Minggu, 30 Oktober 2011

Puasa dalam Agama Buddha


Disampaikan oleh Yang Mulia Bhikkhu Saccadhammo 


Pada Dhammaclass Masa Vassa 6 Oktober 2007 di Vihãra Vidyãloka Yogyakarta


Alkisah, suatu ketika seorang pendeta melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan angkutan umum. Di tengah jalan, ada seorang wanita muda yang lengkap dengan pakaian mininya menyetop angkutan tersebut dan duduk persis di samping pendeta. Doa pertama dari pendeta tadi adalah, “Tuhan jauhkanlah hamba dari segala godaan.” 


Di sebuah tikungan tajam dan berbatu, angkutan umum itu bergoyang-goyang sehingga membuat sang gadis tadi ketakutan. Sebagai akibatnya, badan wanita tadi menyentuh badan sang pendeta. Kali ini, pendeta pun berdoa,” Tuhan, kuatkanlah iman hambamu. Beberapa saat kemudian, jalan yang amat rusak membuat bis melompat-lompat secara amat menakutkan. Begitu menakutkannya sampai-sampai membuat sang gadis memeluk sang pendeta seerat-eratnya. Kali inipun sang pendeta berdoa lagi, “Tuhan, terjadilah apa yang menjadi kehendak-Mu.”
Nafsu keinginan


Nafsu keinginan telah lama menjadi komando yang amat mengerikan dalam kehidupan manusia. Dikatakan komando mengerikan karena nafsu keinginan hanya memiliki daya untuk merusak. Agar keinginannya tercapai, ia tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang jahat. Bila ada yang menghalang-halangi nafsunya, ia pun akan menempuh cara-cara yang kotor untuk melemahkan, bahkan bila perlu menghancurkan pihak-pihak yang menghalanginya. Kehadirannya terus-menerus meminta korban. Nafsu keinginan inilah yang menjangkiti mental para junta militer yang keji [di Myanmar].


Akar dari semua sikap mental ini adalah ketidaktahuan (moha) dan pengetahuan yang salah (avijja). Sikap mental ini kemudian melahirkan egoisme. Bila egoisme telah menguasai batin manusia, nafsu keinginan akan mendominasi pikirannya. Bila ini yang terjadi manusia akan menjadi budak keinginannya. Seorang akan terjangkit keinginan untuk terus berkuasa untuk terus-menerus menjadi pemimpin, dan lain-lain. Dalam tataran yang lebih luas, manusia tidak lagi sekedar mengusahakan apa yang dibutuhkan untuk kebahagiaan hidupnya, tetapi malah terjebak dalam usaha untuk terus-menerus memenuhi apa yang diinginkannya. Padahal kita tahu bahwa keinginan manusia tidak ada batasnya.
lbarat kereta kuda


Kalau boleh dianalogikan, kehidupan manusia yang dikomando nafsu keinginan mirip dengan sebuah kereta yang ditarik oleh enamkuda yang bernama indra-indra. Ditarik oleh kuda liar yang bernama mata, kuda liar yang bernama telinga, hidung, mulut, kulit, dan pikiran. Ada banyak orang yang membiarkan dirinya ditarik secara amat liar oleh mata, telinga, hidung, rasa, kulit dan pikiran.


Begitu melihat benda bagus, timbul nafsu keinginan untuk memilikinya. Ketika telinga mendengar berita buruk, reaksi buruk pun langsung bermunculan. Tatkala bertemu makanan enak, mulutpun minta dipuaskan. Kehidupan demikian amat mirip dengan kereta yang ditarik oleh enam kuda liar, berjalan amat cepat tetapi tanpa diimbangi dengan kusir yang pandai. Akhirnya, jadilah kehidupan manusia laksana sebuah kereta yang lari ke sana kemari tanpa tujuan. Alih-alih sampai ke tempat tujuan, malah akan jatuh ke dalam jurang.


Oleh karena itu, sudah saatnya kita belajar menjadi kusir untuk menjinakkan keenam kuda liar ini. Bukankah kereta kehidupan kita akan mencapai tujuan bila kita dapat menjadi kusir yang piawai mengendalikan kuda-kuda liar tersebut?
Mengendalikan diri


Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mata, telinga, hidung, mulut, kulit dan pikiran. Indera-lndera ini hanyalah instrumen yang netral. Demikian juga tidak ada yang salah dengan kuda-kuda tersebut. Bila bisa dikendalikan, justru akan menjadi sahabat yang bermanfaat. Tidak ada yang salah juga dengan militer, sejauh itu tidak digunakan untuk kepentingan yang kotor. Jadi, semuanya tergantung bagaimana kita menggunakannya. Bila indera-indera ini digunakan untuk sesuatu yang baik maka akan mendatangkankedamaian dan kebahagiaan. Sebaliknya, bila indera-indera ini digunakan secara salah maka akan mendatangkan kegelisahan dan penderitaan. Demikian juga, bila kuda-kuda liar itu bisa dijinakkan dan dikendalikan maka akan membawa kita ke tempat tujuan. Sebaliknya, bila kita tidak sanggup menjadi kusir yang pandai maka kuda-kuda tersebut akan menyeret kita ke dalam jurang.


Oleh karena itu, diperlukan suatu cara untuk mengendalikan keinginan. Bagaimana cara mengendalikan keinginan? Tidak ada jalan lain selain latihan. Dalam konteks ini latihan adalah berpuasa. Berpuasa itu tidak lain adalah latihan pengendalian diri.
Makna puasa


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat Buddhis terdiri dari para rohaniawan (Pabbajjita) dan para perumah tangga/ umat awam (Gharavasa). Para rohaniawan mendisiplinkan kehidupannya dengan menjalankan 227 tata tertib. Sedangkan para perumah tangga/ umat awam mendisiplinkan hidupnya dengan menjalankan tata tertib (Pancasila).


Sesuai tekad yang sudah diambil, para rohaniawan akan menjalankan 227 tata tertib selama hidupnya. Dengan kata lain, para rohaniawan akan berpuasa selama hidupnya. Sementara umat awam yang menjalankan lima sila, pada saat-saat tertentu dianjurkan untuk melakukan latihan spiritual yang lebih tinggi (puasa) dengan menjalankan delapan sila (Atthasila). Secara tradisi para perumah tangga/ umat awam akan menjalankan latihan puasa (Atthasila) pada bulan gelap dan terang (tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan kalender buddhis). Di beberapa tempat, para perumah tangga/ umat awamjuga menjalankan latihan ini pada tanggal 8 dan 23 (penanggalan bulan kalender buddhis). Disebutkan juga bahwa umat Buddha yang menjalankan latihan atthasila berarti sedang menjalankan uposatha, dan uposatha sering disinonimkan dengan kata upavasa.


Menilik kata puasa, banyak ahli bahasa memang menyatakan bahwa “puasa” berasal dari kata upavasa (bahasa Pali). Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia pernah memeluk agama Buddha, dan menjadikannya sebagai agama negara (zaman Syailendra Majapahit) sehingga tidak bisa diragukan lagi bahwa kata puasa berasal dari kata upavasa. Sebagai contoh kita bisa menemukan banyaknya bahasa Pali atau Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, misalnya: suriya menjadi surya, vanita menjadi wanita, dighayu menjadi dirgahayu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Memang, kata puasa belakangan secara formal sudah digunakan oleh umat lslam ketika menjalankan ibadah di bulan ramadhan. Tetapi disebutkan juga bahwa kata puasa tidak ditemukan dalam kitab suci umat lslam. Yang ada dalam kitab suci umat lslam hanya kata saung, tentu pengertiannya mirip dengan kata puasa.


Masalahnya, istilah puasa dalam pengertian umum kita, diterjemahkan lebih sempit dibandingkan istilah upavasa (uposatha). Kata upavasa atau uposatha (dalam kamus bahasa Pali) memiliki arti lebih luas yaitu menghindari nafsu duniawi. Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah puasa memiliki arti yang lebih sempit yakni menghindari makan, minum dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaaan). Adapun upavasa (uposatha atthasila) yang dijalankan oleh umat Buddha adalah:


1. Bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.


2. Bertekad akan melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan.


3. Bertekad akan melatih diri menghindari berhubungan seks.


4. Bertekad akan melatih diri menghindari berbicara atau berucap yang tidak benar.


5. Bertekad akan melatih diri menghindari segala makanan dan minuman yang dapat melemahkan kesadaran.


6. Bertekad akan melatih diri menghindari makan setelah tengah hari.


7. Bertekad akan melatih diri menghindari menyanyi, menari, bermain musik, pergi melihat hiburan, memakai bunga-bungaan, wangi-wangian, serta alat-alat kosmetik yang bertujuan untuk memperindah/ mempercantik diri.


8. Bertekad akan melatih diri menghindari pemakaian tempat tidur dan tempat duduk yang mewah.
Kesimpulan


Bagaimanapun sulitnya, kita sama-sama memiliki kewajiban untuk mengendalikan diri (berpuasa). Bagi perumah tangga, tentu sangat berguna bila sungguh-sungguh mengendalikan diri dengan latihan uposatha atthasila. Mungkin saja, kita belum benar-benar mampu membebaskan batin kita dari nafsu keinginan. Tetapi dengan mengendalikan diri (menjalankan puasa) berarti kita sudah melemahkan nafsu keinginan.


Contoh sederhana saja, kita bisa memulai dari sektor makanan. Kita mengendalikan kuda liar yang bernama mulut (indera perasa) dengan makan secukupnya (sesuai dengan latihan atthasila). Seleksi jenisnya. Pengalaman para bijaksana bertutur, ketika nafsu keinginan dikendalikan (berpuasa) banyak persolan kehidupan kita akan berkurang. Setidaknya, dengan memulai dari sektor makanan, kita telah memilih cara hidup yang sehat. Tidak hanya fisik kita yang sehat, batinpun akan lebih sehat dari penyakit keserakahan dan ketamakan. Lebih jauh lagi kita mengendalikan indera-indera yang lain. Singkatnya, ketika kita sudah melatih diri dengan mengendalikan indera-indera kita, pada saat yang sama kita telah berusaha untuk lepas dari cengkaraman komando nafsu keinginan.

Prinsip Dasar Ajaran BUDDHA




        Para Buddha pada dasarnya mempunyai tiga prinsip dasar ajaran, yaitu seperti yang tercantum di dalam Dhammapada 183 sebagai berikut.

Sabbapâpassa akaranam
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan.

Kusalasupasampadâ
Senantiasa mengembangkan kebajikan.

Sacittapariyodapanam
Membersihkan batin atau pikiran.

Etam buddhâna sâsanam
Inilah ajaran para Buddha.


       Ajaran Sang Buddha memberikan bimbingan kepada kita untuk membebaskan batin dari kemelekatan kepada hal yang selalu berubah (anicca), yang menimbulkan ketidakpuasan (dukkha); karena semuanya itu tidak mempunyai inti yang kekal, tanpa kepemilikan (anatta).

       Usaha pembebasan ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan pengertian masing-masing individu.Jadi, ajaran Buddha bukan merupakan paksaan untuk dilaksanakan. Sang Buddha hanya penunjuk jalan pembebasan,sedangkan untuk mencapai tujuan itu tergantung pada upaya masing-masing. Bagi mereka yang tidak raguragu lagi dan dengan sema-ngat yang teguh melaksanakan petunjukNya itu, pasti akan lebih cepat sampai dibandingkan dengan mereka yang masih ragu-ragu dan kurang semangat.

        Adalah bijaksana bila sebagai umat Buddha, setelah terlahir sebagai manusia tidak tenggelam di dalam kepuasan sang 'aku'. Di dunia ini kita telah diberi warisan yang sangat berharga oleh para bijaksana. Sungguh bahagia bagi manusia yang bisa menerima ajaran Buddha yang telah dibabarkan di hadapan kita.Mengapa? Karena hadirnya seorang Buddha di alam kehidupan ini adalah sangat jarang. Di dalam Dhammapada 182 disebutkan demikian:

Kiccho manussapatilâbho
Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia.

Kiccho maccâna jîvitam
Sungguh sulit kehidupan sebagai manusia.

Kiccho saddhammasavanam
Sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar.

Kiccho buddhânamuppâdo
Sungguh sulit munculnya seorang Buddha.


        Jadi, manfaatkanlah kehidupan kita sebagai manusia sekarang ini untuk lebih giat lagi mempelajari Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan kepada manusia dan bahkan juga kepada para dewa, adalah demi keuntungan manusia dan para dewa itu sendiri guna mencapai Kebebasan Mutlak (Nibbâna).

( Dawai )

Menunduklah, Maka…


… berubah sesuai kondisi adalah orang pandai,
bertindak mengikuti situasi adalah orang bijaksana …

Seorang bhiksu ketua sebuah vihara Chan yang berusia lanjut bermaksud
mencari penerus. Suatu hari beliau memanggil dua orang siswa utama,
Huiming dan Chenyuan. Beliau berucap, “Siapa yang berhasil memanjat tebing
terjal di belakang vihara hingga mencapai puncaknya, dialah penerusku.”
Huiming dan Chenyuan segera menuju tebing yang dimaksud. Benar-benar sebuah tebing yang berbahaya dan menakutkan.
Dengan pe-de Huiming yang berbadan kekar dan kuat segera memanjat tebing itu.
Namun tak berapa lama ia jatuh terperosot. Ia bangkit dan kembali memanjat. Kali ini dengan lebih hati-hati. Tetapi ia sekali lagi harus berguling-guling jatuh ke tempat semula. Setelah beristirahat sejenak, ia kembali memanjat. Meski harus jatuh dengan hidung berdarah dan muka memar, Huiming terus berjuang pantang menyerah.
Sangat disayangkan, semangat pantang mundur itu tak membuahkan hasil. Ketika hampir mencapai pinggang gunung, ia jatuh dengan kepala membentur batu cadas yang menjorok keluar. Ketua vihara memerintahkan beberapa bhiksu untuk menurunkan Huiming yang sedang dalam keadaan pingsan.
Selanjutnya giliran Chenyuan. Seperti halnya Huiming, ia juga mati-matian
memanjat tebing yang menantang itu.
Namun ia menerima hasil yang sama dengan Huiming, harus jatuh berulangkali. Ketika bersiap mengikat tali untuk kesekian kalinya, secara tak sengaja ia menunduk dan melihat pemandangan di bawahnya.
Seketika itu juga Chenyuan membuang perlengkapan panjatnya, membersihkan dan merapikan pakaian, lalu segera menuruni tebing dan berjalan ke arah kaki gunung.
Semua bhiksu yang hadir di sana tak mengerti apa yang terjadi. Benarkah
Chenyuan telah menyerah kalah? Semua ribut membicarakan Chenyuan, hanya bhiksu ketua yang berdiam diri menatap kepergian Chenyuan.
Setiba di kaki gunung, Chenyuan menyusuri aliran sungai berjalan mendaki ke atas gunung. Ia menembus barisan pepohonan, menapak lembah, …, hingga akhirnya tiba di puncak gunung yang juga merupakan puncak tebing terjal.
Sekembali ke vihara, Chenyuan menghadap bhiksu ketua. Semua bhiksu mengira bhiksu ketua pasti akan memarahinya sebagai seorang pengecut yang tak berani menghadapi tantangan, atau bahkan mengusirnya keluar dari vihara.
Tak dinyana, bhiksu ketua justru dengan penuh senyum mengumumkan bahwa
Chenyuan adalah ketua vihara yang baru.
Sekali lagi, para bhiksu tak tahu apa yang sedang terjadi.
Chenyuan kemudian menjelaskan pada para bhiksu yang hadir. “Kekuatan manusia tidak mampu menaklukkan tebing terjal di belakang vihara, tetapi bila berdiri di pinggang gunung dan menundukkan kepala, maka akan terlihat sebuah jalan yang menuju ke atas gunung. Shifu sering mengatakan: ‘berubah sesuai kondisi adalah orang pandai, bertindak mengikuti situasi adalah orang bijaksana’, ini mengajarkan kita untuk bersikap fleksibel.”
Bhiksu ketua mengganggukkan kepala menyatakan kepuasannya atas penjelasan Chenyuan. Beliau menambahkan, “Bila tergoda mengejar nama dan keuntungan maka di hati kita hanya ada tebing terjal.
Tidak ada yang membuat penjara, kita sendirilah yang membuat penjara dalam
hati. Kita bertikai dan menghabiskan enerji di dalam penjara nama dan keuntungan itu.
Akibatnya kita penuh diliputi kecemasan dan kesedihan, pun dapat terluka dan cacat, bahkan menjadi luluh lantak karenanya.”
Setelah menyerahkan jubah, mangkuk dan tongkat kepada Chenyuan,
bhiksu ketua memberi wejangan pada semua yang hadir.
“Memanjat tebing terjal, tujuannya adalah menjajaki hati kalian. Bagi mereka yang mampu mengendalikan diri sehingga tidak terperangkap memasuki penjara nama dan keuntungan, tak ada lagi aral rintangan dalam hatinya.
Ia bertindak sesuai kondisi. Itulah orang yang kuinginkan.”
Demikianlah orang bodoh di dunia ini.
Banyak di antara mereka yang terpaku pada keberanian dan kekeraskepalaan, namun acap kali menerima akibat seperti halnya Huiming dalam kisah di atas. Mereka tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan, justru yang diperoleh hanyalah muka memar dan pulang dengan tangan kosong. Untuk
dapat mewujudkan keinginan, yang kita perlukan adalah menengok ke bawah dengan hati yang tak kemaruk akan godaan dan tenang.

(SINAR DHARMA)

Mengatasi Kematian


Oleh: Alm. Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera


Memang adalah suatu fakta/kenyataan dari hidup ini bahwa pada suatu saat kita pasti akan berpisah dengan apa yang sangat dicintai, juga akan berpisah dengan jasmani kita sendiri. Apabila seorang yang sangat dicintai meninggal, kita akan merasa sangat sedih dan sangat sukar rasanya mengatasi kesedihan ini. Tetapi ajaran Sang Buddha dapat menolong kita mengatasi kesedihan ini dengan jalan berusaha melihat kenyataan dari apa sebenarnya keadaan hidup dan kehidupan ini.

Dalam kitab Visuddhi Magga, Bab VIII, 39; kita dapat membaca tentang bagaimana pendeknya waktu dari proses hidup dan kehidupan ini. Bahwa menurut kebenaran mutlak atau kebenaran tertinggi, sesungguhnya proses hidup dan kehidupan itu berlangsung sangat pendek dan cepat sekali, hanya persis sesaat dari keadaan satu saat kesadaran yang muncul sekejap dan kemudian segera lenyap. Sama seperti sebuah roda kereta yang berputar, menggelinding hanya pada satu titik demi satu titik dan bila berhenti menggelinding, berhenti hanya pada satu titik. Demikian pula proses dari hidup dan kehidupan ini berlangsung hanya pada satu saat kesadaran yang muncul sesaat dan kemudian segera lenyap.

Dengan demikian berarti kita sesungguhnya telah mengalami kematian/perubahan setiap saat, atau lahir dan mati setiap saat. Apabila kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini telah berhenti, maka proses hidup dan kehidupan ini dikatakan telah berhenti. Senang, susah, sedih, gembira, dan seterusnya hanya muncul bersama kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini. Tiada dunia atau hidup dan kehidupan bisa muncul apabila tiada kesadaran muncul. Apabila proses kesadaran muncul, di situ muncul pula proses hidup dan kehidupan. Apabila proses kesadaran berhenti maka proses hidup dan kehidupan disebut berhenti pula.

Apa yang kita namakan mati sesungguhnya tiada berbeda dengan proses timbul-lenyap timbul-lenyap dari satu saat kesadaran. Tiap-tiap saat kesadaran yang muncul, segera lenyap secara utuh, tetapi menyebabkan atau mengkondisikan timbulnya saat kesadaran yang baru, yang segera lenyap pula, demikian seterusnya dan seterusnya. Kesadaran akhir dari kehidupan ini, apa yang dinamakan saat kesadaran kematian atau cuti-citta, begitu ia lenyap segera digantikan oleh saat pertama dari kesadaran akan kehidupan berikutnya yang dinamakanpatisandhi-citta. Di situ tidak terdapat sang aku pada setiap proses hidup dan kehidupan ini, dan betul-betul tidak ada sang aku atau sang roh yang mengembara dari kehidupan yang lalu, sekarang, atau kehidupan yang akan datang.

Adalah semata-mata kebodohanlah yang membuat kita berpikir bahwa badan jasmani dan batin ini adalah kekal. Kita sangat melekat pada badan jasmani dan batin ini dan menganggapnya sebagai aku dan milikku. Kita berpendapat bahwa sang akulah yang melihat, mendengar, merasa, berpikir, dan bergerak ke mana-mana. Melekat pada sang aku inilah yang menyebabkan dukkha. Sang aku menginginkan dan berkhayal akan mengalami awet muda untuk waktu yang sangat panjang, tetapi apabila kita mengalami masa tua, sakit, dan mendekati kematian; kita merasa sedih, takut, cemas, seolah-olah tidak terima sama sekali. Mereka yang bodoh dan tidak mengerti akan fakta dan kenyataan dari hidup dan kehidupan ini, tidak akan bisa mengerti bahwa penderitaan bersumber dan berasal dari kemelekatan, seperti apa yang dijelaskan dalam Kebenaran Mulia Kedua tentang sebab dari derita. Kita seyogyanya berusaha menginsafi secara benar-benar bahwa segala sesuatu yang disebut jasmani dan batin ini adalah anicca, dukkha, anatta, sunnata, tathata, dan idappaccayata. Sang Buddha menunjukkan tentang ketidak-kekalan segala sesuatu (jasmani dan batin) dengan berbagai macam jalan dan cara. Beliau mengajarkan ketidak-kekalan dari jasmani ini untuk menolong kita agar tidak melekat pada pandangan keliru tentang "badanku atau badan ini adalah kepunyaanku". Beliau mengajarkan cara bermeditasi pada kekotoran, kebusukan, dan keburukan dari jasmani ini, dengan bermeditasi pada mayat dalam berbagai tingkat kehancuran, kita dapat membaca di dalam Maha Satipatthana Sutta, Digha Nikaya: "Dan lagi, O, para bhikkhu, sebagai bhikkhu seharusnya berusaha bisa melihat satu mayat yang ditaruh di kuburan, mati baru sehari atau dua hari, tiga hari, lalu membengkak, warnanya berubah, terpecah-pecah, kemudian merenungkan bahwa jasmani sendiri juga adalah secara alamiah sama, pasti akan mengalami kematian".

Didalam Visuddhi Magga, Bab VI, 88, dijelaskan bahwa jasmani ini juga sama kotornya, busuknya, buruknya seperti mayat; hanya sifat dari kebusukan, keburukannya, tidak terang jelas dan tampak nyata pada jasmani yang masih hidup ini karena disembunyikan oleh berbagai hiasan alamiah dan hiasan buatan manusia sendiri yang sangat lihay. Untuk membuktikan jasmani yang masih hidup ini penuh dengan kekotoran, kebusukan, kuburukan, Sang Buddha mengajarkan apa yang tercantum pada Maha Satipatthana Sutta sebagai berikut: "Dan lagi, O, para bhikkhu, seorang bhikkhu seyogyanya merenungkan secara teliti bahwa jasmaninya sendiri terbungkus oleh kulit dan penuh dengan bermacam-macam kekotoran, kebusukan, keburukan dari telapak kaki naik ke atas dan dari ujung kepala turun ke bawah. Bahwa pada jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, kulit, daging, sumsum, tulang, ginjal, hati, limpa, dan seterusnya".

Juga kita harus selalu merenungkan bahwa jasmani ini terdiri atas empat unsur pokok, yaitu:
1.
Unsur tanah yang muncul dalam sifat padat/keras dan lembut/halus.
2.
Unsur cair yang muncul dalam sifat cair atau perekat.
3.
Unsur api yang muncul dalam sifat panas dan dingin.
4.
Unsur angin yang muncul dalam sifat gerak dan tekanan.


Keempat unsur pokok ini, apakah mereka berada dalam mayat atau dalam badan yang masih hidup, adalah sama. Itulah sebabnya mengapa perenungan terhadap kekotoran, kebusukan, dan keburukan jasmani, dan merenungkan jasmani ini yang terdiri atas keempat unsur pokok tersebut di atas yang berbeda-beda sifatnya, sangat menolong kita untuk tidak melekat lagi pada jasmani ini dan tidak lagi menganggap jasmani ini sebagai milikku dan kepunyaanku. Memang bukanlah suatu keharusan atau paksaan bagi seseorang untuk selalu sadar akan proses batin dan jasmani yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kita juga seyogianya mempertimbangkan baik-baik apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita. Apakah kita terus-menerus ingin menjadi orang bodoh, penuh dengan kemelekatan dan menganggap secara kokoh dan fanatik bahwa proses jasmani dan batin adalah tergolong aku dan kepunyaanku? Apakah kita tetap menginginkan hidup dalam kegelapan ataukah kita ingin mengembangkan kebijaksanaan untuk bisa mengakhiri dukkha? Apabila kita memilih sang jalan untuk mengakhiri dukkha, kita harus mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti apabila kita sedang duduk, berdiri, berjalan, bekerja, dan seterusnya, apabila kita sedang mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, merasa, berpikir, senang, susah, rindu, cemas, dan seterusnya; ketahuilah, maklumilah bahwasanya kesemua proses jasmani dan batin ini adalah hanya gejala/fenomena jasmani dan batin yang timbul sekejap, di situ ia timbul, di situ pulalah ia segera lenyap. Ia timbul karena adanya sebab dan syarat dan ia segera lenyap, tetapi menjadi sebab dan syarat pula bagi timbulnya proses batin dan jasmani yang baru.

Inilah satu-satunya jalan untuk bisa merealisasi bahwa segala sesuatu yang disebut batin dan jasmani adalah anicca, dukkha, anatta, sunnata, tathata, dan idappaccayata. Dengan jalan ini kebodohan dan kemelekatan dapat diatasi. Tetapi kebodohan dan kemelekatan itu tidak bisa dihancurkan secara total dalam waktu yang singkat. Ia baru dapat dihancurkan secara total apabila seseorang telah mencapai kesucian tertinggi tingkat Arahat. Pada waktu sang Buddha wafat mencapai parinibbana, para bhikkhu yang masih punya kebodohan dan kemelekatan menangis sedih dan berguling-guling di atas tanah, tetapi para bhikkhu yang kebodohan dan kemelekatannya telah hancur, melihat wafatnya Sang Buddha sebagai peristiwa yang wajar dan alamiah saja. Mereka penuh pengertian.

Marilah kita mengenang kembali sabda Sang Buddha kepada Ananda ketika Sang Buddha mendekati waktu wafatNya mencapai Parinibbana sebagai berikut:
"Ananda, jadilah pulau bagi dirimu sendiri, pelindung bagi dirimu sendiri, jangan mencari perlindungan di luar, dengan Dhamma sebagai pulaumu, Dhamma sebagai pelindungmu, tidak mencari perlindungan lain. Dan bagaimana Ananda, seorang bhikkhu menjadi pulau bagi dirinya, perlindungan bagi dirinya, dengan Dhamma sebagai pulaunya, Dhamma sebagai pelindungnya, tidak mencari perlindungan lainnya? Bila ia mengembara merenungkan jasmani di dalam badan jasmaninya dengan sungguh-sungguh disertai dengan pengertian yang jelas, terang, dan dengan penuh kesadaran, setelah mengatasi nafsu keinginan dan duka cita dalam memandang pada dunia, hidup dan kehidupan ini, ia mengembara merenungkan perasaan di dalam perasaannya, pikiran di dalam pikirannya, dan obyek mental di dalam obyek mental". Ini berarti tidak merenungkan adanya sang aku di dalam badan, perasaan, pikiran, dan obyek mental. Inilah cara satu-satunya untuk dapat melihat kebenaran tertinggi dari apa adanya yang sebenarnya dari proses batin dan jasmani, yaitu Anicca, Dukkha, Anatta, Sunnata, Tathata, dan Idappaccayata; pengertian mana yang dapat mengatasi kebodohan dan kemelekatan, mengatasi dukkha, dan mengatasi kematian.

[Dikutip dari Mutiara Dhamma ]

KEBAHAGIAAN SEBAGAI PILIHAN


pada suatu zaman di tiongkok, hiduplah seorang jenderal besar yang selalu menang dalam setiap pertempuran. Karena itulah, ia dijuluki "sang jenderal penakluk" oleh rakyat. suatu ketika, dalam sebuah pertempuran, ia dan pasukannya terdesak oleh pasukan lawan yang berkali lipat lebih banyak.
mereka melarikan diri, namun terangsak sampai ke pinggir jurang. pada saat itu para prajurit sang jenderal menjadi putus asa dan ingin menyerah kepada musuh saja. sang jenderal segera mengambil inisiatif,"wahai seluruh pasukan, menang kalah sudah ditakdirkan oleh dewa-dewa.
kita akan menanyakan kepada para dewa, apakah hari ini kita harus kalah atau akan menang. saya akan melakukan tos dengan keping keberuntungan ini!
jika sisi gambar yang muncul, kita akan menang. jika sisi angka yang muncul, kita akan kalah! Biarlah dewa-dewa yang menentukan!" seru sang jenderal sambil melemparkan kepingnya untuk tos.ternyata sisi gambar yang muncul! keadaan itu disambut histeris oleh pasukan sang jenderal, "hahaha… dewa-dewa di pihak kita! kita sudah pasti menang!!!" dengan semangat membara, bagaikan kesetanan mereka berbalik menggempur balik pasukan lawan. akhirnya, mereka benar-benar berhasil menunggang-langgangkan lawan yang berlipat-lipat banyaknya.pada senja pasca -kemenangan, seorang prajurit berkata kepada sang jenderal,
"kemenangan kita telah ditentukan dari langit, dewa-dewa begitu baik terhadap kita."
sang jenderal menukas, "apa iya sih?" sembari melemparkan keping keberuntungannya kepada prajurit itu. si prajurit memeriksa kedua sisi keping itu, dan dia hanya bisa melongo ketika mendapati bahwa ternyata kedua sisinya adalah gambar.
memang dalam hidup ini ada banyak hal eksternal yang tidak bisa kita ubah; banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan kehendak kita.namun demikian, pada dasarnya dan pada akhirnya, kita tetap bisa mengubah pikiran atau sisi internal kita sendiri: untuk menjadi bahagia atau menjadi tidak berbahagia.
Jika bahagia atau tidak bahagia
diidentikkan dengan nasib baik atau nasib buruk,
maka sebenarnya nasib kita tidaklah ditentukan oleh siapa siapa,
melainkan oleh diri kita sendiri.
ujung-ujungnya, kebahagiaan adalah sebuah pilihan proaktif.

"the most proactive thing we can do is
to 'be happy'," begitu kata stephen r. covey dalam buku the 7 habits-nya.

sumber:
suara merdeka  cyber  news

HADIAH CINTA SEORANG IBU



"bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan. ketika
gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan napasnya.

dok ter yang menungguinya segera berbalik memandang

ke arah luar jendela rumah sakit. bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!

waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh

menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.

suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan

wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. anak lelaki itu terisak-isak berkata, "seorang anak laki laki besar mengejekku. katanya, aku ini makhluk aneh.

"anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. ia pun

disukai teman-teman sekolahnya. ia juga mengembangkan bakatnya di bidang music dan menulis. ia ingin sekali menjadi ketua kelas. ibunya mengingatkan, "bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja remaja lain?"

namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.

suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. tetapi harus ada seseorang yang bersedia

mendonorkan telinganya," kata dokter. kemudian, orangtua anak

lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan

mendonorkannya pada mereka. beberapa bulan sudah berlalu.

dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. kami harus

segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. namun,

semua ini sangatlah rahasia," kata sang ayah.

operasi berjalan dengan sukses. seorang lelaki baru pun lahirlah. bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.

beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai

seorang diplomat. ia menemui ayahnya, "yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."

ayahnya menjawab, "ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."

tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan

rahasia. hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. di

hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja

meninggal. dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah

ibu  yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya

sehingga tampaklah.... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"


kecantikan yang sejati tidak terletak

pada penampilan tubuh namun di dalam hati.

harta karun yang hakiki tidak terletak

pada apa yang bisa terlihat,

namun pada apa yang tidak dapat terlihat.

cinta yang sejati tidak terletak

pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui,

namun pada apa yang telah dikerjakan namun

tidak diketahui.


 Dawai )

Gelembung Air


Dahulu kala, ada seorang putri raja, dia adalah seorang putri kesayangan dari raja. Raja mengganggapnya sebagai permata hati, apapun permintaannya akan segera dipenuhi.
Putri raja ini bagaikan sekuntum bunga yang tumbuh didalam rumah kaca, yang mendapat kasih sayang yang berlebihan sehingga menjadi manja.
 Pada suatu hari, turun hujan yang deras, lubang-lubang yang berada dijalan digenangi air hujan, bagaikan sebuah kubangan kecil.
Hujan yang jatuh di dalam kubangan kecil ini menimbulkan gelembung-gelembung air bagaikan balon kecil yang warna-warni, Putri melihat balon kecil lucu ini sangat tertarik, di dalam hatinya berpikir.
”Alangkah bagusnya jika dapat mengambil balon-balon kecil ini dibuat menjadi rangkaian mahkota… Pasti saya akan menjadi pusat perhatian semua orang," pikirnya.
Setelah berpikir demikian putri lalu berlari menghadap raja, dengan manja meminta raja menyuruh orang mengambil gelembung-gelembung air ini dijadikan mahkota.
 “Ha..ha! ha..ha! Permata hatiku, gelembung air begitu rapuh, disentuh saja pecah, bagaimana bisa mengambilnya dirangkai menjadi mahkota?” sambil berkata demikian perasaan raja bercampur aduk, antara ingin tertawa dan menangis.
 “Saya tidak peduli!, Jika ayahanda tidak mengambil gelembung air untuk saya, saya akan mati dihadapan ayah!” kata Putri merajuk.
 Raja kehabisan akal, maka dia mengumpulkan seluruh orang-orang pintar di negrinya lalu berkata kepada mereka.
”Segera ambil gelembung-gelembung air, buatlah menjadi sebuah rangkaian bunga mahkota, pasangkan diatas kepala putri, jika tidak bisa memenuhi permintaan ini, akan dihukum mati!” ujarnya.

Seluruh orang pintar yang mendengar permintaan raja, paras mereka segera berubah menjadi pucat pasi. Tetapi pada saat ini ada seorang pintar yang agak tua keluar dari barisan menghadap ke raja sambil berkata dia dapat memenuhi permintaan raja, mendengar perkataannya raja sangat senang, segera melapor kabar baik ini kepada putrinya .
“Putri kesayanganku! Hari ini ada seorang pintar tua, dia berkata bisa mengambil gelembung air merangkainya menjadi mahkota, apakah engkau mau pergi menyaksikannya putriku?.”
 “Benarkah ayahanda? Sungguh kabar baik!” Putri dengan rasa menang tertawa dengan gembira.
 Pada hari sewaktu pengambilan gelembung air, raja dan putri dengan serius berdiri disana memperhatikan dengan cermat. Pada saat ini orang pintar tua ini berkata.
 “Baginda, hamba tidak tahu gelembung air ini mana yang cantik dan mana yang jelek? Apakah bisa menyuruh tuan putri memilih sendiri mana yang diinginkan, sehingga hamba bisa merangkainya menjadi sebuah mahkota?”
 Putri setelah mendengar perkataannya, dengan semangat datang ke kubangan kecil ini memilih gelembung-gelembung yang diinginkan. Tetapi pada saat itu dia menyadari ketika tangannya dengan ringan menyentuh ke gelembung air itu, gelembung itu langsung pecah dan hilang, putri tidak patah semangat, sekali demi sekali dia mencoba terus, tetapi akhirnya tidak ada sebuah gelembung airpun bisa diangkatnya.
 Setelah setengah hari berlalu, putri merasa bosan dan capek, dia lalu berkata kepada raja :”Ayah, sekarang putri mengerti bahwa gelembung air ini bagaikan benda khayalan yang tidak dapat disentuh, hanya orang sebodoh saya demi mendapatkannya dengan susah payah menghabiskan waktu dan pikiran!”
 Sebenarnya, banyak barang didunia ini, dapat berubah dan hilang dalam sekejab, benda yang tidak nyata berupa khayalan sebenarnya tidak hanya gelembung air. Yang sungguh menyedihkan adalah banyak orang yang menggunakan seluruh pikiran dan tenaganya seumur hidupnya mengejar materi dan uang, yang akhrinya seperti gelembung air ini yang hanya merupakan sebuah khayalan saja! (Erabaru/hui)

Sumber :

CUACA YANG DI SUKAI


Tamu restoran bertanya pada pelayan,
“Prakiraan cuaca untuk esok hari gimana?”
Pelayan dengan mantap menjawab, “Pasti cuaca yang saya sukai.”

Tamu restoran tidak mengerti maksud ucapan itu. “Koq kamu bisa tahu persis kalau cuaca esok hari adalah cuaca yang kamu sukai?”

Pelayan menjelaskan, “Lingkungan di sekitar sering tidak sesuai dengan kehendak saya, sebab itu saya belajar menyukai segala sesuatu yang saya hadapi. Jadi gampang saja, cuaca esok hari pasti adalah cuaca yang saya sukai.”

Hari-hari yang gembira itu terbentuk dari pikiran yang gembira.
Sikap kita menentukan emosi kita, mempengaruhi kesehatan kita,bahkan mengubah hal-hal yang kita hadapi hari ini.Segala sesuatunya harus selalu dilihat dari sudut yang bermanfaat dan menyenangkan, inilah jalan menuju jiwa yang sehat,juga satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.

Disadur dari artikel Mandarin “Xi Huan De Tian Qi”.

Bukan Demi Marah Menjadi Manusia


 Ada seorang biarawan yang sangat menyukai bunga anggrek. Biasanya, selain memberi ceramah waktu yang tersisa dipergunakannya untuk mengurus bunga-bunga anggrek yang ditanam di taman biara.

Pada suatu hari ketika hendak pergi berkelana, dia berpesan kepada muridnya, harus hati-hati merawat pohon bunga anggreknya.

 Selama kepergiannya, muridnya dengan teliti memelihara pohon bunga-bunga anggrek tersebut. Namun, pada suatu hari ketika sedang menyiram pohon bunga anggrek tersebut tanpa sengaja menyenggol rak-rak pohon tersebut sehingga semua pohon anggrek berjatuhan dan pot anggrek tersebut pecah berantakan dan pohon anggrek berserakan.

 Muridnya sangat ketakutan, bermaksud menunggu gurunya pulang dan meminta maaf sambil menunggu hukuman yang akan mereka terima.

 Setelah biarawan pulang mendengar kabar itu, lalu memanggil para muridnya, dia tidak marah kepada muridnya, bahkan berkata, “Saya menanam bunga anggrek, alasan pertama adalah untuk dipersembahkan di altar Budha, dan yang kedua adalah untuk memperindah lingkungan di biara ini, bukan demi untuk marah saya menanam pohon anggrek ini.”

 Perkataan biarawan sungguh benar, “Bukan demi untuk marah menanam pohon anggrek.”

Dia bisa demikian toleran, karena walaupun menyukai bunga anggrek, tetapi di hatinya tidak ada rasa keterikatan akan bunga anggrek, oleh sebab itu ketika dia kehilangan bunga-bunga anggrek tersebut, tidak menimbulkan kemarahan di dalam hatinya.

 Sedangkan kita di dalam kehidupan kita sehari-hari,  hal yang kita khawatirkan terlalu banyak, kita terlalu peduli kepada kehilangan dan memperoleh, sehingga menyebabkan keadaan emosi kita tidak stabil, kita merasa tidak bahagia.

Maka seandainya kita sedang marah, kita bisa berpikir sejenak,

 “Bukan demi marah saya bekerja.”

 “Bukan demi marah saya mengajar.”

 “Bukan demi marah menjadi sahabat.”

“Bukan demi marah menjadi suami istri.”

 “Bukan demi marah melahirkan dan mendidik anak.”

 Maka kita bisa mencairkan rasa marah dan kesusahan yang ada di dalam hati kita dan berubah menjadi damai.

 Oleh sebab itu setelah membaca artikel ini, ketika engkau hendak bertengkar dengan sahabat, dengan orang rumah atau keluarga, engkau harus ingat perjumpaan kalian, bukan demi untuk rasa marah. (Erabaru/hui)


Sumber :

http://erabaru.net/cerita-budi-pekerti/71-cerita-budi-pekerti/20593-jangan-marah

Benar dan salah: sejauh itu saja kah?

Terdapat dua hal ekstrim dalam hal ini. Yang pertama adalah sekelompok orang yang berpandangan: “Kalau bukan demikian, maka pasti salah. Hanya yang ini benar, yang lainnya salah.” Ini adalah pandangan ekstrim jenis pertama. Jenis orang seperti ini adalah tergolong orang yang kolot, ekstrimis, yang umumnya kurang memiliki toleransi. 
Kesulitan yang akan ditempuh jenis orang pertama ini adalah ketenangan batin. 
Mereka cenderung akan sulit meraih batin yang tenang dan tentram, yang merupakan persyaratan dalam mencapai kebahagiaan dalam Dhamma.

Jenis ekstrim kedua adalah orang yang berpandangan, “Tidak ada benar dan salah. Semuanya adalah sama saja.” Jenis orang kedua ini adalah orang yang liberal, yang umumnya tidak memiliki kepercayaan, yang skeptikal. Mereka cenderung akan sulit meraih kebijaksanaan yang mendalam, yang juga merupakan persyaratan dalam mencapai kebahagiaan dalam Dhamma.Mengerti bahaya dari kedua pandangan ekstrim ini, maka seorang Buddhis seharusnya menelusuri jalan tengah,yang terelak dari dua ekstrim yang berbahaya yang disebut di atas.

Kalau kita meneliti ajaran Buddha secara lebih cermat, maka kita akan mengetahui dengan jelas bahwa ajaran Buddha adalah bersifat perlahan-lahan meningkatkan pemahaman kita (pandangan), kemudian meningkatkan perilaku kita (sîla), dan setelah itu meningkatkan kualitas pikiran kita (meraih kebijaksanaan dan ketenangan batin yang lebih tinggi tingkatnya), dan pada akhirnya menyuruh kita untuk melepaskan semuanya!
Poin yang ingin ditekankan di sini adalah kata “perlahan-lahan.”

Banyak umat Buddha yang begitu ingin mencapai tujuan akhir (Nibbânasehingga mereka langsung tancap gas ke latihan meditasi tanpa mengerti secara jelas dulu apa yang akan diraih dari meditasi mereka dan apa peran meditasi dalam mecapai tujuan akhir tersebut. 

Mereka lebih memilih mengikuti ajaran seseorang yang terkenal dalam bidang meditasi, tanpa secara cermat dan teliti menganalisa metode yang diajarkan tersebut terdahulu. Tanpa ragu, kita dapat mengatakan bahwa “analisa Dhamma” adalah sesuatu yang harus dimiliki dan dikembangkan dalam diri seorang Buddhis. Analisa Dhamma adalah faktor kedua dari 7 faktor pencerahan,yang merupakan persyaratan utama yang telah disebut dan dijelaskan oleh Buddha berkali-kali [SN 46.16].

Pandangan adalah sebagai landasan utama. Pandangan yang tidak sejalan dengan Dhamma akan menghasilkan pikiran yang juga tidak sejalan dengan Dhamma, kemudian menghasilkan perkataan dan perbuatan yang juga tidak sejalan dengan Dhamma
Dalam hal ini, seorang Buddhis seharusnya mengutamakan pandangan mereka. 
Secara umum, Buddhis  atau tidak bukanlah dinilai dari berapa liontin Buddha yang ia pakai atau dari organisasi apa yang ia ikuti, akan tetapi dari pandangannya terhadap hidup ini. 

Seseorang dapat meraih pandangan yang sesuai Dhamma dengan banyak cara. Semua hal ini juga telah dijelaskan oleh Buddha, antara lain, rajin dan teliti mempelajari Dhamma, bergaul dengan mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma, sering merenungi dan menganalisa Dhamma [yang telah didengar/dibaca tersebut], dan berusaha hidup sesuai dengan Dhamma [SN 55.55].

Maka kalau kita kembali ke topik pembahasan kita, “Benar dan salah, sejauh itu saja kah?” tentu kita akan menarik kesimpulan bahwa Dhamma mengajarkan kita secara bertahap-tahap cara untuk menghindari hal-hal yang merugikan (yakni : hal-hal yang menjauhkan diri kita dari tujuan Dhamma), kemudian mengembangkan hal-hal yang meningkatkan kualitas kita demi meraih ketenangan batin dan kebijaksanaan (keduanya adalah syarat kebahagiaan sejati dalam Dhamma). Dan dalam konteks ini, benar dan salah hanyalah berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing kita ke tujuan, dan bukanlah sesuatu yang mutlak (tidak terkondisi). Yakni ia sendiri bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan. Dan pada akhirnya alat ini juga akan dilepaskannya.

Contohnya bila seseorang terlalu terikat pada apa yang benar dan salah, dan tidak mengerti tujuan yang lebih mendalam darinya, maka ia akan berdebat sengit dengan orang lain, “Yang ini benar, yang lainnya salah.” Dari pandangan ini, maka kebencian akan muncul. Sebagai Buddhis yang terpelajar, kita dapat menyimpulkan tanpa keraguan bahwa, “Apapun yang menghasilkan kebencian adalah dengan sendirinya tidak sesuai dengan Dhamma.” 

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan ekstrim seperti ini adalah tidak sejalan dengan Dhamma.Jadi dalam hal ini, kita seharusnya memiliki pandangan yang sesuai dengan Dhamma, yang dapat melihat langsung pandangan-pandangan dangkal yang ekstrim tersebut, dan setelah itu melenyapkan pandangan-pandangan ekstrim tersebut dari diri kita. Ingat, pergunakanlah Dhamma ini bagaikan rakit!

( Andromeda Nauli, Ph.D.)


Meluhurkan Batin


Oleh (Alm) Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera

Saya akan menjelaskan tentang bagaimana kita harus betul-betul berdiri di atas kaki sendiri, untuk mencari Dhamma, mempelajarinya, menghayatinya kemudian mengamalkan, mengembangkan sampai menjadi orang yang sukses melaksanakan Dhamma, yaitu minimal mencapai pannya atau kebijaksanaan.

Saya akan menceritakan suatu masalah. Pada kira-kira 10-15 tahun yang lampau, keadaan masyarakat kita di Indonesia oleh kantor statistik digambarkan bahwa 80% masyarakat kehidupannya masih di bawah standard, masih miskin. Jadi penghidupannya sangat bergantung kepada majikan yang murah hati, untuk memberikan pekerjaan. Hidupnya morat-marit, kadang kerja menjahit, satu minggu kemudian menjadi pelayan, satu minggu lagi menjadi petani, satu minggu lagi tarik becak, dan sebagainya. Jadi kehidupannya di bawah standard, tergantung sekali kepada majikan-majikan. Tetapi sayang sekali, pemerintah belum pernah mengadakan statistik tentang kemiskinan batin, kemiskinan rohani. Mana pernah pemerintah mencatat, oh orang ini miskin rohani, miskin dengan pengetahuan agama; tidak pernah sama sekali pemerintah membuat statistik tentang hal itu. Setelah Lu Shen Yen datang ke Indonesia, baru kelihatan berapa banyak jumlah orang yang berpengetahuan Dhamma amat minim. Hampir seperti perumpamaan saya dengan 80% rakyat Indonesia yang keadaan kehidupannya di bawah standard, yang terpaksa harus tergantung kepada majikan-majikan, bos-bos.

Sekarang saya mengamati ternyata orang yang miskin Dhamma, miskin pengertian yang benar tentang Dhamma itu masih banyak sekali. Kalau ada hal-hal yang baru, mungkin karena dipropagandakan dengan hebat sekali, seperti orang buta kalau diberkahi bisa melihat, yang tangannya bengkok diberkahi bisa menjadi lurus, yang lumpuh diberkahi bisa kembali berjalan seperti biasa, dan sebagainya. Kemudian banyak orang datang untuk meminta berkah rejeki, berkah keselamatan, berkah umur panjang dan sebagainya. Jadi saya nilai hal yang demikian itu tidak beda dengan pengemis. Dalam hal ini yaitu pengemis keselamatan, pengemis keejahteraan, pengemis macam-macam. Saya bandingkan demikian, karena untuk meraih kesejahteraan kehidupan di bidang materi dan rohani, memang jarang sekali orang yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kebanyakan dari mereka itu mau bergantung, minta tolong, minta belas kasihan dari yang dianggap lebih daripada dirinya.

Nah, bagaimana kalau kebetulan hidup saudara sedang susah, menderita kekurangan, dll, lalu ada yang menawarkan atau menjanjikan, "Ah kamu jangan repot-repot, diberkahi saja oleh orang yang hebat ini pasti beres!" Apakah mental saudara akan goyah kalau terjadi yang demikian? Ingatlah bahwa Sang Budha pernah memberikan nasehat kepada kita yang bunyinya, "Atta hi attano natho", artinya, "Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri". Jadi kita harus berjuang untuk meraih sukses, dengan mempraktekkan Dhamma, berusaha berdiri di atas kaki sendiri, percaya kepada diri sediri. Berusaha berdiri di atas kaki sendiri dan percaya kepada diri sendiri itu dengan apa?

Sang Buddha sudah memberi petunjuk yang jelas sekali agar kita dapat berdiri di atas usaha kita, yang sudah terang dan jelas sekali akan membawa kepada kesuksesan. Apa itu? Yaitu: saddha, viriya, sati, samadhi, dan pannya. Dengan 5 bala atau Panca Bala ini, kita akan berjuang sampai 'ajimat' yang akan kita jadikan pelindung yang betul-betul pelindung, tumbuh secara alamiah di dalam batin kita. Bukan dengan menengadahkan tangan meminta berkah keselamatan, berkah rejeki, dll kepada siapa-siapa.

Pada waktu di Muntilan, saya dikunjungi oleh seorang umat dari daerah lain. Katanya, "Bhante, saya rindu sekali dengan Bhante. Sekarang saya minta berkah kepada Bhante". Saya berkata, "Bagaimana romo?" "Saya minta supaya selamat sepanjang hidup, istri saya juga selamat, anak saya lulus, pekerjaan saya (sebagai tukang las) bisa maju, anak-anak saya semuanya menurut, baik-baik, nanti kalau kawin dapat istri yang baik", Pokoknya yang serba selamat, serba baik, dan serba tidak kekurangan. Itu yang diminta. Bagaimana saya tidak tertawa cekikikan di belakang panggung saya. tetapi toch saya berkahi juga. Nah, inilah tipe orang menggantungkan diri kepada orang lain, bukan berdiri di atas kaki sendiri. Andaikata romo itu, mengembangkan Panca Bala, yaitu saddha, viriya, sati, samadhi, dan pannya, pasti harapannya akan tercapai; minimal yang disebut "Nekkhamma Sankappa". Nekkhamma-sankappa itu sudah merupakan wujud permulaan dari 'ajimat' pelindung diri kita yang sebenarnya.

Saddha itu akan tumbuh dari melakukan sila dengan baik. Saya kira kalau saudara melakukan sila dengan sungguh-sungguh, keyakinan saudara akan berkembang, karena saddha itu memang harus tumbuh melalui sila. Kemudian Viriya, artinya tidak jemu-jemunya berjuang, melatih diri, tekun, ulet, rajin, tidak putus asa dan bahkan lebih dari itu, berani menghadapi resiko apapun untuk menjalani kebaikan. Kemudian Sati, adalah penuh waspada, berhati-hati sekali, sadar selalu. Kalau ada gejala yang tidak baik jangan cenderung. Itu bisa diatasi dengan kewaspadaan, kesadaran penuh, dan juga tentunya pengertian, sehingga baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam meditasi kita tetap memiliki perhatian, kewaspadaan, dan kesadaran. Itu faktor yang sangat menunjang, menjaga jangan sampai batin melamun, berkeliaran atau berkelana kepada keasyikan gerak-gerik pikiran yang selalu ada pada kita. Yang disebut keasyikan itu adalah ngelantur kepada masa lampau atau ngelantur kepada cita-cita yang akan datang.

Sedangkan kalau samadhi, itu adalah usaha untuk memusatkan batin kepada satu obyek, sehingga kesadaran dengan obyek itu manunggal jadi satu. Ketiga unsur ini yaitu viriya, sati, dan samadhi dikatakan sebagai sarana untuk meningkatkan pikiran kita, meningkatkan batin kita. Bukan dengan minum obat mencerdaskan otak atau vitamin-vitamin, bukan! Tetapi untuk meningkatkan batin, yang paling utama adalah: viriya, sati, dan samadhi. Apalagi kalau kita sudah bisa mengembangkan pannya. Pannya biasanya dikembangkan denngan Vipassana. Dan memang, pannya itu tumbuh dari sila dan samadhi. Kalau saudara-saudara pada lain kesempatan sempat melaksanakan latihan vipassana, ini adalah baik sekali untuk mengembangkan kebijaksanaan. Di sana saudara akan melihat bahwa segala sesuatu, jasmani/materi, batin, perasaan, ingatan, bentuk-bentuk pikiran itu nampak jelas selalu mengalami perubahan. Dia timbul karena ada syarat, sebab, dan kondisinya. Tetapi setelah dia timbul dia tidak bisa bertahan, kemudian memudar dan akhirnya lenyap. Dalam vipassana, kita akan berusaha melihat ini dengan jelas. Ini menjadi syarat tumbuhnya pannya atau kebijaksanaan.

Andaikata kita sudah dapat memiliki viriya, sati, samadhi, pannya, maka di situlah akan tumbuh secara alamiah apa yang disebut Nekkhamma Sankappa. Jadi batin saudara secara alamiah akan mampu bersikap melepaskan kemelekatan kepada benda-benda, kepada jasmani, kepada istri/suami, kepada harta, kepada apa saja. Kemelekatan akan jauh berkurang. Dengan istilah lain, batin saudara sudah mampu melepaskan, tidak lagi terikat. Kalau batin sudah mencapai yang demikian maka saudara akan mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak lagi tertarik untuk berebutan minta berkah keselamatan atau berkah apapun. Karena berkah yang sebenarnya itu sudah dapat direalisasi secara alamiah di dalam batin yang sudah dikembangkan hingga mencapai Nekkhamma Sankappa. Kita akan membuktikannya nanti. Kalau belum sampai yang demikian, sulit untuk membayangkan. Nekkhamma Sankappa ini akan muncul secara alamiah sekali.

Memang kalau kita belum mencapai tingkatan yang demikian maka jelas keadaan batin kita masih tetap tergolong dalam kondisi duniawi. Bisa menangis, tertawa, sedih, rindu, cemas, was-was, takut, dendam, sakit hati, tersinggung; bila dipuji senang, bila dicela tersinggung. Itu kondisi duniawi. Kalau kita umpamanya melekat kepada cinta, rindu, benci, sedih, takut, cemas, was-was, kemana pun kita pergi akan selalu direbut oleh semut-semut; semut api, semut yang ganas sekali, semut yang kalau menggigit pedes sekali rasanya. Kalau belum mencapai Nekkhamma Sankappa, apalagi yang lebih tinggi, pikiran kita itu selalu dicengkeram, dikuasai oleh apa yang dinamakan Panca Niwarana, yaitu nafsu menyenangi, nafsu membenci, malas, lesu, emoh rasanya berjuang meningkatkan batin untuk mencapai sukses dalam Dhamma, artinya menyerah kalah. Belum lagi kalau takut-takut, was-was, cemas, bimbang dan ragu. Panca niwarana ini selalu menggerogoti kita, sehingga banyak orang yang angkat tangan, menyerah kalah karena tidak mengerti sarana apa yang harus digunakan untuk mengatasinya. Sesungguhnya, panca niwarana ini dapat diatasi atau bahkan dijinakkan atau dihancurkan dengan meditasi. Maka itu, meditasi memegang peranan yang sangat penting. Apakah itu meditasi ketenangan (Samatha Bhavana) ataukah Meditasi Pandangan Terang (Vipassana Bhavana). Kalau tidak berhasil maka pikiran akan tetap semrawut, tetap memiliki kondisi duniawi. Kalau pikiran sudah semrawut dan tidak bersih, walaupun kita sudah banyak berdana, banyak sembahyang, sudah sering-sering memuja, sudah ciacai (tidak makan daging), bahkan walaupun kita sudah menjalankan sila, 5 sila, 8 sila, 10 sila, 75 sila, 227 sila, mungkin lebih, tetapi kalau pikiran masih semrawut, masih belum bersih, belum tenang, belum stabil, belum damai, belum mantap, masih goyah, kita akan mudah tersinggung, mudah dendam. Itu ciri-ciri orang yang belum stabil, belum bersih. Maka orang-orang yang demikian dikatakan tidak terjamin mutlak mesti masuk surga. Syukur-syukur kalau lahir kembali jadi manusia. Memang kalau banyak berbuat jahat kita akan lahir di neraka, kalau pikiran baik kita akan lahir di surga, tetapi kalau pikiran lebih mantap, itu lain lagi halnya, lebih tinggi! Jadi pesan saya, berusahalah untuk membersihkan pikiran, dengan sarana kewaspadaan, perhatian, dan kesadaran.

Kita harus sadar/waspada, "Oh, kok baru disinggung sedikit, saya marah". Kita melihat marah itu muncul di dalam batin, lewat di dalam batin. Seperti misalnya kita berada di kamar yang bersih lalu ada ular masuk, kita melihat ular itu, lalu kita usir. Juga umpamanya pada waktu malam hari, secara refleksi kita melihat atau menginjak tali, lalu tali itu bergerak, kita terkejut karena kita pikir itu ular. Nah terkejut itu pun adalah gangguan pikiran. Jadi untuk membersihkan pikiran itu adalah luar biasa banyak usaha yang dikerahkan. Apalagi timbul rindu, kita "sadar". Oh, ini rindu timbul, ini racun! Benci timbul, wah ini api yang sangat panas.

Ada cerita di pulau Bali waktu gunung Agung meletus. Lahar yang panas sekali entah berapa derajat panasnya mengalir ke suatu tempat, sehingga meskipun hewan-hewan menjangan lari ke tempat yang lebih tinggi, lahar yang mengalir di pinggirnya pun dapat membakar menjangan itu.

Api yang kita gunakan untuk memasak tidak seberapa panas, tetapi api yang dikeluarkan oleh lahar gunung Agung itu panas sekali, namun api dari bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik, itu adalah racun api yang tiada taranya. Bila racun yang kasar kita makan, nanti malamnya atau seketika itu juga kita akan meninggal. Tetapi racun yang lebih halus, tidak demikian! Dia memakan sedikit demi sedikit sisa umur kita. Pelan-pelan dia merongrong. Itu racun yang halus. Tetapi pikiran yang jahat ini, yang merasa rindu, sedih, cemas, takut, was-was, benci, dendam, dan sebagainya itu jauh lebih dasyat daripada racun yang paling dahsyat yang kita kenal di dunia ini. Mengapa? Karena dia membuat kita menderita bukan saja pada kehidupan ini, tetapi kita bertumimbal lahir, bentuk-bentuk pikiran yang kotor itu tetap meracuni kita, membuat diri kita panas, menderita, sengsara selama hidup, sepanjang hidup di mana saja kita lahir.

Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa kita harus berjuang dengan sungguh-sungguh, dengan penuh mengerahkan tenaga, untuk melepaskan segala bentuk-bentuk racun yang paling dahsyat yang paling hebat itu. racun atau api yang paling dahsyat adalah kebodohan dan kemelekatan. Dari situlah asal mulanya. Itulah yang sebenarnya rajanya racun, rajanya magic, rajanya jin, rajanya setan, yang memiliki kekuatan amat dahsyat. Rasanya kita orang tidak mampu menghadapinya. Namun Sang Buddha sudah memberikan petunjuk: kembangkan pannya/kebijaksanaan dengan mencoba melihat bahwa segala bentuk-bentuk pikiran itu hanyalah anicca, dukkha, anatta, sunyata, tathata, paticcasamuppada. Artinya mereka selalu berubah-ubah, mereka hanya problem, hanya masalah yang tiada habis-habisnya. Memang kadang-kadang mereka memberikan kepuasan, tetapi sering sekali tidak memuaskan. Dan bagaimana pun indahnya sesuatu itu, tetap ia tidak bisa dimiliki, karena ia hanya sesuatu yang timbul karena ada sebab, ada kondisi, dan dia tidak mungkin bertahan, ia akan lenyap, lebur.

Kembangkan pandangan ini terus-menerus. Dengan mengembangkan pandangan ini terus menerus, secara alami sang hati kita akan berubah dari aspek yang selalu mengalami perubahan atau lahir & mati (aspek sankhara), menjadi aspek sang hati yang tidak mengalami perubahan atau lahir dan mati (aspek visankhara). Itu bukan ada kekuatan dari langit yang membantu, tidak! Tetapi persisnya berkembang secara alamiah. Jadi usahakan untuk betul-betul mengerti bahwa semua materi, jasmani, bentuk-bentuk pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran; itu sebenarnya adalah termasuk dalam aspek yang pertama. Semuanya itu adalah sankhara. Tetapi kalau kita mengamati terus-menerus, hingga kita tahu jelas bahwa semua itu mengalami lahir-mati, lahir-mati, nanti sang hati yang mengamati itu akan berubah secara alamiah menjadi mencapai aspek visankhara. Artinya, setelah sang hati melihat perubahan-perubahan, anicca, dukkha, anatta, jasmani akan menjadi tua, akan mati, dan itu tidak dapat dipungkiri; sang hati tetap bisa tersenyum, "yach, sekarang saya sudah tua, tidak lagi seperti dulu! Saya maklum bahwa ini adalah kejadian yang alamiah, saya tidak kecewa, saya tidak menyesal". Badan jasmani ini akan sakit, mungkin mengalami sakit yang kronis, mungkin yang menjengkelkan sekali. Kalau kaki lumpuh tidak bisa berjalan, itu menjengkelkan sekali. Meskipun kaki lumpuh, tetapi sang hati rela menerima lumpuh itu. Mungkin kalau kita sakit, dokter bilang sudah tidak ada harapan bisa sembuh, dokter sudah angkat tangan. Dan kita sadar bahwa sebentar lagi kita akan meninggal, entah besok, entah lagi dua hari. Kita tahu itu, tetapi batin kita tidak takut, tidak gentar, tidak menyesal, tidak menangisi. Itulah aspek sang hati yang lebih luhur yang disebut visankhara atau asankhara. Kalau batin kita sudah dewasa, kita tidak akan mengemis, merengek-rengek, mengemis, minta apa-apa, minta segala-galanya, minta didoakan, minta blessing. Tidak lagi! Saudara akan diam, tenang, tersenyum menghadapi peristiwa apapun yang akan terjadi.

Kebanyakan dari kita umumnya 'kesengsem', melekat sekali dengan cara-cara kehidupan duniawi ini, seolah-olah kita tidak bisa lepas dari kondisi duniawi ini. Kita menyenanginya dan kita melekat padanya. Begitulah pada umumnya keadaan kehidupan kita. Tetapi tahukah, sadarkah kita bahwa sesungguhnya kita tidak akan selamanya hidup di dunia ini? Hidup ini hanya sementara. Orang bijaksana mengatakan bahwa kita ini hanya melancong, hidup ini hanya kesempatan untuk belajar mengerti tentang hidup dan kehidupan. Bukan hidup untuk makan, untuk bersenang-senang, untuk berfoya-foya, untuk plesir, umpamanya kawin terus, mumpung masih hidup, mumpung ada uang, dan sebagainya. Bukan itu tujuannya! Kehidupan ini mempunyai tujuan yang jauh lebih mulia daripada itu. Kehidupan ini bertujuan untuk meningkatkan batin kita, dari bodoh menjadi bijaksana, dari rendah menjadi luhur.

Letak kebahagiaan itu adalah pada lenyapnya kebodohan dan kemelekatan. Di mana sang aku lenyap, di situlah bahagia. Jadi ini harus disadari. Karena itu kita harus bangkit, meningkatkan kehidupan kita agar menjadi luhur. Itu tujuannya.

Untuk mendewasakan batin, jelas adalah dengan sila, samadhi, pannya. Dengan meditasi ketenangan (samatha) atau dengan vipassana. Itu jelas demikian!

Kalau kita bermeditasi dengan obyek pernafasan misalnya, perhatian kita adalah kepada nafas, masuk-keluar, masuk-keluar. Tetapi bila batin kita tidak dijaga dengan sarana-sarana yang ampuh, batin kita akan mengembara. Kalau pernafasan itu diumpamakan sebagai sumbu dari lampu lentera, maka api yang tidak dijaga dengan baik dan ampuh itu akan mudah ditiup angin, goyah, dan bisa mati. Kalau saudara bermeditasi, mengambil perumpamaan sumbu sebagai pernafasan, api sebagai sang hati atau sang batin. Sekarang lampu lentera ini kita tutup dengan kaca sehingga kalau ada angin datang dari Timur, Barat, Utara, Selatan, ia tidak mampu menggoyangkan dan mematikan lampu itu, melainkan tetap menyala dengan tenang. Apakah yang ampuh dan baik untuk menjaga sang hati ini? Yaitu viriya, sati, samadhi. Ia menjaga kalau ada keasyikan pikiran muncul menggoda, sehingga konsentrasi kita bisa berjalan mulus. Semua gangguan-gangguan akan dicegah dengan viriya, sati, dan samadhi. Dengan demikian api sang hati ini menjadi mulus, menyala terang, dengan sangat terang sekali. Lebih-lebih kalau kita kelak bisa melatih Vipassana Bhavana, itu lebih ampuh lagi, yaitu bisa mengembangkan pannya, mengembangkan keseimbangan, sampai bisa mencapai yang disebut Gotrabhu Nyana. Dimana kita bisa melihat Dhamma dalam 2 aspek, yaitu aspek Sankhara dan aspek Visankhara. Itu dapat dilihat dengan jelas, sehingga kita akan dikatakan mempunyai Mata Dhamma. Artinya bisa melihat Dhamma dalam kedua aspeknya.

Pada hakikatnya, Dhamma itu dapat ditinjau dari 2 sudut. Dari sudut yang pertama, dia merupakan makanan atau obat bagi kita untuk menyembuhkan kotoran-kotoran batin, kejahatan-kejahatan pikiran untuk disembuhkan menjadi baik, menjadi suci, menjadi bersih. Alat satu-satunya adalah Dhamma. Ditinjau dari sudut lainnya, Dhamma ini adalah alam semesta dengan segala isinya. Maka oleh karena itu kita perlu mengetahui 4 aspek daripada Dhamma. Aspek yang pertama dari Dhamma adalah Alam semesta dengan segala isinya. Aspek kedua adalah Hukum-hukum Alam. Aspek yang ketiga adalah sikap perbuatan kita yang sesuai atau tidak sesuai dengan hukum-hukum alam. Aspek yang keempat adalah Buah atau akibat yang terjadi karena tingkah laku tersebut di atas. Kalau sesuai maka buahnya adalah kebahagiaan. Tetapi kalau tidak sesuai atau bertentangan, buahnya adalah penderitaan.

Mengapa kita melakukan sila? Karena sila itu menggiring kita supaya perbuatan kita sesuai dengan hukumalam. Mengapa meditasi? Karena meditasi itu menggiring kita supaya batin kita sesuai dengan hukum alam. Inti daripada Dhamma itu terletak pada sang hati. Jadi walaupun diri kita ini adalah Dhamma, dunia itu adalah Dhamma, tapi inti dari Dhamma itu terletak pada sang hati. Maka oleh karena itu kita harus mengerti tentang sang hati, tentang inti dari Dhamma ini. Seperti apa yang telah saya katakan tadi, sang hati ini mempunyai 2 aspek. Aspek yang pertama yaitu hati yang terombang-ambing oleh perasaan; sekarang girang, sebentar sedih; sekarang benci, nanti hilang kebenciannya, sekarang rindu, nanti bermusuhan. Itu semua diombang-ambingkan oleh kondisi duniawi. Sang hati yang demikian itu tergolong sankhara. Sedangkan satunya lagi adalah sang hati yang tidak diombang-ambingkan oleh keadaan yang berubah-ubah atau kondisi duniawi. Seperti yang saya katakan, jasmani boleh tua, tapi kita tidak sedih karena tua, tidak kecewa, menyesal. Itulah yang disebut aspek visankhara.

Jadi kita harus berusaha meningkatkan sang hati dengan belajar mengerti ketidakkekalan dari bentuk-bentuk jasmani dan bentuk-bentuk batin yang tergolong sankhara, untuk kita kembangkan terus secara alamiah, hingga akhirnya menjadi berstatus visankhara.

Berbicara tentang sankhara, ada 2 macam. Yang pertama adalah yang tergolong duniawi atau Lokiya Sankhara. Yang kedua disebut Dhamma Sankhara. Ini sama halnya dengan apa yang disebut Samutti Sacca dengan Paramatha Sacca. Coba kita perhatikan kayu yang diukir, dibentuk demikian rupa sehingga menjadi meja altar. Meja Altar itu kita yang memberikan nama, membentuknya. Manusia yang membentuk demikian. kayu yang asalnya dari hutan itu sekarang disulap menjadi meja. Kayu hutan itu dikeringkan dulu, atau pohon itu direbahkan dulu, ditebang, digergaji, dibuat papan, dibuat balok-balok kecil, dikeringkan, kemudian dibuat meja. Kayu itu adalah Dhamma Sankhara. Meja adalah Lokiya Sankhara. Tetapi kalau bentuknya begitu disebut papan tulis. Papan tulis adalah sulapan dari manusia, dibentuk oleh manusia, itu Lokiya Sankhara. Bahannya adalah Dhamma Sankhara. Dhamma Sankhara maupun Lokiya Sankhara, dua-duanya berbarengan mengalami lahir-mati, lahir-mati, lahir-mati. Yang disebut Dhamma Sankhara misalnya adalah Dhatu, Panca khanda, Dua belas ayatana, unsur-unsur padat, cair, panas, udara, dan lain-lain. Tetapi kalau sudah disebut air, itu Lokiya Sankhara. Jadi yang telah dibentuk, dibuat, dikhayalkan atau 'disulap' oleh manusia.

Kalau Dhamma Sankhara dan Lokiya Sankhara ini kita misalkan film yang diputar di layar putih. Filmnya itu adalah Dhamma Sankhara, gambar yang di layar putih itu adalah Lokiya Sankhara. Jadi kalau diputar, ia kelihatan hidup. Karena kelihatan hidup, kita lupa bahwa film itu sendiri terdiri dari potongan-potongan gambar. Apabila ada yang menyedihkan, kita ikut sedih, kalau ada pemainnya ganas, kita ikut benci, kalau ada yang menyanyi, kita ikut gembira. Kita diombang-ambing oleh gambar yang berputar itu. Padahal kalau kita melihat gambar yang sepotong-sepotong, hati kita tidak akan ikut tergerak untuk sedih, gembira, dan lain sebagainya. Maka berusahalah untuk tidak tertarik, tergiur, atau kesengsem dengan perputaran Lokiya Sankhara itu. Jangan! Itu hanya konsep, itu hanya ide, itu hanya khayalan, itu hanya sulapan.

Masih berkenaan dengan sankhara, ia dapat pula ditinjau dari sudut pandangan lain. Yang pertama adalah sankhara yang diikuti atau disertai dengan kemilikan, keakuan, atau kemelekatan. Dan sankhara dari sudut pandangan lain adalah sankhara yang tidak diikuti atau disertai oleh kemilikan, kemelekatan, dan keakuan. Siapakah itu, sankhara yang masih disertai oleh kemilikan, keakuan, dan kemelekatan? Adalah orang-orang awam. Pokoknya kalau orang awam, apapun selalu disertai dengan "aku", milikku, kepunyaanku, dan juga kemelekatan. Tetapi bagi orang yang sudah suci seperti para Arahat, apapun yang timbul dan lenyap, yang terjadi berkenaan dengan proses itu, tidak pernah muncul keikutsertaan dari aku, milikku, dan kepunyaanku. Kemelekatannya telah hancur, rasa kepunyaannya sudah hancur, rasa keakuannya sudah terhapus, habis. Itulah pandangan sankhara dari sudut pandangan lain.

Akhirnya, kita harus berjuang untuk belajar Dhamma, untuk menghilangkan sang aku, rasa kemiilikan, dan rasa kemelekatan yang sangat dahsyat itu. Berbicara tentang kemelekatan, ia dapat digolongkan dalam 4 macam. Yang pertama adalah kemelekatan kepada nafsu-nafsu indera, termasuk kemelekatan kepada bentuk-bentuk yang dilihat, kepada suara-suara, kepada makanan yang dikecap oleh lidah, yang dirasakan oleh sentuhan kulit, yang dirasakan melalui kontak pikiran. Yang kedua adalah kemelekatan terhadap pandangan keliru, pengertian salah, teori-teori salah, pendapat keliru, atau kepercayaan keliru. Yang ketiga adalah kemelekatan kepada tradisi-tradisi, baik itu upacara, kebiasaan, atau apa saja yang bersifat takhayul. Yang keempat adalah kemelekatan kepada apa yang kita anggap sebagai "Aku", seperti: jasmani, perasaan, ingatan, pikiran, kesadaran. Juga kepada benda-benda seperti kekayaan, uang, anak, istri, dan segala sesuatu yang kita anggap sebagai milikku atau kepunyaanku yang mutlak. Kalau kita melekat kepada hal-hal tersebut, inilah kemelekatan yang paling dahsyat. Kemelekatan inilah sumber segala-galanya, sumber derita, sumber malapetaka, sumber kegoncangan, sumber racun, sumber api yang dahsyat, sumber problem, sumber konflik, dan sebagainya. Kita harus berjuang untuk menghapuskan kemelekatan ini. Memang berat sekali, tetapi kita harus berjuang mencapai tujuan kita yaitu kebahagiaan Nibbana.

Sebagai penutup, cita-cita kita untuk mencapai Nirwana atau Nibbana, kelihatannya memang tidak mungkin, apalagi yang sudah berkeluarga dan berkecimpung dalam duniawi, kelihatan sepintas lalu tidak mungkin. Dan ada yang mengkhayalkan bahwa Nibbana itu kosong, tidak ada, seperti kekosongan. Itu pandangan yang keliru. Di dalam Nibbana segalanya masih utuh, saudara masih utuh. Kalau pun Dhamma itu utuh tapi dia bisa mengalami Nibbana sekarang, tidak usah menunggu mati, dan segala sesuatu masih utuh tidak perlu hilang, tapi tentu ada pengecualiannya. Yang hilang hanyalah kebodohan, rasa kemilikan, keakuan, dan kemelekatan tentang keakuan. Sang hati tidak goyah mengalami rugi, mengalami untung, mengalami dipisuhi, mengalami difitnah, hati tidak tergoyahkan. Hati yang tidak tergoyahkan itu sejuk. Kalau kebencian, dendam, dan sebagainya itu hilang maka saudara mengalami Nibbuto. Batin tidak lagi panas membara, tetapi sejuk, damai. Itulah Nibbuto, atau sama dengan Nibbana yang sebentar-sebentar.

Kalau seorang Arahat masih hidup itu disebut Nibbana yang masih dengan sisa hidup, kalau yang sudah meninggal dunia berarti Nibbana tanpa sisa hidup. Ini bukan propaganda/promosi tetapi supaya kita bergiat mencari Nibbana itu setapak demi setapak. Kalau tadinya dengan istri bertengkar saja, tetapi sekarang sudah bisa berhenti bertengkar, itu adalah Nibbuto —Nibbuto dari bertengkar.

Latihan ini bukanlah untuk kepentingan orang lain tapi untuk kepentingan diri sendiri. Kita sendirilah yang akan mencicipinya. Ingat, berdirilah di atas kaki sendiri, jangan menjadi pengemis Dharma, jangan menjadi pengemis keselamatan, pengemis rejeki, dan sebagainya. Harus bersikap apa adanya. Kalau mengerti bahwa dunia ini fana, tidak kekal, berubah-ubah, ada kalanya muda, sehat, ada kalanya sakit, itu wajar. Terimalah dengan baik. Inilah berkah yang sebenarnya.

[ Dikutp dari Mutiara Dhamma VII ]