Selasa, 15 November 2011

MAWAS DIRI


Saudara-saudara umat Buddha yang berbahagia, tidak sampai seminggu kurang lebih lima atau enam hari kemudian, kita akan menginggalkan tahun ini dan memasuki tahun yang baru. Kalau saudara-saudara mengikuti kebaktian pada pagi hari ini, dengan tidak terasa hari ini adalah minggu yang terakhir.

         Saudara-saudara pada saat menjelang tutup tahun, terutama generasi muda dan apalagi yang tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta ini, pada saat tutup tahun seperti ini, maka kemudian kegiatan sejenak berhenti. Apakah saudara akan berlibur di rumah ataukah mungkin melancong piknik ke luar kota, yang semuanya itu merupakan acara tutup tahun. Saudara-saudara, memang sudah merupakan tradisi dalam kehidupan bermasyarakat membuat acara pada saat menjelang tutup tahun, meskipun sudah tentu saya ingin mengingatkan saudara, cobalah saudara membuat acara yang wajar saja dan lebih penting dari acara-acara kebiasaan menutup tahun, mengakhiri tutup tahun dan menyambut tahun yang baru itu. Saya ingin mengajak kepada saudara gunakanlah waktu dua, tiga hari ini untuk bersama-sama melakukan mawas diri, melihat setidak-tidaknya satu tahun yang telah kita lalui bersama.

         Saudara-saudara, marilah kita melihat perjalanan kehidupan kita, setidaknya setahun yang lalu, dengan satu kaca mata kejujuran. Saudara tidak perlu mengakui dengan jujur apa yang telah saudara lakukan dalam satu tahun kepada orang lain termasuk mungkin kepada orang tua atau kepada suami, istri saudara sendiri. Tetapi saudara, berusahalah untuk melihat dan mengakui dengan jujur satu tahun yang telah saudara lewatkan, dengan jujur kepada diri sendiri. Kalau kita tidak pernah melakukan mawas diri saudara, maka akan sulit untuk maju. Kalau kita sulit melihat kekurangan kita, sikap-sikap yang tidak baik yang telah kita lakukan dalam satu tahun, maka sulit untuk memperbaiki itu pada tahun yang selanjutnya. Oleh karena itu, dalam dua, tiga hari ini jadikanlah hari-hari ini sebagai hari-hari yang baik, untuk membuat evaluasi, untuk membuat rincian kembali, apa saja yang telah saudara lalui, apa sajakah yang telah saudara lakukan dalam setahun ini dengan sejujur-jujurnya kepada diri saudara sendiri.

         Saudara-saudara, kemudian menjelang memasuki tahun yang baru, gunakanlah kesempatan itu untuk bertekad membuat revolution, membuat tekad mempertahankan yang sudah baik, dan memperbaiki yang masih belum kita capai. Oleh karena saudara, kehidupan kita ini adalah akumulasi hasil timbunan dari perjuangan kebajikan kita. Kehidupan kita ini bukan untung-untungan, bukan seperti orang memungut lotere, atau bermain dadu, kadang-kadang kita berhasil, tetapi kadang-kadang kita gagal. Sesungguhnya kehidupan kita adalah sesuatu yang pasti, sesuatu yang tidak beralasan. Kalau kita menjadi was-was, menjadi ragu-ragu atau khawatir atas hari depan kita. Kehidupan ini pasti karena didasari oleh satu hukum yang pasti. Apapun yang kita alami kemudian tidak lain adalah akibat timbunan dari perjuangan perbuatan dan keuletan kita masing-masing. Kehidupan kita bukanlah seperti boneka yang dimainkan para sutradara, kita bukan seperti wayang yang dijalani oleh mereka yang menjadi dalang tetapi kita masing-masing adalah sutradara yang menyutradarai kehidupan kita masing-masing. Kalau kita lengah dan ceroboh maka hari depan kita akan banyak masalah, tetapi kalau sekarang saudara berjuang dengan keuletan, tidak pantang menyerah, maka semuanya itu akan menjadi faktor yang amat menentukan bagi kehidupan saudara kemudian.

         Saudara-saudara, mungkin saya tidak bisa bertemu dengan saudara pada saat tutup tahun atau pada saat tahun baru 1 Januari nanti, oleh karena itu saya akan menggunakan kesempatan sekarang untuk membawakan pesan tahun baru untuk saudara. Saya ingin membawakan satu uraian yang mudah-mudahan akan menjadi bahan renungan bagi saudara sekarang dan untuk kemudian.

         Saudara-saudara, kalau kita mau menyadari kehidupan ini dan mau dengan jujur melihat masyarakat di sekitar, sering sekali saudara sulit antara manusia yang satu untuk bergaul dengan manusia yang lain. Kakak beradik memang pada waktu masih kanak-kanak bertengkar dan kemudian selesai, tetapi setelah menjadi dewasa tidak jarang mereka kemudian bermusuhan, sering kita menjumpai suami istrri yang sudah tidak bisa harmoni kembali, untuk menegurpun rasanya sulit meskipun anaknya sudah banyak, dengan mertua, dengan tetangga kita, dengan teman-teman kita, suatu saat saudara akan melihat saudara jauh dengan kita dan mungkin suatu saat saudara merasa sulit bergaul dengan mereka.

         Saudara-saudara, penghalang apakah yang menjadi penghalang atas semuanya ini, Saudara melihat pagar, saudara melihat penyekat takbir bukan saja pagar itu dari besi, bukan saja pagar itu dari tembok, mungkin juga dari tembok yang sangat tebal seperti kalau saudara pernah melihat sendiri atau melihat gambar The Great Wall namun demikian saudara, pagar apapun, pagar yang kita lihat, apakah besi, cor, apakah tembok, apakah tembok yang sangat tebal, semuanya itu sesungguhnya bukan pemisah yang sangat berbahaya.

         Selain pagar-pagar yang bisa kita lihat ada pemisah lainnya, ada pagar lainnya, ada The Great Wall yang lain yang tidak bisa dilihat dengan mata daging ini, yang sering memisahkan kita sehingga manusia sulit untuk bergaul dengan manusia yang lain. Sekalipun mungkin itu saudaranya, mungkin orang tuanya sendiri atau mungkin saudara kandungnya sendiri. Pemisah itu saudara, lebih hebat dari pagar yang memagari masing-masing rumah kita. Pemisah itu lebih dahsyat dari The Great Wall yang sangat tebal itu. Pemisah atau penyekat itu memang tidak kasat mata, tidak mampu dideteksi dengan mata ini tetapi dia memisahkan manusia yang satu dengan manusia yang lain.

         Apakah pemisah itu saudara? Yang kadang-kadang amat jahat sekali dan mungkin amat pekat sekali yang sulit untuk diterobos, yang mengalahkan persaudaraan, yang mengalahkan budi baik, yang mengalahkan hubungan baik, yang mengalahkan yang lain-lain. Sehingga kemudian kita sulit unutk bergaul dengan yang lain. Pemisah atau penyekat itu tidak lain adalah predikat-predikat yang kita punyai. Kalau saya menyebutkan saya umat Buddha maka saya sudah membuat pemisah, penyekat dengan umat beragama lain. Saya umat Buddha dan anda umat beragama lain, saya bhikku dan anda adalah umat awam, saya pimpinan dan anda karyawan, saya murid dan anda guru, saya orang mampu dan anda bawahan saya, sangat banyak saudara, kalau saudara menuliskan predikat-predikat ini mungkin lebih tebal dari buku telepon yang saudara punyai. Saya ibu, saya ayah, saya anak, saya umat Buddha, saya karyawan atau saya majikan, saya pimpinan, sedangkan anda bukan. Begitu saya menyadari saya umat Buddha maka saya merasa berbeda dengan umat yang beragama lain. Begitu saya menyadari saya bhikkhu maka saya mengganggap saudara berbeda dengan saya.

         Saudara-saudara, jangan saudara salah mengerti, agama Buddha dan saya pribadi tidak keberatan dengan predikat-predikat itu karena memang predikat-predikat itu diperlukan dalam kehidupan masyarakat, tetapi saudara untuk kepentingan batin kita, untuk pembentukan mental kita yang sehat kalau suatu saat kita mau menyingkirkan semua predikat itu. Saya umat Buddha, saya bhikkhu, saya pemimpin, saya orang tua, saya karyawan, saya atasan, kalau saudara mau menyingkirkan semuanya itu untuk sementara demi kepentingan mental saudara, maka apakah yang saudara lihat, kalau predikat-predikat yang merupakan pagar, yang merupakan penyekat yang dahsyat itu kadang-kadang saudara, saudara mau menyingkirkan sesaat maka saudara akan melihat akar yang sama pada setiap orang. Apakah bhikkhu, apakah umat, apakah dia umat Buddha, apakah dia seorang muslim, apakah dia seorang Kristen, apakah dia umat Hindu, apakah mereka yang tidak menentu apakah agamanya, apakah mereka atasan saya, apakah mereka bawahan saya, apakah mereka orang kebanyakan, apakah saya pemimpin, kalau semuanya itu sejenak kita singkirkan maka kita akan melihat akar yang satu dan sama. Apakah itu saudara, tidak lain bahwa kita semua adalah manusia, saya adalah manusia, demikian juga saudara, pimipinan kita adalah manusia, saudarapun manusia,. Saudara yang menjadi pimpinan manusia dan yang saudara pimpin juga manusia seperti saudara.

         Saudara-saudara, kesadaran akan hakekat kita sebagai manusia, inilah yang kadang-kadang dibungkus dan kemudian disekat oleh bermacam-macam predikat. Kalau saudara sudah maju dan sukses berhasil menjadi pimpinan, mempunyai jabatan tertentu, merasa menjadi mempunyai peranan tertentu, maka kadang-kadang saudara berpikir seolah-olah sudah bukan manusia lagi atau mungkin saudara memandang yang lain menjadi bukan manusia lagi.

         Saudara-saudara adalah esensi, adalah hakekat dari kita semua. Memang saudara kalau saya ditanya, "Bhante, apakah Bhante sama dengan saya?" Saya menjawab tidak, "Kalau tidak sama Bhante, tentu Bhante berbeda dengan saya". Yah… tetapi tidak sepenuhnya berbeda. Sebaliknya saudara, kalau saudara bertanya kepada saya, "Bhante, apakah Bhante berbeda dengan saya?" Saya akan menjawab tidak. "Kalau tidak berbeda Bhante, tentu Bhante sama dengan saya". Saya juga akan menjawab tidak, memang saudara dengan saya tidak sepenuhnya berbeda, tetapi juga tidak sepenuhnya sama. Saya dan anda sama, tetapi tidak persis sama. Saudara berbeda dengan saya, tetapi tidak berbeda sama sekali. Apapun perbedaan saudara dengan saya, apapun perbedaan saudara dengan saudara yang lain, kita semua adalah manusia.

         Perbedaan apapun yang boleh kita lihat bersama, semuanya itu tidak akan melunturkan sifat kita yang sejati bahwa kita adalah manusia. Hal yang lain saudara yang akan saya sampaikan kepada saudara, sebagai renungan akhir tahun dan menjelang memasuki tahun yang baru dan ingatlah saudara semua manusia mempunyai perjuangan yang sama. Umat beragama apapun, seorang Buddhis, seorang Muslim, seorang Kristen, seorang Hindu, atau mereka yang tidak kenal agama, mereka yang kaya, mereka yang miskin, mereka yang intelektual, atau mereka yang mempunyai tingkat pendidikan rendah, semua manusia mempunyai obsesi yang sama, mempunyai tujuan perjuangan yang sama. Apakah itu saudara? Semua manusia setiap orang menginginkan kebahagiaan, tidak ada seorangpun yang tidak menginginkan kebahagiaan. Saya mohon kepada saudara ingatlah ini, meskipun bukan sesama umat Buddha, saudara-saudara kita umat beragama lainpun menginginkan kebahagiaan, termasuk mereka yang tidak menyenangi saudara, yang memusihi saudara, yang mengganggu saudara, merekapun menginginkan kebahagiaan.

         Saya ingin memberikan contoh kepada saudara, cobalah saudara lihat. Seorang pencuri yang dengan cerdik mencuri barang-barang saudara atau merampas milik saudara, kalau boleh saya bertanya kepada pencuri itu, "Hai… engkau mencuri". "Ya.. Bhante saya tahu, apa yang saya lakukan itu sesuatu yang tidak baik". "Apa tujuanmu mencuri?" Pencuri itu akan menjawab saudara, "Bhante, saya mencuri ini saya ingin bahagia". Saya percaya saudara, tidak ada pencuri yang mencuri yang ingin menderita, tidak orang yang mencuri karena dia ingin menderita, tidak ada pencuri yang mencuri karena dia ingin tertangkap dan kemudian digebuki beramai-ramai dan kemudian dijebloskan di penjara. Dia mencuri sekalipun karena dia juga ingin bahagia. Memang cara untuk bahagia yang dia tempuh adalah cara yang salah, karena cara yang dia tempuh membuat penderitaan, membuat kesulitan manusia yang lain, tetapi tujuan dia mencuri sebagai manusia dia ingin bahagia, tidak ada pencuri yang mencuri untuk mencari kesengsaraan.

         Saudara-saudara, kalau saudara mau merenungkan apa yang saya uraikan ini, dengan jujur, sebagai sesama manusia semuanya menginginkan kebahagiaan, maka akan timbullah kasihan, akan timbullah kasih sayang yang alami, kasih sayang yang wajar dari dalam diri kita, melihat atau bertemu setiap orang. Kasih sayang yang tidak dibuat-buat, kasih sayang yang tidak dipaksa-paksakan tetapi kasih sayang yang alami, kasih sayang yang natural karena kita menyadari siapapun adalah sesama manusia, sama seperti kita, sama seperti saudara, sama seperti saya yang sama-sama juga menginginkan kebahagiaan. Mereka mencari kebahagiaan dengan cara yang salah justru bukan kebencian yang timbul dalam diri kita, kasihan, kasih sayang yang akan timbul dan timbul melihat dia.

         Saudara-saudara semua, agama, semua kepercayaan mengajarkan cinta kasih, janganlah engkau membenci, janganlah engkau memusuhi orang lain, karena mereka juga manusia seperti engkau, meskipun mereka membencimu, memusuhimu, janganlah engkau marah kepada mereka. Tetapi banyak orang berkata kepada saya, "Baik bhante, saya ingin menjalani ajaran agama saya, saya ingin untuk tidak marah kepada orang yang marah kepada saya, saya tidak ingin membenci kepada orang yang jahat kepada saya, tetapi bhante, bagamaimanakah caranya? Amat sulit sekali untuk tidak membenci kepada orang yang mengganggu saya, amat sulit sekali untuk tidak jengkel kepada orang yang menjengkelkan saya, yah… saya ingin menjalani agama saya, tetapi bagaimana caranya? Apakah saya harus menyayangi dia, apakah saya harus mencintai dia yang menyulitkan saya dengan pura-pura, apakah mencintai, menaruh kasih sayang kepada seseorang dengan pura-pura adalah ajaran agama juga?"

         Saudara-saudara, oleh karena itu Sang Buddha meletakkan pengertian benar sebagai unsur yang pertama dalam delapan unsur jalan Ariya. Unsur yang pertama dari delapan unsur jalan Ariya itulah pengertian benar, karena seseorang untuk dibangkitkan pengertian, diperluas wawasannya, maka dengan sendirinya akan timbul sifat-sifat yang baik secara alami, bukan timbul secara artifision, secara pura-pura yang mungkin orang lain mengatakan munafik. Kalau seseorang diperluas wawasannya, dibukakan pengertiannya, diberikan kesadarannya, bahwa kita adalah sesama manusia yang memang tidak sama, tetapi tidak sepenuhnya berbeda, yang memang berbeda tetapi tidak sepenuhnya tidak sama. Kita adalah sesama manusia sebagai sesama manusia demikian juga kita, merekapun menginginkan kebahagiaan.

         Dengan menyadari ini saudara, maka akan timbullah kasih sayang yang sejati. Kasih sayang yang bukan kita jalankan, karena semata-mata takut pada agama, kasih sayang yang tidak kita paksakan karena itu sudah perintah agama, tetapi kasih sayang yang muncul karena pengertiaan kita berkembang, karena wawasan kita berkembang. Kalau pengertian kita berkembang saudara, maka sikap mental kita akan berubah. Kalau sikap mental kita berubah, maka prilaku kita akan berubah, jangan harap saudara akan bisa merubah prilaku seseorang, tingkah laku anak-anak saudara,kalau saudara tidak berhasil mengubah cara berpikir, sikap mentalnya, tanpa perubahan sikap mental, perubahan tingkah laku hanya sementara.

         Saudara-saudara, di dalam permulaan khotbah saya, saya mengutip Karanīya Metta Sutta, salah satu baitnya menyebutkan:

Na paro param nikubbethaNātimaññetha katthaci nam kañciByārosanā patīghasaññāNāññamaññassa dukkhamiccheyya

Artinya:

Jangan menipu orang lain Atau menghina siapa saja
Jangan karena marah dan benciMengharapkan orang lain celaka

         Semua orang menginginkan kebahagiaan, semua orang takut penderitaan. Dengan memikirkan dan merenungkan ini saudara, maka akan timbullah rasa kasihan, karena yang sesungguhnya saudara-saudara memang kita mempunyai profesi dan profesi itu, tugas itu memberikan predikat kepada kita, masyarakat membutuhkan itu, saudara sebagai kepala rumah tangga, saudara sebagai suami, saudara sebagai istri, saudara sebagai mahasiswa, saudara sebagai atasan, saudara sebagai pengurus, saudara sebagai pemimpin, tetapi untuk kepentingan ke dalam, untuk kepentingan kemajuan batin saudara, saudara harus sadar bahwa di belakang predikat itu, di belakang semua jabatan itu, jabatan kita yang utama adalah manusia.

         Yang kita pimpin atau yang menjadi atasan kita, saudara kita, sesama umat Buddha atau umat beragama lain, mereka semua adalah manusia yang mempunyai obsesi yang sama, berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan.

         Saudara-saudara, oleh karena itu, saya pernah menyampaikan di Klaten, Semarang dan beberapa tempat di Jawa Tengah, sayapun juga minta kepada umat Buddha untuk diperlakukan sebagai manusia, karena Bhikkhu juga manusia, yang bisa sakit, yang bisa capai, yang mempunyai tenaga terbatas seperti juga saudara.

         Mungkin menjadi tidak adil dan tidak sesuai dengan Dhamma, kalau saudara melihat saya sebagai bukan manusia, apakah dewa, apakah mungkin robot, saya minta perlakukan juga para Bhikkhu sebagai manusia, karena mereka juga manusia seperti saudara.

         Saudara-saudara, mengapa kalau kita menyadari bahwa semua manusia ingin bahagia, tetapi kemudian kita dengan tega melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat manusia yang lain menderita, seperti yang saya contohkan di depan: mencuri, melakukan tindakan-tindakan yang merugikan mahkluk atau manusia lain, mengapa? Menurut Dhamma saudara, kekotoran batin itulah yang menjadi penyebabnya.

         Kalau kekotoran batin itu kemudian muncul, maka kekotoran batin itulah akan menjadi sekat yang lain.

         Penyekat yang tidak seberapa, adalah pagar yang kita lihat, tembok, dinding, dsb. Penyekat yang lebih halus yang sangat berbahaya adalah predikat-predikat yang kita punyai tanpa sadar. Ada penyekat yang lebih halus lagi, dan lebih berbahaya lagi, penyekat itu adalah kekotoran batin yang dalam bahasa Pali disebut Kilesa. Kalau kilesa itu sudah muncul seolah-olah dunia kita ini menjadi gelap, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah, kaset-kaset yang kita punyai, diskusi-diskusi yang pernah kita ikuti semua seolah-olah lenyap, dunia kita menjadi hitam, pekat, kita tidak bisa membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang berguna, mana yang merugikan, mana yang baik, mana yang jahat, pendeknya saya mau, saya akan melakukan penyekat ini lebih halus lagi, saudara sangat halus… sekali, hanya mereka yang telah mencapai penerangan sempurna seperti Sang Buddha yang mampu mendeteksi penyekat ini.

         Saudara rajin mendengarkan Dhamma, saudara mengerti Dhamma, saudara mengerti bahayanya kejahatan, resiko kalau berbuat jahat, mungkin mempunyai reputasi yang jelek, nama yang jelek, mungkin bisa dikeluarkan dari pekerjaan, dsb, tetapi pengertian itu akan bisa menjadi lenyap total pada saat kekotoran batin itu muncul. Mengapa kekotoran batin itu muncul saudara? Kekotoran batin itu muncul karena dipancing untuk muncul. Apakah, siapakah yang memancing, yang memancing adalah panca indria kita, yang terpancing adalah objek yang diluar ini. Mata melihat, telinga mendengar, hidung membau sesuatu, lidah kita memakan, fisik kita meraba sesuatu, maka itulah yang memancing atau yang membuat panca indra ini terpancing dan kemudian memancing hawa nafsu itu untuk muncul, timbullah kejengkelan, kemarahan, kebencian, keserakahan, hawa nafsu, kesombongan, dsb. Oleh karena itu saudara, kesadaran merupakan kunci untuk menjaga panca indra ini melihat dengan kesadaran, mendengar dengan kesadaran, membau dengan kesadaran, menyentuh sesuatu dengan kesadaran, kalau sati (kesadaran) itu muncul, maka sampajjana (pengertian) yang kita punyai akan berfungsi. Kalau sati (kesadaran) itu absen, maka pengertian apapun yang kita punyai lenyap saudara, saat itu menjadi lenyap dan kemudian kita akan berani melakukan kejahatan. Oleh karena itu saudara, marilah kita memasuki tahun yang baru ini dengan mengingat betapa pentingnya kesadaran kita. Pada saat mata kontak dengan yang dilihat, melihatlah dengan kesadaran, jangan apa yang dilihat itu membuat panca indria ini terpancing dan memancing hawa nafsu sehingga kita hanyut pada perbuatan yang merugikan kita.

         Ada satu contoh saudara. Kalau sang suami kerja di perusahaan yang besar, kemudian mendapatkan tugas ke luar kota 3 hari, 4 hari kalau di luar kota yang sudah 3 hari, 4 hari, dia meninggalkan rumahnya sendiri itu dia melihat orang tua yang berjalan tertatih-tatih, maka penglihatan atas si orang tua itu memancing ingatannya, dia ingat orang tuanya yang di rumah, bagaimana ibu, mama yang dirumah, sudah 2, 3 hari, mudah-mudahan sehat, karena waktu saya pergi mama sakit, kalau sudah 3 hari, seminggu meninggalkan rumah, kemudian melihat anak kecil tertawa-tawa lucu sekali, maka kemudian yang kita lihat itu memancing ingatan kita, ingat anak yang di rumah, bagaimana anak saya sekarang, sudah saya tinggalkan seminggu, tetapi saudara kalau sang suami melihat wanita yang cantik, yang terpancing bukan ingatan istri di rumah, yang terpancing eh.. cewek itu kok cantik, saya mau dekat, saya mau kenalan, dsb.

         Itulah apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita raba, kalau tidak kesadaran itu memancing hawa nafsu indria, tidak peduli saudara bisa berkhotbah, mempunyai pengertian Dhamma yang lengkap, mengerti agama yang baik, tidak ada kesadaran, maka hawa nafsu muncul dan semua menjadi gelap, tidak ingat lagi hukum Kamma, tidak ingat resiko, tidak ingat nama jelek, dsb, tidak ingat oleh karena hawa nafsu itu memberikan kenikmatan yang spontan dan manusia mencari kenikmatan yang spontan, hawa nafsu kita tidak sabar untuk menunggu, untuk dengan tekun dan ulet memperjuangkan kebahagiaan yang sejati, tetapi kalau bisa sekonyong-konyong kaya, sekonyong-konyong enak, sekonyong-konyong nikmat, sekonyong-konyong maju, itulah tuntutan hawa nafsu dan sekonyong-konyong itu tidak pernah cocok dengan hukum semesta. Hukum semesta ini tidak mengenal proses sekonyong-konyong, hukum semesta ini mempunyai hukum bertahap, kalau sudah tidak bisa bertahan, maka saudara berada di tengah jalan.

         Saudara-saudara, hal yang lain yang ingin saya pesankan kepada saudara. Kalau kita melihat sifat yang alami dari kehidupan ini, yang pertama saya ingin mengajak saudara di depan untuk menyadari sifat yang alami kita sebagai manusia, tetapi ada sifat alami dari kehidupan ini yang lain saudara.

         Sifat alami atau sifat yang sangat wajar dari kehidupan ini yang kedua, kalau boleh saya memberikan nomor dua adalah kehidupan itu saling bergantungan, saling membutuhkan, jangan saudara meremehkan atau mencemooh siapapun juga sekalipun mereka yang tidak senang kepada saudara, sekalipun mereka yang tidak peduli kepada saudara, saya ingin memberikan contoh yang sederhana sekali.

         Saudara semua mengerti tawon yang kecil, tawon itu tidak mengenal saudara, dan kalau saudara mengganggu, dia akan menyengat saudara mati-matian meskipun sesudah menyengat dia itu mati, dia tidak kenal pada saudara dan sebagai mahkluk, dia mahkluk yang sangat kecil, tidak pernah kita perhatikan, tidak pernah kita urus, tetapi saudara, saudara membutuhkan madu, madu itu tawon yang membuat, manusia memerlukan madu, manusia memuji-muji madu, manusia memberikan harga yang sangat mahal kepada madu yang murni dan saudara harus ingat binatang-binatang yang kecil-kecil itu yang membuat madu untuk saudara, yang menghasilkan, mempunyai koneksi dengan keberadaan mereka. Dengan keberadaan tawon-tawon yang kecil-kecil itu demikianlah saudara, kita harus menghargai mahkluk-mahkluk yang lain demikianlah kita harus menghargai semuanya itu sebagai kehidupan yang menginginkan kebutuhan orang lain itu.

        Pada waktu saya diminta berceramah di depan mahasiswa-mahasiswa fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana di Yogya sangat menarik saudara. Di aula yang besar cukup penuh, saya menyampaikan dengan pelan-pelan, karena mereka menginginkan pengertian tentang agama Buddha dari tangan yang pertama, dari penganutnya sendiri, tidak hanya dari buku. Saya yakin meskipun mereka tidak menjadi umat Buddha kemudian dan itu bukan harapan saya, tetapi mereka memberikan respek, hormat pada agama Buddha, tidak ada satupun yang kemudian mencemooh, dan kemudian secara frontal menyerang uraian saya, semuanya merasa puas dan mereka menginginkan suatu saat akan datang ke Vihara untuk bermalam, mungkin lebih kurang 7 hari (seminggu) untuk belajar mengerti kehidupan di dalam vihara. Mereka menanyakan doa saudara, saya menjawab doa umat Buddha sesungguhnya sangat sederhana dan doa ini bisa digunakan pada setiap kesempatan. Di dalam bahasa pali Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta —semoga semua makhluk berbahagia. "Kalau mau tidur bagaimana bhante?" Ucapkan saja semoga semua bakhluk berbahagia. "Kalau bangun tidur bagaimana bhante?" Semoga semua makhluk berbahagia. "Kalau makan bhante doanya bagaimana?" Kalau anda butuh doa mau makan ucapkan saja 'Semoga semua makhluk berbahagia'. Itu doa yang universal saudara, berlaku untuk semua kepentingan. "Kalau menghadapi saudara saya yang meninggal, bagaimana bhante?" Doakan saja semoga saudara saya, semoga semua makhluk berbahagia, itu doanya orang intelek saudara, nggak usah panjang-panjang, pendek saja, tetapi cukup dan berguna, cocok untuk setiap kesempatan.

         Ada satu cerita saudara. Ada seseorang yang datang ke vihara karena mengalami kesulitan dan berkata kepada bhikkhu yang sudah selesai bermeditasi, selesai membaca paritta, saya ceritakan itu pada waktu saya memberikan ceramah di Duta Wacana. "Bhante doakanlah saya, saya mengalami banyak kesulitan, semoga kesulitan saya bisa selesai". Bhikkhu itu menjawab: "Baik, saya sudah mendoakan saudara bahkan sebelum saudara datang kemari saya sudah mendoakan saudara, sebelum saudara kenal pada saya dan sebelum saya kenal saudara, saya sudah mendoakan untuk saudara". Orang itu mengatakan "Ah bhante, yang benar sajalah, mungkinkah itu? Sebelum bhante kenal saya, bhante sudah mendoakan saya?" "Benar, karena setiap saat saya bermeditasi, setiap saat saya membaca paritta, saya mengucapkan semoga semua makhluk berbahagia dan saudara sudah termasuk didalam semua makhluk". Semoga semua makhluk berbahagia saudara, saya jelaskan kepada mereka semoga semua makhluk yang tampak, yang tidak tampak termasuk binatang, termasuk mereka yang tidak menyenangi saudara, termasuk mereka yang mengatakan umat Buddha kafir, menyembah berhala termasuk semuanya itu kita doakan semoga mereka semuanya berbahagia.

         Sulit saudara mencari doa yang singkat dan sangat bermakna seperti ini, saya mengatakan hanya orang-orang intelek yang mau menggunakan doa yang seperti ini, tidak usah panjang, sulit menghafal, hanya semoga semua makhluk berbahagia. Kalau saudara naik pesawat Sempati, di situ ada kartu doa, bermacam-macam doa, ada yang panjang sekali, sampai satu halaman, ada yang setengah halaman. Pada waktu umat Buddha ditanya oleh pihak Sempati apa doa perjalanan umat Buddha, bhikkhu, yah sederhana saja, Namo Tassa tiga kali, lalu Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatta —semoga semua makhluk berbahagia, mungkin juga kalau penumpang-penumpang yang lain melihat wah ini sajalah yang pendeng, gampang diingat.

         Saudara-saudara saya harus menyelesaikan uraian saya pagi hari ini dengan pesan saya yang terakhir, satu tahun telah kita lalui, dan kita telah lalui bertahun-tahun yang dibelakang kita, kita akan memasuki ditahun yang baru, apa yang akan kita hadapi, kita tidak mengerti, apa yang menjadi tantangan kita, kita tidak mengerti, tetapi jangan khawatir saudara, apapun yang terjadi tidak mungkin lebih dari kapasitas saudara. Jadi kalau saudara itu satu kendaraan, kalau saudara itu satu traktor, apa yang menjadi beban saudara itu tidak akan mungkin lebih dari kemampuan angkut dan kemampuan tahan saudara, Mengapa demikian? Saya cukup mempunyai alasan, karena apapun yang akan terjadi kemudian saudara, itu tidak lain adalah akibat perbuatan saudara sendiri bukan produk buatan makhluk lain, bukan hukum, bukan kutukan, bukan hadiah makhluk lain, tetapi semata-mata hasil akumulasi timbunan-timbunan dari perbuatan-perbuatan saudara. Kalau saudara sendiri yang melakukan dan membuat, saya yakin akibatnya itu tidak akan lebih dari daya tahan saudara sendiri, karena saudara sendiri yang melakukan, apakah itu baik, apakah itu tidak baik, yang lain saudara apapun yang terjadi kekecewaan, kegagalan, kemunduran, semuanya adalah tidak kekal, tidak ada kebahagiaan yang kekal, tidak ada kenikmatan yang kekal, tetapi juga tidak ada penderitaan, kesulitan, problema-problema dan itulah sesungguhnya bagi saya pribadi yang memberikan kekuatan pada saya, kekuatan saya sebagai manusia untuk bertahan, kekuatan saya sebagai bhikkhu untuk bertahan, kesulitan apapun tidak ada yang abadi, kejengkelan apapun tidak ada yang abadi, kejenuhan apapun tidak ada yang abadi, kalau saudara mengerti dan menyadari sifat kehidupan ini, maka itu akan menimbulkan kekuatan saudara untuk bertahan.



        Saudara-saudara. Satu hal yang tidak boleh kita abaikan adalah keuletan, daya tahan, dan itu meliputi juga kesabaran (khanti). Sebagai penutupan dari uraian khotbah saya saudara, saya ingin mengingatkan saudara siapakah yang bisa melatih saudara untuk sabar? Bukan para bhikkhu, bukan para pandita, mungkin juga bukan orang tua saudara, orang tua, para bhikkhu dan para pandita itu hanya menceritakan tentang kesabaran, menceritakan tenatang keuletan, tetapi mereka mungkin tidak bisa mendidik, melatih keuletan, dan kesabaran saudara. Siapakah guru yang sesungguhnya yang bisa melatih keuletan dan kesabaran saudara?! Guru yang paling baik yang bisa melatih meningkatkan, menambah keuletan dan kesabaran saudara adalah orang-orang yang tidak menyenangi saudara. Orang-orang yang mengganggu saudara, mereka yang menjengkelkan saudara, mereka yang membuat masalah pada saudara, mereka itulah yang sesungguhnya yang melatih saudara untuk sabar, untuk ulet dan untuk bertahan.

         Orang yang menjengkelkan saudara, yang memfitnah saudara, yang marah pada saudara, yang salah paham pada saudara, yang sengaja merongrong pada saudara, mereka itulah guru yang baik, guru yang sebenarnya melatih saudara untuk sabar dan mempunyai keuletan. Orang yang memanjakan saudara, orang yang membantu saudara bukan guru yang baik, yang bisa melatih kesabaran untuk saudara tetapi saudara saya minta nanti kalau pulang ke rumah, anaknya, familinya, jangan kemudian bikin gara-gara, bikin ramailah, itulah "Eh.. kamu ini bagaimana, aku inilah menurut Bhante Pañña guru yang terbaik". Nanti anda melakukan kejahatan, anda menjadi guru tetapi melakukan kejahatan.

         Mereka adalah guru yang terbaik bagi kita, yang diganggu, yang digoda, tetapi memang kita tidak perlu berterima kasih kepada guru yang baik itu, kita anggap mereka guru yang baik di dalam latihan kita supaya kita tidak membenci mereka. Orang Jawa mengatakan Wong mereka mengganggu anda juga punya tujuan yang sama juga kok dengan anda, apakah? Ingin bahagia, jadi mereka yang mengganggu anda, mereka yang merongrong anda, mereka yang meminta anda, mereka juga ingin bahagia, hanya caranya salah, ngawur karena itu kita kasihan kepada mereka.

         Saudara-saudara, semoga renungan saya pada akhir tahun ini bermanfaat bagi saudara. Apa yang saya sampaikan ini, saya yakin bukan persolan bagaimana umat Buddha saja, persolan ini adalah persoalan kehidupan, persoalan ini adalah persoalan bagi semua orang, oleh karena itu saya sendiri ingin menyumbangkan pengetahuan Dhamma saya kepada masyarakat, bukan tujuan saya membuat mereka semuanya menjadi umat Buddha, silahkan mereka menjadi umat Kristen, umat Islam, umat Hindu, tetapi sebagai umat Buddha saya ingin menyumbangkan Dhamma yang saya miliki, yang saya ketahui sebagai kontribusi saya kepada masyarakat.

         Semoga mereka mendapatkan manfaat dari dalam yang diwariskan Sang Buddha yang demikian luas dan yang demikian dalam sekali yang menyejukkan dan memperluas wawasan kita. Selamat memasuki tahun baru saudara, semoga timbul semangat yang baru, tekad yang lebih kuat, arah yang benar, jangan berhenti di tengah jalan. Tujuan kita masih panjang dan jangan mengkhawatirkan sesuatu, semangat baru, tekadnya baru, dan semoga anda mencapai kesejahteraan yang baru, rejekinya juga baru, hanya satu hal suaminya atau istrinya jangan baru.

         Semoga semua makhluk berbahagia, Semoga Sang Tiratana selalu memberkahi saudara, sekian dan terima kasih.***

oleh : Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera

Sumber : KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 4; Sri Paññavaro Mahâthera; 2001

Tidak ada komentar: