BAB V
HARI-HARI TERAKHIR
Maha Parinibbana Suttanta (D.II-16)
CULLAVAGGA XI
(Vin. II; B.D.V)
Ayasma Maha Kassapa bercerita kepada para bhikkhu :
“Pada suatu waktu aku bersama-sama dengan kira-kira lima ratus bhikkhu sedang berada dalam perjalanan dari Pava menuju Kusinara. Kemudian aku berhenti di pinggir jalan dan mencari tempat duduk di bawah pohon yang rindang.”
Pada waktu itu lewat di depanku seorang pertapa “tak berpakaian” dengan membawa bunga Pohon Karang, yaitu semacam bunga yang hanya dapat ditemukan, bila terjadi peristiwa penting. Lalu aku menyapa pertapa tersebut, “Apakah Anda kenal Guru kami?” Ia menjawab, “Benar, aku mengenal Guru Anda, tetapi Beliau telah mangkat seminggu yang lalu. Oleh karena itulah aku dapat memperoleh bunga Mandarava (Pohon Karang) ini.”
Mendengar berita tersebut, maka para bhikkhu yang masih belum terbebas dari hawa nafsu, mengangkat tangan mereka dan menangis tersedu-sedu; beberapa orang lagi berguling-gulingan di atas tanah dan menangis sambil meratap, “Terlalu cepat Sang Bhagava memasuki parinibbana! Terlalu cepat Yang Terbahagia memasuki parinibbana! Terlalu cepat Sang Mata Dunia lenyap dari pandangan kami!”
Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas dari hawa nafsu, dengan penuh kesadaran dan pikiran terpusat, merenung, “Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Mana mungkin hal ini tak akan terjadi?”
Tetapi aku berkata, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Bukankah sejak semula Sang Bhagava menerangkan bahwa segala sesuatu yang disenangi dan dicintai suatu ketika pasti akan berubah dan akan berpisah darimu? Apa yang timbul karena suatu sebab, menjadi seorang makhluk, terdiri dari paduan unsur-unsur dan dikodratkan akan lapuk, bagaimana engkau masih menginginkan, ‘Semoga itu tak akan berubah dan hancur kembali!”
Pada waktu itu hadir pula seorang bhikkhu bernama Subhadda, yang telah ditahbiskan pada usia lanjut. Subhadda kemudian turut bicara, “Cukup, Avuso, janganlah bersedih, janganlah meratap! Sekarang kita telah terbebas dari Pertapa Tua itu. Sudah terlalu lama, Avuso, kita telah dikekang oleh Beliau dengan mengatakan, ‘Ini boleh kamu lakukan, itu tidak boleh kamu lakukan!’ Sekarang kita dapat berbuat sesuka hati kita dan kita tidak usah melakukan hal-hal yang kita tidak senangi.”
Lalu aku berkata, “Mari, Avuso, kita akan membacakan Dhamma dan Vinaya, sebelum apa yang “bukan Dhamma” mendapat angin dan berkembang, dan Dhamma akan terdesak; sebelum apa yang “bukan Vinaya” mendapat angin dan berkembang, dan Vinaya akan terdesak; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Dhamma” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dhamma menjadi lemah; sebelum mereka yang berbicara tentang yang “bukan Vinaya” menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Vinaya menjadi lemah.”
Kemudian dijawab, “Kalau demikian halnya, harap Bhante memilih bhikkhu-bhikkhu yang akan membacakannya.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa memilih 499 orang bhikkhu, yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.
Setelah itu seorang bhikkhu berkata, “Bhante, meskipun Bhikkhu Ananda masih seorang siswa, tetapi ia sudah tidak mungkin lagi melakukan hal-hal yang salah karena dorongan keinginan rendah, kebencian, nafsu-nafsu yang menggelapkan batin dan ketakutan. Selain itu Bhikkhu Ananda memahami Dhamma dan Vinaya dengan seksama di bawah asuhan langsung Sang Bhagava. Karena itu aku mengusulkan agar Bhikkhu Ananda pun diikutsertakan.” Dengan demikian Bhikkhu Ananda pun terpilih.
Setelah itu timbul pertanyaan, “Di manakah akan diadakan pembacaan Dhamma dan Vinaya?”
Kemudian diusulkan oleh beberapa orang bhikkhu “Di Rajagaha terdapat banyak umat yang bersedia memberikan makanan dan tempat penginapan pun jumlahnya berlebih-lebihan. Bagaimana kalau waktu bervassa di Rajagaha kita membacakan Dhamma dan Vinaya, dan bhikkhu-bhikkhu lain selama vassa (musim hujan), tidak diperkenankan untuk berada di Rajagaha?”
Ayasma Maha Kassapa lalu berkata kepada Sangha, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik maka Sangha dapat memberi persetujuan agar kelima ratus bhikkhu ini membacakan Dhamma dan Vinaya pada waktu mereka bervassa di Rajagaha. Dan selama vassa itu jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha.
Inilah usulku. Para Bhante yang terhormat, Sangha sedang mempertimbangkan untuk menyetujui kelima ratus bhikkhu ini membicarakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha. Kalau sekiranya Sangha menyetujui, pada waktu kelima ratus bhikkhu tersebut membacakan Dhamma dan Vinaya di Rajagaha agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha. Kalau Sangha menyetujuinya, maka aku harap Sangha diam dan kepada mereka yang berkeberatan aku persilakan untuk bicara.
Kelima ratus bhikkhu tersebut, oleh Sangha telah disetujui untuk membacakan Dhamma dan Vinaya sewaktu mereka bervassa di Rajagaha dan juga telah disetujui agar jangan ada bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha, karena tidak ada yang bicara.
Begitulah apa yang kumengerti.”
Kemudian kelima ratus bhikkhu tersebut berangkat menuju Rajagaha untuk membacakan Dhamma dan Vinaya.
Setibanya di Rajagaha mereka melihat banyak kayu-kayu yang patah serta lapuk di tempat mereka menginap. Mereka berpikir, “Memperbaiki bagian-bagian bangunan yang patah serta lapuk dipujikan oleh Sang Bhagava. Mari, selama bulan pertama kita akan memperbaiki bagian-bagian yang patah serta lapuk dan kemudian baru membacakan Dhamma dan Vinaya.
Kemudian di bulan pertama mereka sibuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan mengganti kayu-kayu yang patah serta lapuk dengan yang baik.
Besok akan dimulai pembacaan Dhamma dan Vinaya.
Bhikkhu Ananda sedang merenung, “Besok kita akan berkumpul. Sebenarnya, sebagai seorang siswa, aku tidak layak menghadiri pertemuan itu.” Setelah itu Bhikkhu Ananda giat melatih meditasi dengan obyek badan jasmaninya sampai larut malam. Dan setelah merasa amat letih, Bhikkhu Ananda ingin membaringkan dirinya di atas kasur. Ia lalu memiringkan tubuhnya, tetapi sebelum kepalanya menyentuh kasur dan kakinya sudah terangkat dari tanah, pada saat itu dengan tiba-tiba batinnya telah bersih dari kekotoran batin dan Bhikkhu Ananda mencapai tingkat Arahat. Kemudian pertemuan dibuka oleh Ayasma Maha Kassapa, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Upali mengenai Vinaya.”
Lalu dijawab oleh Bhikkhu Upali, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,
“Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai Bhikkhu Sudinna dari Desa Kalandaka.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang hubungan kelamin.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat; selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.
“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang kedua?”
“Di Rajagaha, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai Bhikkhu Dhaniya, anak seorang pembuat jambangan tanah.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang mengambil sesuatu yang tidak diberikan.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, …
“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang ketiga?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai beberapa bhikkhu.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang manusia.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dam tentang orang-orangnya yang terlibat,…
“Kemudian, Bhikkhu Upali, di manakah ditetapkannya pelanggaran Parajika yang keempat?”
“Di Vesali, Bhante.”
“Mengenai siapa?”
“Mengenai bhikkhu-bhikkhu dari tepi Sungai Vaggumuda.”
“Tentang persoalan apa?”
“Tentang mereka yang menggunakan tipu muslihat dengan mengaku mencapai tingkat kesucian atau memiliki kekuatan-kekuatan gaib.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang orang-orangnya yang terlibat, selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.
Setelah itu ditanyakan tentang peraturan-peraturan yang lain baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun yang berlaku untuk para bhikkhuni. Semua pertanyaan dijawab oleh Bhikkhu Upali dengan terang dan jelas.
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai Dhamma.”
Lalu dijawab oleh Bhikkhu Ananda, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Dhamma yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,
“Bhikkhu Ananda, di manakah Brahmajala-sutta disabdakan?”
“Bhante, di tempat peristirahatan Raja di Ambalatthika antara Rajagaha dan Nalanda.”
“Dengan siapa?”
“Dengan pertapa Suppiya dan seorang Brahmin muda bernama Brahmadatta.”
“Mengenai persoalan apa?”
“Mengenai apa yang terpuji dan apa yang tidak terpuji.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
“Dan di manakah Samaññaphala-sutta disabdakan, Bhikkhu Ananda?”
“Di Rajagaha, Bhante, di taman mangga Jivaka.”
“Dengan siapa?”
“Dengan Ajatasattu, putra dari Videhi.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
Setelah itu Bhikkhu Ananda ditanya tentang lima Nikaya yang semuanya dijawab dengan terang dan jelas.
Kemudian Bhikkhu Ananda memberitahukan para hadirin, “Para Bhante yang terhormat, pada waktu Sang Bhagava hendak mencapai parinibbana, Beliau telah meninggalkan pesan, “Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sangha, maka peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan.”
“Tetapi apakah ditanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting?”
“Tidak, Bhante, aku tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting.”
Ada hadirin yang mengatakan,
“Selain 4 (empat) peraturan Parajika, semua yang lain termasuk peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika dan 13 peraturan Sanghadisesa, semua peraturan yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa dan 2 peraturan Aniyata, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa, 2 peraturan Aniyata dan 30 peraturan Nissagiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 92 peraturan Pacittiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada juga yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 4 peraturan Patidesaniya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata,
“Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku katakan. Tata tertib para bhikkhu ada juga yang berhubungan dengan umat dan umat pun mengetahui mengenai hal tersebut.
Mereka tahu bahwa ini “diperbolehkan” dan itu pasti “tidak diperbolehkan” untuk para pertapa, putra-putra Sakya.
Kalau kita menghapuskan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting, mungkin diantara mereka ada yang berkata, “Pada waktu Buddha Gotama masih hidup, Beliau telah menetapkan tata tertib untuk murid-murid-Nya. Sewaktu Buddha Gotama masih hidup, memang mereka melatih diri dalam tata tertib tersebut, tetapi setelah Buddha Gotama mencapai parinibbana mereka tidak lagi melatih diri dalam tata tertib tersebut.
Kalau Sangha menganggap baik, maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Inilah usulku.
Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Kalau para Bhante setuju dengan tidak menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan dan segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, maka Sangha harap diam. Kalau ada yang tidak setuju, diharap bicara.
Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Karena Sangha diam, maka Sangha telah setuju.
Begitulah apa yang kumengerti.”
Kemudian para Thera berkata kepada Bhikkhu Ananda “Bhikkhu Ananda, ini merupakan suatu pelanggaran, karena Anda telah lalai untuk menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Para Bhante yang terhormat, karena kurang waspada aku tidak menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil yang kurang penting. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatan kepada para Bhante, aku mengaku melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah Anda menginjaknya terlebih dulu. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, bukan karena rasa kurang hormat aku telah menjahit jubah musim hujan Sang Bhagava, setelah dengan tidak disengaja menginjaknya. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku kepada para Bhante, aku mengakui telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda mengizinkan para wanita memberi penghormat terlebih dulu terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga air mata mereka mengotori jenazah Sang Bhagava. Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, karena aku pikir, lebih baik aku memberikan waktu terlebih dulu kepada para wanita untuk memberi penghormatan terakhir terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga mereka nanti tidak berada dalam waktu yang tidak tepat (kalau para Thera telah berkumpul).
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena meskipun diberi isyarat-isyarat dan tanda-tanda yang jelas dapat diraba maksudnya, Anda telah lalai untuk memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan untuk hidup terus sampai satu kappa, semoga Sang Sugata berkenan untuk hidup terus demi kesejahteraan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas asih-Nya terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.
“Para Bhante yang terhormat, karena pada saat itu pikiranku tergoda oleh Mara, maka aku telah lalai tidak memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan ……demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni.
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak baik.”
“Para Bhante yang terhormat, aku telah melakukan usaha dan memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni oleh karena aku pikir, “Maha Pajapati adalah bibi Sang Bhagava, ibu tiri-Nya, yang merawat-Nya, yang memberikan air susunya sendiri kepada bayi Siddhattha setelah ibu-Nya meninggal dunia.
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak baik.”
Beberapa waktu setelah pembacaan Dhamma dan Vinaya selesai, Bhikkhu Ananda menghadap para Thera dan berkata : “Pada waktu Sang Bhagava hendak memasuki parinibbana, Beliau juga telah meninggalkan pesan, “Ananda, bila Sang Tathagata sudah tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap Bhikkhu Channa.”
“Tetapi, Bhikkhu Ananda, apakah Anda menanyakan apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
“Aku telah menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan hukuman berat itu. Beliau mengatakan, “Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”
“Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhikkhu Channa.”
“Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan hukuman berat tersebut kepada Bhikkhu Channa karena Bhikkhu Channa orangnya kuat dan kekar badannya.”
“Kalau begitu, Bhikkhu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus bhikkhu lain.”
“Baiklah, Bhante,” jawab Bhikkhu Ananda.
Kemudian berangkatlah Bhikkhu Ananda dengan lima ratus bhikkhu lain. Berselang beberapa hari tibalah mereka di Kosambi, tidak jauh dari taman hiburan Raja Udena.
Di taman itu Raja Udena sedang bersenang-senang dengan para selirnya. Kemudian para selir mendengar bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman tersebut dan sedang beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka lalu memohon kepada Raja Udena, “Paduka Tuan, telah dikabarkan bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman dan sekarang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang.
“Perkenankanlah kami menemui Guru Ananda.”
“Pergilah kamu menemui Guru Ananda.”
Pergilah para selir Raja Udena menemui Bhikkhu Ananda. Setelah bertemu, mereka memberi hormat dan mengambil tempat duduk. Bhikkhu Ananda kemudian memberikan wejangan tentang Dhamma yang membuat hati para selir menjadi tenang, gembira dan bahagia. Para selir yang telah tenang hatinya, gembira dan bahagia lalu memberikan lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda dan kemudian mereka kembali ke taman Raja Udena.
Setelah tiba di sana, mereka ditanya oleh Raja Udena, “Apakah kamu telah bertemu dengan Guru Ananda?”
“Kami telah bertemu dengan Guru Ananda.”
“Apakah kamu memberikan sesuatu kepada Guru Ananda?”
“Kami telah memberikan lima ratus pakaian dalam kepada Guru Ananda.”
Mendengar itu, Raja Udena merasa kecewa dan mengecam Bhikkhu Ananda,
“Bagaimana mungkin pertapa Ananda menerima sekian banyak baju dalam.
Apakah pertapa Ananda ingin berdagang pakaian atau apakah ia ingin menawarkannya untuk dijual di toko?”
Setelah itu Raja Udena sendiri pergi menemui Bhikkhu Ananda dan setelah memberi hormat sebagaimana layaknya lalu mengambil tempat duduk.
Raja Udena kemudian bertanya,
“Bhante, apakah para selirku tadi telah datang kemari?”
“Benar, Paduka Tuan.”
“Apakah mereka memberikan sesuatu kepada Bhante?”
“Mereka memberikan lima ratus pakaian dalam kepadaku.”
“Tetapi, apakah yang Bhante ingin lakukan dengan lima ratus pakaian dalam itu?”
“Aku akan membagi-bagikannya kepada para bhikkhu yang jubahnya telah tipis.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah bekas dari para bhikkhu tersebut?”
“Kami akan memakainya sebagai jubah luar.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah luar yang bekas pakai itu?”
“Kami akan menggunakan jubah-jubah bekas itu untuk membuat penutup kasur.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan tutup kasur yang lama?”
“Kami akan memakainya untuk penutup lantai.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penutup lantai yang lama?”
“Kami akan membuat penyeka-penyeka kaki.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penyeka kaki yang lama?”
“Kami akan membuat kain-kain untuk menyeka debu.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan kain penyeka debu yang lama?”
“Setelah mencabik-cabiknya dan mengaduknya dengan tanah fiat, kami akan gunakan untuk memplester lantai.”
Setelah itu Raja Udena berpikir, “Pertapa-pertapa, putra-putra Sakya, memakai segala sesuatu dengan cara yang teratur, hemat dan tidak boros.”
Maka oleh karena itu, ia memberikan lagi lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda. Inilah untuk pertama kali Bhikkhu Ananda mendapat hadiah seribu potong baju dalam.
Setelah itu bhikkhu Ananda pergi ke Vihara Ghosita.
Di tempat itu Bhikkhu Channa, yang setelah memberi hormat sebagaimana layaknya, mempersilakan Bhikkhu Ananda mengambil tempat duduk.
Pada waktu itulah Bhikkhu Ananda memberitahukan Bhikkhu Channa, “Bhikkhu Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri Anda.”
“Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
“Bhikkhu Channa, Anda boleh mengatakan apa saja yang Anda suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak diperkenankan untuk bicara kepada Anda, tidak diperkenankan untuk menasehati Anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Anda.”
Bhikkhu Channa lalu menjawab,
“Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada bhikkhu yang boleh bicara kepadaku, tidak ada bhikkhu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada bhikkhu yang boleh memberi petunjuk kepadaku.”
Kemudian ia jatuh pingsan di tempat itu.
Setelah siuman, karena merasa malu, cemas dan muak dikenakan hukuman berat, Bhikkhu Channa lalu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia kemudian dengan giat, tekun dan dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai tingkat Arahat “Hancurlah tumimbal lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa.”
Dengan demikian Bhikkhu Channa menjadi Arahat.
Setelah itu Bhikkhu Channa mencari Bhikkhu Ananda dan setelah bertemu, Bhikkhu Channa lalu berkata, “Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman berat terhadap diriku.”
Dijawab oleh Bhikkhu Ananda,
“Bhikkhu Channa, pada saat Anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah hukuman berat terhadap diri Anda telah dicabut kembali.” (Bhikkhu Channa yang dimaksud di sini ialah bekas kusir dari Pangeran Siddhattha Gotama).
Keterangan:
Parajika : pelanggaran yang membuat seorang bhikkhu/ bhikkhuni dipecat/diusir ke luar Sangha.
Sanghadisesa : pelanggaran yang harus diselesaikan dalam rapat resmi dari Sangha.
Aniyata : pelanggaran yang masih belum ditentukan masuk golongan yang mana.
Nissagiya : pelanggaran yang menyebabkan sesuatu barang disita.
Pacittiya : pelanggaran yang menyebabkan seseorang harus menjalankan hukuman “penebusan dosa”.
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/riwayat-hidup-buddha-gotama-bab-v-hari-hari-terakhir/
1 komentar:
mohon di jelaskan kenapa bhikkhu chana di jatuhkan hukuman berat ?
Posting Komentar