Senin, 30 Juli 2012

Anattā dan Nibbāna


Ketanpa-akuan dan Pembebasan

oleh

Nyanaponika Thera

Buddhist Publication Society
Kandy – Sri Lanka

The Wheel Publication No. 11
Pertama kali diterbitkan: 1959
Dicetak ulang: 1971, 1986
by : ariyakumara


Versi bahasa Jerman yang agak berbeda dari esai ini muncul pada tahun 1951 dalam majalah Die Einsicht. Versi bahasa Inggris pertama kali diterbitkan dalam majalah tiga bulanan The Light of Dhamma, Vol. IV, No. 3 (Rangoon 1957) dengan judul “Nibbāna in the Light of the Middle Doctrine”.

Edisi Online BPS © (2008)

Sumber Transkripsi Digital: Proyek Transkripsi BPS

Untuk disebarluaskan secara gratis. Karya ini dapat diterbitkan kembali, diformat ulang, dicetak ulang dan disebarluaskan kembali dalam berbagai media. Namun, penerbitan ulang dan penyebaran ulang tersebut harus dibuat tersedia untuk umum dengan gratis dan tidak terbatas, serta terjemahan dan karya-karya turunan lainnya harus ditandai dengan jelas seperti ini dan BPS harus diakui sebagai penerbit aslinya.

Daftar Isi

PendahuluanI.
Pandangan Ekstrem Nihilistik-NegatifII.
Pandangan Ekstrem Positif-MetafisikIII.
Melampaui Pandangan-Pandangan Ekstrem

Pendahuluan

Dunia ini, Kaccāna, biasanya bersandar pada dualitas :
atas (kepercayaan terhadap) keberadaan atau ketiadaan....
Menghindari kedua ekstrem ini, Sang Tathāgata menunjukkan ajaran tengah :
Bergantung pada ketidaktahuan, muncul bentuk-bentuk karma.... Dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentuk-bentuk karma lenyap.... (SN 12:15)

Perkataan Sang Buddha di atas menyatakan dualitas keberadaan (atthitā) dan ketiadaan (natthitā). Kedua istilah ini menunjuk pada ajaran eternalisme (sassata-diṭṭhi) dan annihilasionisme (uccheda-diṭṭhi), konsep salah mendasar atas kenyataan yang dalam berbagai bentuk berulang-ulang muncul kembali dalam sejarah pemikiran manusia.

Eternalisme adalah kepercayaan terhadap substansi atau entitas kekal, apakah dipahami sebagai sejumlah banyak jiwa atau diri individual, yang diciptakan atau tidak, sebagai sebuah roh dunia yang tunggal, satu sosok dewa dalam berbagai penggambaran, atau kombinasi dari beberapa pandangan ini. Annihilisionisme, pada sisi lain, menyatakan keberadaan sementara atas diri atau personalitas, yang sepenuhnya dihancurkan atau lenyap setelah kematian. Oleh karena itu, dua kata kunci dari teks yang dikutip di atas menunjuk pada
(1) keberadaan yang mutlak, yaitu yang kekal atas substansi atau entitas yang diasumsikan, dan
(2) kebinasaan yang tertinggi, mutlak atas entitas terpisah yang dianggap tidak kekal, yaitu ketiadaan mereka setelah akhir masa kehidupan. Kedua pandangan ekstrem bertahan dan gagal dengan anggapan terhadap sesuatu yang tetap baik dari sifat yang kekal atau tidak kekal. Keduanya akan kehilangan landasan sepenuhnya jika kehidupan dilihat dari sifat sejatinya, sebagai aliran yang berkelanjutan dari proses fisik dan mental yang timbul dari kondisi yang sesuai, sebuah proses yang akan lenyap hanya ketika kondisi-kondisi ini dihilangkan. Ini akan menjelaskan mengapa teks di atas memperkenalkan rumusan awal mula yang saling bergantungan (paicca-samuppāda), dan kebalikannya, kelenyapan yang saling bergantungan.

Awal mula yang saling bergantungan, yang merupakan proses yang tidak terputus, tidak memasukkan gagasan atas ketiadaan mutlak, atau kekosongan, yang mengakhiri keberadaan individual; istilah kata sifat “saling bergantungan” menunjukkan bahwa juga tidak ada keberadaan yang mutlak, berdiri sendiri, tidak ada keberadaan sejati yang tetap, namun hanya kemunculan fenomena yang segera lenyap yang bergantung pada kondisi yang juga segera lenyap.

Kelenyapan yang saling bergantungan tidak memasukkan kepercayaan atas keberadaan yang mutlak dan permanen. Ia juga menunjukkan bahwa tidak ada kemerosotan yang otomatis ke dalam ketiadaan, karena lenyapnya keberadaan yang relatif juga terjadi secara berkondisi.

Dengan demikian ajaran awal mula yang saling bergantungan dan kelenyapan yang saling bergantungan merupakan ajaran tengah yang sejati, melampaui ekstrem keberadaan dan ketiadaan.

Namun berpikir dengan cara konseptual yang bertentangan seperti dalam pandangan keberadaan dan ketiadaan telah menggenggam kuat pada manusia. Genggaman itu sangat kuat karena cara pikir ini terus-menerus dipupuk oleh beberapa akar kuat yang tertanam dalam pada pikiran manusia. Yang terkuat dari mereka adalah gagasan praktis dan teoritis atas keakuan atau diri. Ini adalah keinginan kuat untuk pertahanan dan pelestarian personalitas, atau versi yang halus atas hal ini, yang berdiam di belakang semua kepercayaan eternalistik yang beranekaragam. Tetapi bahkan pada orang-orang yang telah membuang keyakinan atau ajaran eternalistik, kepercayaan naluriah atas keunikan dan pentingnya kepribadian mereka tertentu masih sedemikian kuat hingga mereka menganggap kematian, akhir dari kepribadian, berarti kemusnahan total atau ketiadaan. Dengan demikian kepercayaan terhadap diri bertanggung jawab tidak hanya untuk pandangan eternalisme, tetapi juga untuk annihilasionisme, baik dalam bentuk tidak filsofis yang umum yang menganggap kematian sebagai akhir segalanya atau dalam ajaran materialistik yang menguraikan hal yang sama.

Terdapat akar penyebab lain dari gagasan keberadaan dan ketiadaan ini yang berhubungan erat dengan akar utama kepercayaan akan diri. Sebagai contoh, terdapat akar linguistik yang menyusun struktur dasar bahasa (subjek dan predikat, kata benda dan kata sifat) dan kecenderungannya untuk menyederhanakan kalimat persetujuan dan penyangkalan untuk kepentingan kemudahan komunikasi dan orientasi. Ciri struktural dari bahasa dan kebiasaan berbahasa dari kalimat-kalimat yang disederhanakan telah mengakibatkan pengaruh yang halus tetapi kuat pada cara berpikir kita, menyebabkan kita cenderung menganggap bahwa “pasti terdapat sesuatu jika terdapat kata untuk hal tersebut.”

Pandangan satu sisi ini dapat juga timbul dari alasan emosional, sifat dasar terhadap kehidupan yang berlebihan. Ini dapat mencerminkan suasana hati yang optimis dan pesimis, harapan dan keputusasaan, keinginan untuk merasa aman melalui dukungan metafisik, atau keinginan untuk hidup tanpa kekangan dalam semesta yang dibayangkan secara materialistik.Pandangan teoritis atas eternalisme dan annahilasionisme yang dianut oleh seseorang dapat berubah selama masa hidupnya, bersamaan dengan kebutuhan suasana hati atau emosi yang berhubungan.

Terdapat juga akar intelektual : kecenderungan pikiran yang spekulatif dan teoritis. Beberapa pemikir, orang-orang dengan watak berteori (diṭṭhicarita) dalam psikologi Buddhis, cenderung membuat sistem filosofi yang panjang lebar yang beranekaragam di mana, dengan kecerdasan yang luar biasa, mereka bermain satu sama lain dengan pasangan lawan konseptual. Kepuasan besar ini memberikan mereka ikut serta dalam kontruksi pikiran yang demikian lebih jauh memperkuat ketaatan mereka pada pandangan ini.

Dari kata-kata singkat ini, seseorang akan dapat menghargai kekuatan dan perbedaan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan orang berpikir, merasakan dan mengatakan dalam cara yang bertentangan ini: keberadaan mutlak atau ketiadaan mutlak. Demikianlah Sang Buddha memiliki alasan yang bagus karena mengatakan, dalam bacaan pendahuluan kita, bahwa orang-orang biasanya bersandar pada dualitas. Kita tidak perlu terkejut bahwa bahkan Nibbāna, tujuan pembebasan Buddhis, telah dengan salah diartikan dalam pengertian ekstrem ini. Namun konsep kaku keberadaan dan ketiadaan tidak dapat bersifat adil pada sifat kenyataan yang berubah-ubah. Kurang tepat juga mereka diterapkan pada Nibbāna, yang dinyatakan Sang Buddha sebagai di atas duniawi (lokuttara) dan di luar pemikiran konseptual (attakkāvacara).

Pada masa modern ini, ketika pengetahuan tentang ajaran Buddhis baru mencapai Barat, kebanyakan penulis dan sarjana (dengan beberapa pengecualian seperti Schopenhauer dan Max Müller) menganggap Nibbāna sebagai murni dan hanya ketiadaan. Akibatnya, penulis Barat dengan terlalu mudah menjelaskan Buddhisme sebagai ajaran nihilistik yang mengajarkan annihilasi sebagai tujuan tertingginya, sebuah pandangan yang dianggap para penulis ini sebagai samar-samar secara filosofis dan tercela secara moral. Pernyataan yang sama masih kadangkala muncul dalam literatur non-Buddhis yang menimbulkan prasangka. Tanggapan yang berlawanan atas pandangan ini adalah konsep Nibbāna sebagai keberadaan. Ini sekarang diartikan dalam titik terang pandangan filosofis dan agama yang sudah familiar sebagai sesuatu yang murni, kesadaran murni, diri yang murni, atau beberapa konsep metafisik lainnya.

Tetapi bahkan pemikiran Buddhis tidak dapat selalu menjelaskan penafsiran yang tidak seimbang atas Nibbāna. Ini terjadi bahkan pada zaman awal: aliran Sautrāntika memiliki pandangan yang agak nihilistik atas Nibbāna sementara konsep Mahāyānistik atas tanah Buddha (Buddhaktra), Buddha awal mula (Ādi-Buddha), Tathāgatagarbha, dst, cenderung pada penafsiran yang positif-metafisik.

Oleh sebab itu, tidak mengejutkan bahwa penulis Buddhis modern juga kadangkala mendukung pandangan ekstrem ini. Namun, di negeri-negeri Buddhis di Timur sekarang tidak ada aliran Buddhis yang diketahui penulis yang cenderung pada penafsiran Nibbāna yang nihilistik. Bertentangan dengan pendapat yang salah, yang disuarakan terutama oleh para penulis Barat yang tidak tahu atau menimbulkan prasangka, Buddhisme Theravada sepenuhnya menolak pandangan bahwa Nibbāna hanyalah kelenyapan. Pernyataan ini akan diperkuat dengan fakta-fakta pada bagian pertama uraian ini.

Terhadap alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, adalah tidak mudah untuk memisahkan dengan jelas kedua pandangan keberadaan dan ketiadaan yang berlawanan tersebut, dan untuk menjaga tetap mendekati jalan tengah yang ditunjukkan Sang Buddha, ajaran awal mula yang saling bergantungan dan kelenyapan yang saling bergantungan. Hingga cara berpikir yang sesuai dengan batas kondisionalitas telah sepenuhnya diserap dalam pikiran, perhatian terus-menerus akan dibutuhkan untuk menghindari tergelincir secara tak sadar ke dalam salah satu pandangan eternalisme dan annihilasionisme, atau mendekati keduanya. Ketika membahas pertanyaan-pertanyaan ini, terdapat bahaya yang seseorang akan bawa melalui argumennya dan membalas salah satu ekstrem dengan menganut lawannya. Oleh sebab itu, dalam perlakuan terhadap masalah tersebut, kehati-hatian ekstra dan otokritik diperlukan agar seseorang tidak kehilangan penglihatan atas jalan tengah.

Tujuan utama risalah ini adalah untuk memberikan bahan materi guna membatasi dengan jelas ajaran Sang Buddha tentang Nibbāna dari kedua penafsiran salah tersebut. Maksudnya tidak untuk mendorong spekulasi tentang sifat Nibbāna, yang akan sia-sia dan bahkan dapat merusak perjuangan untuk mencapainya. Teks kanon yang menjelaskan Empat Kebenaran Mulia mengatakan bahwa Nibbāna, kebenaran yang ketiga, adalah untuk direalisasikan (sacchikātabba); ia bukan untuk dipahami (seperti kebenaran pertama), ataupun untuk dikembangkan (seperti kebenaran keempat). Kita juga harus menekankan bahwa bahan-bahan materi yang dikemukakan di sini tidak seharusnya digunakan dalam sikap satu sisi sebagai sebuah argumen untuk menuju pada salah satu pandangan ekstrem melawan yang lainnya. Masing-masing dari kedua bagian dalam risalah ini membutuhkan yang lainnya untuk kualifikasi dan kelengkapannya. Diharapkan materi dari sumber kanonik dan komentar yang dikumpulkan dalam halaman-halaman ini, dengan menjelaskan posisi Theravada, sedikitnya akan mengurangi titik pertentangan antara penafsiran-penafsiran yang berlawanan.

I. Pandangan Ekstrem Nihilistik-Negatif

Bagian 1

Kita akan menimbang karya utama literatur post-kanonik Theravada, Jalan Penyucian (Visuddhimagga), yang disusun pada abad ke-5 M oleh komentator besar, Bhadantācariya Buddhaghosa. Karya bernilai tinggi ini memoles uraian yang sistematik dan komprehensif tentang ajaran utama Buddhis. Ia diturunkan dari Kanon Pali dan literatur komentar kuno yang sebagian menggabungkan bahan-bahan yang mungkin berasal dari masa awal ajaran.

Dalam karya ini, pada Bab XVI tentang Kemampuan dan Kebenaran, dalam bagian yang berhubungan dengan kebenaran mulia ketiga, kita menemukan uraian yang panjang tentang Nibbāna. Menyolok bahwa bagian polemik darinya secara khusus ditujukan pada apa yang kita sebut “pandangan ekstrem nihilistik-negatif” dalam penafsiran atas Nibbāna. Kita tidak dapat memastikan tentang alasan atas pembatasan itu, karena tidak ada penyataan eksplisit yang diberikan. Namun, mungkin Yang Mulia Buddhaghosa (atau mungkin bahan tradisional yang ia gunakan) sedang tajam mendiskusikan pandangan Theravada atas pokok bahasan itu yang berbeda dari aliran sezaman yang terkenal, Sautrāntika, yang dalam hal-hal lain mendekati pada sudut pandangan umum Theravada. Sautrāntika termasuk pada kelompok aliran yang kita anggap seharusnya disebut Sāvakayāna, yang menurut pengelompokan Mahāyānis awal dimasukkan dalam istilah yang merendahkan “Hīnayāna”. Para Theravadin jelas tidak mau dimasukkan dalam tuduhan nihilisme yang dimunculkan Mahāyānis terhadap Sautrāntika. Ini mungkin menjadi alasan eksternal penekanan Visuddhimagga atas penolakan konsep nihilistik tentang Nibbāna.

Sementara untuk pandangan positif-metafisik, Yang Mulia Buddhaghosa mungkin berpikir cukup dibahas oleh berbagai bacaan dalam Visuddhimagga yang berhubungan dengan penolakan terhadap pandangan kekekalan dan terhadap diri yang terpisah. Namun itu mungkin juga, bahkan Buddhisme saat ini, dan Therada pada khususnya, sangat sering dituduh dengan salah sebagai nihilisme. Itulah sebabnya tepat untuk menyingkatkan di sini argumen yang ditemukan dalam Visuddhimagga, yang diikuti (di Bagian 2) dengan tambahan dari komentar atas karya ini[1]. Banyak bacaan dari sutta-sutta yang relevan untuk menolak nihilisme dikutip dalam kedua petikan ini, untuk membuatnya tidak dibutuhkan untuk membahas mereka secara terpisah.

Dalam bab Visuddhimagga yang disebut di atas, argumen itu sendiri didahulukan dengan sebuah definisi tentang Nibbāna. Definisi ini menggunakan tiga kategori yang biasanya digunakan dalam literatur komentar untuk keperluan penjelasan:Nibbāna memiliki kedamaian sebagai cirinya. Fungsinya bukan untuk lenyap; atau fungsinya adalah untuk menenangkan. Ia ditunjukkan sebagai tanpa tanda [tanpa “tanda-tanda”, atau ciri-ciri, dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin]; atau ia ditunjukkan sebagai tanpa pembedaan.Dalam argumen itu sendiri, Yang Mulia Buddhaghosa pertama-tama menolak pandangan bahwa Nibbāna itu yang tidak ada, dengan mengasumsikan ia pasti ada karena dapat direalisasikan dengan menjalankan sang jalan. Namun, lawan diskusinya, sementara menerima Nibbāna itu bukan yang tidak ada, masih bersikeras dalam pengertian yang negatif atas sifat Nibbāna. Ia berargumen pertama bahwa Nibbāna seharusnya dipahami semata-mata sebagai ketiadaan semua faktor keberadaan, yaitu lima kelompok kehidupan. Buddhaghosa menentang hal ini dengan menjawab bahwa Nibbāna dapat dicapai selama masa kehidupan seseorang, ketika kelompok kehidupannya masih ada. Lawan diskusi tersebut kemudian mengemukakan bahwa Nibbāna terjadi hanya dalam penghancuran semua kekotoran batin, dengan mengutip dukungan atas hal ini dari bacaan sutta: “Itu, sahabat, adalah pelenyapan keserakahan, kebencian dan kebodohan batin itulah Nibbāna” (SN 38:1). Buddhaghosa menolak pandangan ini juga, dengan menunjukkan bahwa itu membawa pada akibat-akibat tertentu yang tidak diinginkan: itu akan membuat Nibbāna bersifat sementara, karena pelenyapan kekotoran batin adalah kejadian yang terjadi dalam waktu; dan ini membuat Nibbāna berkondisi, karena pelenyapan kekotoran batin yang sebenarnya terjadi melalui kondisi. Ia menunjukkan bahwa Nibbāna disebut pelenyapan keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dalam pengertian kiasan: karena realitas tidak berkondisi, Nibbāna, merupakan landasan atau pendukung untuk pelenyapan sepenuhnya kekotoran-kekotoran batin ini.

Yang Mulia Buddhaghosa kemudian membahas istilah negatif yang digunakan Sang Buddha untuk menggambarkan Nibbāna. Ia menjelaskan bahwa istilah demikian digunakan karena sifat Nibbāna yang sangat mendalam. Lawan diskusinya berargumentasi bahwa karena Nibbāna dicapai dengan mengikuti sang jalan, ia tidak mungkin tidak tercipta. Buddhaghosa menjawab bahwa Nibbāna hanya dicapai melalui sang jalan, tetapi bukan dihasilkan dari jalan tersebut; dengan demikian ia tidak tercipta, tanpa awal, dan bebas dari usia tua dan kematian. Ia lalu melanjutkan membahas sifat Nibbāna secara lebih eksplisit:... Tujuan Sang Buddha itu satu dan tidak jamak. Tetapi (tujuan yang tunggal, Nibbāna) ini pertama disebut “dengan hasil kemelekatan masa lampau yang tersisa” (sa-upādisesa) karena ia dibuat diketahui bersama-sama dengan kemelekatan (kelompok kehidupan yang dihasilkan dari masa lampau) masih tersisa (selama kehidupan Arahat tersebut), yang dengan demikian dibuat diketahui dalam istilah penenangan dari kekotoran batin dan sisa-sisa kemelekatan (hasil dari masa lampau) yang muncul dalam seseorang yang telah mencapainya dengan pengembangan batin. Tetapi yang kedua, ia disebut “tanpa hasil kemelekatan masa lampau yang tersisa” (anupādisesa) karena setelah kesadaran terakhir sang Arahat, yang telah melepaskan kemunculan (kelompok kehidupan masa yang akan datang) dan dengan demikian mencegah kamma memberikan hasil pada (kehidupan) masa mendatang, tidak ada kemunculan kelompok kehidupan lagi, dan kelompok kehidupan yang telah muncul telah lenyap. Jadi kemelekatan (hasil dari masa lampau) yang tersisa itu tidak ada, dan adalah dalam istilah ketiadaan ini, dalam pengertian bahwa “tidak ada kemelekatan (hasil dari masa lampau) yang tersisa di sini” itulah, (tujuan yang sama) itu disebut “tanpa hasil kemelekatan masa lampau yang tersisa.” (Lihat It 44)

Karena ia dapat digapai dengan pembedaan atas pengetahuan yang berhasil melalui ketekunan yang tidak kenal lelah[2], dan karena inilah kata-kata Yang Mengetahui Segalanya[3], Nibbāna bukan yang tidak ada berkenaan dengan sifatnya dalam pengertian tertinggi (paramatthena nāvijjamāna sabhāvato nibbāna); karena itulah dikatakan :
“Para bhikkhu, terdapat yang tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak diciptakan, tidak dibentuk.”
(Ud 73; It 45)

Bagian 2

Mengambil kutipan terakhir di atas, komentar Visuddhimagga (Paramatthamañjūsā)[4], yang ditulis oleh Ācariya Dhammapāla (abad ke-6) mengatakan:Dalam kata-kata ini Sang Guru menyatakan keberadaan sejati Nibbāna dalam pengertian tertinggi.* Tetapi Beliau tidak menyatakannya semata-mata sebagai ajaran-Nya [yaitu sebagai dogma yang harus dipercaya begitu saja], dengan mengatakan “Akulah Guru dan Ahli Dhamma”; tetapi, demi belas kasih terhadap mereka yang pengertian intelektualnya adalah yang tertinggi yang dapat dicapai, Beliau juga menyatakannya sebagai kesimpulan yang masuk akal dalam kelanjutan dari bacaan yang dikutip di atas (Udāna 73): “Jika, para bhikkhu, tidak ada yang tidak dilahirkan kembali, dst, jalan keluar dari apa yang dilahirkan, dst, tidak dapat diketahui. Tetapi karena, para bhikkhu, terdapat yang tidak dilahirkan, dst, jalan keluar dari apa yang dilahirkan, dst, dapat diketahui.”

Inilah maknanya: jika unsur yang tidak diciptakan (Nibbāna), yang memiliki sifat tidak dilahirkan, dst, tidak ada, tidak ada jalan keluar dari yang diciptakan atau yang berkondisi, yaitu lima kelompok kehidupan, yang dapat diketahui di dunia ini; akhir kemunculan mereka untuk berhenti (yaitu pelenyapannya) tidak dapat diketahui, tidak dapat ditemukan atau dipahami, tidak akan mungkin. Tetapi jika pengertian benar dan tujuh faktor jalan lainnya, masing-masing menjalankan fungsinya, mengambil Nibbāna sebagai objek, maka mereka akan sepenuhnya menghancurkan kekotoran batin. Oleh karena itu seseorang dapat mengetahui di sini pembebasan, jalan keluar dari penderitaan kehidupan sepenuhnya.

Sekarang, dalam pengertian tertinggi keberadaan unsur Nibbāna telah ditunjukkan oleh Sang Buddha, yang berbelas kasih terhadap seluruh dunia, dalam banyak bacaan sutta, seperti “Dhamma yang tidak berkondisi”, “Dhamma yang tidak tercipta”, (lihat Dhammasagaī, Abhidhamma Piaka); “Para bhikkhu, terdapat landasan (āyatana) di mana tidak ada tanah...” (Udāna 71); “Ini adalah keadaan yang sulit dilihat, yang dapat dikatakan, penenangan semua bentukan, pelepasan semua unsur kemenjadian” (DN 14; MN 26); “Para bhikkhu, aku akan mengajarkan kalian yang tidak terbentuk dan jalan menuju yang tidak terbentuk” (SN 43:12) dan lain sebagainya; dan dalam sutta ini “Para bhikkhu, terdapat yang tidak dilahirkan...” (Udāna 73)...

Kata-kata “Para bhikkhu, terdapat yang tidak dilahirkan, yang tidak diciptakan, yang tidak dibentuk” dan seterusnya, yang menunjukkan keberadaan Nibbāna dalam pengertian tertinggi, tidak menyesatkan karena mereka dikatakan oleh Yang Mengetahui Segalanya, seperti perkataan “Semua bentukan adalah tidak kekal, semua bentukan adalah tidak menyenangkan, semua dhamma (keadaan) adalah bukan diri.” (Dhp vv. 277-79; AN 3:134, dst)

*Jika Nibbāna semata-mata yang tidak ada, ia tidak dapat digambarkan dalam istilah seperti “halus [mendalam, sulit untuk dilihat, sulit untuk dipahami, damai, mulia, tidak dapat dipahami oleh akal, halus, dapat diketahui oleh para bijaksana]”, dst; atau sebagai “yang tidak terbentuk, [yang tanpa kekotoran, pantai yang lain, sejati]”, dst[5]; atau sebagai “netral secara kamma, tanpa kondisi, tidak termasuk [dalam tiga alam kehidupan]”, dst[6].

Bagian 3

Referensi pada teks-teks sutta, yang dikutip dalam kutipan dari Visuddhimagga dan komentarnya, membuatnya jelas bahwa Sang Buddha menyatakan Nibbāna merupakan entitas yang dapat dicapai dan tidak dianggap hanya sebagai pemusnahan atau kelenyapan. Semua pernyataan yang dirumuskan secara negatif tentang Nibbāna seharusnya dipahami dalam titik terang bacaan sutta yang dikutipkan di sini, dan tidak diinterpretasikan bertentangan dengan teks-teks ini. Interpretasi yang dipaksakan atau terlalu jauh atas teks-teks ini akan bertentangan dengan cara pemaparan Sang Buddha yang langsung.

Jika kita telah menyebutkan di atas Nibbāna sebagai “entitas”, ini seharusnya dianggap hanya sebagai label kata yang bertujuan untuk tidak memasukkan “ketiadaan”. Ini dipakai dalam pengertian sama yang terbatas atas kebiasaan berbahasa seperti kata-kata penegasan dalam Udāna: “Terdapat yang tidak dilahirkan...”; “Terdapat landasan di mana tidak ada tanah....” Ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan makna “keberadaan” dalam pengertian biasa, yang seharusnya dibatasi pada “lima kelompok kehidupan atau salah satu dari mereka.” Nibbāna tidak dapat dijelaskan dalam pengertian yang sangat terbatas (avacanīya).

Kutipan kita dari karya yang diakui seperti Visuddhimagga menunjukkan betapa tradisi Theravada dengan tegas menolak konsep nihilistik atas tujuan tertingginya, Nibbāna. Kenyataan ini mungkin membantu menghilangkan satu poin kontroversi di antara para penulis modern dan aliran-aliran Buddhis: prasangka bahwa Theravada, atau bahkan kanon Pali, mendorong “annihilasi” sebagai tujuan tertingginya.

Namun, terdapat beberapa poin perbedaan dasar lainnya dalam penafsiran terhadap Buddhisme, dan kanon Pali khususnya, yang juga sangat dekat dengan konsep Nibbāna. Ini adalah pertanyaan atas jangkauan validitas, atau penerapan, dari ajaran Anattā, yaitu ajaran tanpa diri. Ajaran ini, yang kita pertahankan, berlaku tidak hanya pada dunia fenomena yang berkondisi, tetapi juga pada Nibbāna. Sejauh penolakan penerapannya pada yang terakhir jatuh di bawah bagian dari “pandangan ekstrem positif-metafisik”, ini akan dibahas pada bagian berikut ini.

II. Pandangan Ekstrem Positif-Metafisik

Bagian 4

Di India, sebuah negeri yang sangat religius dan sangat kreatif dalam filosofi, jauh lebih besar bahaya terhadap pelestarian sifat Dhamma sebagai sebuah “jalan tengah” datang dari pandangan ekstrem lain. Ini terdiri atas mengidentifikasikan, atau menghubungkan, konsep Nibbāna dengan salah satu dari banyak sekali gagasan teistik, panteistik atau gagasan spekulatif lainnya dari jenis pandangan positif-metafisik, terutama dengan berbagai konsepsi atas sebuah diri yang kekal.

Menurut analisis penetratif dalam Brahmajāla Sutta (DN 1), semua pandangan metafisik dan teologis yang berbeda-beda tentang sifat diri, dunia dan dasar ketuhanan di mana mereka berasal, timbul dari salah satu dari dua sumber: (1) dari pengalaman meditatif yang terbatas dan disalahtafsirkan (di mana kita juga dapat memasukkan wahyu, ilham kenabian yang dianggap benar, dst), dan (2) dari penalaran kosong (filosofi dan teologi spekulatif). Namun di balik semua gagasan metafisik dan teologis, terdapat mesin tenun, sebagai kekuatan yang menggerakkan, dorongan yang kuat dalam diri manusia untuk melestarikan, dalam beberapa cara, kepercayaannya terhadap suatu personalitas yang kekal di mana ia dapat menanamkan semua kerinduan atas keabadian, keamanan dan kebahagiaan kekal. Oleh sebab itu, tidak mengejutkan bahwa sejumlah orang yang menafsirkan agama Buddha saat ini, mungkin melalui kekuatan dorongan yang kuat, naluriah atas pelestarian diri dan pengaruh pandangan-pandangan yang lama diharapkan dan banyak dianut, menyokong sebuah penafsiran positif-metafisik atas Nibbāna dan Anattā. Beberapa dari orang-orang ini sungguh-sungguh mempercayai diri mereka adalah Buddhis yang benar, dan memiliki ketaatan yang tulus terhadap Sang Buddha dan sebuah penghargaan yang tepat terhadap aspek lain dari ajaran-Nya. Kita sekarang akan membahas pandangan-pandangan ini.

Dalam semangat jalan tengah, sanggahan terhadap pandangan ekstrem positif-metafisik berikut ini juga dimaksudkan untuk menjaga berbagai kesimpulan metafisik yang dapat secara salah diambil dari penolakan kami terhadap nihilisme pada bagian pertama tulisan ini. Sebaliknya, bagian pertama dapat berfungsi untuk melawan suatu “reaksi defensif" yang berlebihan terhadap pandangan metafisik yang dibahas saat ini.

Pandangan ekstrem positif-metafisik dalam penafsiran terhadap Nibbāna terdiri atas identifikasi, atau asosiasi metafisik, atas suatu diri (attā) yang disempurnakan atau disucikan dengan apa, dalam konteks pandangan masing-masing, yang dianggap sebagai Nibbāna. Dua jenis utama pandangan metafisik dapat dibedakan, seperti yang sudah dinyatakan dalam paragraf sebelumnya.

(1) Anggapan suatu prinsip yang universal dan tunggal (tidak mendua dan tidak jamak) di mana suatu diri yang disucikan, seseorang yang dianggap terbebaskan dari personalitas empiris, baik itu menyatu, atau diangap pada dasarnya satu. Pandangan-pandangan ini berbeda dalam detailnya, berdasarkan apakah mereka dipengaruhi baik oleh Teosofi, Vedānta atau Mahāyāna (yang terakhir, dengan tingkat pembenaran yang bervariasi).[7]

(2) Anggapan bahwa “diri-diri” para Arahat yang di luar pemahaman biasa, bebas dari kelompok kehidupan, memasuki Nibbāna, yang dianggap sebagai “rumah abadi” mereka dan sebagai “satu-satunya keadaan yang memadai bagi mereka”. Nibbāna sendiri diterima sebagai tanpa diri (anattā), sedangkan para orang suci (Arahat) dianggap mempertahankan “di Nibbāna” semacam individualitas, dalam suatu cara yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat dipahami. Pandangan ini, berdasarkan pengetahuan kami, disokong sedemikian rupa hanya oleh penulis Jerman Gerog Grimm dan pengikutnya.

Bagian 5

(a) Umumnya pada kedua pandangan terdapat anggapan suatu diri yang kekal yang dianggap ada di luar lima kelompok kehidupan yang membentuk personalitas dan keberadaan secara keseluruhan. Anggapan bahwa Sang Buddha seharusnya mengajarkan sesuatu seperti itu yang dengan jelas dan cukup disanggah oleh pernyataan tunggal berikut ini:

Siapa pun pertapa atau brāhmana yang menganggap bermacam-macam (hal atau gagasan) sebagai diri, semuanya mengganggap lima kelompok kehidupan (sebagai diri) atau salah satu dari darinya. (SN 22:47)

Kutipan tekstual ini juga mengecualikan penafsiran yang salah atas rumusan standar ajaran Anattā: “Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku”. Beberapa penulis meyakini bahwa rumusan ini membenarkan kesimpulan bahwa Sang Buddha menganggap suatu diri ada di luar, atau melampaui, lima kelompok kehidupan yang biasanya ditunjukkan oleh rumusan tersebut. Pengambilan kesimpulan yang salah ini disanggah oleh pernyataan Sang Buddha yang dikutip di atas yang dengan jelas mengatakan bahwa semua konsepsi bermacam-macam tentang suatu diri dapat memiliki referensi hanya pada lima kelompok kehidupan apakah secara bersama-sama ataupun satu-satu. Bagaimana mungkin gagasan apa pun tentang suatu diri atau personalitas dapat dibentuk, jika bukan dari bahan kelima kelompok kehidupan dan dari kesalahpahaman tentang mereka? Pada hal lain apa gagasan tentang suatu diri didasarkan? Kenyataan tentang satu-satunya cara yang mungkin di mana gagasan tentang suatu diri dapat dibentuk ini dinyatakan oleh Sang Buddha sendiri dalam kelanjutan teks yang dikutip di atas:

Terdapat, para bhikkhu, seorang awam.... Ia menganggap jasmani sebagai diri, atau diri sebagai yang memiliki jasmani (hal yang sama untuk keempat kelompok batin)[8]. Dengan cara ini ia tiba pada konsep “inilah aku”.

Lebih lanjut dikatakan: “Jika terdapat jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan dan kesadaran, oleh karena kelompok-kelompok kehidupan ini dan bergantung pada mereka timbul kepercayaan dalam individualitas... dan spekulasi tentang suatu diri” (SN 22:154, 155).

(b) Jika kata-kata “aku”, “ego”, “personalitas”, dan “diri” seharusnya memiliki arti sepenuhnya, berbagai bentuk konsep ego, bahkan yang paling abstrak dan halus, tentunya harus berhubungan dengan gagasan tentang ciri khas atau keterpisahan dengan sebuah pembedaan dari apa yang dianggap bukan “ego”. Tetapi dari apa ciri khas atau pembedaan dapat berasal jika bukan dari satu-satunya data pengalaman yang tersedia, fenomena fisik dan mental yang tersusun dari lima kelompok kehidupan?

Dalam sutta Majjhima Nikāya yang disebut “Perumpamaan Ular” (MN 22), dikatakan: “Jika, para bhikkhu, terdapat suatu diri, apakah akan ada juga apa yang dimiliki diri itu?” – “Ya, Bhante.” – “Jika terdapat apa yang dimiliki oleh diri, apakah akan ada juga ‘diriku’?” – “Ya, Bhante” – “Tetapi karena suatu diri dan milik diri itu sesungguhnya tidak dapat ditemukan, bukankah ini sebuah ajaran yang benar-benar bodoh: ‘Inilah dunia, inilah diri. Tetap, kekal, abadi, tidak berubah diriku setelah kematian, yang bertahan dalam identitas yang abadi’?” – “Ya, Bhante, ini adalah ajaran yang benar-benar bodoh.”[9]

Kalimat pertama dari teks ini menyatakan, dalam cara yang sesederhana penegasannya, kenyataan yang ditunjukkan sebelumnya: bahwa anggapan tentang suatu diri memerlukan juga sesuatu yang menjadi milik diri itu (attaniya), yaitu hal-hal di mana diri mendapatkan ciri-ciri yang membedakannya. Mengatakan suatu diri yang tanpa atribut-atribut yang membedakan demikian, oleh sebab itu tidak ada yang mencirikannya dan memberikan makna pada kata tersebut, akan sepenuhnya tidak masuk akal dan bertentangan dengan penggunaan yang diterima atas istilah “diri”, “ego”, dst. Namun hal yang mendasar ini dilakukan oleh mereka yang menyokong yang pertama dari dua jenis utama “pandangan ekstrem positif-metafisik”: yaitu, anggapan suatu “diri universal atau melampaui-diri yang besar” (mahatma) yang dianggap menyatu dengan, atau pada dasarnya sama dengan, suatu prinsip metafisik universal dan yang tidak terbedakan (nirgua) yang kadangkala disamakan dengan Nibbāna. Mereka yang menganut pandangan-pandangan ini kadangkala ditemukan membuat pernyataan bahwa Sang Buddha hendak menolak hanya suatu diri yang terpisah dan bahwa tidak ada dalam pernyataan-Nya Beliau menolak keberadaan suatu diri yang melampaui pemahaman biasa. Apa yang telah dikatakan sebelumnya pada bagian ini dapat menjadi suatu jawaban terhadap kepercayaan-kepercayaan ini.

Pandangan-pandangan ini yang telah kita masukkan pada kelompok kedua mengambil cara pandang yang berlawanan. Mereka menyatakan dengan tegas tentang keberadaan terpisah atas diri-diri yang terbebaskan, yang di luar pemahaman biasa di dalam unsur Nibbāna. Namun demikian, sokongan mereka meninggalkan sejumlah besar masalah yang tidak dapat dijelaskan. Mereka tidak menunjukkan bagaimana mereka tiba pada gagasan keterpisahan tanpa referensi pada dunia pengalaman; dan mereka gagal menunjukkan terdiri dari apakah keterpisahan itu sesungguhnya dan bagaimana ia dapat dikatakan terus ada dalam unsur Nibbāna, di mana, dalam definisinya, adalah tidak terbedakan (nippapañca), sangat berkebalikan dengan keterpisahan.

Kedua jenis kepercayaan individualitas ingin menggabungkan berbagai konsep tentang diri dengan ajaran Buddhis tentang Nibbāna. Mereka, pada bagian awal, disanggah oleh pernyataan yang secara filosofi sangat penting dalam kotbah tentang “Perumpamaan Ular”, yang menyatakan bahwa “aku” dan “milikku”, pemilik dan milik, substansi dan atribut, subjek dan predikat adalah istilah yang tidak terpisahkan dan berhubungan, yang, bagaimana pun, tidak nyata dalam pengertian tertinggi.

Bagian 6

Dua jenis utama penafsiran atas Nibbāna dapat dengan mudah dimasukkan dalam sejumlah besar pandangan salah yang disebutkan, dikelompokkan dan disangkal oleh Sang Buddha. Suatu pemilihan atas pengelompokan yang dapat dipakai akan disajikan berikut ini. Bahan-bahan ini, sebagai tambahan pada pernyataan fundamental pada bagian terdahulu, akan melengkapi sejumlah besar dokumentasi atas kenyataan bahwa tidak ada satu pun konsep eternalistik tentang diri dan Nibbāna, dalam bentuk yang dapat dibayangkan, sesuai dengan ajaran Sang Buddha seperti yang ditemukan dalam penyajian tertua yang ada dalam kanon Pali.

(a) Dalam Sayutta Nikāya (SN 22:86) kita membaca: “Apakah engkau berpikir, Anurādha, bahwa Yang Sempurna (tathāgata) terlepas dari jasmani (aññatra rūpā)... terlepas dari kesadaran?”[10] – “Tentu saja tidak, O Bhante.” – “Apakah engkau berpikir bahwa Yang Sempurna adalah seseorang yang tanpa jasmani (arūpī)... seseorang yang tanpa kesadaran?”[11] – “Tentu saja tidak, O Bhante.” – “Karena Yang Sempurna, Anurādha, tidak dapat, sesungguhnya dan sebenarnya, ditemukan oleh dirimu bahkan selama masa hidup, apakah sesuai untuk menyatakan: ‘Ia yang adalah Yang Sempurna, makhluk tertinggi... bahwa Yang Sempurna dapat diketahui di luar keempat kemungkinan ini: Yang Sempurna ada setelah kematian... tidak ada... ada dalam beberapa cara dan dalam cara lain tidak ada... tidak dapat dikatakan ada atau pun tidak ada’?” – “Tentu saja tidak, O Bhante.”

Teks ini berlaku pada kedua jenis utama pandangan yang menganggap suatu diri di luar kelompok kehidupan. Harus disebutkan di sini bahwa komentar mengubah kata-kata “Yang Sempurna” (tathāgata) dengan “makhluk hidup” (satta). Ini mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pernyataan dalam teks berlaku tidak hanya untuk istilah konvensional “Yang Sempurna” tetapi juga semua istilah lain yang menunjuk pada suatu individualitas.

(b) Karena konsep tentang suatu diri tentunya dikaitkan dengan suatu kepemilikan atas kualitas-kualitas dan hal-hal yang dimiliki (lihat 5b), kedua jenis utama pandangan ini termasuk dalam bagian dua puluh jenis kepercayaan individualitas (sakkāya-diṭṭhi; lihat 5a).

Ia menganggap diri sebagai yang memiliki jasmani... sebagai yang memiliki perasaan... persepsi... bentukan-bentukan... kesadaran.

Ini berlaku, khususnya, pada jenis utama yang kedua yang disokong oleh Georg Grimm, yang dengan jelas mengatakan bahwa lima kelompok kehidupan sebagai “atribut” (“Beilegungen”) dari diri. Ini tidak membuat perbedaan apa pun di sini bahwa “atribut-atribut” ini dianggap Grimm sebagai “tidak sepadan” dengan diri dan dapat dibuang. Apa yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa hubungan yang demikian antara diri dan kelompok kehidupan diasumsikan, dan ini membenarkan pencantuman pandangan ini dalam jenis kepercayaan individualitas yang disebutkan di atas.

(c) Dari “Kotbah tentang Sebab Akar” (Mūlapariyāya Sutta; MN 1) pengelompokan berikut berlaku pada kedua jenis pandangan: “Ia berpikir (dirinya) berbeda dari (atau melampaui) empat unsur jasmani, alam-alam surga, keadaan tak berbentuk; dari apa pun yang dilihat, didengar, (dengan berbeda) dirasakan dan dikenali; dari seluruh alam semesta (sabbato).” Untuk jenis yang kedua berlaku pandangan: “Ia berpikir (dirinya) dalam Nibbāna (nibbānasmi maññati) atau berbeda dengan Nibbāna (nibbānato maññati).” Yaitu, ia mempercayai diri yang terbebaskan yang dianggap memasuki unsur Nibbāna yang berbeda darinya.

(d) Dalam sutta “Semua Kekotoran” (Sabbāsava Sutta; MN 2) contoh-contoh pemikiran yang bodoh dan dangkal (ayoniso manasikāra) berikut disebutkan dan disangkal: Enam teori tentang diri di mana hal-hal berikut berlaku di sini: “Aku memiliki suatu diri” dan “Oleh diri aku mengetahui diri”.[12]

Enam belas jenis keragu-raguan tentang keberadaan dan sifat diri, dengan menunjuk pada masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang, contohnya, “Aku ada atau tidak?”, “Apakah aku di masa sekarang?”, “Apakah aku akan ada atau tidak?”, “Apakah aku di masa depan?”

Dengan ini semua jenis spekulasi tentang suatu diri yang dinyatakan tanpa bukti disangkal.

(e) Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1) teori-teori tentang suatu diri dirincikan sampai detail-detailnya. Namun, mereka yang menyokong kedua jenis utama pandangan ekstrem positif-metafisik, yang kita bahas di sini, umumnya menghindari atau menolak pernyataan rinci tentang sifat Nibbāna dan diri. Tetapi jika mereka mengasumsikan suatu diri yang kekal dan di luar pemahaman biasa, ia harus dibayangkan sebagai pasif, diam dan kekal. Karena setiap hubungan yang aktif dengan dunia akan melibatkan suatu penolakan atas keadaan yang melampaui pemahaman biasa yang diasumsikan. Oleh sebab itu kedua jenis utama pandangan ini jatuh dalam kelompok pandangan eternalis, yang dicirikan dan disangkal dalam Brahmajāla Sutta sebagai berikut: “Kekal adalah diri dan dunia, tandus, diam bagaikan sebuah puncak gunung, kokoh bagaikan sebuah pilar.”

(f) Penyangkalan atas berbagai kepercayaan tentang suatu diri (yang sama secara tetap atau pun sementara), dan pandangan-pandangan ekstrem keberadaan dan ketiadaan, tidak dapat lebih baik disimpulkan dibandingkan dengan mengutip kelanjutan pernyataan yang membentuk semboyan dari uraian ini:Bagi ia, Kaccāna, yang memandang, berdasarkan pada kenyataan dan dengan kebijaksanaan sejati, asal mula dari (dan dalam) dunia, tidak ada di dunia ini (yang disebut) “ketiadaan” (natthitā). Bagi ia, Kaccāna, yang memandang, berdasarkan pada kenyataan dan dengan kebijaksanaan sejati, kelenyapan dari (dan dalam) dunia, tidak ada di dunia ini (yang disebut) “keberadaan” (atthitā). Dunia ini, Kaccāna, umumnya terbelenggu oleh kecenderungan, kemelekatan dan prasangka. Namun berkenaan dengan kecenderungan, kemelekatan, sifat mental yang tetap, prasangka dan kecenderungan yang berakar kuat, ia (seseorang dengan pengertian benar) tidak mendekati, tidak melekat, tidak memiliki sikap mental: “Aku memiliki suatu diri” (n’adhiṭṭhāti attā me’ti). Ia tidak memiliki keraguan atau pun ketidakpastian bahwa adalah penderitaan, yang sesungguhnya timbul, dan penderitaanlah yang lenyap. Di sini pengetahuannya tidak bergantung pada orang lain. Sejauh ini, Kaccāna, adalah seorang dengan pengertian benar. (SN 12:15)

III. Melampaui Pandangan-Pandangan Ekstrem

Jika kita memeriksa ungkapan-ungkapan tentang Nibbāna dalam kanon Pali, kita menemukan bahwa ia digambarkan (atau lebih baik: diuraikan) baik dalam istilah positif maupun negatif. Pernyataan-pernyataan tentang suatu sifat positif termasuk sebutan seperti “yang mendalam, yang sejati, yang kekal, yang menakjubkan”, dst. (SN 43); dan seperti teks-teks yang dikutip di atas (lihat Bagian 2), “Terdapat landasan...”; “Terdapat sesuatu yang tidak dilahirkan...”, dst. Pernyataan-pernyataan dalam bentuk istilah negatif termasuk definisi Nibbāna sebagai “pelenyapan keserakahan, kebencian dan kebodohan batin” dan sebagai “pelenyapan kemenjadian” (bhava-nirodha). Jika konsep Buddhis atas Nibbāna dipahami dengan benar, seseorang akan memberikan bobot yang penuh pada pentingnya kedua jenis ungkapan ini. Jika seseorang hanya mengutip salah satu jenis sebagai pertahanan atas pendapat diri sendiri yang berat sebelah, hasilnya akan menjadi pandangan yang timpang.

Terhadap ungkapan-ungkapan dari sifat positif kita dapat mengasumsikan tujuan-tujuan berikut ini: (1) untuk meniadakan pandangan ekstrem nihilistik; (2) untuk menenangkan ketakutan dari mereka yang masih tanpa pemahaman yang cukup atas kebenaran tentang penderitaan dan anattā, dan dengan demikian beralih dari pelenyapan akhir atas penderitaan, yaitu dari kelahiran kembali, seakan-akan melompat dari kejatuhan ke dalam sebuah lubang yang tidak berdasar; (3) untuk menunjukkan Nibbāna sebagai sebuah tujuan yang dapat dicapai dan benar-benar diinginkan.

Penekanan “Terdapat” yang membukan dua teks yang cukup terkenal tentang Nibbāna dalam Udāna, tidak meninggalkan keraguan bahwa Nibbāna tidak dipahami sebagai semata-mata kelenyapan atau sebagai suatu penyamaran untuk sebuah nol absolut. Tetapi, pada sisi lain, sebagai pencegahan terhadap penafsiran metafisik yang salah atas ungkapan yang mendalam “Terdapat... (atthi)”, kita juga memiliki penolakan tegas atas pandangan ekstrem atas keberadaan (atthitā) dan ketiadaan (natthitā).

Tetapi bahkan ungkapan-ungkapan tentang Nibbāna tersebut yang difrasakan secara positif, memasukkan istilah yang hampir negatif juga:“Terdapat suatu landasan di mana tidak ada tanah... tidak ada dunia ini atau pun berikutnya, tidak ada kedatangan atau pun kepergian.”

“Terdapat sesuatu yang tidak dilahirkan, yang tidak menjadi....”

“Aku akan mengajarkan kalian yang tidak tercipta... yang mendalam... dan jalan menuju hal itu. Sekarang apakah yang tidak tercipta... yang mendalam itu? Ia adalah pelenyapan keserakahan, pelenyapan kebencian, pelenyapan kebodohan batin.”Teks-teks ini, yang menggabungkan pernyataan positif dan negatif, melukiskan pernyataan awal kita bahwa baik ungkapan positif maupun negatif tentang Nibbāna memerlukan batasan timbal-balik, sebagai pencegahan tergelincirnya ke dalam posisi ekstremis. 

Ungkapan negatif dimaksudkan untuk menekankan sifat Nibbāna yang melampaui duniawi dan tidak terlukiskan dalam kata-kata, yang menghindari penggambaran yang cukup dalam istilah positif. Bahasa kita pada dasarnya tidak cocok untuk penggambaran yang demikian, karena ia tentunya berkaitan dengan dunia pengalaman kita di mana struktur dan istilah-istilahnya berasal. Oleh sebab itu pernyataan positif dalam sutta-sutta tidak dapat lebih dari kiasan atau perumpamaan (pariyāya desanā). Mereka memanfaatkan nilai-nilai emosional yang dapat dimengerti oleh kita untuk mengkarakteristikkan pangalaman dan reaksi yang diketahui oleh mereka yang telah melalui jalan menuju Keabadian. Walaupun untuk alasan-alasan yang disebutkan di atas mereka memiliki nilai praktis yang besar, mereka lebih menggugah daripada benar-benar deskritif. Tetapi pernyataan negatif cukup dalam dan masuk akal dalam mereka sendiri. Mereka menguraikan Nibbāna kepada dunia pengalaman hanya dengan negasi. Metode pendekatan yang menegasikan terdiri atas suatu proses menghilangkan apa yang tidak berlaku pada Nibbāna dan tidak sepadan dengannya. Ini memungkinkan kita untuk membuat pernyataan yang lebih nyata dan bermanfaat tentang keadaan Nibbāna yang melampaui duniawi daripada dengan menggunakan istilah-istilah abstrak, sifat positif yang hanya bersifat sebagai perumpamaan. Pernyataan-pernyataan negatif juga merupakan cara yang paling cocok dan terhormat untuk mengatakan tentang yang disebut “yang menakjubkan” (acchariya) dan “yang luar biasa” (abbhuta) tersebut.

Cara pengungkapan yang negatif memiliki keuntungan penting lainnya. Pernyataan-pernyataan seperti yang mendefinisikan Nibbāna sebagai “pelenyapan keserakahan, kebencian dan kebodohan batin” menunjukkan arah yang diambil, dan tugas yang dikerjakan untuk benar-benar mencapai Nibbāna. Dan ini sangat berarti. Kata-kata tentang mengatasi keserakahan, kebencian dan kebodohan batin memberikan tugas yang jelas dan meyakinkan yang dapat diambil di sini dan saat ini. Lebih lanjut, mereka tidak hanya menunjuk pada suatu cara yang dapat dipraktekkan dan bermanfaat untuk tujuan itu sendiri, tetapi mereka juga menyatakan tentang tujuan yang mulia itu sendiri yang juga dapat dialami di sini dan saat ini, dan tidak hanya dalam keadaan yang tidak diketahui di luar. Karena telah dikatakan:Jika keserakahan, kebencian dan kebodohan batin telah sepenuhnya dilenyapkan, sepanjang itulah Nibbāna terlihat di sini dan saat ini, tidak ada jeda, mengundang penyelidikan, dan dapat dialami secara langsung oleh para bijaksana. (AN 3:55)Nibbāna yang terlihat tersebut dipujikan oleh mereka yang mencapainya sebagai kebahagiaan yang murni dan tidak dapat dicabut, sebagai kedamaian tertinggi, sebagai kelegaan yang tidak dapat diucapkan atas terbebasnya dari beban dan ikatan. Rasa pendahuluan yang samar-samar darinya dapat dialami dalam setiap tindakan pelepasan yang menyenangkan dan dalam momen ketidakterikatan yang hening. Untuk diketahui sendiri, jika bukan bersifat sementara dan sebagian, untuk bebas dari perbudakan nafsu dan kebutaan karena muslihat diri; untuk menjadi tuan dari diri sendiri dan untuk hidup dan berpikir dari sudut pandang pengetahuan, jika bukan untuk suatu waktu dan jangkauan yang terbatas – ini sesungguhnya bukan “semata-mata kenyataan negatif”, tetapi pengalaman yang paling positif dan menggugah bagi mereka yang mengetahui lebih dari kebahagiaan indera yang sekejap dan bersifat menipu.“Terdapat dua jenis kebahagiaan, O para bhikkhu: kebahagiaan dari kesenangan indera dan kebahagiaan dari pelepasan. Tetapi yang tertinggi dari keduanya adalah kebahagiaan dari pelepasan” (AN 2:64).Demikianlah kata-kata yang kelihatannya negatif dari pelenyapan keserakahan, kebencian dan kebodohan batin akan membawa pada pesan positif yang membangkit semangat dan dalam: dari suatu jalan yang dapat dilalui, dari suatu tujuan yang dapat dicapai, dari suatu kebahagiaan yang dapat dialami.

Namun aspek dari kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai di sini dan saat ini tidak seharusnya diperbolehkan untuk menutupi diri kita dari kenyataan bahwa pencapaian Nibbāna adalah akhir dari kelahiran kembali, pelenyapan kemenjadian. Tetapi akhir atau pelenyapan ini tidak melibatkan penghancuran atau anihilasi dari apa pun yang subtansial. Apa yang sebenarnya terjadi adalah akhir dari kemunculan baru yang disebabkan oleh penghentian atas sebab-sebab akarnya: ketidaktahuan dan keinginan.

Ia yang melihat secara dalam dan sepenuhnya kebenaran penderitaan “tidak lagi terbawa oleh yang tidak nyata, dan tidak lagi beralih dari yang nyata”. Ia mengetahui: “Inilah penderitaan, yang sesungguhnya muncul, inilah penderitaan yang lenyap”. Dengan pikiran yang teguh ia berjuang mencapai keabadian, pelenyapan akhir dari penderitaan - Nibbāna.Orang Mulia mengetahuinya sebagai kebahagiaan:pelenyapan personalitas;Menjijikkan bagi orang-orang biasa,tetapi tidak bagi mereka yang melihat dengan jelas.

Apa yang orang lain anggap sebagai kebahagiaan tertinggi,Orang Mulia menganggapnya sebagai penderitaan;Apa yang mereka anggap sebagai hanya penderitaanbagi Orang Mulia adalah semata-mata kebahagiaan. (Sn vv. 761–62)

Catatan Kaki

1. Kutipan dari kedua karya ini terutama diambil, dengan sedikit perubahan, dari terjemahan Bhikkhu Ñāamoli (lihat Catatan Sumber).
Penjelasan tambahan oleh penulis ada di dalam tanda kurung siku, penjelasan oleh Bhikkhu Ñāamoli dalam tanda kurung biasa.

2. Comy. : Ini untuk menunjukkan bahwa, bagi para Arahat, Nibbāna dikembangkan dengan pengalaman mereka sendiri.

3. Comy. : Bagi orang lain ia dikembangkan dengan menyimpulkan berdasarkan kata-kata Sang Guru.

4. Paragraf-paragraf yang diawali dengan * diterjemahkan oleh penulis; yang tidak ditandai diterjemahkan oleh Bhikkhu Ñāamoli (diambil dari catatan pada terjemahannya atas Visuddhimagga).

5. Ini adalah beberapa dari keseluruhan 33 sebutan untuk Nibbāna dalam SN 43:12-44.

6. Ini menunjuk pada pengelompokan Abhidhammik di mana Nibbāna dimasukkan, yang muncul, misalnya dalam Dhammasagaī.

7. Variasi teosofis, misalnya yang diwakili oleh kelompok neo-Buddhis di Britania dan tempat lain di mana jika tidak telah melakukan pekerjaan yang baik dalam memperkenalkan orang Barat pada Buddhis atau pada konsep mereka atas hal ini.
Pengaruh Vedantik mencolok, misalnya dalam ungkapan bahasa India yang diketahui maknanya dengan baik, di antara mereka yang terkemuka, yang mempertahankan identitas atau kesamaan yang mendasar, dari posisi Vedanta dan Buddhis mengenai Ātman.Sementara itu, ini cukup bertentangan pada pendapat dalam pokok bahasan tersebut, yang diungkapkan oleh orang yang menafsirkan Vedanta secara klasik.
Lihat Vedanta and Buddhism oleh H. v. Glasenapp (Wheel Publication No. 5).Pengaruh Mahayanistik dapat diperhatikan dalam beberapa perwakilan dari kedua variasi terdahulu. Tetapi juga dalam karya Mahāyāna itu sendiri, pandangan ekstrem positif-metafisik ditemukan dalam tingkatan yang berbeda-beda.
Mulai dari kitab-kitab Madhyamika di mana ia relatif diabaikan, sampai dengan aliran Yogācara di mana Asaga bahkan menggunakan istilah mahātma dan paramātma dalam pengertian yang membenarkan (lihat Mahāyāna-sūtrālakāra-śāstra dan komentar Asaga sendiri).

8. Ini adalah dua puluh jenis kepercayaan individualitas (sakkāya-diṭṭhi).

9. Lihat The Discourse on the Snake Simile, terjemahan oleh Nyanaponika Thera (Wheel No. 47/48).

10. Yaitu di luar kelompok-kelompok kehidupan yang diambil secara tunggal.

11. Yaitu di luar kelompok-kelompok kehidupan secara keseluruhan.

12. Pali : attanā’va attāna sañjānāmi.Ini menunjuk pada konsep Vedanta.Rumusan yang hampir sama telah ditemukan dalam Sahitā, kitab Upanishad pre-Buddhis, dan yang belakangan dalam Bhagavadgītā.

Diterjemahkan dari : Wh 011 – Anatta & Nibbana – Plain text

Sumber :


KATA - KATA BIJAK


Minggu, 29 Juli 2012

Asadha Agung


Sri Pannyavaro Mahathera :
Pada perayaan Asadha Agung di Candi Mendut, 28 Juli 2012:

Asadha tahun 2556TB ini adalah genap 2600 tahun pencerahan sempurna Guru Buddha.

26 Abad usia Dhamma
26 Abad usia sangha

Apakah yang di sampaikan Guru Agung kita 2600th yang lalu ?

Guru agung menjelaskan sesuatu yang berbeda dgn yang pernah di dengar manusia pada waktu itu.

Guru Agung menyampaikan
"Hidup ini adalah penderitaan"
"Penderitaaan bersumber dari diri sendiri"
"Penderitaan bukan dari luar...
Bukan hukuman...
Tetapi konsekuensi atas suatu aksi..

Dan Kita sendirilah yang harus mengatasi itu.
Tidak bisa mengandalkan bantuan dari Luar.

Penderitaan di sebabkan Nafsu Keinginan (Tanha) ,
yang berkembang menjadi Kemelekatan (upadana).

Keinginan yg berkobar-kobar
yang selalu mendapat pemenuhan
yang kemudian menjadi kebiasaan
dan inilah sumber penderitaaan...

Keinginan / harapan / tuntutan yang terpenuhi bukankah kebahagiaan ?
Ya tetapi sepintas...

Karena.....
Keinginan yg terpenuhi itu
akan menuntut kembali
dengan keinginan yang baru
Dan kita hanya merasakan bahagia sebentar....

"Kebahagiaan" yang sesungguhnya adalah
bukan karena nafsu yang terpenuhi...

justru karena nafsu yang padam..
Itulah "kebahagiaan" yang sesungguhnya !

Walaupun belum bisa memadamkan
Nafsu keinginan namun dengan
Hanya Mengecilkan / mengurangi nafsu keinginan
Akan membawa pada Ketentraman.

Walaupun kobaran hawa nafsu
belum padam....
tetapi hanya mengecil
itupun akan memberikan kebahagiaan

Untuk terpuaskannya Nafsu Keinginan
Sekalipun Terjadi Hujan Emas
Mendapatkan hal seperti itupun
Hawa nafsu tidak akan padam.

Penderitaan juga di buat sendiri
karena adanya kobaran api kebencian...

Pada bulan Asadha 2600th yang lalu
Guru kita memberikan "JALAN"
untuk memadamkan keserakahan dan kebencian

Jika tidak selektif dengan keinginan
Maka itu akan menjadi kobaran nafsu
Dan itulah penyebab penderitaan.
KEINGINAN adalah PENYEBAB penderitaan...

Selamat Hari Asadha Puja 2556 TB

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha

Oleh : Corneles Wowor, M.A.

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Mahaesa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain. Sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain. Hal inilah yang menjadi dasar penulisan ini.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang : Alam Semesta, Kejadian Bumi dan Manusia, Kehidupan Manusia di Alam Semesta, Kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.

Alam Semesta

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :

Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? ……. Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ……. Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). *
Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan “Dvisahassi majjhimanika lokadhatu”. Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan “Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu”.Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.


Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.
Catatan:Buku Peringatan WAISAK 2528/1984 Yayasan Maha Bodhi Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 53. Dikutip dari Anguttara Nikaya, Ananda Vagga.Jambudipa adalah belahan bumi bagian selatan.Aparayojana adalah belahan bumi bagian barat.Uttarakuru adalah belahan bumi bagian utara.Pubbavideha adalah belahan bumi bagian timur

Kejadian Bumi dan Manusia

Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan.

Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada, ….. laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja.
Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : ‘O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari ….. mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka.
Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak ….. siang dan malam ….. terjadi.Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ….. maka sari tanah itupun lenyap ….. ketika sari tanah lenyap ….. muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan ….. Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali ….. (seperti di atas). Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ….. warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni ….. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ….. maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk ….. Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap ….. muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.
Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin ………
Catatan:

Sutta Pitaka, Digha Nikaya. Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha. Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha, 1983, hal. 19 – 22. Kata-kata yang bergaris bawah adalah dari saya.


Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut agama Buddha.Untuk ini lihat TABEL Alam-alam kehidupan di bagian akhir dari penulisan ini.

Kehidupan di alam Abhassara dapat dicapai oleh mereka yang melaksanakan meditasi ketenangan batin (samatha) hingga mencapai tingkat samadhi yang disebut Jhãna II. Bila orang yang telah mencapai tingkat Jhãna II ini meninggal dunia pada waktu ia berada dalam keadaan samadhi pada tingkat Jhãna II, maka ia otomatis akan terlahir kembali sebagai dewa brahma di alam Abhassara.

Kehidupan Manusia di Alam Semesta

Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran dari agama-agama lain, banyak orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali dengan agama Buddha, karena dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kehidupan manusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan pada kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa:

….. ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau ….. 1, 2, 3, 4, 5, 10, kali masa bumi berevolusi (bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali ….. dst.). ….. 20, 30, sampai 40 kali masa bumi berevolusi ….. (tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut …..

Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis, kehidupan atau kelahiran manusia bukan baru sekali saja tetapi telah berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga hidup di bumi-bumi yang lain. Manusia atau mahluk hidup berpindah-pindah dari sebuah bumi ke bumi yang lain. Perpindahan kehidupan manusia dari sebuah bumi ke bumi yang lain disebabkan karena bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhãvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi alam kehidupan Buddhis. Tentang 31 alam ini lihatlah TABEL ALAM-ALAM KEHIDUPAN. Bila seseorang bermeditasi samatha bhãvana hingga mencapai tingkat Jhãna II, dan kalau orang tersebut meninggal dunia dalam kondisi meditasi pada Jhãna II tersebut maka ia akan terlahir sebagai Brahma di alam Abhassara dan hidup dengan masa usia yang lama sekali.
Dari ke 31 alam, kecuali lima alam Suddhavasa yaitu alam Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akanittha, adalah alam lokuttara (transenden) tempat kelahiran para Anagami*. Anagami adalah manusia atau mahluk yang telah melenyapkan 5 belenggu (samyojana)** dari 10 belenggu yang mengikat manusia. Anagami adalah manusia atau mahluk suci (ariya pugala) dari empat macam manusia suci menurut agama Buddha, yaitu : Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat. Anagami akan mencapi tingkat kesucian tertinggi (arahat) di salah satu alam Suddhavasa ini, dan ia parinibbana sebagai arahat di alam ini pula.
Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk keluar hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran manusia di salah sebuah alam tergantung pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.

Catatan
*) Manusia suci menurut pandangan Buddhis ada empat yaitu :Sotapanna, orang suci yang paling banyak akan terlahir tujuh kali lagi.Sakadagami, orang suci yang paling banyak akan terlahir sekali lagi.Anagami, orang suci yang tidak akan terlahir lagi di alam manusia, tetapi langsung terlahir kembali di salah sebuah dari lima alam Suddhavasa. Dari salah sebuah alam Suddhavasa ini Anagami itu akan mencapai tingkat kesucian tertinggi sebagai Arahat dan akhirnya ia mencapai parinibbana.Arahat, orang suci yang telah menyelesaikan semua usahanya untuk melenyapkan semua belenggu yang mengikatnya. Bila ia meninggal dunia, ia tidak akan terlahir di alam mana pun. Ia akan parinibbana.
**) Ada sepuluh macam belenggu (samyojana) yaitu :Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal (sakkaya-ditthi).Keragu-raguan yang skeptis pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan tentang kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang, juga tentang hukum sebab akibat (vicikicchã).Kemelekatan pada suatu kepercayaan bahwa hanya dengan melaksanakan aturan-aturan dan upacara keagamaan seseorang dapat mencapai kebebasan (silabbata-parãmãsa).Nafsu indriya (kãma-rãga).Dendam atau dengki (vyãpãda).Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk (rüpa-rãga). Alam bentuk (rüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Jhãna I, Jhãna II, Jhãna III atau Jhãna IV (lihat TABEL).Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk (arüpa-rãga). Alam tanpa bentuk (arüpa-rãga) dicapai oleh seseorang apabila ia meninggal sewaktu dalam keadaan samadhi dan telah mencapai Arüpa Jhãna I, Arüpa Jhãna II, Arüpa Jhãna III atau Arüpa Jhãna IV (lihat TABEL).Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (mãna).Kegelisahan (uddhacca). Suatu kondisi batin yang haus sekali karena yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).Kebodohan atau ketidak-tahuan (avijjã).


Sotãpanna telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana),
yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa.

Sakadagami telah melenyapkan tiga belenggu (samyojana)
yaitu (1) sakkaya-ditthi, (2) vicikicchã, dan (3) silabbata-parãmãsa dan telah melemahkan belenggu (4) kãma-rãga dan (5) vyãpãda.

Anãgami telah melenyapkan lima belenggu (samyojana)
yaitu (1) sampai dengan (5).
Lima samyojana (1 – 5) dikenal sebagai lima belenggu rendah atau

Orambhãgiya-samyojana.
Arahat telah melenyapkan sepuluh belenggu (1 – 10).

Lima samyojana berikut yaitu samyojana 6 – 10 dikenal pula dengan nama belenggu tinggi atau Uddhambhãgiya-samyojana.
Orambhãgiya-samyojana dan Uddhambhãgiya-samyojana telah dimusnahkan oleh Arahat.

Kiamat

Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya – tata surya yang tersebar di alam semesta ini.

Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.
Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya terdapat matahari pula.

Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu:

Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati …..
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada …..
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yanglama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada …..
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada …..
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.


Catatan
*) Yojana adalah semacam ukuran yang ada di masa Sang Buddha yang jauhnya kira-kira 7 mil.

Keselamatan atau Kebebasan

Konsep ini pun sangat penting diperhatikan karena salah sebuah ajaran yang terpenting dari agama adalah tentang keselamatan atau kebebasan. Keselamatan atau kebebasan merupakan tujuan dari semua agama. Ada agama yang menjanjikan keselamatan bagi pengikutnya yang akan didapatnya setelah berbuat kebaikan selama hidupnya dan bila pengikut itu meninggal dunia maka di akhirat ia akan mendapat pahalanya hidup di alam surga untuk selama-lamanya dan menikmati kebahagiaan yang tiada taranya. Tetapi bila orang melakukan perbuatan-perbuatan yang salah, buruk dan tidak terpuji, maka sesudah ia meninggal dunia maka orang tersebut akan mendapat ganjaran yang menyedihkan di dalam neraka. Demikianlah ajaran yang umum diketahui oleh masyarakat termasuk umat Buddha.
Menurut pandangan agama Buddha pandangan yang menyatakan keselamatan yang dapat dinikmati setelah kematian adalah suatu pandangan yang spekulatif. Keselamatan menurut pandangan agama Buddha harus didasarkan pada akal dan pengalaman, seperti apa yang dikatakan oleh G.P. Malalasekera bahwa :
“Agama Buddha adalah ajaran empiris dan antimetafisika, dan tidak dapat menerima sesuatu yang tak dapat dialami oleh akal atau pancaindera”. Keselamatan atau kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia, dan kebebasan ini pun diketahui oleh orang bersangkutan pula, seperti apa yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Parinibbana Sutta :
Mengenai Bhikkhu Salba, O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya sendiri. Untuk mencapai kebebasan atau keselamatan, Sang Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dengan mengikuti jalan yang telah ditunjukkan ini kita dapat mencapai kesucian pada kehidupan sekarang ini juga, seperti apa yang diuraikan Beliau dalam Satipatthana Sutta, Digha Nikaya dan Majjhima Nikaya sebagai berikut :

Para bhikkhu, ini adalah satu-satunya jalan untuk mensucikan mahluk-mahluk, untuk mengatasi penderitaan duka nestapa, untuk menghancurkan kesusahan dan kesedihan, untuk mencapai jalan kebenaran, untuk mencapai Nibbana (nirvana), jalan itu adalah Empat Perkembangan Perhatian …..
….. Para bhikkhu, bilamana seseorang melaksanakan dengan sungguh-sungguh Empat Perkembangan Perhatian seperti ini selama tujuh tahun, maka salah sebuah dari dua hasil yang dapat dicapainya Pengetahuan (Kesuciannya) pada kehidupan sekarang ini, atau jika masih ada bentuk ikatan tertentu ia mencapai tingkat kesucian Anagami. Empat Perkembangan Perhatian tidak dapat diuraikan secara terperinci di sini, bila ada yang mau mempelajari dan melaksanakannya dapat melihat langsung pada Satipatthana Sutta atau dalam Visuddhi Magga (The Path of Purification). Empat Perkembangan Perhatian ini merupakan dasar dari meditasi Vipassana didasarkan pada segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak kekal (anicca), segala sesuatu yang bersyarat adalah tidak menyenangkan (dukkha), dan segala sesuatu yang bersyarat maupun tidak bersyarat adalah tanpa aku atau jiwa yang kekal (anatta).
Demikianlah beberapa pokok pembicaraan tentang konsep-konsep agama Buddha yang berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain. Tetapi sesungguhnya masih banyak hal lagi yang perlu dibicarakan tentang perbedaan pandangan agama Buddha dengan agama-agama lain maupun persamaan-persamaan agama Buddha dengan agama lain, tapi hal ini nanti dibahas pada kesempatan yang akan datang.
Selanjutnya ada sebuah pokok uraian dalam ajaran agama Buddha yang telah menyesatkan banyak penulis *, sehingga agama Buddha dianggap oleh mereka sebagai agama non-theis. Pandangan yang salah ini didasarkan pada pernyataan Sang Buddha sendiri dalam Brahmajala Sutta, di mana Sang Buddha menolak Maha Brahma sebagai Tuhan, Pencipta, Maha Kuasa dan seterusnya. Bilamana kita mengkaji secara cermat apa yang dinyatakan oleh Sang Buddha itu, maka kita akan mengerti apa yang dimaksudkan oleh Beliau, sebab Maha Brahma yang dimaksud dalam Brahmajala Sutta adalah dewa brahma yang salah mengerti tentang dirinya sendiri. Pernyataan Sang Buddha tersebut adalah sebagai berikut :

Para bhikkhu, pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, ‘bumi ini belum ada’. Ketika itu umumnya mahluk-mahluk hidup di alam dewa Abhassara, di situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai ber-evolusi dalam pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada mahluk dari alam dewa Abhassara yang ‘masa hidupnya’ atau ‘pahala kamma baiknya’ untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma. Di sini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.Karena terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam dirinya muncullah rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, ‘O semoga ada mahluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini!’. Pada saat itu ada mahluk lain yang disebabkan oleh masa usianya atau pahala kamma baiknya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.


Para bhikkhu, berdasarkan itu, maka mahluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat : “Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan Dari Semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari ynag telah ada dan yang akan ada. Semua mahluk ini adalah ciptaanku”.Mengapa demikian? Baru saja terpikir, semoga mereka datang’, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka mahluk-mahluk ini muncul. Mahluk-mahluk itu pun berpikir,’dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. mengapa? Sebab, kita muncul sesudahnya.


Para bhikkhu, dalam hal ini mahluk pertama yang berada di situ memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada mahluk-mahluk yang datang sesudahnya.Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa mahluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi ia meninggalkan kehidupan berumah-tangga dan menjadi pertapa. Karena hidup sebagai pertapa, maka dengan bersemangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka berkata : “Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Penguasa, Tuan dari semua, Pembuat, Pencipta, Maha Tinggi, Penentu tempat bagi semua mahluk, asal mula kehidupan, Bapa dari yang ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas.” **


Dengan mengikuti uraian tentang Maha Brahma dengan segala sifat yang dimilikinya, kita mengerti bahwa wajar dan tepatlah tindakan Sang Buddha menolak paham Maha Brahma ini sebagai Tuhan Pencipta. Paham Maha Brahma sebagai pencipta ini dengan segala sifatnya diklasifikasikan sebagai salah sebuah pandangan sesat dari 62 pandangan sesat yang diuraikan dalam Brahmajala Sutta.

Setelah mengikuti uraian tentang konsep-konsep ajaran agama Buddha yang berbeda dengan konsep-konsep dari agama lain, maka nampak bahwa dasar-dasar pemikiran Buddhis adalah unik dan spesifik Buddhis. Berdasarkan pada dasar-dasar pemikiran itulah maka konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha pun berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dari agama-agama lain.
Catatan:
*) Mereka antara lain :Helmut von Glasenapp, Buddhism, A Non-Theistic Religion, lihat Bab II.Douglas M. Burns, M.D., Buddhism, Science and Atheism.


Kedua penulis ini menitikberatkan pengertian atau konsep Ketuhanan seperti konsep Ketuhanan yang ada pada agama lain di luar agama Buddha. Mereka menanggapi dengan serius tentang Maha Brahma sebagai pencipta yang ditolak oleh Sang Buddha. Bila Maha Brahma dilegitimasikan sebagai atau sama dengan Ketuhanan dalam agama tersebut, ini berarti bahwa Ketuhanan dalam agama tersebut pun turun derajatnya menjadi dewa atau manusia! Jelas pandangan seperti ini adalah keliru.
Menurut pandangan Buddhis, Maha Brahma yang disebutkan dalam Brahmajala Sutta adalah mahluk yang belum mencapi tingkat kesucian, dan pada suatu waktu kelak bila karma baik Maha Brahma tersebut untuk hidup di alam Maha Brahma itu telah habis, maka Maha Brahma itu akan terlahir di alam yang lebih rendah yaitu di alam para dewa (devaloka) atau terlahir sebagai manusia.
Banyak penulis yang berpandangan seperti di atas, tapi karena terbatasnya waktu maka cukup dua penulis itu yang disinggung di sini.
**) Sutta Pitaka, Digha Nikaya I, Proyek Pengadaan Kitab Suci Buddha hal 22-24 Kecuali alam Suddhavasa (Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi dan Akahittha) dari 31 alam ini yaitu 26 alam pernah menjadi tempat kelahiran dari mahluk yang telah menjadi manusia sekarang. Dengan kata lain kita dapat terlahir di 26 alam tersebut, tapi selama kita belum mencapai kesucian atau kebebasan mutlak maka alam kehidupan kita berubah terus. Terlahir kembali menurut pandangan Buddhis yaitu kelahiran seseorang di antara 31 alam kehidupan tersebut. Dalam ungkapan “Bila seorang meninggal dunia maka ia akan langsung terlahir kembali” ini berarti orang tersebut langsung terlahir kembali di salah satu alam dari 31 alam, dan kelahiran ini tergantung dari amal perbuatan selama hidup juga sampai di mana kematangan batinnya. Lima alam Suddhavasa adalah khusus tempat kelahiran para anagami dan dari alam-alam Suddhavasa ini mereka akan parinibbana yang berarti tidak akan terlahir lagi sebagai mahluk di alam mana pun. Nibbana (nirvana) bukan alam tetapi sesuatu keadaan batin yang bebas dari belenggu.
Satu hari di alam Catummaharajika sama dengan 25 tahun di alam manusia.
Kappa atau kalpa sama dengan satu mil kubik berisi biji sesawi dikali 100 tahun untuk setiap biji sesawi tersebut.
Karena hidup di alam surga (dewa) maupun di alam rüpa lama sekali maka banyak mahluk di alam-alam itu salah mengerti dan berpendapat bahwa mereka itu kekal. padahal kehidupan di alam-alam itu tidak kekal.