Jumat, 06 April 2012

SATTA BOJJHANGA





TUJUH FAKTOR PENERANGAN SEMPURNA.
( SATTA BOJJHANGA )


Tipitaka, kitab suci agama Buddha berbahasa Pali, penuh dengan keterangan mengenai faktor – faktor penerangan sempurna yang dibabarkan oleh Buddha pada pelbagai kesempatan dalam keadaan – keadaan yang berbeda. Dalam Book of the Kindred Sayings V ( Samyutta Nikaya, Maha Vagga ) kita temukan bagian khusus dengan judul Bojjhanga Samyutta, Buddha berkhotbah mengenai bojjhanga dengan berbagai cara. Di bagian ini kita membaca satu seri dari tiga khotbah yang dilafalkan oleh umat sejak zaman Buddha sebagai suatu perlindungan ( paritta atau pirit ) menghadapi penderitaan, penyakit, kemalangan dan lain – lain.

Istilah “bojjhanga“ terdiri dari kata bodhi dan anga. “Bodhi“ berarti penerangan sempurna, tepatnya pencerahan dengan merealisasi Empat Kebenaran Mulia ; yaitu Kebenaran Mulia tentang derita ; Kebenaran Mulia tentang asal mula derita ; Kebenaran Mulia tentang lenyapnya derita ; dan Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya derita.
“Anga“ berarti faktor – faktor atau cabang – cabang. Karena itu bodhi + anga ( bhojjanga ) berarti faktor – faktor penerangan sempurna atau faktor – faktor pencerahan, kebijaksanaan.

“Bhojjhanga ! Bhojjhanga ! ucap Bhagawa. Yang Mulia, seberapa jauhkah istilah itu dapat dipakai ? “ tanya seorang Bhikkhu. “ Bodhaya samvattantiti kho bhikkhu tasma Bhojjanga ti vuccati “. “ Mereka menimbulkan penerangan, Bhikkhu, karena itulah disebut demikian “, jawaban singkat Bhagawa. 1

Buddha berkata lebih lanjut, “ Para Bhikkhu, sama seperti bagian – bagian puncak atap rumah, seluruhnya menuju puncak, miring ke puncak, menyatu di puncak dan bagi mereka semua puncak dianggap sebagai kepalanya, demikian pula Bhikkhu, Bhikkhu yang mengembangkan dan memajukan ketujuh faktor penerangan sempurna condong menuju Nirwana, mendaki menuju Nirwana, cenderung ke Nirwana “. 2

Ketujuh faktor itu adalah :

1. Perhatian, kesadaran mengingat ( sati ),
2. Penyelidikan terhadap Dharma ( dhammavicaya ),3
3. Usaha yang bersemangat ( viriya ),
4. Kegiuran, kegairahan yang mendalam ( piti ),
5. Ketenangan ( passaddhi ),
6. Konsentrasi ( samadhi ), dan
7. Keseimbangan batin ( upekkha ).

Agar lebih jelas bagi pembaca, satu dari khotbah – khotbah mengenai bhojjhanga dapat dikutipkan di sini. Dimulai dengan : Demikian yang kedengar. Pada suatu ketika Buddha tinggal di Rajagaha, di Veluvana, Hutan Bambu, di tempat pemeliharaan tupai. Pada saat itu Bhikkhu Maha Kassapa, yang ada di Gua Pipphali, sedang sakit, menderita penyakit yang parah.

Kemudian Buddha bangkit dari meditasiNya di malam hari, mengunjungi Bhikkhu Maha Kassapa, duduk dan berbicara kepadanya sebagai berikut : “ Nah, Kassapa, ada apa denganmu ? Dapatkah engkau bertahan ; apakah engkau dapat menanggungnya ? Apakah sakitmu berkurang atau bertambah ? Adakah tanda – tanda penderitaanmu berkurang dan tidak bertambah ? “

“ Tidak, Bhante, aku tidak dapat bertahan. Aku tidak dapat menanggungnya. Penderitaan ini sangat berat. Tak ada satu tanda pun penderitaan ini berkurang, melainkan bertambah “.

“ Kassapa, tujuh faktor penerangan sempurna ini telah Kuuraikan dengan jelas, yang Kulatih dan lebih Kukembangkan dan ketika dilatih dan lebih dikembangkan mereka menimbulkan kesadaran penuh, kebijaksanaan sempurna, menuju Nirwana. Apa sajakah ketujuh faktor itu ?

Kesadaran mengingat. Hal ini, kassapa, telah Kuuraikan dengan jelas, yang Kulatih dan lebih Kukembangkan dan ketika dilatih dan lebih dikembangkan, ia menghasilkan kesadaran penuh, kebijaksanaan sempurna, menuju Nirwana. Penyelidikan terhadap Dharma … Usaha yang bersemangat … Kegairahan yang mendalam … Ketenangan … Konsentrasi … Keseimbangan batin …

Kassapa, sungguh, ketujuh faktor penerangan sempurna ini Kuuraikan dengan jelas, yang Kulatih dan lebih Kukembangkan dan ketika dilatih dan lebih dikembangkan, mereka menghasilkan kesadaran penuh, kebijaksanaan sempurna, menuju Nirwana “.

“ Sesungguhnya, Bhagawa, mereka adalah faktor – faktor penerangan sempurna. Sesungguhnya, Sugata, mereka adalah faktor – faktor penerangan sempurna ! “ Ujar Maha Kassapa. Demikianlah yang telah dinyatakan oleh Buddha dan Bhikkhu Maha Kassapa merasa gembira, menyambut kata – kata Buddha. Lalu Bhikkhu Maha Kassapa sembuh dari penyakit itu. Seketika itu juga penderitaan Bhikkhu Maha Kassapa lenyap.4

Khotbah lainnya ( Maha Cunda Bojhjhanga Sutta ) dari tiga khotbah yang telah disebut di atas menyatakan bahwa suatu ketika Buddha sendiri jatuh sakit dan Bhikkhu Maha Cunda membacakan bojjhanga, faktor – faktor penerangan sempurna, lalu penyakit Buddha yang menyusahkan itu lenyap.5

Pikiran kita sungguh amat berpengaruh dan berakibat pada tubuh. Jika dibiarkan berfungsi dengan tidak benar dan menimbulkan pemikiran – pemikiran yang tidak baik dan menyakitkan, pikiran dapat menyebabkan bencana dan bahkan membunuh makhluk hidup ; tetapi pikiran juga dapat menyembuhkan tubuh yang sakit. Ketika berkonsentrasi pada pemikiran – pemikiran dengan pengertian benar, hasil yang dapat ditimbulkan pikiran amatlah besar.

“ Pikiran tak hanya menimbulkan penyakit, ia juga menyembuhkan. Seorang pasien yang optimis memiliki kesempatan sembuh lebih banyak daripada seorang pasien yang cemas dan tidak bahagia. Kejadian – kejadian penyembuhan berkat keyakinan yang tercatat mencakup kasus – kasus yang bahkan merupakan penyakit organik, disembuhkan dengan sekejap.6

Agama Buddha ( Buddhadharma ) adalah ajaran mengenai penerangan. Orang yang tekun dalam mencapai penerangan seharusnya pertama – tama mengetahui dengan jelas rintangan – rintangan yang menutup jalan menuju penerangan.

Menurut Buddha, berdasar pengertian benar, hidup adalah penderitaan dan penderitaan itu berakar pada kebodohan atau avijja. Kebodohan adalah perbuatan – perbuatan yang tak berguna, yaitu kejahatan. Lebih jauh lagi tidak memahami sifat kelompok agregat ( khandanam rasattham ) ; tidak memahami organ – organ indra dan objek indra masing – masing dan sifat – sifatnya yang objektif ( ayatananam ayatanattham ) ; tidak memahami kekosongan atau relativitas unsur – unsur ( dhatunam sunnattham ) ; tidak memahami sifat dominan dari alat yang mengendalikan indra ( indriyanam adhipatittham ) ; tidak memahami apa adanya kemutlakan dari Empat Kebenaran Mulia ( saccanam tathattham ). Dan lima rintangan ( panca nivarana ) merupakan masukan ( atau memberi kondisi ) bagi kebodohan ini. Mereka disebut rintangan sebab mereka sepenuhnya menutup, memutuskan dan menghalangi. Mereka merintangi pemahaman mengenai jalan untuk terbebas dari penderitaan. Lima rintangan ini adalah nafsu indrawi ( kamacchanda ) ; keinginan jahat ( vyapada ) ; kemalasan dan kelesuan ( thinamiddha ) ; kegelisahan dan kekhawatiran ( uddhacca kukkucca ), dan keragu – raguan ( vicikiccha ).

Dan apakah masukan bagi rintangan ini ? Tiga cara hidup yang buruk ( tini duccaritani ) ; perbuatan yang jahat yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran. Ketiga jenis masukan ini terpelihara dengan tiadanya pengendalian nafsu indra ( indriya asamvaro ) yang dijelaskan oleh komentator sebagai masuknya hawa nafsu dan kebencian ke dalam enam alat indra, yaitu mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran ( cakkadinam channam indriyanam ragapatighappavesanam ).

Masukan yang menimbulkan tiadanya pengendalian digambarkan sebagai tiadanya perhatian kesadaran mengingat dan kesadaran memahami dengan jelas ( asati asampajanna ). Dalam konteks masukan tersebut berlalunya objek ( dhamma ) hilangnya pengetahuan dari pikiran tentang lakkhana atau sifat – sifat kehidupan berupa ketidakkekalan, penderitaan dan kekosongan substansi inti ( anicca, dukkha dan anatta ) dan terlupakannya sifat – sifat sejati dari segala sesuatu adalah sebab dari tiadanya pengendalian. Ketika orang melupakan kesementaraan dan sifat – sifat lain dari segala sesuatu ia membiarkan dirinya bebas berbicara dan melakukan apa saja dan membatasi pemikiran yang menyeluruh membayangkan suatu hal yang tak baik. Tiada memahami dengan jelas maksudnya tiadanya keempat hal ini : pemahaman yang jelas tentang tujuan ( sattha sampajanna ) ; tentang keserasian ( sappaya sampajanna ) ; tentang usaha ( gocara sampajanna ) : dan tentang mengatasi kebodohan ( asammoha sampajanna ). Ketika seseorang bertindak, ketika ia melakukan sesuatu tanpa tujuan yang benar, ketika ia melihat berbagai hal ataupun melakukan tindakan yang tidak menolong pertumbuhan kebaikan, ketika ia melakukan hal – hal yang bertentangan dengan kemajuan, ketika ia melupakan Dharma yang merupakan usaha yang benar dari orang yang berjuang, ketika ia dengan bodohnya mempercayai sesuatu sebagai hal yang menyenangkan, indah, permanen dan substansial, ketika ia bersifat demikian, maka dengan itu nafsu yang tak terkendali juga terpelihara.

Dan pada keadaan tiadanya kesadaran mengingat dan memahami dengan jelas ini terletak perhatian yang tidak sistematis ( ayoniso manasikara ). Perhatian yang tidak sistematis adalah perhatian di luar jalan yang benar. Seperti menganggap yang tidak kekal sebagai kekal, yang menyakitkan sebagai kenikmatan, yang tak bersubstansi jiwa sebagai substansi jiwa, kejahatan sebagai kebaikan ataupun yang menjijikkan sebagai keindahan. Yang tetap berputar, berkelana, yaitu samsara berakar dalam pemikiran yang tidak sistematis. Ketika pemikiran yang tak sistematis bertambah, ia mengisi dua hal : kebodohan dan nafsu penjelmaan. Dengan adanya kebodohan, asal mula dari seluruh penderitaan pun muncul. Jadi orang yang berpikiran dangkal, seperti sebuah kapal yang hanyut terbawa angin, seperti sekumpulan ternak yang tersapu pusaran air sungai, seperti seekor lembu yang menarik bajak, terus berputar dalam lingkaran kehidupan, samsara.

Dan dikatakan bahwa keyakinan yang tak sempurna ( assaddhiyam ) kepada Buddha, Dharma dan Sangha adalah kondisi yang mengembangkan pemikiran yang tidak sistematis dan keyakinan yang tak sempurna disebabkan karena tidak mengenal hukum kebenaran, Dharma ( asaddham masavanam ). Yang terakhir, orang tidak mengenal Dharma karena kurangnya berhubungan dengan orang yang bijaksana, karena tidak bergaul dengan orang yang baik ( asappurisasamsevo ). Jadi tiadanya kalyana mittata, persahabatan yang baik, tampaknya merupakan alasan yang mendasar dari terjadinya kejahatan di dunia. Sebaliknya dasar dan sumber seluruh kebaikan datang dari persahabatan yang baik, yang menyediakan santapan Dharma yang luhur bagi seseorang yang pada saatnya menghasilkan keyakinan kepada Tiga Permata ( Tiniratanani ), Triratna, Buddha, Dharma dan Sangha. Ketika seseorang memiliki keyakinan kepada Tiga Permata, maka muncullah pemikiran yang mendalam dan sistematis, kesadaran mengingat dan memahami dengan jelas, pengendalian indra, tiga cara hidup yang baik, empat keadaan yang membangunkan kesadaran, tujuh faktor penerangan sempurna dan kebebasan melalui kebijaksanaan, satu persatu sesuai urutannya.7

I.

Sekarang kita bahas faktor – faktor penerangan sempurna satu persatu. Yang pertama adalah perhatian atau kesadaran mengingat ( sati ). Ia merupakan alat yang paling manjur untuk menguasai diri dan siapa pun yang melatihnya menemukan jalan menuju kebebasan. Kesadaran tersebut ada empat jenis : kesadaran yang terdiri dari perenungan pada jasmani ( kayanupassana ), perasaan ( vedananupassana ), pikiran ( cittanupassana ), dan objek – objek batin atau fenomena pikiran ( dhammanupassana ).8

Manusia yang tidak mempunyai semua sifat yang penting dari kesadaran ini tidak dapat mencapai apa pun yang berguna. Nasehat terakhir dari Buddha kepada murid – muridNya ketika sedang berbaring menjelang parinirwana adalah sebagai berikut : “ Segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur adalah sasaran perubahan. Berjuanglah mencapai kebebasan dengan sadar, waspada “. ( vayadhamma sankhara appamadena sampadetha ).9 “ Berjuanglah dengan sadar waspada. Inilah nasihatKu untuk kalian “ ( Sampadetha appamadena esa me anusasana ) adalah kata – kata terakhir yang diucapkan oleh Arahat Sariputra, murid Buddha yang paling terkenal yang meninggal mendahului gurunya. Dalam kedua amanat ini kata yang paling mengandung arti adalah “ appamada “ yang secara harfiah berarti kewaspadaan, kesadaran, perhatian yang cermat. Manusia tak dapat menjadi waspada kecuali ia sadar sepenuhnya pada perbuatannya, baik pikiran, ucapan ataupun tindakan di setiap momen sepanjang hidupnya. Hanya ketika ia sadar sepenuhnya dan menyadari aktivitasnyalah ia dapat membedakan yang baik dari yang jahat dan yang benar dari yang salah. Dalam cahaya kesadaranlah ia akan melihat keindahan maupun keburukan dari perbuatannya.

Kata “ appamada “ dalam Tipitaka digunakan untuk menyatakan sati, perhatian atau kesadaran. “ Pamada “ didefinisikan sebagai kurangnya kesadaran ( sati vossagga ). Kata Buddha dalam Anguttara Nikaya : “ Para Bhikkhu, Aku tahu tidak ada satu hal lain dari kekuatan yang menyebabkan timbulnya pemikiran – pemikiran baik, jika belum muncul ; ataupun yang menyebabkan surutnya pemikiran – pemikiran jahat yang telah muncul, selain perhatian. Bagi mereka yang waspada memperhatikan, pemikiran – pemikiran baik yang belum muncul menjadi muncul dan pemikiran – pemikiran jahat jika telah muncul menjadi surut “.

Kesadaran dan kewaspadaan yang terus menerus diperlukan untuk menghindari kejahatan dan merealisasi perbuatan baik. Manusia yang memiliki kesadaran, yang meliputi dirinya dengan ingatan waspada ( satima ), orang yang gagah, maju seperti kuda pacu yang melampaui kuda tua. Pentingnya sati, kesadaran menyangkut seluruh urusan kita dinyatakan dengan jelas oleh Buddha dalam kalimat sebagai berikut : “ Para Bhikkhu, kesadaran Kunyatakan penting bagi seluruh makhluk di mana pun. Ia bagaikan garam bagi kari “. “ Satim ca kho aham bhikkhave sabbatthikam vadami. Sabba byanjanepi lonadupanam viya icchitabba “.10

Kehidupan Buddha sendiri merupakan satu gambaran yang utuh dari kesadaran. Beliau adalah sada sato, yang selalu sadar, yang selalu waspada. Beliau sungguh – sungguh penjelmaan kesadaran. Tak pernah sesaat pun Buddha menunjukkan tanda – tanda kemalasan atau kecerobohan. Marilah kita mengikuti jejak Buddha dan menjadi sadar. Marilah kita hentikan pikiran dan faktor – faktor batin yang bandel dan memahami bahwa kemalasan dan kelesuan menghalangi kita mempertahankan perbuatan – perbuatan yang baik ; karena itu adalah jalan yang pasti menuju keabadian, kebahagiaan dan kebebasan.

Perhatian benar di satu sisi lebih unggul dari pengetahuan, karena dengan tidak adanya perhatian kesadaran tidaklah mungkin bagi manusia untuk mengambil manfaat dari apa yang dipelajarinya. Kepandaian intelektual tanpa kesadaran cenderung menyesatkan manusia dan menariknya dari jalan kebenaran dan kewajiban. Bahkan manusia yang tahu benar dan pandai, gagal melihat sesuatu hal dalam perspektif yang sebenarnya ketika mereka kehilangan seluruh sifat – sifat penting dari kesadaran ini. Manusia yang berkedudukan baik, karena perbuatan dan kata – kata yang telah diucapkan dengan sembrono dan tanpa pertimbangan yang tepat mengenai akibat – akibatnya, seringkali menjadi sasaran kritik yang keras dan tepat. Kesadaran adalah ciri terpenting dari seluruh perbuatan baik yang membawa manfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain.

“ Appamado mahato atthaya samvattati “ 11 “ kesadaran menghasilkan keuntungan yang besar “, yaitu perkembangan batin yang tertinggi dan melalui pencapaian yang demikian pembebasan dari penderitaan samsara menjadi mungkin. “ Manusia yang gembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dari kelengahan, tidak mungkin lagi terperosok. Ia berada di ambang Nirwana “.12

II.

Faktor penerangan sempurna yang kedua adalah penyelidikan terhadap Dharma ( dhammavicaya ). Ini merupakan pengetahuan analitis yang tajam dengan memahami sifat sebenarnya dari seluruh unsur pokok segala sesuatu, hidup atau tak hidup, manusia ataupun dewa. Melihat segala sesuatu seperti apa adanya, melihatnya dalam perspektif yang tepat. Ini merupakan analisis terhadap segala sesuatu yang terjadi dari paduan ke dalam unsur – unsur dasarnya, sampai yang penghabisan. Melalui penyelidikan yang cermat orang mengerti bahwa segala sesuatu yang terdiri dari gabungan unsur mengalami momen appada, thiti dan bhanga atau momen timbul, mencapai puncaknya dan lenyap, cepatnya tak terkira, sama seperti sebuah sungai yang meluap mencapai puncaknya dan berlalu. Seluruh alam semesta terus menerus berubah, tidak tetap sama untuk dua saat yang berurutan. Segala sesuatu sebenarnya merupakan sasaran kondisi sebab dan akibat ( paccaya, hetu dan phala ). Pemikiran yang sistematis ( yoniso manasikara ) timbul secara alami melalui perhatian benar dan ia mendorong seseorang untuk membedakan, mempertimbangkan dan meneliti. Pikiran dangkal, pemikiran yang tidak sistematis ( ayonisomanasikara ) menjadikan manusia bingung sehingga gagal meneliti sifat barang sesuatu. Orang tersebut tidak dapat memahami aksi dan reaksi, sebab dan akibat, benih dan buah, timbul dan lenyapnya segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur. Kata Buddha : pannavantassayam dhammo nayam dhammo duppannassa. “ Ajaran ini untuk mereka yang bijaksana dan bukanlah untuk yang tidak bijaksana “. 13

Agama Buddha tidak meminta pengikutnya percaya membuta. Pada permulaannya orang yang ragu – ragu akan dipersilakan untuk menyelidiki apa yang didengarnya. Agama Buddha dari awal sampai akhirnya terbuka bagi mereka semua yang memiliki mata untuk melihat dan pikiran untuk mengerti. Buddha mengajarkan murid – muridNya untuk memilih dan meneliti menggunakan akal. Menghadapi pertanyaan kalama Buddha menjawab : “ Tepatlah untuk meragukan, tepatlah untuk menanyakan apa yang diragukan dan apa yang tidak jelas. Dalam suatu masalah yang meragukan, kebingungan memang muncul “.

Orang yang terus mencari kebenaran tidak puas dengan pengetahuan yang dangkal. Ia ingin menyelidiki lebih dalam dan melihat apa yang ada di baliknya. Penyelidikan seperti itulah yang dianjurkan dalam agama Buddha. Penelitian semacam itu menghasilkan pengertian benar.

Orang yang melatih dhammavicaya, penyelidikan terhadap Dharma, memusatkan pikirannya pada lima agregat kehidupan, pancakkhandha dan berusaha untuk menyadari timbul dan tenggelam ataupun muncul dan lenyapnya ( udayabbaya ) kelompok kekuatan – kekuatan yang tersingkap ini ( suddha sankhara punja ) perubahan pada batin dan jasmani ( nama rupa ). Hanyalah ketika ia menyadari sepenuhnya sifat alami dari batin dan jasmaninya sendiri, ia mengalami kebahagiaan, harapan yang menggembirakan, karena itulah dikatakan :

Yato yato sammasati khandhanam udayabbayam
Labhati piti pamojjam amatam tam vijanatam.16

Bila orang merenungkan timbul dan tenggelamnya lima agregat kehidupan, ia mengalami kegembiraan dan kebahagiaan murni. Bagi orang yang telah menghayatinya, itu ( cerminan ) keadaan tanpa kematian, Nirwana.

Apa yang tidak kekal dan tak abadi dilihatnya sebagai hal yang penuh dengan kesedihan. Mengenai apa yang tidak kekal dan menyedihkan, ia memahaminya sebagai kekosongan jiwa atau diri yang tetap dan abadi. Menangkap, menyadari tiga corak umum atau hukum ketidakkekalan, penderitaan dan tiadanya aku ( tanpa substansi jiwa ), anicca, dukkha dan anatta inilah yang dikenal oleh umat Buddha sebagai vipassananana atau penembusan pandangan terang, yaitu bagaikan sisi tajam sebuah pedang, membasmi seluruh kecenderungan yang tersembunyi ( anusaya ) dan akhirnya kemudian memusnahkan berbagai bentuk penyebab kesedihan. Manusia yang telah mencapai puncak penglihatan ini adalah seorang Arahat, yang sempurna, yang jernih penglihatannya, yang memiliki pengetahuan mendalam, menembus lubuk kehidupan yang terdalam dan menyadari sifat alami yang sejati yang mendasari seluruh keadaan. Ia adalah benar – benar seorang filsuf sejati, ilmuwan sejati yang telah memahami makna kehidupan dalam arti yang sepenuhnya. Ia tidak dapat lagi tergoda oleh keindahan benda – benda yang bersifat sementara. Ia tak dapat lagi dikecewakan oleh keadaan yang menakutkan dan sangat buruk. Tak mungkin lagi baginya untuk memiliki pandangan yang kabur mengenai suatu fenomena, karena ia telah mengatasi seluruh kekuatan penyebab kesalahan melalui kekebalan yang sempurna, yang hanya didapat dari penembusan pengetahuan pandangan terang, vipassananana.

III.

Faktor penerangan sempurna yang ketiga adalah usaha yang bersemangat ( viriya ). Ini merupakan corak batin ( cetasika ) dan urutan keenam dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang disebut daya upaya benar ( samma vayama ).

Agama Buddha diperuntukkan bagi mereka yang sungguh – sungguh tekun, kuat dan kokoh mencapai tujuan dan bukan untuk mereka yang malas ( araddhaviriyassayam dhammo nayam dhammo kusitassa ).17Buddha tidak menyatakan diriNya sebagai juru selamat yang bersedia dan dapat mengambil tanggung jawab atas kejahatan umat manusia. Sebaliknya, Beliau menyatakan bahwa setiap orang harus memikul tanggung jawab atas perbuatannya sendiri yang jahat. Menurut sabda Buddha, setiap individu harus melakukan sendiri usaha yang diperlukan dan memperjuangkan pembebasannya sendiri dengan penuh perhatian. Buddha hanyalah Penunjuk Jalan. Selain itu mungkin mengulurkan tangan untuk menolong kita secara tak langsung, namun pembebasan dari penderitaan harus dihasilkan dan dicapai oleh kita masing – masing berdasarkan perbuatan sendiri. “ Jadilah pulau bagi dirimu sendiri, jadilah pelindung bagi dirimu sendiri “.18 Demikianlah Beliau mendorong para pengikutNya untuk belajar menentukan nasib sendiri. Seorang pengikut Buddha dalam keadaan apa pun hendaknya tidak melepaskan harapan dan usaha, karena Buddha adalah orang yang tak pernah kehilangan tekad dan menghentikan usaha bahkan sejak sebagai seorang Bodhisattwa. Sebagai calon Buddha, Beliau memiliki semboyan sebagai berikut : ma nivattha, abhikkhama, “ Jangan bimbang, majulah “. Orang yang sadar ( satima ) dan mengembangkan penyelidikan dengan cermat seharusnya kemudian berusaha untuk berjuang secara luar biasa.

Ada empat fungsi usaha yang bersemangat :

1. Usaha untuk membuang pikiran jahat yang telah muncul ;
2. Usaha untuk mencegah timbulnya pikiran jahat yang belum muncul ;
3. Usaha untuk mengembangkan kebaikan yang belum muncul ;
4. Usaha untuk memelihara dan meningkatkan lebih jauh kebaikan yang telah muncul. ( samvara, pahana, bhavana, anurakkhana ).19

Vitakka Santhana Sutta dalam Majjhima Nikaya mengungkapkan : “ Seperti seorang tukang kayu atau muridnya yang terampil, mencongkel dan mengganti sebuah pasak yang kasar dengan pasak yang halus, demikian pula halnya ketika memikirkan suatu gagasan yang telah muncul dalam dirinya, pemikiran yang jahat, yang tidak bermanfaat, diliputi nafsu, kebencian dan kebodohan, maka seorang Bhikkhu seharusnya memikirkan gagasan lain yang berhubungan dengan hal –hal yang bermanfaat menggantikan gagasan yang terdahulu, sehingga pemikiran jahat yang tak bermanfaat akan lenyap dan buyar dan dengan lenyapnya pemikiran jahat itu, pikirannya akan menjadi tenang, terkendali, menyatu, terkonsentrasi “.20

Demikianlah jalan menuju kesucian itu mustahil bagi seorang yang malas. Orang yang ingin mencapai penerangan sempurna ( bodhi ) harus memiliki semangat yang menyala – nyala disertai tekad yang bulat. Penerangan sempurna dan kebebasan sepenuhnya terletak di tangannya sendiri. “ Manusia harus menimbulkannya dengan usaha sendiri yang mantap dan membuka jalannya menuju pintu gerbang yang memberikan kebebasan dan selalu, di setiap saat, dilakukan menurut kemampuannya. Tidak ada pintu – pintu yang tertutup, yang kuncinya dimiliki orang lain, sehingga harus diperoleh darinya melalui doa – doa dan permohonan. Pintu itu bebas dari gerendel dan palang, menyelamatkan mereka sendiri yang telah membuatnya “.

Dalam hal ajaran dan contoh yang diberikan, Buddha adalah orang yang hidupnya keras. Camkan kata – kata Buddha ini : “ Orang – orang malas yang tidak berjuang, walaupun masih muda dan kuat, penuh kemalasan, yang tekadnya dan pikirannya lemah, orang – orang malas dan lemah itu tidak akan menemukan jalan menuju kebijaksanaan, jalan menuju penerangan sempurna “. 21

Dengan mengikuti jejak Buddha, seorang murid berpikir : “ Walaupun hanya tinggal kulit, urat dan tulang dan darah dagingku mengering dan menyusut, tak akan pernah aku berhenti mencari dan berbelok dari jalan kebenaran dan penerangan “.

IV.

Faktor penerangan sempurna yang keempat adalah kegiuran atau kegairahan ( piti ). Ini adalah corak batin ( cetasika ) juga dan merupakan sifat yang meliputi batin dan jasmani keduanya. Orang yang tidak memiliki sifat ini tidak dapat menempuh jalan menuju penerangan. Akan muncul dalam dirinya pengabaian terhadap Dharma, keengganan melatih meditasi dan manifestasi yang tidak sehat. Karena itulah manusia sangat perlu berjuang untuk mencapai penerangan sempurna dan kebebasan akhir dari belenggu samsara, kelahiran yang berulang – ulang, harus berusaha keras untuk mengembangkan semua faktor kegairahan yang penting. Tak seorang pun dapat memberi hadiah kegairahan kepada orang lain ; setiap orang harus membangunnya dengan usaha, pikiran dan perbuatan yang terkonsentrasi. Karena kebahagiaan ada dalam pikiran maka harus dicari bukan di luar dan pada benda – benda materi walaupun mereka mungkin punya peran sedikit sebagai alat bantu.

Kepuasan adalah sifat dari orang yang benar – benar bahagia. Orang kebanyakan yang melekat pada keduniawian agaknya berpikir bahwa melatih dan mengembangkan kepuasan itu sulit, tetapi hanya dengan keteguhan hati, kebulatan tekad, perhatian yang sistematis dan memikirkan hal – hal yang dijumpainya dalam kehidupan sehari – hari dengan mengendalikan keinginan jahatnya dan mengekang dorongan – dorongan, kecenderungan yang tiba – tiba untuk melakukan tindakan tanpa berpikir, orang dapat mencegah pikirannya ternoda dan merasakan kebahagiaan melalui kepuasan.

Dalam pikiran manusia timbul berbagai macam konflik dan jika konflik – konflik ini dikendalikan, sepanjang masih belum dilenyapkan, orang harus mengurangi kekangan pada dorongan dan keinginannya, dengan kata lain ia harus melatih kepuasan. Sangatlah berat untuk menghentikan hal – hal yang menarik perhatian dan memikat kita ; dan sangatlah berat untuk mengusir keinginan jahat yang menghantui hati manusia dalam bentuk pikiran – pikiran yang buruk dan jahat. Kejahatan – kejahatan ini adalah manifestasi dari nafsu keinginan, kebencian dan kebodohan, lobha, dosa dan moha. Sebelum puncak kesucian dan kedamaian tercapai lewat latihan pikiran yang terus menerus, manusia tidak dapat mengalahkan kejahatan ini sepenuhnya. Dengan mengabaikan hal – hal luar semata – mata, berpuasa, mandi di sungai dan sumber air panas dan sebagainya, tidak akan menyucikan manusia ; hal – hal ini tidak membuat orang bahagia, suci dan aman. Karena itulah perlu mengembangkan jalan kesucian yang diajarkan oleh Buddha, moral kebajikan, konsentrasi dan kebijaksanaan luhur, sila, samadhi dan panna.

Ketika membicarakan kebahagiaan dalam pengertian sambojjhanga, kita harus memikirkan perbedaan besar antara kenikmatan dan kebahagiaan. Kenikmatan, perasaan nikmat adalah sesuatu yang bersifat sementara dan dapat lenyap. Salahkah jika mengatakan bahwa perasaan nikmat adalah awal dari penderitaan ? Apa yang dipeluk manusia dalam kegembiraan saat ini, ternyata merupakan suatu sumber penderitaan di saat mendatang. “ Keinginan tak ada lagi di sana ketika tangan yang terulur dapat meraihnya, atau ada di sana dan setelah diraih, ia lenyap bagaikan serpihan salju “.

Dalam kata – kata Robert Burns, dari Tam O’ Shanter :

“ Kenikmatan seperti bunga opium yang bertebaran,
Kau meraih bunganya, kelopaknya berguguran ;
Atau, seperti salju yang turun di sungai,
Sekejap putih, kemudian mencair selamanya “.

Dengan melihat suatu bentuk, mendengar suara, mencium bau, mengecap rasa, menyentuh benda berwujud, menyadari pikiran, manusia tergerak dan dari objek – objek indra dan objek – objek pikiran itulah mereka mengalami tingat kenikmatan tertentu, tetapi semuanya merupakan suatu bayangan fenomena yang berlalu. Tidak seperti binatang yang tujuan satu – satunya adalah memperoleh rasa nikmat dari sumber apa saja, bagaimana pun juga, manusia seharusnya berusaha untuk memperoleh piti atau kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan atau kegairahan sejati tidak diperoleh melalui pemilikan ataupun keterikatan pada benda – benda hidup atau mati, melainkan dengan melepaskan ( nekkhamma ). Sikap yang tidak melekat pada keduniawian yang menghasilkan kebahagiaan sejati. Satipatthana Sutta, khotbah mengenai landasan kesadaran, berbicara tentang perasaan menyenangkan yang bersifat duniawi ( samisa sukha ) dan perasaan menyenangkan yang tidak bersifat duniawi ( niramisa sukha ). Niramisa sukha jauh lebih luhur dari samisa sukha.

Suatu ketika, waktu sedang pindapatta, Buddha tidak mau menerima makanan sedikit pun, mendengar seorang pengacau berkata bahwa Beliau tampaknya menderita kelaparan. Lalu Buddha Yang Mulia mengucapkan syair berikut :22

“ Ah, kita hidup bahagia
Kita bebas dari rintangan
Yang memberi makan gembira sebagaimana kita
Bahkan seperti para dewa yang bercahaya “.23

Kegembiraan murni muncul dalam diri manusia yang merenungkan hal berikut : “ Orang lain mungkin menyakiti, tapi aku tidak akan menyakiti ; orang lain mungkin membunuh makhluk hidup, tapi aku tak akan menjadi seorang pembunuh ; orang lain mungkin hidupnya tidak suci, tapi aku akan hidup suci ; orang lain mungkin berdusta, aku bagaimana pun akan berkata jujur ; orang lain mungkin memfitnah, berkata kasar, gemar omong kosong, tetapi aku hanya akan mengucapkan kata – kata yang meningkatkan kedamaian, kata – kata tidak menyakitkan, yang enak didengar, penuh dengan cinta kasih, menyenangkan hati, sopan, menghasilkan pikiran yang berguna, yaitu yang patut dan tepat. Orang lain mungkin iri hati, aku tidak akan iri hati. Bersemangat, rendah hati, tidak menyimpang dari kejujuran dan kebenaran, damai, lurus, merasa puas, murah hati dan aku akan selalu berkata benar dalam segala hal “. Hal – hal yang menghasilkan kesadaran penuh, kebijaksanaan sempurna, menuju Nirwana, adalah faktor penerangan sempurna yang keempat ini, piti, kegairahan.

V.

Ketenangan atau perasaan tenang ( passaddhi ), adalah faktor penerangan sempurna yang kelima. Passaddhi ada dua jenis. Kaya passaddhi adalah ketenangan jasmani. Kaya di sini lebih berarti corak batin ketimbang badan jasmani itu sendiri, dengan kata lain ketenangan pada agregat perasaan ( vedanakkhandha ), pencerapan ( sannakkhandha ) dan bentuk – bentuk pikiran ( sankharakkhandha ). Citta passaddhi adalah ketenangan pikiran, yaitu dari agregat kesadaran ( vinnanakkhandha ).

Passaddhi dapat disamakan dengan perasaan bahagia pada seorang pejalan kaki yang kecapaian duduk di bawah pohon yang rindang, atau ketika suatu tempat yang panas menjadi sejuk oleh hujan. Sangatlah sulit untuk menenangkan pikiran. Ia bergejolak dan tidak tetap, sulit dijaga dan ditahan ; ia menggelepar seperti seekor ikan yang ditangkap dari air dan dilemparkan ke darat. Ia berkeliaran sesuai keinginan.24 Demikianlah sifat pikiran yang sangat halus ini. Perhatian yang sistematislah ( yoniso manasikara ) yang membantu orang yang ingin mencapai penerangan menenangkan pikiran yang berubah – ubah. Kecuali kalau manusia melatih ketenangan pikiran, konsentrasi tak dapat berhasil dikembangkan. Pikiran yang tenang menjauhkan seluruh kedangkalan dan kegagalan.

Banyak orang sekarang yang berpikiran bahwa kebebasan dan tidak terkekang adalah kata yang sama dan bahwa menaklukkan diri adalah rintangan bagi pengembangan diri. Dalam ajaran Buddha, bagaimanapun juga, hal ini sangatlah berbeda. Diri harus ditundukkan dan ditaklukkan pada batas – batas yang wajar jika ingin benar – benar menjadi baik. Buddha, Sang Penakluk, mengajarkan Dharma dengan tujuan untuk menaklukkan batin manusia ( danto so Bhagava dama taya dhammam deseti ).25

Hanyalah ketika pikiran tidak dibiarkan menendang – nendang jejak dan dipertahankan pada jalur yang tepat dari kemajuan yang terarah maka ia menjadi berguna bagi pribadi yang menguasainya dan bagi masyarakat. Pikiran yang tidak terarah pada hakikatnya merupakan hal yang rawan baik bagi pemiliknya maupun orang lain. Semua bencana yang ada di dunia dibuat oleh manusia yang belum memahami cara menenangkan dan menyeimbangkan pikiran. Ketenangan bukanlah kelemahan. Sikap yang tenang di setiap saat menunjukkan manusia yang berbudaya. Bukanlah tugas yang terlalu berat bagi manusia untuk menjadi tenang ketika semua suasana di sekitarnya menyenangkan. Tetapi untuk menjadi tenang di tengah – tengah suasana yang tidak menyenangkan tentu saja amat sulit, dan kesulitan inilah yang bermanfaat untuk dicapai ; karena dengan pengendalian semacam itu orang membangun kekuatan karakter. Hal yang paling memperdaya di dunia ialah membayangkan bahwa mereka yang kuat hanyalah orang – orang yang ribut, atau mereka yang memiliki kekuatan hanyalah orang – orang yang sibuk bertengkar.

Manusia yang melatih ketenangan batin tidak marah, bingung atau pun senang ketika dihadapkan pada delapan kondisi dunia yang berubah ( atthaloka dhamma ). Ia berusaha melihat timbul dan tenggelamnya semua hal yang berkondisi, bagaimana semua makhluk menjelma dan meninggal dunia. Terbebas dari kekhawatiran dan kegelisahan ia akan melihat rapuhnya orang – orang yang lemah. Sebuah kisah di buku ini yang menceritakan bagaimana ketika seorang ibu ditanya mengapa ia tidak meratap dan menderita karena kematian anak yang disayanginya, berkata : “ Ia datang tanpa diundang, ia berlalu tanpa diminta, seperti datangnya demikianlah ia pergi, apa gunanya menyesali, menangisi dan meratapi ? “26 Itulah manfaat ketenangan batin. Ia tidak tergoyahkan oleh keberhasilan dan kegagalan, nama baik dan nama buruk, pujian dan celaan, kegembiraan dan kesedihan. Sehingga tidak terganggu oleh kemalangan. Keadaan batin ini dihasilkan dengan memandang dunia perasaan berdasar sudut pandang yang tepat apa adanya. Demikianlah ketenangan atau passaddhi menuntun manusia menuju penerangan sempurna dan terbebas dari penderitaan.

VI.

Faktor penerangan sempurna yang keenam adalah konsentrasi ( samadhi ). Hanya pikiran yang tenanglah yang dengan mudah dapat berkonsentrasi pada suatu subjek meditasi. Pikiran tenang yang terkonsentrasi melihat benda – benda seperti apa adanya ( samahito yatha bhutam pajanati ). Pikiran yang menyatu menaklukkan lima rintangan, panca nivaranani.

Konsentrasi adalah kemantapan pikiran yang kuat, yang dapat dibandingkan dengan api suatu lampu yang tidak berkelip di tempat yang tidak berangin. Konsentrasilah yang membuat pikiran terarah dan menyebabkannya tidak tergerak dan tidak terganggu. Latihan samadhi yang benar memelihara pikiran ( kesadaran ) dan corak batin dalam keadaan seimbang seperti sebuah tangan yang terus menerus memegang sepasang timbangan. Konsentrasi benar menghalau hawa nafsu yang mengganggu pikiran dan menimbulkan kesucian dan ketenangan pikiran. Pikiran yang terpusat tidak teralihkan oleh objek – objek indrawi ; konsentrasi pada tingkat tertinggi tak dapat terganggu bahkan oleh petir sekalipun.

Orang yang bersungguh – sungguh dalam samadhi harus mengembangkan cinta pada moral kebajikan, sila, karena moral kebajikanlah yang memelihara kehidupan batin dan membuatnya koheren, tenang, mantap dan penuh kepuasan. Pikiran yang tidak terkendali tampak dalam tindakan yang sembrono.

Banyak rintangan yang dihadapi oleh orang yang bermeditasi, orang yang ingin mencapai penerangan, tetapi ada lima rintangan khusus yang menghalangi pemikiran yang terkonsentrasi, samadhi dan merintangi jalan menuju kebebasan. Dalam ajaran Buddha mereka dikenal sebagai panca nivarana, lima rintangan. Istilah Pali nivarana berarti yang merintangi atau menghalangi perkembangan batin ( bhavana ). Mereka disebut rintangan karena benar – benar menutup, memotong dan menghalangi. Mereka menutup pintu menuju kebebasan. Kelima rintangan itu ialah :

i. Nafsu keinginan indrawi ( kamacchandha ).
ii. Keinginan jahat ( vyapada )
iii. Kemalasan dan kelesuan ( thina middha ).
iv. Kegelisahan dan kekhawatiran ( uddhacca kukkucca ).
v. Keragu – raguan ( vicikiccha ).

Kamacchandha atau nafsu keinginan indrawi atau kehausan yang kuat akan harta benda maupun pemuasan keinginan yang rendah, adalah yang pertama mengikat manusia pada samsara, kehidupan yang berulang – ulang dan menutup pintu menuju kebebasan akhir.

Apakah itu hawa nafsu ? Di mana keinginan ini ( tanha ) muncul dan berakar ? Menurut khotbah mengenai landasan kesadaran ( Satipatthana Sutta ), “ di mana ada kesenangan dan kenikmatan, di sanalah keinginan muncul dan berakar “. Bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan gagasan merupakan kesenangan dan kenikmatan ; di sinilah keinginan ini muncul dan berakar. Ketika keinginan dihalangi oleh suatu sebab ia berubah menjadi kekecewaan dan kemarahan.

Seperti disebutkan dalam Dhammapada ( 216 ) :

Tanhaya jayati soko – tanhaya jayati bhayam
Tanhaya vippamuttassa – natthi soko kuto bhayam

“ Dari keinginan timbul kesedihan,
dari keinginan timbul ketakutan ;
Bagi orang yang telah bebas dari keinginan
tak ada kesedihan dan ketakutan “.27

Rintangan selanjutnya adalah keinginan jahat, kebencian atau perasaan tidak suka, vyapada. Manusia secara alamiah menolak hal – hal yang tidak nikmat dan tidak menyenangkan dan juga tertekan karena hal – hal itu. Berpisah dari yang dicintai adalah derita, dan sama saja berkumpul dengan yang dibenci adalah derita. Bahkan makanan yang tidak lezat, minuman yang tidak enak, sikap yang tidak menyenangkan dan ratusan hal – hal sepele lainnya, dapat menyebabkan kemarahan. Pikiran yang salah, perhatian yang tidak sistematis, yang menimbulkan kebencian. Di sisi lain, kebencian melahirkan kebencian dan membuat pandangan kabur ; ia mengubah seluruh pikiran dan sifat – sifatnya dan juga merintangi kesadaran akan kebenaran, jalan menuju kebebasan. Hawa nafsu dan kebencian ini berdasar pada kebodohan, puncak keburukan dari seluruh kegilaan kita ( avijja paramam malam ), tentu juga, merupakan akar yang menyebabkan perselisihan dan pertikaian antara manusia dengan manusia dan bangsa dengan bangsa.

Rintangan ketiga terdiri dari sepasang hal yang buruk : thina dan middha. Thina adalah keadaan batin yang lemah atau tidak sehat dan middha adalah corak batin yang tidak sehat. Thina midha bukan merupakan kelelahan jasmani seperti yang cenderung dipikirkan oleh orang – orang tertentu, karena bahkan Arahatpun, yang sempurna, yang telah terbebas dari kedua hal yang buruk ini, juga mengalami kelelahan jasmani. Thina middha menghambat perkembangan batin ; di bawah pengaruhnya batin menjadi lamban, seperti mentega yang terlalu kaku untuk dioleskan atau seperti gula sirop yang melekat pada sebuah sendok.

Kelalaian adalah musuh yang berbahaya bagi perkembangan batin. Kelalaian mendatangkan kelalaian yang lebih besar sampai pada akhirnya muncul suatu ketidakacuhan yang mengabaikan perasaan. Kelemahan karena sifat ini merupakan rintangan yang fatal bagi kebajikan dan kebebasan. Melalui viriya atau semangat batinlah manusia mengatasi pasangan hal yang buruk ini.

Rintangan keempat juga terdiri dari dua hal : uddhacca dan kukkucca, kegelisahan dan kekhawatiran atau kebingungan dan kecemasan. Lazimnya, siapa saja yang melakukan kejahatan merasa gelisah dan resah secara batiniah, menderita perasaan bersalah dan tidak sabar akibat rintangan ini. Pikiran manusia yang resah dan tidak tenang adalah seperti lebah yang kebingungan dalam sarang yang terguncang. Pergolakan batin ini merintangi meditasi dan menutup jalan mencapai kemajuan. Sama buruknya kekhawatiran batin. Kadangkala orang menyesali perbuatan jahat yang telah mereka lakukan. Hal ini tidak dianjurkan oleh Buddha karena tidak berguna menyesali susu yang telah tumpah. Daripada terus memikirkan kelemahan seperti itu, orang seharusnya berusaha keras untuk tidak mengulangi perbuatan jahat tersebut. Ada orang lain yang mengkhawatirkan perbuatan baik yang terabaikan dan tugas – tugas yang belum selesai. Hal ini juga tidak bermanfaat. Ini sama sia – sianya seperti meminta tepi sungai yang jauh untuk menghampiri sehingga dengan demikian kita dapat sampai ke sisi yang lain. Daripada sia – sia mengkhawatirkan apa yang baik yang telah gagal dilakukannya, seharusnya ia berusaha untuk melakukan perbuatan – perbuatan baik. Kekhawatiran ( kukkucca ) ini juga merintangi kemajuan batin.

Rintangan kelima dan terakhir adalah keragu – raguan, vicikiccha. Istilah Pali vi + cikiccha harfiah berarti tak terobati. Orang yang menderita kebingungan sebenarnya menderita suatu penyakit yang parah dan kecuali kalau ia melepaskan keragu – raguannya, ia akan terus menderita karenanya. Selama manusia menjadi sasaran dari penyakit batin ini, selama itu pula ia akan terus memandang sinis segala hal, yang sangat merugikan perkembangan batin. Komentator menjelaskan rintangan ini sebagai ketidakmampuan untuk memutuskan apa pun secara tepat ; yang juga terdiri dari keragu – raguan mengenai kemungkinan mencapai jhana, pikiran yang terpusat. Dalam hubungan ini dapat ditambahkan bahwa bahkan orang – orang non Buddhis yang tidak berurusan dengan agama Buddha pun bisa mengatasi keragu – raguan ( vicikiccha nivarana ) dan mencapai jhana.

Orang yang mencapai jhana mengatasi lima rintangan seluruhnya dengan lima jhananga, sifat – sifat atau faktor – faktor jhana : kamacchanda diatasi oleh ekaggata ( pemusatan atau menunggalnya pikiran ) ; vyapada oleh piti ( kegiuran ) ; thina middha oleh vitakka ( pikiran terarah menangkap objek ) ; uddhacca kukkucca oleh sukha ( kebahagiaan ) dan vicikiccha oleh vicara ( pikiran yang bertahan konstan ). Pencapaian jhana, bagaimanapun juga bukan merupakan tujuan akhir. Jhana seharusnya dicapai untuk menuju vipassana, pandangan terang. Melalui pandangan teranglah seseorang membasmi kotoran batin ( anusaya kilesa ) dan mencapai kesucian sempurna.

Selama kotoran atau noda ( kilesa ) terpendam dalam pikiran manusia, selama itu pula timbulnya kejahatan ( papa ) dalam dirinya terus berlanjut. Orang yang melatih jhana yang tujuannya mencapai vipassana tidak melakukan perbuatan jahat, karena rintangan – rintangan tersebut telah diatasi, tetapi ia menyimpan kotoran batin yang tersembunyi dan karena itulah, ia belum mencapai keadaan yang benar – benar aman. Tetapi Arahat, yang sempurna, telah memusnahkan seluruh kotoran batin yang terpendam sampai ke akar – akarnya dan menghentikan samsara, pengembaraan yang berulang – ulang. Ia adalah orang yang sudah pasti mengakhiri samsara, karena ia telah menyempurnakan kehidupan yang suci dan tugasnya telah selesai terlaksana. Baginya tak ada lagi kelahiran kembali.28

Seorang siswa yang hatinya tulus, yang bertekad untuk belajar secara mendalam mematahkan daya tarik hawa nafsu dan menyepi ke tempat yang sesuai, menguasai benar apa yang dipelajarinya dan juga menghindari seluruh faktor yang mengganggu, mencapai sukses dalam ujiannya. Dengan cara yang sama, duduk dalam sel biara ataupun tempat lain yang sesuai, orang yang bermeditasi mengarahkan pikirannya pada sebuah subjek meditasi ( kammatthana ) dan dengan berjuang dan berusaha terus menerus mengatasi lima rintangan dan membersihkan kotoran dari arus pikirannya, secara bertahap mencapai jhana pertama, kedua, ketiga dan keempat. Kemudian dengan kekuatan samadhi, pikiran yang terpusat, yang dimenangkannya, ia mengarahkan pikirannya untuk memahami realitas dalam pengertian tertinggi. Pada tingkat inilah ia melatih vipassana, pandangan terang. Melalui vipassana orang memahami sifat – sifat alami dari segala sesuatu yang terkondisi dan terjadi sebagai penggabungan. Vipassana menolongnya untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya. Ia melihat kebenaran di depan matanya dan memahami bahwa semua nada hanyalah merupakan perbedaan bunyi pada satu irama yang mengalir sepanjang kehidupan irama yang terjadi karena anicca, dukkha dan anatta : ketidakkekalan, penderitaan dan tanpa diri.

Orang yang bermeditasi mencapai pandangan terang mengenai sifat – sifat alami dari dunia yang membuatnya melekat sekian lama. Ia memecahkan selubung kebodohan pada alam tertinggi. Dengan kesucian tahap terakhir itulah ia mencapai keadaan di mana cahaya Nirwana menyingsing baginya, ketenangan yang tak terkatakan, kebebasan batin yang tak tergoyahkan ( akuppa cetovimutti ).29

Menurut Dhammapada ( 373 ) : “ Bhikkhu yang mengasingkan diri ke tempat sunyi, yang telah dapat menenangkan pikirannya, yang mengerti Dharma dengan jelas, ia akan mengalami kegembiraan dan kebahagiaan tertinggi yang belum pernah dirasakan oleh orang – orang biasa “.

VII.

Faktor penerangan sempurna yang ketujuh atau terakhir adalah keseimbangan batin ( upekkha ). Dalam Abhidhamma, upekkha dinyatakan dengan istilah tatramajjhattata, kenetralan. Ia adalah sikap batin yang seimbang dan bukan pengabaian kenikmatan. Keseimbangan batin merupakan hasil dari pikiran tenang terkonsentrasi. Tentu saja sulit untuk tidak terganggu ketika tertekan oleh perubahan – perubahan kehidupan, tetapi manusia yang mengembangkan sifat – sifat keseimbangan yang sulit ini tidak terganggu.

Di tengah – tengah tumpukan pengalaman ( attha loka dhamma ), keberhasilan dan kegagalan, nama baik dan nama buruk, pujian dan celaan, kegembiraan dan kesedihan, ia tak pernah goyah. Ia kokoh seperti batu karang yang keras. Tentu saja, ini adalah sikap seorang Arahat, yang sempurna. Mengenai mereka dikatakan : “ Sungguh baik telah melepaskan keinginan akan segala sesuatu. Mereka tidak menghiraukan pikiran tentang keinginan. Tersentuh oleh suka atau duka, orang – orang yang bijaksana tidak memperlihatkan perasaan senang maupun sedih “.30

Dengan menghindari minuman keras dan menjadi penuh perhatian, membuat dirinya sendiri sabar dan suci, orang yang bijaksana melatih pikiran mereka dan melalui latihan demikianlah pikiran yang tenang tercapai.

Dalam buku ini disebutkan empat jalan yang salah ( cattaro gati ). Jalan nafsu keinginan ( chanda ), kebencian ( dosa ), ketakutan ( bhaya ), kebodohan ( moha ). Orang yang melakukan kejahatan tertarik oleh satu atau lebih jalan yang salah ini, tetapi manusia yang telah mencapai kenetralan sempurna melalui latihan keseimbangan batin, selalu menghindari jalan yang salah itu. Ketenangannya secara alami memungkinkannya untuk melihat seluruh hal secara netral.

Suatu pemahaman tertentu mengenai bekerjanya karma ( perbuatan ) dan bagaimana karma berbuah ( kamma vipaka ) sangatlah penting bagi orang yang secara murni berusaha keras melatih keseimbangan batin. Mengingat karma orang akan dapat memiliki sikap yang objektif terhadap semua makhluk, bahkan terhadap benda mati sekalipun. Penyebab terdekat dari keseimbangan batin adalah pemahaman bahwa semua makhluk merupakan hasil dari perbuatan mereka ( kamma ).

Shantideva menulis dalam Bodhicaryavatara :

Ada beberapa yang membenciku ; lalu mengapa
Dengan dipuja, aku harus merasa gembira ?
Ada beberapa yang memujaku ; lalu mengapa
Aku harus memikirkan suara yang mencela ?

Barangsiapa menguasai dirinya sendiri, akan selalu bertahan
Dengan wajah tersenyum ; ia menyingkirkan semua muka asam
Yang pertama adalah menghargai orang lain, dan berbagi semua miliknya.
Inilah teman bagi seluruh dunia,
Mahkota kebenaran “.31


Inilah sekilas tujuh faktor penerangan sempurna yang dijelaskan oleh Buddha Yang Mahamulia untuk mencapai kesadaran penuh dan kebijaksanaan sempurna, Nirwana tanpa kematian. Mengembangkan atau mengabaikan faktor – faktor penerangan ini terserah pada diri kita masing – masing. Dengan pertolongan ajaran Buddha kita masing – masing mampu untuk menemukan dan melenyapkan sebab penderitaan. Setiap individu dapat mengupayakan usaha yang diperlukan untuk mencapai kebebasan masing – masing. Buddha telah mengajarkan kita jalan untuk hidup sebagaimana mestinya dan telah memberi arah bagi pencarian tersebut oleh kita masing – masing. Karena itulah, kita menerimanya untuk diri kita temukan sendiri kebenaran tentang kehidupan dan melakukan yang terbaik. Kita tidak dapat mengemukakan alasan bahwa kita tidak mengetahui bagaimana memulainya. Tak ada yang tak jelas dalam ajaran Buddha. Semua petunjuk yang diperlukan sangatlah jelas. Agama Buddha dari awal sampai akhir terbuka bagi mereka semua yang memiliki mata untuk melihat dan pikiran untuk mengerti. Satu – satunya hal yang perlu dari sisi kita untuk merealisasi kebenaran sepenuhnya adalah keteguhan hati, usaha keras dan kesungguhan untuk belajar dan menerapkan ajaranNya, setiap orang berusaha untuk dirinya sendiri dengan kemampuannya yang terbaik. Dharma tentu memberi isyarat kepada peziarah yang letih untuk sampai ke tempat berlindung yang bahagia dalam keselamatan dan kedamaian Nirwana. Karena itu, marilah kita mengembangkan tujuh faktor penerangan sempurna dengan semangat dan ketaatan yang tak putus – putus, dan maju :

“ Dengan mengenang orang – orang suci di masa lampau,
dan mengingat kembali cara hidup mereka,
bukan saja sekarang bahkan saat nanti
orang tentu dapat memenangkan Jalan Kedamaian Dewa – dewa “.32

C a t a t a n :

1. S. v, 72.
2. Kindred Sayings, v. hlm 63.
3. “ Dhamma “ adalah istilah yang memiliki banyak arti. Di sini ia berarti batin dan jasmani ( nama rupa ) ; dhammavicaya adalah penelitian atau analisis terhadap perubahan batin dan jasmani ini, dan segala sesuatu yang terkondisi dan terjadi dari penggabungan.
4. S. v, 81.
5. S. v, 81.
6. Aldous Huxley, Ends and Means ( London, 1946 ) h. 259.
7. Sammoha Vinodani.
8. Satipatthana Sutta, M. 10 atau D. 22. Lihat The Foundations of Mindfulness, diterjemahkan oleh Nyanasatta ( Kandy : BPS ) Wheel 19.
9. D. 16 / II, 156.
10. Satipatthana Commentary.
11. Sagathaka Vagga, Samyutta Nikaya.
12. Dhp. 32.
13. A. iv, 232.
14. M. 38 / I, 245.
15. Jnanasara Samuccaya, h. 31.
16. Dhp. 374.
17. A. iv, 232.
18. D. 16 / II, 100.
19. A. ii, 14 – 15.
20. Untuk studi lebih rinci lihat The Removal of Distracting Thought, diterjemahkan oleh Soma Thera ( Kandy : BPS ).
21. Dhp. 280.
22. Dhp. 200.
23. Dewa adalah makhluk dewata.
24. Dhp. 33 – 36.
25. D. 25 / III, 541.
26. Uraga Jataka 354.
27. Dhp. 216.
28. M. 27.
29. M. 30 / I, 205.
30. Dhp. 83.
31. Diterjemahkan oleh Kassapa Thera.
32. Psalms of the Brethren ( Theragatha ) 947.


Sumber :
Spektrum Ajaran Buddha
Kumpulan Tulisan Piyadassi Mahathera
Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna
Jakarta – 2003

Tidak ada komentar: