Kamis, 29 Maret 2012

AKAR




Kita bagaikan sebuah pohon dengan akar-akar,
Sebuah pangkal batang, dan sebuah batang.
Setiap daun,setiap cabang, tergantung pada akar
untuk menyerap nutrisi dari tanah dan mengirimkannya ke atas untuk menghidupi pohon.
Tubuh kita, termasuk ucapan dan perbuatan kita,
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa,
dan peraba kita, adalah sama seperti cabang, daun,
dan batang pohon. Pikiran sama seperti akar yang
menyerap nutrisi dan mengirimkannya melalui batang ke
daun-daun dan cabang-cabang sehingga mereka dapat
berbunga dan menghasilkan buah.

~Ajahn Chah~

Rabu, 28 Maret 2012

AIR TANAH






Buddha adalah Dhamma; Dhamma adalah Buddha.
Dhamma yang telah disadari Sang Buddha adalah sesuatu yang selalu ada di dunia. Dhamma tidak akan menghilang. Dhamma seperti air tanah. Siapa saja yang menggali sumur hingga ke lapisan air tanah akan menemukan air. Jadi orang tersebut bukanlah yang
menciptakan atau membuat air menjadi ada. Yang dia lakukan hanyalah menggunakan tenaganya untuk menggali sumur hingga cukup dalam untuk mencapai air yang memang sudah ada disana.
Jadi, apabila kita memiliki kebijaksanaan, kita akan menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak lah jauh dari Buddha. Kita semua duduk tepat di depanNya saat ini. Kapanpun kita memahami Dhamma, kita melihat Buddha. Mereka yang dengan sungguh-sungguh
mempraktekkan Dhamma secara terus menerus–dimanapun mereka duduk, berdiri, atau berjalan pastinya akan mendengarkan Dhamma Sang Buddha setiap saat.


~Ajahn Chah~

MENUJU SAMUDERA




Aliran air, danau, dan sungai yang mengalir turun ke
samudra, ketika mereka mencapai samudra, semuanya
mempunyai warna biru yang sama, mempunyai rasa
asin yang sama.
Sama halnya dengan manusia: Tidak masalah dari mana
mereka berasal, ketika mereka mencapai arus Dhamma,
semuanya adalah Dhamma yang sama.

~Ajahn Chah~

RUMAHMU YANG SESUNGGUHNYA






Bangunan rumah mu itu bukanlah rumahmu yang sesungguhnya.
Itu adalah rumah yang kamu kira, rumahmu di dunia.
Sementara rumahmu yang sesungguhnya, adalah kedamaian.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk membangun rumah kita sendiri dengan cara melepas hingga kita mencapai kedamaian.




~Ajahn Chah~

Minggu, 25 Maret 2012

YM Bhante K Sri Dhammananda



Yang Mulia Bhante K Sri Dhammananda lahir pada tanggal 18 Maret 1919 dari keluarga KA Garmage di desa Kirinde, Matara, Selatan Ceylon. Seperti umumnya anak yang lahir di jaman kolonial Inggris, beliau juga diberi nama Inggris, Martin. Beliau merupakan anak tertua dari 3 laki-laki dan 3 perempuan.
Beliau mulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah pemerintah di dusun Kirinde pada umur tujuh tahun. Sebagai seorang anak kecil, ia memiliki ketertarikan akan ajaran Sang Buddha. Buddhisme sangat dekat di hati para penduduk dikarenakan adanya Sangha yang kuat, yang menggunakan vihara sebagai pusat aktivitas religius.

Martin muda banyak ikut dalam beberapa program religius yang berdasarkan prinsip-prinsip dan moral-moral buddhism. Ia juga memiliki seorang paman yang merupakan kepala vihara di sana. Bersama dengan Ibu yang saleh, pamannya mengajarkan bimbingan spiritual di masa kecilnya. Lalu keinginan ingin menjadi bhikkhu secara perlahan muncul di pikirannya.

Saat umur 12 tahun, ia ditahbiskan menjadi samanera(calon bhikkhu) oleh Yang Mulia K Dhammaratana Maha Thera dari Vihara Kirinde. Ia diberi nama Dhammananda yang artinya orang yang berpengalaman bahagia mengarungi dhamma. Ia menjadi samanera selama sepuluh tahun, dan pada umur 22 tahun Samanera Dhammananda baru kemudian ditahbiskan menjadi bhikkhu di tahun 1940. 

Yang mentahbiskan adalah Yang Mulia K Ratanapala Maha Thera dari Vihara Kitawila. Pendidikan tinggi dan pelatihan Bhante Dhammananda belajar di Sri Dhammarama Pirivena,Ratmalana tahun 1935, lalu di Institute Buddhis Vidyawardhana, Colombo 1937, untuk mempelajari ajaran Sang Buddha secara serius. Gurunya adalah Yang Mulia Kotawila Deepananda Nayaka Thera. Setelah ia menyelesaikan studinya di tahun 1938, ia memasuki Vidyalankara Pirivena, di Peliyadoga, Kelaniya, perguruan tinggi Buddhis yang prestisi untuk memasuki jenjang universitas.

Selama tujuh tahun, Bhikkhu Dhammananda mengikuti program diploma di Vidyalanka Pirivena dimana ia mempelajari Sanskrit, Tipitaka Pali dan filsafat buddhis,lalu subjek agama lainnya. Kepala pembimbingnya yang sangat terkenal di intstitut itu adalah Bhikkhu Lunupokune Sri Dhammananda. Pada usia 26 ia menyelesaikan diplomanya di bidang Linguistik dan Tipitaka Pali.Belajar tujuh tahun dan latihan secara intensif di kedisiplinan bhikkhu dari tahun 1939-1945 di Vidyalanka Pirivena membuat pengetahuan dan kemampuan misionaris yang luar biasa. Beliau mampu membantu para umat Buddha di Ceylon, khususnya mereka yang dididik secara Inggris,dan target utamanya adalah Umat Kristen, yang memiliki pemahaman intelektual akan aspek-aspek ajaran buddha.

Pada tahun 1945 Bhikkhu Dhammananda melanjutkan pendidikannya di Universitas Hindu Benares di India dimana beliau memperoleh bea siswa. Di Universitas, ia membaca Sanskrit, Hindi dan Filsafat India. 
Pembimbing saat di universitas adalah YM P. Panananda Nayaka Thera dari Colombo, YM Dr H Saddhatissa Maha Thera (yang kemudian menjadi kepala Vihara Buddhis London), YM Dr.U Dhammaratana dan almarhum YM Dr Amritandanda Thera, dari kepala Sangha di Nepal. YM Dhammananda belajar selama empat tahun di universitas dengan gelar Master of Arts dalam bidang FilsafatIndia pada tahun 1949.Dari sekian orang terkenal yang mengajarnya adalah Almarhum Dr. S. Radhakrishnan, yang kemudian menjadi Presiden Republik India.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, YM Dhammananda kembali ke Ceylon.Di Kotawilla ia mengajar di Institut Buddhis Sudharma dan menekankan pendidikan,kesejahteraan dan keagamaan untuk para penduduk. Ia juga menerbitkan Jurnal Buddhis empat bulanan "Sudharma" dalam bahasa Sinhala. Ia memberikan pengajaran kepada para pengikutnya untuk meningkatkan pengetahuan dan praktik buddhisme.

Misi ke Malaysia

Pada tahun 1952, YM K Sri Pannasara Nayaka Thera,kepala dari Vidyalanakara Pirivena, menerima sebuah undangan dari Masyarakat Sasana Abhiwurdhi Wardhana di Malaysia yang memohon untuk menetapkan seorang bhikkhu tinggal di sana untuk keperluan keagamaan komunitas Buddhis Sinhala di kota. Dari 400 Bhikku di Vidyalankara Pirivena, YM Dhammananda dipilih untuk misi ke Malaysia. Beliau dengan segera menerima undangan tersebut walaupun ia ingin melayani umat buddha di tanah kelahirannya. Ia merupakan bhikkhu yang banyak belajar dan penuh perhatian di Ceylon, Malaysia tidak memiliki bhikkhu yang berkualitas walaupun untuk upacara yang sederhana.

Di Malaysia, selama tahun 1950an, banyak Vihara Buddhis Theravada menjadi tempat belajar Dhamma. Walaupun, bukan hanya sedikit vihara di sana, banyak Chinese dan Vihara Thailand di negara itu. Para umat mengunjungi mereka untuk meminta blessing atau mendengar parita. Seperti itulah situasi YM Dhammananda berangkat menuju Malaysia tahun 1952.

Mula kegiatan misionaris

Kepala vihara di sana, YM K Gunaratana Maha Nayaka Thera (1891-1964), seorang bhikkhu Sinhala yang terkenal akan penjelasan sederhana akan ajaran Buddha. Ia berkesempatan berdiskusi dengan YM Gunaratana untuk beberapa masalah dan isu-isu yang berkembang dalam propagandanya di Malaysia. 
Sudah seperti diatur, YM Gunarata berkonsentrasi misi penyebarannya di Penang sedangkan YM Dhammananda memfokuskan di daerah Kuala Lumpur. YM Gunaratana di Malaysia sejak tahun 1926 dan sudah biasa dengan suasana buddhisme di kota.

Pada tahun 1950an Administrasi Militer Inggris mengumumkan bahwa Malaysia berada di tengah-tengah keadaan darurat dikarenakan pemberontakan komunis. Hal ini menyebabkan beliau naik pesawat menuju Kuala Lumpur dikarenakan kereta api diserang oleh komunis. Beliau tiba di Vihara Brickfield, dan disambut hangat oleh YM M Panasiri Mahatera, alumni dari Vidyalankara Pirivena. Datang untuk melayani masyarakat buddhis di Malaysia, YM Dhammananda tidak membuang-buang waktu untuk merencanakan kegiatan di Vihara.

Membangun Kebangsaan

Pada Maret 1952, Bhikkhu Dhammananda menerima sebuah surat dari Sekretaris Sir Gerald Templer, Komisaris Inggris di Malaysia. Ia meminta untuk bertemu. Sir Gerald Templer ingin mengetahui apakah ajaran Buddha sama dengan komunis, dikarenakan banyak orang Chinese yang terlibat komunis. Mereka secara tradisional adalah Buddhis juga. Pandangan keliru dari Sir Templer akan buddhisme segera diperbaiki saat YM Dhammananda meyakinkannya bahwa Buddhisme itu bukan kekerasan dan agama cinta kasih.

YM Dhammananda menjelaskan kepada Sir Gerald Templer bahwa ajaran Buddhis mengajarkan spiritual dan aspekaspek moral kehidupan berbeda dengan komunis yang merupakan gerakan politik. Dijelaskan demikian, Sir Templem malah mengundang beliau untuk membantu pemerintah secara psikologis untuk memenangkan "hati dan pikiran" masyarakat. Target utama pemerintah adalah penduduk di desa-desa yang baru.

Dengan dibantu oleh YM Pannasiri, beliau memulai aktivitas misionarisnya. Bersama dengan Sasana Abhiwurdhi Wardhana Society dan Selangor Regional Centre of the World Fellowship of Buddhist memberikan dukukannya kepadanya akan aktivitas awal misionaris ini. Dengan bersungguh-sungguh dan pendekatan yang bijak, kunjungan YM Dhammananda ke berbagai dusun Chinese disambut dengan ramah dan tanpa kecurigaan.

YM Dhammananda hanya memiliki satu motivasi saat beliau berkunjung ke Dusun Baru, untuk menanamkan pesan Sang Buddha kepada penduduk agar memahami buddhis yang akan membuat mereka hidup damai, bahagia dan sejahtera. Beliau percaya bahwa tugas utamanya sebagai seorang Bhikkhu adalah mengajar kepada banyak orang. Walau beliau tidak dapat berkomunikasi bahasa Chinese saat beliau berkunjung ke dusun seperti Ampang dan Sungei Buloh, penterjemahnya akan menjelaskan saat percakapan berlangsung.

Dari misi YM Dhammananda, banyak chinese di negera tersebut menjadi sadar akan ajaran sesungguhnya Sang Buddha. Pada umumnya banyak Chinese di Malaysia menganut buddhism karena ajaran tradisi. Bagaimanapun,banyak diantara mereka yang tidak paham ajaran Sang Buddha. Mereka salah presepsi pada adat dan tradisi saat mereka tumbuh, atau yang dipraktekkan oleh orang tua dan leluhur sebagai buddhis.
Sayangnya, banyak adat dan tradisi didasarkan pada kepercayaan takhyul semata dari.Ini menyebabkan Buddhism mendapat gambaran buruk dan dianggap kuno dan agama tahyul oleh tingkat masyarakat yang berpendidikan.

Saat yang bersamaan, misionaris kristen secara aktif mengubah Chinese dan India di negara itu menjadi kristen.Hasilnya mereka dilarang mengajar di malaysia karena hukum yang berlaku, dan bukan penduduk asli malaysia menjadi target.
YM Dhammananda sendirian menahan serangan gencar misionaris kristen tahun 1950, khususnya di wilayah Kuala Lumpur.Beliau menyadari hanya satu cara melindungan para remaja, mendidik Chinese untuk memahami ajaran Sang Buddha. Di setiap ceramah, beliau menyajikan buddhism adalah rasional dan cara logik untuk membuktikan sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.

Merayakan Waisak

Hari Waisak - Hari suci umat Buddha -ditandai dengan kelahiran, kebuddhaan dan terakhir parinibbananya Sang Buddha yang terlahir sebagai Pangeran Siddharta Gautama pada bulan purnama di bulan Waisak (Bulan Mei untuk kalendar sekarang) tahun 623 sebelum masehi. 
Siddharta mulai pencariannya untuk pencerahan saat berumur 29 tahun dan setelah enam tahun merealisasikan kebenaran sejati, menjadi Buddha- artinya - seorang yang sadar. Suatu yang menguntungkan bahwa kebuddhaanya jatuh pada saat bulan Waisak di tahun 588 sebelum masehi, pada bulan purnama. Sang Buddha mengajarkan ajarannya selama 45 tahun sampai Beliau meninggal (parinibbana) pada bulan purnama di tahun 543 sebelum masehi. Dengan demikian, semua kejadian besar kehidupan Sang Buddha terjadi pada bulan Purnama di bulan Waisak. Dengan demikian, umat Buddha baik Theravada maupun Mahayana memperingati tiga kejadian ini.

Dengan hati misionaris, YM Dhammananda memperingati perayaan Hari Waisak sebagai saat yang tepat untuk menjelaskan ajaran Sang Buddha kepada ratusan Buddhis chinese yang jarang datang ke Vihara Brickfield pada hari hari lain. Ribuan dari mereka disebut umat buddha Waisakan, yang hanya mengunjungi vihara sekali saat Hari Waisak. Banyak sekali Umat Buddha Waisak tidak memahami ajaran Sang Buddha. 
Di sini, YM Dhammananda mendapat kesempatan untuk mengadakan acara keagamaan, memberikan ceramah dan membagikan buku buku kecil kepada para pengunjuk saat hari Waisak. Walaupun mereka mengunjungi vihara sekali setahun,namun perjalanan mereka sangat berarti karena mereka belajar Dharma.Program samanera tahunan YM Dhammananda mengetahui dari sejarah Buddhism bahwa perkembangan dan penyebaran agama selalu melalui Sangha, khususnya Sangha di negeri asalnya.

Oleh karena itu, di bulan Desember 1976 beliau berinisiatif menyelenggarakan program pelatihan Sangha untuk umat Buddha yg fasih berbahasa inggris di vihara Brickfield. Tujuan dari program pelatihan adalah untuk memberikan kesempatan kepada umat Buddha Malaysia mengalami kehidupan sebagai seorang bhikkhu. Sejak saat itu program tersebut menjadi kegiatan tahunan dimana program tersebut berlangsung selama dua minggu sewaktu liburan sekolah pada akhir tahun.

Dengan di selenggarakannya program pelatihan ini, YM Dhammananda telah menaburkan bibit untuk Sangha local. Sejak program pertama di luncurkan, beberapa perserta sekarang ini telah menjadi anggota Sangha secara penuh.Ini memberikan harapan baik untuk komunitas umat Buddha Malaysia karena itu menandakan permulaan munculnya Sangha di negara tersebut. Di tahun 1980, upacara pentahbisan bhikkhu yg lebih tinggi kepada YM Sukita Dhamma (orang Afrika Amerika) dilaksanakan di Chapter House of the International Buddhist Pagoda di vihara oleh YM Dhammananda. Pentahbisan yang sama kepada orang orang asing lainnya juga dilakukan dari waktu ke waktu.

Membentuk Masyarakat Buddhis Misionaris


YM Dhammananda tiba di Malaya pada tahun 1952, pemberhentian pertama di Penang sebelum bermukim di Vihara Brickfield, Kuala Lumpur. Beliau datang atas undangan dari Sanasa Abhiwurdhi Wardhana Society(SAWS), yang kemudian melayani khususnya komunitas umat Buddha Sinhala. Dari sinilah, beliau dengan giat membawa ajaran Buddha kepada warga Malaysia, khususnya orang-orang non pribumi yg fasih berbahasa inggris yg mulai mengunjungi vihara untuk mendengarkan uraian dhammanya. Dengan semangat misionarisnya dia menyadari bahwa cita-citanya akan dapat tercapai lebih baik jika dia dapat mendirikan sebuah organisasi untuk menampung semangat-semangat dari pendatang baru buddhis.

Oleh karena itu, di tahun 1962 beliau mendirikan The Buddhist Missioary Society (BMS) di vihara. Perkumpulan ini bertanggung jawab atas penyebaran ajaran Buddha melalui penerbitan dan sokongan atas seminar-seminar buddhis, khotbah, dan diskusi rutin dhamma, pelatihan kepemimpinan pemuda dan aktivitas kesejahteraan. Peran utamanya sebagai organisasi misionaris adalah sebagai berikut:
- Mempelajari dan menyebarkan agama Buddha
- Mendukung, memperkuat dan mengembangkan kualitas–kualitas kebenaran, cinta kasih dan melatih ajaran Sang Buddha
- Mengadakan khotbah apabila memungkinkan
- Mencetak literature buddhis
- Membantu di pembukaan sekolah-sekolah keagamaan dan memberikan bantuan kepada organisasi-organisasi buddhis apabila di perlukan.
- Memberikan bantuan spiritual/nasehat kepada anggota anggota atau umat Buddha di saat-saat mengalami sakit dan/atau kematian

Bahkan YM Dhammananda tidak pernah membayangkan kesuksesan BMS seperti sekarang ini. Menggunakan Vihara Brickfield (sekarang dikenal dengan nama Buddhist Maha Vihara) sebagai pusat, bekerja sama dengan SAWS, BMS berkembang dengan pesat. BMS sangat efektif dalam mensponsori terbitan-terbitan dari sejumlah brosur dan literature agama Buddha, kebanyakan diantaranya ditulis oleh beliau sendiri. Judul-judul terkenal dari penulis lain juga diterbitkan ulang. Kebanyakan dari terbitan-terbitan ini diberikan secara gratis sementara yang lain memakai harga nominal yang sama untuk memastikan lebih banyak orang memiliki kesempatan untuk membaca Dharma.

Proyek sukses lain adalah 12-pelajaran “Agama Buddha untuk anda” kursus korespondensi yang di luncurkan di tahun 1979. Dalam setahun lebih dari 500 murid telah mendaftar untuk kursus tersebut. BMS, di bawah petunjuk dari YM Dhammananda, telah menargetkan pada generasi yang lebih muda di banyak kegiatan-kegiatannya. 

Oleh karena itu, sebuah BMS Youth Section didirikan untuk mengkoordinasi aktivitas-aktivitas untuk remaja dan di bawah umur 40 tahun, termasuk kursus “Agama Buddha untuk pemula” untuk pendatang baru dharma di vihara. Sebuah BMS untuk wanita juga didirikan untuk menyediakan aktivitas-aktivitas keagamaan dan kesejahteraan. Beliau merupakan pelopor dalam menemukan majalah perkumpulan “The Voice of Buddhism”yang mana sekarang ini telah memasuki umur ke 33 sejak pertama kali terbitannya. 

Majalah tersebut disebarkan secara gratis kepada anggota-anggotanya dan pembaca pembaca di seluruh dunia, dengan menampilkan artikel artikel yang relevan dengan agama Buddha dan melaporkan kegiatan-kegiatan dari BMS dan SAW di Buddhist Maha Vihara.

Merangkul Komunitas Buddhis Malaysia


Program yg diadakan YM Dhammananda tidak terbatas ke sekedar penerbitan-penerbitan dan khotbah dalam batas Buddhist Maha Vihara. Beliau sangat sering berpergian hingga saat ini, walaupun usianya yang sudah tua dan kondisi kesehatan yang tidak baik untuk memberikan khotbah dhamma ke seluruh pelosok negeri, termasuk sabah dan Serawak. Di daerah yg kebanyakan pendengarnya lebih fasih berbahasa mandarin, reaksi yang diterima sangat besar walaupun khotbah-khotbah beliau disampaikan melalui penerjemah. Beliau juga merupakan penceramah rutin di forum umum yg diselenggarakan oleh kelompok umat Buddha di Singapura. Seperti khotbah-khotbahnya di Malaysia, khotbahnya mengenai agama Buddha di Singapura menarik perhatian ratusan pendengar.

Beliau menyadari bahwa masa depan dari umat Buddha Malaysia tergantung pada muda-mudi dan orang yang berpendidikan. Oleh karena itu, beliau selalu menempatkan perhatian khusus pada pelajar-pelajar, khususnya di perguruan tinggi dan universitas. Bersama-sama dengan almarhum YM Sumangalo, seorang bhikkhu misionaris Amerika buddhis, beliau merupakan pelopor dalam mendukung para pelajar buddhis di perguruan tinggi untuk mendirikan perkumpulan umat Buddha di kampus mereka.Disamping menjadi pembicara tetap di berbagai perguruan dan universitas, beliau juga mengatur khotbah dan diskusi khusus untuk pelajar-pelajar di kampus pada hari minggu pagi di Buddhist Maha Vihara untuk memperluas pengetahuan dan pengertian mereka tentang agama Buddha.

Tidaklah mengherankan bahwa beliau telah menjadi dermawan utama di Buddhist Gem Feloowship (BGF), yang didirikan pada tahun 1980 bertindak sebagai suatu organisasi untuk lulusan buddhis untuk menyokong komunitas pelajar-pelajar buddhis di dalam pelatihan dan pendidikan keagamaan. BGF telah bekerja sama dengan YM Dhammananda pada program misionaris untuk para mahasiswa dan komunitas buddhis pada umumnya. Terima kasih kepada program misionaris beliau, banyak lulusan dari perguruan tinggi yang sekarang merupakan pemimpin di berbagai perkumpulan Buddhist di seluruh negeri. Dengan adanya lebih dari 300 organisasi buddhis di Malaysia menggambarkan keanekaragaman tradisi dari aliran Theravada, Mahayana dan Vajrayana, YM Dhammananda selalu mendukung pendekatan secara universal terhadap semua aliran-aliran tersebut. 

Banyak organisasi yang mengikuti tradisi Mahayana dan juga merupakan anggota dari Young Buddhist Association of Malaysia (YBAM). Sedangkan yang lainnya merupakan cabang dari aliran Vajrayana. YM Dhammananda, bagaimanapun, selalu mendukung keterbukaan pikiran kepada para umatnya. Beliau telah mengundang YM Dalai Lama dan banyak guru-guru Tibet terkenal untuk mengunjungi Buddhist Maha Vihara dan memberikan khotbah. Demikian pula, almarhum Guru Hsuan Hua juga pernah memberikan ajaran di Buddhist Maha Vihara.

Di Penang, beliau bersama-sama dengan YM Hsin Yin dari Taiwan dalam membentuk forum Buddhist dengan judul “Dua Guru, Satu Pesan”. Semua khotbah-khotbah yang diberikan dalam forum ini adalah mengenai keterbukaan dan kedewasaan spiritualnya dalam pengertian dan pemenuhan kebutuhan keagamaan komunitas umat Buddha Malaysia yang mengikuti tradisi-tradisi yang berbeda.

Di Panggung Internasional

Reputasi YM. Dhammananda sebagai misionaris Buddhist dan sarjana telah terkenal baik di Malaysia dan luar negeri. Sewaktu masih muda, beliau terbiasa untuk melakukan perjalanan ke luar negeri untuk memberikan khotbah dhamma di konferensi-konferensi dan pertemuan-pertemuan utama umat Buddha. Sementara beliau sering hadir sebagai peserta yang mewakili Malaysia, beliau biasanya diundang sebagai pembicara konferensi, khususnya di pertemuan yang diorganisasikan oleh World Fellowship of Buddhists,World Conference on Religion and Peace, World Sangha Council and the Asian Council on Religion and Peace. Di waktu yang sama beliau telah berpartisipasi di sejumlah konferensi akademis dalam keagamaan dan filsafat sebagai pembicara yang mewakili agama Buddha.

Banyak kelompok-kelompok umat Buddha di barat yang telah mengundang YM Dhammananda untuk memberikan khotbah dhamma. Pada tahun 1970 dan 1975, beliau mengunjungi Inggris dan Amerika Serikat atas undangan dari kelompok-kelompok umat Buddha dan perkumpulan akademis di kedua Negara tersebut. Di Inggris, beliau mengunjungi mahasiswa-mahasiswa di Universitas Lancester, Universitas Hull, Universitas Manchester dan Universitas Oxford. Di Amerika Serikat beliau berbicara kepada mahasiswa-mahasiswa di dua Universitas Buddhis, yakni Universitas Dharma Realm Buddhist di Talmage,California dan Universitas Oriental Studies di Los Angeles. Beliau juga mengunjungi banyak Negara-negara lain untuk memberikan khotbah dhamma termasuk Australia, New Zealand, Indonesia, Singapura dan Sri Lanka.

Sebagai hasil dari melakukan perjalanan dan hubungan yang luas, beliau telah sukses mendirikan sebuah jaringan yang luas dan efektif dengan kelompok-kelompok umat Buddha di negara-negara dengan tradisi buddhis seperti Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Taiwan dan Japan dan di negara-negara yang minoritas buddhis termasuk Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Persamuan Bhikkhu Sri Lanka di Malaysia dan Singapura Sumbangan dari bhikkhu-bhikkhu Sri Lanka kepada kelahiran dan pengembangan ajaran Buddha di Asia Tenggara sangat besar sekali, khususnya di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Kebangkitan kembali di awal abad ke 20 telah tersebar khususnya oleh eksodus orangorang Sri Lanka ke Malaysia yang membawa serta guru guru keagamaan mereka dari Sri Lanka untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan kebudayaan persaudaraan Buddhist Sinhala.



sumber:Internet

Sabtu, 24 Maret 2012

Cara Menghilangkan Kemelekatan





Oleh YM. Bhante Uttamo Mahathera.



Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana, namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma, bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.
(Dhammapada V, 6)


Saudara-saudara, para bapak-ibu yang berbahagia, pada kesempatan ini, marilah kita berusaha melihat dan merenungkan perilaku umat Buddha di vihara. Seorang umat Buddha yang rajin mengikuti berbagai kegiatan di vihara, sering malah dipandang keliru oleh umat Buddha yang lain. Mereka akan berpikir bahwa apabila ada umat Buddha yang sering ke vihara dan rajin mengikuti berbagai kegiatan di vihara maka akhirnya ia nanti akan menjadi bhikkhu. Ataupun, kalau orang yang rajin ke vihara itu adalah seorang wanita, maka orang akan kuatir kalau ia nantinya menjadi seorang anagarini atau wanita yang meninggalkan keduniawian. Menurut anggapan banyak orang di masyarakat Buddhis, pria yang rajin ke vihara pastilah akan menjadi bhikkhu, sedangkan kalau wanita, ia akan menjadi seorang anagarini atau bahkan bhiksuni. Memang untuk aliran Theravada saat ini seorang wanita cukup menjadi seorang anagarini saja. Sedangkan kalau mereka ingin menjadi bhikhuni, mereka dapat menjadi bhiksuni Mahayana karena silsilah bhikkhuni Theravada telah punah. Namun, apabila ada sekelompok wanita yang mengaku dirinya sebagai bhikkhuni Theravada, hal itu adalah hak mereka mengaku dirinya sendiri. Namun, tentunya juga merupakan hak para umat Buddha Theravada lainnya untuk tidak mengakui mereka sebagai bhikkhuni Theravada. Namun, yang penting untuk ditekankan di sini adalah bahwa dalam masyarakat masih sering timbul anggapan yang menyatakan bahwa kalau ada orang yang sering beribadah di rumah, aktif mengikuti kebaktian di vihara maupun melakukan berbagai kegiatan religius lainnya, maka orang seperti itu pastilah akan menjadi seorang bhikkhu atau anagarini.

Tentu saja pola pikir semacam itu adalah pola pikir yang salah. Sejak jaman Sang Buddha jumlah para bhikkhu selalu lebih sedikit dibandingkan jumlah umat yang datang ke vihara. Padahal pada waktu itu Sang Buddha sendirilah yang mengajarkan Dhamma. Logikanya, apabila orang yang sering ke vihara dan mengadakan berbagai kegiatan ritual di vihara selalu akan menjadi bhikkhu, maka pada jaman Sang Buddha, pastilah jumlah bhikkhu jauh lebih banyak daripada jumlah umat yang ada. Namun, kenyataannya tidak demikian. Pernah diceritakan bahwa ketika Sang Buddha sedang berkumpul dengan 1250 orang bhikkhu, jumlah umat yang hadir pada saat itu lebih banyak daripada jumlah bhikkhu tersebut.

Ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu ketika nanti semua umat Buddha akan menjadi bhikkhu. Dan, apabila hal itu terjadi, dunia ini akan mengalami kepunahan. Pendapat ini juga tidak benar dan bahkan tidak masuk akal. Disebut sebagai pendapat yang tidak masuk akal karena bahkan saudara sekandung pun bisa memiliki keinginan yang berbeda, cita-cita hidup yang berbeda, apalagi dibandingkan dengan semua orang di dunia. Pasti mereka tidak mungkin mempunyai cita-cita yang sama yaitu menjadi bhikkhu. Tidak mungkin. Oleh karena itu, kalaupun sering membaca paritta dan melatih meditasi, tidak harus kegiatan tersebut menandakan bahwa orang itu akan menjadi bhikkhu. Hal ini mungkin saja terjadi karena agama Buddha bukan khusus untuk para bhikkhu maupun orang yang akan meninggalkan keduniawian saja, melainkan dapat dilaksanakan dan memberikan manfaat untuk semua orang. Siapapun juga, bahkan dengan latar belakang apapun juga. Buddha Dhamma berlaku untuk semua orang. Menjadi bhikkhu, anagarini ataupun berbagai bentuk kehidupan di vihara lainnya adalah merupakan salah satu pilihan hidup, tetapi bukan satu-satunya pilihan hidup sebagai umat beragama Buddha. Seorang umat Buddha yang berumah tangga dan tinggal di dalam masyarakat serta melakukan berbagai aktifitas sosial kemasyarakatan masih tetap dapat melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Mereka juga tetap dapat memetik buah kebahagiaan sebagai hasil pelaksanaan Buddha Dhamma.

Kalau memang sebagai seorang umat perumah tangga dapat melaksanakan dan mendapatkan manfaat dari pelaksanakan Ajaran Sang Buddha. Lalu, apakah manfaat yang dapat diperoleh sebagai seorang samanera, bhikkhu maupun anagarini? Sebenarnya, menjadi viharawan, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, adalah merupakan salah satu pilihan hidup, bukan satu-satunya. Karena memang dalam kenyataannya, ada orang yang sudah tertarik untuk meninggalkan keduniawian sejak dari kecil, namun, ada pula walaupun sudah berusia lanjut masih saja melekat dan terikat dengan segala yang dimilikinya. Ia melekat dengan harta, kedudukan dan keluarganya. Kemelekatan yang tinggi inilah yang sesungguhnya menjadi sasaran utama untuk diatasi dengan Ajaran Sang Buddha. Untuk mengatasi kemelekatan tersebut, memang ada orang yang senang dengan cara meninggalkan keduniawian untuk menjadi viharawan. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan untuk mereka yang bukan viharawan pun melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Walaupun bukan viharawan, orang akan tetap dapat merasakan manfaat pelaksanaan Buddha Dhamma yaitu tidak melekat. Oleh karenanya, adanya para viharawan sesungguhnya dapat dijadikan simbol pelaksanaan Buddha Dhamma yang lebih tekun agar mendapatkan manfaat dan kebahagiaan, walaupun ia tetap tinggal sebagai perumah tangga.

Membahas secara mendalam tentang ketidakmelekatan ini sesungguhnya bukan hanya sesuai untuk para anagarini, bhikkhu maupun samanera saja, namun juga cocok untuk para perumahtangga. Sebab, tidak melekat bukan berarti tidak boleh punya pasangan hidup. Tidak melekat itu bukan berarti tidak boleh punya kekayaan. Tidak melekat itu bukan berarti tidak boleh punya rumah, tidak punya mobil, tidak punya pekerjaan yang berhasil. Bukan demikian, bukan. Tidak melekat itu berarti siap menghadapi perubahan pada segala sesuatu yang dimiliki. Menerima perubahan itu sebagai kenyataan. Itulah kunci agar tidak melekat. Apabila sebagai perumah tangga yang mempunyai pasangan hidup, bisa saja dalam proses berjalannya waktu, pasangan hidup yang semula serasi menjadi kurang serasi. Ada beberapa perubahan sifat maupun perilaku yang diketemukan dalam diri pasangan tersebut. Tidak melekat berarti siap menghadapi perubahan. Kalau dahulu pasangan hidup bisa selalu harmonis, sekarang mungkin sering timbul percekcokan di antaranya. Hal ini hendaknya bisa diterima sebagai kenyataan. Menerima perubahan sebagai kenyataan inilah yang disebut sebagai tidak melekat. Tidak menuntut pasangan hidup harus seperti semula. Ia mungkin telah berubah. Demikian pula dengan masalah pekerjaan, kesehatan dlsb. Dahulu mungkin orang itu sehat dan lancar usahanya, namun, karena segalanya bisa berubah, ia kemudian menjadi sering sakit dan mundur usahanya. Namun, apabila seseorang bisa menyadari bahwa memang dalam dunia ini adalah merupakan hal yang wajar apabila ada untung- rugi, sehat-sakit dlsb, maka orang akan siap mental menghadapi perubahan. Menerima perubahan sebagai kenyataan yang tidak bisa ditolak. Inilah makna ketidakmelekatan.

Para bhikkhu dan samanera yang selalu menyukur rambutnya adalah merupakan lambang ketidakmelekatan pada rambutnya. Ketidakmelekatan pada rambut ini juga bisa dilakukan oleh para perumah tangga. Namun, sebagai seorang perumah tangga, tidak harus semuanya kemudian mencukur bersih rambutnya dan menjadi gundul. Bukan demikian. Inti pengertian ketidakmelekatan itu dapat tumbuh dari kesadaran untuk menerima perubahan bahwa suatu saat rambut akan menjadi berubah warna, beruban, rambut juga semakin tipis karena rontok yang disebabkan oleh bertambahnya usia. Menyadari dan mampu menerima sebagai kenyataan segala bentuk perubahan yang terjadi pada rambut seperti itu tanpa menimbulkan kesedihan maupun kekecewaan dalam batin, itulah yang merupakan contoh ketidakmelekatan.

Para bhikkhu selain mencukur habis rambutnya, juga selalu mengenakan jubah. Hal ini dapat dilihat pula sebagai simbolik sikap batin yang tidak melekat dengan pakaian. Dalam kehidupan sebagai perumah tangga, ketidakmelekatan dengan pakaian ini tetap juga bisa dikembangkan. Tidak melekat pada pakaian bukan berarti mengenakan pakaian semaunya dan tampak tidak rapi. Bukan demikian maksudnya, namun seseorang hendaknya dalam kehidupan sehari-hari, mampu tampil percaya diri dengan pakaian apapun yang telah dimilikinya. Ia tidak perlu merasa malu walaupun tidak mengenakan dasi kalau memang tidak mampu mengadakannya. Orang hendaknya jangan menggunakan pengertian bahwa lebih baik pakai dasi walaupun tidak makan nasi. Kalau demikian halnya, maka pakaian menjadi yang paling utama, sedangkan kebutuhan pokok malah dijadikan pilihan kedua. Hal ini tentu saja tidak tepat. Orang seperti ini adalah orang yang tidak bijaksana. Orang yang tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Padahal, sebenarnya pakaian hanyalah alat bantu yang mungkin dapat menambah nilai dalam penampilan. Namun, sesungguhnya penampilan yang hebat bukanlah tergantung pada pakaian atau berbagai bentuk perhiasan yang dipergunakan, melainkan dari kepribadian dan perilakunya. Perilaku baik ditunjukkan dengan ucapan baik, perbuatan melalui badan yang baik dan bermanfat untuk diri sendiri maupun lingkungan, serta pikiran hendaknya juga yang baik. Dengan memiliki ucapan, perbuatan dan pikiran yang baik, pakaian sederhana pun menjadi tidak masalah. Orang akan tetap dapat menghargainya.

Dalam kehidupan ini, sesungguhnya hal yang paling penting pada diri manusia adalah keluhuran perilakunya, semua bentuk pakaian, perhiasan maupun kekayaan lainnya hanyalah merupakan kelengkapan saja.

Selain mencukur habis rambut, menggunakan jubah para bhikkhu juga telah meninggalkan rumah, keluarganya dan menetap di vihara. Cara hidup seperti itu juga dapat dijadikan simbol untuk tidak melekat dengan rumah ataupun rumah tangga yang tentunya juga bisa dilakukan oleh para perumah tangga. Perumah tangga yang tinggal dalam rumah yang dibangun sendiri setelah melalui berbagai perjuangan dapat pula mengembangkan sikap tidak melekat. Misalnya saja, ketika ia melihat rumahnya bocor di sana sini, atau luntur catnya atau bahkan rumah itu terbakar habis, seorang yang tidak melekat pada rumahnya akan bisa menerima hal ini sebagai kenyataan. Batinnya akan tetap tenang menghadapi semua perubahan itu. Bahkan, setelah ia mengalami berbagai kesulitan akibat kepemilikannya itu, ia dapat mengambil pelajaran darinya. Ia akan lebih rajin merawat rumahnya agar tidak mudah bocor. Ia akan menjaga rumahnya dengan lebih baik agar tidak terkena bahaya kebakaran lagi. Ia mampu mencari kekurangan yang telah dimilikinya untuk diperbaiki dimasa sekarang. Oleh karena itu, seseorang dengan mempunyai pengertian untuk tidak melekat, ia malah akan mampu mencari kelebihan yang telah dimiliki untuk dikembangkan dan kekurangan untuk diperbaiki. Dengan demikian, orang dengan kualitas diri seperti ini akan selalu mendapatkan kemajuan serta mengurangi kesempatan untuk memperoleh kemunduran.

Jadi, jelaslah kini bahwa untuk melaksanakan Ajaran Sang Buddha yang luhur tentang ketidakmelekatan ini tidak mengharuskan seseorang menjadi anagirini, samanera maupun menjadi bhikkhu terlebih dahulu melainkan sebagai perumahtangga pun bisa. Namun, apabila memang seseorang berkeinginan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi bhikkhu tentu saja tidak masalah, namun hal itu hanyalah pilihan hidup, bukan merupakan keharusan. Seperti para viharawan dan viharawati yang telah meninggalkan keduniawian, maka sikap batin untuk meninggalkan kemelekatan pada segala sesuatu yang dimiliki itu hendaknya juga bisa dilatih semasa tinggal dalam masyarakat dan keluarga. Ketidak melekatan adalah merupakan cara berpikir. Selama seseorang bisa tenang batinnya untuk menerima segala bentuk perubahan yang terjadi pada dirinya maupun lingkungannya, maka orang seperti itulah yang memiliki sikap batin tidak melekat.

Siapapun juga, bila telah tidak waktunya, maka tubuh, rambut, ketajaman telinga, ketajaman mata, ketajaman lidah, ketajaman perasaan dlsb akan ditinggalkan semuanya. Apabila seseorang melekat dengan ketajaman telinga, ketajaman mata maupun kekuatan tubuh maka apabila suatu saat harus menggunakan kacamata karena telah rabun, menggunakan alat bantu dengar karena pendengaran mulai berkurang, maka ia akan mengalami stress. Batinnya selalu gelisah dan menolak untuk bisa menerima kenyataan. Hidup penuh kemelekatan ini akan menimbulkan penderitaan. Padahal apabila seseorang bisa menyadari bahwa segalanya hanyalah proses, maka sesungguhnya tidak ada hal yang membuat seseorang harus senang maupun sedih melihat perubahan tersebut. Kalau orang sudah bisa menerima kenyataan hidup, maka kehidupan inni dapat diisi dengan hal yang positif. Orang akan selalu dapat memanfaatkan segala potensi yang ada dalam dirinya untuk dapat memberikan kebahagiaan untuk diri sendiri maupun lingkungannya.

Inilah uraian singkat yang tentunya akan dapat dijadikan pendorong untuk selalu melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Karena seperti yang telah disampaikan dalam Dhamma bahwa orang yang bijaksana hendaknya seperti lidah yang dapat merasakan sayur yang melewatinya. Demikian pula dengan orang bijaksana yang pada setiap kali mengikuti kebaktian hendaknya ada sesuatu pesan Dhamma yang dapat dibawa pulang agar dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesempatan ini, dapat direnungkan pula bahwa setelah mendengarkan Dhamma ini hendaknya timbullah pengertian bahwa ketidakmelekatan itu sesungguhnya bisa dilatih kehidupan sehari-hari sebagai perumah tangga. Tidak melekat dengan rumah, kesehatan, maupun segala sesuatu yang dimiliki mempunyai makna bahwa seseorang hendaknya selalu memiliki kesiapan mental untuk menghadapi perubahan. Apabila perubahan itu menuju ke hal yang baik, carilah sebabnya untuk dikembangkan di masa depan. Sebaliknya, kalau perubahan itu menuju ke hal yang kurang baik, maka carilah penyebabnya agar dapat diperbaiki, demikian seterusnya. Rumah tidak selamanya bagus, suatu saat akan membutuhkan direnovasi. Kesehatan tidak selamanya sehat dan baik, suatu ketika membutuhkan pengawasan dan pengobatan ke dokter. Kekuatan tidak selamanya ada, suatu ketika orang akan membutuhkan alat bantu untuk mendukung kekuatan yang dimilikinya saat ini. Semua ini sebenarnya adalah usaha untuk mendapatkan kebahagiaan di dalam kehidupan yang sesuai dengan Dhamma.

Inilah yang dapat disampaikan dalam kesempatan ini. Semoga kita semua mendapatkan manfaat dengan melatih ketidak-melekatan yang bukan berarti masa bodoh dengan rambut, masa bodoh dengan penampilan, masa bodoh dengan rumah yang makin lama makin miring, bukan demikian, namun hendaknya kita semua mampu menerima segala perubahan itu sebagai suatu kenyataan agar dapat ditingkatkan maupun diperbaiki.

Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun yang tidak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Sabbe satta bhavantu sukhittata

Rabu, 21 Maret 2012

SEPOTONG KUE




Jika anda masih merasakan KEBAHAGIAAN dan PENDERITAAN, 
anda bukanlah seorang yg telah sempurna. 
Sama halnya dgn memakan sepotong kue kesukaan anda, 
tetapi sebelum anda menghabisinya, potongan kue itu jatuh. 
Anda menyesalkannya bukan? Ketika merasa kesal, anda menderita bukan? 
Jadi anda harus membuang kebahagiaan maupun penderitaan. 
Itu hanyalah makanan bagi mereka yg belum sempurna.
Dalam kebenaran, kebahagiaan adalah penderitaan yg menyamar, 
tetapi berada dalam bentuk yg sedemikian halus sehingga anda tidak merasakannya. Jika anda melekat pada kebahagiaan, sama saja dgn anda melekat pada penderitaan, tetapi anda tidak menyadarinya.
Jadi, berhati-hatilah ! Apabila kebahagiaan muncul, jangan terlalu menikmatinya, jangan hanyut terbawa olehnya. Ketika penderitaan muncul, jangan kecewa, 
jangan menenggelamkan diri anda didalamnya pula. 
Perhatikanlah bahwa kebahagiaan dan penderitaan mempunyai nilai yg sama saja.


                                                                                                         ~Ajahn Chah~

Selasa, 20 Maret 2012

JATUH DARI SEBATANG POHON




Jika kita melihat "Paticcasamuppada" sebagaimana tertulis di dalam kitab2, kita katakan bahwa ketidaktahuan akan mengakibatkan kegiatan, kegiatan mengakibatkan kesadaran, kesadaran mengakibatkan bathin dan jasmani, bathin jasmani mengakibatkan 6 dasar indra, 6 dasar indra mengakibatkan hubungan indra, hubungan indra akan mengakibatkan perasaan, perasaan mengakibatkan nafsu keinginan, nafsu keinginan akan mengakibatkan kemelekatan, kemelekatan membangkitkan keberadaan, keberadaan mengakibatkan kelahiran, kelahiran mengakibatkan usia tua, sakit, mati dan semua bentuk penderitaan. 
Akan tetapi dalam kenyataan, pada saat berhubungan dgn sesuatu yg tidak kita sukai, SEGERA muncul penderitaan. Pikiran mengikuti rantai "Paticcasamuppada" begitu cepat sehingga kita tidak dapat menelusurinya.
Sama seperti jatuh dari sebatang pohon. Sebelum kita menyadari apa yg terjadi - PLUK ! - kita sudah menumbuk tanah. Sebenarnya kita melalui banyak ranting dan cabang selama jatuh, tapi ini berlangsung begitu cepat sehingga kita tidak sempat menghitungnya ataupun mengingatnya pada saat kita jatuh.
Sama dgn "Paticcasamuppada", Penderitaan segera yg kita alami adalah hasil dari melalui seluruh rantai "Paticcasamuppada". Inilah sebabnya Buddha mengajarkan murid2nya untuk mengamati dan mengetahui sepenuhnya pikiran mereka masing2 sehingga mereka bisa MENANGKAP diri mereka sebelum jatuh mengenai tanah.

                                                                                                     ~Ajahn Chah~

Minggu, 18 Maret 2012

MOBIL




Semua agama bagaikan berbagai jenis mobil yang bergerak menuju ke arah yang sama.
Orang-orang yang tidak melihatnya seperti ini,
Tidak memiliki cahaya di dalam hatinya.

                                                  ~Ajahn Chah~

KESABARAN



Oleh Bhante Sri Pannavaro Mahanayaka Thera



Latihan untuk membina diri kita sesungguhnya adalah latihan dalam keseharian. Membina diri bukan sesuatu yang dimengerti bahwa harus dilakukan ditempat-tempat ibadah atau hanya pada saat-saat tertentu. Justru dalam keseharian kita bisa meningkatkan, membina diri kita masing-masing. Salah satu pesan yang sangat penting yang pernah diungkapkan oleh Buddha Gotama dihadapan 1250 orang-orang suci adalah kesabaran sesungguhnya latihan untuk membina diri yang tertinggi. Kalau kita berhadapan atau mengalami keadaan yang menyenangkan disekitar kita, semua bersikap baik, berkata-kata ramah kepada kita, maka kita bisa bersikap sabar. Tetapi menurut Buddha Gotama, menghadapi hal-hal yang menyenangkan bukanlah sikap bersabar. Justru kesabaran adalah sikap yang tetap tenang, dilandasi dengan pengertian yang benar,pada saat kita menghadapi atau mengalami kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Orang-orang lain atau teman teman yang berperilaku tidak baik kepada kita, pada saat itulah sesungguhnya kesempatan yang sangat baik bagi kita untuk melatih kesabaran. Kalau menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan, orang-orang yang mengganggu kita,mungkin juga ingin menghancurkan kita, kalau pada saat itu timbul kemarahan, kejengkelan atau bahkan dendam,pada saat itulah tampak betapa rapuhnya mental kita,menanggapi keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan,menghadapi orang-orang yang menyulitkan kita, kalau timbul emosi, sikap yang serampangan, yang didorong oleh kebencian atau kemarahan sesungguhnya sikap seperti itu sangat merugikan kita sendiri. Tampak dengan jelas, tidak ada ketahanan mental, tidak ada kekuatan batin dalam diri kita untuk menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan.

Ilmu pengetahuan moderen menyadari bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Kalau seseorang suka belajar suka mendengar, dan kemudian timbullah ide ide yang cemerlang, kreatifitas-kreatifitas yang baru. Sering dikatakan seseorang itu adalah orang yang cerdas, tetapi itu sangat tidak cukup, kecerdasan dalam hubungan berinteraksi dengan masyarakat, sekarang disadari bahwa selain kecerdasan, sangat diperlukan kedewasaan emosi,kecerdasan intelektual amatlah tidak membantu tanpa dilandasi dengan kecerdasan/kedewasaan emosi. Ada 2 macam kesabaran menurut Dhamma dan demikian juga terdapat 2 macam latihan untuk meningkatkan kesabaran/daya tahan mental kita.

Yang pertama disebut dengan bersabar dengan hal-hal yang sederhana, dengan kondisi-kondisi yang kecil,seperti bersabar dengan udara yang panas, bersabar dengan makanan-makanan yang mungkin tidak sesuai, tetap bersabar karena harus menunggu agak lama, bersabar kalau fisik ini sedang sakit, bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak berguna dalam menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan itu, melatih kesabaran dengan hal hal yang kecil-kecil ini akan memungkinkan kita, memberikan jalan kepada kita untuk melatih kesabaran yang lebih tinggi. Apakah kesabaran yang lebih tinggi itu? Sabar kalau kita dicela, sabar kalau kita dihina,tetap sabar kalau ada orang-orang yang memfitnah kita atau mungkin ingin menghancurkan kita, kesabaran yang lebih tinggi ini memang amat sulit tetapi justru itulah yang Buddha Gotama sebutkan sebagai latihan untuk membina diri kita yang tertinggi. Para Bhikkhu/para pengkhotbah sesungguhnya bukanlah guru kesabaran yang sejati. Para bhikkhu/para penceramah hanya bisa menunjukkan betapa berharganya kesabaran itu, betapa pentingnya memiliki kesabaran sebagai daya tahan mental tetapi bukan guru kesabaran yang sebenarnya, siapakah guru kesabaran yang sebenarnya? Kalau dirumah suatu saat sang suami atau sang istri menimbulkan masalah, menimbulkan persoalan,kalau anak anak suatu ketika tidak mau mendengar nasehat, kalau teman-teman atau kolega kita menyulitkan kita, kalau mereka-mereka yang dahulu sangat akrab kemudian ingin menghancurkan kita, mereka itu sesungguhnya guru-guru kesabaran yang sejati karena pada saat itulah kita dituntut untuk mempunyai kesabaran. Kalau kita menghadapi mereka dengan geram, dengan emosi yang meluap-luap, dengan kemarahan dan mungkin dengan kebencian. Sikap itu tidak menyelesaikan masalah bahkan membuat masalah lebih berlarut-larut, kegeraman yang ditunjukkan oleh seseorang sesungguhnya bukan menunjukkan kekuatan dan keperkasaan tetapi sebaliknya kelemahan jiwa, seseorang yang jiwanya kuat, mempunyai daya tahan mental yang tangguh, tidak akan mudah terpancing, tidak akan menunjukkan kegeraman, kegarangan, karena sadar bahwa kegeraman, kegarangan,kemarahan, kebencian sama sekali bukan cara menyelesaikan persoalan, tetapi bagaimanakah cara untuk melatih kesabaran?

Ada 2 macam cara untuk melatih kesabaran. Sikap tenang yang dilandasi dengan pengertian yang benar itulah sesungguhnya kesabaran. Pengertian apakah yang harus kita punyai untuk menumbuhkan kesabaran? Untuk meningkatkan daya tahan mental kita menghadapi seribu satu macam kondisi dan persoalanpersoalan kehidupan yang tidak akan berhenti?

1. Menyadari bahwa segala sesuatu dialam semesta ini tidak kekal, tidak ada yang abadi, berubah setiap saat,kesulitan apapun yang kita hadapi, perlakuan apapun yang tidak menyenangkan kita juga tidak kekal, tidak selamanya akan mengcengkeram kita, tidak ada yang abadi dialam semesta ini, masalah yang menyulitkan itu datang sebentar kemudian dia akan berlalu, sabbe sankhara anicca - semua perpaduan tidak kekal,berubah setiap saat dan berubah terus menerus,menyadari perubahan terhadap segala sesuatu termasuk kesulitan – kesulitan yang sedang menghimpit, yang sedang kita alami itulah menyadari ketidak kekalan itu akan membuat kita bertahan, tidak ada alasan untuk berpatah semangat.

2. Pengertian yang kedua yang harus kita punyai sebagai landasan untuk membangun kesabaran dan daya tahan mental adalah kesulitan dan penderitaan yang kita alami yang kita hadapi, janganlah kita berpikir biasa,apakah yang di sebut berpikir biasa? Berpikir biasa adalah kita selalu atau sering berpikir bahwa ia menghina saya, si itu mengganggu saya, si dia tidak simpati kepada saya, yang itu ingin menghancurkan saya, yang itu membenci saya dsb. Pikiran kita seolah-olah seperti buku telepon yang hanya berisi daftar-daftar nama mereka-mereka yang tidak kita senangi, kemudian timbul kebencian, timbul keinginan membalas kepada mereka-mereka itu dan itulah yang membuat kehidupan kita tidak tentram.

Tetapi berpikir Dhamma sangat beda, berpikir Dhamma amat bebeda dengan berpikir biasa, Mengapa?

Kesulitan yang kita hadapi, penderitaan yang kita alami sesungguhnya adalah akibat buah dari perbuatan kita sendiri, kesulitan dan segala macam penderitaan itu bukan pemberian Tuhan, juga bukan dibuat oleh dewa-dewa untuk menghukum kita, tapi akibat perbuatan kita sendiri,perbuatan yang tidak benar, perbuatan yang tidak sehat,kalau bukan akibat dari perbuatan kita, tidak mungkin peristiwa itu akan datang menimpa kita. Kalau kita berpikir seperti ini, maka tidak ada tempat untuk membenci kepada yang lain, tidak ada alasan untuk membalas kebencian itu dengan dendam kepada siapapun, justru melihat mereka yang melakukan hal-hal yang merugikan kita bukan kebencian yang timbul melainkan kasih saying, timbul rasa kasihan yang mendalam, melihat teman-teman/orang-orang lain berperilaku buruk kepada kita, karena perilaku yang buruk juga akan membuahkan penderitaan bagi pembuatnya sendiri.

Dengan 2 landasan pengertian inilah, kita meningkatkan/membangun kesabaran kita, kita meningkatkan daya tahan mental kita menghadapi hal hal yang buruk, hal-hal yang menyakitkan, hal-hal yang terasa sulit dalam kehidupan ini, pengertian tentang semua tidak kekal, berubah setiap saat termasuk kesulitan dan hal-hal yang buruk itu, dan seandainya kesulitan dan hal-hal buruk itu datang, maka itupun akibat perbuatan dari karma kita sendiri. Dengan cara inilah dengan dasar pengertian yang benar yang jernih kita berusaha untuk tetap tenang, tegar, batin tidak tergoyahkan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dalam kehidupan yang datang silih berganti,silahkan kesulitan/persoalan itu datang, namun persoalan/ kesulitan itu tidak lagi menjadi kesulitan, tetapi justru menjadi kesempatan bagi kita untuk melatih kesabaran,dengan kesadaran yang penuh memperkuat daya tahan mental kita, marilah kita menghadapi dengan tenang,marilah kita mengubah kesulitan/persoalan itu menjadi kesempatan yang amat berharga untuk meningkatkan kualitas diri kita, karena didalam kenyamanan, didalam segala sesuatu yang menyenangkan yang kita hadapi,perlakuan-perlakuan manis yang kita terima, sesungguhnya amat sulit mencari kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri. Kenyamanan dan perlakuan-perlakuan yang sangat baik kepada kita bukanlah guru kesabaran yang sebenarnya. Menurut pengertian Dhamma kadar kesabaran, kadar daya tahan mental kita merupakan hasil dari latihan kita, latihan dalam keseharian yang dilandasi dengan pengertian yang benar, karena menurut Dhamma kesabaran bukan sesuatu yang bisa kita dapatkan dengan meminta kepada siapapun.


Di Jawa Tengah sering kita mendengar, kalau seseorang tiba di dalam kesulitan, dia mengeluh. “Oh Gusti berikan kepadaku kesabaran”. Memang boleh-boleh saja seseorang mengeluh seperti itu, karena mungkin betapa beratnya kesulitan/beban yang dia hadapi tetapi kesabaran tidak bisa diminta, dan kesabaran tidak bisa diberikan siapapun kepada kita. Kita harus berpandai-pandai menggunakan setiap kesempatan dalam keseharian untuk meningkatkan kesabaran kita karena kesabaran merupakan latihan yang amat berharga. Sangat dibutuhkan setiap saat dimanapun kita berada, dimanapun kita tinggal,dalam keadaan yang bagaimanapun kita mengalami.


Seseorang yang tidak cukup mempunyai kesabaran,ketahanan mental, dia akan terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang buruk, mungkin kejahatan karena akan memberikan keuntungan materi yang lebih besar dan lebih cepat, namun seseorang yang memiliki kesabaran/ketahanan mental tidak akan tertarik dengan perbuatan yang tidak sehat, dengan perilaku yang tidak bermoral,sekali hal itu memberikan keuntungan yang besar dan spontan. Ia bisa bertahan, mengendalikan diri karena ia punya kesabaran, daya tahan mental yang cukup baik,tidak terpengaruh/tergiur dengan perbuatan buruk sekalipun memberikan keuntungan yang besar dan spontan. Kesabaran, keuletan adalah kunci untuk menjaga moralitas, mempunyai perilaku yang baik, sehat karena setiap perbuatan menurut Dhamma memberikan akibat ganda, kejahatan akan merugikan orang lain/makhluk lain, dan juga sudah pasti merugikan si pembuatnya sendiri.

Demikian juga kebajikan, perbuatan bajik akan memberikan manfaat ganda pula, bermanfaat bagi yang lain dan memberikan manfaat bagi dirinya sendiri, kalau tanpa kesabaran, karena tidak mampu mengendalikan dirinya seseorang tergiur melakukan kejahatan, maka dia berjalan untuk melakukan perbuatan menghancurkan kedua belah pihak, kehancuran ganda, menghancurkan orang lain merugikan orang lain dan menghancurkan dirinya sendiri, perbuatan yang tidak terpuji, yang buruk mudah sekali menggiurkan kita, menarik bagi banyak orang, karena memberi manfaat yang sekonyong-konyong, memberi kesenangan yang tiba-tiba, tidak perlu menunggu/bersabar kemudian banyak orang terpikat melakukan kejahatan, disinilah letak arti penting memiliki kesabaran,dengan kesabaran/ketahanan mental kita juga akan bersabar, tidak terpikat untuk melakukan kejahatan,memilih perbuatan yang bajik. Dengan kesabaran dan kesadaran, dengan ketahanan mental sekuat tenaga, kita menghindari perbuatan-perbuatan buruk, yang tidak sehat dan dengan kesabaran serta kesadaran pula, dengan keuletan dan dengan sekuat tenaga kita melakukan hal-hal yang baik, yang bajik, yang berguna, bagi masyarakat, bagi keluarga kita, dan sudah tentu berguna bagi kita sendiri.

Memang perbuatan buruk memberikan kenikmatan spontan, kesenangan yang lebih cepat, tetapi kalau perbuatan itu suatu ketika sudah masak, kejahatan itu akan berakibat penderitaan yang kadang-kadang amat sulit diatasi, berlarut-larut dan sangat lama, namun sebaliknya perbuatan bajik yang kalau dilakukan akan berguna bagi orang lain, bagi yang melakukan, tidak akan menimbulkan penyesalan didalam hati, kehidupan ini akan menjadi kehidupan yang amat berguna kalau kita bisa menggunakan sebanyak mungkin untuk hal-hal yang berguna/bermanfaat bagi semua pihak.

Namun, saya ingin memasuki pengertian yang lebih mendalam dan mungkin lebih sulit untuk dimengerti tetapi merupakan kewajiban saya untuk mengajak kalian untuk meningkat kedalam pengertian yang lebih dalam, memang kita tidak berpihak kepada perbuatan jahat/keburukan, kita ingin mengisi kehidupan ini dengan kebajikan, dengan hal-hal yang berguna tetapi sekali lagi janganlah merasa lebih unggul, merasa lebih tinggi karena telah melakukan kebajikan, kemudian memandang rendah kepada mereka yang melakukan kejahatan. Melakukan kebajikan adalah pilihan, tetapi kebanggaan akan kebajikan yang kita lakukan akan merugikan perkembangan mental kita, bangga dengan kebajikan yang dilakukan dan kemudian memandang rendah serta membenci kepada mereka yang melakukan kejahatan adalah kekotoran batin yang menghalangi kemajuan mental spiritual kita, kita senang berbuat bajik, tetapi kita tidak benci, tidak merendahkan sekalipun kepada mereka-mereka yang melakukan perbuatan merugikan orang lain. Kita tidak senang, tidak setuju terhadap kejahatan yang mereka perbuat, tetapi sama sekali tidak ada alasan untuk membenci dan merasa diri kita lebih baik, lebih mulia, lebih tinggi dari mereka, perasaan ini sesungguhnya adalah keangkuhan,kesombongan bahkan kecongkakkan, itu adalah kekotoran bathin yang amat merugikan bagi perkembangan bathin kita sendiri. Kita memihak pada kebajikan, jelas, kita tidak ingin melakukan kejahatan tetapi kita tidak perlu merasa lebih dengan membandingkan kepada mereka yang masih senang melakukan kejahatan. Aku bukan mereka, aku lebih baik, lebih bersih, lebih sempurna, lebih tinggi dari mereka. Inilah beban-beban mental yang mengotori pikiran kita dengan kekotoran batin yang lebih halus tetapi tetap merugikan kita. Marilah kita memihak pada perbuatan yang baik/kebajikan dengan tulus termasuk juga mempunyai pikiran yang bajik, pikiran kasih saying kepada mereka-mereka yang melakukan kejahatan sekalipun, inilah yang didalam Dhamma disebut sebagai berusaha membersihkan pikiran kita sendiri dari kekotoran–kekotoran batin yang halus, keangkuhan,keakuan, kesombongan dan itu adalah beban mental yang juga membuat penderitaan bagi diri kita. Secara ringkas, marilah kita meningkatkan kualitas diri kita, dengan menggunakan segala keadaan, segala hal yang kita alami apapun, sebagai kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri, meningkatkan kesabaran, daya tahan mental, dengan kesabaran/daya tahan mental, kita tidak akan memihak, memilih kejahatan dan berusaha keras untuk menambah hal-hal yang baik, mengisi kehidupan ini dengan kebajikan tanpa dilandasi, tanpa disusupi oleh kesombongan, keangkuhan, kecongkakan. Marilah kita mengisi kehidupan kita dengan hal-hal yang berguna dan juga mencintai,mengasihi mereka, untuk bersama-sama maju kearah yang lebih baik, tidak ada alasan merendahkan siapapun ,apalagi membenci kepada mereka-mereka sekalipun mereka melakukan kejahatan, tidak hanya menghindari kejahatan dan menambah kebajikan tetapi lebih dari itu,marilah kita memeriksa batin kita, pikiran kita supaya juga bersih dari kekotoran batin, dan itulah kebahagiaan di dalam diri kita, disitu kita akan menemukan kebahagiaan, kondisi apapun yang kita hadapi, yang datang menyongsong kita, marilah kita hadapi dengan tenang, dengan pengertian benar, dengan ketahanan mental, dengan ketulusan hati.

Janganlah berpikir untuk mencari kebahagiaan dari luar diri kita, sumber

kebahagiaan itu berada dari dalam diri kita sendiri, tidak mungkin bisa ditemukan dari luar diri kita, dengan mengubah diri kita, meningkatkan kualitas diri kita, sumber kebahagiaan akan muncul di dalam diri kita, mencari kebahagiaan dari luar diri kita, sibuk mencari dan mengubah apa yang diluar diri kita, memang baik, tetapi bukanlah jaminan yang mampu membuat kita bahagia tanpa ada perubahan didalam diri kita masing-masing.

Saya akan menutup uraian ini dengan sebuah cerita yang sederhana tapi amat menarik.

Dijaman dahulu di Mesir ada seorang raja yang sakit mata, dokter istana setelah mengobati kemudian menasehatkan, raja harus sering melihat warna hijau karena warna itu akan mempercepat kesembuhan penglihatan mata baginda raja, di Timur Tengah, demikian juga di Mesir, tidak sebanyak tumbuhan-tumbuhan hijau seperti yang kita lihat di tanah air kita, amat kurang,kadang-kadang amat jarang, karena raja harus sering melihat warna hijau, maka kemudian raja memerintahkan segala sesuatu yang dia lihat dia ubah dengan warna hijau,alat-alat makan, pakaian yang dia kenakan, dinding,tempat tinggal, lantai, semua diubah dengan warna hijau supaya penglihatan sang raja bisa cepat kembali seperti semula, tetapi penasehat raja mendekati sang raja dan berkata, kalau baginda menginginkan melihat yang serba hijau supaya penglihatan baginda cepat sembuh seperti sedia kala, mengapa baginda harus mengubah semuanya dengan warna hijau, apakah tidak lebih baik baginda memakai kacamata hijau, dengan memakai kacamata hijau, semuanya akan kelihatan hijau, tidak perlu harus mengubah warna semuanya dengan menjadi hijau.

Dari cerita kecil ini kita mendapatkan pencerahan kecil, mengubah diri kita, mengubah sikap mental kita adalah jauh lebih berharga dan lebih mudah daripada mengubah segala sesuatu diluar diri kita. Justru mengubah dan meningkatkan mental kita, didalam diri inilah, diri kita sendiri, kita menemukan sumber kebahagiaan. Marilah kita menggunakan kesempatan yang berharga dalam kehidupan ini, setiap saat untuk mengisi kehidupan ini dengan hal-hal yang bermanfaat, berguna, berfaedah, bagi siapapun juga,bagi masyarakat, bagi orang banyak, bagi keluarga kita, dan sudah tentu bagi kita sendiri, dengan membangun diri kita disitulah kita menjumpai kebahagiaan, dan kebahagiaan itu akan bermanfaat pula bagi mereka-mereka yang lain, marilah kita berjuang, maju, tidak ada waktu untuk terlambat, tidak menyiakan kehidupan ini, semoga kita mampu, untuk menjadikan kehidupan ini berguna, bermanfaat bagi siapapun.

Semoga semua makhluk berbahagia.

Rabu, 07 Maret 2012

DN 33 Sangīti Sutta



Bersama-sama Mengulangi Khotbah
Diterjemahkan dari bahasa Pāi ke bahasa Inggris oleh
Maurice O’Connell Walshe






[207] 1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavā sedang mengunjungi negeri Malla bersama lima ratus bhikkhu. Sesampainya di Pāvā, ibu kota Malla, Beliau menetap di hutan-mangga milik Cunda, si pandai besi.1


1.2. Pada saat itu, sebuah aula-pertemuan baru milik para Malla dari Pāvā yang disebut Ubbhaṭaka,2baru saja dibangun, dan belum dihuni oleh petapa atau Brahmana mana pun, bahkan oleh manusia mana pun juga. Mendengar bahwa Sang Bhagavā sedang berada di hutan mangga milik Cunda, para Malla dari Pāvā menemui Beliau, setelah memberi hormat kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavā, para Malla dari Pāvā baru saja mendirikan sebuah aula-pertemuan baru yang disebut Ubbhaṭaka, dan belum dihuni oleh petapa atau Brahmana mana pun, bahkan oleh manusia mana pun juga. [208] Sudilah Bhagavā menjadi yang pertama menempatinya! Jika Beliau melakukan hal ini, itu adalah demi kebaikan dan kebahagiaan para Malla dari Pāvā untuk waktu yang lama.’ Dan Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.


1.3. Mengetahui persetujuan Beliau, para Malla bangkit, memberi hormat kepada Beliau, berjalan dengan sisi kanan mereka menghadap Beliau dan pergi ke aula-pertemuan. Mereka menyusun alas duduk, menempatkan kendi-kendi air dan lampu minyak, dan kemudian, kembali menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi dan melaporkan, berkata: ‘Kapan saja Bhagavā siap.’


1.4. Kemudian Sang Bhagavā merapikan jubah-Nya, mengambil jubah dan mangkuk, dan pergi ke aula-pertemuan bersama para bhikkhu. Di sana Beliau mencuci kaki-Nya, masuk dan duduk bersandar di pilar tengah, menghadap ke timur. Para bhikkhu, setelah mencuci kaki mereka, masuk dan duduk bersandar di dinding barat, menghadap ke timur, [209] dengan Sang Bhagavā duduk di depan mereka. Dan para Malla dari Pāvā mencuci kaki mereka, masuk dan duduk bersandar di dinding timur, menghadap ke barat dan dengan Sang Bhagavā di hadapan mereka. Kemudian Sang Bhagavā berbicara dengan para Malla tentang Dhamma hingga larut malam, memberikan nasihat, menginspirasi, memicu semangat, dan menggembirakan mereka. Kemudian Beliau membubarkan mereka dengan berkata: ‘Vāseṭṭha,3 malam telah berlalu.4 Sekarang lakukanlah apa yang kalian anggap baik.’ ‘Baiklah, Bhagavā,’ jawab para Malla. Dan mereka bangkit, memberi hormat, dan keluar, berjalan dengan sisi kanan mereka menghadap Sang Bhagavā.


1.5. Segera setelah para Malla pergi, Sang Bhagavā mengamati para bhikkhu yang sedang duduk diam, berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: ‘Para bhikkhu bebas dari kelambanan-dan-ketumpulan,5Sāriputta. Pikirkanlah suatu khotbah Dhamma untuk dibabarkan kepada mereka. Punggung-Ku sakit, Aku ingin meregangkannya.’ ‘Baiklah, Bhagavā,’ jawab Sāriputta. Kemudian Sang Bhagavā, setelah melipat jubah-Nya menjadi empat bagian, berbaring di sisi kanan-Nya dalam posisi singa,6 dengan satu kaki-Nya di atas kaki lainnya dan sadar jernih, dan mengingat dalam pikiran-Nya waktu untuk bangun.


1.6. Pada saat itu, Nigaṇṭha Nātaputta [210] baru saja meninggal dunia di Pāvā. Dan setelah kematiannya, para pengikut Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok, yang selalu bertengkar dan berselisih … (seperti Sutta 29, paragraf 1). Kalian mungkin berpikir bahwa mereka cenderung saling membunuh satu sama lain. Bahkan para pengikut berjubah putih merasa jijik, tidak senang, dan menolak ketika mereka melihat ajaran mereka begitu keliru dinyatakan … setelah dinyatakan oleh seorang yang tidak tercerahkan, dan sekarang dengan penyokongnya meninggal dunia, tanpa seorang yang berwenang.


1.7. Dan Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu, merujuk pada situasi ini, dan berkata: ‘Begitu keliru-dibabarkan, ajaran dan disiplin mereka, begitu keliru diperlihatkan, dan begitu tidak berguna dalam menenangkan nafsu, setelah dinyatakan oleh seorang yang tidak tercerahkan. [211] Tetapi, Teman-teman, Dhamma ini telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Yang Tercerahkan sempurna, dan oleh karena itu, kita akan mengulanginya bersama7 tanpa perbedaan, agar kehidupan suci ini dapat bertahan dan kokoh dalam waktu yang lama, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan kepada dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia. Dan apakah Dhamma ini yang telah dibabarkan oleh Sang Bhagavā …?’


‘Ada satu hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna. Maka kita akan mengulanginya bersama-sama … demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.’


1.8. ‘Apakah satu hal ini?8 (eko dhammo).’


1. ‘Semua makhluk terpelihara oleh makanan (āhāraṭṭhitikā).’


2. ‘Semua makhluk terpelihara oleh kondisi-kondisi (sankhāraṭṭhitikā).9’ [212]


1.9. ‘Ada [kelompok] dua hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā …. Apakah itu?’


1. ‘Batin dan jasmani (nāmañ ca rūpañ ca).’


2. ‘Kebodohan dan keinginan akan penjelmaan (avijjā cabhavataṇhā ca).’


3. ‘Kepercayaan akan keberadaan yang [terus berlanjut] dan kepercayaan akan ke-tiada-an (bhava-diṭṭhi ca vibhava-diṭṭhi ca).’


4. ‘Tidak adanya rasa malu dan rasa takut (ahirikañ ca anottappañ ca).’


5. ‘Rasa malu dan rasa takut (hiri ca ottappañ ca).’


6. ‘Kekasaran dan persahabatan dengan kejahatan (devocassatā ca pāyāṇamittatā ca).’


7. ‘Kelembutan dan persahabatan dengan kebaikan (sovacassatā ca kalyāṇamittatā ca).’


8. ‘Keterampilan dalam [mengetahui] pelanggaran-pelanggaran dan [prosedur untuk] memperbaikinya (āpatti-kusalatā ca āpatti-vuṭṭhāna-kusalatā ca).’


9. ‘Keterampilan dalam masuk dan keluar dari [jhāna] (samāpatti-kusalatā ca samāpatti-vuṭṭhāna-kusalatā ca).10


10. ‘Keterampilan dalam [mengetahui] [delapan belas] unsur-unsur11 dan dalam memerhatikannya (dhātu-kusalatā ca manasikāra-kusalatā-ca).’


11. ‘Keterampilan dalam [mengetahui] [dua belas] bidang-indria (āyatana-k.) dan sebab akibat yang bergantungan.’


12. ‘Keterampilan dalam [mengetahui] apa yang merupakan penyebab dan apa yang bukan (thāna-k. Ca aṭṭhāna-k.).’


13. [213] ‘Kejujuran dan kerendahan hati (ajjavañ ca lajjavañ ca).12


14. ‘Kesabaran dan kelembutan (khanti ca soraccañ ca).’


15. ‘Kelembutan dalam berbicara dan kesopanan (sākhalyañ ca paṭisanthāro ca).’


16. ‘Tidak-mencelakai dan kemurnian (avihiṁsa ca soceyyañ ca).13


17. ‘Tidak adanya Perhatian14 dan kesadaran jernih (muṭṭha-saccañ ca asampajaññañ ca).’


18. ‘Perhatian dan kesadaran jernih (sati ca sampajaññañ ca).’


19. ‘Tidak menjaga pintu-pintu indria dan tidak terkendali dalam hal makan (indriyesu aguttadvāratā ca bhojane amattaññutā ca).’


20. ‘Menjaga pintu-pintu indria dan terkendali dalam hal makan (… guttadvāratā … mataññutā).’


21. ‘Kekuatan refleksi15 dan pengembangan batin (paṭi-sankhāna-balañ ca bhāvanā-balañ ca).’


22. ‘Kekuatan perhatian dan konsentrasi (sati-balañ ca samādhi-balañ ca).’


23. ‘Ketenangan dan pandangan terang (samatho ca vipassanā ca).16


24. ‘Gambaran ketenangan dan menangkap gambaran (samatha-nimittañ ca paggaha-nimittañ ca).’


25. ‘Daya-upaya dan ketidak-kacauan (paggaho ca avikheppo ca).’


26. ‘Pencapaian moralitas dan pandangan [benar] (sīla-sampadā ca diṭṭhi-sampadā ca).’


27. [214] ‘Kegagalan dalam moralitas dan pandangan [benar] (sīla-vipatti ca diṭṭhi-vipatti ca).’


28. ‘Kemurnian moralitas dan pandangan (sīla-visuddhi ca diṭṭhi-visuddhi ca).’


29. ‘Kemurnian pandangan dan usaha untuk mencapainya (diṭṭhi-visuddhi kho pana yathā diṭṭhissa ca padhānaṁ).’


30. ‘Tergerak oleh desakan segera17 oleh apa yang seharusnya menggerakkan seseorang dan usaha sistematis dari seorang yang tergerak demikian (saṁvego ca saṁvejaniyesu ṭhānesu saṁviggassa ca yoniso padhānaṁ).’


31. ‘Tidak merasa puas terhadap perbuatan-perbuatan bermanfaat dan tidak surut dalam berusaha (asantutthitā ca kusalesu dhammesu appaṭivānitā ca padhānasmiṁ).’


32. ‘Pengetahuan dan kebebasan (vijjā ca vimutti ca).’


33. ‘Pengetahuan hancurnya [kekotoran-kekotoran] dan ketidak-munculan[nya] kembali (khaye ñāṇaṁ anuppāde ñāṇaṁ).’


‘Ini adalah [kelompok] dua hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā … maka kita semua harus mengulanginya bersama-sama ….’


1.10. ‘Ada [kelompok] tiga hal …. Apakah itu?’


1. ‘Tiga akar kejahatan: keserakahan, kebencian, kebodohan (lobho akusala-mūlaṁ, doso-akusala-mūlaṁ, moho-akusala-mūlaṁ).’


2. ‘Tiga akar kebaikan: ketidak-serakahan, ketidak-bencian, ketidak-bodohan (alobho …. ).’


3. ‘Tiga jenis perbuatan salah: melalui jasmani, ucapan, dan pikiran (kāya-duccaritaṁ, vacī-duccaritaṁ, mano-duccaritaṁ).’


4. ‘Tiga jenis perbuatan benar: melalui jasmani, ucapan, dan pikiran (kāya-succaritaṁ …. ).’


5. ‘Tiga jenis pikiran jahat (akusala-vitakkā): indriawi, permusuhan, kekejaman (kāma-vitakko, vyāpāda-vitakko, vihiṁsa-vitakko).’


6. ‘Tiga jenis pikiran baik: pelepasan (nekkhamma-vitakko), ketidak-bencian, ketidak-kejaman.’


7. ‘Tiga jenis motivasi (sankappa)18 jahat: melalui indriawi, permusuhan, kekejaman.’


8. ‘Tiga jenis motivasi baik: melalui pelepasan (nekkhamma), ketidak-bencian, ketidak-kejaman.’


9. ‘Tiga jenis persepsi (sañña) jahat: indriawi, permusuhan, kekejaman.’


10. ‘Tiga jenis persepsi baik: pelepasan, ketidak-bencian, ketidak-kejaman.’


11. ‘Tiga jenis unsur (dhātuyo) jahat: indriawi, permusuhan, kekejaman.’


12. ‘Tiga jenis unsur baik: pelepasan, ketidak-bencian, ketidak-kejaman.’


13. ‘Tiga unsur lainnya: unsur keinginan-indria,19 unsur berbentuk, unsur tanpa-bentuk (kāma-dhātu, rūpa-dhatu, arūpa-dhatu).’


14. ‘Tiga unsur lainnya: unsur berbentuk, unsur tanpa-bentuk, unsur pelenyapan20 (rūpa-dhatu, arūpa-dhatu, nirodha-dhātu).’


15. ‘Tiga unsur lainnya: unsur rendah, unsur menengah, unsur tinggi (hīnā dhātu, majjhimā dhātu, paṇītā dhātu).’ [216]


16. ‘Tiga jenis keinginan: keinginan indria, keinginan akan penjelmaan,21 keinginan akan pemusnahan22 (kāma-taṇhā, bhava-taṇhā, vibhava-taṇhā).’


17. ‘Tiga jenis keinginan lainnya: keinginan akan [alam] kenikmatan-indria, [alam] berbentuk, [alam] tanpa bentuk (kāma-taṇhā, rūpa-taṇhā, arūpa-taṇhā).’


18. ‘Tiga jenis keinginan lainnya: keinginan akan [alam] berbentuk, [alam] tanpa bentuk, pelenyapan (seperti (14)).’


19. ‘Tiga belenggu (saṁyojanāni): kepercayaan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan akan upacara dan ritual (sakkāya-diṭṭhi, vicikicchā, sīlabbata-parāmāso).’


20. ‘Tiga kekotoran (āsavā): keinginan-indria, penjelmaan, kebodohan (kāmāsavo, bhavāsavo, avijjāsavo).’


21. ‘Tiga jenis penjelmaan: [di alam] keinginan-indria, berbentuk, tanpa bentuk (kāma-bhavo, rūpa-bhavo, arūpa-bhavo).’


22. ‘Tiga pencarian: keinginan-indria, penjelmaan, kehidupan suci (kāmesanā, bhavesanā, brahmacariyesanā).’


23. ‘Tiga bentuk keangkuhan: “Aku lebih baik daripada ….”, “Aku sama dengan ….”, “Aku lebih buruk daripada ….” (“seyyo ‘ham asmīti” vidhā, “sadiso ‘ham asmīti” vidhā, “hīno ‘ham asmīti” vidhā).’


24. ‘Tiga waktu: masa lampau, masa depan, masa sekarang (atīto addhā, anāgato addhā, paccupanno addhā).’


25. ‘Tiga “ujung” (antā):23 pribadi, munculnya, lenyapnya (sakkāya anto, sakkāya-samudayo anto, sakkāya-nirodho anto).’


26. ‘Tiga perasaan: menyenangkan, menyakitkan, bukan keduanya (sukhā vedanā, dukkhā vedanā, adukkham-asukhā vedanā).’


27. ‘Tiga jenis penderitaan: sebagai kesakitan, sebagai yang melekat pada bentukan-bentukan, sebagai disebabkan oleh perubahan (dukkha-dukkhatā, sankhāra-dukkhatā, vipariṇāma-dukkhatā).’ [217]


28. ‘Tiga akumulasi: kejahatan dengan akibat pasti,24 kebaikan dengan akibat pasti,25 tidak dapat ditentukan (micchatta-niyato rāsi, sammatta-niyato rāsi, aniyato-rāsi).’


29. ‘Tiga yang tidak jelas (tamā):26 bimbang (kankhati), ragu (vicikicchati), tidak terputuskan (nādhimuccati), tidak pasti (na sampasīdati) akan masa lampau, masa depan, masa sekarang.’


30. ‘Tiga hal yang seorang Tathāgata tidak perlu menjaganya: seorang Tathāgata murni sempurna dalam perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran (parisuddha-kāya-, -vacī-, -mano-samācāro). Tidak ada perbuatan salah dari jasmani, ucapan, atau pikiran, yang harus Beliau sembunyikan agar tidak ada orang yang mendengarnya.’


31. ‘Tiga rintangan:27 nafsu, kebencian, kebodohan (rāgo kiñcanaṁ, dosa kiñcanaṁ, moho kiñcanaṁ).’


32. ‘Tiga api: nafsu, kebencian, kebodohan (rāgaggi, dosaggi, mohaggi).’


33. ‘Tiga api lainnya: api dari mereka yang harus dihormati, dari perumah tangga, dari mereka yang layak menerima persembahan28 (āhuneyyaggi, gahapataggi, dakkhineyyaggi).’


34. ‘Tiga pengelompokan materi: terlihat dan menolak, tidak terlihat dan menolak, tidak terlihat dan tidak menolak29 (sanidassana-sappaṭighaṁ rūpaṁ, asanidassana-sappaṭighaṁ rūpaṁ, asanidassana-asappaṭighaṁ rūpaṁ).’


35. ‘Tiga jenis bentukan kamma:30 baik, tidak baik, tidak terganggu31 (puññābhisankhāro, apuññābhisankhāro, āneñjābhisankhāro).’ [218]


36. ‘Tiga individu: pelajar, bukan-pelajar, bukan keduanya32 (sekho puggalo, asekho puggalo, n’evo sekho nāsekho puggalo).’


37. ‘Tiga senior: senior karena kelahiran, dalam Dhamma, karena konvensi33 (jāti-thero, dhamma-thero, sammuti-thero).’


38. ‘Tiga landasan kebajikan: memberi, moralitas, meditasi (dānamayaṁ puñña-kiriya-vatthu, sīlamayaṁ-puñña-kiriya-vatthu, bhāvanāmaya puññā-kiriya-vatthu).’


39. ‘Tiga landasan celaan: berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dicurigai (diṭṭhena, sutena, parisankāya).’


40. ‘Tiga jenis kelahiran kembali di alam keinginan-indria (kāṁupapattiyo):34 Ada makhluk-makhluk yang menginginkan apa yang muncul dengan sendirinya untuk mereka(paccuppaṭṭhita-kāmā),danmenggenggamkeinginan itu, seperti manusia, beberapa dewa dan beberapa makhluk di alam sengsara. Ada makhluk-makhluk yang menginginkan apa yang telah mereka ciptakan (nimmita-kāmā), … seperti para Dewa yang Bergembira dalam Ciptaan Mereka sendiri (Nimmānarati). Ada makhluk-makhluk yang bergembira dalam ciptaan makhluk lain, … seperti para dewa yang memiliki kekuasaan atas Ciptaan Makhluk lain (Parinimmita-vasavatti).’


41. ‘Tiga kelahiran kembali di alam bahagia (sukhupapattiyo):35 Ada makhluk-makhluk yang, setelah terus-menerus menghasilkan kebahagiaan saat ini, berdiam dalam kebahagiaan, seperti kelompok para dewa di alam Brahmā. Ada makhluk-makhluk yang dibanjiri oleh kebahagiaan, dibasahi, dipenuhi, tenggelam dalamnya, sehingga mereka sering berseru: “Oh, betapa bahagianya!” seperti para dewa dengan cahaya gemilang (Ābhassarā). Ada makhluk-makhluk … tenggelam dalam kebahagiaan, yang, bahagia luar biasa, [219] hanya mengalami kebahagiaan sempurna, seperti para dewa dengan cahaya gilang-gemilang (subhakiṇṇā).’


42. ‘Tiga jenis kebijaksanaan: pelajar, bukan-pelajar, bukan keduanya (seperti (36)).’


43. ‘Tiga jenis kebijaksanaan lainnya: berdasarkan pada pemikiran, pada pembelajaran, pada pengembangan batin [meditasi] (cintāmaya paññā, sutamayā paññā, bhāvānāmaya paññā).’


44. ‘Tiga senjata (āvudhāni):36 apa yang didengar seseorang, ketidakterikatan, kebijaksanaan (sutāvudhaṁ, pavivekāvudhaṁ, paññāvuddhaṁ).’


45. ‘Tiga indria:37 mengetahui bahwa seseorang akan mengetahui apa yang tidak diketahui, pengetahuan tertinggi, seseorang yang mengetahui (anaññātaṁ-ñāssāmītindriyaṁ, aññindriyaṁ, aññātā-v-indriyaṁ).’


46. ‘Tiga mata: mata fisik, mata-dewa,38 mata kebijaksanaan39 (maṁsa-cakkhu, dibba-cakkhu, paññā-cakkhu).’


47. ‘Tiga jenis latihan: moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhisīla-sikkhā, adhicitta-sikkhā, adhipaññā-sikkha).’


48. ‘Tiga jenis pengembangan: emosi,40 pikiran, kebijaksanaan (kāya-bhāvanā, citta-bhāvanā, paññā-bhāvanā).’


49. ‘Tiga “tidak terlampaui”: penglihatan, praktik, kebebasan (dassanānuttariyaṁ, paṭipadānuttariyaṁ, vimuttānuttariyaṁ).’


50. ‘Tiga jenis meditasi: dengan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran,41 dengan kelangsungan-pikiran tanpa awal-pikiran, bukan keduanya (savitakko savicāro samādhi, avitakko vicāra-matto samādhi, avitakko avicāro samādhi).’


51. ‘Tiga jenis meditasi lainnya: kekosongan, “tanpa gambaran”, tanpa keinginan (suññato samādhi, animitto samādhi, apaṇihito samādhi).’


52. ‘Tiga kemurnian: jasmani, ucapan, pikiran (kāya-socceyyaṁ, vacī socceyyaṁ, mano-socceyyaṁ).’ [220]


53. ‘Tiga kualitas sang bijaksana:42 sehubungan dengan jasmani, ucapan, pikiran (kāya-moneyyaṁ, vacī-moneyyaṁ, mano-moneyyaṁ).’


54. ‘Tiga keterampilan: dalam kemajuan,43 dalam kemunduran, dalam alat untuk mendapatkan kemajuan (āya-kosalaṁ, apāya-kosalaṁ, upāya-kosalaṁ).’


55. ‘Tiga memabukkan: dengan kesehatan, dengan kemudaan, dengan kehidupan (ārogya-mado, yobbana-mado, jīvita-mado).’


56. ‘Tiga pengaruh utama: diri sendiri, dunia, Dhamma (attādhipateyyaṁ, lokādhipateyyaṁ, dhammādhipateyyaṁ).’


57. ‘Tiga topik diskusi: pembicaraan mengenai masa lampau: “Demikianlah dulu”; mengenai masa depan: “Demikianlah kelak”; mengenai masa sekarang: “Demikianlah sekarang.”’


58. ‘Tiga pengetahuan: mengenai masa lampau seseorang, mengenai kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, kehancuran kekotoran-kekotoran (pubbenivāsānussati-ñāṇaṁ vijjā, sattānaṁ cutupapāte ñāṇaṁ vijjā, āsavānaṁ khaye ñāṇaṁ vijjā).’


59. ‘Tiga kediaman: kediaman-dewa, kediaman-Brahmā, kediaman Ariya44 (dibbo vihāro, Brahmā-vihāro, ariyo vihāro).’


60. ‘Tiga keajaiban:45 kekuatan batin, telepati, nasihat (iddhī-pāṭihāriyaṁ, ādesanā-pāṭihāriyaṁ, anusāsani-pāṭihāroyaṁ).’


‘Ini adalah [kelompok] tiga hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā … maka kita semua harus mengulanginya bersama-sama … demi manfaat, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.’ [221]


1.11. ‘Ada [kelompok] empat hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā ….’


1. ‘Empat landasan perhatian: Di sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, sadar jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keserakahan dan belenggu dunia; ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan …; ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran …; berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, sadar jernih, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan keserakahan dan belenggu dunia.’


2. ‘Empat usaha benar (sammappadhāna): Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginannya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha untuk mencegah munculnya kondisi batin jahat dan tidak bermanfaat. Ia membangkitkan keinginannya … dan berusaha untuk mengatasi kondisi batin jahat dan tidak bermanfaat yang telah muncul. Ia membangkitkan keinginannya … dan berusaha untuk memunculkan kondisi batin baik dan bermanfaat yang belum muncul. Ia membangkitkan keinginannya … dan berusaha untuk mempertahankan kondisi batin baik dan bermanfaat yang telah muncul, tidak membiarkannya memudar, mengembangkannya, hingga kesempurnaan sepenuhnya dari pengembangan.’


3. ‘Empat jalan menuju kekuatan (iddhipādā): Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan konsentrasi kehendak yang disertai dengan usaha kehendak, konsentrasi usaha, … [222] konsentrasi kesadaran dan konsentrasi penyelidikan, disertai penyelidikan yang disertai dengan usaha kehendak.’


4. ‘Empat jhāna: Di sini, seorang bhikkhu, terlepas dari segala keinginan-indria, dari kondisi-kondisi batin yang tidak bermanfaat, memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan menyingkirkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dengan mencapai ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang tanpa kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan meluruhnya kegirangan, tetap tanpa terganggu, penuh perhatian dan berkesadaran jernih, ia mengalami dalam dirinya kegembiraan itu, yang oleh para bijaksana dikatakan: “Berbahagialah ia yang berdiam dengan ketenangan dan keseimbangan,” ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga. Dan setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat yang melampaui kenikmatan dan kesedihan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian.’


5. ‘Empat meditasi konsentrasi (samādhi-bhāvanā). Meditasi ini, ketika dikembangkan dan diperluas, mengarah menuju (a) kebahagiaan di sini dan saat ini (diṭṭhadhamma-sukha), (b) mendapatkan pengetahuan dan penglihatan (ñāṇa-dassana-paṭilābha), (c) perhatian dan kesadaran jernih (sati-sampajañña), dan (c) hancurnya kekotoran-kekotoran (āsavānam khaya).


1. Bagaimanakah praktik ini mengarah menuju kebahagiaan di sini dan saat ini? Di sini, seorang bhikkhu mempraktikkan empat jhāna. [223]


2. Bagaimanakah ini mengarah menuju pengetahuan dan penglihatan? Di sini, seorang bhikkhu memerhatikan persepsi cahaya (ālokasaññaṁ manasikaroti), ia memusatkan pikirannya pada persepsi siang, malam seperti siang, siang seperti malam. Dengan cara ini, dengan pikiran jernih dan tanpa kabut, ia mengembangkan kondisi batin yang terang benderang (sappabhāsaṁ cittaṁ).


3. Bagaimanakah ini mengarah menuju perhatian dan kesadaran jernih? Di sini, seorang bhikkhu mengetahui perasaan-perasaan saat munculnya, saat berada di sana, dan saat lenyapnya; ia mengetahui pikiran-pikiran (vitakka)46 saat munculnya, saat berada di sana, dan saat lenyapnya.


4. Bagaimanakah ini mengarah menuju hancurnya kekotoran-kekotoran? Di sini, seorang bhikkhu berdiam di dalam perenungan muncul dan lenyapnya lima gugus kemelekatan (pañc’upādānakkhandesu udayabbayānupassī): “Ini adalah jasmani, ini adalah munculnya, ini adalah lenyapnya; ini adalah perasaan …; ini adalah persepsi …; ini adalah bentukan-bentukan batin …; ini adalah kesadaran, ini adalah munculnya, ini adalah lenyapnya.”’


6. ‘Empat kondisi tidak terbatas. Di sini, seorang bhikkhu, dengan pikiran dipenuhi cinta-kasih, meliputi satu arah, kemudian arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Kemudian ia berdiam, [224] menebarkan pikiran cinta-kasih ke atas, ke bawah dan ke sekeliling, ke segala tempat, selalu dengan pikiran yang dipenuhi cinta-kasih, berlimpah, meluas, tidak terbatas, tanpa kebencian, atau permusuhan. Dan demikian pula dengan belas-kasihan, kegembiraan simpatik, dan keseimbangan.’


7. ‘Empat jhāna tanpa bentuk. Di sini, seorang bhikkhu, dengan seluruhnya melampaui sensasi jasmani, dengan lenyapnya semua kesan penolakan dan dengan ketidaktertarikan pada persepsi yang beraneka ragam, melihat bahwa ruang adalah tidak terbatas, mencapai dan berdiam di dalam Alam Ruang Tanpa Batas. Dan dengan seluruhnya melampaui Alam Ruang Tanpa Batas, melihat bahwa kesadaran adalah tanpa batas, ia mencapai dan berdiam di dalam Alam Kesadaran Tanpa Batas. Dan dengan seluruhnya melampaui Alam Kesadaran Tanpa Batas, melihat bahwa tidak ada apa-apa di sana, ia mencapai dan berdiam di dalam Alam Kekosongan. Dan dengan seluruhnya melampaui Alam Kekosongan, ia mencapai dan berdiam di dalam Alam Bukan Persepsi Juga Bukan Bukan-persepsi.’


8. ‘Empat dukungan47 (apassenāni): Di sini, seorang bhikkhu menilai bahwa satu hal harus dikejar, satu hal harus dipertahankan, satu hal harus dihindari, satu hal harus ditekan.’


9. ‘Empat silsilah Ariya (ariya-vaṁsa). Di sini, seorang bhikkhu


1. puas dengan jubah lama apa pun, memuji kepuasan demikian, dan tidak mencoba untuk mendapatkan jubah dengan cara yang salah. Ia tidak cemas jika tidak mendapatkan jubah, dan jika ia mendapatkannya, ia tidak serakah, berkeinginan buta, tetapi memanfaatkannya, menyadari bahaya [demikian] dan dengan bijaksana menyadari kegunaan sesungguhnya. Ia juga tidak sombong karena merasa puas dengan jubah lamanya, dan ia tidak mencela yang lain. Dan seseorang yang terampil demikian, tidak mengendur, berkesadaran jernih dan penuh perhatian, [225] disebut sebagai seorang bhikkhu yang sesungguhnya dari para leluhur, asli (aggaññe) bersilsilah Ariya. Kemudian


2. seorang bhikkhu yang puas dengan dana makanan apa pun yang ia peroleh … dan kemudian


3. seorang bhikkhu yang puas dengan tempat tinggal apa pun … dan kemudian


4. seorang bhikkhu, karena senang melepaskan (pahāna), bergembira di dalam pelepasan, dan karena senang mengembangkan (bhāvanā), bergembira di dalam pengembangan, menjadi tidak sombong … dan seorang terampil demikian, tidak mengendur, berkesadaran jernih dan penuh perhatian, disebut sebagai seorang bhikkhu yang sesungguhnya dari para leluhur, asli bersilsilah Ariya.’


10. ‘Empat usaha: usaha untuk (a) mengendalikan (saṁvara-padhanaṁ), (b) melepaskan (pahāna-p.), (c) mengembangkan (bhāvanā-p.), (d) memelihara (anurakkhaṇa-p.).


1. Apakah usaha untuk mengendalikan? Di sini, seorang bhikkhu, ketika melihat objek dengan mata, tidak menggenggam secara keseluruhan atau rinciannya, berusaha untuk mengendalikan [226] apa yang dapat menimbulkan kondisi-kondisi jahat dan tidak bermanfaat, seperti keserakahan atau dukacita, membanjirinya. Demikianlah ia melindungi indria penglihatan dan menjaganya (demikian pula untuk suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, sensasi sentuhan badan, pikiran).


2. Apakah usaha untuk melepaskan? Di sini, seorang bhikkhu tidak menyetujui pikiran nafsu, kebencian, kekejaman yang telah muncul, tetapi meninggalkannya, menyingkirkannya, menghancurkannya, melenyapkannya.


3. Apakah usaha untuk mengembangkan? Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan faktor penerangan sempurna perhatian, berdasarkan pada kesunyian, ketidakterikatan, pemadaman, mengarah menuju kematangan penyerahan (vassagga-pariṇāmiṁ); ia mengembangkan faktor penerangan sempurna penyelidikan kondisi-kondisi, … usaha, … kegembiraan, … ketenangan, … konsentrasi, … keseimbangan, berdasarkan pada kesunyian, ketidakterikatan, pemadaman, mengarah menuju kematangan penyerahan.


4. Apakah usaha untuk memelihara? Di sini, seorang bhikkhu, menjaga dengan kokoh dalam pikirannya objek konsentrasi yang ia sukai yang telah muncul, seperti tulang-belulang, atau mayat yang dipenuhi belatung, biru kehitaman, berlubang-lubang, membengkak.’


11. ‘Empat pengetahuan: pengetahuan Dhamma, yang selaras dengannya (anvaye ñāṇaṁ), pengetahuan pikiran makhluk-makhluk lain48 (paricce ñāṇaṁ), pengetahuan konvensional49(sammuti-ñāṇaṁ).’ [227]


12. ‘Empat pengetahuan lainnya: pengetahuan penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya, sang jalan.’


13. ‘Empat faktor pencapaian-Arus (sotāpattiyangāni): bergaul dengan orang-orang baik (sappurisa-saṁseva), mendengarkan Dhamma sejati, perhatian saksama (yoniso manasikāra), praktik Dhamma secara menyeluruh (dhammānudhamma-paṭipatti).’


14. ‘Empat karakteristik Pemenang-Arus:


1. Di sini, seorang siswa Ariya memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan di dalam Buddha, sebagai: “Sang Bhagavā adalah seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, tercerahkan dan terberkahi.”


2. Ia memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan di dalam Dhamma, sebagai: “Dhamma telah diajarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat di sini dan saat ini, tanpa batas waktu, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dipahami oleh para bijaksana untuk dirinya sendiri.”


3. Ia memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan di dalam Sangha, sebagai: “Sangha, siswa Sang Bhagavā, terarah baik, berperilaku lurus, berada di jalan yang benar, berada di jalan yang sempurna; yaitu empat pasang individu, delapan jenis manusia. Sangha, siswa Sang Bhagavā layak menerima persembahan, layak menerima keramahan, layak menerima pemberian, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada bandingnya di dunia.” Dan


4. ia memiliki moralitas yang disukai oleh Para Mulia, tidak rusak, tanpa cacat, tanpa noda, tidak saling bertentangan, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak kotor, dan mendukung konsentrasi.’


15. ‘Empat buah kehidupan pertapaan: Buah Memasuki-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali, Kearahatan.’ [228]


16. ‘Empat unsur: unsur “tanah”, “air”, “api”, “udara” (paṭhavī-, āpo-, tejo-, vāyo-dhātu).’


17. ‘Empat nutrisi (āhāra): makanan “material”50 (kabalinkāra), kasar atau halus;51 kontak sebagai yang ke dua, kehendak pikiran (manosañcetanā)52 sebagai yang ke tiga; kesadaran sebagai yang ke empat.’


18. ‘Empat bidang kesadaran (viññāṇa-ṭṭhitiyo): kesadaran berpijak pada (a) dalam hubungan dengan jasmani, dengan jasmani sebagai objek, sebagai tempat kenikmatan, atau hal yang sama sehubungan dengan (b) perasaan, (c) persepsi, atau (d) bentukan-bentukan pikiran, dan di sana kesadaran itu tumbuh, meningkat dan berkembang.’


19. ‘Empat cara melakukan kesalahan (agata-gamamāni): Seseorang melakukan kesalahan melalui keinginan (chanda),53 kebencian, kebodohan, ketakutan.’


20. ‘Empat kemunculan keinginan: keinginan muncul dalam diri seorang bhikkhu karena jubah, dana makanan, tempat tinggal, ke-ada-an dan ke-tiada-an54 (iti-bhavābhava-hetu).’


21. ‘Empat jenis kemajuan: (a) Kemajuan menyakitkan dengan pemahaman lambat, (b) Kemajuan menyakitkan dengan pemahaman cepat, (c) Kemajuan menyenangkan dengan pemahaman lambat, (d) Kemajuan menyenangkan dengan pemahaman cepat.55’ [229]


22. ‘Empat jenis kemajuan lainnya: kemajuan dengan ketidaksabaran (akkhamā paṭipadā), (b) kemajuan sabar (khamā p.), (c) kemajuan terkendali (damā p.), (d) kemajuan tenang (samā paṭipadā).56


23. ‘Empat jalan Dhamma:57 (a) tanpa keserakahan, (b) tanpa permusuhan, (c) dengan perhatian benar, (d) dengan konsentrasi benar.’


24. ‘Empat cara melaksanakan Dhamma: Ada cara yang


1. menyakitkan sekarang dan menghasilkan akibat yang menyakitkan di masa depan (dukkha-vipākaṁ),


2. menyakitkan sekarang dan menghasilkan akibat yang menyenangkan di masa depan (sukha-vipākaṁ),


3. menyenangkan sekarang dan menghasilkan akibat yang menyakitkan di masa depan, dan


4. menyenangkan sekarang dan menghasilkan akibat yang menyenangkan di masa depan.’


25. ‘Empat kelompok Dhamma: moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan.’


26. ‘Empat kekuatan:58 usaha, perhatian, konsentrasi, kebijaksanaan.’


27. ‘Empat jenis tekad (adhiṭṭhānāni): [untuk memperoleh] (a) kebijaksanaan, (b) kebenaran (sacca),59 (c) pelepasan (cāga), (d) ketenangan (upasama).60


28. ‘Empat cara menjawab pertanyaan: pertanyaan (a) dijawab secara langsung (ekaṁsa-vyākaraṇiyo pañho), (b) memerlukan penjelasan (vibhajja-v. p.), (c) memerlukan pertanyaan balik (paṭipucchā-v.p.), (d) yang diabaikan (ṭhāpanīyo pañha).’ [230]


29. ‘Empat jenis kamma: ada


1. kamma hitam dengan akibat hitam (kaṇha-vipākaṁ),


2. kamma cerah dengan akibat cerah (sukka-v.),


3. kamma hitam-dan-cerah dengan akibat hitam-dan-cerah (kaṇha-sukka v.),


4. kamma yang bukan-hitam dan bukan-cerah (akaṇham-asukkaṁ), dengan akibat yang bukan-hitam dan bukan-cerah, yang mengarah menuju hancurnya kamma.61


30. ‘Empat hal yang harus dicapai dengan melihat (sacchikaraṇīyā dhammā):62 (a) kehidupan lampau, dicapai dengan mengingat (satiyā),63 (b) kematian dan kemunculan kembali dicapai dengan mata [-dewa],64 (c) delapan pembebasan, dicapai dengan tubuh batin (kāyena),65 (d) hancurnya kekotoran-kekotoran, dicapai dengan kebijaksanaan.’


31. ‘Empat banjir (oghā): indriawi, penjelmaan, pandangan-pandangan [salah], kebodohan.’


32. ‘Empat gandar (yogā)66 (=(31)).’


33. ‘Empat “melepaskan gandar” (visaṁyogā): dari indriawi, penjelmaan, pandangan-pandangan, kebodohan.’


34. ‘Empat ikatan (ganthā):67 “ikatan-tubuh”68 (kāya-gantha) dari keserakahan (abhijjhā), kebencian (vyāpāda), keterikatan pada upacara dan ritual (sīlabbata-parāmāsa), fanatik dogmatis (idaṁ-saccā-bhinivesa).’


35. ‘Empat kemelekatan (upādānāni): kepada indriawi, kepada pandangan-pandangan (diṭṭhi), kepada peraturan dan ritual (sīlabbata-pārāmāsa), kepada kepercayaan-aku (attavāda).’


36. ‘Empat jenis kelahiran:69 dari telur, dari rahim, dari kelembaban,70 kelahiran spontan (opapātika-yoni).71’ [231]


37. ‘Empat cara masuk ke dalam rahim:


1. seseorang masuk ke dalam rahim ibunya tanpa menyadarinya, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya;


2. seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya;


3. seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya;


4. seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar. (seperti sutta 28, paragraf 5).’


38. ‘Empat cara mendapatkan pribadi baru (attabhāva-paṭi-lābhā):72 Pribadi diperoleh dengan cara (a) kehendak sendiri, bukan kehendak orang lain, (b) kehendak orang lain, bukan kehendak sendiri, (c) keduanya, (d) bukan keduanya.’


39. ‘Empat pemurnian persembahan (dakkhiṇā-visuddhiyo): terdapat persembahan yang dimurnikan (a) oleh si pemberi tetapi bukan oleh si penerima, (b) oleh si penerima tetapi bukan oleh si pemberi, (c) oleh bukan keduanya, [232] (d) oleh keduanya.’


40. ‘Empat alasan simpati (saṁgaha-vatthūni): kedermawanan, ucapan yang menyenangkan, perbuatan yang bermanfaat, dan sikap tidak membedakan.’


41. ‘Empat cara berbicara bukan-Ariya: berbohong, memfitnah, kata-kata kasar, pembicaraan yang tidak bertujuan.’


42. ‘Empat cara berbicara Ariya: menghindari kebohongan, memfitnah, kata-kata kasar, pembicaraan yang tidak bertujuan.’


43. ‘Empat cara berbicara bukan-Ariya lainnya: mengaku telah melihat, mendengar, merasakan (muta),73 mengetahui apa yang tidak ia lihat, dengar, rasakan, ketahui.’


44. ‘Empat cara berbicara Ariya lainnya: menyatakan telah melihat, mendengar, merasakan (muta), mengetahui apa yang ia lihat, dengar, rasakan, ketahui.’


45. ‘Empat cara berbicara bukan-Ariya lainnya: mengaku tidak melihat, mendengar, merasakan mengetahui apa yang ia lihat, dengar, rasakan, ketahui.’


46. ‘Empat cara berbicara Ariya lainnya: menyatakan tidak melihat, mendengar, merasakan mengetahui apa yang ia tidak lihat, dengar, rasakan, ketahui.’


47. ‘Empat pribadi: Di sini seorang tertentu (a) menyiksa dirinya sendiri (attan-tapo hoti), memiliki kebiasaan menyiksa diri sendiri, (b) menyiksa orang lain (paran-tapo hoti), … (c) menyiksa diri sendiri dan orang lain, … (d) tidak menyiksa diri sendiri dan tidak menyiksa orang lain … dengan demikian [233] ia berdiam dalam kehidupan ini tanpa keinginan, terbebas (nibbuto), sejuk, menikmati kebahagiaan, menjadi seperti Brahmā (brahmā-bhūtena).74


48. ‘Empat pribadi lainnya: Di sini seseorang dalam hidupnya memberikan manfaat (a) kepada dirinya sendiri tetapi tidak kepada orang lain, (b) kepada orang lain tetapi tidak kepada dirinya sendiri,75 (c) bukan keduanya, (d) keduanya.’


49. ‘Empat pribadi lainnya: (a) hidup dalam kegelapan dan menuju kegelapan (tamo tamaparāyana), (b) hidup dalam kegelapan dan menuju cahaya (tamo jotiparāyana), (c) hidup dalam cahaya dan menuju kegelapan, (d) hidup dalam cahaya dan menuju cahaya.’


50. ‘Empat pribadi lainnya: (a) petapa yang tidak tergoyahkan (samaṇam-acalo), (b) petapa ‘teratai-biru’, (c) petapa ‘teratai-putih’, (d) petapa halus-sempurna (samaṇa-sukhumālo).76


Ini adalah [kelompok] empat hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā … maka kita semua harus mengulanginya bersama-sama … demi manfaat, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan manusia.’


[Akhir dari bagian pembacaan pertama]


2.1. ‘Ada [kelompok] lima hal yang dengan sempurna dibabarkan ….’


1. ‘Lima gugus: jasmani, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan batin, kesadaran.’


2. ‘Lima gugus kemelekatan (pancūpādāna-kkhandhā) (seperti (1)).’ [234]


3. ‘Lima helai keinginan-indria (pañca kāma-guṇa): pemandangan yang terlihat oleh mata, suara yang terdengar oleh telinga, bau yang tercium oleh hidung, rasa-kecapan yang terasa oleh lidah, objek sentuhan yang tersentuh oleh badan, yang menyenangkan, menarik, indah, memikat, berhubungan dengan nafsu, dan membangkitkan keinginan yang besar.’


4. ‘Lima alam tujuan [setelah kematian] (gatiyo): neraka (nirayo),77 kelahiran kembali di alam binatang (tiracchāna-yoni),78 alam hantu kelaparan (petā), manusia, alam dewa.’


5. ‘Lima jenis kekikiran (macchariyāni):79 sehubungan dengan tempat tinggal, keluarga,80perolehan, kecantikan (vaṇṇa), Dhamma.’


6. ‘Lima rintangan: indriawi (kāmacchanda), kebencian (vyāpāda), kelambanan dan ketumpulan (thīna-middha), kekhawatiran-dan-kegelisahan (uddhacca-kukkuca), keragu-raguan skeptis (vicikicchā).’


7. ‘Lima belenggu yang lebih rendah: kepercayaan-akan-diri (sakkāya-diṭṭhi), keragu-raguan, keterikatan akan upacara dan ritual (sīlabbata-parāmāsa), indriawi, kebencian.’


8. ‘Lima belenggu yang lebih tinggi: keinginan akan alam berbentuk (rūpa-raga), keinginan akan alam tanpa bentuk (arūpa-rāga), keangkuhan (māna), kegelisahan (uddhacca), kebodohan.’ [235]


9. ‘Lima peraturan latihan (sikkhāpadāni): menghindari pembunuhan, perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, pelanggaran seksual, kebohongan, minuman keras dan obat-obatan yang menyebabkan kelambanan (surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā).’


10. ‘Lima hal yang tidak mungkin: Seorang Arahat tidak mampu (a) dengan sengaja melakukan pembunuhan; (b) mengambil apa yang tidak diberikan yang merupakan tindakan pencurian; (c) melakukan hubungan seksual; (d) dengan sengaja berbohong; (e) menyimpan barang-barang untuk kenikmatan indria seperti yang ia lakukan sebelumnya sewaktu masih menjalani kehidupan rumah tangga (seperti Sutta 29, paragraf 26).’


11. ‘Lima jenis kehilangan (vyasanāni): kehilangan sanak-saudara, kekayaan, kesehatan, moralitas, pandangan [benar]. Tidak ada makhluk-makhluk yang terjatuh ke alam rendah, alam neraka … setelah kematian karena kehilangan sanak-saudara, kekayaan, atau kesehatan; tetapi makhluk-makhluk akan jatuh ke dalam kondisi demikian karena kehilangan moralitas dan pandangan benar.’


12. ‘Lima jenis perolehan (sampadā): memperoleh sanak-saudara, kekayaan, kesehatan, moralitas, pandangan [benar]. Tidak ada makhluk-makhluk yang naik ke alam bahagia, alam surga karena memperoleh sanak-saudara, kekayaan, atau kesehatan; tetapi makhluk-makhluk akan terlahir kembali di dalam kondisi demikian karena memperoleh moralitas dan pandangan benar.’


13. ‘Lima bahaya bagi mereka yang tidak bermoral karena jatuh dari moralitas (seperti Sutta 16, paragraf 1.23).’ [236]


14. ‘Lima manfaat bagi mereka yang bermoral karena memelihara moralitas (seperti Sutta 16, paragraf 1.24).’


15. ‘Lima hal yang harus diingat oleh seorang bhikkhu yang ingin menegur bhikkhu lain: (a) Aku akan berbicara di waktu yang tepat, bukan di waktu yang salah, (b) Aku akan mengatakan kebenaran, bukan kebohongan, (c) Aku akan berbicara dengan lembut, tidak dengan kasar, (d) Aku akan berbicara demi keuntungannya, [237] bukan kerugiannya, (e) Aku akan berbicara dengan pikiran penuh cinta kasih, dan bukan dengan permusuhan.’


16. ‘Lima faktor usaha: Di sini, seorang bhikkhu


1. memiliki keyakinan, percaya di dalam pencerahan Sang Tathāgata: “Demikianlah Sang Bhagavā adalah seorang Arahat, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna ….” (seperti Sutta 3, paragraf 1.2),


2. berada dalam kesehatan yang baik, mengalami sedikit kesusahan atau penyakit, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu panas dan terlalu dingin tetapi dalam temperatur sedang yang cocok untuk berusaha,


3. tidak licik atau tidak jujur, memperlihatkan dirinya sebagaimana adanya kepada gurunya atau para bijaksana di antara teman-temannya di dalam kehidupan suci ini,


4. mempertahankan usahanya bergerak secara konstan dalam melepaskan kondisi-kondisi tidak bermanfaat dan membangkitkan kondisi-kondisi bermanfaat, dan kokoh, mantap dalam gerak maju dan mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat,


5. adalah seorang bijaksana, memiliki kebijaksanaan sehubungan dengan muncul dan lenyapnya, dengan penembusan Ariya yang mengarah menuju kehancuran penderitaan secara total.’


17. ‘Lima Alam Murni (suddhāvāsā):81 Aviha,82 Tanpa Kekhawatiran (Attappā), Terlihat Jelas (Suddasā), Berpandangan Jelas (Sudassī), Tanpa Bandingan (Akaniṭṭhā).’


18. (18) ‘Lima jenis Yang-Tidak-Kembali (anāgāmī):83 “kurang dari setengah perjalanan”, “lebih dari setengah perjalanan”, “yang mencapai tanpa perlu berusaha”, “yang mencapai dengan usaha”, “ia yang naik ke atas menuju yang tertinggi”.’


19. (19) ‘Lima penghalang batin (ceto-khīlā): Di sini, seorang bhikkhu memiliki [238] keragu-raguan dan kebimbangan (a) sehubungan dengan Sang Guru, tidak puas dan tidak dapat memutuskan. Dengan demikian, pikirannya tidak dapat diarahkan kepada semangat, ketekunan, dan usaha; (b) sehubungan dengan Dhamma …; (c) sehubungan dengan Sangha …; (d) sehubungan dengan latihan …; (e) ia marah dan kecewa dengan teman-temannya dalam kehidupan suci, ia merasa tidak senang dan negatif terhadap mereka, dengan demikian, pikirannya tidak dapat diarahkan kepada semangat, ketekunan, dan usaha.’


20. (20) ‘Lima belenggu batin (cetaso vinibandhā):84 Di sini, seorang bhikkhu yang belum melenyapkan nafsu, hasrat, cinta, kehausan (pipāsa),85 demam, keinginan (taṇhā) (a) akan keinginan-indria (kāme): dengan demikian, pikirannya tidak dapat diarahkan kepada semangat, ketekunan, dan usaha; (b) akan tubuh jasmani (kāye), … (c) akan objek-objek fisik (rūpe), … atau (d) setelah makan sebanyak yang dapat diterima perutnya, ia menyerah pada keinginan untuk berbaring, kontak, atau kelambanan; atau (e) [239] ia melatih kehidupan suci demi untuk menjadi anggota beberapa tubuh dewa (deva-nikāya), berpikir: “Dengan ritual atau disiplin ini, latihan ini atau kehidupan suci ini, aku akan menjadi salah satu di antara para dewa, besar atau kecil,” dengan demikian, pikirannya tidak dapat diarahkan kepada semangat, ketekunan, dan usaha.’


21. (21) ‘Lima indria (indriyāni): indria mata, telinga, hidung, lidah, badan.’


22. (22) ‘Lima indria lainnya: perasaan [jasmani] yang menyenangkan (sukha), kesakitan (dukkha), kegembiraan (somanassa), kesedihan (domanassa), perasaan seimbang (upekkhā).’


23. (23) ‘Lima indria lainnya: keyakinan (saddhā), usaha, perhatian, konsentrasi, kebijaksanaan.’


24. (24) ‘Lima unsur yang mengarah menuju pembebasan (nissaraṇīyā dhātuyo): (a) Di sini, seorang bhikkhu, ketika memikirkan keinginan-indria, pikirannya tidak menerkamnya dan puas di dalamnya, tidak terpusat padanya atau menggunakannya sesuka hatinya,86 tetapi ketika ia memikirkan pelepasan keduniawian, pikirannya menerkamnya, puas di dalamnya, terpusat padanya dan menggunakannya sesuka hatinya. Dan ia mengukuhkan [240] pikiran ini, dikembangkan dengan baik, ditingkatkan, dibebaskan, dan diputuskan dari keinginan-indria. Dan dengan demikian, ia bebas dari kekotoran (āsavā), kesulitan dan demam yang muncul dari keinginan-indria, dan ia tidak merasakan perasaan [indriawi] itu. Dan hal yang sama berlaku untuk (b) kebencian, (c) kekejaman, (d) bentuk-bentuk (rūpa),87 (e) pribadi (sakkāya).’ [241]


25. (25) ‘Lima landasan pembebasan (vimuttāyatanāni): Di sini, (a) Sang Guru atau seorang rekan bhikkhu yang terhormat mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu. Dan sewaktu ia menerima ajaran itu, ia menangkap makna dan kata-kata dari ajaran itu. Mendengar ajaran itu, kegembiraan muncul dalam dirinya, dan dari kegembiraan ini, muncul kegirangan (pīti); dan dengan kegirangan ini, indria-indrianya ditenangkan, ia merasakan kebahagiaan (sukhaṁ) sebagai akibatnya, dan dengan kebahagiaan ini, pikirannya kokoh;88 (b) ia belum pernah mendengarkan seperti itu, tetapi sewaktu pembabaran Dhamma kepada orang lain, ia mempelajarinya sewaktu mendengarkan; atau (c) sewaktu ia mengulangi Dhamma …; (d) [242] … ketika ia mengarahkan pikirannya kepada Dhamma, memikirkan dan merenungkannya dan mengonsentrasikan perhatian padanya (anupekkhati); atau (e) ketika ia dengan benar menangkap suatu gambaran-konsentrasi (samādhi-nimittaṁ), mempertimbangkannya dengan baik, mengarahkan pikirannya padanya (suppaṭividdhaṁ paññāya). Karena hal ini, kegembiraan muncul dalam dirinya, dan dari kegembiraan ini, muncul kegirangan; dan dengan kegirangan ini, indria-indrianya ditenangkan, [243] ia merasakan kebahagiaan sebagai akibatnya, dan dengan kebahagiaan ini, pikirannya kokoh.’


26. (26) ‘Lima persepsi yang mengarah menuju kematangan kebebasan: persepsi ketidakkekalan (anicca-saññā), penderitaan dalam ketidakkekalan (anicce dukkha-saññā), ke-tanpa-diri-an dalam penderitaan (dukkhe anatta-saññā), melepaskan (pahāna-saññā), kebosanan (virāga-saññā).’


‘Ini adalah [kelompok] lima hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā ….’


2.2. ‘Ada [kelompok] enam hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā ….’


1. ‘Enam landasan-indria internal (ajjhattikāni āyatanāni): landasan-mata, -telinga, -hidung, -lidah, -badan (kāyāyatanaṁ), landasan-indria-pikiran (manāyatanaṁ).’


2. ‘Enam landasan-indria eksternal (bahirāni āyatanāni): objek-objek penglihatan (rūpayatanaṁ), -suara-suara, -bau-bauan, -rasa-kecapan, objek-objek sentuhan (dhammāyatanaṁ).’


3. ‘Enam kelompok kesadaran (viññāṇa-kāyā): kesadaran-mata, -telinga, -hidung, -lidah, -badan, kesadaran-pikiran.’


4. ‘Enam kelompok kontak (phassa-kāyā): kontak-mata, -telinga, -hidung, -lidah, -badan, kontak-pikiran.’


5. ‘Enam kelompok perasaan (vedanā-kāyā): perasaan yang muncul karena kontak-mata (cakkhu-samphassajā vedanā), [244] -telinga, -hidung, -lidah, -badan, kontak-pikiran.’


6. ‘Enam kelompok persepsi (saññā-kāyā): persepsi penglihatan (rūpa-saññā), suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, sentuhan, objek-objek pikiran (dhamma-saññā).’


7. ‘Enam kelompok kehendak (sañcetanā-kāyā): kehendak yang berdasarkan pada penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, sentuhan, objek-objek pikiran.’


8. ‘Enam kelompok keinginan (taṇhā-kāyā): keinginan akan penglihatan, suara-suara, bau-bauan, rasa-kecapan, sentuhan, objek-objek pikiran.’


9. ‘Enam jenis sikap tidak-hormat (agāravā): Di sini, seorang bhikkhu bersikap tidak hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, Sangha, latihan, sehubungan dengan ketekunan (appamāde), keramahan (paṭisanthāre).’


10. ‘Enam jenis sikap hormat (gāravā): Di sini, seorang bhikkhu bersikap hormat … (seperti (9)).’


11. ‘Enam penyelidikan yang menyenangkan (somanassūpavicārā):89 Pada saat, ketika melihat suatu objek-penglihatan dengan mata, ketika mendengar …, mencium …, mengecap …, menyentuh …, mengetahui suatu objek-pikiran dengan pikiran, ia menyelidiki objek yang bersesuaian yang mendukung kesenangan.’ [245]


12. ‘Enam penyelidikan yang tidak-menyenangkan: (seperti (11) tetapi: mendukung ketidaksenangan).’


13. ‘Enam penyelidikan yang tidak-membedakan: (seperti (11) tetapi: mendukung ketidakberbedaan).’


14. ‘Enam hal yang mendukung pada kehidupan bersama (sārāṇīyā dhammā):90 Selama para bhikkhu, baik di depan umum maupun di tempat pribadi memperlihatkan cinta-kasih terhadap sesama teman dalam tindakan jasmani, ucapan, dan pikiran, … berbagi dengan sesama teman apa yang mereka terima sebagai pemberian yang benar, termasuk isi dari mangkuk dana mereka, yang tidak mereka simpan untuk diri sendiri, … mempertahankan dengan konsisten, tanpa cacat, dan tanpa perubahan peraturan-peraturan disiplin yang tanpa noda, mengarah menuju kebebasan, yang dipuji oleh para bijaksana, tanpa noda, dan mendukung konsentrasi, dan mempertahankan bersama teman-teman bhikkhu, baik di depan umum maupun di tempat pribadi, … melanjutkan dalam pandangan mulia yang mengarah menuju kebebasan, menuju penghancuran penderitaan secara total, berdiam dalam kewaspadaan bersama teman-teman para bhikkhu, baik di depan umum maupun di tempat pribadi (seperti Sutta 16, paragraf 1.11).’ [246]


15. ‘Enam akar perselisihan (vivāda-mūlāni): Di sini, (a) seorang bhikkhu marah dan memendam kebencian, ia tidak hormat dan tidak sopan terhadap Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan tidak menyelesaikan latihannya. Ia menyulut perselisihan di dalam Sangha, yang membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi banyak orang, yang berakibat buruk, kemalangan dan penderitaan bagi para dewa dan manusia. Jika, Teman-teman, kalian menemukan akar perselisihan demikian di dalam diri kalian atau orang lain, kalian harus berusaha menyingkirkan akar perselisihan itu. Jika kalian tidak menemukan akar perselisihan demikian …, maka kalian harus berusaha mencegah akar tersebut menguasai kalian di masa depan. Atau (b) seorang bhikkhu tidak jujur dan berniat jahat (makkhī hoti paḷāsī) …, (c) seorang bhikkhu dipenuhi dengan keinginan jahat dan pandangan salah …, (d) seorang bhikkhu menggenggam erat-erat opini-opininya (sandiṭṭhi-parāmāsī), keras kepala, bandel. [247] Jika, Teman-teman, kalian menemukan akar perselisihan demikian di dalam diri kalian atau orang lain, kalian harus berusaha menyingkirkan akar perselisihan itu. Jika kalian tidak menemukan akar perselisihan demikian …, maka kalian harus berusaha mencegah akar tersebut menguasai kalian di masa depan.’


16. ‘Enam unsur: unsur-tanah, -air, -api, -udara, -ruang (ākāsa-dhātu), unsur-kesadaran (viññāṇa-dhātu).91


17. ‘Enam unsur yang mengarah menuju pembebasan (nissaraṇīyā dhātuyo): Di sini, seorang bhikkhu mengatakan:


1. “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran (ceto-vimutti) dengan cinta-kasih (metta), [248] memperluasnya, menjadikannya kendaraan dan landasan, kokoh, mengusahakannya dengan baik, melatihnya dengan baik. Namun, kebencian masih membelenggu pikiranku.” Ia harus diberitahu: “Tidak, jangan berkata begitu! Jangan keliru memahami Sang Bhagavā, tidaklah benar memfitnah Beliau demikian, karena Beliau tidak akan mengatakan hal-hal seperti itu! Kata-katamu tidak beralasan dan tidak mungkin. Jika engkau mengembangkan pembebasan pikiran dengan cinta-kasih. Pembebasan melalui cinta-kasih adalah penawar bagi kebencian.” Atau


2. ia mengatakan: “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran dengan belas-kasihan (karuṇā), dan kekejaman masih membelenggu pikiranku ….” Atau


3. “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran dengan kegembiraan simpatik (muditā), dan ketidaksenangan (arati) masih membelenggu pikiranku ….” [249] Atau


4. ia mengatakan: “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran dengan keseimbangan (Upekkhā), dan nafsu (rāgo) masih membelenggu pikiranku ….” Atau


5. ia mengatakan: “Aku telah mengembangkan kebebasan tanpa gambaran dari pikiran (animitta ceto-vimutti),92 namun pikiranku masih menginginkan gambaran (nimittānusāri hoti) ….” Atau (f) ia mengatakan: “Aku telah menolak gagasan ‘Aku’, aku tidak memedulikan gagasan ‘Aku’. Namun keragu-raguan, kebimbangan, dan masalah masih membelenggu pikiranku ….” [250] (dijawab serupa dengan (a)).’


18. ‘Enam hal tidak terlampaui (anuttariyāni):93 penglihatan-penglihatan, hal-hal terdengar, perolehan, latihan, bentuk-bentuk pelayanan (paricāriyānuttariyaṁ), objek-objek perenungan [tertentu].’


19. ‘Enam subyek perenungan (anussati-ṭṭhānāni): Sang Buddha, Dhamma, Sangha, moralitas, pelepasan keduniawian, para dewa.’


20. ‘Enam kondisi kokoh (satata-vihārā):94 Ketika melihat suatu objek dengan mata, mendengar suara …, mencium bau …, mengecap rasa …, menyentuh objek sentuhan …, atau mengenali objek pikiran dengan pikiran, seseorang tidak merasa senang (sumano) juga tidak merasa tidak senang (dummano), tetapi tetap seimbang (upekhako), penuh perhatian, dan sadar jernih.’


21. ‘Enam “kelompok makhluk” (ābhijātiyo): Di sini,


1. seseorang yang terlahir dalam kondisi gelap, [251] menjalani kehidupan yang gelap,


2. seseorang yang terlahir dalam kondisi gelap, menjalani kehidupan yang cerah,


3. seseorang yang terlahir dalam kondisi gelap, mencapai Nibbāna, yang tidak gelap dan juga tidak cerah,


4. seseorang yang terlahir dalam kondisi cerah, menjalani kehidupan yang gelap,


5. seseorang yang terlahir dalam kondisi cerah, menjalani kehidupan yang cerah,


6. seseorang yang terlahir dalam kondisi cerah, mencapai Nibbāna, yang tidak gelap dan juga tidak cerah.’


22. ‘Enam persepsi yang mendukung penembusan (nibbedha- bhāgiyā-saññā): persepsi ketidakkekalan, penderitaan dalam ketidak-kekalan, ke-tanpa-diri-an dalam penderitaan, melepaskan, kebosanan (seperti Sutta 33, paragraf 2.1 (26)), dan persepsi pelenyapan (nirodha-saññā).’


‘Ini adalah [kelompok] enam hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā ….’


2.3. ‘Ada [kelompok] tujuh hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā ….’


1. ‘Tujuh pusaka Ariya (ariya-dhanāni): keyakinan, moralitas, rasa malu (hiri), rasa takut (ottappa), pembelajaran (suta), pelepasan (cāga), kebijaksanaan.’


2. ‘Tujuh faktor penerangan sempurna (sambojjhanga): perhatian, penyelidikan fenomena, usaha, kegembiraan (pīti), ketenangan, konsentrasi, keseimbangan.’


3. ‘Tujuh prasyarat konsentrasi:95 pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar.’


4. ‘Tujuh praktik salah (asaddhammā): Di sini, seorang bhikkhu tidak berkeyakinan, tidak memiliki rasa malu, tidak memiliki rasa takut, sedikit belajar, semangatnya mengendur (kusīto), tidak memiliki perhatian (muṭṭhassati), tidak memiliki kebijaksanaan.’


5. ‘Tujuh praktik benar (saddhammā): Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, rasa malu, rasa takut, banyak belajar, semangatnya meningkat (āraddha-viriyo), memiliki perhatian yang kokoh (upaṭṭhita-sati hoti), memiliki kebijaksanaan.’


6. ‘Tujuh kualitas manusia sejati (sappurisa-dhamma):96 Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang pengenal Dhamma, makna-makna (atthaññū), diri (attaññū),97 bersikap tidak berlebihan (mataññū), mengetahui waktu yang tepat, mengetahui kelompok-kelompok, memiliki kebijaksanaan.’


7. ‘Tujuh landasan pujian (niddasa-vatthūni),98 di sini seorang bhikkhu, ingin sekali (a) menjalankan latihan dan ingin terus-menerus menjalankannya, (b) mempelajari Dhamma dengan saksama, (c) menyingkirkan keinginan-keinginan, (d) mencari kesunyian, (e) meningkatkan usaha, (f) mengembangkan perhatian dan pembedaan (sati-nepakke), [253] (g) mengembangkan pandangan terang penembusan.99


8. ‘Tujuh persepsi: persepsi ketidakkekalan, tanpa-diri, kejijikan (asubhasaññā), bahaya, pelepasan, kebosanan, pelenyapan.’


9. ‘Tujuh kekuatan (balāni): keyakinan, usaha, rasa malu, rasa takut, perhatian, konsentrasi, kebijaksanaan.’


10. ‘Tujuh bidang kesadaran: Makhluk-makhluk (a) berbeda dalam jasmani dan berbeda dalam persepsi; (b) berbeda dalam jasmani dan sama dalam persepsi; (c) sama dalam jasmani dan berbeda dalam persepsi; (d) sama dalam jasmani dan sama dalam persepsi; (e) yang mencapai Alam Ruang Tanpa Batas; (f) … Kesadaran Tanpa Batas; (g) … Kekosongan. (seperti Sutta 15, paragraf 33).’


11. ‘Tujuh individu yang layak menerima persembahan: Yang Terbebaskan dalam Kedua-Arah [254], Terbebaskan-oleh-Kebijaksanaan, Yang-Menyaksikan-Jasmani, Yang-Mencapai-Penglihatan, Terbebaskan-oleh-Keyakinan, Pengikut-Dhamma, Pengikut-Keyakinan (seperti Sutta 28, paragraf 8).’


12. ‘Tujuh kecenderungan tersembunyi (anusayā): keserakahan indriawi (kāma-rāga), ketidak-senangan (paṭigha), pandangan-pandangan, keragu-raguan, keangkuhan, keinginan akan penjelmaan (bhava-rāga), kebodohan.’


13. ‘Tujuh belenggu (saṁyojanāni): keinginan untuk menyenangkan (anunaya),100ketidaksenangan (selanjutnya seperti (12)).’


14. ‘Tujuh aturan untuk menenangkan dan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan:101 (a) secara langsung berhadapan, (b) perenungan (sati), (c) kekacauan pikiran, (d) pengakuan, (e) keputusan dengan suara terbanyak, (f) kebiasaan buruk, (g) “menutup dengan rumput”.’


Ini adalah [kelompok] tujuh hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā … maka kita semua harus mengulanginya bersama-sama … demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.’


[Akhir dari bagian pembacaan ke dua]


3.1. ‘Ada [kelompok] delapan hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā ….’


1. ‘Delapan faktor salah (micchattā): pandangan salah … (kebalikan dari (2) di bawah).’ [255]


2. ‘Delapan faktor benar (sammattā): pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar.’


3. ‘Delapan individu yang layak menerima persembahan:102 Pemenang-Arus dan seorang yang telah berlatih untuk mencapai buah Memasuki-Arus, Yang-Kembali-Sekali …, Yang-Tidak-Kembali …, Arahat dan seorang yang telah berlatih untuk mencapai buah Arahat.’


4. ‘Delapan kesempatan kelambanan (kusīta-vatthūni): Di sini, seorang bhikkhu


1. memiliki tugas yang harus dilakukan. Ia berpikir: “Ada tugas yang harus kulakukan, tetapi tugas ini akan membuatku lelah. Aku akan beristirahat.” Maka ia berbaring dan tidak mengerahkan cukup usaha untuk melengkapi apa yang belum lengkap, untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, untuk mencapai apa yang belum dicapai. Atau


2. ia telah melakukan suatu pekerjaan, dan berpikir: “Aku telah melakukan pekerjaan ini, sekarang aku lelah. Aku akan beristirahat. Maka ia berbaring … Atau


3. ia harus melakukan perjalanan, dan berpikir: “Aku harus melakukan perjalanan ini. Dan perjalanan ini akan membuatku lelah ….” Atau


4. ia telah melakukan perjalanan …. Atau


5. ia pergi mengumpulkan dana makanan di desa atau kota dan tidak memperoleh cukup makanan, apakah kasar atau halus, dan ia berpikir: “Aku telah mengumpulkan dana makanan … [256] … tubuhku lelah dan tidak bisa melakukan apa pun ….” Atau


6. ia pergi mengumpulkan dana makanan … dan memperoleh cukup … Ia berpikir: “Aku telah mengumpulkan makanan … dan tubuhku berat seperti hamil ….”103 Atau


7. Ia merasa sedikit kurang sehat, dan ia berpikir: “Lebih baik aku beristirahat ….” Atau


8. Ia sedang memulihkan badan, karena baru sembuh dari sakit, dan ia berpikir: “Tubuhku lemah dan tidak berguna. Aku akan beristirahat.” Maka ia berbaring dan tidak mengerahkan cukup usaha untuk melengkapi apa yang belum lengkap, untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, untuk mencapai apa yang belum dicapai.’


5. ‘Delapan kesempatan untuk berusaha (ārabbha-vatthūni):Di sini, seorang bhikkhu


1. memiliki tugas yang harus dilakukan. Ia berpikir: “Ada tugas yang harus kulakukan, tetapi dalam melakukan tugas ini, tidaklah mudah bagiku untuk memusatkan perhatian pada ajaran Sang Buddha. Jadi aku akan mengerahkan cukup usaha untuk melengkapi apa yang belum lengkap, untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, untuk mencapai apa yang belum dicapai.” Atau


2. ia telah [257] melakukan suatu pekerjaan, dan berpikir: “Aku telah melakukan pekerjaan ini, tetapi karena pekerjaan ini, aku tidak mampu memusatkan cukup perhatian pada Ajaran Sang Buddha. Jadi aku akan mengerahkan cukup usaha ….” Atau


3. ia harus melakukan perjalanan ….” Atau


4. ia telah melakukan perjalanan. Ia berpikir “Aku telah melakukan perjalanan, tetapi karena perjalanan ini, aku tidak mampu memusatkan cukup perhatian ….” Atau


5. ia pergi mengumpulkan dana makanan … tidak memperoleh cukup makanan … dan ia berpikir: “Jadi, tubuhku ringan dan segar. Aku akan mengerahkan usaha ….” Atau


6. ia pergi mengumpulkan dana makanan … dan memperoleh cukup … Ia berpikir: “Jadi tubuhku kuat dan sehat. Aku akan mengerahkan usaha ….” Atau


7. Ia merasa sedikit kurang sehat, dan ia berpikir: “Penyakit ini bisa bertambah parah, jadi aku akan mengerahkan usaha ….” Atau [258]


8. Ia sedang memulihkan badan …, dan ia berpikir: “… mungkin saja penyakit itu datang. Jadi aku akan mengerahkan usaha ….” Demikianlah ia mengerahkan cukup usaha untuk melengkapi apa yang belum lengkap, untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, untuk mencapai apa yang belum dicapai.’


6. ‘Delapan landasan memberi: Seseorang memberi


1. pada saat ada kesempatan,


2. karena takut,


3. berpikir: “Ia memberiku sesuatu”,


4. berpikir: “Ia akan memberiku sesuatu”,


5. berpikir: “Memberi adalah baik”,


6. berpikir: “Aku sedang memasak sesuatu, mereka tidak. Tidaklah benar jika tidak memberikan sesuatu kepada mereka yang tidak memasak”,


7. berpikir: “Jika aku melakukan pemberian, aku akan memperoleh reputasi baik”,


8. untuk menghias dan mempersiapkan pikirannya.104


7. ‘Delapan jenis kelahiran kembali karena kedermawanan: Di sini, seseorang memberikan kepada seorang petapa atau Brahmana, makanan, minuman, pakaian, transportasi (yānaṁ), karangan bunga, wangi-wangian, dan salep, akomodasi untuk tidur, tempat tinggal, atau cahaya, dan ia mengharapkan imbalan atas pemberiannya itu. Ia melihat seorang Khattiya atau Brahmana atau perumah tangga kaya yang hidup dipenuhi dengan kenikmatan lima indria, dan ia berpikir: “Seandainya ketika aku meninggal dunia, aku bisa terlahir kembali seperti salah satu dari orang kaya itu!” ia memantapkan pikirannya pada pikiran itu, memusatkan dan mengembangkannya (bhāveti).105 Dan pikiran ini, karena diluncurkan (vimuttaṁ) pada tingkat yang rendah (hīne), dan tidak dikembangkan pada tingkat yang lebih tinggi (uttariṁ abhāvitaṁ), maka mengarah menuju kelahiran kembali di sana. [259] Tetapi aku mengatakan ini dalam hal seorang yang bermoral, bukan seorang yang tidak bermoral. Cita-cita batin dari seorang yang bermoral adalah efektif melalui kemurniannya.106 Atau (b) ia memberikan sesuatu dan, setelah mendengar bahwa para dewa di alam Empat Raja Dewa berumur panjang, berpenampilan rupawan, dan menikmati kehidupan bahagia, ia berpikir: “Seandainya aku bisa terlahir di sana!” Atau ia bercita-cita untuk terlahir kembali di alam (c) Tiga-Puluh-Tiga Dewa, (d) Dewa Yama, (e) Dewa Tusita, (f) Dewa Nimmānarati, (g) Dewa Paranimmita-vasavatti, (h) Atau ia bercita-cita untuk terlahir kembali di alam Brahmā …. Tetapi [260] aku mengatakan ini dalam hal seorang yang bermoral, bukan seorang yang tidak bermoral, seorang yang terbebas dari nafsu (vītarāgassa), bukan seorang yang masih terombang-ambing oleh nafsu.107 Cita-cita batin dari seorang yang bermoral [demikian] adalah efektif melalui kebebasan dari nafsu.’


8. ‘Delapan perkumpulan: perkumpulan para Khattiya, para Brahmana, para perumah tangga, para petapa, para dewa di alam Empat Raja Dewa, para dewa di alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa, para māra, para Brahmā (seperti Sutta 16, paragraf 3.21).’


9. ‘Delapan kondisi duniawi (loka-dhamma): untung dan rugi, kemasyhuran dan memalukan (yaso ca ayaso ca), celaan dan pujian, bahagia dan menderita.’


10. ‘Delapan tingkat kemahiran: (a) merasakan bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk eksternal, terbatas, dan indah atau buruk; (b) (seperti (a) tetapi) tidak terbatas; (c) tidak merasakan bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk eksternal, terbatas …; (d) (seperti (c) tetapi) tidak terbatas; tidak merasakan bentuk secara internal, seseorang melihat bentuk (e) biru, [261] (f) kuning, (g) merah, (h) putih (seperti Sutta 16, paragraf 3.25-32).’


11. ‘Delapan kebebasan: (a) memiliki bentuk, seseorang melihat bentuk; (b) tidak merasakan bentuk materi dalam diri sendiri, seseorang melihat bentuk di luar; (c) berpikir: “ini indah”, seseorang menjadi terpusat padanya; ia memasuki (d) Alam Ruang Tanpa Batas; (e) … Alam Kesadaran Tanpa Batas; (f) … Alam Kekosongan; (g) Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-persepsi; (h) … Lenyapnya Persepsi dan Perasaan (seperti Sutta 15, paragraf 35).’ [262]


‘Ini adalah [kelompok] delapan hal ….’ 3.2. ‘Ada [kelompok] sembilan hal ….’


1. ‘Sembilan penyebab kedengkian (āghāta-vatthūni): Kedengkian didorong oleh pikiran: (a) “Ia telah melukaiku”, (b) “Ia sedang melukaiku”, (c) “Ia akan melukaiku”, (d)–(f) “Ia telah melukai, Ia sedang melukai, Ia akan melukai seseorang yang kusukai”, (g)–(i) “Ia akan membantu, sedang membantu, akan membantu seseorang yang tidak kusukai.”’


2. ‘Sembilan cara mengatasi kedengkian (āghāta-paṭivinaya). Kedengkian diatasi dengan pikiran: (a)-(i) “Ia telah melukaiku ….” (seperti (1)). [263] “Apalah gunanya [memendam kedengkian]?”’


3. ‘Sembilan alam makhluk-makhluk (a) Makhluk-makhluk yang berbeda dalam jasmani dan berbeda dalam persepsi; (b) Makhluk-makhluk yang berbeda dalam jasmani dan sama dalam persepsi; (c) Makhluk-makhluk yang sama dalam jasmani dan berbeda dalam persepsi; (d) Makhluk-makhluk yang sama dalam jasmani dan sama dalam persepsi; (e) Alam Makhluk-makhluk tanpa kesadaran; (f) Alam bukan persepsi dan juga bukan bukan-persepsi; (g) Makhluk-makhluk yang telah mencapai Alam Ruang Tanpa Batas; (h) Makhluk-makhluk yang telah mencapai Alam Kesadaran Tanpa Batas; (i) Makhluk-makhluk yang telah mencapai Alam Kekosongan (seperti Sutta 15, paragraf 33).’


4. Sembilan waktu yang tidak menguntungkan untuk menjalani kehidupan suci (akkhaṇā asamayā brahmacariya-vāsāya): [264] (a) Seorang Tathāgata telah dilahirkan di dunia ini, Sang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, dan Dhamma diajarkan yang mengarah menuju Nibbāna yang tenang dan sempurna, yang mengarah menuju Penerangan Sempurna seperti diajarkan oleh Yang Sempurna menempuh Sang Jalan, dan orang ini terlahir di alam-neraka (nirayaṁ),108 … (b) … di tengah-tengah binatang, (c) … di tengah-tengah Peta, (d) … di tengah-tengah Asura, (e) di dalam kelompok para dewa yang berumur panjang,109 (f) ia terlahir di wilayah perbatasan di tengah-tengah suku biadab yang bodoh di mana tidak dapat dikunjungi oleh para bhikkhu dan bhikkhunī, atau siswa-siswa awam laki-laki dan perempuan, atau (g) ia terlahir di Negeri Tengah,110 tetapi ia memiliki pandangan salah dan penglihatan yang menyimpang, berpikir: “Tidak ada perbuatan memberi, memberikan persembahan, atau melakukan pengorbanan, tidak ada buah atau akibat dari perbuatan-perbuatan baik atau buruk; tidak ada alam ini atau alam berikutnya; [265] tidak ada orang tua dan tidak ada kelahiran kembali secara spontan; tidak ada petapa atau Brahmana di dunia ini yang, setelah mencapai pengetahuan tertinggi untuk dirinya sendiri tentang alam ini dan alam berikutnya, kemudian menyatakannya”;111 atau (h) … ia terlahir di Negeri Tengah tetapi tidak memiliki kebijaksanaan dan bodoh, atau tuli atau bisu dan tidak mengetahui apakah sesuatu hal telah dinyatakan dengan benar atau salah; atau … (i) Tidak ada Tathāgata yang telah muncul … dan orang itu terlahir di Negeri Tengah dan cerdas, tidak bodoh, dan tidak tuli atau bisu, dan mengetahui dengan baik apakah sesuatu hal telah dinyatakan dengan benar atau salah.’


5. ‘Sembilan kediaman berturut-turut: [jhāna-jhāna dan Alam Ruang Tanpa Batas, Kesadaran Tanpa Batas, Kekosongan, Alam Bukan Persepsi Dan juga Bukan Bukan-persepsi, dan Lenyapnya Persepsi dan Perasaan].’ [266]


6. ‘Sembilan pelenyapan berturut-turut (anupubba-nirodhā): Dengan pencapaian jhāna pertama, persepsi indriawi (kāmasaññā) lenyap; Dengan pencapaian jhāna ke dua, awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran lenyap; Dengan pencapaian jhāna ke tiga, kegirangan (pīti) lenyap; Dengan pencapaian jhāna ke empat, nafas masuk dan keluar lenyap;112 Dengan pencapaian Alam Ruang Tanpa Batas, persepsi jasmani lenyap; Dengan pencapaian Alam Kesadaran Tanpa Batas, persepsi Alam Ruang Tanpa Batas lenyap; Dengan pencapaian Alam Kekosongan, persepsi Alam Kesadaran Tanpa Batas lenyap; Dengan pencapaian Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-persepsi, persepsi Alam Kekosongan lenyap; dengan pencapaian Lenyapnya-Persepsi-dan-Perasaan, persepsi dan perasaan lenyap.’


‘Ini adalah [kelompok] sembilan hal ….’ 3.3. ‘Ada [kelompok] sepuluh hal yang dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā ….’


1. ‘Sepuluh hal yang memberikan perlindungan (nātha-karaṇa-dhammā):113 Di sini, seorang bhikkhu (a) bermoral, ia hidup terkendali sesuai pengendalian peraturan disiplin, terus-menerus dalam perilaku baik, melihat bahaya dalam pelanggaran sekecil apa pun, ia memelihara peraturan-peraturan latihan; [267] (b) ia telah banyak belajar, dan mengingat dan menguasai apa yang ia pelajari. Di dalam Ajaran ini, yang indah di awal, di pertengahan, dan di akhir, dalam makna dan kata-katanya yang menyatakan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya, ia sangat terpelajar, ia mengingatnya, mengulangi dan mengulanginya, merenungkannya dan menembusnya dengan penglihatan; (c) ia adalah seorang teman, rekan, dan sahabat baik bagi orang-orang berbudi; (d) ia ramah, memiliki kelembutan dan kesabaran, cepat menangkap nasihat; (e) berbagai pekerjaan apa pun yang harus dilakukan oleh bhikkhu lainnya, ia terampil, tidak mengendur, dengan pandangan ke depan dalam melakukan tugas tersebut, dan juga terampil dalam melakukan dan merencanakan; (f) ia menyukai Dhamma dan gembira dalam mendengarkannya, ia khususnya menyukai ajaran lanjut dan disiplin (abhidhamme abhivinaye);114 [268] (g) ia puas dengan barang-barang kebutuhan apa pun juga: jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan jika sakit; (h) ia selalu berusaha untuk meningkatkan usahanya, untuk menyingkirkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat, untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat, tanpa lelah dan penuh semangat berusaha untuk mempertahankan kondisi baik itu dan tidak pernah menolak beban itu; (i) ia penuh perhatian, dengan kemampuan besar untuk mengingat dengan jelas hal-hal yang dilakukan dan diucapkan di masa lalu;115 (j) ia bijaksana, dengan persepsi bijaksana mengenai muncul dan lenyapnya, persepsi Ariya itu yang mengarah menuju kehancuran penderitaan secara total.’


2. ‘Sepuluh objek pencapaian pencerapan (kasiṇāyatanāni):116 Ia memerhatikan Kasiṇa-Tanah, Kasiṇa-Air, Kasiṇa-Api, Kasiṇa-Udara, Kasiṇa-Biru, Kasiṇa-Kuning, Kasiṇa-Merah, Kasiṇa-Putih, Kasiṇa-Ruang, Kasiṇa-Kesadaran,117 ke atas, ke bawah, ke sekeliling, tidak terbagi, tidak terbatas.’ [269]


3. ‘Sepuluh perbuatan tidak bermanfaat (akusala-kammapathā): membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, perilaku seksual yang salah, berbohong, fitnah, berkata-kata kasar, pembicaraan yang tidak menentu, keserakahan, kedengkian, pandangan salah.’


4. ‘Sepuluh perbuatan bermanfaat: menghindari pembunuhan … (dan seterusnya, seperti pada (3) di atas).’


5. ‘Sepuluh watak Ariya (ariya-vāsā): Di sini seorang bhikkhu (a) telah menyingkirkan lima faktor, (b) memiliki enam faktor, (c) telah mengukuhkan satu penjaga, (d) melaksanakan empat dukungan, (e) telah menyingkirkan kepercayaan pada diri,118 (f) telah menghentikan pencarian, (g) ia murni dalam hal motif, (h) telah menenangkan emosinya,119 terbebaskan dengan baik, (i) dalam pikiran, dan (j) oleh kebijaksanaan. Bagaimanakah ia menyingkirkan lima faktor? Di sini, ia melenyapkan indriawi, kebencian, kelambanan-dan-ketumpulan,kekhawatiran-dan-kegelisahan, keragu-raguan; (b) apakah enam faktor yang ia miliki? Ketika melihat suatu objek dengan mata, mendengar suara …, mencium bau …, mengecap rasa …, menyentuh objek sentuhan …, atau mengenali objek pikiran dengan pikiran, seseorang tidak merasa senang juga tidak merasa tidak senang, tetapi tetap seimbang, penuh perhatian, dan sadar jernih.; (c) bagaimanakah ia mengukuhkan satu penjaga? Dengan menjaga pikirannya dengan perhatian; (d) apakah empat dukungan? Ia menilai bahwa satu hal harus dikejar, satu hal harus dipertahankan, satu hal harus dihindari, satu hal harus ditekan. (seperti paragraf 1.11(8)); (e) Bagaimanakah ia melenyapkan kepercayaan akan diri (panunna-pacceka-sacco)? Apa pun kepercayaan akan diri yang dianut oleh sebagian besar petapa dan Brahmana telah ia lenyapkan, tinggalkan, tolak, usir; (f) bagaimanakah ia adalah seorang yang telah menghentikan pencarian? Ia telah meninggalkan pencarian akan kenikmatan-indria, akan kelahiran kembali, akan kehidupan suci;120 (g) bagaimanakah ia murni dalam hal motif? Ia telah meninggalkan pikiran-pikiran indriawi, kebencian, kekejaman; (h) bagaimanakah ia adalah seorang yang telah menenangkan emosi (passaddha-kāya-sankhāro hoti)? Karena telah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan, ia memasuki kondisi yang melampaui kenikmatan dan kesakitan yang dimurnikan oleh keseimbangan, dan ini adalah jhāna ke empat; (i) bagaimanakah ia terbebaskan dengan baik dalam pikiran? Ia terbebaskan dari pikiran keserakahan, kebencian, dan kebodohan; (j) bagaimanakah ia terbebaskan oleh kebijaksanaan? Ia memahami: “Bagiku keserakahan, kebencian, dan kebodohan telah ditinggalkan, terpotong di akarnya, bagaikan tunggul pohon kelapa, hancur dan tidak dapat tumbuh lagi.”’ [271]


6. ‘Sepuluh kualitas bukan-pelajar (asekha):121 pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar; pengetahuan benar (sammā-ñaṇam), kebebasan benar (sammāvimutti) dari seorang bukan-pelajar.’


‘Ini adalah [kelompok] sepuluh hal yang telah dengan sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna. Maka kita semua harus mengulanginya bersama tanpa perbedaan, agar kehidupan suci ini dapat bertahan dan kokoh dalam waktu yang lama ke depan, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan kepada dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.’


3.4. Dan ketika Sang Bhagavā telah berdiri, Beliau berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: ‘Baik, baik, Sariputta! Baik seklai engkau menyatakan cara mengulangi bersama ini kepada para bhikkhu!’


Hal-hal ini dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta, dan Sang Guru menyetujuinya. Para bhikkhu senang dan gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
1. Ini tidak diragukan adalah Sutta pada masa-masa akhir. RD dengan hati-hati mengatakan hal ini dan Sutta 34: ‘Kedua Sutta ini berisikan tentang hal-hal yang menyiratkan bahwa Sutta-sutta ini menjadi seperti ini pada masa-masa terakhir dibandingkan Suta-sutta lainnya dalam Dīgha Nikāya.’ Sutta ini dihubungkan, seperti halnya DN 29, dengan masa segera setelah kematian Nigaṇṭha Nātaputta, pemimpin Jain, dan berlokasi ‘di hutan mangga milik Cunda si pandai besi’, yang kita kenal dalam DN 16.4.14ff. Jika kita membandingkan dengan DN 29, kita melihat bahwa khotbah itu dibabarkan kepada ‘Samaṇera Cunda’, yang adalah orang yang berbeda – tetapi kita mungkin bertanya-tanya apakah kedua Sutta ini tidak membingungkan. Sebagian inspirasi dari DN 34 mungkin berasal dari kata-kata Sang Buddha dalam DN 19.17. Mungkinkah keseluruhan Sutta itu adalah perluasan dari topik itu? Bagaimanapun juga, metode pengelompokan numerik seperti ini digunakan secara luas dalam Anguttara Nikāya, dan sesungguhnya banyak bagian dalam daftar yang terdapat di sini juga muncul dalam Anguttara Nikāya.Daftar numerik demikian, juga dibandingkan oleh beberapa penulis sejak RD dan seterusnya dengan apa yang disebut matriks (mātikā) Abhidhamma – sebagian dengan implikasi bahwa jenis penyajian seperti ini selalu menyatakan lapisan yang dianggap setelah masa Sang Buddha.NB. Karena daftar dalam Sutta ini dan DN 34 mengandung banyak istilah-istilah teknis, kata-kata Pali juga diberikan untuk menghindari keraguan atau kebingungan.
2. Yang agung.
3. Para Malla dari Pāvā, tentu saja, berhubungan dekat dengan yang Malla dari Kusinārā.
4. Bukan ‘malam yang indah’ (suatu terjemahan yang janggal oleh RD).
5. Ke tiga dari lima rintangan.
6. Seperti dalam DN 16.4.40.
7. Seperti yang diusulkan dalam DN 29.17.
8. Atau sebenarnya, seperti kelompok-kelompok berikutnya ‘kelompok satu hal’.
9. Kelompok ‘satu hal’ yang ke dua tidak ditemukan dalam keseluruhan naskah, atau dalam kalimat yang sama dalam AN, mungkin karena kesalahpahaman atas ‘satu hal’.
10. Hubungan di sini dengan (8) sepertinya hanyalah permainan kata: āpatti ‘pelanggaran’, dan samāpatti ‘pencapaian’. Meskipun berbeda dalam makna, kedua kata ini memiliki akar kata yang sama.
11. Ini adalah enam indria (pikiran sebagai yang ke enam), objek-objeknya dan kesadaran masing-masing, yaitu, ‘mata, objek penglihatan, kesadaran-mata’, seperti dalam MN 115. Baca BDic pada bagian Dhātu.
12. Perhatikan lagi, suatu permainan kata: cara mengingat yang sangat berguna.
13. ‘Kemurnian cinta kasih bersaudara’ adalah kesimpulan lemah atas DA.
14. ‘Kelengahan’ oleh RD sepertinya cukup untuk ini, tetapi ‘menginginkan kecerdasan’ adalah keliru untuk asampajañña, yang gagal dalam memenuhi keselarasan dengan DN 22.4.
15. Bala: ‘kekuatan’ digunakan di sini dalam pengertian yang tidak biasa.
16. Ini adalah dua bentuk dasar yang menjadi sumber bagi meditasi Buddhis.
17. Terjemahan Ñāṇamoli atas kata yang sulit ini.
18. Atau ‘pikiran’, seperti faktor ke dua dari Jalan Mulia berfaktor Delapan.
19. Di sini, alam keinginan-indria (kāma-loka).
20. Perhatikan tumpang tindih dengan tiga sebelumnya, yang mewakili ‘Tiga Alam’. Di sini kita memiliki dua, ‘alam yang lebih tinggi’ dan adiduniawi (lokuttara), dirujuk di sini sebagai ‘lenyapnya’ (seperti yang ke tiga dalam Empat Kebenaran Mulia).
21. Keinginan akan kehidupan yang terus berlanjut.
22. Keinginan, bukan terhadap ‘pelenyapan’ tetapi terhadap pemadaman (jasmani). Hanya mereka yang memiliki Mata-Dhamma yang dapat dengan jelas membedakan hal ini. Walaupun secara samar-samar dapat juga dipahami melalui logika dan/atau keyakinan.
23. Secara harfiah, ‘jasmani sendiri’, ini adalah kekeliruan dalam gagasan-diri. Kehancuran belenggu ini (bersama dua lainnya) berarti terbukanya Mata-Dhamma atau ‘Memasuki-Arus’.
24. Kejahatan tertentu (seperti membunuh ayah, cf. DN 2.100) memiliki akibat pasti yang tidak dapat dihindari.
25. Pada saat momen-jalan pertama (atau Memasuki-Arus) telah tercapai, kemajuan tidak dapat dihindari, dan kemunduran ke ‘alam sengsara’ adalah tidak mungkin.
26. RD menuliskan kankhā ‘keraguan’.
27. Secara harfiah, ‘sesuatu’, diartikan oleh DA sebagai ‘rintangan’.
28. Yaitu, guru-guru spiritual (cf. DN 31.29).
29. Ini merujuk pada ‘hal-hal yang sangat halus’.
30. ‘Membentuk kondisi yang muncul berdampingan dan kondisi buah di masa depan’ (DA).
31. Ini merujuk pada kelahiran kembali di alam tanpa bentuk.
32. Cf. n.542.
33. Yang terakhir menerima gelar ‘senior’ oleh para junior tanpa benar-benar berhak untuk itu.
34. Semua ini adalah alam-alam dari neraka hingga alam surga Paranimmita-vasavatti. (baca pendahuluan.)
35. Semua ini adalah di alam berbentuk.
36. Cara-cara di mana seseorang ‘dijaga’.
37. Indria-indria lebih tinggi dari Pemenang-Arus, dan seterusnya.
38. Cf. n.140.
39. Dari Pemenang-Arus.
40. Kāya di sini berarti bukan (seperti RD) ‘mekanisme batin-jasmani’, tetapi ‘tubuh jasmani’ (yaitu, ‘emosi’ secara luas).
41. Perbedaan tingkatan jhāna. Perbedaan antara dua yang pertama sepertinya berperan dalam pembagian Abhidhamma dari jhāna pertama menjadi dua.
42. Moneyya diturunkan dari muni ‘yang bijaksana’ (atau ‘petapa’, RD).
43. Perhatikan permainan kata-kata di sini: tiga turunan dari akar i ‘pergi’. Āya juga dapat, dalam konteks duniawi, berarti ‘mencari uang’ (seperti yang dengan lucu diusulkan untuk kalimat ini dalam PED!). Apāya biasanya merujuk pada ‘kondisi sengsara’ (kelahiran kembali yang menderita), sedangkan upāya berarti ‘alat yang terampil’, dan demikianlah yang sering digunakan oleh Bodhisatva dalam tradisi Mahāyāna.
44. Yang ke dua merujuk pada Brahmavihāra (DN 13), yang ke tiga merujuk pada Kearahatan.
45. Cf. DN 11.3.
46. Ini adalah kemunculan pikiran apa pun yang terjadi.
47. ‘Landasan-landasan perilaku’ (RD).
48. Telepati.
49. Pengetahuan dalam arti kebenaran konvensional.
50. Biasanya ini berarti makanan manusia biasa.
51. Ini merujuk pada makanan para dewa, kadang-kadang juga disebut kabalinkāra. Baca BDic pada bagian Āhāra.
52. Kehendak = kamma.
53. Chanda adalah kata yang sangat umum untuk ‘keinginan, niat’: baca BDic.
54. Cf. DN 1.1.17. DA mengartikan ‘minyak, madu, ghee’, dan sebagainya, yang sepertinya misterius, dan tidak didukung oleh Sub Komentar.
55. Baca DN 28.10.
56. Dengan mengembangkan samādhi.
57. Dhamma-padāni. Secara formal, ini adalah bentuk jamak dari Dhamma-pada, judul yang mungkin merupakan naskah Buddhis yang paling terkenal, tetapi diartikan sebagai ‘pengelompokan Dhamma’.
58. Menghilangkan ‘keyakinan’ sebagai yang pertama dalam kelompok ini, biasanya ada lima.
59. Kebenaran, yaitu penembusan ‘segala sesuatu sebagaimana adanya’.
60. Tidak ‘menguasai diri’ (RD).
61. Kamma yang mengarah menuju penerangan sempurna, ketika tidak ada lagi kamma yang akan dilakukan.
62. ‘Muncul di depan mata’.
63. Di sini, sati mungkin digunakan dalam pengertian yang lebih tua dan jarang digunakan sebagai ‘ingatan’, bukannya perhatian.
64. Baca n.140.
65. Faktor-faktor yang muncul dalam ‘kelompok batin’ pada saat kapan pun juga.
66. Baca n.913.
67. Yang mengikat batin (nāma) dan jasmani (rūpa) bersama-sama. Gantha juga berarti ‘buku’ dalam bahasa belakangan.
68. Kāya di sini berarti nāma-kāya ‘tubuh batin’.
69. Yoniyo: ‘rahim’. Penjelasan lebih jauh terdapat dalam MN 12.
70. ‘Seperti dari ikan yang membusuk, dan sebagainya’ (MN 12).
71. Kelahiran kembali di alam dewa (juga kelahiran kembali Yang-Tidak-Kembali).
72. ‘Diri’ yang baru dalam kehidupan lain.
73. Baca n.933.
74. Cf. n.823.
75. Seperti Upananda, yang walaupun perilakunya tidak baik, namun masih mampu membantu orang lain (DA).
76. Sebutan mengherankan ini dimaksudkan untuk merujuk pada Pemenang-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali, dan Arahat.
77. Cf. n. 244.
78. Cf. n. 244.
79. Pelanggaran karena kecemburuan dalam diri seorang bhikkhu.
80. Kecemburuan pada orang lain karena sokongan dari keluarga tertentu.
81. Alam yang dihuni oleh Yang-Tidak-Kembali, yang mencapai Nibbāna secara langsung dari sana.
82. Arti dari nama ini mungkin ‘tidak jatuh dari kemakmuran’ (baca EB).
83. Untuk keluhuran ini, baca BDic atau EB.
84. Baca juga MN 12.
85. Ini, walaupun di sini digunakan secara metafora, adalah kata untuk ‘kehausan’ dalam pengertian harfiah. Di sini berarti sesuatu yang lebih lemah daripada taṇhā.
86. Vimuccati, jelas berarti ‘terbebaskan’, tetapi diartikan oleh DA sebagai adhimuccati, diartikan oleh RD sebagai ‘memilih’. Kata kerja yang sama digunakan dalam kalimat berikutnya sehubungan dengan pelepasan keduniawian. Saya menggunakan ‘sesuka hati’ sebagai pengganti, terjemahan bebas, dan mencurigai adanya kesalahan tekstual.
87. Rūpa di sini mungkin berarti ‘objek yang terlihat’.
88. ‘Dengan samādhi dari Buah Kearahatan’ (DA). Dalam konteks ini, mungkin perlu diperhatikan bahwa di dalam Buddhisme, kebalikan dari beberapa penggunaan Non-Buddhis, samādhi sendiri tidak pernah berarti ‘terbebaskan’ atau ‘pencerahan’.
89. ‘Penyelidikan yang dihubungkan dengan kenikmatan’ (DA).
90. Makna dari sārāṇīyā dhamma tidak dapat dipastikan. Dalam DN 16.1.11, RN mengartikan ‘kondisi-kondisi kesejahteraan’, yang adalah pelesetan dari aparihāniyā dhammā.
91. Empat unsur utama, dengan dua tambahan yang kadang-kadang ditemukan bersamaan (seperti dalam MN 140). Untuk lima yang pertama dalam Buddhisme belakangan, cf. Lama Anagarika Govinda, Foundations of Tibetan Mysticism (London 1959), 183ff.
92. Cf. VM 21.66.
93. Koleksi lain-lain dari hal-hal ‘tidak terlampaui’, yang terakhir, misalnya, adalah perenungan (bukan ‘ingatan’, RD!) Buddha, Dhamma, dan Sangha.
94. RD dengan cerdas menerjemahkan ‘kondisi-kondisi yang bertahan lama’.
95. Seolah-olah keseluruhan Jalan Delapan bertujuan untuk mencapai Konsentrasi Benar. Baca DN 18.27.
96. Manusia ideal (Buddha atau Arahat).
97. Biasanya dalam pengertian relatif: tidak ada pembenaran atas tulisan apa pun atas gagasan ‘DIRI’ dalam penggunaan ini! Perhatikan permainan kata: attha, attā, mattā.
98. Tertulis niddasa. ‘Landasan-landasan Kearahatan’ oleh RD sangat bebas.
99. Diṭṭhi-paṭivedhe. ‘intuisi kebenaran’ oleh RD tidak sesuai dengan ini.
100. Secara harfiah, ‘beriringan’.
101. Ini membentuk bagian akhir (peraturan 221-227) dari Pātimokkha atau aturan disiplin.
102. Seperti n.1039.
103. RD mengartikan ‘seperti sejumlah kacang basah’, mengikuti DA, tetapi arti ‘hamil’ sepertinya cocok. Mungkin suatu kasus kerendahan hati Buddhaghosa, diulangi oleh Mrs. Rhys Davids.
104. Dalam mempraktikkan (bukan ‘mempelajari’: RD) ketenangan dan pandangan terang. Memberi (RD mengartikan ‘forgiving’ (memaafkan) – kesalahan cetak dari ‘for giving’ (memberi) !) melunakkan pikiran pemberi dan penerima. DA mengutip syair yang terdapat dalam VM 9.39: Suatu pemberian untuk menjinakkan mereka yang belum dijinakkan, Suatu pemberian untuk segala jenis kebaikan; Melalui memberikan pemberian, mereka tidak terbelokkan dan menurun pada ucapan yang baik. (Terjemahan Ñāṇamoli).
105. ‘Meluas’ (RD). Tetapi ini adalah kata kerja biasa untuk ‘pengembangan’ dalam meditasi.
106. ‘Yaitu, tidak campuran, berpikiran tunggal’ (RD). DA tidak berkomentar, tetapi gagasan cita-cita ‘berpikiran murni’ demikian adalah mirip dengan yang berhubungan dengan efektivitas dari ‘pernyataan kebenaran’.
107. Brahmā dalam Buddhisme bukanlah makhluk abadi dan bukan Tuhan pencipta. Kebijaksanaannya, walaupun cukup tinggi, namun terbatas, dan ia juga dapat membual (Baca DN 11!), tetapi ia bebas dari nafsu indriawi, dan demikian pula mereka yang terlahir kembali di alamnya (walaupun nafsu itu mungkin hanya ditekan oleh jhāna – yang adalah cetovimutti ‘kebebasan pikiran’ – dan belum tentu oleh pandangan terang, yang adalah paññāvimutti ‘kebijaksanaan oleh kebijaksanaan’). Tetapi mereka yang terlahir kembali di sana belum, menurut Sub Komentar, melenyapkan keinginan akan kehidupan yang terus berlanjut (bhavatṇhā).
108. Seperti n.244.
109. Yaitu, kelahiran kembali di tengah-tengah para dewa yang umur kehidupannya sangat panjang sehingga mereka melewatkan kelahiran di alam manusia pada masa yang menguntungkan.
110. Pusat, wilayah ‘beradab’ di India (termasuk sepanjang Sungai Gangga) berlawanan dengan wilayah yang kurang menguntungkan.
111. Kata-kata dari Ajita Kesakambalī (DN 2.23).
112. Yaitu, menjadi halus sehingga tidak terlihat.
113. Dhammā di sini jelas bermakna ‘hal-hal, faktor-faktor’, bukan ‘Ajaran’ (RD).
114. DA meragukan apakah abhidhamma di sini berarti ‘tujuh Pakaraṇa’, yaitu Abhidhamma Piṭaka seperti yang kita ketahui, atau bukan. Jawaban singkatnya adalah bahwa jika naskah ini berasal dari masa Sang Buddha (yang mungkin saja namun sangat tidak dapat dipastikan), maka kata abhidhamma hanya mungkin berarti umum ‘ajaran yang lebih tinggi’ atau sejenisnya. Pertimbangan yang sama berlaku untuk kata abhivinaya.
115. Cf. n.1074.
116. Bukan ‘objek untuk hipnotis diri’ (RD). Jhāna tidak sama dengan Hipnotis dalam hal bahwa seseorang memiliki kendali penuh dan tidak disarankan. Saya berhutang pada Dr. Nick Ribush untuk klarifikasi berharga ini.
117. Ada beberapa hal yang membingungkan dalam dua terakhir dari daftar ini. Di tempat lain, kita menemukan āloka ‘cahaya’ dan bukan kesadaran (kesadaran agak sulit dianggap sebagai suatu kasiṇa). Baca VM 5.26.
118. Atau ‘pendapat-pendapat sektarian’ (RD). Penyimpangan pandangan.
119. Passaddha-kāya-sankhāro, di mana kāya berarti tubuh batin.
120. Cf. 1.10 (22). Terlibat dalam permasalahan mengenai ‘diri’.
121. Cf. n.542.