Kamis, 26 April 2012

TELADAN AGUNG


Di Jawa Tengah ada satu kata yang cukup dikenal oleh masyarakat. Kata itu adalah: "panutan", yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi teladan.

         Pembaca yang budiman, sejarah umat manusia pernah mencatat bahwa di bumi kita ini telah lahir seorang panutan Agung, seorang Teladan Agung, pada lebih dan 2500 tahun yang lalu.

         Tanggal 10 Mei 1990 adalah saat purnama di bulan Waisak. Umat Buddha kembali memperingati 3 peristiwa penting yang terjadi pada Panutan Agung: Sang Buddha Gautama, yaitu saat kelahiran, saat tercapainya Penerangan Sempuma, dan saat mangkat atau Parinibbana.

         Sebagai seorang putera raja yang akan menduduki tahta. Sang Buddha dilahirkan dengan nama Siddharta. Karena pangeran mampu melihat kepincangan-kepincangan dan penderitaan dalam kehidupan ini, beliau kemudian meninggalkan istana untuk mencari Dharma. Kepergian beliau dari istana bukan karena terpaksa atau karena dipaksa. Bahkan, bukan juga karena kepentingan pribadi. Kepergian beliau, tidak lain hanya karena dorongan untuk mencari jalan yang bisa membebaskan makhluk dari penderitaan.

         Sejarah kehidupan Sang Buddha Gautama menunjukan kepada kita bahwa jauh sebelum mencapai Kebuddhaan —waktu masih tinggal di istana sebagai pangeran mahkota— beliau telah sadar bahwa manusia tidak mungkin bisa membangun kebahagiaan hanya semata-mata dengan materi, dengan kedudukan, atau kekuasaan. Di samping cukup materi, sejahtera lahiriah, kita masih membutuhkan jalan yang bisa kita jadikan tuntunan untuk mendapatkan kebahagiaan batin. Bahkan tanpa jalan, tanpa Dharma, materi yang kita miliki bisa berubah menjadi bencana penghancur kehidupan.

         Setelah lama berjuang dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri, Pangeran Siddharta mencapai Kebuddhaan Sempurna. Namun, Beliau tetap hidup sederhana, sangat sederhana. Beliau berkelana beratus-ratus ribu kilometer untuk membabarkan Dharma kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kasta. Beliau membangun kehidupan suci, mengajarkan jalan kesejahteraan, dan selalu menunjukkan contoh teladan bagi semuanya. Beliau bukan sekadar pengajar Dharma, bukan sekadar pengajar agama, tetapi lebih dari pada itu: Beliau adalah Teladan Agung, Panutan Agung. Suatu ungkapan yang sangat terkenal tentang beliau sering diucapkan:

       "Yathâ vâdi tathâ kâri, yathâ kâri tathâ vâdi"

Artinya:

Beliau, Sang Buddha, mengajarkan apa yang telah dilaksanakan dan melaksanakan apa yang diajarkan.

         Manusia tidak bisa hidup dalam dunia konsepsi semata-mata. Memang kita perlu cara, memang kita perlu petunjuk, perlu wejangan, perlu teori, perlu konsep-konsep. Tetapi, kita tidak bisa hidup dan maju membangun hanya dengan konsep-koosep. Selain konsep, selain teori, kita memerlukan contoh. Kita butuh teladan.

         Dalam cita-cita kita yang sangat luhur —mewujudkan masyarakat Indonesia yang utuh sejahtera dengan landasan Pancasila— teladan sangat dibutuhkan.

         Generasi yang tidak memberikan teladan yang baik, sangat sulit untuk melahirkan generasi baru yang lebih baik. Sesungguhnya, kita semua dituntut untuk memberikan teladan dan bimbingan yang sebaik-baiknya bagi generasi kemudian.

         Orang tua adalah pemimpin dalam keluarga. Anak-anak membutuhkan bimbingannya, dan lebih dari pada itu, mereka perlu contoh yang bisa dilihat. Orang tua harus mampu menjadi panutan yang baik bagi putera-puterinya. Kalau orang tua hanya mengajarkan cara-cara, tetapi tidak berhasil memberikan contoh yang nyata, maka anak-anak akan kehilangan kepercayaan terhadap orang tua mereka. Anak-anak yang kehilangan panutan dalam keluarga, biasanya tumbuh dalam suasana batin yang kacau. Perbuatan dan sikap mereka sulit untuk diluruskan.

         Sebagai contoh, seorang ibu sering mengingatkan anak-anaknya, terutama anaknya yang wanita, supaya tidak pulang larut malam. Paling tidak jam 10.00 malam sudah harus berada di rumah. Tetapi, jika ibu ini sendiri sering kali pulang lewat tengah malam dengan tujuan yang tidak menentu dan sukar diketahui, maka sang puteri sangat sulit diharapkan mau mentaati perintah ibu. Bahkan, anak-anak seolah-olah mendapat contoh dari ibunya sendiri. Contoh untuk pulang ke rumah lewat tengah malam.

         Sesungguhnya kita semua adalah pemimpin. Apakah pemimpin rumah-tangga, apakah pemimpin dalam organisasi, apakah pemimpin agama, pemimpin di desa, pemimpin tinggi atau pemimpin kecil, pemimpin formal atau non-formal. Oleh karena itu, marilah kita menjadi panutan yang baik.

         Pemimpin yang memberikan contoh dengan mentaati disiplin kerja akan mudah mendidik bawahannya untuk disiplin. Pemimpin yang menjaga kejujuran, anak buahnya akan segan untuk korupsi. Pemimpin yang bertanggung-jawab pasti membuat sikap hormat sejati yang dipimpin terhadap dirinya. Marilah kita masing-masing menjadikan diri kita sendiri: teladan kerja keras, teladan membangun, teladan dalam kejujuran, teladan dalam hidup wajar. Bukankah kita pernah mendengar peribahasa yang mengatakan: "Satu contoh adalah lebih baik daripada sepuluh nasehat".



        Panutan Agung kita. Sang Buddha Gautama, tidak pernah minta dîhargai orang lain. Beliau tidak memerlukan itu. Beliau menjadi teladan demi manfaat dan kemajuan masyarakat. Hendaknya kita pun demikian, menjadi panutan untuk manfaat dan kesejahteraan keluarga kita, untuk masyarakat di mana kita tinggal, untuk bangsa dan negara tercinta ini. Menjadi panutan yang baik adalah sekaligus mendidik dan memberi manfaat bagi dirinya sendiri. Membawa dirinya ke arah yang lebih baik.

         Akhir-akhir ini bahaya narkotika banyak diberitakan dan dibicarakan di mana-mana, di seluruh dunia. Dari sekian banyak cara untuk menanggulangi bahaya kejatuhan generasi kita pada lingkaran setan narkotika, ingin saya berikan satu cara. Cara itu tidak lain adalah: Marilah kita semua memberikan contoh yang baik kepada generasi muda. Kalau mereka mencari kenikmatan dengan cara menggunakan narkotik yang sangat berbahaya dan menghancurkan itu, marilah kita berikan contoh untuk mendapatkan kenikmatan dengan cara lain yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Bahkan jauh lebih bermanfaat. Kalau kenikmatan ini bisa dibandingkan dengan kenikmatan narkotika, bedanya laksana cahaya dengan gelap, laksana langit dengan bumi. Apakah kenikmatan pengganti itu? Kenikmatan itu adalah kenikmatan dalam meditasi. Meditasi memberikan kenikmatan, membuahkan ketenangan. Meditasi menumbuhkan daya tahan, menumbuhkan semangat untuk menempuh kehidupan ini. Meditasi membuat kesadaran menjadi lebih tajam. Dengan meditasi kita membangun batin kita, melindungi diri kita dari segala macam pengaruh negatif godaan materi dan rangsangan hawa-nafsu.

         Dalam Kitab Suci Dhammapada 209, Sang Buddha menggambarkan sebagai berikut:

"Mereka yang membiarkan dirinya tenggelam pada hal-hal yang tidak benar dan tidak melaksanakan meditasi, melupakan kesejahteraannya sendiri, serta menggenggam erat-erat kesenangan nafsu duniawi; akan iri terhadap mereka yang tekun melatih diri dalam meditasi".

         Saya ingin mengajak para pembaca sekalian, terutama kepada seganap umat Buddha: Kembalilah kepada Dharma! Marilah kita bermeditasi.

         Marilah kita jadikan diri kita masing-masing sebagai panutan. Panutan dalam menumbuhkan kesadaran beragama dan bernegara. Panutan dalam pembangunan lahir batin ini. Kita bertekad menjadi panutan yang sejati, panutan yang tidak mengharapkan penghargaan dari orang lain.

         SELAMAT TRI SUCI WAISAK 2534

        Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Sang Triratna, selalu melindungi kita.

        Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, Semoga semua makhluk berbahagia.***

                                                        oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera

Sumber : BUDDHA CAKKHU No.17/XI/90; Yayasan Dhammadipa Arama.

Tidak ada komentar: