Minggu, 30 Oktober 2011

Mengatasi Kematian


Oleh: Alm. Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera


Memang adalah suatu fakta/kenyataan dari hidup ini bahwa pada suatu saat kita pasti akan berpisah dengan apa yang sangat dicintai, juga akan berpisah dengan jasmani kita sendiri. Apabila seorang yang sangat dicintai meninggal, kita akan merasa sangat sedih dan sangat sukar rasanya mengatasi kesedihan ini. Tetapi ajaran Sang Buddha dapat menolong kita mengatasi kesedihan ini dengan jalan berusaha melihat kenyataan dari apa sebenarnya keadaan hidup dan kehidupan ini.

Dalam kitab Visuddhi Magga, Bab VIII, 39; kita dapat membaca tentang bagaimana pendeknya waktu dari proses hidup dan kehidupan ini. Bahwa menurut kebenaran mutlak atau kebenaran tertinggi, sesungguhnya proses hidup dan kehidupan itu berlangsung sangat pendek dan cepat sekali, hanya persis sesaat dari keadaan satu saat kesadaran yang muncul sekejap dan kemudian segera lenyap. Sama seperti sebuah roda kereta yang berputar, menggelinding hanya pada satu titik demi satu titik dan bila berhenti menggelinding, berhenti hanya pada satu titik. Demikian pula proses dari hidup dan kehidupan ini berlangsung hanya pada satu saat kesadaran yang muncul sesaat dan kemudian segera lenyap.

Dengan demikian berarti kita sesungguhnya telah mengalami kematian/perubahan setiap saat, atau lahir dan mati setiap saat. Apabila kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini telah berhenti, maka proses hidup dan kehidupan ini dikatakan telah berhenti. Senang, susah, sedih, gembira, dan seterusnya hanya muncul bersama kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini. Tiada dunia atau hidup dan kehidupan bisa muncul apabila tiada kesadaran muncul. Apabila proses kesadaran muncul, di situ muncul pula proses hidup dan kehidupan. Apabila proses kesadaran berhenti maka proses hidup dan kehidupan disebut berhenti pula.

Apa yang kita namakan mati sesungguhnya tiada berbeda dengan proses timbul-lenyap timbul-lenyap dari satu saat kesadaran. Tiap-tiap saat kesadaran yang muncul, segera lenyap secara utuh, tetapi menyebabkan atau mengkondisikan timbulnya saat kesadaran yang baru, yang segera lenyap pula, demikian seterusnya dan seterusnya. Kesadaran akhir dari kehidupan ini, apa yang dinamakan saat kesadaran kematian atau cuti-citta, begitu ia lenyap segera digantikan oleh saat pertama dari kesadaran akan kehidupan berikutnya yang dinamakanpatisandhi-citta. Di situ tidak terdapat sang aku pada setiap proses hidup dan kehidupan ini, dan betul-betul tidak ada sang aku atau sang roh yang mengembara dari kehidupan yang lalu, sekarang, atau kehidupan yang akan datang.

Adalah semata-mata kebodohanlah yang membuat kita berpikir bahwa badan jasmani dan batin ini adalah kekal. Kita sangat melekat pada badan jasmani dan batin ini dan menganggapnya sebagai aku dan milikku. Kita berpendapat bahwa sang akulah yang melihat, mendengar, merasa, berpikir, dan bergerak ke mana-mana. Melekat pada sang aku inilah yang menyebabkan dukkha. Sang aku menginginkan dan berkhayal akan mengalami awet muda untuk waktu yang sangat panjang, tetapi apabila kita mengalami masa tua, sakit, dan mendekati kematian; kita merasa sedih, takut, cemas, seolah-olah tidak terima sama sekali. Mereka yang bodoh dan tidak mengerti akan fakta dan kenyataan dari hidup dan kehidupan ini, tidak akan bisa mengerti bahwa penderitaan bersumber dan berasal dari kemelekatan, seperti apa yang dijelaskan dalam Kebenaran Mulia Kedua tentang sebab dari derita. Kita seyogyanya berusaha menginsafi secara benar-benar bahwa segala sesuatu yang disebut jasmani dan batin ini adalah anicca, dukkha, anatta, sunnata, tathata, dan idappaccayata. Sang Buddha menunjukkan tentang ketidak-kekalan segala sesuatu (jasmani dan batin) dengan berbagai macam jalan dan cara. Beliau mengajarkan ketidak-kekalan dari jasmani ini untuk menolong kita agar tidak melekat pada pandangan keliru tentang "badanku atau badan ini adalah kepunyaanku". Beliau mengajarkan cara bermeditasi pada kekotoran, kebusukan, dan keburukan dari jasmani ini, dengan bermeditasi pada mayat dalam berbagai tingkat kehancuran, kita dapat membaca di dalam Maha Satipatthana Sutta, Digha Nikaya: "Dan lagi, O, para bhikkhu, sebagai bhikkhu seharusnya berusaha bisa melihat satu mayat yang ditaruh di kuburan, mati baru sehari atau dua hari, tiga hari, lalu membengkak, warnanya berubah, terpecah-pecah, kemudian merenungkan bahwa jasmani sendiri juga adalah secara alamiah sama, pasti akan mengalami kematian".

Didalam Visuddhi Magga, Bab VI, 88, dijelaskan bahwa jasmani ini juga sama kotornya, busuknya, buruknya seperti mayat; hanya sifat dari kebusukan, keburukannya, tidak terang jelas dan tampak nyata pada jasmani yang masih hidup ini karena disembunyikan oleh berbagai hiasan alamiah dan hiasan buatan manusia sendiri yang sangat lihay. Untuk membuktikan jasmani yang masih hidup ini penuh dengan kekotoran, kebusukan, kuburukan, Sang Buddha mengajarkan apa yang tercantum pada Maha Satipatthana Sutta sebagai berikut: "Dan lagi, O, para bhikkhu, seorang bhikkhu seyogyanya merenungkan secara teliti bahwa jasmaninya sendiri terbungkus oleh kulit dan penuh dengan bermacam-macam kekotoran, kebusukan, keburukan dari telapak kaki naik ke atas dan dari ujung kepala turun ke bawah. Bahwa pada jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, kulit, daging, sumsum, tulang, ginjal, hati, limpa, dan seterusnya".

Juga kita harus selalu merenungkan bahwa jasmani ini terdiri atas empat unsur pokok, yaitu:
1.
Unsur tanah yang muncul dalam sifat padat/keras dan lembut/halus.
2.
Unsur cair yang muncul dalam sifat cair atau perekat.
3.
Unsur api yang muncul dalam sifat panas dan dingin.
4.
Unsur angin yang muncul dalam sifat gerak dan tekanan.


Keempat unsur pokok ini, apakah mereka berada dalam mayat atau dalam badan yang masih hidup, adalah sama. Itulah sebabnya mengapa perenungan terhadap kekotoran, kebusukan, dan keburukan jasmani, dan merenungkan jasmani ini yang terdiri atas keempat unsur pokok tersebut di atas yang berbeda-beda sifatnya, sangat menolong kita untuk tidak melekat lagi pada jasmani ini dan tidak lagi menganggap jasmani ini sebagai milikku dan kepunyaanku. Memang bukanlah suatu keharusan atau paksaan bagi seseorang untuk selalu sadar akan proses batin dan jasmani yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kita juga seyogianya mempertimbangkan baik-baik apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita. Apakah kita terus-menerus ingin menjadi orang bodoh, penuh dengan kemelekatan dan menganggap secara kokoh dan fanatik bahwa proses jasmani dan batin adalah tergolong aku dan kepunyaanku? Apakah kita tetap menginginkan hidup dalam kegelapan ataukah kita ingin mengembangkan kebijaksanaan untuk bisa mengakhiri dukkha? Apabila kita memilih sang jalan untuk mengakhiri dukkha, kita harus mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti apabila kita sedang duduk, berdiri, berjalan, bekerja, dan seterusnya, apabila kita sedang mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, merasa, berpikir, senang, susah, rindu, cemas, dan seterusnya; ketahuilah, maklumilah bahwasanya kesemua proses jasmani dan batin ini adalah hanya gejala/fenomena jasmani dan batin yang timbul sekejap, di situ ia timbul, di situ pulalah ia segera lenyap. Ia timbul karena adanya sebab dan syarat dan ia segera lenyap, tetapi menjadi sebab dan syarat pula bagi timbulnya proses batin dan jasmani yang baru.

Inilah satu-satunya jalan untuk bisa merealisasi bahwa segala sesuatu yang disebut batin dan jasmani adalah anicca, dukkha, anatta, sunnata, tathata, dan idappaccayata. Dengan jalan ini kebodohan dan kemelekatan dapat diatasi. Tetapi kebodohan dan kemelekatan itu tidak bisa dihancurkan secara total dalam waktu yang singkat. Ia baru dapat dihancurkan secara total apabila seseorang telah mencapai kesucian tertinggi tingkat Arahat. Pada waktu sang Buddha wafat mencapai parinibbana, para bhikkhu yang masih punya kebodohan dan kemelekatan menangis sedih dan berguling-guling di atas tanah, tetapi para bhikkhu yang kebodohan dan kemelekatannya telah hancur, melihat wafatnya Sang Buddha sebagai peristiwa yang wajar dan alamiah saja. Mereka penuh pengertian.

Marilah kita mengenang kembali sabda Sang Buddha kepada Ananda ketika Sang Buddha mendekati waktu wafatNya mencapai Parinibbana sebagai berikut:
"Ananda, jadilah pulau bagi dirimu sendiri, pelindung bagi dirimu sendiri, jangan mencari perlindungan di luar, dengan Dhamma sebagai pulaumu, Dhamma sebagai pelindungmu, tidak mencari perlindungan lain. Dan bagaimana Ananda, seorang bhikkhu menjadi pulau bagi dirinya, perlindungan bagi dirinya, dengan Dhamma sebagai pulaunya, Dhamma sebagai pelindungnya, tidak mencari perlindungan lainnya? Bila ia mengembara merenungkan jasmani di dalam badan jasmaninya dengan sungguh-sungguh disertai dengan pengertian yang jelas, terang, dan dengan penuh kesadaran, setelah mengatasi nafsu keinginan dan duka cita dalam memandang pada dunia, hidup dan kehidupan ini, ia mengembara merenungkan perasaan di dalam perasaannya, pikiran di dalam pikirannya, dan obyek mental di dalam obyek mental". Ini berarti tidak merenungkan adanya sang aku di dalam badan, perasaan, pikiran, dan obyek mental. Inilah cara satu-satunya untuk dapat melihat kebenaran tertinggi dari apa adanya yang sebenarnya dari proses batin dan jasmani, yaitu Anicca, Dukkha, Anatta, Sunnata, Tathata, dan Idappaccayata; pengertian mana yang dapat mengatasi kebodohan dan kemelekatan, mengatasi dukkha, dan mengatasi kematian.

[Dikutip dari Mutiara Dhamma ]

Tidak ada komentar: