Minggu, 29 Juli 2012

CULAPANTHAKA



[Siswa Bodoh Yang Memahami Kekotoran Batin]




Amatlah beruntung bila dalam suatu masa kehidupan dapat memiliki guru seperti Hyang Buddha. Guru para dewa dan manusia ini memang sungguh-sungguh seorang guru sejati yang dapat menghantar keberhasilan siswa-siswaNya, apa pun latar belakang, kemampuan, sifat, waktu, tabiat siswa yang bersangkutan.

Beragam ribu murid dengan beragam ribu latar belakangnya: kaya-iskin, macam-macam status, raja maupun petani, pedagang, pekerja, pintar maupun bodoh dihadapi Hyang Buddha dengan sepenuh hati, penuh ketulusan dan selalu berupaya demi semata keberhasilan sang murid.

Sepertinya beragam murid yang dihadapinya bukanlah menjadi masalah bagi Hyang Buddha untuk menghantarnya kepada keberhasilan. Di mata Hyang Buddha, apa pun latar belakang dan keadaan muridnya tetap saja mempunyai potensi dan kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian yang tertinggi.

Begitulah yang terjadi dengan Culapanthaka, siswa bodoh yang akhirnya mencapai kesucian Arahat. Culapanthaka termasuk siswa yang bodoh karena dia tidak mampu mengingat sebuah syair dalam tempo empat bulan, sehingga tidak diperkenankan kakaknya yang pintar, bhikkhu Mahapanthaka untuk dapat makan siang bersama Hyang Buddha dan mendengarkan khotbahNya.

Betapa sedihnya Culapanthaka melihat keadaan dirinya yang bodoh itu. Anak bendahara kerajaan di Rajagaha ini, dia pun merasakan sudah sangat frustasi oleh karena kebodohannya dan sikap kakaknya yang merehemkan dan menilai dirinya sbagai bhiksu yang tidak berguna. Namun, keadaan dirinya yang sudah frustasi itu ternyata tidak luput dari perhatian Hyang Buddha.

Hyang Buddha menyadari meski Culapanthaka seorang yang bodoh, namun masih memiliki keinginan yang keras untuk mendengarkan dan menerima Dharma. Di saat-saat kekecewaan Culapanthaka yang memuncak dan hamper membuahkan untuk undur diri dari hidup kebhiksuan, kembali menjadi permah-tangga, tiba-tiba saja Hyang Buddha yang mengetahui masih adanya keinginan keras Culapanthaka mendengarkan DharmaNya, dan menyuruhnya duduk di depan Gandhakuti.

Kepala Culapanthaka yang tidak memiliki ingatan kuat dan intelegensia yang tidak tinggi itu, Buddha kemudian memberikan selembar kain bersih keadanya dan menyuruhnya untuk menggosok-gosok kain itu sambil duduk menghadap ke timur. Sewaktu mengerjakan tugasnya itu, Culapanthaka diperintahkan untuk mengulang kata "Rajoharanam? yang berarti "kotor?, dan Hyang Buddha sendiri kemudian pergi ke kediaman Jivaka memenuhi undangannya untuk makan bersama dengan para Bhiksu.

Culapanthaka siswa yang dianggap bodoh dan tidak diperkenankan makan bersama dengan Hyang Buddha oleh kakaknya yang pintar, Mahapanthaka itu kemudian mengerjakan tugas yang dititahkan oleh Hyang Buddha dengan sepenuh hati. Ia pun menggosok-gosok lembaran kain tersebut, sambil mengucapkan kata "Rajoharanam?. Berulang-ulang kali kain itu digosok-gosokkan, berulang-ulang kali pun kata "kotor? itu meluncur dari mulutnya. Berulang kali, berulang kali begitu seterusnya, entah sudah yang berapa juta kalinya, kata "kotor? itu keluar dari mulutnya.

Karena terus menerus kain itu digosok, maka kain itu pun menjadi kotor. Tentu saja kain yang menjadi kotor itu bukan lantaran ucapannya yang selalu menyebut-nyebut kata "kotor?, melainkan perubahan yang terjadi atas kain tersebut karena digosok-gosok. Melihat perubahan yang terjadi pada kain itu, - dari bersih menjadi kotor ? Culapanthaka pun tercenung. Ia segera menyadari baha segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal.

Penyadaran ketidakkekalan yang terjadi atas selembar kain yang digosok-gosoknya itu sekaligus menghantar perubahan pada dirinya, pada kesadarannya. Kebodohan itu bukanlah berarti kekal sehingga tidak mungkin dapat berubah. Sebagaimana dukkha yang dialami semua orang namun bukanlah berarti kekal sehingga tidak dapat diatasi demikian pula dengan kebodohan, yang sesungguhnya berkondisi dan dapat mengalami perubahan.

Culapanthaka mencapai pencerahan atas kekotoran batin dari selembar kain yang digosok-gosokannya. Dari rumah Jivaka, Hyang Buddha dengan kekuatan supernaturalnya mengetahui kemajuan yang tejadi pada diri Culapanthaka. Kemudian, Hyang Buddha dengan kemampuan abhinnaNya itu menemui Culapanthaka, sehingga ia seolah-olah berada di hadapan, duduk di depan Culapanthaka, dan berkata:

"Tidak hanya selembar kain yang dikotori oleh debu: dalam diri seseorang ada debu hawa nafsu (raga), debu keinginan jahat (dosa), dan debu ketidaktahuan (moha), seperti ketidaktahuan akan empat kesunyataan mulia. Hanya dengan menghapuskan hal-hal tersebut seseorang dapat mencapai tujuannya dan mencapai arahat.?

Culapanthaka mendengarkan pesan Hyang Buddha itu dan merenungkannya di dalam meditasi. Dalam waktu yang singkat mata batinnya terbuka dan ia mencapai tingkat kesucian arahat, terbebas dari segenap kekotoran batin (kilesa), serta memiliki abhinna dan "Pandangan Terang? terhadap ketidakkekalan segala fenomena.

Culapanthaka yang dinilai bodoh karena tidak mampu menghafal sebuah bait dalam tempo empat bulan, kini dalam sekejap telah mampu melenyapkan kekotoran batinnya atas selembar kain yang digosok-gosoknya sambil mengucapkan kata: "kotor? berulang-ulang. Sungguh luar biasa motede yang dilakukan oleh Hyang Buddha di dalam mengajarkan DharmaNya dan menghantar siswanya mencapai keberhasilan "Pandangan Terang?.

Sebuah motedo yang disesuaikan dengan latar belakang, kebutuhan dan kemampuan siswanya. Seorang Guru Para Dewa dan Manusia seperti Hyang Buddha memang amat pandai di dalam mengajarkan DharmaNya dan mendidik siswaNya. Beragam metode pengajaran muncul dari pengabdianNya selama 45 tahun menghadapi siswa-siswanya yang beragam latar belakang, dan semuanya selalu memperoleh keberhasilan.

Tampaknya, bagi Hyang Buddha tidak ada manusia yang tidak akan mencapai pembebasan walau bagaimana pun latar belakangnya. Cepat atau lambat semuanya akan mencapai keberhasilan, dan snagat beruntung bila menjumpai Guru yang pandai. Culapanthaka yang bodoh, Ambapali yang pelacur, Channa sang kusir yang sombong, Sigala Muda yang berbakti, Rahula anaknya yang memperoleh warisan Dharma, semuanya mencapai pembebasan, bahkan termasuk Devadatta yang sekalipun telah mencoba membunuh Hyang Buddha kelak juga akan terbebas dari neraka avici.

Suatu pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kisah Tokoh Bodhi Culapanthaka dan Hyang Buddha dalam mengajar dan mendidik siswaNya, bahwa hendaknya jangan cepat memvonis atau menilai seseorang secara mutlak-mutlakan, selama diri kita sendiri belum bersih dari kilesa atau kekotoran batin. Siapa pun, apa pun latar belakangnya, kabut macam apa pun yang menyelimutinya, senantiasa potensi kebodhian itu, bodhicitta itu dapat tumbuh, muncul dan berkembang.

Si bodoh Culapanthaka itu pun akhirnya memberikan pelajaran pencerahannya dihadapan para bhiksu yang semula melecehkannya. Bagaikan raungan seekor singa muda, Culapanthaka yang kini telah memiliki kekuatan abinna dan terbebas dari kilesa (kekotoran batin) menyampaikan khotbah tentang keyakinan dan keberanian.

Kemudian kepada para bhiksu yang masih terheran-heran akan pencapaian Culapanthaka itu, Hyang Buddha menandaskan bahwa seseorang yang rajin dan tetap pada perjuangannya akan mencapai tingkat kesucian Arahat. Culapanthaka tlah membalikkan keadaan dirinya, dari kebodohan menjadi tercerahkan. (Jo)

Tidak ada komentar: