Di Jawa Tengah ada satu kata yang
cukup dikenal oleh masyarakat. Kata itu adalah: "panutan", yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi teladan.
Pembaca yang budiman, sejarah umat
manusia pernah mencatat bahwa di bumi kita ini telah lahir seorang panutan
Agung, seorang Teladan Agung, pada lebih dan 2500 tahun yang lalu.
Tanggal 10 Mei 1990 adalah saat
purnama di bulan Waisak. Umat Buddha kembali memperingati 3 peristiwa penting
yang terjadi pada Panutan Agung: Sang Buddha Gautama, yaitu saat kelahiran,
saat tercapainya Penerangan Sempuma, dan saat mangkat atau Parinibbana.
Sebagai seorang putera raja yang akan
menduduki tahta. Sang Buddha dilahirkan dengan nama Siddharta. Karena pangeran
mampu melihat kepincangan-kepincangan dan penderitaan dalam kehidupan ini,
beliau kemudian meninggalkan istana untuk mencari Dharma. Kepergian beliau dari
istana bukan karena terpaksa atau karena dipaksa. Bahkan, bukan juga karena
kepentingan pribadi. Kepergian beliau, tidak lain hanya karena dorongan untuk
mencari jalan yang bisa membebaskan makhluk dari penderitaan.
Sejarah kehidupan Sang Buddha Gautama
menunjukan kepada kita bahwa jauh sebelum mencapai Kebuddhaan —waktu masih
tinggal di istana sebagai pangeran mahkota— beliau telah sadar bahwa manusia
tidak mungkin bisa membangun kebahagiaan hanya semata-mata dengan materi,
dengan kedudukan, atau kekuasaan. Di samping cukup materi, sejahtera lahiriah,
kita masih membutuhkan jalan yang bisa kita jadikan tuntunan untuk mendapatkan
kebahagiaan batin. Bahkan tanpa jalan, tanpa Dharma, materi yang kita miliki
bisa berubah menjadi bencana penghancur kehidupan.
Setelah lama berjuang dengan
mempertaruhkan hidupnya sendiri, Pangeran Siddharta mencapai Kebuddhaan
Sempurna. Namun, Beliau tetap hidup sederhana, sangat sederhana. Beliau
berkelana beratus-ratus ribu kilometer untuk membabarkan Dharma kepada semua
lapisan masyarakat tanpa memandang kasta. Beliau membangun kehidupan suci,
mengajarkan jalan kesejahteraan, dan selalu menunjukkan contoh teladan bagi
semuanya. Beliau bukan sekadar pengajar Dharma, bukan sekadar pengajar agama,
tetapi lebih dari pada itu: Beliau adalah Teladan Agung, Panutan Agung. Suatu
ungkapan yang sangat terkenal tentang beliau sering diucapkan:
"Yathâ vâdi tathâ kâri, yathâ kâri
tathâ vâdi"
Artinya:
Beliau, Sang Buddha,
mengajarkan apa yang telah dilaksanakan dan melaksanakan apa yang diajarkan.
Manusia tidak bisa hidup dalam dunia
konsepsi semata-mata. Memang kita perlu cara, memang kita perlu petunjuk, perlu
wejangan, perlu teori, perlu konsep-konsep. Tetapi, kita tidak bisa hidup dan
maju membangun hanya dengan konsep-koosep. Selain konsep, selain teori, kita
memerlukan contoh. Kita butuh teladan.
Dalam cita-cita kita yang sangat luhur
—mewujudkan masyarakat Indonesia yang utuh sejahtera dengan landasan Pancasila—
teladan sangat dibutuhkan.
Generasi yang tidak memberikan teladan
yang baik, sangat sulit untuk melahirkan generasi baru yang lebih baik.
Sesungguhnya, kita semua dituntut untuk memberikan teladan dan bimbingan yang
sebaik-baiknya bagi generasi kemudian.
Orang tua adalah pemimpin dalam
keluarga. Anak-anak membutuhkan bimbingannya, dan lebih dari pada itu, mereka
perlu contoh yang bisa dilihat. Orang tua harus mampu menjadi panutan yang baik
bagi putera-puterinya. Kalau orang tua hanya mengajarkan cara-cara, tetapi
tidak berhasil memberikan contoh yang nyata, maka anak-anak akan kehilangan
kepercayaan terhadap orang tua mereka. Anak-anak yang kehilangan panutan dalam
keluarga, biasanya tumbuh dalam suasana batin yang kacau. Perbuatan dan sikap
mereka sulit untuk diluruskan.
Sebagai contoh, seorang ibu sering
mengingatkan anak-anaknya, terutama anaknya yang wanita, supaya tidak pulang
larut malam. Paling tidak jam 10.00 malam sudah harus berada di rumah. Tetapi,
jika ibu ini sendiri sering kali pulang lewat tengah malam dengan tujuan yang tidak
menentu dan sukar diketahui, maka sang puteri sangat sulit diharapkan mau
mentaati perintah ibu. Bahkan, anak-anak seolah-olah mendapat contoh dari
ibunya sendiri. Contoh untuk pulang ke rumah lewat tengah malam.
Sesungguhnya kita semua adalah
pemimpin. Apakah pemimpin rumah-tangga, apakah pemimpin dalam organisasi,
apakah pemimpin agama, pemimpin di desa, pemimpin tinggi atau pemimpin kecil,
pemimpin formal atau non-formal. Oleh karena itu, marilah kita menjadi panutan
yang baik.
Pemimpin yang memberikan contoh dengan
mentaati disiplin kerja akan mudah mendidik bawahannya untuk disiplin. Pemimpin
yang menjaga kejujuran, anak buahnya akan segan untuk korupsi. Pemimpin yang
bertanggung-jawab pasti membuat sikap hormat sejati yang dipimpin terhadap
dirinya. Marilah kita masing-masing menjadikan diri kita sendiri: teladan kerja
keras, teladan membangun, teladan dalam kejujuran, teladan dalam hidup wajar.
Bukankah kita pernah mendengar peribahasa yang mengatakan: "Satu contoh
adalah lebih baik daripada sepuluh nasehat".
Panutan Agung kita. Sang Buddha
Gautama, tidak pernah minta dîhargai orang lain. Beliau tidak memerlukan itu.
Beliau menjadi teladan demi manfaat dan kemajuan masyarakat. Hendaknya kita pun
demikian, menjadi panutan untuk manfaat dan kesejahteraan keluarga kita, untuk
masyarakat di mana kita tinggal, untuk bangsa dan negara tercinta ini. Menjadi
panutan yang baik adalah sekaligus mendidik dan memberi manfaat bagi dirinya
sendiri. Membawa dirinya ke arah yang lebih baik.
Akhir-akhir ini bahaya narkotika
banyak diberitakan dan dibicarakan di mana-mana, di seluruh dunia. Dari sekian
banyak cara untuk menanggulangi bahaya kejatuhan generasi kita pada lingkaran
setan narkotika, ingin saya berikan satu cara. Cara itu tidak lain adalah:
Marilah kita semua memberikan contoh yang baik kepada generasi muda. Kalau
mereka mencari kenikmatan dengan cara menggunakan narkotik yang sangat
berbahaya dan menghancurkan itu, marilah kita berikan contoh untuk mendapatkan
kenikmatan dengan cara lain yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Bahkan jauh
lebih bermanfaat. Kalau kenikmatan ini bisa dibandingkan dengan kenikmatan
narkotika, bedanya laksana cahaya dengan gelap, laksana langit dengan bumi.
Apakah kenikmatan pengganti itu? Kenikmatan itu adalah kenikmatan dalam
meditasi. Meditasi memberikan kenikmatan, membuahkan ketenangan. Meditasi
menumbuhkan daya tahan, menumbuhkan semangat untuk menempuh kehidupan ini.
Meditasi membuat kesadaran menjadi lebih tajam. Dengan meditasi kita membangun
batin kita, melindungi diri kita dari segala macam pengaruh negatif godaan
materi dan rangsangan hawa-nafsu.
Dalam Kitab Suci Dhammapada 209, Sang
Buddha menggambarkan sebagai berikut:
"Mereka yang
membiarkan dirinya tenggelam pada hal-hal yang tidak benar dan tidak
melaksanakan meditasi, melupakan kesejahteraannya sendiri, serta menggenggam
erat-erat kesenangan nafsu duniawi; akan iri terhadap mereka yang tekun melatih
diri dalam meditasi".
Saya ingin mengajak para pembaca
sekalian, terutama kepada seganap umat Buddha: Kembalilah kepada Dharma!
Marilah kita bermeditasi.
Marilah kita jadikan diri kita
masing-masing sebagai panutan. Panutan dalam menumbuhkan kesadaran beragama dan
bernegara. Panutan dalam pembangunan lahir batin ini. Kita bertekad menjadi
panutan yang sejati, panutan yang tidak mengharapkan penghargaan dari orang
lain.
SELAMAT TRI SUCI WAISAK 2534
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Sang
Triratna, selalu melindungi kita.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, Semoga
semua makhluk berbahagia.***
oleh: Bhikkhu Sri Paññavaro Mahathera
Sumber : BUDDHA CAKKHU No.17/XI/90; Yayasan
Dhammadipa Arama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar