Sumber : Kitab Suci Sutta Pitaka II, Modul 7-12
Oleh : Corneles Wowor, MA.,
Penerbit : Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha
dan Universitas Terbuka, 1992
Demikianlah yang saya dengar.
Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berada di Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi. Pada waktu itu, di siang hari, Brahmana Janussoni mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda-kuda betina berwarna putih, melewati Savatthi. Dia melihat Petapa Pilotika datang, ketika ia melihatnya, ia bertanya: “Dari mana Guru Vacchayana datang pada siang hari begini?”
“Saya baru saja mengunjungi petapa Gotama.”
“Bagaimana guru Vacchayana dapat membayangkan kebijaksanaan (panna) petapa Gotama? Apakah dia seorang ahli (pandita) atau tidak?”
“Bagaimana saya mengetahui keahlian kebijaksanaan petapa Gotama? Tentu saja, seorang yang sepadan dengannya yang dapat mengetahui kebijaksanaan petapa Gotama.”
“Guru Vacchayana memuji Sang Petapa Gotama dengan pujian yang benar-benar tinggi.”
“Bagaimana saya memuji, Sang Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh para pemuji-sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”
“Faedah apa yang diketahui oleh guru Vacchayana sehingga dia yakin terhadap Petapa Gotama.”
“Misalnya, seorang pandai mengukir patung gajah pergi ke hutan gajah, dia melihat di hutan gajah, sebuah jejak kaki gajah yang besar panjang dan lebar, dia akan menyimpulkan: “Ini adalah seekor gajah jantan yang besar.” Demikian juga, begitu saya melihat empat jejak kaki pada Petapa Gotama, saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang baik. Apakah empat tanda jejak kaki itu?
“Saya telah melihat beberapa kesatria yang ahli, pandai dan mengetahui teori-teori lain seperti orang yang membagi rambut (teliti sekali): seseorang akan membayangkan bagaimana mereka akan memusnahkan pandangan-pandangan (salah) dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki. Mereka mendengar: “Petapa Gotama akan mengunjungi sebuah kota atau desa.” Maka mereka membuat sebuah pertanyaan begini: “Bila dia ditanya begini, maka dia akan menjawab begini, dan kita akan membuktikan bahwa teorinya salah; juga bila dia ditanya begitu maka dia akan menjawab begitu, sekali lagi kita akan membuktikan bahwa teorinya salah “Mereka mendengar” Petapa Gotama telah datang mengunjungi kota atau desa tersebut.” Lalu mereka pergi menemui Petapa Gotama. Petapa Gotama mengajarkan, mendorong, membangkitkan dan memberi harapan mereka dengan kotbah Dhamma. Sesudah itu mereka tidak banyak bertanya lagi, jadi bagaimana mereka dapat membuktikan bahwa teorinya salah? Sedangkan mereka pada akhirnya menjadi murid-muridnya (savaka). Ketika saya melihat jejak kaki pertama Petapa Gotama, saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang baik.”
“Juga, saya telah melihat beberapa brahmana yang ahli, pandai …. jejak kaki yang ke dua …. sangha telah memasuki jalan yang baik.”
“Begitu pula,saya telah melihat beberapa perumah-tangga (gahapati) yang ahli, pandai …, jejak kaki ketiga ….sangha telah memasuki jalan baik.”
“Demikian pula; telah melihat beberapa petapa yang ahli, pandai dan mengetahui teori-teori lain seperti orang yang membagi rambut (teliti sekali): seseorang akan membayangkan bagaimana mereka akan memusnahkan pandangan-pandangan (salah) dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki. Mereka mendengar: “Petapa Gotama akan mengunjungi sebuah kota atau desa.” Maka mereka membuat sebuah pertanyaan begini: “Bila dia ditanya begini, maka dia akan menjawab begini, dan kita akan membuktikan bahwa teorinya salah; juga bila dia ditanya begitu maka dia akan menjawab begitu, sekali lagi kita akan membuktikan bahwa teorinya salah “Mereka mendengar” Petapa Gotama datang mengunjungi kota atau desa tersebut.” Lalu mereka pergi menemui Petapa Gotama. Petapa Gotama mengajarkan, mendorong, membangkitkan dan memberi harapan mereka dengan kotbah Dhamma. Sesudah itu mereka tidak banyak bertanya lagi, jadi bagaimana mereka dapat membuktikan bahwa teorinya salah? Sedangkan mereka pada akhirnya mohon kepada Petapa Gotama agar mereka diterima menjadi bhikkhu, Beliau mengupasampadakan mereka menjadi bhikkhu. Tak lama setelah mereka menjadi bhikkhu, mereka mengasingkan diri, rajin, bersemangat dan waspada, di tempat itu, pada kehidupan sekarang ini juga, dengan kemampuan batin (abhinna) mereka merealisasikan kehidupan suci yang merupakan tujuan akhir dari meninggalkan berumah-tangga.
Mereka menyatakan: “Mereka hampir tersesat, hampir tidak menyelesaikan tugas, karena dulu kami menganggap bahwa kami adalah samana tetapi kami tidak, kami menganggap bahwa kami adalah brahmana tetapi kami tidak, kami menganggap bahwa kami adalah arahat tetapi kami tidak; tetapi sekarang kami adalah samana, brahmana dan arahat.” Ketika saya melihat jejak kaki keempat Petapa Gotama, saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang baik.”
“Segera ketika saya melihat empat jejak kaki Sang Bhagava ini, saya menyimpulkan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang baik.”
Pada waktu hal ini dikatakan, Brahmana Janussoni turun dari kereta kudanya yang ditarik kuda-kuda betina putih, mengatur jubahnya pada salah satu bahunya, ia beranjali ke arah di mana Sang Buddha berada dan menyerukan pernyataan tiga kali: “Terpujilah Sang Bhagava, Arahat dan telah mencapai penerangan sempurna (Namo tassa Bhagavato arahato sammasambuddhassa).”
Kemudian Brahmana Janussoni menemui Sang Bhagava, memberi salam, dan setelah percakapan yang bersahabat dan sopan selesai, ia duduk. Setelah itu, dia menceritakan semua percakapannya dengan Petapa Pilotika. Setelah hal itu dikatakannya, Sang Bhagava berkata: “Brahmana, dalam hal ini perumpamaan jejak kaki gajah (hatthipadopamo) belumlah selesai diterangkan secara rinci. Karena itu dengarkan bagaimana hal ini dijelaskan dengan rinci dan perhatikan apa yang akan Kukatakan.”
“Baiklah bhante,” jawab Brahmana Janussoni.
Sang Bhagava berkata begini: “Brahmana, seorang pandai kayu, pengukir patung gajah, pergi ke sebuah hutan gajah, dan dia melihat di hutan gajah itu sebuah jejak kaki gajah yang besar, memanjang dan melebar; seorang pematung gajah yang bijaksana tidak akan segera menyimpulkan: ‘Ini adalah gajah jantan dan besar pula.’ Mengapa begitu? Di dalam sebuah hutan gajah ada beberapa gajah betina yang tinggi dan gading yang kuat, yang mempunyai jejak kaki yang besar. Ini mungkin jejak kaki salah satu dari mereka. Dia mengikuti jejak itu. Sehingga ia melihat di hutan gajah itu sebuah jejak besar kaki gajah yang besar, melebar dan memanjang, dan tanda gesekan di pohon : seorang pematung gajah yang bijaksana tidak akan segera menyimpulkan :’Ini adalah seekor gajah jantan dan besar pula.’ Mengapa begitu? Di dalam sebuah hutan gajah ada beberapa gajah betina yang tinggi dengan gading yang kuat, yang mempunyai jejak kaki yang besar. Ini mungkin jejak kaki salah satu dari mereka. Dia mengikuti jejak itu. Sehingga dia melihat di dalam hutan gajah itu sebuah jejak kaki gajah yang melebar dan memanjang, tanda gesekan di pohon dan tanda goresan dari gading gajah; seorang pematung gajah yang bijaksana tidak segera menyimpulkan: ‘Ini adalah seekor gajah jantan dan besar pula.’ Mengapa begitu? Di dalam sebuah hutan gajah ada beberapa gajah betina tinggi, bergading dan mempunyai jejak kaki yang besar. Ini mungkin jejak kaki salah satu dari mereka. Dia mengikuti jejak itu, sehingga dia melihat di dalam hutan gajah itu sebuah jejak kaki gajah yang melebar dan memanjang, tanda gesekan pada pohon, tanda goresan yang berasal dari gading gajah dan dahan-dahan yang patah. Dia melihat gajah jantan tersebut di bawah pohon atau di udara terbuka, sedang berjalan atau berdiri, duduk atau berbaring. Dia menyimpulkan: ‘Inilah gajah besar yang dimaksud.’
“Brahmana begitu juga, Tathagata muncul di dunia sebagai Arahat Samma Sambuddha, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduk-Nya, Sempurna menempuh Jalan, Pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar dan yang mulia.
“Dia menyatakan kepada dunia, termasuk para dewa, mara dan orang-orang suci; kepada para manusia, petapa,brahmana serta para raja, apa yang Ia telah realisasikan dengan pengetahuan langsung (abhinna)”
“Dia mengajarkan Dhamma yang baik pada awalnya, baik pada pertengahannya dan baik pada akhirnya, dengan arti dan kalimat yang benar serta Dia memberitakan sebuah kehidupan suci yang sangat sempurna dan murni.
“Seorang perumah tangga atau anaknya dari keluarga tertentu mendengar Dhamma. Setelah mendengar Dhamma, muncul keyakinannya kepada Tathagata. Berdasarkan pada keyakinan itu, ia merenung: ‘Kehidupan berumah tangga adalah sibuk dan kotor; kehidupan tak berumah tangga (pabbajja) terbuka lebar. Hidup berumah tangga adalah tak mungkin mempraktikkan kehidupan suci (brahmacari) dengan sempurna seperti bersihnya kulit kerang yang digosok. Andaikata aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning (civara) dan meninggalkan kehidupan duniawi menjadi samana (pabbajja)?’ ”
“Pada kesempatan lain, mungkin meninggalkan keberuntungan kecil atau besar, meninggalkan sedikit atau banyak sanak keluarga, ia mencukur kepala dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan duniawi menjadi samana.
“Setelah meninggalkan kehidupan dunia menjadi samana dan memiliki pandangan dan latihan (sikkha) kebhikkhuan, meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, pemukul dan senjata ditinggalkan, dengan lembut dan sayang ia hidup dengan mengasihi semua makhluk hidup.
“Meninggalkan pengambilan barang yang tidak diberikan, ia menjadi orang yang menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan, hanya mengambil apa yang diberikan dan hanya mengharapkan apa yang diberikan, ia hidup suci tanpa mencuri.
“Meninggalkan kehidupan yang tidak suci, ia menjadi orang yang hidup suci (brahmacari), ia hidup menghindari kehidupan kasar.
“Meninggalkan ucapan bohong, ia menjadi orang yang menghindari kebohongan, ia berkata benar, taat pada kebenaran, dapat dipercaya, dapat diandalkan dan tidak menipu dunia.
“Meninggalkan kata-kata kejam, ia menjadi orang yang menghindari kata-kata kejam: ia bukan orang yang mengulang kata-kata di tempat mana pun apa yang telah ia mendengar di sini dengan maksud menyebabkan perpecahan di sini, atau ia tidak mengulang di sini tentang apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan maksud untuk menyebabkan perpecahan di sana; tapi ia adalah orang yang mempersatukan kembali apa yang telah pecah, mengusahakan persahabatan, menikmati persatuan menyenangi persatuan, gembira dengan persatuan, ia menjadi seorang pembicara yang mengusahakan persatuan.
“Meninggalkan kata-kata kasar, ia menjadi seorang, yang menghindari berkata kasar, ia menjadi seorang pembicara kata-kata yang bersih, enak didengar dan indah, bila dirasakan dalam hati, itu adalah sopan, diinginkan dan disenangi oleh banyak orang.
“Meninggalkan gosip, ia menjadi orang yang menghindari gosip: ia menjadi orang yang berbica pada waktu yang tepat tentang apa yang benar, berguna, dhamma, vinaya, ia menjadi dengan kata-kata yang tepat, pantas diingat, masuk akal, terukur dan berhubungan dengan kebaikan.
“Ia menghindari perbuatan merusak biji-bijian dan tanaman.”
“Ia menghindari perbuatan untuk makan lewat tengah hari tidak makan pada sore dan malam hari.”
“Ia menghindari berdansa, menyanyi, bermain musik dan melihat pertunjukkan.”
“Ia menghindari memakai karangan bunga, wangi-wangian dan bahan rias.”
“Ia menghindari memakai tempat tidur yang lebar dan tinggi.”
“Ia menghindari menerima emas dan perak.”
“Ia menghindari menerima jagung mentah.”
“Ia menghindari menerima daging mentah.”
“Ia menghindari menerima wanita dan gadis.”
“Ia menghindari menerima wanita dan laki-laki yang sudah punya ikatan.”
“Ia menghindari menerima kambing dan domba.”
“Ia menghindari menerima ayam dan babi.”
“Ia menghindari menerima gajah, ternak, kuda.”
“Ia menghindari menerima tanah dan sawah.”
“Ia menghindari menjadi pesuruh.”
“Ia menghindari membeli dan menjual.”
“Ia menghindari penipuan timbangan, logam dan ukuran.”
“Ia menghindari menipu, berbohong, mengakali dan mempermainkan.”
“Ia menghindari melukai, membunuh, merampok, merampas dan menganiaya.”
“Ia menjadi orang yang puas dengan jubah yang menutupi badannya, dengan makanan pindapata untuk mengisi perutnya: ke mana dia pergi ia membawa itu semua bersamanya. Seperti burung yang terbang ke mana saja dengan sayapnya sendiri, begitu pula ia menjadi orang yang puas dengan jubah yang menutupi badannya, makanan pindapata untuk mengisi perutnya: ke mana dia pergi ia membawa itu semua bersamanya.”
“Dengan memiliki ariya sila, ia merasakan dalam dirinya kebahagiaan yang tak tercela. Ia menjadi orang yang melihat bentuk melalui matanya, menyadari tanpa bayangan dan keistimewaan, bila ia membiarkan matanya tak terjaga, maka akusala dhamma seperti keserakahan dan pikiran jahat akan menyerangnya. Ia menjaga indera mata, ia menahan diri dengan indera mata. Sewaktu mendengar dengan telinga …. sewaktu mencium dengan hidungnya … sewaktu mengecap dengan lidahnya … sewaktu menyentuh dengan badannya … sewaktu mengerti Dhamma dengan pikirannya … ia menahan diri dengan indera pikiran. Dengan memiliki ariya sila, ia merasakan dalam dirinya kebahagiaan yang tak tercela.”
“Ia menjadi orang yang bertindak dengan kesadaran penuh ketika bergerak ke depan dan ke belakang, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika melihat dan menengok, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika melentur dan merentang, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika mengenakan pamsakula civara, jubah dan patta, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika makan, minum, mengunyah dan mengecap. Ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika buang air besar atau air kecil, ia bertindak dengan kesadaran penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, bangun, bicara dan diam.”
“Dengan memiliki sila ariya, pengendalian indera (indriya-samvara) ariya dan perhatian serta kesadaran penuh (satisampajana) ariya, ia mengasingkan diri di tempat yang sepi -di hutan, di bawah pohon, batu, jurang, gua gunung, tanah kuburan, hutan sunyi, tempat terbuka dan tumpukan jerami. Setelah kembali pindapata dan selesai makan, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya dan memusatkan pikiran dengan kesadaran penuh.
“Ia meninggalkan keserakahan duniawi (abhijjha loka), ia hidup dengan pikiran yang bebas dari keserakahan, ia menyucikan pikiran dari keserakahan. Ia meninggalkan kebencian dan dendam (byapadapadosa), ia hidup tanpa pikiran membenci, mengharapkan kesejahteraan semua makhluk ia membebaskan pikiran dari benci dan dendam. Ia meninggalkan kelesuan dan rasa ngantuk (thinamiddha), ia hidup tanpa kelesuan dan ngantuk, menyadari sinar, berkesadaran penuh, ia membebaskan pikiran dari kelesuan dan ngantuk. Ia meninggaikan rasa takut dan kekhawatiran (uddhaccakukkucca), ia hidup tanpa rasa takut dan kekhawatiran, ia membebaskan pikiran dari rasa takut dan cemas. Ia meninggalkan keragu-raguan (vicikiccha), ia hidup tanpa keragu-raguan dan tidak meragukan kusala dhamma, ia membebaskan pikiran dari keragu-raguan.
“Setelah meninggalkan lima rintangan (pancanivarana), pikiran kurang sempurna yang melemahkan kebijaksanaan, cukup dapat menahan diri dari nafsu indera, dapat menjauhi diri dari akusala dhamma ia mencapai dan berada dalam Jhana I yang diikuti oleh ‘usaha pikiran untuk menangkap obyek’ (vitakka) dan ‘pikiran telah menangkap obyek’ (vicara), kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha) yang muncul karena ketenangan (viveka).
“Ini disebut suatu jejak kaki dari seorang Tathagata, tanda gesekan dan goresan dari seorang Tathagata, tetapi berdasarkan pada hal ini seorang siswa ariya (ariya savaka) belum dapat menyatakan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sang telah memasuki jalan yang baik.”
“Selanjutnya, dengan, menghilangkan vitakka dan vicara, ia mencapai dan berada dalam Jhana II, ia memiliki keyakinan diri dan pikiran terpusat (cetaso ekodibhava), tanpa vitakka dan tanpa vicara dengan piti dan sukha yang muncul karena viveka.”
“Ini juga, disebut suatu jejak kaki Sang Tathagata …”
“Selanjutnya, dengan menghilangkan piti, ia memiliki keseimbangan batin (upekha), dengan kesadaran penuh (sampajana) dan sukha, ia mencapai dan berada dalam Jhana III, tetapi seorang ariya savaka menyatakan: “Ia hidup bahagia dengan memiliki upekha dan perhatian (sati).”
“Ini juga disebut suatu jejak kaki Sang Tathagata …”
“Selanjutnya dengan meninggalkan kebahagiaan (sukha) dan penderitaan (dukkha), dengan menghilangkan pikiran senang maupun pikiran tidak senang, ia mencapai dan berada dalam Jhana IV, yang tanpa sukha dan tanpa dukkha serta sati dan upekha yang suci.”
“Ini juga disebut suatu jejak dari kaki Sang Tathagata…”
“Ketika, pikirannya yang terkonsentrasi, bersih, terang, tidak bernoda, bebas dari kotoran batin, dapat dijinakkan, terlatih, kokoh, dan mendapatkan ketenangan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya kepada pengetahuan tentang kehidupan-kehidupan yang lampau (pubbenivasanussatinana) …(seperti dalam sutta.4 Para. 27) … karenanya dengan pandangan dan kemampuan yang tinggi ia mengingat bermacam-macam kehidupan masa lampaunya.”
“Ini juga disebut suatu jejak kaki Sang Tathagata …”
“Ketika konsentrasi pikiran dimurnikan ….dan mendapat ketenangan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikiran kepada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk (cutupapatanana) … karena dengan mata dewanya yang bersih dan melebihi kemampuan mata manusia, ia melihat … bagaimana makhluk-makhluk meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan karma mereka.”
“Ini juga disebut jejak kaki Sang Tathagata, tanda gesekan dan goresan seorang Tathagata, tetapi berdasarkan pada hal ini seorang ariya savaka belum dapat menyatakan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik. Sangha telah memasuki jalan yang baik.”
“Ketika pikiran yang terkonsentrasi telah dimurnikan … dan mendapat ketenangan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya pada pengetahuan melenyapkan kekotoran batin. Ia mengerti sebagaimana apa adanya: “Inilah dukkha” … (Uraian rinci lihat Bhayabherava Sutta,) …. Ia mengerti sebagaimana apa adanya: Inilah jalan menuju penghentian Dukkha.”
“Ini juga disebut jejak kaki Sang Tathagata, tanda gesekan dan goresan seorang Tathataga, tetapi berdasarkan pada hal ini seorang ariya savaka belum dapat menyatakan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna, Sangha telah memasuki jalan yang baik.”
“Mengetahui hal begitu, melihat hal begitu, batinnya terbebas dari noda nafsu indera, noda perwujudan dan noda ketidaktahuan. Ketika terbebas, muncul pengetahuan “Telah terbebas”. Ia mengerti dengan jelas: “Kelahiran telah lenyap, kehidupan suci telah dilaksanakan, apa yang harus dikerjakan telah dilakukan, tidak ada yang melampauinya lagi.”
“Ini juga disebut sebuah jejak kaki dari seorang Tathagata, suatu tanda gesekan dan goresan dari seorang Tathagata. Pada tingkat ini, seorang siswa ariya dapat menyatakan: “Sang Bhagava telah mencapai penerangan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha telah memasuki jalan yang baik.”
“Brahmana, sampai pada bagian ini, “perumpamaan tentang jejak kaki gajah” (Hattthipadapama) telah selesai diterangkan secara rinci.”
Ketika hal ini selesai diuraikan, Brahmana Janussoni berkata: “Luar biasa, Gotama! Luar biasa Gotama! Dhamma telah dijelaskan dengan banyak cara oleh Gotama. Sama seperti menegakkan yang roboh, memperlihatkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan benar kepada yang tersesat, atau memberikan cahaya dalam kegelapan agar orang lain dapat melihat. Saya menyatakan berlindung pada Gotama, Dhamma dan Sangha. Sejak hari ini, semoga Gotama mengingat bahwa saya telah menyatakan berlindung kepada-Nya.”
Sumber :www.samaggi-phala.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar