Kamis, 29 November 2012

BERBAHAGIA KARENA INDERA YANG TERKENDALI

Kāyena saṁvaro sādhu, sādhu vācāya saṁvaro
Manasā saṁvaro sādhu, sādhu sabbattha saṁvaro.
Sabbattha saṁvuto bhikkhu, sabbādukkhā pamuccati.

”Sungguh baik mengendalikan tubuh; Sungguh baik mengendalikan ucapan;
Sungguh baik mengendalikan pikiran; Sungguh baik mengendalikan
semuanya (indra-indra). Seorang bhikkhu yang mengendalikan
semuanya akan terbebas dari semua dukkha.”
(Dhammapada 361)



Pada umumnya orang tidak suka menghadapi kenyataan hidup dan lebih suka membuai dirinya sendiri dalam sensasi-sensasi palsu. Kebanyakan pula orang selalu mencari dan mengejar yang belum pasti, tetapi tidak mempersiapkan yang pasti, orang belum hidup dengan realitas hidup, tetapi masih bersumber dari keinginan hidup. Ingin menjadi kaya, ingin mendapat kedudukan maupun kemasyhuran, ingin selalu sehat maupun panjang umur, dan setelah meninggal dunia ingin terlahir di alam surga. Inilah harapan atau keinginan-keinginan yang wajar namun belum pasti terjadi.

Ada yang pasti, yang dapat membawa kemajuan bagi kita, apakah itu? Melakukan kebajikan dalam Dhamma. Dengan pelaksanaan Dhamma, harapan atau keinginan yang wajar dapat diwujudkan. Namun, tidak berhenti sampai di situ, karena hal-hal tersebut belum membebaskan kita sepenuhnya dari noda-noda batin. Kondisi-kondisi baik itu harus kita jadikan sarana untuk menunjang kebahagiaan yang tertinggi, yaitu bebas dari noda-noda batin.

Pikiran yang selalu diarahkan keluar akan menjadi salah satu penyebab ketidakpuasan. Tidak tercapai apa yang diharapkan juga merupakan rangkaian dari penderitaan. Semakin banyak keinginan, semakin jauh pula dari kebahagiaan. Sangat tepat bahwa kebahagiaan dan penderitaan itu ditentukan oleh pikiran. Karena kebahagiaan dan penderitaan serta banyak hal lainnya bersumber dari pikiran. Pikiran menjadi pusat atas kontak antara indra dengan objeknya. Seperti kontak mata dengan wujud atau gambar, telinga dengan suara, lidah dengan rasa, hidung dengan aroma, kulit dengan sentuhan, dan pikiran dengan ide atau konsep. Semua inilah yang memunculkan keinginan-keinginan hingga kita berbuat begini dan begitu.

Dari masa ke masa, semua orang tentu ingin hidup bahagia, ingin mencapai kehidupan yang lebih baik, dan sukses dalam segala hal. Sebaliknya, tidak ada satu orang pun yang menginginkan penderitaan. Hidup ini selalu berproses atau mengalami perubahan. Apa saja yang ada di alam semesta ini pasti akan berubah. Perubahan dapat membawa kemunduran maupun kemajuan. Yang tidak mampu dapat berubah menjadi hidup lebih baik, yang sukses dapat berubah menjadi gagal, yang jahat dapat berubah menjadi baik, dan yang senang dapat berubah menjadi berduka. Semua ini terus terjadi karena fenomena perubahan itu sendiri. Mengalami kegagalan, kesusahan, dan jatuh dalam kesulitan merupakan hal yang wajar. Mengapa demikian? Karena kehidupan ini tidak dapat terlepas dari Delapan Kondisi Alam (aṭṭhalokadhamma), yaitu lābha (mendapatkan), alābha (tidak mendapatkan), yasa (berkedudukan), ayasa (tidak berkedudukan), nindā (hujatan), pasaṁsā (sanjungan), sukha (kebahagiaan), dan dukkha (penderitaan). Dan yang juga harus kita pahami bahwa kondisi-kondisi itu selalu berproses, tidak tetap, dan berubah-ubah.

Bagi orang yang kurang bijaksana, dalam kehidupan yang penuh makna ini memerlukan pandangan cerah untuk memahami kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan dan penderitaan itu merupakan dua hal yang selalu berdampingan dengan kita, hanya saja kalau kebahagiaan menyenangkan sedangkan penderitaan itu menyusahkan. Tergantung bagian mana yang timbul lebih dominan. Sesungguhnya tidak perlu mencari yang sulit-sulit, yang aneh-aneh, yang unik, atau pun yang mahal-mahal baru kita bisa merasa bahagia. Jika kita ingin bahagia, mulailah sejak saat ini bersikap ramah dan lembut terhadap diri sendiri juga terhadap lingkungan.

Ketidaklekatan terhadap kesenangan-kesenangan indra adalah salah satu faktor penting untuk memperoleh kebahagiaan karena sebagian besar masalah hidup (penderitaan) disebabkan oleh kelekatan itu sendiri. Melepas adalah penyebab kebahagiaan dan jalan menuju pencerahan. Tidak melekat terhadap kesenangan-kesenangan yang bersifat duniawi adalah baik dan patut dikembangkan. Namun, tidak melekat pada keduniawian di sini bukan berarti harus pergi ke gua atau ke hutan menyepi dan mengasingkan diri. Tetapi hal itu (ketidaklekatan) merupakan bentuk dari sebuah perjuangan atau usaha kita agar memperoleh pembebasan.

Di jalan menuju kebahagiaan, kita melaju melalui tingkatan yang berbeda-beda, mungkin sebagian orang menganggap mempraktikkan sῑla belumlah sempurna sehingga tidak sedikit pula orang yang menyepelekan praktik sῑla, padahal cukup ada kesempurnaan di sana. Mengembangkan sῑla dan pengendalian diri yang lahir dari perilaku baik merupakan titik awal kebahagiaan. Untuk memperoleh kebahagiaan orang harus mencapai kesempurnaan sῑla dengan mengendalikan indra-indra. Minimal dengan pelaksanaan lima latihan moral (pañcasῑla) dalam keseharian. Saat indra-indra menjadi lebih terkendali, kita mulai mengalami salah satu dari tingkatan pertama kebahagiaan yang lahir dari pengendalian indra.

Jika kita melatih pengendalian indra, kita akan mengalami sebuah hasil nyata yang sangat menyenangkan, murni, dan indah. Sebuah kebahagiaan yang tenang, tentram, damai, dan hening. Ketika kita mengembangkan pengendalian diri dan menjaga indra-indra dengan baik, maka kesadaran akan mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang.

Waktu terus bergulir tanpa dapat dihentikan, yakinlah bahwa semua kesulitan akan berlalu dengan seiringnya waktu hingga akhir dari perjuangan dan mencapai hasil, yaitu kebahagiaan. Karena kesuksesan dan kebahagiaan adalah milik orang yang mau berusaha dan tidak mudah putus asa.

Oleh: Bhikkhu Virasilo (30 September 2012)
sumber : Dhammacakkaonline

Tidak ada komentar: