Senin, 30 April 2012

TIADA AKU



(Sebuah perenungan)
Karya : Bhikkhu Uttamo Mahathera


Berbagai anak bangsa didunia
Berkelana keliling mengembara
Mendaki gunung, menjelajah rimba
Sebrangi lautan, masuki gua
Mencari aku sejati yang nyata
Asal tujuan hidup dicari jua.

Aku sejati haruskah dicari
Melangkah nun jauh keluar diri
Sudahkah orang mampu menyadari
Tiadanya aku di dalam diri
Asal kehidupan jadi tak pasti
Akhir kehidupan jadi mengerti

Memahami diri dengan Samadhi
Dapatkah disebut diri sejati
Timbul dan tenggelam silih berganti
Munculitu, karena ada ini
Hanya proseslah yang kekal abadi
Tiada aku dan tiada diri

Langit biru megah naungi bumi
Indah dipandang, selalu dinanti
Benarkah langit biru yang sejati
Batas pandangan nan menjadi saksi
Penerbangpun tidka bias menggapai
Jadi tertipu pikiran sendiri

Badan dengan batin begitu pula
Tampak jelas walau tak pakai mata
Keduanya hanya ilusi saja
Seakan ada, tapi tidak ada
Hanyalah proses yang selalu nyata
Bila bijak kan mampu melihatnya

Batin hening, tenang modal utama
Semangat berlatih jangan dilupa
Melihat hidup sebagai mana adanya
Jika seperti itu hakekatnya
Kemelekatan jadi tak berguna
Ketidaktahuan sudah tak ada

Mengetahui kebenaran ini
Batin cerah, hilang nafsu indrawi
Bagai mentari terbit pagi hari
Melenyapkan gelap di muka bumi
Wajah kehidupan lebih berseri
Bahagia tiba, dukkha terganti

Sungguh indah sabda agung Sang Buddha
Lenyapkan dukkha untuk selamanya
Kelahiran ulang jadi tiada
Pandangan terang bebaskan derita
Dicapai mereka yang berusaha
`Tuk buktikan smua Ajaran Buddha

Jalani Dhamma tanpa putus asa
Disiplin dan semangat ulet pula
Selagi nafas masih slalu ada
Jadikanlah hidup tak sia sia
Bahagia kan jadi milik Anda
Semoga demikianlah adanya

Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia
Sabbe satta bhavantu sukhitatta


VEGETARIANISM


by : Ven. K. Sri Dhammananda.

One should not judge the purity or impurity of man simply by observing what he eats.

 In the Amagandha Sutta, the Buddha said:

“Neither meat, nor fasting, nor nakedness,
Nor shaven heads, nor matted hair, nor dirt,
Nor rough skins, nor fire-worshipping,
Nor all the penances here in this world,
Nor hymns, nor oblation, nor sacrifice,
Nor feasts of the season,
Will purify a man overcome with doubt.”

Taking fish and meat by itself does not make a man become impure. A man makes himself impure by bigotry, deceit, envy, self-exaltation, disparagement and other evil intentions. Through his own evil thoughts and actions, man makes himself impure. There is no strict rule in Buddhism that the followers of the Buddha should not take fish and meat. The only advice given by the Buddha is that they should not be involved in killing intentionally or they should not ask others to kill any living being for them. However, those who take vegetable food and abstain from animal flesh are praiseworthy.

Though the Buddha did not advocate vegetarianism for the monks, He did advise the monks to avoid taking ten kinds of meat for their self respect and protection. They are: humans, elephants, horses, dogs, snakes, lions, tigers, leopards, bears hyenas. Some animals attack people when they smell the flesh of their own kind. (Vinaya Pitaka)

When the Buddha was asked to introduce vegetarianism amongst His disciples, the Buddha refused to do so. As Buddhism is a free religion, His advice was to leave the decision regarding vegetarianism to the individual disciple. It clearly shows that the Buddha had not considered this as a very important religious observance. The Buddha did not mention anything about vegetarianism for the lay Buddhists in His Teaching.

Jivaka Komarabhacca, the doctor, discussed this controversial issue with the Buddha: ‘Lord, I have heard that animals are slaughtered on purpose for the recluse Gotama, and that the recluse Gotama knowingly eats the meat killed on purpose for him. Lord, do those who say animals are slaughtered on purpose for the recluse Gotama, and the recluse Gotama knowingly eats the meat killed on purpose for. Do they falsely accuse the Buddha? Or do they speak the truth? Are your declaration and supplementary declarations not thus subject to be ridiculed by others in any manner?’

‘Jivaka, those who say: ‘Animals are slaughtered on purpose for the recluse Gotama, and the recluse Gotama knowingly eats the meat killed on purpose for him’, do not say according to what I have declared, and they falsely accuse me. Jivaka, I have declared that one should not make use of meat it is seen, heard or suspected to have been killed on purpose for a monk. I allow the monks meat that is quite pure in three respects: if it is not seen, heard or suspected to have been killed on purpose for a monk.’ (Jivaka Sutta)

In certain countries, the followers of the Mahayana school of Buddhism are strict vegetarians. While appreciating their observance in the name of religion, we should like to point out that they should not condemn those who are not vegetarians. They must remember that there is no precept in the original Teachings of the Buddha that requires all Buddhists to be vegetarians. We must realize that Buddhism is known as the Middle Path. It is a liberal religion and the Buddha’s advice was that it is not necessary to go to extremes to practise His Teachings.

Vegetarianism alone does not help a man to cultivate his humane qualities. There are kind, humble, polite and religious people amongst non-vegetarians. Therefore, one should not condone the statement that a pure, religious man must practise vegetarianism.
On the other hand, if anybody thinks that people cannot have a healthy life without taking fish and meat, it does not necessarily follow that they are correct since there are millions of pure vegetarians all over the world who are stronger and healthier than the meat-eaters.

People who criticize Buddhists who eat meat do not understand the Buddhist attitude towards food. A living being needs nourishment. We eat to live. As such a human being should supply his body with the food it needs to keep him healthy and to give him energy to work. However, as a result of increasing wealth, more and more people, especially in developed countries, eat simply to satisfy their palates. If one craves after any kind of food, or kills to satisfy his greed for meat, this is wrong. But if one eats without greed and without directly being involved in the act of killing but merely to sustain the physical body, he is practising self restraint.

Kamis, 26 April 2012

DUNIA MEMERLUKAN CINTA KASIH





oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera

         Tanggal 21 Mei 1989 adalah saat bulan purnama sempurna di bulan Waisak. Kembali kita peringati peristiwa suci Waisak, yaitu Tiga Peristiwa Suci pada pribadi Guru Besar yang kita cintai Buddha Gotama: saat kelahiran, tercapainya Penerangan Sempurna, dan Parinibbana (wafat) Beliau. Pada setiap tahun, hari yang keramat ini selalu memberikan semangat baru pada diri kita.

         Sang Buddha telah meninggalkan kita 2533 tahun yang lalu, Namun, sepanjang masa kita tetap ditantang dalam perjuangan kehidupan. Perjuangan kehidupan itu tidak pernah berhenti dan tidak akan berhenti. Pelajar berjuang dalam dunia pendidikan. Karyawan berjuang dalam menyempurnakan tugasnya. Pedagang berjuang dalam usahanya. Seniman, sarjana, rohaniawan, para pengemban tugas negara, semuanya berjuang untuk mencapai puncak tujuan. Dalam perjuangan itulah kita menghadapi tantangan-tantangan, persoalan, dan kesulitan. Tantangan kehidupan ini seringkali menggoncangkan semangat kita. Kadang-kadang di antara kita ada yang merasa seperti tidak mampu lagi berjalan untuk maju. Ditinggalkannya perjuangan untuk mencapai cita-citanya itu. Kemudian mereka hidup tanpa tujuan dan tanpa semangat lagi.

         Tiap-tiap tahun peringatan suci Waisak mengajak kita untuk meresapkan kembali pesan-pesan keramat Sang Buddha. Karena di tengah-tengah perjuangan menghadapi persoalan kehidupan, persoalan yang harus kita akui, persoalan yang tidak boleh kita tutup-tutupi itu acapkali pikiran kita menyesal dan menuntut, "Seandainya Sang Buddha masih di tengah-tengah kita, tentu Beliau menjadi tempat bertanya, menjadi penghibur, dan sumber semangat bagi kita. Namun sekarang Sang Buddha sudah tiada, masih mungkinkan kita bertemu lagi dengan Beliau?"

         Dalam Maha Parinibbana Sutta, sutta yang mencatat pesan-pesan terakhir Sang Buddha saat menjelang Parinibbana (wafat); Beliau pernah berpesan, "Dhamma dan Vinaya yang telah Kuajarkan, itulah yang akan menjadi gurumu kelak setelah Aku tiada lagi".

        Dhamma —Ajaran Luhur— dan vinaya atau sila —tuntunan moral— yang telah Beliau ajarkan kepada kita, masih utuh di tengah-tengah kita. Kita masih bisa menjumpainya pada setiap saat. Dalam menghadapi tantangan kehidupan, atasilah tantangan itu dengan semangat Dhamma yang ampuh. Periksalah diri Saudara dengan Dhamma dan Sila itu. Dhamma akan memberikan jawaban, Dhamma akan menunjukkan jalan keluar, Dhamma akan menghibur dan menumbuhkan semangat baru pada saat-saat Saudara menghadapi tantangan kehidupan. Dhamma adalah sahabat yang paling tepat dalam perjuangan kehidupan ini. Karena itu, meskipun Sang Buddha —Guru yang kita cintai— sudah ribuan tahun meninggalkan kita, namun Dhamma dan Sila yang telah Beliau ajarkan dengan sempurna itu, yang menjadi pengganti Beliau sekarang, menjadi Guru kita semua sekarang ini.

        Konflik-konflik batin, ketegangan, kebingungan, frustasi, rasa tidak aman, malapetaka, peperangan, kejahatan, dan pertengkaran; semuanya akan bermunculan bila kita telah berpaling dari Dhamma. Karena, seribu satu macam penderitaan itu adalah akibat dari karma jelek, dari perbuatan tidak baik yang telah kita perbuat. Cobalah kita lihat dan teliti, maka kita pasti sadar, dan kita tidak akan menyalahkan lagi kepada siapapun juga, karena segala macam kesulitan itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri.

        Oleh karena itu, marilah kita jadikan hikmah peringatan suci Waisak tahun ini untuk kembali kepada Dhamma.

        Meskipun dengan bermacam-macam cara Sang Buddha mengajarkan Dhamma, meskipun luas; tetapi Dhamma —Ajaran Luhur Beliau itu— semuanya mempunyai jiwa yang sama. Sama dalam setiap segi yang Beliau ajarkan, dan tetap sama juga pada sepanjang masa lebih dari 2500 tahun. Jiwa itu tidak lain adalah: metta dan vimutti —cinta kasih dan kebebasan. Cinta kasih yang tulus, dan kebebasan dalam arti bebas dari hawa nafsu.

         Kalau suatu rumah tangga sedang tidak harmonis; kalau suatu ketika timbul suatu ketegangan, atau pertengkaran; bahkan peperangan yang bisa menelan korban jutaan umat manusia, apakah yang bisa digunakan untuk menyelamatkannya? Apakah materi yang banyak, yang berlebihan, yang mampu menyelamatkan keluarga yang hampir retak? Apakah kekuatan, kekerasan, atau senjata yang lebih banyak dan lebih modern yang bisa menyelamatkan dunia ini dari kehancuran, yang bisa menciptakannya perdamaian; karena semuanya ketakutan dengan senjata-senjata itu? Jawabannya singkat: "Semuanya tidak!"

        Sang Buddha pernah menyatakan:

 "Loko Patthambhika Metta".

 Hanya cinta-kasihlah yang bisa menyelamatkan dunia ini.

       Dalam menyelesaikan ketegangan, pertengkaran, dan kesulitan-kesulitan rumah tangga, bila seorang ayah hanya menggunakan kekuasaannya sebagai kepala rumah tangga; atau dengan berpendirian bahwa bila saya memiliki materi yang lebih banyak pasti semuanya bisa selesai; atau juga dengan menggunakan kekerasan supaya semuanya diam ketakutan; maka keharmonisan tidak mungkin bisa dicapai. Tetapi, bila sang ayah, ibu, dan anak-anak saling mempunyai rasa cinta yang tulus, ketentraman dan kedamaian pasti bisa tumbuh dalam keluarga, untuk dinikmati bersama. Juga dalam menghadapi problem yang lebih besar. Bila materi, kekuatan atau kekerasan diandalkan sebagai kunci untuk menyelesaikannya, maka problem tidak akan selesai dengan baik. Bahkan menjadi berantakan.


        Tanpa adanya dasar cinta kasih, kecerdasan yang dimiliki seseorang bisa digunakan untuk menghancurkan kehidupan ini. Tanpa adanya dasar cinta kasih kepandaian bisa menjadi kejahatan dan kekejaman yang luar biasa. Tanpa adanya cinta kasih, ilmu pengetahuan bisa menjelma menjadi penghancur nilai-nilai kemanusiaan.

         Karena itu, marilah kita tumbuhkan cinta kasih yang tulus —cinta kasih yang tidak disertai keserakahan— di dalam kehidupan kita masing-masing. Memang, tidak mungkin bagi kita untuk membuat penghuni bumi ini semuanya mempunyai cinta kasih yang tulus. Tetapi janganlah kita lupa bahwa ada sesuatu yang paling mungkin, yaitu: menumbuhkan cinta kasih dalam diri kita masing-masing. Memang, rasanya cukup susah mendidik orang lain untuk mempunyai cinta kasih, tetapi sangat mungkin mendidik diri kita sendiri untuk mempunyai cinta kasih. Mengapa sering kita lupakan hal ini? Mengapa kita tidak memulainya sekarang? Seringkali kita terbius dengan pikiran jelek kita sendiri, dengan menyatakan, "Tidak mungkin mengubah dunia ini menjadi penuh cinta kasih, tidak mungkin membuat seseorang mempunyai cinta kasih, maka apakah perlunya saya mempunyai cinta kasih?" Alangkah sempitnya bila pengertian kita seperti itu.

         Menumbuhkan cinta kasih dalam diri kita sendiri adalah sesuatu yang paling mungkin. Mengapa kita tidak memulainya? Bila tidak, berarti kita ikut menambah ketegangan di dunia ini, menambah ketegangan dalam rumah tangga kita, dan juga menambah berat ketegangan dalam diri kita sendiri. Bukan meringankannya. Karena itu, sekali lagi, ajakan saya, marilah kita tumbuhkan cinta kasih yang tulus, cinta kasih yang tidak disertai keserakahan di dalam kehidupan kita, di dalam diri kita masing-masing. Meskipun saudara baru bisa mempraktekkan selangkah; itu adalah langkah yang sudah nyata. Karena meskipun baru selangkah, berarti selangkah Saudara sudah berjalan. Ketegangan sudah selangkah berkurang, dan kedamaian sudah selangkah lebih maju.

         Marilah kita junjung nilai kemanusiaan ini, marilah kita selamatkan keluarga kita, dan dunia ini dari ketegangan, kekacauan dan masih banyak lagi untuk disebutkan, dengan memulainya dari diri kita masing-masing, memulai dengan cina kasih yang tulus. Memulai dengan menumbuhkan rasa persahabatan kepada semuanya, kepada semua kehidupan.

         Sekarang, dan bertambah dari dunia ini dan dunia kehidupan kita masing-masing semakin membutuhkan cinta kasih.

         Pada saat-saat yang keramat ini, sudah seharusnya kita berterima kasih kepada Guru Besar kita Sang Buddha, karena dalam waktu berkalpa-kalpa sejak Beliau masih sebagai Bodhisatta, Beliau telah berjuang untuk mencapai Penerangan Sempurna. Dan dari Penerangan Sempurna yang telah Beliau capai itulah kita mengenal Dhamma. Selama 45 tahun penuh Beliau mengabdi, membabarkan Dhamma untuk kebahagiaan semua umat manusia. Mengangkat derajat kehidupan kita. Dan berbahagialah kita yang sampai saat ini masih bisa menemui Dhamma yang luhur itu.***


Sumber : KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 3; Sri Paññavaro Thera

TELADAN AGUNG


Di Jawa Tengah ada satu kata yang cukup dikenal oleh masyarakat. Kata itu adalah: "panutan", yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi teladan.

         Pembaca yang budiman, sejarah umat manusia pernah mencatat bahwa di bumi kita ini telah lahir seorang panutan Agung, seorang Teladan Agung, pada lebih dan 2500 tahun yang lalu.

         Tanggal 10 Mei 1990 adalah saat purnama di bulan Waisak. Umat Buddha kembali memperingati 3 peristiwa penting yang terjadi pada Panutan Agung: Sang Buddha Gautama, yaitu saat kelahiran, saat tercapainya Penerangan Sempuma, dan saat mangkat atau Parinibbana.

         Sebagai seorang putera raja yang akan menduduki tahta. Sang Buddha dilahirkan dengan nama Siddharta. Karena pangeran mampu melihat kepincangan-kepincangan dan penderitaan dalam kehidupan ini, beliau kemudian meninggalkan istana untuk mencari Dharma. Kepergian beliau dari istana bukan karena terpaksa atau karena dipaksa. Bahkan, bukan juga karena kepentingan pribadi. Kepergian beliau, tidak lain hanya karena dorongan untuk mencari jalan yang bisa membebaskan makhluk dari penderitaan.

         Sejarah kehidupan Sang Buddha Gautama menunjukan kepada kita bahwa jauh sebelum mencapai Kebuddhaan —waktu masih tinggal di istana sebagai pangeran mahkota— beliau telah sadar bahwa manusia tidak mungkin bisa membangun kebahagiaan hanya semata-mata dengan materi, dengan kedudukan, atau kekuasaan. Di samping cukup materi, sejahtera lahiriah, kita masih membutuhkan jalan yang bisa kita jadikan tuntunan untuk mendapatkan kebahagiaan batin. Bahkan tanpa jalan, tanpa Dharma, materi yang kita miliki bisa berubah menjadi bencana penghancur kehidupan.

         Setelah lama berjuang dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri, Pangeran Siddharta mencapai Kebuddhaan Sempurna. Namun, Beliau tetap hidup sederhana, sangat sederhana. Beliau berkelana beratus-ratus ribu kilometer untuk membabarkan Dharma kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kasta. Beliau membangun kehidupan suci, mengajarkan jalan kesejahteraan, dan selalu menunjukkan contoh teladan bagi semuanya. Beliau bukan sekadar pengajar Dharma, bukan sekadar pengajar agama, tetapi lebih dari pada itu: Beliau adalah Teladan Agung, Panutan Agung. Suatu ungkapan yang sangat terkenal tentang beliau sering diucapkan:

       "Yathâ vâdi tathâ kâri, yathâ kâri tathâ vâdi"

Artinya:

Beliau, Sang Buddha, mengajarkan apa yang telah dilaksanakan dan melaksanakan apa yang diajarkan.

         Manusia tidak bisa hidup dalam dunia konsepsi semata-mata. Memang kita perlu cara, memang kita perlu petunjuk, perlu wejangan, perlu teori, perlu konsep-konsep. Tetapi, kita tidak bisa hidup dan maju membangun hanya dengan konsep-koosep. Selain konsep, selain teori, kita memerlukan contoh. Kita butuh teladan.

         Dalam cita-cita kita yang sangat luhur —mewujudkan masyarakat Indonesia yang utuh sejahtera dengan landasan Pancasila— teladan sangat dibutuhkan.

         Generasi yang tidak memberikan teladan yang baik, sangat sulit untuk melahirkan generasi baru yang lebih baik. Sesungguhnya, kita semua dituntut untuk memberikan teladan dan bimbingan yang sebaik-baiknya bagi generasi kemudian.

         Orang tua adalah pemimpin dalam keluarga. Anak-anak membutuhkan bimbingannya, dan lebih dari pada itu, mereka perlu contoh yang bisa dilihat. Orang tua harus mampu menjadi panutan yang baik bagi putera-puterinya. Kalau orang tua hanya mengajarkan cara-cara, tetapi tidak berhasil memberikan contoh yang nyata, maka anak-anak akan kehilangan kepercayaan terhadap orang tua mereka. Anak-anak yang kehilangan panutan dalam keluarga, biasanya tumbuh dalam suasana batin yang kacau. Perbuatan dan sikap mereka sulit untuk diluruskan.

         Sebagai contoh, seorang ibu sering mengingatkan anak-anaknya, terutama anaknya yang wanita, supaya tidak pulang larut malam. Paling tidak jam 10.00 malam sudah harus berada di rumah. Tetapi, jika ibu ini sendiri sering kali pulang lewat tengah malam dengan tujuan yang tidak menentu dan sukar diketahui, maka sang puteri sangat sulit diharapkan mau mentaati perintah ibu. Bahkan, anak-anak seolah-olah mendapat contoh dari ibunya sendiri. Contoh untuk pulang ke rumah lewat tengah malam.

         Sesungguhnya kita semua adalah pemimpin. Apakah pemimpin rumah-tangga, apakah pemimpin dalam organisasi, apakah pemimpin agama, pemimpin di desa, pemimpin tinggi atau pemimpin kecil, pemimpin formal atau non-formal. Oleh karena itu, marilah kita menjadi panutan yang baik.

         Pemimpin yang memberikan contoh dengan mentaati disiplin kerja akan mudah mendidik bawahannya untuk disiplin. Pemimpin yang menjaga kejujuran, anak buahnya akan segan untuk korupsi. Pemimpin yang bertanggung-jawab pasti membuat sikap hormat sejati yang dipimpin terhadap dirinya. Marilah kita masing-masing menjadikan diri kita sendiri: teladan kerja keras, teladan membangun, teladan dalam kejujuran, teladan dalam hidup wajar. Bukankah kita pernah mendengar peribahasa yang mengatakan: "Satu contoh adalah lebih baik daripada sepuluh nasehat".



        Panutan Agung kita. Sang Buddha Gautama, tidak pernah minta dîhargai orang lain. Beliau tidak memerlukan itu. Beliau menjadi teladan demi manfaat dan kemajuan masyarakat. Hendaknya kita pun demikian, menjadi panutan untuk manfaat dan kesejahteraan keluarga kita, untuk masyarakat di mana kita tinggal, untuk bangsa dan negara tercinta ini. Menjadi panutan yang baik adalah sekaligus mendidik dan memberi manfaat bagi dirinya sendiri. Membawa dirinya ke arah yang lebih baik.

         Akhir-akhir ini bahaya narkotika banyak diberitakan dan dibicarakan di mana-mana, di seluruh dunia. Dari sekian banyak cara untuk menanggulangi bahaya kejatuhan generasi kita pada lingkaran setan narkotika, ingin saya berikan satu cara. Cara itu tidak lain adalah: Marilah kita semua memberikan contoh yang baik kepada generasi muda. Kalau mereka mencari kenikmatan dengan cara menggunakan narkotik yang sangat berbahaya dan menghancurkan itu, marilah kita berikan contoh untuk mendapatkan kenikmatan dengan cara lain yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Bahkan jauh lebih bermanfaat. Kalau kenikmatan ini bisa dibandingkan dengan kenikmatan narkotika, bedanya laksana cahaya dengan gelap, laksana langit dengan bumi. Apakah kenikmatan pengganti itu? Kenikmatan itu adalah kenikmatan dalam meditasi. Meditasi memberikan kenikmatan, membuahkan ketenangan. Meditasi menumbuhkan daya tahan, menumbuhkan semangat untuk menempuh kehidupan ini. Meditasi membuat kesadaran menjadi lebih tajam. Dengan meditasi kita membangun batin kita, melindungi diri kita dari segala macam pengaruh negatif godaan materi dan rangsangan hawa-nafsu.

         Dalam Kitab Suci Dhammapada 209, Sang Buddha menggambarkan sebagai berikut:

"Mereka yang membiarkan dirinya tenggelam pada hal-hal yang tidak benar dan tidak melaksanakan meditasi, melupakan kesejahteraannya sendiri, serta menggenggam erat-erat kesenangan nafsu duniawi; akan iri terhadap mereka yang tekun melatih diri dalam meditasi".

         Saya ingin mengajak para pembaca sekalian, terutama kepada seganap umat Buddha: Kembalilah kepada Dharma! Marilah kita bermeditasi.

         Marilah kita jadikan diri kita masing-masing sebagai panutan. Panutan dalam menumbuhkan kesadaran beragama dan bernegara. Panutan dalam pembangunan lahir batin ini. Kita bertekad menjadi panutan yang sejati, panutan yang tidak mengharapkan penghargaan dari orang lain.

         SELAMAT TRI SUCI WAISAK 2534

        Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Sang Triratna, selalu melindungi kita.

        Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, Semoga semua makhluk berbahagia.***

                                                        oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera

Sumber : BUDDHA CAKKHU No.17/XI/90; Yayasan Dhammadipa Arama.

Minggu, 22 April 2012

YM. Bhikkhu Girirakkhito Maha Thera



 [Kontroversial Sang Pembabar Dharma Yang Pandai ]

Lima Januari 1997 merupakan tanggal yang tidak akan dilupakan umat Buddha. Dihari Minggu itu, Bhikkhu Girirakhito Mahathera, Ketua umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia meninggal dunia. Bhikku Giri, yang sempat menjabat sebagai wakil Presiden Dewan Sangha Buddhis Sedunia (World Buddhist Sangha Council WBSC, periode 1985-1989) meninggal dengan tenang dikamarnya yang sekaligus berfungsi sebagai ruang kerja ketika ditunggui Hendra, dayangnya. Banyak yang telah diperbuat Bhante Giri didalam masa kehidupannya yang cukup panjang itu. Masa kehidupan Bhante yang memiliki nama Pabajja Jinagiri ini bias terbagi dua fase besar. Fase pertama adalah sebagai seorang pemuda pejuang, perumah tangga dan tulang punggung keluarga, dan fase kedua atau sebagian dari hidupnya sampai berumur 70 tahun itu dihabiskan dalam pengabdiannya kepada Buddha Dharma. Bhante Giri tidak hanya dikenang sebagai seorang pejuang Dharma tetapi juga seorang pejuang yang membaktikan dirinya kepada bangsa dan negara.


Pejuang.
Sebagai perumah tangga, Ida Bagus Giri yang lahir di Banjar, Buleleng pada tanggal 12 Januari 1927 ini beristerikan Made Kerti (Djero Made Wanasari) tahun 1945 yang memberinya empat orang putra dan seorang putri, 10 orang cucu dan 2 orang cicit. Sebagai tulang punggung keluarga, beliau pernah bekerja di pabrik semen, desa Temukus maupun berbisnis bermacam barang. Sebagai pejuang yang mengabdikan dirinya untuk bangsa dan negara, pemuda Ida Bagus Giri sewaktu jaman revolusi pernah diangkat oleh Markas Besar Oemoem (MBO) sebagai intelligent, yang mengawasi gerak-gerik Belanda. Kegiatannya ini menyebabkan beliau sempat ditangkat Belanda selama empat bulan. Di tahun 1946-1949 beliau diangkat sebagai Direktur Koperasi Rakyat yang namanya Rukun Usaha. Sebagai Pemimpin pemuda pejuang diseluruh distrik Banjar, zaman Jepang (Sainengco), kemudian menjadi wakil punggawa (Fukungunco), dan banyak menyerap ilmu dari bosnya, tuan Suzuki, beliau merupakan saksi langsung perang di Buleleng. Fase kedua merupakan masa dari sebagian besar kehidupannya untuk Buddha Dharma. Lebih dari tiga puluh tahun dihabiskan dalam pengabdiannya kepada Buddha Dharma dan masyarakat Buddhis di Indonesia. Banyak peristiwa yang dialami, disaksikan atau bahkan dilakoninya sendiri di dalam sejarah perkembangan agama Buddha Indonesia. Sebagai mana pengabdiannya terhadap Buddha Dharma, keterlibatannya dalam perang kemerdekaan merupakan sebagian dari pengabdiannya secara langsung terhadap bangsa dan negara. Pengabdiannya terhadap agama, bangsa dan negara itu memperoleh wujudnya di Tahun 1994 ketika beliau menerima Satya Lencana Pembangunan Bidang Keagamaan, dari Presiden Republik Indonesia. Penilaian yang serupa diatas juga di ungkapkan oleh Ven. Tan Chaokun P.Vidhurdhammabhorn. Bhikkhu Thailand yang berjasa menanamkan benih-benih Theravada di Indonesia modern ini menyatakan bahwa Bhante Giri itu benar-benar orang yang religius dan berbakti kepada agama dan bangsa, dan mau bekerja keras demi agama, bangsa dan negara Indonesia.


Perintis Buddha Dharma
Bhante Giri meninggal pada usia 70 tahun kurang 7 hari.Pada hari ketujuh setelah kematiannya, dihari kelahirannya, 12 Januari 1997 jenazah Bhante Giri dikremasikan di Bali. Ribuan orang turut hanyut dalam rasa keterharuan dan kehilangan ketika api kremasi menyala membakar jenazah tokoh terkemuka umat Buddhini, yang disebut-sebut oleh Oka Diputhera sebagai tokoh perintis pergerakan kembali agama Buddha di bumi Indonesia. Memang, nama Bhikkhu Girirakhito tidak bias dipisahkan apalagi dihapus dari sejarah pergerakan agama Buddha di Indonesia. Sebagian besar hidupnya sejak menjadi pandita Buddha di tahun 1960 hingga saat-saat terakhirnya sebagai ketua umum DPP Walubi- yang dihabiskan demi pengembangan Buddha Dharma, menjadikan bhante Giri, seorang pemimpin Buddhis terkemuka yang sangat mengenali sekali karakter dari perkembangan agama Buddha di Indonesia. Kepada bhikkhu Uttamo, beliau mengingatkan bahwa taraf didalam memajukan agama Buddha di Indonesia masa kini adalah baru dalam taraf dana paramita, yaitu bagaimana kita dituntut lebih banyak berkorban untuk membina, dibandingkan taraf seila dan bhavana paramita yang masih banyak kendala dan kesulitannya.


Kontradiksi
Putra dari pasangan Idea Made Putra, dan Ida Ayu Ketut Tilem yang berasal dari kasta Brahmana ini merupakan seorang yang pandai memadukan dua hal yang tampaknya kontradiksi. Seperti kehidupan yang dijalaninya bhikuan di dalam meditasi, dan hingar-bingar pernik berorganisasi. Atau antara naluri jiwa seni yang tertuang dalam lagu dan grup musik, dan melakoni kebutuhan hidup dengan berdagang. Maupun antara penguasaan emosi dan rasa dalam pengendalian diri dalam sila vinaya, dan penciptaan ratusan lagu-lagu Buddhis yang membuai namun membikin umat mencintai Buddha Dharma. Dalam sejarah hidupnya, di tahun 1946 Ida Bagus Giri pernah mendirikan grup musik, sandiwara, dan drama. Karena bagusnya, grup ini kemudian sempat dipakai oleh Jawatan Penerangan Propinsi sampai tahun 1957. Disamping itu, sejak muda beliau juga telah tertarik kepada pelajaran spiritual, yang bermula dari adanya kelompok orang didesa Banjar mempelajari ajaranspiritual, yang di asuh pamannya sendiri, Ida Ketut Jalantik. Selain itu, bersamaan kebutuhan untuk mengungkapkan jiwa seninya dan kebutuhan spiritualnya, beliau sempat pula berdagang guna menghidupi keluarganya. Beliau berdagang apa saja dari kopi, mobil, hingga senjata, dan berkelana dari satu kota ke kota lain baik di Bali, Jawa, atau Sumatera.Kepandaian memadukan dua hal yang tampaknya kontradiksi ini juga tampak bila dilihat dari ketertarikan beliau kepada agama Buddha dan kiprah pengabdiannya terhadap Buddha Dharma selanjutnya. Beliau tertarik agama Buddha dan kiprah pengabdiannya terhadap Buiddah Dharma selanjutnya. Beliau tertarik agama Buddha lantaran meditasi Vipassana yang pertama kali diikutinya, dan kemudian selanjutnya sebagai pengabdi Buddha Dharma kita akan menjumpai beliau sebagai seorang bhikkhu yang amat mendalami dunia meditasi ini, juga aktif berkecimpung dan memimpin umatnya didalam organisasi. Seolah-olah ini menegaskan bahwa praktek meditasi juga bisa dilakukan ketika kita berkecimpung dalam masyarakat ramai. Ketertarikannya kepada agama Buddha lantara mediatasi Vipassana itu sempat diungkapkan .Saya baru mulai tertarik pada ajaran agama Buddha karena mengikuti latihan Vipassana (meditasi pandangan terang) dan wawancara saya dengan bhikkhu Ashin Jinarakkhita tentang agama Buddha. Saya Vipassana pertama kali di daerah Kasap (dekat sungai Kasap), daerah terpencil di Watugong), dengan dibimbing oleh bhikkhu Ashin. Pernyataanya bahwa meditasi juga bisa dipraktekan didunia nyata itu diungkapkan  oleh Ibu Hartati, Bhante, selalu menekankan bahwa bermeditasi itu sebetulnya tidak perlu di tempat yang sepi, justru jaman sekarang harus bisa bermeditasi di tempat yang ramai, di pasar atau di medan perjuangan. Maksudnya melakukan perbuatan baik, melawan keserakahan, kemelekatan, kebodohan, dalam rangka mencapai penerangan batin, dalam mencapai kesempurnaan sebagai cita-cita umat beragama Buddha. Jadi berusaha mengembangkan diri sejati melalui perlawanan kepada kotoran-kotoran yang ada, itu bisa dilakukan dalam hidup bermasyarakat.Pelajaran dari Bhante Giri tentang filosofi meditasi dimana meditasi bisa dilakukan sesuai dengan aktivitas kita dimasyarakat ini mungkin dapat dipahami oleh seorang wanita sibuk seperti Ibu Hartati Murdaya. Dan dengan itu pula, Ibu Hartati bisa memahami sikap bhikkhu yang pandai memadukan hal-hal yang tampaknya parakods dan mungkin dianggap controversial ini, dan kemudian bersedia menjadi penyantun Walubi, bahkan kemudian terlibat aktif didalam organisasi Walubi. Apa yang menjadikan seorang pengusaha besar seperti Hartati mau terlibat aktif dalam pergerakan Buddhis ? Bukankah ini dua kegiatan yang tampaknya paradoks : bisnis dan agama, lagi pula bersedia mendampingi Bhante Giri didalam Walubi. Tentunya karena hal itu tidak terlepas dari pemahaman ibu Hartati akan makna sesungguhnya Buddha Dharma khususnya yang berkenan dengan pentingnya aplikasi Buddha Dharma didalam kehidupan masyarakat.


Kontrovesial
Keteguhannya untuk merangkum dua hal yang kontradiksi itu terlihat ketika bhikkhu yang suka menulis lagu-lagu Buddhis ini sewaktu menjabat ketua umum DPP Walubi pertama kali di tahun 1982, tidak memperdulikan pertanyaan- pertanyaan dan keberatan-keberatanyang muncul, “apakah seorang bhikkhu pantas berorganisasi dan memimpin organisasi semacam Walubi?.” Sebagai ketua umum Walubi sejak 1986 hingga 1997, orang juga akan memberikan penilaian sebagai tokoh yang controversial. Apakah beliau itu sesungguhnya tokoh pemersatu atau pemecah belah umat Buddha, sebab dibawah kepemimpinannya Walubi menelorkan keputusan yang parakods, dengan dikeluarkannya NSI (1987) dan Sagin serta MBI (1995) dari Walubi. Keputusan yang bisa dipertanyakan dan mungkin bertentangan dengan dasar pendirian Walubi itu sendiri sebagai organisasi yang bersifat konfultatif dan pemersatu umat Buddha sesuai semangat Yogyakarta 1979. Orang boleh saja melakukan penilaian apa saja terhadap kepemimpinan Bhante Giri, tetapi yang jelas Bhante Giri memang merupakan figure seorang pemimpin. Sebagai tokoh yang pernah diangkat oleh Presiden menjadi anggota MPR (1972-1977), dan ketua umum Walubi terlama, Bhante Giri memang sosok pemimpin yang tentative dapat diterima oleh umat Buddha Indonesia. Sehingga tidak berlebihanlah bila seorang pengusaha, donatur terkemuka umat Buddha dewasa ini, Siwie Honoris menyatakan tentang beliau, bahwa “beliau itu orangnya sangat tenang, bersifat kebapakan, dan mau mendengar pendapat dari orang lain. Mungkin itulah yang membuat beliau bisa sukses sebagai pemimpin umat Buddha di Indonesia yang disegani.”


Karya dharma Penjaga Gunung
Awal perkenalan beliau dengan agama Buddha terjadi di tahun 1956, ketika diundang panitia perayaan Buddha Jayanti yang berkedudukan di Watugong, Semarang untuk menghadiri perayaan Waisak 2500 di Borobudur. Sepuluh tahun kemudian beliau memantapkan dirinya menjadi Bhikkhu dengan nama Girirakkhito, meski sempat ditahun 1960 menjadi pandita dan tahun 1961 sebagai samanera sementara dan pada 12 Januari 1962 sebagai samanera tetap. Di tahun 1962 ini pula beliau mendirikan Vihara Brahmavihara di Yeh Panas. Kemudian di Tahun 1971 mendirikan Vihara Bharmavihara Arama, Banjar yang diresmikan pada tahun 1976 oleh bapak Gubernur. Tetapi 6 hari kemudian Brahma Vihara Arana hancur dilanda gempa bumi. Dengan pantang menyerah dan tekad yang luar biasa bhante Giri bersama umat kemudian membangun kembali Brahmavihara Aram, Banjar yang hinga kini berdiri dengan megahnya menjadi salah satu buah karya utamanya. Pada tanggal 15 November 1966 beliau ditahbiskan sebagai bhikkhu di Bangkok, Thailand, dengan nama upasampada Girirakkhito. Nama girirakhito berarti penjaga gunung. Giri berarti gunung, Rakkhito berarti penjaga. Nama ini diberikan oleh chakun Dhammakicisobon, Guru pembimbing dhamma dari Thailand, tahun 1966. Latar belakang beliau menjadi bhikkhu dikarenakan tertarik dengan jalan agama Buddha yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kedewasaan jiwa. Jiwa seni yang umumnya mengalir disetiap anak Bali, termasuk Ida Bagus Giri, juga dibaktikan untuk mengembangkan Buddha Dahrma dengan menciptakan lagu-lagu Buddhis yang kini menjadi klasik, seperti misalnya Malam Suci Waisak, Enam Tahun Sengsara, Anicca, dukkha, Anatta dan lain sebagainya.”Motivasi mencipta lagu adalah karena ingin menyebar Dharma kepada orang banyak dan memungkinkan orang banyak dapat menyenagi untuk belajar Dharma.”, katanya.


Kecakapan Menyampaikan Dharma
Pada tanggal 12 Juni 1990 Bhikkhu Giri memperoleh gelar SADDHAMA KOVIDA VICITTA BHANAKA. Arti dari gelar tersebut adalah “ yang mahir didalam membabarkan Dhamma yang benar/sejati “Pemberian gelar mengambil tempat di Nigrodaketta Mahaparinena Gelioya, Srilanka, di peroleh dari Sangha Ramanna Nikaya Srilanka. Kemudian sejenis dengan gelar tersebut, pada tahun 1996, tepatnya 28 Oktober Sangha Theravada Indonesia mempersembahkan gelar “Sasana Pasadaka Siri”, yaitu seorang yang mulia, yang membuat sasana, ajaran Buddhis ini bersinar dengan terang, sehingga banyak orang dapat menangkap dan mengerti Dhamma. Bagi Sangha Theravada Indonesia sendiri, bhikkhu Giri dianggap sebagai sesepuh, dan sebagimana diungkapkan bhante Pannavaro, sebagai bhikkhu yang tertua beliau selalu memberikan bimbingan, namun tidak pernah mengatur. Pemberian gelar itu memang pantas diperoleh Bhikkhu Giri, sebab salah satu ciri khas Bhante Giri di dalam memberikan khotbah Dharma adalah dengan mempergunakan symbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan. Ciri khas ini merupakan kekuatan Bhante Giri dalam berkhotbah, sehinga beliau mampu menjelaskan Dhamma dari yang rendah sampai Dhamma yang tingi atau amat mendalam dengan cara yang amat tepat. Beliau mampu memiliki kata-kata yang amat jitu untuk menjelaskan Dhamma yang mendalam dan amat tinggi. Dalam setiap pembabaran Dhamma, Bhante Giri sering mengungkapkannya dengan symbol-simbol, seperti misalnya perumpanaan Burung untuk menjelaskan tentang orang yang tidak lagi melekat, yang betul-betul bersih, suci, tidak menampakkan bekas (bandingkan misalnya dnegan binatang darat harimau yang masih meningggalkan jejak), dan bila jatuh dari dahan misalnya, burung dapat bangkit dan terbang kembali (bandingkan misalnya dengan buah- buahan yang jatuh dari dahan, misalnya durian dan sebagainya yang tidak bisa bangkit kembali). Menurut Bhikkhu Panavaro, bhante Giri, yang tamat HIS (7 tahun) dan sekolah Tjiu Gakko (sekolah menengah Jepang 3 tahun) di Sukasada, Singa Raja memilika kemampuan Nirutti Nyana. Nirutti Nyana adalah kecapakan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang untuk memilih kata-kata yang tepat, yang jitu, untuk menjelaskan Dhamma yang mendalam, sehingga orang dapat mengerti Dhamma yang mendalam itu dengan terang, jelas, tanpa keraguan. Gelar yang diberikan kepada Bhante Giri, yang sempat mengecap pendidikan Mulo selama satu tahun di Ujung Pandang, sebagai seorang bhikkhu yang pandai membabarkan Dhamma, juga disetujui oleh Bhikkhu Thitaketuko.Menurut bhikkhu yang mendalami meditasi dan semula bernama bhikkhu Jinapiya ini, bhante giri merupakan seorang yang pandai, ceramahnya sangat baik, memikat, bisa mengolah dan menyesuaikan kepada pendengarnya.

Dikutip dari: Mutiara Dharma "Bhante Giri Dalam Kenangan".
Dimuat atas izin dari Ir Lindawati

Dalai Lama





Dengan hanya sedikit negara yang peduli pada tindakan China dan bertanggung jawab terhadap puluhan ribu warga Tibet yang mengikuti pemimpin mereka hingga ke pengasingan, beliau menghadapi tugas yang sulit untuk melindungi warga Tibet beserta tradisi mereka.


Beliau kini dikenal sebagai salah satu figur pemimpin spiritual, YM. Dalai Lama sangat dikenal sebagai tokoh yang karismatik, sangat toleran, dan mengabdikan hidupnya demi perdamaian.

Pemimpin muda


Dalai Lama terlahir dengan nama Lhamo Thondup (ada yang menyebut Dhondup) pada tanggal 6 Juli 1935 di Takster, sebuah desa di sebelah utara Tibet. Lhamo Thondup ditemukan pada tahun 1937 oleh partai tradisi Tibet yang memiliki visi khusus mencari calon Dalai Lama. Ketika ditunjukkan beberapa benda kepunyaan Dalai Lama sebelumnya, Lhamo Thondup berkata, “Itu punyaku, itu milikku.”


Kemudian anak kecil yang baru belajar berjalan ini dibawa ke kota suci Lhasa untuk memulai latihan. Keluarganya juga ikut serta dan diberi tunjangan uang dan hadiah, dan diberi kesempatan mengunjungi anak mereka pada saat-saat tertentu di Istana 1000 kamar Potala Palace. Pada Februari 1940, beliau diberi nama Jetsun Jamphel Ngawang Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso -yang berarti Raja Suci, Keagungan Lembut, Pembela Berbelas Kasih dari Keyakinan dan Samudera Kebijakan- dan kemudian ditahbiskan menjadi Dalai Lama ke-14.


Bukanlah hal mudah menjadi seorang Dalai Lama. Dalai Lama muda sering menonton anak-anak lain bermain dari balik istana, merasa terkungkung dan kesepian. Beliau bermain hanya dengan pelayan istana, dan kadang menangis bila kalah dalam permainannya. Beliau sangat tertarik dengan bendabenda mekanik, terutama dengan jam. Beliau suka sekali mengoleksi jam tangan. Dalai Lama muda telah belajar dan mengerti banyak tentang dunia mekanik dan otomotif secara otodidak.


Pada 1950, tentara China memasuki Tibet dengan mengatasnamakan misi membebaskan Tibet dari imperialisme dan agama. Para pemimpin Tibet pada saat itu memutuskan untuk mengangkat Dalai Lama menjadi pemimpin negara sementara. Saat itu, Dalai Lama baru berusia 15 tahun, padahal untuk menjadi pemimpin, seorang Dalai Lama harus menunggu hingga berusia 18 tahun. Selama 9 tahun berikutnya, Dalai Lama melakukan usahanya yang terbaik untuk mengakomodasi keinginan China dan menjaga bangsa Tibet tetap aman. Namun, Mao Tse Tung menghapus usaha rekonsiliasi Tibet-China ketika mereka bertemu di Beijing. Dia mengatakan kepada Dalai Lama bahwa agama adalah racun.








Masa-masa sulit


YM. Dalai Lama pergi ke India dengan berjalan kaki, sambil diikuti puluhan ribu pengikutnya. Kini rumah pemerintahan Tibet adalah di pengasingan. Di pengasingan inilah Dalai Lama memulai tugasnya untuk menolong orang-orang Tibet dalam pengasingan serta tetap menjaga kemurnian kultur Tibet. Beliau membuat sistem untuk mengedukasi anak-anak Tibet dalam hal bahasa dan kultur, serta mendirikan Institut kebudayaan Tibet. Dan beliau memberitahu publik dunia tentang kondisi sulit yang dihadapi oleh warga Tibet.


Beliau mengajukan permintaan keadilan kepada PBB dan membujuk Dewan Umum untuk memberikan resolusi perlindungan terhadap orangorang Tibet pada tahun 1959,1961, dan 1965. Beliau telah bertemu dengan sejumlah pemimpin politik dan pemimpin religius di seluruh dunia, antara lain mengunjungi Paus John Paul II. Pemerintah China berulang kali mencoba mendiskreditkan Dalai Lama dan menghapus segala hal yang berhubungan dengannya, namun semangat para pengikutnya tidak pernah pudar. Pada sebuah kesempatan pertemuan Dalai Lama dengan para pengikutnya di Dharamsala, beliau berpidato, “Ini adalah masa-masa yang paling sulit bagi kita semua. Namun begitu, dalam masa-masa sulit ini, kalian tidak boleh kehilangan harapan. Jangan pernah kehilangan keyakinan pada kebenaran. Pada akhirnya, semua akan baik-baik saja.” Kemudian beliau menyalami para pengikutnya satu persatu. Pada kesempatan lainnya, seorang biksu muda datang dari tempat yang sangat jauh untuk menemui Dalai Lama. Ketika akhirnya biksu itu bertatap muka dengan Dalai Lama, beliau langsung memeluk biksu muda itu mengusap kepalanya seolah-olah sedang bersama keponakan beliau. Inilah cara Dalai Lama mencoba merespon emosi orang-orang yang ingin bertemu dengannya, emosi yang timbul dari persepsi orang-orang terhadap kekuatan harapan dan inspirasi seorang Dalai Lama.


Mempertahankan kedamaian


Beliau merekomendasikan “Jalan Tengah” sebagai solusi atas masalah Tibet-China. Pada 1987, Beliau mengajukan 5 poin kesepakatan, di mana beliau mengumumkan bahwa wilayah Tibet sebagai wilayah kedamaian. Beliau juga meminta untuk menghentikan pemindahan massal orang China (suku Han) ke wilayah Tibet. Beliau mendapat penghargaan berupa Nobel Perdamaian pada tahun 1989 untuk konsistensi beliau dalam melawan penindasan terhadap Tibet. China, bagaimanapun, tidak terlalu antusias dengan penghargaan tersebut, dan tetap melihat Dalai Lama sebagai ancaman separatis.


Walaupun begitu, Dalai Lama terus mencoba untuk bisa berdialog dengan China. Pembicaraan antara kedua belah pihak berakhir pada tahun 1993, dan kemudian tidak ada dialog lagi selama hampir satu dekade. Namun pada September 2002, perwakilan dari Dalai Lama melakukan perjalanan ke Beijing dan Lhasa untuk memecah kebuntuan. Diskusi antara kedua belah pihak berjalan, namun tetap tidak menunjukkan kemajuan yang substansial.


Kesabaran


Pada Juni 2004, beliau mengunjungi Skotlandia, beliau memberitahu kru BBC bahwa kesabaran adalah sangat penting. “Jika Anda menggunakan akal sehat, adalah lebih baik untuk tetap menjaga kesabaran, harapan, dan determinasi Anda. Sekali Anda menggunakan kekerasan, segala hal dengan mudah akan lepas kontrol.”, kata beliau.


Pada Maret 2006, untuk memperingati invasi pada tahun 1959, beliau menekankan bahwa tujuan Tibet adalah menjadi daerah Otonomi Tibet. “Saya ingin menekankan bahwa kami akan mencoba segala hal yang mungkin dapat membantu proses dialog untuk mencari solusi bagi masalah China- Tibet,” kata Dalai Lama.


Kerendahan hati dan biksu sederhana


Sang Samudera Kebijakan ini adalah pria sederhana dengan rambut hitam tipis, dan kacamata yang tebal. Beliau sehari-hari hanya mengenakan kaos kaki berwarna gelap, dengan sepatu kulit coklat di balik jubah merah tua. Sangatlah sukar untuk menolak keberadaan seseorang yang memiliki kerendahan hati dalam menghadapi segala macam penghormatan yang ditujukan kepadanya. “Saya memiliki beban. Saya harus memeriksa diri saya sendiri. Semakin banyak orang yang memujamu, maka akan ada bahaya untuk berkembangnya arogansi dan kesombongan.”, kata Dalai Lama.


Beliau juga selalu menolak anggapan yang mengatakan bahwa beliau adalah raja dewa. “Beberapa menyebut saya sebagai Buddha hidup.” Beliau menyanggahnya, “Itu omong kosong. Itu konyol. Itu salah.”


Ketika Dalai Lama berada di AS untuk menerima hadiah Nobel Perdamaian, banyak media penting yang mendesak untuk mewawancarai beliau. Namun beliau menolak untuk menyusun kembali jadwal kegiatannya untuk digantikan dengan wawancara. Menurut beliau, ketertarikan media terhadapnya adalah hal yang baik, namun apakah orang yang akan bertemu dengannya adalah orang penting atau bukan, beliau berpikir bahwa tidak benar untuk membatalkan janji yang telah dibuat.


Pada saat Dalai Lama berbicara di sebuah universitas kecil di Findlay, Ohio, seorang wartawan bertanya kepadanya mengapa beliau mau datang ke tempat yang terpencil, sementara Nelson Mandela datang berkunjung ke Atlanta, Washington, dan New York. Dalai Lama menjawab bahwa beliau akan menerima undangan yang menurutnya akan bermanfaat. Jika suatu kunjungan, undangan dari Yale atau Harvard sekalipun, jika tidak membawa manfaat, beliau tidak akan menerimanya. Pada 1995, Dalai Lama menghadiri sebuah konferensi tentang demokrasi baru di Nikaragua. Meski pada saat itu, setiap pertemuan selalu dimulai terlambat, Dalai Lama selalu berusaha untuk hadir tepat waktu. Beliau berkata, “Jika orang lain terlambat, itu hak mereka. Namun kita tidak seharusnya terlambat hanya karena orang lain tidak tepat waktu. Jadi kita selalu tepat waktu.”


Dalai Lama sama sekali tidak tertarik untuk mengubah seseorang untuk berpindah keyakinan. Beliau berkata, “Jangan menjadi seorang Buddhis, Kristiani, Muslim, Yahudi, bagaimanapun kamu dibesarkan. Latihlah meditasi Buddhis, namun tetap dijaga dalam kerangka keyakinanmu yang utama.”


Ketika sedang dalam perjalanannya, Dalai Lama selalu menyempatkan diri untuk mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin spiritual lain. Beliau juga suka bertemu dengan para ilmuwan, namun beliau mengaku kesulitan jika berhadapan dengan komputer. “Saya adalahscreensaver untuk untuk komputer.” Beliau menyinggung kenyataan bahwa namanya sering digunakan dalam perjuangan atas hak-hak rakyat Tibet. Hari-hari Dalai Lama dimulai pukul 3.30 dengan meditasi dan membaca doa, seringkali diakhiri dengan menonton kehidupan satwa liar di televisi. Orang-orang sering memperhatikan tawa beliau yang dalam, dan selera humornya yang membumi.


“Orang-orang terlalu serius. Mereka terlalu serius sepanjang waktu.”, kata Dalai Lama kepada Asiaweek. Menurut Robert A.F. Thurman, seorang profesor kajian Indo-Tibet di Universitas Columbia, Dalai Lama memiliki tawa yang memukau dan selera humor yang baik. Dan itu menular. Beliau adalah orang yang memiliki rasa damai di dalam dirinya sendiri. Banyak sekali tekanan terhadapnya, namun di dalam hati beliau selalu santai dan tenteram. Thurman berpendapat bahwa Dalai Lama sungguh orang yang sehat.


Dalai Lama mengatakan bahwa hal yang paling ingin dilakukannya adalah menyendiri untuk bermeditasi
dan hidup sebagai biksu sederhana sebagaimana yang telah beliau jalani sebelumnya. Namun prioritas utama
beliau sekarang adalah memperjuangkan status Tibet. Beliau mengusulkan Tibet memperoleh otonomi sendiri,
dengan pemerintahan yang terpisah dari China. Setelah itu, beliau tidak bersedia untuk masuk ke dalam
pemerintahan, beliau hanya bersedia menjadi pemimpin spiritual saja.
“Saya akan kembali ke Tibet yang merdeka. Begitu juga rakyatku.”, ujar Dalai Lama. “Ya, saya punya perasaan
yang kuat akan hal itu.”


***********


Sumber


DAWAI






RIWAYAT YM. BHANTE VIN VIJANO MAHATHERA



Nama  :           Vin Vijjano Mahathera
Arti      :           Pengetahuan
Nama Kecil    :           Vin Vechasart
Tempat Lahir :           Desa Sri Wijaya, Kabupaten Phun Phin, Propinsi Surathani, Thailand
Tanggal Lahir            :           17 November 1923/2466 BE
Alamat Terakhir         :           Vihara Buddha Metta Arama Jl. Terusan Lembang No. D-59 Menteng, Jakarta Pusat, Indonesia
Pentahbisan Bhikkhu            :           14 Juli 1953
Upajjaya         :           Prince Vajira Nyana Wongsa
Acariya           :           Phra Yanasobhana Phra Thepyanavisit
Tempat Upasampada          :           Wat Bovoranives, Bangkok
Tempat tinggal beliau selama menjadi Dhammaduta di Indonesia:

Cetiya Prajna Dipa, Jl. Tanah Abang II No. 38 Jakarta Pusat pada tahun 1969-1971
Vihara Buddhayana, Purworejo Jawa Tengah, vassa tahun 1970
Vihara Buddhayana, Menado, vassa tahun 1971
Vihara Padummuttara atau Klenteng Boen Tek Bio, Tangerang, vassa tahun 1972-1976
Vihara Buddha Metta Arama, Menteng, Jakarta Pusat, dari bulan Mei 1976-2006
MENGENANG PENGABDIAN YM. BHANTE VIN VIJANO MAHATHERA
( 1923- 2006 )
Sebelum menjadi Dhammaduta, YM. Bhante Vin pernah menjabat sebagai :
Sekretaris Wat Bovornives
Sekretaris Mentri Administrasi Sangha
Sekretaris Lembaga Pelatihan Bhikkhu Dhammaduta
Sekretaris pribadi Somdet Phra Nyana Songvorn (sangharaja yang sekarang).
Beliau menjabat selama 10 tahun.
Beliau mulai melakukan misi Dhammaduta pertama kali di Indonesia pada tanggal 12 Juli 1969.

Dalam melaksanakan tugas sebagai Dhammaduta, YM. Bhante Vin tidak hanya membabarkan Dhamma, tetapi juga mendukung perkembangan Sangha di Indonesia. Lima putra Indonesia diupasampada menjadi bhikkhu oleh Tan Chaokun Sasana Sobhana (sekarang Sangha Raja Thailand) pada tanggal 8 Mei 1971 di Candi Borobudur dan YM Bhante Vin bertindak sebagai acariya.

Mereka merupakan putra-putra Indonesia pertama yang diupasampada menjadi Bhikkhu di Candi Borobudur. Mereka adalah :

B. Aggajinamitto (alm.)
B. Uggadhammo (alm. )
B. Jinadhammo, sekarang masih tinggal di Vihara Borobudur,Medan
B. Saccamano (mantan)
B. Sanjaya (mantan)

Putra-putra Indonesia telah menjadi bhikkhu terbaik seiring dengan jasa-jasa beliau. Berkat jasa-jasa beliau, di Indonesia telah muncul:

B. Aggabalo , yang sekarang kita kenal sebagai Bapak Cornelis Wowor
B. Khemmasarano Mahathera (alm.)
B. Piyadhammo (alm.)
B. Sudhammo Mahathera (alm.)
B. Pannavaro Mahathera
B. Subalaratano Mahathera
B. Dhammasubho Mahathera
B. Dhammavijayo Mahathera
B. Uttamo Mahathera
B. Jottidhammo Thera
B. Jagaro Thera
B. Dhammakaro
B. Abhinitto (mantan)
B. Aggadipo
Dan dari Mahayana :

B. Dutavira
B. Vijjuko (Suhu Kwok Hwa)
Dan masih banyak lagi putra-putra Indonesia yang telah menjadi bhikkhu atas jasa beliau.

Hingga tahun 2006, di Vipassana Graha telah diupasampada 4 orang bhikkhu, dengan YM. Bhante Vin bertindak sebagai Upajjaya

B. Dhammabalo
B. Pabhakaro
B. Jagarapanno
B. Satisampanno (alm.)
Beberapa buku yang telah beliau tulis dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, antara lain :

Kisah Anggulimala (1980)
Dhamma Sekolah Minggu Buddhis (1986)
Ajaran Bagi Pemula (1992)
Anak Yang Baik (2002)
Anak Bangsa Yang Baik (2002)
Menanam Kebajikan (2002)
Selain itu beliau juga telah menterjemahkan beberapa buku. Karya-karya beliau antara lain :

62 wejangan terankhir Sang Buddha
Jawaban Sang Buddha pada Para Dewata
Pandangan para Cendekiawan
Melihat keajaiban dari Hari Tri Suci Waisak (dimuat dalam Majalah Walubi)
Beberapa vihara di Pulau Jawa yang dibantu dan diprakarsai beliau bersama-sama umat di antaranya adalah sebagai berikut:

Vihara Dhammadipa Arama, Batu, Malang, Jawa Timur dengan luas 4500 meter persegi, pada tahun 1971 dibeli seharga Rp. 35.000,-
Beliau mendirikan Yayasan Dhammadipa Arama yang diketuai HS. Hendro. Yayasan ini samapai saat ini masih ada dan berfungsi.
Beliau pernah bervassa dan membabarkan Dhamma di vihara ini.
Romo Dhammaratano pada tahun 1983 membangun Vihara Dhamma Mitra di Malang, yang kemudian diserahkan kepada YM. Bhante Vin untuk tempat menyebarkan Dhamma
Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah, yang terletak di sebelah Candi Mendut, dengan luas tanah 3000 meter persegi. Pada tahun 1983. Tanah tersebut ditukarnya dengan beras.
Vihara Dhamma Surya, Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah, dibangun pada sekitar tahun 1972 dan vihara ini pada tahun 1973.
Teja Wanto (yang sekarang kita kenal sebagai B. Pannavaro Mahathera) ditahbiskan sebagai samanera, dengan acariya YM. Bhante Vin.
YM. Bhante Vin pernah meditasi di Gunung Payung yang terletak kurang lebih 3 km dari Vihara Dhamma Surya.
YM. Bhante Vin pernah mengajar di Vihara Sekolah Sariputta selama 4 tahun (1972-1976)
Sekolah Buddhi, Tangerang mendapat dana US$500 dari beliau sebagai dana pembangunan pertama.
Sekolah Buddhi yang pada awalnya hanya sebagai sekolah dasar, kini telah berkembang sampai menjadi Perguruan Tinggi Buddhi dengan beberapa jurusan.
Daerah-daerah yang pernah Beliau kunjungi dalam tugasnya membabarkan Dhamma di Indonesia, antara lain :

Daerah Jawa, seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Temanggung, Rembang, Malang, Surabaya dan Pulau Madura
Daerah Sumatra, seperti Palembang, Jambi, Pekanbaru, dan Medan
Daerah Kalimantan, seperti Samarinda, Balikpapan, danm Banjarmasin
Daerah Sulawesi, seperti Menado, Gorontalo, Palu, dan Ujung Pandang


(Vipassana Graha)

Senin, 09 April 2012

Kisah Nigamavasitissa




Nigamavasitissa lahir dan dibesarkan di suatu kota dagang kecil dekat Savatthi. Setelah menjadi seorang bhikkhu, dia hidup dengan sederhana, dengan mempunyai hanya sedikit keinginan

Untuk berpindapatta, beliau biasanya pergi ke desa tempat saudaranya tinggal dan mengambil apa yang disediakan untuknya. Nigamavasitissa selalu melewatkan kesempatan menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika menerima banyak dana makanan lainnya. Meski ketika Anathapindika dan Raja Pasenadi dari Kosala memberikan dana makanan dalam jumlah besar kepada para bhikkhu, Nigamavasitissa tidak mau pergi ke sana.

Beberapa orang bhikkhu kemudian membicarakan hal tersebut. Bahwa beliau lebih dekat dengan saudara-saudaranya dan tidak memperdulikan orang lain seperti Anathapindika dan Raja Pasenadi, yang ingin berbuat jasa dengan memberikan dana makanan.

Ketika Sang Buddha menerima laporan ini, Beliau mengundang Nigamavasitissa dan menanyakan hal itu.

Bhikkhu Nigamavasitissa dengan penuh hormat, menjelaskan kepada Sang Buddha, bahwa memang benar ia sering mengunjungi desanya, tetapi hanya pada saat berpindapatta. Ketika dia telah mendapatkan makanan yang cukup, dia tidak akan berjalan lebih jauh lagi, dan dia tidak pernah mempersoalkan apakah makanan itu enak atau tidak.

Sang Buddha tidak menegur setelah mendengar penjelasan bhikkhu Nigamavasitissa, bahkan Beliau menghargai tindakannya dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain.

Beliau bahkan menganjurkan kepada murid-muridnya, untuk hidup puas dengan sedikit keinginan, sesuai dengan ajaran Buddha dan para Ariya, dan begitulah semua bhikkhu seharusnya, mencontoh tindakan bhikkhu Tissa dari kota dagang kecil.

Berkenan dengan ini, Beliau menceritakan kisah Raja dari burung nuri.

Pada masa dahulu kala, tinggallah raja burung nuri di lobang sebuah pohon besar yang tumbuh di muara sungai Gangga, dengan sejumlah besar pengikutnya. Ketika buah-buahan telah habis dimakan, semua burung nuri pergi meninggalkan lobang tersebut, kecuali sang raja, yang puas pada apa yang masih tersisa di pohon tersebut.

Sakka, mengetahui hal ini, dan ingin menguji ketulusan hati raja nuri tersebut. Sakka pergi ke pohon tersebut dengan kekuatan supranaturalnya. Kemudian, dengan menyamar sebagai angsa, Sakka dan permaisurinya, Sujata, mengunjungi tempat dimana raja nuri tersebut tinggal dan menanyakan kenapa dia tidak meninggalkan pohon tua tersebut seperti yang telah dilakukan nuri lain; mencari pohon lain yang berbuah lebat.

Raja nuri menjawab, “Karena perasaan terima kasih kepada pohon ini, aku tidak akan meninggalkannya, dan selama aku masih dapat makanan yang cukup, aku tidak akan meninggalkannya. Akan tidak berterima kasih sekali, jika aku meninggalkan pohon ini, meskipun pohon ini akan mati.”

Sakka sangat terkesan dengan jawaban tersebut, dia menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Dia mengambil air dari sungai Gangga dan menyiramkannya di sekitar pohon tersebut. Segera pohon itu menjadi segar kembali; tumbuh kembali dengan cabang-cabang yang rimbun dan hijau, penuh dengan buah.


Sangat bijaksana, meskipun seekor binatang tidak rakus, mereka puas dengan apa yang tersedia. Raja nuri yang ada dalam kisah itu adalah Sang Buddha sendiri; Sakka adalah Anuruddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 32 berikut ini:

Seorang bhikkhu yang bergembira dalam kewaspadaan,
dan melihat bahaya dalam kelengahan,tak akan terperosok lagi,
Ia sudah berada di ambang pintu nibbana.

Kisah Seorang Bhikkhu


Seorang bhikkhu, setelah memperoleh pelajaran meditasi dari Sang Buddha, pergi ke hutan untuk bermeditasi. Meskipun dia berlatih dengan sungguh-sungguh, dia hanya memperoleh kemajuan yang sangat kecil. Akibatnya, ia frustasi. Dengan berpikir akan memperoleh petunjuk dari Sang Buddha, dia meninggalkan hutan menuju Vihara Jetavana.

Dalam perjalanannya, dia melewati nyala api yang sangat besar. Dia berlari menuju puncak gunung, dan mencari darimana api tersebut datang. Melihat api yang membakar itu, ia termenung. Pikirnya, seperti api yang membakar habis semuanya, begitu juga pandangan terang akan membakar semua belenggu kehidupan, besar dan kecil.

Sementara itu, dari kamar Harum (Gandhakuti), di Vihara Jetavana, Sang Buddha mengetahui apa yang dipikirkan oleh bhikkhu tersebut. Beliau menampakkan diri dan berkata, “Anak-Ku, engkau berada di jalan pikiran yang benar. Pertahankanlah! Semua makhluk harus membakar belenggu kehidupannya dengan pandangan terang.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 31 berikut ini:

Seorang bhikkhu, yang bergembira dalam kewaspadaan,
dan melihat bahaya dalam kelengahan,
akan maju terus membakar semua rintangan batin,
bagaikan api membakar kayu,baik yang besar maupun yang kecil.

Kisah Magha


Suatu waktu, seorang Pangeran Licchavi, bernama Mahali, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang disampaikan oleh Sang Buddha. Khotbah yang dibabarkan adalah Sakkapanha Suttanta. Sang Buddha menceritakan tentang Sakka yang selalu bersemangat. Mahali kemudian berpikir bahwa Sang Buddha pasti pernah berjumpa dengan Sakka secara langsung. Untuk meyakinkan hal tersebut, dia bertanya kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, “Mahali, Aku mengenal Sakka, Aku juga mengetahui apa yang menyebabkan dia menjadi Sakka.” Kemudian Beliau bercerita kepada Mahali, bahwa Sakka, raja para dewa, pada kehidupannya yang lampau adalah seorang pemuda yang bernama Magha, tinggal di desa Macala.

Pemuda Magha dan tiga puluh dua temannya pergi untuk membangun jalan dan tempat tinggal. Magha juga bertekad untuk melakukan tujuh kewajiban.

Tujuh kewajiban tersebut adalah:

(1) Dia akan merawat kedua orang tuanya;
(2) Dia akan menghormati orang yang lebih tua;
(3) Dia akan berkata sopan;
(4) Dia akan menghindari membicarakan orang lain;
(5) Dia tidak akan menjadi orang kikir, dia akan menjadi orang yang murah hati;
(6) Dia akan berkata jujur; dan
(7) Dia akan menjaga dirinya untuk tidak mudah marah.

Karena kelakuannya yang baik, dan tingkah lakunya yang benar pada kehidupannya yang lampau, Magha dilahirkan kembali sebagai Sakka, raja para Dewa.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 30 berikut ini:

Dengan menyempurnakan kewaspadaan,
Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara para dewa.
Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji, 
dan kelengahan akan selalu dicela.