Oleh
Ajahn Brahm
Yang
menjadi masalah dengan kemarahan adalah bahwasanya kita menikmati marah. Ada
sejenis kecanduan dan kenikmatan besar sehubungan dengan pelampiasan kemarahan.
Dan kita tak ingin membiarkan sesuatu yang kita nikmati berlalu begitu saja.
Bagaimanapun juga, ada juga bahaya dalam kemarahan, suatu konsekuensi yang
lebih berat daripada kesenangannya. Jika saja kita menyadari buah dari
kemarahan, dan selalu ingat hubungannya dengan kemarahan, kita akan rela
membiarkan kemarahan barlalu.
Di sebuah
alam pada zaman dahulu kala, sesosok siluman masuk ke istana ketika raja sedang
pergi. Siluman itu sangat buruk rupa, baunya sangat tak sedap, dan apapun yang
dia katakan begitu menjijikkan sampai-sampai para pengawal dan pekerja istana
terpaku dalam kengerian. Karena itu si siluman enak saja melenggang ke ruangan
dalam, menuju aula pertemuan kerajaan, dan mendudukkan dirinya di singgasana
raja. Melihat siluman itu denga kurang ajarnya duduk di singgasana raja, para
pengawal dan pekerja lainnya menjadi tersadar dari keterpakuan mereka.
"Keluar
dari sini!" bentak mereka. "Kamu tidak boleh di situ! Jika kamu tidak
angkat pantatmu sekarang juga, kami akan tebas kamu dengan pedang!"
Karena
mendapat sedikit kata-kata amarah ini, siluman itu membesar beberapa inci,
tampangnya bertambah jelek, tambah bau, dan omongannya makin jorok saja.
Pedang-pedang
dihunus, golok dikeluarkan dari sarungnya, ancaman telah dinyatakan. Di setiap
perkataan atau perbuatan yang dipenuhi oleh amarah, bahkan di setiap pikiran
marah pun, siluman itu menjadi bertambah besar, tambah buruk, tambah bau, dan
tambah kotor makiannya.
Pertempuran
sudah berlangsung beberapa saat ketika sang raja tiba. Dia melihat ada siluman
raksasa yang sedang duduk di atas singgasananya. Dia belum pernah melihat
sesuatu yang jeleknya minta ampun seperti itu, bahkan di bioskop pun tidak. Bau
busuk yang tertebar dari tubuh siluman itu bahkan akan membuat belatung pun
jatuh sakit. Dan sumpah-serapahnya pun lebih parah daripada yang pernah Anda
dengan di bar-bar terkumuh pada malam minggu yang berjubel pemabuk.
Sang raja
adalah seorang yang bijaksana. Makanya dia jadi raja: dia tahu apa yang harus
dilakukan.
"Selamat
datang," sapa sang raja dengan hangat. "Selamat datang di istana
saya. Sudahkan seseorang menyuguhkan minuman untuk Anda? Atau makanan?"
Karena
sedikit ungkapan yang lembut itu, tubuh siluman itu mengecil beberapa inci,
keburukannya berkurang, baunya berkurang, dan kekasarannya berkurang.
Para armada
istana cepat tanggap dengan maksud sang raja. Seseorang lalu bertanya kepada
siluman itu apakah dia mau secangkir teh. "Kami punya Dajeeling, English Breakfast,
atau Earl Gray. Atau barangkali Anda lebih suka peppermint? Itu bagus untuk
kesehatan Anda, lho." Yang lainnya menelepon untuk memesan pizza, family
size untuk siluman sebesar itu, sementara yang lainnya membuatkan sandwich,
dengan "ham setan" tentu saja. Seorang prajurit memijat kaki si
siluman, dan yang lain memijati lehernya. "Mmmm… enak sekali," pikir
si siluman.
Karena
setiap perkataan, perbuatan, dan pikirian yang baik itu, tubuh siluman itu
terus mengecil, berkurang buruknya, berkurang bau dan kekasarannya. Sebelum
pengantar pizza datang dengan antarannya, si siluman sudah susut ke ukuran
semula ketika pertama kali dia datang dan duduk di singgasana raja. Tetapi para
penghuni istana tak berhenti berbuat baik. Segera saja siluman itu menjadi
begitu kecilnya sampai sulit untuk dilihat lagi. Lalu, stelah satu lagi
perbuatan baik dilakukan, dia benar-benar lenyap tak berbekas.
Kita
menyebut monster seperti itu sebagai "siluman pemangsa amarah"
Suatu kali
pasangan Anda dapat menjadi "siluman pemangsa amarah". Marahlah
kepada mereka, dan mereka akan bertambah parah - tambah jelek, tambah bau,
tambah galak kata-katanya. Masalah yang ada menjadi bertambah besar setiap kali
Anda marah kepada mereka. Meskipun cuma di dalam pemikiran saja. Barangkali
sekarang Anda menyadari kesalahan Anda dan tahu harus berbuat apa.
Rasa sakit
adalah "siluman pemangsa amarah" lainnya. Ketika kita berpikir dengan
marah, "Hei, sakit! Enyah dari sini! Kau tak diizinkan!" rasa sakit
akan tumbuh seinci lebih besar dan lebih parah dengan cara yang berbeda. Memang
sulit untuk bersikap baik pada sesuatu yang begitu buruk dan garang seperti
rasa sakit, tetapi ada masa-masa dalam hidup kita ketika kita tak punya pilihan
lain. Seperti dalam cerita ketika saya sakit gigi, kalau kita menyambut rasa
sakit, dengan sungguh-sungguh, dengan tulus, rasa sakit akan mejadi lebih
kecil, berkuranglah masalahnya, dan suatu ketika akan lenyap sama sekali.
Beberapa
jenis kanker adalah "siluman pemangsa amarah", monster yang buruk dan
menjijikkan duduk di dalam tubuh kita;
"Singgasana"
kita. Lumrah kalau kita berkata, "Enyah dari sini! Kau tak
diizinkan!" Ketika satu cara dan lain cara gagal, atau bahkan lebih awal
dari itu, semoga kita dapat berkata, "Selamat datang." Beberapa jenis
kanker diperparah denga sterss - itulah sebabnya mereka menjadi "siluman
pemangsa amarah". Kanker semacam itu tahu diri ketika "raja
istana" dengan berani berkata "Kanker, pintu hatiku terbuka penuh
untukmu, apa pun yang kamu lakukan. Masuklah"
————————————–
Kutipan
dari buku "Membuka Pintu Hati"
(dicetak
ulang dengan judul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya)
Penulis :
Ajahn Brahm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar