Senin, 22 Desember 2014

65. Kisah Tiga Puluh Bhikkhu Dari Paveyyaka


Suatu ketika, tiga puluh orang pemuda dari Paveyyaka bersenang-senang dengan seorang pelacur di hutan. Ketika mereka lengah, pelacur itu mencuri beberapa perhiasan dan melarikan diri.

Pemuda-pemuda tersebut mencari pelacur yang lari di hutan, mereka bertemu dengan Sang Buddha dalam perjalanan. Sang Buddha menyampaikan suatu khotbah kepada para pemuda tersebut dan mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka semuanya bergabung dengan Sang Buddha dan ikut ke Vihara Jetavana.

Ketika tinggal di vihara, mereka berlatih dengan sungguh-sungguh hidup sederhana atau melaksanakan latihan keras (dhutanga). Akhirnya ketika Sang Buddha menyampaikan “Anamatagga Sutta” (Khotbah tentang keberadaan Hidup yang Tak Terhitung), seluruh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.

Ketika bhikkhu-bhikkhu yang lain memberikan komentar bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Paveyyaka sangat cepat mencapai tingkat kesucian Arahat, Sang Buddha menjawab dalam syair 65 berikut ini:

Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana,
namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma,
bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.

64. Kisah Udayi Thera


Udayi Thera sering mengunjungi, dan duduk di atas tempat duduk, dimana para thera terpelajar duduk pada waktu menyampaikan khotbah. Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu tamu menyangka bahwa ia adalah seorang thera yang terpelajar, dan mereka mengajukan beberapa pertanyaan tentang lima kelompok unsur khanda. Udayi Thera tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebab beliau tidak mengerti sama sekali tentang Dhamma.

Para bhikkhu tamu sangat terkejut menemukan seseorang yang tinggal dalam satu vihara dengan Sang Buddha hanya mengetahui sedikit saja tentang khanda dan ajaran ayatana (dasar indria dan objek indria).

Kepada bhikkhu tamu itu Sang Buddha menerangkan keadaan Udayi Thera dalam syair 64 berikut ini:

Orang bodoh, walaupun selama hidupnya bergaul dengan orang bijaksana,
tetap tidak akan mengerti Dhamma,
bagaikan sendok yang tidak dapat merasakan rasa sayur.

63. Kisah Dua Orang Pencopet


Suatu ketika dua orang pencopet bersama-sama dengan sekelompok umat awam pergi ke Vihara Jetavana. Di sana Sang Buddha sedang memberikan khotbah. Satu di antara mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tetapi pencopet satunya lagi tidak memperhatikan khotbah yang disampaikan, karena ia hanya berpikir untuk mencuri sesuatu. Ia mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang dari salah seorang umat.

Setelah khotbah berakhir mereka pulang dan memasak makan siangnya di rumah pencopet kedua, pencopet yang sudah mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang tersebut. Istri dari pencopet kedua mencela pencopet pertama: “Kamu sangat tidak bijaksana, mengapa kamu tidak mempunyai sesuatu untuk dimasak di rumahmu.”

Mendengar pernyataan tersebut, pencopet pertama berpikir, “Orang ini sangat bodoh, dia berpikir bahwa dia menjadi sangat bijaksana.” Kemudian bersama-sama dengan keluarganya, ia menghadap Sang Buddha dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 63 berikut:

Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya,
maka ia dapat dikatakan bijaksana;
tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana,
sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh.

62. Kisah Ananda, Seorang Hartawan


Tinggallah seorang hartawan yang sangat kaya bernama Ananda di Savatthi. Meskipun dia memiliki delapan crore, dia tidak mau memberikan sesuatu apapun untuk berdana. Kepada anaknya Mulasiri, dia sering mengatakan, “Jangan berpikir bahwa kekayaan yang kita miliki saat ini cukup banyak. Jangan berikan sesuatu apapun yang kau punyai, untukmu buatlah semakin bertambah. Jika tidak, kekayaanmu semakin berkurang.”

Orang kaya ini memiliki lima guci berisi emas yang dikubur di dalam rumahnya, dan ia meninggal dunia tanpa memberitahukan tempat penyimpanan guci itu kepada putranya.

Ananda, orang kaya yang telah meninggal tadi, dilahirkan di sebuah perkampungan pengemis, tidak jauh dari Savatthi. Waktu ibunya sedang mengandung, penghasilan dan keberuntungan para pengemis menurun. Penduduk perkampungan itu berpikir bahwa ada seseorang yang tidak beruntung dan menyebabkan kesialan di antara mereka. Dengan membagi mereka kedalam kelompok-kelompok, mereka mengambil kesimpulan bahwa pengemis wanita yang sedang mengandung itu mendatangkan kesialan bagi mereka.

Ia diusir keluar dari desa. Ketika anaknya lahir, anaknya sangat jelek dan menjijikan. Jika wanita itu pergi mengemis sendirian ia akan memperoleh hasil seperti biasa, tetapi jika ia pergi bersama putranya, ia tidak mendapatkan apa-apa. Maka, ketika putranya bertambah dewasa dan dapat berjalan sendiri, ibunya memasang tanda di tangannya dan kemudian meninggalkannya.

Ketika pengemis muda itu berkelana ke Savatthi, ia mengingat rumahnya dan kehidupannya yang lampau. Ia mengunjungi rumah tersebut. Anak-anak dari putranya, Mulasiri, melihatnya. Mereka sangat ketakutan melihat penampilannya yang buruk. Pelayan-pelayan kemudian memukulinya dan mendorongnya keluar rumah.

Sang Buddha yang sedang melakukan pindapatta melihat peristiwa itu dan meminta Y.A. Ananda untuk mengundang Mulasiri. Ketika Mulasiri datang, Sang Buddha memberitahukan bahwa pengemis muda tadi adalah ayahnya sendiri pada kehidupan yang lampau. Tetapi Mulasiri tidak mempercayainya.

Maka Sang Buddha menyuruh pengemis muda itu untuk menunjukkan dimana lima buah guci emas tersebut dikubur. Akhirnya Mulasiri menerima kenyataan yang ada, dan sejak itu ia menjadi umat awam pengikut Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 62 berikut:

“Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku,”
demikianlah pikiran orang bodoh.
Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya,
bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu menjadi miliknya?

Minggu, 21 Desember 2014

61. Kisah Murid Yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera


Ketika Mahakassapa Thera bersemayam dekat Rajagaha, beliau tinggal bersama dua orang bhikkhu muda. Salah satu bhikkhu tersebut sangat hormat, patuh, dan taat kepada Mahakassapa Thera. Tetapi bhikkhu yang satu lagi tidak seperti itu. Ketika Mahakassapa Thera mencela kekurang-taatan melaksanakan tugas-tugas murid yang belakangan, murid tersebut sangat kecewa.

Pada suatu kesempatan, ia pergi ke salah satu rumah umat awam siswa Mahakassapa Thera, dan membohongi mereka bahwa Sang Thera sedang sakit. Ia mendapatkan beberapa makanan dari mereka untuk Mahakassapa Thera. Tetapi ia makan makanan tersebut di perjalanan. Ketika sang thera menasehati tentang kelakuannya itu, bhikkhu tersebut menjadi sangat marah.

Keesokan harinya ketika Mahakassapa Thera pergi keluar untuk berpindapatta, bhikkhu muda yang bodoh ini tidak ikut. Ia memecahkan tempat air dan kuali, serta membakar vihara.

Seorang bhikkhu dari Rajagaha menceritakan peristiwa itu kepada Sang Buddha, Sang Buddha mengatakan lebih baik Mahakassapa Thera tinggal sendirian daripada tinggal bersama orang bodoh.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 61 berikut:

Apabila dalam pengembaraan,
seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya,
maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri.
Janganlah bergaul dengan orang bodoh.


Bhikkhu dari Rajagaha tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

60. Kisah Seorang Pemuda


Suatu hari Raja Pasenadi dari Kosala sedang berjalan-jalan di kota. Secara tidak sengaja beliau melihat seorang wanita muda berdiri dekat jendela rumahnya dan beliau langsung jatuh cinta. Raja mencoba untuk menemukan berbagai cara dan kesempatan untuk mendapatkannya. Setelah mengetahui bahwa wanita muda itu telah menikah, Raja memanggil suami wanita muda tersebut dan dijadikan pelayan di istana.

Suatu ketika raja memerintahkan suami wanita muda itu untuk melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Pemuda itu diperintahkan untuk pergi ke suatu tempat, yaitu satu yojana (dua belas mil) jauhnya dari Savatthi, serta membawa pulang beberapa bunga teratai Kumuda dan sedikit tanah merah yang dikenal dengan nama Arunavati, tanahnya Naga, dan kembali ke Savatthi pada sore yang sama, pada waktu raja mandi.

Tujuan raja adalah untuk membunuh suami wanita muda tersebut, jika ia gagal kembali pada waktu yang telah ditentukan, dan mengambil wanita muda itu sebagai istrinya.

Pemuda itu mengambil ransum makanan dari istrinya dengan tergesa-gesa, dan segera berangkat untuk melaksanakan perintah raja. Di perjalanan, pemuda itu membagi bekal makanannya kepada seorang pengembara. Dia juga melemparkan sedikit nasi ke dalam air dan berteriak: “O, makhluk-makhluk penjaga dan naga-naga penghuni sungai ini! Raja Pasenadi telah menyuruhku untuk mengambil beberapa bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati untuk beliau. Hari ini aku telah membagi makananku dengan seorang pengembara; aku juga memberi makanan buat ikan-ikan di sungai; sekarang aku juga membagi manfaat perbuatan baikku yang telah aku lakukan hari ini denganmu. Berilah aku bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati.” Raja naga mendengarnya. Dengan menyamar sebagai orang tua memberikan bunga teratai dan tanah merah yang diharapkan.

Sore hari Raja Pasenadi yang cemas, seandainya pemuda tersebut datang kembali tepat pada waktunya, telah memerintahkan untuk menutup gerbang kota lebih awal. Setelah mengetahui bahwa pintu gerbang kota telah ditutup, maka pemuda tadi meletakkan tanah merah pada dinding kota dan menempelinya dengan bunga teratai.

Kemudian dia menyatakan dengan keras: “O, para warga kota! Jadilah saksiku! Hari ini aku telah memenuhi tugasku tepat pada waktunya seperti yang telah diperintahkan oleh Raja. Raja Pasenadi, tanpa ada keadilan, merencanakan untuk membunuhku.”

Setelah itu pemuda tadi munuju Vihara Jetavana untuk mencari perlindungan dan menghibur dirinya di tempat yang penuh kedamaian tersebut.

Di lain pihak Raja Pasenadi yang digoda oleh nafsu seksualnya, tidak dapat tidur, dan terus memikirkan bagaimana menyingkirkan suami wanita muda itu dan memperistrinya. Tengah malam beliau mendengar suara-suara aneh; yang sesungguhnya merupakan suara-suara yang menyayat hati dari empat makhluk menderita di alam Lohakumbhi Niraya. Sang Raja sangat ketakutan mendengar suara-suara yang mengerikan tersebut. Keesokan paginya Raja Pasenadi mengunjungi Sang Buddha, seperti yang disarankan oleh Ratu Mallika.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan tentang empat suara yang didengar raja pada malam hari, beliau mengatakan bahwa suara-suara itu merupakan suara-suara empat makhluk, yang merupakan putra dari seorang hartawan yang hidup pada masa Buddha Kassapa, dan sekarang mereka menderita di Lohakumbhi Niraya, sebab mereka telah melakukan perzinaan dengan istri-istri orang lain.

Raja akhirnya menyadari perbuatan buruk dan akibat yang diperoleh. Raja berjanji tidak akan menginginkan istri orang lain lagi. “Kejadian itu sama dengan nafsu keinginanku untuk memiliki istri orang lain yang membuatku tersiksa dan tidak dapat tidur,” pikir beliau.

Kemudian Raja Pasenadi mengatakan kepada Sang Buddha, “Bhante, sekarang saya menyadari bagaimana lamanya malam untuk seseorang yang tidak dapat tidur.” Pemuda tadi juga mengatakan, “Bhante, saya telah melakukan perjalanan penuh satu yojana kemarin, saya juga mengetahui bagaimana panjangnya satu yojana bagi seseorang yang lelah.”

Sang Buddha kemudian membabarkan syair 60 dengan menggabungkan kedua pernyataan di atas seperti berikut ini:

Malam terasa panjang bagi orang yang berjaga,
satu yojana terasa jauh bagi orang yang lelah;
sungguh panjang siklus kehidupan bagi orang bodoh
yang tidak mengenal Ajaran Benar.


Pemuda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah kotbah Dhamma itu berakhir.

58/59. Kisah Garahadinna


Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi Sang Buddha.

Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna seringkali berkata kepada Sirigutta, “Apa manfaat yang kamu dapatkan menjadi pengikut Buddha? Kemarilah, jadilah pengikut guruku.” Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kapada Garahadinna, “Katakan padaku, apa yang diketahui oleh gurumu?” Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat mengetahui segalanya. Dengan kekuatannya, dia dapat mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana makanan.

Sirigutta ingin mengetahui kebenaran tentang Nigantha, apakah mereka benar-benar memiliki kekuatan untuk mengetahui pikiran seseorang, masa lampau, sekarang dan masa depan seseorang.

Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.

Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka dipersilahkan untuk masuk satu per satu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.

Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, “Kenapa kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan? Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?” Semua pertapa-pertapa Nigantha merasa dijebak.

Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.

Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta menghadap Sang Buddha dan mengundangnya ke rumah Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga menunjukkan rasa takut undangan tersebut mungkin suatu jebakan.

Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalnya, mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua sahabat itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut diterima.

Garahadinna membuat sebuah parit, dipenuhi dengan bara yang menyala dan ditutup dengan karpet. Dia juga meletakkan belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daun-daun pisang, agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.

Keesokan harinya, Sang Buddha datang diikuti oleh lima ratus bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala, karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha dan murid-muridnya duduk.

Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia mengatakan kepada Sirigutta: “Bantulah saya, teman. Bukan keinginan saya untuk membalas dendam. Saya telah melakukan perbuatan yang salah. Rencana buruk saya tidak ada yang berpengaruh terhadap semua gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. Tolonglah saya.”

Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur, semua periuk-periuknya telah berisi makanan. Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi sangat lega dan gembira. Makanan tersebut kemudian disajikan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya.

Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana terhadap perbuatan baik itu dan Beliau berkata, “Mereka yang tidak-tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 58 dan 59 berikut ini:

Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan hati.


Begitu juga di antara orang duniawi,
siswa Sang Buddha Yang Maha Sempurna,
bersinar menerangi dunia yang gelap ini dengan kebijaksanaannya.



Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahan-lahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna mencapai tingkat sotapatti.

Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu. Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.

57. Kisah Godhika Thera


Godhika Thera, pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai kemajuan, beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.

Tanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.

Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan dimana Godhika Thera tersebut dilahirkan, tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang Buddha dan bertanya dimana Godhika Thera sekarang. Sang Buddha menjawab, “Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran moral, ia mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah meninggal dunia.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 57 berikut:

Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna.

56. Kisah Mahakassapa Thera


Setelah mencapai Nirodhasamapatti (pencerapan batin mendalam), Mahakassapa Thera memasuki suatu desa yang miskin di kota Rajagaha untuk berpindapatta. Beliau bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi orang-orang miskin tersebut untuk memperoleh jasa baik sebagai hasil berdana kepada seseorang yang baru saja mencapai Nirodhasamapatti.

Sakka, raja para dewa, yang berharap mendapat kesempatan untuk berdana kepada Mahakassapa Thera, menyamar sebagai tukang tenun yang sudah tua dan miskin dan datang ke Rajagaha dengan istrinya Sujata yang menyamar sebagai wanita tua.

Mahakassapa Thera berdiri di depan pintu rumah mereka. Tukang tenun yang sudah tua itu mengambil mangkuk dari Mahakassapa Thera dan mengisi mangkuk tersebut penuh dengan nasi dan kari, dan harumnya kari tersebut menyebar ke seluruh kota. Kejadian ini menyadarkan Mahakassapa Thera bahwa orang tersebut bukan manusia biasa. Dia menghampiri untuk meyakinkan bahwa orang tersebut adalah Sakka.

Sakka mengakui siapa dia sebenarnya dan menyatakan bahwa dia juga miskin, sebab dia jarang mempunyai kesempatan untuk mendanakan sesuatu kepada seseorang selama masa kehidupan para Buddha. Setelah mengatakan hal tersebut, Sakka dan istrinya meninggalkan Mahakassapa Thera; setelah memberikan penghormatan kepadanya.

Sang Buddha, dari vihara tempat Beliau tinggal, mengetahui bahwa Sakka dan Sujata telah pergi dan mengatakan kepada para bhikkhu tentang dana makanan dari Sakka kepada Mahakassapa Thera. Para bhikkhu kagum bagaimana Sakka mengetahui bahwa Mahakassapa Thera baru mencapai Nirodhasamapatti, dan merupakan waktu yang sangat tepat dan bermanfaat baginya untuk berdana kepada Sang Thera. Pertanyaan ini diajukan kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, kebajikan seseorang seperti putraKu, Mahakassapa Thera, menyebar luas dan jauh; bahkan mencapai alam dewa. Karena timbunan perbuatan baiknya, Sakka sendiri telah datang untuk berdana makanan kepadanya.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 56 berikut:

Tidaklah seberapa,
harumnya bunga tagara dan kayu cendana;
tetapi harumnya mereka,
yang memiliki sila (kebajikan),
menyebar sampai ke surga.

54/55. Kisah Pertanyaan Ananda


Di suatu senja, Y.A. Ananda sedang duduk sendiri. Dalam pikiran beliau timbul masalah yang berkaitan dengan bau dan wangi-wangian. Ia berpikir: “Harumnya kayu, harumnya bunga-bunga, dan harumnya akar-akaran semuanya menyebar searah dengan arah angin, tetapi tidak bisa berlawanan dengan arah angin. Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat melawan arah angin? Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat merebak ke seluruh dunia?”

Tanpa menjawab pertanyaannya sendiri, Y.A.Ananda menghampiri Sang Buddha dan meminta jawaban dari-Nya.

Sang Buddha mengatakan, “Ananda, andai saja ada seseorang yang berlindung terhadap Tiga Permata (Buddha, Dhamma, Sangha), yang melaksanakan lima latihan sila, yang murah hati dan tidak kikir, seseorang yang sungguh bijaksana dan layak memperoleh pujian. Kebajikan orang tersebut akan menyebar jauh dan luas, dan para bhikkhu, brahmana dan semua umat akan menghormatinya di manapun ia tinggal.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 54 dan 55 berikut :

Harumnya bunga,
tidak dapat melawan arah angin.
Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati.
Tetapi harumnya kebajikan,
dapat melawan arah angin;
harumnya nama orang bajik dapat menyebar ke segenap penjuru.

Harumnya kebajikan,
adalah jauh melebihi harumnya kayu cendana,
bunga tagara, teratai maupun melati.

53. Kisah Visakha


Seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Danancaya, dari istrinya Sumanadevi mempunyai puteri yang dinamai Visakha. Visakha juga merupakan cucu dari Mendaka, salah seorang dari lima hartawan yang ada di wilayah kerajaan Raja Bimbisara. Ketika Visakha berusia tujuh belas tahun, Sang Buddha berkunjung ke Bhaddiya.

Pada suatu kesempatan hartawan Mendaka mengajak Visakha dan lima ratus pengawalnya untuk memberikan penghormatan pada Sang Buddha. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Visakha, kakeknya dan semua lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Ketika Visakha dewasa, dia menikah dengan Punnavaddhana, putera Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Suatu hari, ketika Migara sedang makan siang, seorang bhikkhu berhenti untuk berpindapatta di rumah orang tersebut; tetapi Migara menolak bhikkhu tersebut.

Visakha melihat hal ini, kemudian berkata kepada bhikkhu tersebut: “Maafkan saya, teruslah berjalan bhante, ayah mertua saya hanya makan makanan basi.”

Mendengar hal itu Migara menjadi sangat marah dan menyuruhnya untuk pergi. Tetapi Visakha mengatakan bahwa ia tidak akan pergi, dan dia akan memanggil delapan wali yang dikirim oleh ayahnya untuk menemaninya dan menasehatinya. Wali-wali tersebut akan memutuskan apakah Visakha bersalah atau tidak bersalah.

Ketika para wali telah berkumpul, Migara berkata : “Ketika saya sedang makan nasi dan susu dengan mangkuk emas, Visakha mengatakan bhawa saya makan makanan kotor dan basi. Untuk kesalahan itu saya akan mengirimnya pulang.”

Kemudian Visakha menjelaskan sebagai berikut: “Ketika saya melihat ayah mertua saya membiarkan seorang bhikkhu berdiri untuk berpindapatta. Saya berpikir bahwa ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik pada saat ini, beliau hanya makan dari hasil perbuatan baiknya yang lampau. Maka, saya mengatakan, ayah mertua saya hanya makan makanan basi. Sekarang tuan-tuan, apakah anda pikir, saya bersalah?” Para wali memutuskan bahwa Visakha tidak bersalah.

Visakha kemudian mengatakan bahwa dia salah seorang pengikut Buddha yang taat dan berkeyakinan kuat dan tidak dapat tinggal diam ketika para bhikkhu datang. Juga, apabila dia tidak diberikan izin untuk mengundang para bhikkhu untuk menerima dana makanan dan persembahan lainnya, dia akan meninggalkan rumah. Maka Visakha memperoleh izin untuk mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu untuk ke rumahnya.

Keesokan harinya Sang Buddha dan murid-muridNya diundang ke rumah Visakha. Ketika dana makanan telah disajikan, Visakha mengundang ayah mertuanya untuk bersama-sama mendanakan makanan tersebut. Tetapi ayah mertuanya tidak mau datang. Setelah makan siang berakhir, sekali lagi dia mengundang ayah mertuanya, kali ini dengan pesan agar ayah mertuanya untuk datang ikut mendengarkan yang akan segera diberikan oleh Sang Buddha. Ayah mertuanya merasa bahwa tidak seharusnya dia menolak untuk kedua kalinya. Tetapi, gurunya, pertapa Nigantha, tidak mengizinkan dia pergi. Mereka memutuskan untuk mendengarkan dari balik tirai. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Dia sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan juga menantunya.

Sebagai bentuk rasa terima kasihnya, dia menyatakan bahwa mulai sekarang Visakha akan menjadi ibunya, dan Visakha kemudian dikenal sebagai Migaramata.

Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan, dan masing-masing anak mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.

Visakha memiliki sebuah perhiasan yang dihiasi dengan permata-permata yang mahal harganya, pemberian ayahnya pada hari pernikahannya. Suatu hari Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama para pengikutnya. Saat tiba di vihara, dia merasa bahwa perhiasannya sangat berat. Maka, ia melepaskan perhiasannya dan membungkusnya dengan selendang, memberikan kepada pelayannya untuk dibawa dan dijaganya. Ternyata pelayan tersebut lupa ketika mereka meninggalkan vihara. Sudah menjadi kebiasaan Y.A. Ananda menyimpan barang-barang yang ditinggalkan umat.

Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara: “Pergi dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Y.A. Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Y.A. Ananda.” Tetapi Y.A. Ananda tidak menerima dana tersebut.

Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan score dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota: Vihara ini dikenal dengan nama Pubbarama.

Setelah upacara pelimpahan jasa ia mengundang seluruh keluarganya dan mengatakan kepada mereka bahwa semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi mempunyai keinginan. Kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar mengelilingi vihara.

Beberapa bhikkhu mendengarnya. Mereka berpikir bahwa kelakuan Visakha sangat berlebihan. Maka mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa Visakha tidak seperti sebelumnya berkeliling vihara sambil menyanyi. Para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: “Apakah itu berarti Visakha kehilangan akal sehatnya?”

Sang Buddha menjawab, “Hari ini, Visakha telah memenuhi keinginannya di masa lampau maupun saat ini dan atas usahanya sendiri. Ia merasa gembira dan puas. Visakha sedang melantunkan beberapa syair kegembiraan yang pasti ia tidak kehilangan akal sehatnya. Visakha, pada kehidupan lampau selalu menjadi seorang pendana yang murah hati dan bersemangat mendukung ajaran-ajaran para Buddha. Ia juga berkecenderungan kuat melakukan perbuatan-perbuatan baik dan telah melakukan hal-hal baik juga pada kehidupan lampaunya, seperti seorang ahli bunga menyusun banyak rangkaian bunga dari setumpuk bunga.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 53 berikut :

Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga;
demikian pula hendaknya banyak kebajikan
dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.

51/52. Kisah Chattapani, Seorang Umat Awam



Seorang umat awam bernama Chattapani yang merupakan seorang Anagami tinggal di Savatthi. Pada suatu kesempatan, Chattapani menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana mendengarkan khotbah Dhamma dengan penuh hormat dan penuh perhatian.

Ketika itu Raja Pasenadi juga sedang mengunjungi Sang Buddha. Chattapani tidak berdiri sebab dia berpikir bahwa berdiri berarti dia memberikan hormat kepada raja bukan kepada Sang Buddha. Raja menganggap hal ini adalah suatu penghinaan dan melanggar suatu paraturan. Sang Buddha mengetahui pemikiran Raja Pasenadi; maka Beliau memuji Chattapani, yang sangat baik dalam Dhamma dan juga telah mencapai tingkat kesucian Anagami.

Mendengar hal ini, Raja Pasenadi sangat terpesona dan memberikan penghormatan kepada Chattapani.

Pada pertemuan berikutnya, raja bertemu dengan Chattapani dan berkata, “Anda sangat pandai; dapatkah anda datang ke istana dan memberikan pelajaran Dhamma kepada dua orang istriku?” Chattapani menolak tetapi beliau menyarankan untuk meminta izin kepada Sang Buddha agar menugaskan seorang bhikkhu untuk memberikan pelajaran Dhamma. Raja menghampiri Sang Buddha dan menceritakan maksudnya. Sang Buddha memerintahkan Ananda untuk memberikan pelajaran Dhamma secara teratur kepada Ratu Mallika dan Ratu Vasabhakhattiya di istana.

Setelah beberapa waktu, Sang Buddha bertanya kepada Ananda tentang kemajuan dari kedua orang ratu tersebut. Ananda menjawab bahwa Ratu Mallika mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh sedangkan Vasabhakhattiya tidak sungguh-sungguh belajar Dhamma. Mendengar ini Sang Buddha berkata bahwa Dhamma akan memberikan manfaat bagi seseorang yang mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, penuh hormat, dan penuh perhatian serta rajin mempraktekkan apa yang telah dipelajari.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 51 dan 52 berikut :

Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum;
demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.

Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum;
demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.

50. Kisah Pertapa Paveyya



Seorang wanita kaya berasal dari Savatthi telah mengangkat Paveyya, seorang pertapa, sebagai seorang anak dan memenuhi semua kebutuhannya. Ketika dia mendengar tetangganya memuji Sang Buddha, dia sangat berharap dapat mengundang Beliau ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Maka, Sang Buddha diundang ke rumah wanita kaya tersebut dan makanan terpilih telah disiapkan.

Ketika Sang Buddha sedang menyampaikan anumodana, Paveyya, yang berada di ruang sebelah, menjadi sangat murka. Dia menyalahkan dan mengutuk wanita tersebut karena menghormati Sang Buddha. Wanita tersebut mendengar kutukan serta teriakannya, menjadi sangat malu sehingga dia tidak dapat berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan oleh Sang Buddha. Sang Budha berkata kepada wanita itu agar tidak usah memperhatikan kutukan-kutukan dan perlakuan tersebut, tetapi perhatikan saja perbuatan baik dan perbutan buruk yang dilakukan oleh dirinya sendiri.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 50 berikut :


Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh orang lain.
Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.


Wanita kaya tersebut mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

49. Kisah Kosiya, Orang Kaya yang Kikir



Di desa Sakkara, dekat Rajagaha, tinggallah orang yang sangat kaya tapi kikir, bernama Kosiya. Dia tidak suka memberikan sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari, untuk menghindari miliknya dengan orang lain, orang kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.

Suatu pagi, Sang Buddha dengan penglihatan supranatural-Nya, melihat orang kaya tersebut dan istrinya. Beliau mengetahui bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tesebut dengan petunjuk untuk membawa mereka ke Vihara Jetavana pada saat makan siang.

Murid utama, Maha Moggallana, dengan kekuatan batin luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan berdiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya : ” Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut.” Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan meletakkannya di panggangan roti, dan roti tersebut mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa pasti istrinya menaruh adonan terlalu banyak, maka dia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat besar. Hal ini terulang terus menerus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil.

Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanakan satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggallana. Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari keranjang, roti tersebut tidak dapat keluar karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah tentang kemurahan hati kepada orang kaya kikir beserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka dengan lima ratus bhikkhu di Vihara Jetavana, di Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha.

Maha Moggallana, dengan kekuatan batin luar biasanya, membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut, untuk menghadap Sang Buddha. Di sana dia mendanakan roti tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai makan siang, Sang Buddha menyampaikan khotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.

Keesokan sore harinya, ketika para bhikkhu bercakap-cakap dan memuji Maha Moggallana, Sang Buddha menghampiri mereka dan berkata, “Para bhikkhu, seharusnya kamu juga berdiam dan berkelakuan di desa seperti Maha Moggallana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka, atau kesejahteraan mereka.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 49 berikut :

Bagaikan seorang kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna dan baunya;demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.

48. Kisah Patipujika Kumari



Patipujika Kumari adalah seorang wanita dari Savatthi. Dia menikah pada usia 16 tahun dan mempunyai empat orang putra. Patipujika Kumari merupakan seorang wanita yang baik budi dan murah hati, suka memberikan dana makanan dan kebutuhan lain kepada para bhikkhu. Dia juga sering pergi ke vihara dan membersihkan halaman, mengisi tempat air, dan memberikan pelayanan lainnya.

Patipujika juga mempunyai kemampuan “Jatissara”, yaitu kemampuan batin untuk mengingat kehidupannya yang lampau dimana dia adalah salah seorang istri Malabhari, yang tinggal di alam dewa Tavatimsa. Dia juga ingat bahwa dia telah meninggal dunia di alam dewa ketika para dewa sedang berjalan-jalan dan menikmati kesenangan di taman, dan memetik bunga-bunga.

Maka, setiap saat dia berdana kepada para bhikkhu atau melakukan perbuatan-perbuatan baik lainnya, dia berharap daapt dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari, suaminya terdahulu.

Suatu hari, Patipujika jatuh sakit dan meninggal dunia pada sore itu juga. Seperti apa yang dia inginkan, dia dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari. Seratus tahun di alam manusia sama dengan satu hari di alam Tavatimsa, Malabhari dan istri-istrinya yang lain masih bermain-main di taman; dan kepergian Patipujika hampir tidak dirasakan oleh mereka. Maka, ketika dia kembali bergabung dengan mereka, Malabhari menanyakan ke mana Patipujika pagi hari tadi. Dia kemudian menceritakan kematiannya di alam Tavatimsa dan kelahirannya kembali di alam manusia. Pernikahannya dengan seorang manusia dan juga tentang bagaimana dia telah mempunyai empat orang putra. Kematiannya di alam manusia dan lahir kembali di alam Tavatimsa.

Ketika para bhikkhu mendengar kematian Patipujika, mereka bersedih. Kemudian mereka menghadap Sang Buddha dan mealaporkan kematian Patipujika, orang yang sering memberikan dana makanan pada pagi hari, telah meninggal pada sore hari.

Sang Buddha menjawab bahwa kehidupan suatu makhluk sangat singkat; dan sebelum mereka puas dengan kesenangan-kesenangan indrianya, kematian telah menguasainya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 48 berikut :

Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria,
yang pikirannya kacau dan tak pernah puas,
akan berada di bawah kekuasaan Sang Penghancur (kematian)

Sabtu, 20 Desember 2014

47. Kisah Vitatubha

Raja Pasenadi dari Kosala, yang berharap dapat menikah dengan seorang putri dari suku Sakya, mengirimkan beberapa utusan ke Kapilavatthu dengan suatu permohonan meminang salah seorang putri suku Sakya.

Tanpa bermaksud untuk menyakiti Raja Pasenadi, pangeran suku Sakya membalas bahwa mereka akan memenuhi permintaan tersebut, tetapi mereka tidak mengirimkan seorang putri, melainkan seorang gadis cantik yang lahir dari Raja Mahanama dengan seorang budak wanita. Raja Pasenadi mengangkat gadis tersebut sebagai permaisuri, kemudian berputera dan diberi nama Vitatubha.

Ketika sang pengeran berusia 16 tahun, Raja Pasenadi mengirimnya untuk mengunjungi Raja Mahanama dan pangeran-pangera suku Sakya. Di sana sang pangeran diterima dengan ramah.

Tetapi semua pangeran suku Sakya yang lebih muda dari Vitatubha telah pergi ke suatu desa, karena mereka tidak akan memberikan penghormatan kepada Vitatubha.

Setelah tinggal selama beberapa hari di Kapilavatthu, Vitatubha dan rombongannya berniat untuk pulang. Segera setelah sang pangeran dan rombongannya pergi, seorang budak wanita mencuci tempat-tempat dimana Vitatubha duduk dengan susu. Dia juga mengutuk sambil berteriak: “Ini adalah tempat dimana putra seorang budak telah duduk,…..”.

Waktu itu, salah seorang pengikut Vitatubha kembali untuk mengambil barang yang tertinggal, dan kebetulan mendengar apa yang diucapkan oleh gadis itu. Budak wanita itu juga mengatakan bahwa ibu Vitatubha, Vasabhakhattiya, adalah putri dari seorang budak wanita milik Mahanama.

Ketika Vitatubha diberi tahu tentang kejadian tersebut, dia menjadi sangat marah dan mengatakan bahwa suatu hari dia akan menghancurkan semua suku Sakya. Untuk membuktikan ucapannya, ketika Vitatubha menjadi raja, dia menyerbu dan membunuh semua suku Sakya, terkecuali beberapa orang yang bersama Mahanama.

Dalam perjalanan pulang, Vitatubha dan pasukannya berkemah di muara Sungai Aciravati. Akibat hujan turun dengan lebatnya di kota bagian atas pada malam yang gelap itu, sungai meluap dan mengalir ke bawah dengan derasnya menghanyutkan Vitatubha dan pasukannya ke samudera.

Mendengar dua kejadian tragis ini, Sang Buddha menerangkan kepada para bhikkhu bahwa saudara-saudaranya, pangeran-pangeran suku Sakya, pada kehidupan mereka sebelumnya, mereka menaruh racun ke dalam sungai untuk membunuh ikan-ikan. Kematian para pangeran suku Sakya dalam suatu pembantaian merupakan buah dari perbuatan yang telah mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.

Berkaitan dengan kejadian yang menimpa Vitatubha dan pasukannya, Sang Buddha mengatakan: “Bagaikan banjir besar menghanyutkan penduduk desa pada sebuah desa yang tertidur, demikian juga, kematian menghanyutkan semua makhluk yang memiliki nafsu keinginan kesenangan indria.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 47 berikut:


Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan indria,
yang pikirannya kacau,
akan diseret oleh kematian.
Bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

46. Bhikkhu Yang Memandang Tubuh Sebagai Suatu Bayangan



Pada suatu kesempatan, setelah belajar bermeditasi dari Sang Buddha, seorang bhikkhu segera pergi ke hutan. Meskipun ia telah berusaha dengan keras, dia hanya mendapat kemajuan yang kecil dalam latihan meditasinya; sehingga ia memutuskan untuk kembali menemui Sang Buddha untuk belajar lebih jauh.

Dalam perjalanan pulang, dia melihat sebuah bayangan, dimana hanya merupakan penampakan semu dari air. Segera ia menyadari bahwa tubuh ini juga semu seperti bayangan. Dengan tetap memelihara pikiran tersebut, dia kembali ke muara sungai Aciravati. Ketika ia sedang duduk di bawah pohon dekat sungai, melihat ombak yang pecah, ia menyadari bahwa tubuh ini tidak kekal.

Kemudian Sang Buddha menampakkan diri dan berkata kepadanya: “Anak-Ku, apa yang kamu telah sadari bahwa tubuh tidak kekal seperti halnya busa, dan semu seperti halnya sebuah bayangan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 46 berikut:


Setelah mengetahui bahwa,
tubuh ini bagaikan busa,
dan setelah menyadari sifat mayanya,
maka hendaknya seseorang mematahkan bunga nafsu keinginan,
dan menghilang dari pandangan raja kematian.

44. Kisah Lima Ratus Bhikkhu



Setelah mengikuti Sang Buddha ke suatu desa, lima ratus bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Sorenya, para bhikkhu tersebut membicarakan perjalanan yang baru dilakukan, khususnya kondisi desa tersebut, apakah berbukit-bukit, menanjak, tanahnya berlumpur, berpasir, merah atau hitam, dan sebagainya, Sang Buddha menghampiri mereka.

Mengetahui apa yang mereka bicarakan, Sang Buddha berkata, “Bhikkhu, bumi yang engkau bicarakan ada di luar tubuh ini. Sesungguhnya lebih baik meneliti diri sendiri dan mempersiapkan diri untuk berlatih meditasi.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 44 dan 45 berikut ini:


Siapakah yang akan menaklukkan dunia ini
beserta alam Yama dan alam Dewa?
Siapakah yang akan menyelidiki Jalan Kebajikan
yang telah diterangkan dengan jelas,
seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga?

Seorang Sekha (siswa yang masih berlatih) akan menaklukkan dunia ini 

beserta alam Yama dan alam Dewa.
Seorang siswa yang masih berlatih ini akan menyelidiki jalan kebajikan yang telah diajarkan dengan jelas,seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga.

Sang Buddha menambahkan, bahwa dengan mengerti diri sendiri, seorang bhikkhu akan mengerti akan dunia ini, surga dan neraka, ia juga akan dapat merealisasikan Dhamma yang Agung, seperti rangkaian bunga yang dirangkai oleh seorang akhli merangkai bunga.

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

15. Kisah Cundasukarika



Pada suatu dusun, tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun; selama hidupnya, dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur, berteriak-teriak, dan terus menggerakkan tangan dan lututnya untuk merangkak seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan dilahirkan kembali di Neraka Avici (Avici Niraya).

Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda, berpikir, pastilah Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji. Yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.

Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat, akibat penyakit yang dideritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di alam neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat, akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya; dia menderita dalam dunia ini, sama seperti pada alam berikutnya.

Hal itu diwejangkan oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair 15 berikut ini:

Di dunia ini ia bersedih hati.
di dunia sana ia bersedih hati.
pelaku kejahatan akan bersedih hati,
di kedua dunia itu.
ia bersedih hati dan meratap,
karena melihat perbuatannya sendiri,
yang tidak bersih.

Minggu, 31 Agustus 2014

Nasehat Biksu Tua



Seorang biksu tua dalam biara mengajak muridnya yang masih muda untuk pergi turun gunung mencari sedekah. Di dalam perjalan pulang mereka bertemu dengan seorang nenek tua yang hampir menemui ajalnya karena kelaparan.

Biksu tua segera memerintahkan muridnya untuk meninggalkan makanan dan sedikit uang kepada nenek tua itu, akan tetapi muridnya merasa enggan.

Biksu tua lalu menasehati muridnya itu dengan berkata, "Mati hidup dan pahala itu hanya terletak pada sekilas pikiran, uang dan makanan tersebut bagi kita hanyalah sekedar untuk mempertahankan hidup kita untuk sementara saja. Akan tetapi bagi nenek tua itu, benda-benda tersebut dapat menolong nyawanya."

Murid biksu tua itu setengah mengerti setengah tidak, dengan hormat dan berhati-hati dia berkata, "Bimbingan Guru selamanya akan murid camkan dalam hati, suatu hari nanti jika murid berhasil memajukan biara dan ketika telah terkumpul banyak uang dan pangan, pasti membantu dan menolong rakyat miskin."

Siapa sangka setelah mendengarkan kata-kata itu biksu tua hanya menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Beberapa tahun kemudian, biksu tua ini telah hampir mencapai ajalnya. Sebelum ajalnya tiba dia telah menyerahkan sebuah kitab sutra kepada muridnya, mulutnya bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu tapi tidak keburu mengucapkan sepatah kata pun, biksu tua itu telah berpulang.

Muridnya yang masih muda ini setelah mewarisi kedudukannya,sangat piawai dalam memimpin biara. Dia tak henti-hentinya memperluas biara kecil yang sudah usang itu. Di dalam hati muridnya ini berpikir, tunggu hingga perluasan biara ini rampung, saya pasti bersungguh-sungguh melaksanakan bimbingan dari biksu tua untuk menolong masyarakat secara luas.

Akan tetapi setelah biaranya sudah mencapai skala tertentu,dalam hatinya berpikir lagi, tunggu biara ini mencapai skala yang lebih besar lagi, baru saya laksanakan perbuatan amal untuk menolong masyarakat.

Waktu berlalu dengan cepat, ketika murid ini sudah mencapai umur 80-an, kuilnya juga sudah menjadi besar dan mentereng, juga memiliki sawah ratusan hektar.

Akan tetapi, selama puluhan tahun ini, dikarenakan sibuk dengan pembangunan kuil, telah mengabaikan perbuatan amal (kebaikan), akhirnya dia tidak pernah melaksanakan satu hal apapun yang bisa mendatangkan pahala.

Sebelum ajalnya tiba, murid ini tiba-tiba teringat kepada buku sutra yang ditinggalkan oleh biksu tua. Ketika dia membuka halaman judul dari buku itu, tertera tulisan nasihat biksu tua yang ketika itu tidak sempat biksu tua tunjukkan :

"Memberi pertolongan kepada orang satu kali, melebihi melafalkan sutra (kitab suci agama Buddha) selama sepuluh tahun."

Sebenarnya, menolong orang itu tidak perlu menunggu setelah kita sendiri memiliki kemampuan yang cukup baru melaksanakannya. Penting untuk diketahui bahwa mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang lain dengan kemampuan yang kita miliki, akan mengandung makna yang lebih mendalam.

Hati belas kasih yang timbul untuk menolong orang lain, merupakan watak hakiki yang nampak secara alami, dijalankan dan dilaksanakan kapan dan dimana saja.Cara kerja yang harus menunggu setelah kita memiliki kemampuan yang cukup, sebenarnya adalah suatu alasan untuk menutupi ketidak relaan hati kita untuk berkorban. (The Epoch Times/lin)

Sabtu, 30 Agustus 2014

Kisah Labu Kembar (Shuang Hu Lu 双葫芦)

Alkisah pada masa lampau di China, terdapat 2 orang kakak beradik yang berbeda ibu, ibu si kakak sudah lama meninggal. Kini dia tinggal bersama ayah, ibu tiri dan adik tirinya. Mereka berdua sangat akrab, sang kakak sangat menyayangi adiknya dan si adik sangat menghormati kakaknya. Ibu mereka juga menyayangi mereka berdua. Sang kakak menanam pohon labu dan dengan rajin memeliharanya hingga tumbuh besar. Ketika pohon labu berbuah sang kakak menyadari kalau ada buah labu kembar yang berdampingan.

Suatu hari mereka mendengar kabar bahwa raja negeri mereka sedang sakit parah, tabib istana mengatakan bahwa labu kembar dapat menyembuhkan penyakit raja. Maka diadakanlah sayembara, barangsiapa yang memiliki labu kembar akan mendapatkan satu peti emas. Sang kakak sangat senang mendengarnya, dia segera memberitahu kepada keluarganya.

Pada hari keberangkatan sang kakak ke ibukota, ibu memanggil si adik kedalam dapur. Dia memberi 2 buah kue pia kepada adik lau berkata:
"Ada 2 buah kue pia, yang polos dan bergambar bunga. Berilah kakakmu kue yang bergambar bunga. Sebab ibu telah memberi racun didalamnya."

"Kenapa ibu ingin membunuh kakak?bukankah ibu juga menyayangi kakak?" tanya si adik keheranan,

"Ibu memang menyayanginya, tetapi kamu adalah anakku dan aku tidak rela bila kakakmu mendapatkan emas itu, maka biarlah dia memakan kue beracun ini"

Kemudian si adik membawa kue itu ke kakaknya. Sang kakak yang dari tadi mencari adiknya senang melihat adiknya, dipeluknya dan kemudian berkata

"Adikku, tunggu kakak ya, kakak janji akan segera pulang, kakak akan membeli banyak oleh oleh untukmu dari kota dan uang emas hadiahnya untuk kita bersama!"

Sang adik terdiam, kemudian berkata kepada kakaknya. "Kakak, ibu memberi kita berdua kue, makanlah...tapi aku ingin kue yang bergambar bunga." Setelah itu si adik dengan lahap memakan kue beracun itu. Setelah kepergian kakaknya, dia berkata kepada ibunya"Ibu, kue beracun itu telah kumakan, kakak sangat baik kepadaku, mana mungkin aku tega membunuhnya. Setelah aku mati, sayangilah dia seperti ibu menyayangiku..."

Ibunya yang mendengarnya kemudian memeluknya "Anak bodoh, tidak ada racun sama sekali di kue bergambar bunga itu. Ibu hanya menguji rasa sayangmu kepada kakakmu, ibu kuatir kamu menjadi iri dengan kemujuran kakakmu..."

Orang2 yang mengetahui kisah mereka mengabadikannya dengan membuat bermacam2 aksesori labu kembar seperti layangan, dll sebagai lambang keberuntungan dan persaudaraan.

sumber : Internet

WORTEL, TELUR, ATAU KOPI



Ada seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air-air di atas panci itu mendidih, ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua, dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.

Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk yang lainnya. Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang engkau lihat, nak?” “Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. 

Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras, dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah di rebus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur, atau kopi?”
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak, dan kehilangan kekuatanmu.

Apakah kamu telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya penderitaan dan kesulitan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi kamu menjadi keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Apakah kamu bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

Bagaimana dengan kita? Hanya diri kita sendiri yang mengetahuinya.

sumber : Internet

Rabu, 27 Agustus 2014

PISANG DAN MELEPAS





Pada zaman dahulu,menangkap monyet itu gampang.Pemburu masuk ke hutan,mencari kelapa matang,membuat lubang kecil seukuran kepalan tangan monyet.Ia lalu meminum air kelapa manisnya dan makan sebagian daging buahnya.

Setelah makan,ia akan menggantungkan kelapa kosong itu di pohon dengan tambang tebal atau sabuk kulit.Setelah menaruh sebuah pisang di dalam kelapa itu,si pemburu akan pulang.

Benar saja,seekor monyet akan menemukan kelapa berongga dengan pisang di dalamnya itu,dan berusaha menarik pisang itu keluar .Namun lubangnya hanya cukup besar untuk monyet memasukkan tangan kosong.Ketika tangannya menggengam pisang,ia tidak bisa mengeluarkannya dari kelapa itu.

Pada saat pemburu kembali , monyet itu berjuang berjam-jam untuk mengeluarkan kepalannya berikut pisangnya.Melihat pemburu , monyet itu berusaha makin keras untuk menarik kepalan dan pisangnya keluar.

Yang perlu monyet itu lakukan untuk meloloskan diri hanyalah melepas pisangnya.Lalu ia bisa menarik keluar tangannya dan kabur. Tetapi apakah monyet itu melepaskannya..?

Tidak ! Sebab monyet itu berpikir,”Ini pisangku.aku menemukannya.ini milikku.” Dan begitulah bagaimana monyet tertangkap setiap saat.

Begitulah cara manusia tertangkap. Misalnya,putera tercinta Anda meninggal dan Anda tidak bisa berhenti meratapinya.Anda memikirinya sepanjang waktu.Anda tidak bisa tidur atau bekerja.Mengapa..?

Yang perlu Anda lakukannya hanyalah “melepas pisangnya” dan Anda akan bisa meneruskan hidup Anda tanpa terlalu berduka.

Namun Anda tidak bisa melepas.Hanya karena Anda berpikir,” Ini puteraku.Aku membesarkannya.Ia milikku.”

Para ibu memberitahu saya bahwa tak kala mereka melihat mata mata anak mereka yang baru lahir untuk pertama kalinya,mereka secara naluriah tahu bahwa makhluk ini tidak seluruhnya terbuat dari orangtuanya,makhluk dengan masa silam dan pribadinya sendiri,seorang pengunjung entah dari mana,yang kini telah memasuki kehidupan mereka.Bayi itu adalah untuk mereka rawat,besarkan,dan cintai,namun bukan untuk di miliki.

Sayangnya,banyak orangtua melupakan hal ini selama bertahun-tahun dan mulai melekati anak mereka.Jadi,ketika tiba waktunya untuk melepas mereka,mereka tidak mampu.jika saja mereka ingat bahwa seseorang tak pernah bisa memiliki orang lain,tidak bahkan itu adalah anak sendiri,maka mereka tidak akan pernah tertangkap seperti monyet dan berduka karenanya.


Mencintai seseorang berarti rela melepasnya suatu hari.

sumber : buku DON'T WORRY BE HOPEY

(Ajahn Brahm)

Minggu, 03 Agustus 2014

Pajjota Sutta



“Ada berapakah sumber cahaya di dunia ini
Yang dengannya dunia ini diterangi?
Kita harus bertanya kepada Sang Bhagavā
Bagaimana memahami hal ini?”

“Ada empat sumber cahaya di dunia ini;
Tidak ada yang ke lima.
Matahari bersinar di siang hari,
Bulan bersinar di malam hari,

Dan api menyala di sana-sini
Baik di siang hari maupun di malam hari.
Namun Sang Buddha adalah yang terbaik dari semua itu:
Beliau adalah cahaya yang tidak terlampaui.”







©2011 Edisi DhammaCitta Pedia. Sumber: Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha, Terjemahan baru Saṃyutta Nikāya. ©2010 DhammaCitta Press.
Saran Penulisan Kutipan: "SN 1.26: Pajjota Sutta - Sumber Cahaya" oleh Bhikkhu Bodhi. DhammaCitta Pedia, revisi 14/11/2011,http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.26:_Pajjota_Sutta

Jaṭā Sutta

“Kusut di dalam, kusut di luar,
Generasi ini terjerat dalam kekusutan.
Aku bertanya kepada-Mu, O, Gotama,
Siapakah yang mampu menguraikan kekusutan ini?”[1]

“Seseorang yang mantap dalam moralitas, bijaksana,
Mengembangkan batin dan kebijaksanaan,
Seorang bhikkhu yang tekun dan waspada:
Ia mampu menguraikan kekusutan ini.[2]

“Mereka yang mana nafsu dan kebencian
Bersama dengan kebodohan telah dihapuskan,
Para Arahanta dengan noda terhancurkan:
Bagi mereka, kekusutan telah diuraikan.[3]

“Di mana nama-dan-bentuk lenyap,
Berhenti tanpa sisa,
Dan juga benturan dan persepsi atas bentuk:
Di sinilah, kekusutan telah diuraikan.”[4]



Catatan Kaki

1.Syair ini dan yang berikutnya membentuk tema pembuka dari Vism dan dikomentari pada Vism 1-4 (Ppn 1:1-8); Penjelasan ini digabungkan dalam Spk. VĀT menyarankan bahwa kata antojāṭa bahijaṭā seharusnya dianggap sebagai kata majemuk bahubbīhi sebagai kebalikan dari pajā (“memiliki kekusutan di dalam, memiliki kekusutan di luar”), tetapi saya menerjemahkan sesuai dengan Spk, yang memperlakukan sebagai tappurisa.
Spk: Kekusutan (jaṭā) adalah suatu istilah bagi jaringan keinginan, dalam pengertian “saling menjalin”, karena muncul berulang-ulang naik dan turun di antara objek-objek indria seperti bentuk-bentuk. Ada kekusutan di dalam, kekusutan di luar, karena keinginan muncul sehubungan dengan kepemilikan seseorang dan kepemilikan orang lain; sehubungan dengan jasmani diri sendiri dan jasmani orang lain; dan sehubungan dengan landasan-landasan internal dan eksternal.
2. Jawaban Sang Buddha adalah pernyataan yang ringkas atas tiga latihan, dengan Samadhi dirujuk oleh kata citta. Spk mengatakan bahwa kebijaksanaan disebutkan tiga kali dalam syair ini: pertama sebagai kecerdasan halus (“bijaksana”); kedua sebagai kebijaksanaan vipassana (vipassanā-paññā), kebijaksanaan yang harus dikembangkan; dan ketiga sebagai “bijaksana”, kebijaksanaan pragmatis yang menuntun dalam semua tugas (sabbakiccaparināyikā parihāriyapaññā).
Spk: “Bagaikan seseorang yang berdiri di atas tanah dan memegang sebilah pisau tajam dapat menguraikan kekusutan bambu, demikian pula seorang bhikkhu ... berdiri di atas tanah moralitas dan memegang pisau kebijaksanaan-vipassanā yang diasah di atas batu asah konsentrasi, dengan tangan kecerdasan praktis yang diupayakan oleh kekuatan usaha, dapat menguraikan, memotong, dan membongkar seluruh kekusutan keinginan yang tumbuh berlebihan dalam keseluruhan batinnya.” (diadaptasi dari Ppn 1:7)
3.Syair sebelumnya menunjukkan siswa (sekha), yang mampu menguraikan kekusutan, syair ini menunjukkan para Aharanta, seorang yang telah menyelesaikan latihan (asekha), yang telah selesai menguraikan kekusutan.
4. Spk mengatakan bahwa syair ini disebutkan untuk menunjukkan kesempatan (atau wilayah) untuk menguraikan kekusutan (jaṭāya vijaṭanokāsa). Di sini, nama (nāma) mewakili empat kelompok unsur batin. Spk memperlakukan benturan (paṭigha) sebagai bentuk singkat karena tuntutan irama dari benturan (paṭighasaññā). Menurut Spk-pṭ, dalam pāda c, kita harus membaca bentuk gabungan ringkas dvanda, paṭigharūpasaññā (“persepsi benturan dan persepsi bentuk”), bagian pertama telah dipotong, dipecah, dan dibuat berbunyi sengau untuk menyesuaikan irama. Benturan sebagai kontak dari lima objek indria dengan lima landasan indria, “persepsi benturan” (paṭighasaññā) didefinisikan sebagai lima persepsi indria (baca Vibh 261, 31-34 dan Vism 329,22-24; Ppn 10:16). Persepsi bentuk (rūpasaññā) memiliki daerah yang lebih luas, termasuk juga persepsi bentuk yang terlihat dalam jhāna-jhāna [Spk-pṭ: persepsi bentuk dari kasiṇa-tanah, dan lain-lain]. Spk menjelaskan bahwa yang pertama menyiratkan kehidupan alam-indria, yang terakhir, kehidupan alam-berbentuk, dan gabungan keduanya menyiratkan kehidupan alam tanpa-bentuk, dengan demikian mencakup tiga alam kehidupan.
Di sinilah kekusutan ini dipotong. Kekusutan ini dipotong, dalam pengertian bahwa lingkaran dengan tiga alamnya terhenti. Terpotong dan lenyap dalam ketergantungan pada Nibbāna.


©2011 Edisi DhammaCitta Pedia. Sumber: Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha, Terjemahan baru Saṃyutta Nikāya. ©2010 DhammaCitta Press.
Saran Penulisan Kutipan: "SN 1.23: Jaṭā Sutta - Kekusutan" oleh Bhikkhu Bodhi. DhammaCitta Pedia, revisi 14/11/2011, http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_1.22:_Jaṭā_Sutta

Selasa, 17 Juni 2014

MARILAH BERMEDITASI


Oleh: Sri Pannavaro Mahathera


Sebab Penderitaan

          Para ibu, bapak dan saudara-saudara,Saya akan berbicara dengan topik yang lebih mendalam tidak hanya dasar. Mendengarkan Ajaran Buddha agak berbeda dengan mendengarkan uraian-uraian lain, tetapi mendengarkan Ajaran Buddha, uraian-uraian Agama Buddha yang disebut Dhamma sebetulnya tidak begitu mendengar lalu mengerti secara intelektual dalam bahasa jawa secara nalar. Tetapi mendengarkan uraian Dhamma itu seperti mendengar, kemudian merefleksikan ke dalam. Dalam bahasa yang mudah merefleksikan itu mencocokkan dengan kehidupannya sendiri yang dialami sendiri. Sehingga saya sering mengatakan mendengarkan uraian Dhamma atau uraian ajaran Buddha Gautama itu guru agung seperti bercermin.

           Kalau ibu atau saudari ulang tahun, ulang tahun perkawinan ada kenalan yang baik sekali yang dulu pernah mendapatkan jasa, pernah ditolong datang memberikan kado gelang tretes ( berlian ) betulan bukan imitasi. Pertanyaan saya adalah bagaimana reaksi ibu atau saudari,

Senang Apa tidak senang?

Senang….

Tidak usah di pikir karena itu saya mengatakan jangan mikir, karena kalo mikir malah nanti jawabannya itu nanti tidak tulus. Orang pinter biasanya… Senang apa tidak ya???

Itu kalo wanita, kalo pria mungkin mendapatkan hadiah jam dari Swiss. Kalo anda mendapatkan kado jam dari Swiss asli, apalagi yang memberikan teman baik yang bisa dipercaya.

Bapak atau saudara senang apa tidak senang?

Senang….

Ibu, bapak dan saudara

Pertanyaan saya adalah kalo gelang tretes itu datang di sini, kalo jam dari swiss itu datang di sini. Menjadi hadiah saudara.

Saudara senang apa tidak senang?

Senang bhante…

Dimana letaknya senang itu?

Di sini….? ( sambil menunjukan dada / hati )

Apa di sini? ( sambil menunjukkan gelang atau jam )

Dimana yang merasakan senang itu?

Di sini ( sambil menunjukan dada / hati )

Gelang dan jam adalah benda mati. Meskipun gelang mahal bertabur berlian dan Jam mahal. Di kedua benda itu tidak ada senang.

Di dalam bahasa yang kasar: Loh yang merasakan senang di sini koq ( sambil menunjukkan dada/ hati ) yang senangnya di sini… bukan di situ ( di gelang atau jam ).

         Suatu ketika kondangan lalu gelangnya dipakai, tetapi karena sesuatu hal waktu pulang berliannya itu copot beberapa butir. Dilihat bolong ( berlubang ), entah kecantol tas ( tersangkut ), entah kecantol pakaian ( tersangkut pakaian ). Atau jam swiss yang mahal itu jatuh… kepijek ( terinjak ) pecah.

Kalo mata berliannya itu hilang, jamnya itu pecah, riek ( hancur ).

Ibu, bapak bagaimana reaksinya?

Senang apa tidak senang?

Tidak senang bhante…

Dimana letaknya tidak senang itu?

Letaknya tidak senang itu di jam yang riek ( hancur ) / gelang yang berlubang berliannya atau di sini ( sambil menunjuk dada/hati )?

Jawabannya: Di sini ( sambil menunjuk dada/hati ).

         Oleh karena itulah menurut guru Agung Buddha Gautama, yang membuat kita senang atau tidak senang, yang membuat kita menderita, yang membuat kita susah. Semuanya itu muncul di dalam dan dari dalam diri kita ini! Tidak ada sangkut pautnya yang ada di luar!

Karena kalo kita susah, sedih di sini ( sambil menunjuk dada/hati ).

Kalo kita senang, gembira juga di sini ( sambil menunjuk dada/hati ).

Tidak di luar….!!!!

        Tetapi kalo ibu bapak ada yang kritis, bisa bilang. Ya bhante sedih di sini ( sambil menunjuk dada/hati ), gembira juga di sini ( sambil menunjuk dada/hati ). Tapi jalarannya kan di luar bhante. Kalo saya tidak mendapat gelang tretes ( berlian )/jam, kita kan tidak bisa ujug-ujug ( tiba-tiba ) senang. Karena gelang tretes saya senang, karena jamnya rusak saya menderita.

Jalarannya kan yang di luar juga bhante…. tidak hanya di dalam ( sambil menunjuk dada/hati ).

Betul? Ibu, bapak dan saudara?

Kelihatannya betul…. tapi tidak betul.

Apa betul kalo ada gelang tretes, ada jam datang lalu kita menjadi senang?

Iya bhante… kalo gak ada gelang atau jam, mana bisa kita menjadi senang.

Iya kalo gelang atau jam itu datang ke pak Budi, kalo gelang atau jam itu datang ke pak Joni…

Pak Budi senang tidak?

Tidak senang…

Loh mengapa tidak senang?

Jamnya ke sana ( sambil menunjukkan ke Pak Joni ), bukan ke sini ( sambil menunjukkan ke Pak Budi ).

Katanya kalo ada jam atau gelang tretes senang….

Ini ada jam ada gelang tretes tapi pergi ke sana, tidak ke sini. ( pergi ke orang lain tidak ke saya ).

Saya senang atau tidak?

Tidak…

Kenapa gak senang bhante? Karena gelang dan jamnya ke situ koq bukan ke sini.

Kenapa dia susah, sedih?

Gelangnya hilang bhante… tidak hanya berliannya yang copot tapi hilang. Lupa naruh entah kemana. Pembantu entah siapa ambil.

Jadi yang membuat dia menderita itu apa?

Yang membuat dia menderita itu ya.. gelangnya yang hilang atau jamnya yang riek ( hancur ) terinjak.

Apa betul???

Kalo yang hancur itu, yang hilang itu gelangnya atau jamnya orang lain saya tidak menderita…

Jadi ibu bapak dan saudara, apa sebab yang membuat menderita ini?

Yang membuat menderita itu adalah jam-KU, gelang-KU. Itulah yang membuat menderita. AKU…

Karena kalau jamnya dia, gelangnya dia… aku tidak menderita.

Kalo jamnya atau gelang anaknya, dia ikut menderita

Kalo jamnya atau gelangnya temannya, dia sedikit menderita.

Kalo jamnya atau gelangnya orang lain yang kita tidak kenal… Oh…. sama sekali tidak menderita!

Mengapa?

Karena bukan jam-KU, bukan gelang-KU, bukan jamnya anak-KU, bukan gelangnya anak-KU. Gelang dan jamnya milik orang lain, Aku tidak kenal…. maka tidak menderita.

Berhati-hatilah dengan AKU ibu, bapak dan saudara.

Itu yang membuat kita menderita……

Mengapa bisa menderita bhante?

Karena terlalu lengketnya, terlalu senangnya, terlalu besarnya AKUnya…. maka dia menderita.

Berharga, mahal, milyaran

Tetapi barang yang sama yang berharga, mahal, milyaran

Kalo ini rusak tetapi bukan milik-KU….. AKU tidak apa-apa…. tenang .. tentram.

Jadi sang AKU-lah

Apa yang saya sampaikan ini adalah The Fact of Life…, The Truth…., Kesunyataan Hidup.

Saudara tidak perlu mendengar uraian saya, lalu meng-iya-kan, tetapi saudara bisa mencocokkan apa yang saudara pernah alami ibu, bapak sekalian dalam kehidupan sehari-hari.

Benar… Tidak???

Ibu, bapak dan saudara jangan sepelekan AKU.

Ada orang mengatakan.. Ah… bhante.. AKU kan bukan kejahatan toh.., paling kalo AKU-nya besar itu hanya akan dikatakan: Orang koq Sombong-Sombing banget….!!! Arogan….

Paling kan hanya dikatakan begitu… kan bhante…

Kalo ada upacara pasti ingin minta duduk di depan…

Kalo suatu ketika yang terima tamu tidak mengerti lalu didudukkan di belakang sana…

AKU di suruh duduk di belakang sana???

AKU ini … jasaku ini tidak dihargai.. Itu orang tidak tahu AKU ini siapa???

Saya pernah diberitahu seorang bhikkhu, Oh… dia bukan pemimpin bhante…

Kalo orang seperti itu adalah pemuka bukan pemimpin.

Koq bisa???

Dia ingin duduk di muka.. kelihatan di muka..

Oh beda ya.. pemuka sama pemimpin…

Oh ya… beda bhante… ( joke )

Jangan Meremehkan ke-AKU-an ibu, bapak dan saudara…

Ke-AKU-an punya anak… Anaknya ke-AKU-an adalah:

Kalo dia senang..

AKU ingin senang lagi.. AKU ingin senang terus.. AKU ingin senang yang lebih banyak..

*KESERAKAHAN….. ( Anaknya ke-AKU-an itu keserakahan ).

Kalo dia untung..

AKU ingin untung terus.. AKU gak mau rugi.. tidak ada pedagang yang mau rugi.

AKU ingin sukses terus..

AKU ingin sehat terus..

Kalo sudah tua, AKU ingin tua terus.. Loh koq bisa bhante? Siapa yang ingin mati? Kalo sudah terlanjur tua kan, AKU ingin tua terus..

( Itu KESERAKAHAN)

dan

Kalo tidak senang..

**KEBENCIAN muncul pada saat keserakahan tidak mendapatkan pemenuhan.

Tetapi kalo kesenangannya mendapatkan pemenuhan… Oh.. KESERAKAHAN-nya membara-bara.

( Joke )

Saya pernah bertemu dengan seorang pejabat. Dia ingin mencalonkan dirinya lagi, dia ingin menjabat lagi.

Pak… apa bapak menjabat itu enak toh?

Ya… bhante enaknya cuma 10%..

Oh…. begitu. Loh yang 90% pak?

Yang 90% enak banget…. bhante… ( Peserta Dhamma Class meledak tertawa ).

Oh makanya kepingin lagi menjabat. Saya pikir enaknya hanya 10%…. yang 90% tidak enak…

Ternyata yang 10% enak.. dan yang 90% enak banget…

Nanti kalo gagal bagaimana?

Kalo gagal dia bisa kecewa… Jengkel… Bisa-bisa marah.

Tidak senang pada yang maju… Tidak senang pada yang berhasil..

Itu anaknya KEBENCIAN…

Jadi sang AKU punya anak KEBENCIAN dan KEBENCIAN punya anak “SENANG MELIHAT ORANG LAIN GAGAL / MEMBALAS DENDAM”

Anaknya KESERAKAHAN apa? Anaknya KESERAKAHAN ” IRI HATI / TIDAK SENANG MELIHAT ORANG LAIN SUKSES”

Itu semua adalah keturunan AKU.

Sang AKU mempunyai anak ingin… ingin.. ingin… lagi.. lagi.. lagi.. ( KESERAKAHAN ), terhalang marah maka kebencian muncul.. kekejian muncul.. kejahatan muncul.

Semuanya lahir dari sang AKU. Sang AKU mempunyai anak.. beranak – pinak.. ( berkembang biak ) melahirkan kejahatan-kejahatan.

Ibu, bapak dan saudara…. ibu bapak bisa memahami ya.. yang saya uraikan..

Sang AKU sangat berbahaya dan sebab penderitaan itu adalah sang AKU.

Tidak ada sangkut pautnya dengan yang di luar sama sekali!!!

Apapun yang di luar terjadi jungkir-terbalik, kalo sang pikiran ( AKU-nya ) terkendali… anda tidak perlu menderita.

Bhante saya mendengar penderitaan itu.. terjadi karena karma-karma buruk berbuah. Dulu kita melakukan / berbuat yang buruk-buruk.. melakukan karma buruk.. lalu berbuah.. buahnya karma buruk katanya penderitaan. Buah karma baik katanya kebahagiaan.

Jadi penderitaan itu bukan akibat dari perbuatan yang buruk / akibat karma yang buruk bhante?

BUKAN…. saudara…

Saudara yang sudah menjadi umat Buddha sudah lama, pernah mendengar toh..?

Empat Kesunyataan Mulia:

1. Ada Dukha

2. Apakah Sebabnya Dukha?
Apakah sebabnya dukha di sebut akibat karma buruk berbuah maka membuat kita menderita ( Dukha ). TIDAK…. Sebabnya dukha adalah Tanha. Apakah Tanha itu? KEINGINAN yang luar biasa. Darimana datangnya Tanha.. sang AKU. Sang AKU ingin lagi.. ingin lagi.. ingin lagi… Kalo tidak senang ingin menghancurkan.. ingin menyingkirkan terus.. terus.. terus.. sampai tidak menghalangi AKU lagi.

Jadi bhante kalo perbuatan buruk / karma buruk kita berbuah, itu kita tidak menderita?

Terserah saudara.. saudara mau menderita atau tidak menderita!!!

Jadi kalo karma buruk kita berbuah, apa kita mesti menderita bhante?

TIDAK… Tergantung pada kita. Pada yang di dalam ini… mau menderita atau tidak… tergantung yang di dalam. Tidak tergantung akibat yang muncul.

Dari cerita ini lagi… ibu bapak bisa melihat. Tidak ada hubungannya kesusahan, ketegangan, penderitaan itu dengan yang di luar ini. Tidak ada sangkut pautnya!!!
Susah, menderita, sengsara itu karena ” KITA SENDIRI SEPENUH-PENUHNYA”

Karena apa bhante?

Karena sang AKU kita biarkan….

Jangan main-main dengan sang AKU.. bukan masalah persoalan sombong-sombing saja.

Berbahaya.. ia menjadi biang penderitaa

Hubungan Pikiran, Perasaan dan Jasmani

Saya mau ke paragraph/chapter kedua, Tapi paragraph kedua ini ada hubungannya dengan paragraph pertama.

Uraian yang pertama tadi harus diingat!!!

Saudara.. Kalo saudara punya anak di Amerika, di LA atau di New York? Atau di jerman, saya tidak ingin menggunakan contoh Amerika. Sebab nanti kalo pas ada yang punya anak di Amerika, nanti jangan-jangan bhante ini meramal.

Malam-malam anda mendapatkan telepon.

Pak… Bu… setengah jam yang lalu anak bapak masuk ICU, tabrakan, gak sadar sekarang….

Selama anda mencari / mengurus visa, pasport, mencari karcis, naik pesawat 20 jam… 22 jam…

Bagaimana pikiran kita ini sebagai orang tua?

Was-was.. gelisah.. khawatir.. berkembang biak ( di pikiran ).

Kalo ibu mendengar, bapak mendengar anak ditabrak ( kecelakaan ), koma, masuk ICU… Jauh….

Timbul gelisah khawatir…

Iki mengko kepiye…. sopo sing nulung ( ini nanti bagaimana.. siapa yang menolong ), bisa sembuh tidak, yang nokoke Pien Zehuang sopo iki engko ( yang beliin Pien Zehuang siapa ini nanti ).

Pertanyaan saya…

Ibu bapak senang apa susah?

Susah…. ( gak usah mikir-mikir itu jawabannya ), siapa yang senang anaknya di ICU….

Pikiran itu ibu bapak.. Sangat cepat dan sangat kuat sangat mempengaruhi perasaan…. ( tolong ini diingat-ingat, nanti ada contoh lagi ).

Kalo perasaan ibu bapak susah, karena pikiran gelisah, membayangkan anaknya, was-was.. khawatir..

Pikiran dengan cepat mempengaruhi perasaan, perasaannya susah.

Kalo ibu susah seperti itu, apakah makan rasanya enak?

Tidak enak… Kesukaannya apa toh dia? Soto.. cepat-cepatlah beliin soto..

Sotonya datang, di lihat saja..

Lain persoalan kalo anaknya yang ada di Jepang telepon, setelah kuliah menghabiskan uang bertahun-tahun..

Mah… hari ini aku lulus. Tenan iki mah, gak ngapusi ( benar ini mah gak bohong ).

Nanti hasilnya saya faks….

Lalu… ibu bapak.. Aduh anakku lulus… ( Pikirannya bereaksi anaknya lulus, sukses, kewajiban sebagai orang tua satu langkah selesai ). Pikiran mempengaruhi perasaan…

Perasaan ibu bapak bagaimana? Senang apa tidak senang anaknya lulus?

Senang… cepat sekali itu, Pikiran mempengaruhi perasaan itu cepat sekali.

Sangat cepat dan sangat kuat….

Ini bukan hanya ajaran Buddha ibu bapak dan saudara.. Ibu bapak cocokkan sendiri pengalaman sendiri.

Berpuluh-puluh tahun… betul tidak?

Pikiran sangat berpengaruh terhadap perasaan, perasaan sangat berpengaruh terhadap jasmani.

Oh… bhante kalo begitu ya bhante.. Kalo pikiran ini bisa di-KENDALIKAN, TEGUH, KUAT. Aduh bhante bagus sekali ya….?

Memang…

Kalo pikiran kita tidak labil, tidak mudah terombang-ambing oleh berita apapun, cerita apapun… Pikiran saya bisa kuat, teguh, tenang, kan bagus kan bhante???

Bagus… sangat bagus…

Perasaan tidak mudah terpengaruh.

Kalo perasaan tidak terpengaruh… jasmani tidak terpengaruh…

Tapi bagaimana bhante? Meneguhkan pikiran… menenangkan pikiran ini bagaimana?

Sulit saudara…

Pikiran itu LICIN… LIHAY… HALUS… TIDAK BISA DIRABA.. TIDAK BISA DIDETEKSI.. BERGERAK SEENAK-ENAKNYA SENDIRI..

Lalu bagaimana bhante… bagaimana membuat pikiran ini Teguh… Kuat…

Sebab kalo pikiran tidak teguh tidak kuat… Aduh.. terombang-ambing.., perasaan kita terombang-ambing, susah-senang…, sedih-gembira…, kecewa.. lalu sedih lagi. Dan itu merusak jasmani kita, mempengaruhi jasmani kita.

Jadi pikiran itu harus dibuat kuat, teguh, tenang.. caranya bagaimana bhante?

Ibu bapak dan saudara caranya….

DIBALIK………….

Karena PIKIRAN MEMPENGARUHI PERASAAN DAN PERASAAN MEMPENGARUHI JASMANI.. maka sekarang jasmaninya ditoto ( ditata / dikondisikan).

Karena kalo jasmaninya ditoto ( ditata/dikondisikan ), perasaan juga ikut noto ( tertata/terkondisi ), dan perasaan itu sudah noto (sudah tertata/terkondisi ) maka pikiran menjadi tenang.

Bisa dipahami ibu bapak?

Noto ( menata/mengkondisikan ) jasmani bagaimana bhante???

Cara Menata Jasmani

Nah sekarang Chapter ketiga… Noto ( menata/mengkondisikan ) jasmani bagaimana bhante???

Apa kalo rambut sudah putih terus disemir, kalo hidung bengkok terus di… katanya sekarang ada yang ditarik-tarik.. ( operasi plastik ) saya tidak tahu.

Bagaimana apa jalannya juga harus pelan-pelan seperti macan kelaparan????

Tidak…..

Noto ( menata/mengkondisikan ) menurut pandangan Dhamma adalah “MEDITASI”.

Loh bhante koq meditasi ada hubungannya dengan jasmani?

Iya…. karena yang paling gampang itu meditasi yang dihubungkan dengan jasmani.

Tidak dengan perasaan dulu atau pikiran.

Caranya bagaimana bhante?

Memperhatikan jasmaninya sendiri….

Gimana bhante? apa di ngiling-ngilingi terus…? ( Apa dilihat-lihat terus..? )

( Bhante Pannavaro sambil mempraktekkan melihat-lihat tangannya sendiri ).

Tidak…

Yang diperhatikan nafasnya sendiri.

Masuk…. Keluar… Masuk… Keluar…, duduk dengan tenang.

Tidak usah duduk sila…. duduk di kursi juga boleh. ( Tangan rileks tidak menyandar ).

Masuk… Keluar… Masuk… Keluar…

Hanya begitu bhante?

Hanya begitu saudara….

Ada doa-doa? Tidak ada.

Ada lilin dupa? Tidak ada.

Ada patung Buddha? Tidak perlu.

Baca Paritta? Tidak perlu.

Jadi hanya begitu bhante?

Ya.. Hanya begitu ibu bapak saudara.

Menenangkan jasmani, membuat kondisi jasmani kita tenang…

Kalau jasmaninya dikondisikan begitu… Jasmani akan mengkondisikan perasaan..

Perasaannya tidak mulak-mulak ( tidak terombang-ambing / berguncang-guncang ).

Kalau perasaannya tenang… maka pikirannyapun menjadi tenang.

Sehari berapa kali bhante?

Satu kali gak usah dua kali… lebih bagus.

Optimal bagi yang berkeluarga 1/2 jam lebih boleh…

Mulai dari 10 menit dulu… 15 menit… 20 menit dan seterusnya.

Gak sempat bhante?

Hah…. gak sempat? Makan sempat.. ke wc sempat.. tidur sempat.. mati juga nanti sempat.

Meditasi 1/2 jam sehari tidak sempat? ( B. Pannavaro sambil menggeleng-gelengkan kepala ).

Sangat berharga…..

Gak usah rapal, gak usah mantra, gak usah doa, gak usah nyebut Buddha atau yang lain, tidak usah bersila di kursi boleh, tidak usah ada ubo rampe ( persembahan ) dupa lilin.

TIDAK ADA ONGKOS SAUDARA….. Murah sekali!

Kalo saudara mau beramal berdana, harus punya modal…..

Saudara mau berdana apa?

Saya mau menyumbang makanan.

Kalau saudara gak punya makanan yang mau diberikan apa? Saudara harus punya makanan dulu.

Anda mau nyumbang obat. Anda harus punya obat dulu, baru bisa memberikan obat.

Aku mau berdana tenaga saja. Ya anda harus punya tenaga, baru bisa membantu tenaga.

Kalau anda sakit dan berbaring di rumah sakit bagaimana mau menyumbang tenaga.

Aku ingin menyumbang berdana nasehat. Anda harus punya pengetahuan baru bisa memberi nasehat.

Kalau meditasi?

ANDA TIDAK PERLU PUNYA APA-APA…..!

Jasmani akan sangat mempengaruhi perasaan…. Perasaan-perasaan akan menjadi tenang… tenang…

Yang semula senang banget.. yang semula sedih banget…

Kalo sekarang perhatian kita memperhatikan nafas…

Perasaan itu meskipun untuk sementara dia akan turun……….

Apa betul bhante jasmani itu sangat mempengaruhi perasaan?

Sangat betul saudara…..

Kalau saudara suatu ketika merasa sesak…. Aduh sesak aku.. ( karena sedih ataupun marah ), susah… aku…karena macam-macam masalah. Tidak ada jalan keluar, belum bisa diselesaikan.

Untuk meringankan sementara sesaknya itu bagaimana saudara?

UNJAL AMBEKAN ( TARIK NAPAS )…….. Rileks….

Meskipun hanya sebentar…

Itu suatu bukti kalo fisik ini ditenangkan… Emosi menjadi rileks….

Kalau perasaan terkondisi… maka pikiran akan menjadi tenang.

Nah…. Sekarang ikuti penjelasan yang lain…. Tetapi tetap ada hubungannya dengan uraiannya ini…

Tadi bhante mengatakan kalau pikiran mendapatkan reaksi, anaknya sakit.. anaknya masuk ICU.. Suaminya tidak pulang… atau anaknya lulus ujian… atau mendapatkan keuntungan yang besar.

Reaksi pikiran cepat sekali mempengaruhi perasaan.

Cepat sekali… Kuat sekali…

Perasaannya menjadi senang atau tidak senang, suka atau sedih.

Benar…

Tetapi sebaliknya…

Perasaan juga mempengaruhi pikiran..

Kalau perasaannya tenang… Pikirannya tenang.

Kalau perasaannya berkobar-kobar.. Pikirannya juga berkobar-kobar.

Saya ingin memberikan contoh-contoh…

JUSTRU PENGARUH PERASAAN ITU KUAT SEKALI TERHADAP PIKIRAN!

Apa saja gerak-gerik kita sehari-hari, yang kecil-kecil sekalipun. Apa yang mendorong?

YANG MENDORONG PERASAAN….

Sekarang sudah jam delapan seperempat, saya bicara satu jam lebih. Dan selama satu jam seperempat kira-kira… atau satu jam lebih.

Saya duduk tidak menyandar….

Apa yang dirasakan bhante?

Pegal….

Bhante senang apa tidak senang?

Tidak senang…

Perasaan tidak senang ini memerintahkan pada pikiran, Nyendero-nyendero ( menyandarlah-menyandarlah ). Nanti kalo waktunya tanya jawab menyandarlah…..

Waktu saya menyandar….

Apa yang timbul?

Enak… ( suka )

Enak ( suka ) lalu memerintahkan pada pikiran….

Menyandarlah terus….

Siapa yang memerintahkan pikiran?

PERASAAN………..

Kalo umat Buddha yang sudah lama, mengerti manusia itu kan 5 Khanda toh…

1. Yang kasar namanya JASMANI

2. PERASAAN ( VEDANA ). Menurut pengertian Dhamma perasaan ini bisanya senang – tidak senang. Rasa asin, rasa asam itu pikiran dalam agama Buddha. Rasa malu, rasa sedih itu pikiran…

Perasaan dalam pengertian psikologis buddhist hanya SUKA atau TIDAK SUKA ( Senang atau Tidak Senang ), di tambah NETRAL ( ya netral boleh diabaikan – Suka tidak… tidak suka juga tidak ).

3. INGATAN

4, PIKIRAN ( SANKARA ). Yang punya rencana, cita-cita, segala macam ingat yang lalu, mau begini mau begitu. Katanya orang pikiran ini tidak terbatas, dari jaman primitif sampai sekarang lalu kemudian berkembang lagi.. batasnya tidak tahu pikiran ini.. Hebat sekali…

5. KESADARAN

JUSTRU YANG BERBAHAYA BUKAN SANKARA ( PIKIRAN ). YANG BERBAHAYA VEDANA ( PERASAAN ).

Karena perasaan itu yang menjadi provokator… Dia memprovokasi pikiran kita!

Apa saja ibu bapak boleh saja mencocokkan sendiri.

Saya lihat orang itu tadi duduknya sangat tenang…. Setelah agak lama satu jam lebih… koq dia mulai goyang-goyang ( gelisah ).

Kenapa?

Pikirannya menyuruh bergoyang-goyang….

Mengapa pikirannya menyuruh bergoyang-goyang…?

Karena perasaannya kalo duduk tegap terus rasanya tegang dan TIDAK SUKA, koq bhante ceramah belum berhenti-berhenti…..

Lalu perasaannya membujuk pikiran

EH PIKIRAN…. ITULOH… DUDUKNYA AGAK GOYANG-GOYANG, BIAR GAK SAKIT… BIAR ENAK…

Itu… perasaan, yang menjadi biang keladinya….

Dia yang memprovokasi, dia yang menghasut segala macam.

Kalau senang… Dia menghasut pikiran…. lagi… lagi… lagi…

Kalau tidak senang… Dia menghasut pada pikiran…. singkirkan… singkirkan… singkirkan…

Dia jalan lihat di rumah tetangganya… ada mangga bagus-bagus jatuh….

Melihat itu… perasaan langsung bereaksi… Lihat mangga… SENANG…

Lalu perasaan memerintahkan pikiran…. Ambil…. Ambil… Ambil…

Pikiran: Tapi kan kepunyaan orang, apa gak mencuri?

Kalau gak di simpan pemiliknya kamu kan tidak mencuri…. kan di situ tergeletak…. Ambilah.. ga papa.

Pikiran begitu ramai, berdebat-debat terus….

Lalu….. Ambil……………….

Tapi ambil… dipukulin orang satu kampung, karena loncat pagar.

Dipukulin enak atau tidak enak? ( Suka atau tidak suka? )

Tidak enak ( Tidak Suka ).

Suka atau Tidak Suka?

Tidak suka… wah.. sakit semua…

Suatu hari dia lihat mangga yang jatuh lagi… lebih banyak.

Sekarang perasaannya lain….

Sakit loh nanti… sakit loh nanti… dipukulin.

Ingatan akan yang sakit dan perasaan tidak suka karena di pukulin itu memerintahkan pikiran:

Jangan ambil… Jangan ambil… Jangan ambil…

Mungkin pikiran masih membantah, tapi kemarin kan banyak orang…. Sekarang kan gak ada orang…

Ya.. nanti kalau kamu sudah meloncat, trus orangnya datang nanti kamu mau lari kemana?

Ya.. nanti saya bilang. Ini nanti saya mau beresin supaya gak berantakan taruh di pojok…

Oh… Pikiran ini LIHAY sekali….. Tetapi… pemicu / penyulut api pertamanya adalah PERASAAN….

Tapi bagaimana bhante supaya perasaan tidak menjadi penghasut?

CARANYA:

JASMANI HARUS DIKONDISIKAN, KALAU JASMANI DIKONDISIKAN… MAKA PERASAAN AKAN TERKONDISI TENANG, KALAU PERASAAN TERKONDISI MENJADI TENANG…..

PROVOKATORNYA TIDAK GANAS…..

Dia tidak memprovokasi pikiran dengan seenaknya sendiri…. Karena provokatornya mulai tenang.

Bagaimana menenangkan provokator?

JASMANI HARUS DIKONDISIKAN…

LATIHAN HARUS DIMULAI DENGAN JASMANI….

MEMPERHATIKAN NAFASNYA SENDIRI.

Apa yang saya uraikan ini ibu bapak dan saudara:

INILAH DASAR AJARAN DHAMMA, tidak lebih….

Semua orang termasuk orang yang tidak sekolah sekalipun, petani sekalipun atau lebih dari itu, tidak intelektual sekalipun,

BISA MEDITASI……… Karena hanya memperhatikan nafasnya sendiri….

Itu meditasi Buddhist….

Meditasi Buddhist tidak hanya duduk diam saja….

Kalo kita sudah terbiasa meditasi seperti itu…

Waktu meditasi jalan tiba-tiba perasaan muncul, senang sekali yang luar biasa.

Kita boleh berhenti sekarang. Memperhatikan perasaan yang muncul.

Eh… ini ada perasaan yang muncul.

Tugas kita hanya memperhatikan saja…

Tidak usah mencari…

Duh.. senang ini darimana ya? Tidak usah..

Sampai nanti dia tenggelam… Senangnya nanti tidak mengganggu lagi, baru jalan lagi…

Tiba-tiba ingat karena mungkin pernah ke Jepang, ada patung Buddha besar… tidak diingat-ingat, tapi muncul dengan sendirinya..

Oh saya pernah melihat patung Buddha besar.

Kalo itu mengganggu jalannya berhenti.

Disadari ingatan muncul, sampai tidak mengganggu lagi baru jalan lagi.

Demikian juga waktu kita meditasi duduk.

Masuk… Keluar… Masuk.. Keluar… Masuk… Keluar…

Hanya mengamat-amati PASIF…

Masuk…. Nafas ini masuk kemana ya?

Ke paru-paru atau ke perut?

Tidak usah tanya…

Keluar… Yang keluar ini nafas baik atau nafas buruk ya?

Tidak usah nanya… Tidak usah menganalisa… Tidak usah mencari tahu…

Hanya lihat saja…. PASIF…

Koq timbul pikiran senang luar biasa….

Lain dengan senang-senang duniawi.

Oh… kayak begini… perasaan apa ini?

Sadari saja…..

Tidak usah mereka-reka, apa ini saya sudah nyampe?

Sadari saja…

Hanya itu bhante?

Iya hanya itu….

Kalau begitu meditasi Buddhist itu tujuannya apa?

Tujuannya supaya keawasan kita menjadi kuat….

Kalau keawasan kita kuat, maka keawasan itu bisa membuat emosi ( perasaan ) tenang…

Keawasan itu juga bisa untuk mengawasi pikiran…

Tidak untuk membangkitkan Khundalini, melihat mahluk halus, bisa mengobati, bisa terbang…

TIDAK….

Karena kalau keawasan itu mengawasi emosi ( perasaan ), emosi ( perasaan ) menjadi tenang.

Kalau keawasan kita bisa mengawasi pikiran… oh AKU kita ini…. berkurang… berkurang… berkurang…

Hanya itu…

Apa yang muncul selama meditasi perhatikan saja…..

Jangan dianalisa, jangan ditanggapi, jangan dinilai, jangan dihakimi, jangan diusir… tapi lihat saja…

Pengalaman-pengalaman yang pahit yang tidak enak…

Yang kotor… yang buruk… yang baik… lihat.. saja.

Hanya itu…

APA YANG SAYA SAMPAIKAN INI, IBU BAPAK SAUDARA… INILAH VIPASSANA..

Jadi nanti kalo ibu bapak dan saudara, ada yang ikut latihan Vipassana…

Apa yang saya uraikan ini akan menjadi penjelasan awal, saudara akan mengerti dengan jelas kalau nanti guru meditasi menjelaskan.

Karena ada orang waktu itu atau kadang-kadang datang kepada saya..

Bhante… kalo saya meditasi di Dhamma Sundara ini, apalagi di depan stupa.

Cepat bhante masuknya… Kalau di rumah itu koq gak masuk-masuk….

Saya tidak bisa jawab…

Saya pikir masuk kemana????

Hanya kalo saya tanya nanti… dia tambah bingung…

Loh saya mau tanya.. Loh saudara masuk kemana?

Loh saya meditasi 30 tahun lebih sebagai bhikkhu, tiap hari juga banyak sekali dan berusaha untuk sadar setiap saat.

Saya tidak pernah mengenal masuk-masuk itu….

Nah meditasi bhante bagaimana?

MEMPERTAHANKAN. MENGHADIRKAN AWARENESS ( KEAWASAN ), TERHADAP GERAK-GERIK KITA, PERASAAN KITA, PIKIRAN KITA……


Bhante Sri Pannavaro

TANYA:

Sebenarnya apakah ada perbedaan antara perasaan mempengaruhi pikiran, atau pikiran yang mempengaruhi perasaan?

Sebab sering kita dengar statement-statement bahwa: Jadi manusia yang rasional… Atau kadang-kadang, laki-laki itu rasional sedangkan wanita lebih emosional dan sebagainya. Terima kasih bhante.

JAWAB:

Kalo saya diminta untuk memberikan tanggapan singkat.

Timbal-balik, Interdipendensi

Semua reaksi pikiran pasti langsung mempengaruhi perasaan.

Perasaan yang dipengaruhi itu, suka dan tidak suka atau senang dan tidak senang.

Di dalam Buddhist biasanya senang dan tidak senang ini dibagi dua.

Kalo senang tidak senang itu datangnya dari sensasi tubuh. Makan enak, melihat yang bagus, meraba yang dia suka disebut SUKHA, kalau melihat yang buruk, merasakan yang dia tidak biasa maka disebut TIDAK SUKHA.

Tetapi kalau dia mengingat sesuatu kenangan terhadap yang baik, kenangan terhadap yang enak / kenikmatan, atau berita-berita yang bagus yang rangsangannya bukan dari jasmani disebut SENANG, kalau rangsangannya dari pikiran tidak menyenangkan disebut TIDAK SENANG.

Jadi dalam bahasa pali dikatakan kalau rasa senang tidak senang itu datang secara mental SOMANASA = SENANG dan DOMANASA = TIDAK SENANG.

Tetapi kalau rangsangannya dari jasmani ini, pegal… tidak dan sebagainya, menyicipi makanan cocok tidak itu disebut SUKA=SUKHA dan TIDAK SUKA=DUKKHA.

Tapi sebenarnya empat ini ya.. dua, senang atau tidak senang dan kalo mau dilengkapi tambah lagi satu NETRAL. Netral itu,,, tidak ada reaksi. Senang yang kagak dan tidak senang juga kagak.

Kalau saya meliihat benda ini ( sambil menunjukkan pena ) karena saya sering melihat, tidak ada yang aneh. Saya melihat tidak senang… tidak, senang… juga tidak. Ya biasalah… Jadi perasaan seperti suka dan tidak suka tidak muncul.

Tetapi ada kalanya dan bahkan suka dan tidak suka itu yang sering mempengaruhi kita. Dengan kadar yang berbeda-beda. Tidak sukanya bisa kuat sekali… Sukanya bisa kuat sekali. Pikiran mempengaruhi perasaan, setelah perasaan itu bergolak timbul suka atau tidak suka.

Sekarang perasaan yang memprovokasi pikiran, kecuali pikiran mempunyai pandangan, mempunyai pertimbangan.

Ojo loh dosa ( Jangan loh dosa ), nanti dipukulin orang… tidak baik, namamu jelek lo.., itu salah satu cara untuk pikiran tidak bergolak. Tidak melaksanakan apa yang sedang diingat atau yang sedang muncul dipikiran.

Tetapi itu CARA BIASA…..

Semua agama termasuk agama Buddha termasuk mengajarkan begitu.

Jangan loh ingat akibat karma loh, malu loh berbuat jahat, nanti kalo kamu begitu keluargamu ikut malu loh, Jadi meskipun perasaan itu senang mendorong, pikiran mau melakukan ada pertimbangan yang muncul. Hanya itu cara biasa.

Keinginan pikiran dilawan dengan konsep.

Konsep malu, konsep etika, konsep pergaulan sosial, konsep hukum karma, konsep dosa dihukum tuhan dan lain-lain.

Kalo CARA MEDITATIF lain….

Timbul pikiran mau mencuri mangga, tidak dilawan dengan konsep, tetapi diawasi…

Eh.. pikiran mau mencuri.. dengan diawasi begitu keinginan mencuri itu akan turun.. turun… turun…, tidak jadi mencuri.

Apa ya cukup kuat ya bhante pengawasannya itu?

Ya karena itulah latihan meditasi.

Kalau kesadarannya / Awarenessnya lemah, tidak kuat dia…. dia tetap mencuri.

Kalo Awareness kita masih lemah bagaimana bhante?

Kalo Awareness kita masih lemah atau kadang kalanya kita lemah, pakai cara yang tradisional yang konvensional.

Konsep-konsep tentang dosa, akibat karma, malu kalau ketangkap…. dipakai semua untuk menghantam pikiran mau mencuri mangga itu.

Boleh itu dipakai bhante?

Boleh…

Tapi itu konsep dilawan dengan konsep.

Kitab suci agama Buddha yang banyak itu semuanya konsep.

Ceramah saya satu dua jam dan setiap Dhamma Class anda merekam… Ini konsep semua…

Ada gunanya juga untuk melawan pikiran yang negatif. Kalau pikiran yang bagus bagaimana? Bisa didorong juga dengan konsep.

Tetapi kalau anda melatih meditasi, mempunyai Awareness atau Sati ( dalam bahasa Pali ) mempunyai keawasan yang lumayan, sekarang timbul pikiran ingin mencuri buah mangga tidak digempur dengan konsep, tetapi DILIHAT SAJA… DISADARI SAJA….

Oh…. mau mencuri.. Nanti dia akan turun… berkurang… berkurang…

MEMBERSIHKAN KOTORAN BATHIN…

Tapi kalau digempur dengan konsep..

Jangan loh ya… Jangan… orang tua bisa malu.. buah karmanya nanti loh…

ITU KOTORAN BATHIN HANYA SEPERTI DITUTUP SAJA

( DITUTUP DENGAN KONSEP DOSA, TAKUT MALU, AKIBAT KARMA JELEK, APALAGI GAK ADA KESEMPATAN )….

YA… NANTI DIA AKAN TUMBUH LAGI… MUNCUL LAGI.

TETAPI DENGAN CARA MEDITATIF KOTORAN BATHINNYA SEPERTI DIBERSIHKAN… DIKIKIS… DIHABISKAN, DIKURANGI..

Misalnya apa?

Misalnya mau mengambil uang milik orang yang berada di atas meja yang tidak ada orangnya.

Pertama mata melihat… mata lapor ke pikiran…

Ingatan muncul.. bahwa yang dilihat adalah uang..

Lalu pikiran bermain tidak ada orangnya..

Lalu perasaan muncul… itu cepat sekali prosesnya…

” Wah senang punya uang banyak senang / enak”

Lalu pikiran: Apalagi sekarang tidak punya uang…

Langsung perasaan senang yang muncul memprovokasi pikiran… ambil-ambil…

Kalau tidak ada pertimbangan… langsung ambil saja….

mata gelap orang bilang – Emosi ( Perasaan ) membutakan Pikiran

Kalau ada pertimbangan..

Ingat loh ya… ini di vihara loh…

Kualat loh… Jukuk duit engko ciker tangane loh. ( ambil uang nanti tanganmu cacat loh )

Gak ingat hukum karma? Gak ingat orang tua? Gimana nanti kamu tertangkap….

Jangan-jangan…jangat berbuat jahat, banyak berbuat baik…

Uangnya itu nanti.. disimpan saja jangan di ambil.

ITU SEMUANYA KONSEP… untuk menggempur keinginan mencuri uang.
Sehingga tidak jadi ambil uang….

Gak jadi ambil uang… kan bagus bhante?

Bagus…

TAPI KOTORAN BATHIN TIDAK BERKURANG…. HANYA DITUTUP DENGAN KONSEP.

Ini cara yang konvensional…

Takut Tuhan, Takut neraka, Takut akibat karma, Takut hukum negara, Takut malu

Kalo cara meditatif bagaimana bhante?

Saya singkat saja…

Lihat uang… senang… mau mengambil…

Oh… mau ambil, diperhatikan saja keinginan mau mengambil itu.. nanti dia turun.. turun.. turun…

Apalagi sebelum keinginan muncul…

Timbul perasaan suatu melihat uang “senang” (apalagi kalau itu bisa ditangkap )

Oh…. senang muncul…

Belum sampai dia memprovokasi pikiran..

Itu lebih lagi…

Lebih awal lagi dia melihat, mengetahui, menyadari.. Vedana Senang ( Perasaan senang ) karena melihat uang.

Belum sampai menghasut / memprovokasi pikiran…..

Tapi kalau dia luput…

Sampai perasaan itu menghasut pikiran.. tidak papa…

Sekarang pikirannya yang diperhatikan.

Sehingga kekuatan pikiran untuk mau mengambil itu.. turun… turun… turun…

ITULAH VIPASSANA

Sangat Universal cara ini.

Anda mempraktekkan cara ini, kalo anda beragama bukan Buddhist…

Keyakinan anda tidak… terganggu…

Dan anda tidak harus menjadi umat Buddha…. Untuk melatih Vipassana…



Bhante Sri Pannavaro

TANYA:

Dalam Praktek saya, Itu kesadaran saya bisa dikalahkan dengan AKU. Kesadaran saya itu sadar benar, tapi AKU-nya ini kuat sekali. Sehingga tujuannya tidak tercapai. Bagaimana supaya bisa mengalahkan AKU-nya itu? Supaya kita itu bisa tenang.

JAWAB:

Bagus sekali… pertanyaan ini bagus sekali.

Dan sebetulnya jawabannya tidak sulit

Bhante… kalau saya selesai melakukan sesuatu mengatur ruangan ini, mengatur dekor, membangun sesuatu, bangun pabrik, bangun apa…, anak lulus..

AKU-kan muncul bhante? Meskipun tidak diucapkan… ( jangan diomongkan loh.., nanti kalo bhante tahu.. dikira AKU-nya besar ).

Tapi di dalam pikiran muncul.

AKU sudah berhasil meluluskan anakku. Wah dekor ini bagus ya.. AKU puas…, Oh gedung ini… dulu AKU yang mencarikan dana.., AKU yang merancang.

Itukan AKU muncul bhante? Bagaimana bhante? Sayakan sudah meditasi?

Sederhana saudara sebetulnya saudara.. JANGAN DI MUSUHI AKU-nya.

Loh gimana bhante?

Lihat aja…. Eh… AKU lagi muncul ini…

Biar… saja….

Malulah AKU koq muncul terus…, ini kan tidak baik, katanya bhante ini biang keladi. Nanti serakah bisa muncul, benci bisa muncul.

Gak baik ini… pikiranku koq begini?

Itu malah tidak baik. Memusuhi dirinya sendiri. Kebencian kepada dirinya.

Jadi bagaimana bhante?

Lihat saja… Oh… AKU lagi mau enjoy-enjoy. Mau mencari nama ini….

Nanti dia akan turun.. turun… turun…

Jadi kalau AKU muncul itu tidak dianggap noda bhante?

Di dalam vipassana semua diperhatikan, tidak dipilah-pilah mana noda, mana bersih, mana jahat, mana kotor, mana mulia, mana rendah, mana ingatan, mana rencana, tidak dikategorikan begitu. Semua yang muncul dipikiran termasuk ke-AKU-an, keserakahan, ingin selingkuh, ingin makan enak, ingin hubungan seks, ingin membunuh, semuanya diperhatikan…. Saja.

Tidak di stop?

Tidak…

Tetapi juga tidak dikembangkan… Sederhana.

Kalo AKU-nya membara-bara bhante?

AKU yang berhubungan dengan kebencian. Aku dibohongi, Aku dilangkahi, Harga diriku diinjak-injak…

Juga di perhatikan saja.

Kalo AKU berhubungan dengan keserakahan. Aku sukses, Aku berhasil, Aku melakukan yang baik, Aku rendah hati, Aku tidak sombong…

Juga dibiarkan saja… Dilihat saja.

Lihat dengan PASIF….

Ya sukar bhante…

Oleh karena itu, sebelum mampu memperhatikan gejolak pikirannya. Berusahalah memperhatikan perasaan. Karena jenisnya perasaan hanya dua macam, Suka atau Tidak Suka – Senang atau Tidak Senang.

Sebelum memperhatikan perasaan…. Mulai dengan memperhatikan jasmani.. Langkah kaki . menyapu.

Ya tidak bisa bhante…. Sadar terus menerus….. sepanjang hari.

Ya memang tidak bisa…. Sebanyak mungkin….

Dan sekali sehari duduk diam. Memperhatikan nafasnya sendiri…

TANYA: ( Video Terpotong )

JAWAB:

Kalau kita meditasi duduk capek di punggung.

Ada dua hal.. capeknya ini disadari… bisa.

Atau rasa tidak senang. Oh.. ini gak senang… gak senang… Disadari dulu, jangan diberi reaksi dulu.

Setelah disadari dulu capeknya atau tidak senangnya.

Koq masih capek terus…. Ya… di tegakkan dikit… atau buka mata sebentar kemudian gerak-gerak sedikit. Tapi dengan kesadaran…

Kan meditasinya putus bhante?

Tidak putus.. kalo dilakukan dengan kesadaran….., tutup mata lagi… perhatikan nafas…

Kalo ada nyamuk menggigit di pipi sini. …. Nggak mungkin perhatikan nafas…

Sadari Gatal…..

dan pikiran harus dijaga.

Ini nyamuk biasa atau demam berdarah?

Kalo nyamuk demam berdarah ini gimana kalo gak langsung di usir… pikiran berjalan begitu.

Jangan turuti dulu…

Lalu timbul rasa tidak senang…. Oh… gak senang ini, gak senang ini…

Lalu timbul keinginan cepat-cepat digaruk…. Oh.. pikiran muncul ini… sadari dulu… itu. Dari gatal… tidak senang… ingin garuk dan sebagainya. Kalau sudah di sadari begitu, gatalnya tidak hilang baru diberi reaksi. Tangannya dinaikkan diusap pipinya… naik.. turun… hilang gatalnya tangannya diturunkan… semua dilakukan dengan penuh perhatian. Mulai lagi nafasnya diperhatikan…. Masuk,,, keluar…

Boleh ya bhante begitu?

Boleh.. TAPI SEMUA DILAKUKAN DENGAN KEAWASAN.

Tidak pipi sakit…. Cekit Langsung pless…. Tangan menampar pipi….

Robot itu… Diperhatikan dulu… Diperhatikan dulu… jangan reaksi dulu.

Supaya apa?

Supaya emosi tidak meledak-ledak, dan pikiran tidak cepat memberikan reaksi spontan. Perhatikan dulu sampai sejauh mana gatal ini.

Kaki sakit… ehm… sakit ini…

Pikiran: Cepat berdiri.. nanti lumpuh.. macam-macam ini muter pikirannya…

Oh… ini sakit… dijaga senetral mungkin. Tidak menganalisa, tidak menghakimi, tidak mencari sebabnya.

JUST…… HANYA SADAR…

Lalu gak senang muncul…. Oh ini gak senang muncul.

Pikiran: Bergerak sedikit tidak papa… Oh ini pikiran sudah muncul… ingin bergerak sedikit.

Sakitnya hilang…. Ya sudah kembali ke nafas, kalau belun hilang-hilang mau menuruti bergerak sedikit… Ya boleh… bergerak saja dengan kesadaran. Lalu kembali ke nafas…

Itulah Vipassana…. Selamat Melatih Vipassana.

Ada bahaya bhante melatih Vipassana kalau tidak ada guru?

Tidak ada. Selama anda mempunyai tujuan benar, untuk mengurangi kotoran bathin, untuk menipiskan ke-AKU-an, Untuk mempertajam keawasan, supaya ke-AKU-an tidak merajalela, supaya perasaan tidak menjadi provokator yang ganas.

TIDAK ADA RESIKO UNTUK ITU……..

Tetapi kalo anda berlatih meditasi untuk membangkitkan kundhalini, tenaga dalam, prana, bisa melihat mahluk halus, bisa membaca pikiran orang, mempunyai kekuatan dalam yang luar biasa.

SAYA MOHON MAAF….. SAYA TIDAK BISA MEMBERIKAN KOMENTAR, KARENA SAYA TIDAK MELATIH CARA MEDITASI SEPERTI ITU