayat. AA mengatakan bahwa orang seperti itu disebut mayat karena dia sudah mati melalui kematian sifat-sifat luhurnya.
39 Nakulapita dan Nakulamata dikatakan umat awam Sang Buddha yang menonjol sehubungan dengan harmoni dan saling percaya mereka (vissasaka). Menurut AA, mereka telah menjadi ayah-ibu dan sanak keluarga Sang Buddha di dalam lebih dari lima ratus kehidupan lampau.
40 Suppavasa dikatakan menonjol di antara umat awam wanita yang menawarkan dana makanan pilihan kepada para bhikkhu. Dia adalah ibu dari arahat Sivali.
41 Anathapindika, bankir penting di Savatthi, adalah pendukung utama Sang Buddha. Banyak khotbah Sang Buddha mengenai nasihat terhadap umat awam diberikan kepadanya.
42 Atthisukha, bhogasukha, ananasukha, anavajjasukha. AA: “Yang pertama adalah kebahagiaan yang muncul karena pemikiran, ‘Ada (atthi, yaitu kekayaan)’; yang kedua adalah kebahagiaan yang muncul di dalam diri orang yang menikmati kekayaan; yang ketiga adalah kebahagiaan yang muncul karena berpikir: ‘Aku tidak punya hutang.’; yang keempat adalah kebahagiaan yang muncul karena berpikir: ‘Aku tidak bersalah, tidak ternoda.’ ”
43 AA: “Dia membagi jenis kebahagiaan menjadi dua bagian – tiga jenis pertama membentuk satu bagian, kebahagiaan karena tidak ternoda merupakan satu bagian sendiri. Kemudian dia melihat dengan kebijaksanaan dan mengetahui bahwa tiga jenis kebahagiaan pertama yang disatukan itu tidak berharga seperenambelas kebahagiaan karena tidak ternoda.”
44 Orang tua dikatakan sama dengan guru-guru kuno dan dewa-dewa kuno (pubbacariya, pubbadevata) karena mereka adalah guru pertama dan pembimbing spiritual pertama bagi anak-anaknya. Mereka yang “pantas dipuja” adalah para suci. Bandingkan Teks 15.
45 Sappurisa; orang yang wataknya baik, orang yang terhormat. Kata ini kadang-kadang walaupun tidak selalu digunakan sebagai sinonim ariya, yang agung, di dalam pengertian teknis. Lihat Teks 106, 165.
46 AA menjelaskan ketenangan pikiran internal (ajjhattam cetosamatha) sebagai konsentrasi penyerapan mental yang penuh (yaitu jhana), dan kebijaksanaan pandangan terang yang lebih tinggi tentang hal-hal (adhipaññadhammavipassana) sebagai pengetahuan pandangan terang yang memahami bentukan-bentukan (sankharapariggahaka-vipassanañana). Yang terakhir ini disebut “kebijaksanaan yang lebih tinggi” dan merupakan pandangan terang dalam “hal-hal” yang dibentuk oleh lima kelompok khanda.
47 “Bentukan-bentukan” (sankhara) merupakan fenomena terkondisi dari lima kelompok khanda: bentuk badan jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan berniat dan kesadaran.
48 Untuk keterangan lebih lanjut tentang bagaimana seorang pengikut awam berpraktek untuk kebaikannya sendiri dan kebaikan orang lain, lihat Teks 159.
49 Mengenai ketekunan (appamada), lihat Bab I, no. 16.
50 Madaniyesu dhammesu. Mada: racun, kesombongan. Di Teks 27 disebutkan kesombongan tentang kemudaan, kesehatan, dan kehidupan seseorang. Vibh 350 (§43-44) berisikan daftar dua puluh tujuh jenis kesombongan yang bersifat tergila-gila, di antaranya: kesombongan kelahiran, klan, keelokan, sukses, ketenaran, kemampuan, keterampilan, moralitas, pencapaian meditatif, dll. Hal keempat tidak terdapat di dalam terjemahan PTS.
51 AA: Arahat diindikasikan di sini.
52 Brahmakayika deva, para dewa yang berdiam di lingkup sesuai dengan jhana pertama, yang berada di alam bentuk. AA menjelaskan bahwa jangka kehidupan merupakan sepertiga kalpa bagi mereka yang mengembangkan jhana pertama sampai ke tingkat rendah; setengah kalpa bagi mereka yang mengembangkannya sampai ke tingkat menengah; dan satu kalpa penuh bagi mereka yang mengembangkannya sampai ke tingkat tinggi. Karena dewa-dewa ini hidup selama satu kalpa penuh, mereka pasti masuk ke kelas terakhir, yang di hirarki kosmik Theravada belakangan disebut para dewa dari alam Mahabrahma. (Lihat Tabel 1 di Jilid 1). Satu kalpa dikatakan lebih lama daripada waktu yang diperlukan manusia untuk mengikis gunung granit padat, yang tingginya enam mil dan kelilingnya enam mil, dengan cara mengusapnya satu kali setiap abad dengan kain muslin yang halus (SN 15:5).
53 Yadidam gatiya upapattiya sati. AA: Inilah perbedaan di antaranya, bahwa sementara makhluk duniawi mungkin pergi ke neraka, dll., siswa agung yang masih berlatih tidak turun ke alam bawah lewat kelahiran kembali melainkan mencapai Nibbana akhir di dumadi bentuk yang sama itu (atau) kemudian di suatu alam Brahma di eksistensi kedua atau ketiga, dll. Makhluk duniawi mungkin pergi ke neraka setelah serentetan kehidupan, tetapi tidak di kehidupan berikutnya. Menurut Abhidhamma, eksistensi di alam-bentuk tidak dapat diikuti langsung oleh kelahiran kembali di alam penderitaan. Karena itu, dewa yang mati dari alam-bentuk mungkin terlahir kembali di alam manusia, dan di situ dia mungkin lalu melakukan perbuatan-perbuatan jahat yang membawa pada kelahiran kembali di alam rendah.
54 Abhassara deva. Ini adalah penghuni alam tertinggi sesuai dengan jhana kedua (juga di alam bentuk). Jangka kehidupannya adalah dua kalpa bagi mereka yang mengembangkan jhana kedua sampai tingkat rendah; empat kalpa bagi mereka yang mengembangkannya sampai tingkat menengah; dan delapan kalpa bagi mereka yang mengembangkannya sampai ke tingkat tinggi. Di skema kosmologis akhir Buddhisme Theravada, jangka kehidupan deva Abhassara adalah tetap delapan kalpa, tetapi di sini teks menunjukkan jangka kehidupan dua kalpa seperti mereka yang terlahir kembali melalui jhana kedua yang rendah.
55 Subhakinha deva. Ini adalah penghuni alam tertinggi yang berhubungan dengan jhana ketiga. Walaupun sutta menyatakan bahwa jangka kehidupan mereka adalah empat kalpa, untuk membuat agar angkanya sesuai dengan tradisi Theravada yang lebih belakangan, AA menjelaskan suatu metode yang menghitung tiga jangka kehidupan sebenarnya mencapai enambelas, tiga puluh dua dan enam puluh empat kalpa.
56 Vehapphala deva. Ini adalah penghuni dari alam surgawi sesuai dengan jhana keempat.
57 AN IV, 125 mengembangkan pola yang persis sama sehubungan dengan mereka yang memperoleh empat brahma-vihara, pencapaian pembebasan pikiran oleh cinta kasih yang berhubungan dengan jhana pertama dan kelahiran kembali di antara para dewa di Kelompok Brahma, dsb. untuk yang lain. AN III, 114 mengembangkan pola dengan tiga pencapaian tanpa-bentuk yang pertama, yang masing-masing membawa pada kelahiran kembali di alam sesuai namanya. Jangka kehidupan di alam-alam ini sesuai dengan yang diterima di kosmologi sistematik Theravada, yang diberikan di Tabel I. Baik AA maupun AT tidak menjelaskan mengapa tidak ada keterangan yang diberikan tentang alam tanpa-bentuk keempat.
58 AA berkata bahwa bhikkhuni ini memanggil YM Ananda karena dia jatuh cinta pada YM Ananda.
59 AA: Memahami keadaan pikiran bhikkhuni ini, Ananda berbicara kepadanya dengan lembut mengenai kekotoran tubuh untuk membebaskannya dari nafsunya.
60 Setughata. Tampaknya ini adalah cara kiasan untuk mengatakan bahwa seorang bhikkhu atau bhikkhuni harus secara total mencabut akar nafsu seksual. Inti khotbah Ananda adalah bahwa bahkan makanan, nafsu keinginan dan kesombongan, yang biasanya merupakan faktor belenggu pun dapat secara terampil dipakai untuk mencapai tingkat arahat; tetapi mengenai nafsu seks, mutlak tidak ada cara terampil apa pun untuk menggunakannya mencapai tujuan kehidupan suci.
61 Formulanya adalah satu dari empat perenungan yang telah diberikan mengenai kebutuhan dasar bhikkhu – jubah, makanan, tempat tinggal dan obat. AA: “Berdasarkan atas masukan makanan materi sekarang ini, yang digunakannya secara bijaksana, dia meninggalkan ‘makanan’ itu, yang memiliki landasan kamma sebelumnya; tetapi kerinduan dan keinginan untuk makanan materi sekarang ini harus ditinggalkan juga.”
62 Tanham nissaya tanham pajahati. AA: “Berdasar atas nafsu keinginan sekarang (yaitu untuk menjadi arahat), dia meninggalkan nafsu keinginan sebelumnya yang telah menjadi akar-penyebab lingkaran tumimbal lahir.” Demikian juga di kasus berikutnya, berdasar atas kesombongannya yang terluka karena mengetahui bahwa ada bhikkhu lain yang telah melampauinya dengan menjadi arahat, dia berjuang mencapai tingkat arahat. Tepatnya, dengan mengatasi kesombongan, dia mencapai tujuannya.
63 Pernyataan pengakuan, dan respon Ananda, merupakan formula pasti; lihat Teks 178 (akhir).
64Anantariyam. AA menjelaskan hal ini sebagai konsentrasi Sang Jalan (maggasamadhi), yang segera diikuti oleh hasilnya (yaitu buah yang sesuai).
65 Samatha-pubbangamam vipassanam. Ini mengacu pada meditator yang menggunakan ketenangan sebagai sarana prakteknya (samatha-yanika), yaitu orang yang pertama-tama mengembangkan konsentrasi akses, jhana-jhana atau pencapaian tanpa-bentuk dan kemudian mengambil meditasi pandangan terang (vipassana).
66 “Sang Jalan” (magga) adalah jalan supra-duniawi pertama, jalan pemasuk-arus. Untuk “mengembangkan jalan itu”, menurut AA, berarti berpraktek untuk pencapaian tiga jalan yang lebih tinggi. Mengenai sepuluh kekotoran batin, lihat Bab III, no. 65-67; tentang tujuh kecenderungan mendasar, lihat Bab I, no. 25.
67 Vipassana-pubbangamam samatham. AA: “Ini mengacu pada orang yang lewat kecenderungan alaminya terlebih dahulu mencapai pandangan terang, dan kemudian, berdasarkan atas pandangan terang, menghasilkan konsentrasi (samadhi).” AT: “Ini adalah orang yang menggunakan pandangan terang sebagai sarana (vipassana-yanika).”
68 Samatha-vipassanam yuganaddham. Di dalam praktek jenis ini, orang memasuki jhana pertama. Kemudian, setelah keluar dari situ, dia menerapkan pandangan terang pada pengalaman itu; yaitu orang melihat bahwa lima kelompok kehidupan di dalam jhana (bentuk, perasaan, persepsi, dll.) itu bersifat tidak kekal, terkena penderitaan dan tanpa-diri. Kemudian dia memasuki jhana kedua dan merenungkannya dengan pandangan terang; dan menerapkan prosedur pasangan seperti itu pada jhana-jhana lain juga, sampai dia dapat merealisasikan jalan pemasuk-arus dll.
69 Dhammuddhacca-viggahitam manasam hoti. Menurut AA, “kegelisahan” (uddhaca) yang dimaksudkan di sini adalah reaksi terhadap munculnya sepuluh “korupsi pandangan terang” (vipassanupakkilesa) ketika mereka secara salah dianggap merupakan indikasi pencapaian-Sang-Jalan. Istilah dhammavitakka, “pemikiran-pemikiran tentang keadaan-keadaan yang lebih tinggi” (lihat Teks 41 dan Bab III no. 70) diambil untuk mengacu pada sepuluh korupsi yang sama itu. Tetapi, ada kemungkinan bahwa “kegelisahan yang disebabkan oleh keadaan-keadaan pikiran yang lebih tinggi” itu adalah tekanan mental yang disebabkan karena keinginan untuk merealisasikan Dhamma, suatu keadaan kecemasan spiritual yang kadang-kadang dapat mempercepat pengalaman pencerahan instan. Sebagai contoh, lihat kisah tentang Bahiya Daruciriya di Ud I, 10.
70 AA: “Ketika ada badan jasmani”: ketika ada “pintu” dari tindakan badani, atau “intimasi jasmani” (dari niat; kayaviññatti). Penjelasan yang sama berlaku pada ucapan; tetapi mengenai pikiran, intimasi tidak berlaku. “Niat badani” (kayasañcetana): niat pada pintu badani yang menemani dan memimpin tindakan badani. Penjelasan serupa berlaku untuk ucapan dan pikiran. Kesenangan muncul sebagai hasil-kamma dari niat yang bajik, penderitaan sebagai hasil dari niat yang tidak bajik.
71 Avijja-paccaya va. AA berkata bahwa kegelapan batin yang berada di akar semua niat kamma ini.
72 Ada kemungkinan bahwa pembagian Abhidhamma tentang kesadaran yang bajik dan tidak bajik menjadi “tanpa ajakan” (asankharika) dan “dengan ajakan” (sasankharika) berasal dari pasangan istilah pertama di bacaan ini. Pembagian lain, yaitu dibagi “menjadi berhubungan dengan pengetahuan” atau “tidak berhubungan dengan pengetahuan”, mungkin berasal dari pasangan kedua.
73 Kebodohan batin merupakan kondisi langsung yang bersamaan bagi aktivitas berkehendak yang tidak bajik, tetapi juga merupakan kondisi tak-langsung bagi aktivitas bajik, karena adanya kebodohan yang mendasari di pikiranlah yang membuat tindakan bajik bisa produktif secara kamma.
74 Ini mengacu pada arahat. Walaupun dia juga terlibat di dalam aktivitas jasmani, ucapan, dan mental, kehendak yang menyebabkan aktivitas-aktivitas ini tidak menghasilkan buah-kamma.
75 Untuk mengetahui lebih banyak tentang tema yang sama, rasa takut terhadap kematian, lihat dua khotbah Sariputta pada umat awam Anathapindika yang sedang sakit di SN 55:26, 27.
76 Uposatha adalah hari praktek Buddhis, yang jatuh setiap dua minggu sekali di bulan purnama dan bulan baru. Bagi para bhikkhu, praktek Uposatha yang diberikan adalah mengulang secara bersama-sama Patimokkha, kode peraturan kebhikkhuan. “Hari Uposatha tanggal limabelas” adalah hari ke-lima-belas pada dua-mingguan kalender bulan. Mengenai praktek Uposatha umat awam, lihat Teks 167 dan Bab VIII, no. 26.
77 Yaitu, suatu pemberian kecil memberikan buah kamma yang besar karena kesucian penerimanya; lihat Teks 33.
78 Lihat Teks 77. AA menjelaskan bahwa bhikkhu ini adalah orang yang telah mencapai tingkat arahat berdasar atas jhana keempat, walaupun sutta itu sendiri tidak memberikan indikasi langsung bahwa dia memang arahat.
79 Empat meditasi yang dijelaskan dikenal sebagai “brahma-vihara“, yaitu “tempat kediaman yang agung”, sehingga bhikkhu yang mencapainya dikatakan telah mencapai status Brahma (brahmappatta). Di tempat lain, pengembangan empat brahma-vihara disebut jalan menuju Kelompok Brahma (lihat DN 13, MN 99, dll.). Lagi, AA menafsirkan arti teks itu bahwa di sini bhikkhu itu adalah orang yang telah mencapai tingkat Arahat berdasarkan atas empat brahma-vihara.
80 Aneñjappatto. Apa yang mengikuti adalah formula pasti untuk empat pencapaian tanpa-bentuk meditatif (aruppa), di mana pikiran menghapus bentuk halus yang berfungsi sebagai objek jhana-jhana demi suatu objek tanpa-bentuk. Secara berurutan, mereka adalah ruang yang tak-terhingga, kesadaran yang tak-terhingga, “ketiadaan” atau tidak adanya objek yang dapat dipahami, dan kesadaran yang mengambil “ketiadaan” sebagai objeknya. Di dalam keadaan terakhir ini, persepsi menjadi begitu halus sehingga kehadirannya tidak dapat dinyatakan atau disangkal; maka ia dikatakan “landasan dari bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi”. Pencapaian tanpa-bentuk itu masih bersifat duniawi (lokiya) dan bukan indikasi perwujudan supra-duniawi, walaupun pencapaian ini dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk pandangan terang yang membawa pada Nibbana (lihat Teks 181). AA berkata bahwa bhikkhu ini adalah orang yang telah mencapai tingkat Arahat berdasar atas meditasi tanpa-bentuk.
81 Idenya adalah bahwa dia berbicara atau berperilaku dengan satu cara secara pribadi (ketika berterus terang) dan dengan cara lain bila berhubungan dengan orang-orang lain (ketika dia memiliki motif tersembunyi).
82 Mengenai delapan kondisi dunia, lihat Teks 153.
83 (1) yatha ummagga, (2) yatha ca abhinihara, (3) yatha ca pañha-samudahara. (1) Terjemahan dari ekspresi yang sulit ini mengikuti AT yang di dalam konteks ini menjelaskannya dengan pañha-gavesana, penyelidikan ke dalam suatu masalah atau pertanyaan, dan menambahkan bahwa itu mengacu pada kemampuan mengetahui bagaimana memeriksa subjek yang diamati (lihat no. 84). (2) AA: pañhabhisankharana-vasena cittassa abhinihara, “penerapan pikiran pada pembentukan (atau formulasi) suatu masalah”. (3) AA: pañha-pucchana, “mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah”; ini mungkin mengacu pada kemampuan untuk mengajukan pertanyaan yang cocok atau untuk melihat masalah.
84 Ummajjamanam, ummaggo. Penggunaan kata-kata di perumpamaan ini yang berarti muncul, bangkit, yang mungkin merupakan kiasan bagi penggunaan istilah itu secara figuratif pada awalnya; lihat catatan sebelumnya.
85 Ratu Mallika adalah permaisuri Raja Pasenadi dari Kosala.
86 Di dalam bacaan ini (dan di catatan di bawah) kami dapat menemukan beberapa penghubung utama dalam perumusan asal-mula yang saling bergantung: bentukan berkehendak menyebabkan kelahiran kembali di alam yang sesuai (yang pada dasarnya merupakan kelompok dari kesadaran dan nama-dan-bentuk), dan begitu kelahiran kembali itu terbentuk, kontak menyebabkan munculnya perasaan. Sutta ini memantapkan bahwa dunia di mana kita muncul, serta kualitas afektif dari pengalaman kita di dalam dunia itu, merefleksikan sifat tindakan-tindakan kita di berbagai eksistensi sebelumnya.
87 Lihat no 55.
88 AN IV, 235 menjelaskan hal ini sebagai pengembangan dari Jalan Mulia Berunsur Delapan dan AN IV, 236 sebagai pengembangan dari tujuh faktor pencerahan. Menurut AA, itu adalah niat yang ada di dalam empat jalan supra-duniawi, yang membawa pada akhir dari lingkaran dumadi.
89 Ini adalah empat faktor pengondisi untuk pencapaian pemasuk-arus (sotapattiyanga).
90 Di dalam Be, ini membentuk khotbah terpisah, yang dijelaskan secara rinci seperti di khotbah sebelumnya. Empat kondisi pemasuk-arus ini perlu dipandang di sini sebagai hal yang bermanfaat dalam mempertahankan status manusiawi sejati.
http://www.samaggi-phala.or.id