Kamis, 14 November 2013

Beberapa Khotbah Sang Buddha


Kebijaksanaan dimurnikan oleh moralitas dan moralitas dimurnikan oleh kebijaksanaan. Dimana ada yang satu, disana ada yang satunya lagi. Orang yang bermoral memiliki kebijaksanaan dan orang yang bijak memiliki moralitas.Kombinasi dari kedua ini merupakan hal tertinggi di dunia.
D.I,84

Pikiran memulai dari segala sesuatu, pikiran menguasai segalanya, semuanya merupakan ciptaan pikiran. Jika seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran yang murni maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayangan yang tidak pernah meninggalkannya.
Dp.2

Seseorang tidak seharusnya menyalahkan atau merendahkan siapapun dimanapun untuk alasan apapun. 
Janganlah mengharapkan penderitaan pada yang lain karena rasa kemarahan atau persaingan.
Sn. 149

Sama seperti halnya laut yang luas memiliki satu rasa, rasa asin,begitu juga Dhamma memiliki satu rasa, rasa kebebasan.
Ud.56

Sangat mudah untuk melihat kesalahan orang lain namun sangat sulit untuk melihat kesalahan sendiri. Sementara kita menampi kesalahan orang lain seperti sekam, kita menyembunyikan kesalahan kita sendiri seperti pemburu yang menyembunyikan dirinya di tempat persembunyian.
Barang siapa yang melihat kesalahan orang lain hanya akan menjadi marah. Hal-hal negatif pada mereka berkembang dan jauh dari kehancurannya.
Dp.252-3

Banyak untaian kalung bunga bisa dibuat dari setumpuk bunga.
Demikian juga, banyak perbuatan baik bisa dilakukan oleh
seorang manusia.
Dp.53

Ketika engkau berbicara dengan orang lain, engkau mungkin berbicara pada waktu yang tepat atau tidak, berdasarkan fakta atau tidak, secara halus atau kasar, secara langsung atau tidak, dengan pikiran yang dipenuhi kebencian atau cinta kasih. Engkau harus melatih dirimu seperti ini. “Pikiran kita tidak boleh terkotori, kita juga tidak boleh berbicara kasar tetapi dengan kebaikan dan welas asih kita akan hidup dengan pikiran yang terbebas dari kebencian dan dipenuhi cinta kasih. Kita akan hidup meliputi satu orang dengan cinta kasih, dan kemudian meliputi seluruh dunia dengan cinta kasih yang meluas, menyebar dan tak terbatas dan sama sekali tanpa kebencian ataupun permusuhan.” Dengan cara inilah engkau harus melatih dirimu sendiri.
M.I,126

Ada tiga hal yang dengannya orang bijaksana bisa dikenali.
Apakah yang tiga itu? Ia melihat kesalahannya sebagaimana
adanya, ketika melihatnya ia berusaha memperbaikinya,
ketika orang lain mengakui kesalahan mereka ia memaafkannya.
A.I,103

Berhenti melakukan kejahatan, belajar untuk berbuat kebajikan,
menyucikan pikiran. Inilah ajaran para Buddha.
Dp. 183

Pelajarilah ini dari air. Di celah-celah pegunungan dan jurang-jurang,air mengalir dengan deras menuju anak sungai.
Namun sungai besar mengalir dengan tenang. Benda kosong
selalu membuat bersuara, namun benda yang berisi selalu
hening. Orang dungu adalah seperti belanga yang setengah terisi,
orang bijak seperti kolam yang dalam dan tenang.
Sn.720-1

Bahkan jika seorang penjahat rendah memotong anggota tubuh
satu per satu dengan gergaji balik, jika kalian memenuhi
pikiranmu dengan kebencian, kalian tidak akan mempraktikkan ajaran-Ku.
M.I,126

Jika seseorang pencemburu, egois, atau tidak jujur sesungguhnya
mereka tidak menarik walaupun mereka pandai berbicara dan
berwajah menarik. Tetapi orang yang membuang dari hal-hal
itu dan bebas dari kebencianlah yang benar-benar rupawan.
Dp.262-3

Adalah tidak mungkin bagi seorang yang tidak terkendali, tidak disiplin atau tidak puas mampu mengendalikan,mendisiplinkan atau memuaskan orang lain. Tetapi sangat mungkin apabila seorang yang terkendali, disiplin dan puas mampu menolong orang lain untuk menjadi seperti itu.
M.I,45

Kepuasan merupakan kekayaan paling besar.
Dp.227

Jika seseorang mencela-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh marah ataupun tersinggung karena itu akan menjadi mengaburkan penilaian kalian dan kalian tidak akan tahu apakah yang mereka katakan benar atau salah. Jika orang lainmelakukan hal ini, jelaskan pada mereka bahwa celaan mereka tidak benar, katakanlah, “Ini tidak tepat. Itu tidak benar. Ini bukan cara kami. Itu bukanlah apa yang kami lakukan.” Demikian juga, jika orang lain memuji-Ku, Dhamma,atau Sangha kalian tidak boleh bangga dan tinggi hati karena itu akan mengaburkan penilaian kalian dan kalian tidak akan tahu apakah yang mereka katakan benar atau salah. Jika orang lain melakukan hal ini, jelaskan pada mereka bahwa pujian mereka adalah benar, katakan, “Ini tepat. Itu benar. Ini cara kami. Itu bisa ditemukan pada kami.”
D.I,3

Ucapan memiliki lima tanda yang menunjukkan bahwa tidak diucapkan dengan buruk, tetapi diucapkan dengan baik,terpuji dan disanjung oleh para bijaksana. Apakah yang lima itu? Perkataan dibicarakan pada waktu yang tepat, benar,diucapkan dengan lembut, tidak bertele-tele, dan diucapkan dengan penuh cinta kasih.
A.III,243

Bagaikan danau yang dalam, jernih dan tenang, demikian pula orang bijak menjadi damai sepenuhnya ketika mendengarkan sang ajaran.
Dp.82

Kehilangan kekayaan merupakan hal yang tidak penting, namun merupakan hal yang sangat buruk apabila kehilangan kebijaksanaan. Mendapat kekayaan merupakan hal yang tidak penting, namun merupakan hal yang menakjubkan apabila mendapatkan kebijaksanaan.
A.I,15

Walaupun seseorang yang lalai banyak melafalkan kitab suci
namun tidak mempraktikkannya, mereka layaknya gembala sapi yang menghitung sapi orang lain, mereka tidak akan menikmati buah kehidupan suci.
Dp.19

Bagaikan seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya dengan nyawanya sendiri, demikian juga, seseorang harus mengembangkan cinta kasih tanpa batas pada semua makhluk di dunia.
Sn.150

Jika seseorang ingin menegur orang lain, hendaknya ia merenungkan seperti ini; “Apakah saya mempraktikkan kemurnian penuh dalam tubuh dan ucapan atau tidak?
Apakah kualitas ini terdapat dalam diriku atau tidak?” Jika tidak, tidak akan diragukan lagi mereka akan berkata;“Ayolah, kenapa engkau tidak mempraktikkan kemurnian
dalam tubuh dan ucapan lebih dulu?” Demikian pula, seseorang yang ingin menegur orang lain hendaknya merenungkan seperti ini; “Apakah saya telah membebaskan diri saya sendiri dari keinginan jahat dan mengembangkan cinta kasih pada yang lainnya? Apakah kualitas ini terdapat dalam diri saya atau tidak?” Jika tidak, maka tidak diragukan lagi mereka akan berkata; “Ayolah, kenapa engkau sendiri tidak mempraktikkan cinta kasih?”
A.V,79

Barang siapa yang mempraktikkan kebajikan dipagi hari, siang hari, ataupun malam hari, maka mereka akan berbahagia pada pagi hari, siang hari, ataupun malam hari. A.I,294

Jika orang lain melukai, memukul, melempar batu atau menyerang kalian dengan tongkat atau pedang, kalian harus menyingkirkan semua nafsu dan kehendak duniawi dan berpikir. “Pikiranku tidak akan goyah. Aku tidak boleh berkata kasar. Aku tidak akan merasakan kebencian tetapi mempertahankan kebaikan dan welas asih kepada semua makhluk.” Seperti inilah kalian harus berpikir.
M.I,126

Pembuat saluran air mengarahkan air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu membentuk kayu,
orang bijaksana mengendalikan dirinya sendiri.
Dp.80

Ada 4 jenis orang yang terdapat dalam dunia ini. Apakah yang empat itu?
mereka yang tidak memperhatikan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, mereka memperhatikan kebahagiaan orang lain tetapi tidak pada diri sendiri, mereka
yang memperhatikan kebahagiaan diri sendiri tanpa memperhatikan kebahagiaan orang lain dan mereka yang memperhatikan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain...
Dari keempat jenis orang ini, mereka yang memperhatikan kebahagiaan mereka sendiri dan orang lain merupakan terutama, tertinggi, terkemuka, dan terbaik.
A.II,94

Jika mengambil perlindungan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha,engkau akan terbebaskan dari ketakutan dan kegentaran.
S.I,220

Taklukkan kebencian dengan cinta kasih, kejahatan dengan kebaikan, kekejaman dengan kemurahan hati dan kebohongan dengan kebenaran.
Dp.223

Mereka yang memiliki pikiran, ucapan, dan perbuatan yang baik merupakan sahabat baik bagi diri mereka sendiri. Bahkan jika mereka berkata, “Kami tidak peduli dengan diri kami sendiri” mereka tetap sahabat baik bagi diri mereka sendiri. Mengapa?
Karena mereka melakukan bagi diri mereka sendiri apa yang harusnya dilakukan seorang teman baik bagi diri mereka.
S.I,71

Janganlah menganggap remeh kebaikan dengan berkata, “Aku tidak dapat menjadi seperti itu.” Setetes demi setetes air air akan memenuhi belanga dan demikian pula sedikit demi sedikit orang bijaksana memenuhi diri mereka dengan kebaikan.
Dp.122

Ketika itu seorang bhikkhu menderita sakit disentri dan berbaring diatas kotorannya sendiri. Sang Bhagavā dan Ananda mengunjungi kuti-kuti dan mereka sampai di tempat
bhikkhu yang sakit itu dan Sang Bhagavā menanyakannya;
“Bhikkhu, apakah yang salah denganmu?”
“Saya terkena disentri, Bhagavā.”
“Tidakkah ada yang menjagamu?”
“Tidak Yang Mulia.”
“Mengapa yang lain tidak menjagamu?”
“Karena aku tidak berguna bagi mereka.”
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Ananda; “Pergi dan ambilkan air, kita akan memandikan bhikkhu ini.” Ananda kemudian membawa air dan Sang Bhagavā menuangkannya sementara Ananda membersihkan seluruh tubuh bhikkhu itu.
Kemudian dengan mengangkat dari sisi kepala dan kakinya, mereka membawanya dan membaringkannya di tempat tidur.Kemudian Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu dan bertanya; “Mengapa kalian tidak menjaga bhikkhu yang sakit ini?”
“Karena ia tidak berguna bagi kami”
“Para bhikkhu, kalian tidak memiliki ayah dan ibu untuk menjaga kalian. Jika kalian tidak saling menjaga satu sama lain, siapa lagi yang akan melakukannya? Ia yang merawat
yang sakit berarti merawat-Ku.”
Vin.IV,301

Pemberian kebenaran melebihi pemberian apapun.
Dp.354

Adalah baik untuk memikirkan kesalahan kalian dari waktu ke waktu. Adalah baik untuk memikirkan kesalahan orang lain dari waktu ke waktu. Adalah baik untuk memikirkan
kebajikan kalian dari waktu ke waktu. Adalah baik untuk memikirkan kebajikan orang lain dari waktu ke waktu.
 A.V,159

Siapa yang berbuat baik akan bergembira sekarang, mereka akan bergembira nanti, mereka akan bergembira sekarang dan nanti. Mereka bergembira dan berbahagia ketika mereka memikirkan perbuatan baiknya sendiri.
Dp. 16

Hentikanlah kejahatan. Itu bisa dilakukan. Jika itu tidak mungkin, Aku tidak akan memintamu melakukannya.Tetapi karena hal itu mungkin, maka Aku katakan, “Hentikanlah kejahatan.” Jika menghentikan kejahatan membuatmu menderita dan sedih, Aku tidak akan memintamu melakukannya. Tetapi hal itu adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaanmu, maka Aku katakan, “Hentikanlah kejahatan.”
Peliharalah kebajikan. Itu bisa dilakukan. Jika itu tidak mungkin, Aku tidak akan memintamu melakukannya. Tetapi karena hal itu mungkin, maka Aku katakan “Peliharalah kebajikan.” Jika memelihara kebajikan membawamu pada kehilangan dan kesedihan, Aku tidak akan memintamu melakukannya. Tetapi itu akan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaanmu maka Aku berkata “Peliharalah kebajikan.”
A.I,58

Semua orang gentar akan hukuman, semua orang menginginkan kehidupan. Oleh karena itu, tempatkan dirimu di posisi orang lain dan tidak membunuh ataupun membenarkan pembunuhan.
Dp. 130

Seperti pegunungan Himalaya, perbuatan baik bersinar dari jauh. Seperti sebuah panah yang ditembakkan di malam hari, perbuatan buruk tidak terlihat jelas.
Dp.304

Sang Bhagava berkata; “Bagaimana menurutmu mengenai hal ini? Apakah gunanya cermin?” “Cermin berguna untuk untuk memantulkan bayangan,”jawab Rahula.
Kemudian Sang Bhagava berkata; “Demikian pula, suatu perbuatan melalui dengan tubuh, ucapan, atau pikiran seharusnya dilakukan setelah direnungkan.”
M.I,415.

Seperti halnya sungai Gangga mengalir, mengarah, bergerak menuju timur, demikian pula, orang yang berlatih dan mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan mengalir,mengarah, bergerak menuju Nirvana.
S.V, 40

Mereka yang terus berpikir, “Ia melukaiku!” “Ia memukulku!”“Ia menindasku!” “Ia merampasku!” tidak akan menghentikan kebenciannya. Tetapi mereka yang
melepaskan pikiran seperti itu akan menghentikan kebenciannya. Di dunia ini kebencian tidak akan dihentikan oleh kebencian. Cinta kasih yang menghentikan kebencian,inilah kebenaran abadi.
Dp.3-5


Singkatan.
A, Anguttara Nikaya;
D, Digha Nikaya;
Dp, Dhammapada;
M,Majjhima Nikaya;
S, Samyutta Nikaya;
Sn, Sutta Nipata;
Ud, Udana;
Vin, Vinaya


Sumber :
Pertanyaan Baik Jawaban Baik
Bhikkhu Shravasti Dhammika
Judul asli:
Good Question Good Answer (4th Edition)
Diterjemahkan oleh William Kristianto dan Sumedho Benny
Hak Cipta © Bhikkhu Shravasti Dhammika 2005
Hak Cipta Terjemahan © DhammaCitta Press 2012


Selasa, 12 November 2013

KELEDAI DALAM SUMUR

 Oleh Ajahn Brahm

Seekor keledai tua terperosok ke dalam sumur tua. Dia pun menjerit "EO! EEOO! EEEOOO!" untuk memanggil bantuan. Jeritannya di dengar oleh sang pemilik keledai tersebut. Malang bagi keledai itu, sang pemilik ternyata sudah tidak menginginkannya lagi karena ia sudah tua dan tak berguna lagi baginya. Si pemilik pun sedari dulu berkeinginan untuk menutup sumur tua itu karena dianggap berbahaya. Karena itu, sang pemilik memutuskan untuk mengubur keledai tua itu hidup-hidup. Ia mengambil sekop dan membuang tanah ke sumur itu.

Si keledai terkejut dan ia pun semakin menjerit "EO! EEOO! EEEOOO!". Pemilik pun tambah kalap melemparkan tanah ke sumur.

Setelah beberapa lama, si keledai pun berhenti menjerit, dia mendapat akal. Sang pemilik mengira keledai itu sudah mati dan makin semangat menyekop tanah tanpa menyadari bahwa keledai itu, setiap sekop tanah yang menimpa punggungnya, dia menggoyang punggungnya hingga tanah itu jatuh, menginjak-injak tanah itu hingga padat, dan dia pun naik satu inci lebih tinggi.

Sekop tanah berikutnya, jatuhkan, injak-injak dan seinci lebih tinggi. Pemilik keledai itu begitu sibuk menyekop tanah hingga tidak menyadari sepasang telinga mulai tampak di mulut sumur. Ketika pijakannya sudah cukup tinggi, keledai itu melompat dan menendang bokong sang pemilik, lalu melarikan diri.

Pesan dari kisah ini adalah, berhentilah mengeluh "EO! EEOO! EEEOOO!". Lihatlah situasi Anda, ubahlah hal-hal negatif menjadi bermanfaat bagi Anda.

Sumber : Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya

Minggu, 30 Juni 2013

31.KAKACUPAMA SUTTA



Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Proyek Sarana Keagamaan Buddha Departemen Agama RI, 1993

Demikian yang saya dengar.
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Anathapindika Arama, Savatthi. Ketika itu Bhikkhu Moliyaphagguna yang terlalu banyak berhubungan dengan para bhikkhuni. Karena terlalu banyak bergaul dengan bhikkhuni, maka jika ada bhikkhu yang merendahkan para bhikkhuni di depannya, ia marah dan menjadi tidak senang dan mengomelinya; demikian pula bila ada bhikkhu yang merendahkan Bhikkhu Moliyaphagguna di depan para bhikkhuni, maka mereka akan marah, tidak senang dan mengomeli bhikkhu itu. Begitulah hubungan Bhikkhu Moliyaphagguna dengan para bhikkhuni.

Kemudian, ada seorang bhikkhu yang menemui Sang Bhagava, setelah menghormat Beliau, ia duduk. Setelah ia duduk, ia menceritakan apa yang telah terjadi.
Maka Sang Buddha menyuruh seorang bhikkhu dengan berkata: “Bhikkhu, katakan kepada Bhikkhu Moliyaphagguna bahwa Guru memanggilmu.”

“Ya, Bhante,” jawab bhikkhu itu dan ia pergi menemui Bhikkhu Moliyaphagguna dan berkata: “Avuso, Guru memanggilmu.”

“Ya, avuso,” jawabnya dan ia pergi menemui Sang Bhagava, menghormat Beliau, ia duduk. Setelah duduk, Sang Bhagava berkata:

“Phagguna, apakah benar bahwa anda terlalu banyak berhubungan dengan para bhikkhuni, karena hubungan itu maka bila ada bhikkhu di depanmu merendahkan para bhikkhuni, anda marah, tidak senang dan mengomelinya; jika ada bhikkhu di depan para bhikkhuni merendahkan anda, maka mereka akan marah, tidak senang dan mengomeli bhikkhu itu, nampaknya begitu erat hubungan anda dengan para bhikkhuni.”

“Ya, bhante.”

“Phagguna, bukankah karena keyakinan (saddha) anda meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk menjadi bhikkhu (pabbaja)?”

“Ya, bhante.”

“Phagguna, tidak pantas bagi anda sebagai bhikkhu untuk berhubungan terlalu erat dengan para bhikkhuni. Maka bila seseorang di depanmu merendahkan para bhikkhuni, anda harus menghilangkan keinginan dan pikiran yang didasarkan pada kehidupan berkeluarga. Anda harus melatih diri sebagai berikut: ‘Pikiranku tidak akan terpengaruh, saya akan tidak mengucapkan kata-kata buruk, saya akan hidup dengan kasih sayang dengan pikiran diliputi cinta-kasih tanpa kebencian demi kesejahteraan banyak orang.’

Demikianlah, jika di depanmu seseorang memukul para bhikkhuni dengan tangan, pemukul, tongkat atau memotong dengan pisau; anda harus menghilangkan keinginan dan pikiran yang didasarkan pada kehidupan berkeluarga … tanpa kebencian demi kesejahteraan banyak orang.”

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, pada suatu waktu para bhikkhu memuaskanKU. Saya mengatakan kepada para bhikkhu: ‘Saya makan sekali duduk. Dengan berbuat begitu saya mengalami gangguan sedikit, kesakitan sedikit, ringan, kuat dan menyenangkan.’ Saya tidak perlu terus-terusan mengajar bhikkhu-bhikkhu itu. Saya hanya membangkitkan perhatian mereka.

Misalnya ada sebuah kereta di atas tanah yang rata, berada di persimpangan jalan, ditarik oleh empat ekor kuda yang bagus, siap menunggu dengan cambuk, sehingga kusir yang mahir juga sebagai ahli penjinak kuda dapat naik dan memegang tali sais, mengendarai kereta ke depan atau ke belakang di jalan mana pun yang disukainya, begitu pula saya tidak perlu terus-terusan mengajar bhikkhu-bhikkhu itu. Saya hanya membangkitkan perhatian mereka.
Para bhikkhu, singkirkanlah akusala dhamma dan tekun melaksanakan kusala dhamma, dengan cara itu kamu sekalian akan berkembang, maju dan memenuhi dhamma-vinaya.

Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang ibu bernama Vedehika di Savatthi. Popularitas baik Ibu Vedehika telah tersebar sebagai berikut: ‘Ibu Vedehika baik hati, lembut dan penuh kasih sayang.’

Ibu Vedehika mempunyai seorang pembantu bernama Kali, yang pintar, cekatan dan bekerja dengan rapi.
Kali berpikir: ‘Popularitas nyonyaku telah tersebar: ‘Ibu Vedehika baik hati, lembut dan penuh kasih sayang.’ Apakah ketika ia tidak marah berarti sungguh-sungguh kemarahannya ada padanya atau tidak ada padanya. Atau mungkin karena pekerjaan saya rapi sehingga nyonya tidak marah padahal kemarahan itu ada padanya? Bagaimana kalau saya mengeceknya?’

Demikianlah, Kali bangun terlambat.

Ibu Vedehika berkata: ‘Hai Kali! Apa sebab kamu bangun terlambat?’

‘Tidak apa-apa, nyonya.’

‘Tidak apa-apa. Kau gadis jahat, kamu bangun terlambat!’ ia marah, tidak senang dan cemberut.

Kemudian Kali berpikir: ‘Ternyata bila nyonya tidak marah, kemarahan itu ada padanya, bukan tidak ada; hanya karena pekerjaaanku yang rapi maka nyonya tidak marah walaupun kemarahan itu ada padanya, bukan tidak ada padanya. Bagaimana kalau saya mengecek nyonya sekali lagi?’

Demikianlah, Kali bangun lebih terlambat lagi.

Ibu Vedehika berkata: ‘Hai Kali! Apa sebab kamu bangun kesiangan?’

‘Tidak apa-apa, nyonya.’

‘Tidak apa-apa, kau gadis jahat, kamu bangun kesiangan!’ ia marah, tidak senang dan mengucapkan kata-kata tidak menyenangkan.

Kali berpikir pula: ‘Ternyata bila nyonya tidak marah, kemarahan itu ada padanya … saya mengecek nyonya sekali lagi.’
Demikianlah, Kali bangun kesiangan lagi.

Ibu Vedehika berkata: ‘Hai Kali! Apa sebab kamu bangun kesiangan?’

‘Tidak apa-apa, nyonya.’

‘Tidak apa-apa, kau gadis jahat, kamu bangun kesiangan!’ ia marah, tidak senang dan mengambil ‘gulungan penjepit’, memukulkannya ke kepala Kali yang mengakibatkan kepala Kali terluka dan berdarah.

Kemudian, Kali dengan kepala berdarah memberitahukan kepada para tetangga: ‘Ibu-ibu lihat, perbuatan nyonya yang baik hati, lembut dan penuh kasih sayang. Lihatlah, karena pembantunya bangun kesiangan, ia marah, tidak senang dan memukulnya dengan ‘gulungan penjepit’ sehingga kepala pembantunya terluka dan berdarah.’
Akibatnya nama buruk dari Ibu Vedehika tersebar: ‘Ibu Vedehika kasar, kejam dan tak memiliki kasih sayang.’

Demikianlah beberapa bhikkhu agak baik hati, lembut dan diliputi cinta kasih selama tidak ada kata-kata yang tidak menyenangkan yang didengarnya. Tetapi segera setelah ia mendengar kata-kata yang tidak menyenangkan tentang dirinya seorang bhikkhu harus bersikap baik hati, lembut dan penuh cinta kasih. Saya tidak mengatakan seorang bhikkhu itu mudah dikoreksi, karena bhikkhu hanya mudah dikoreksi bila berkenaan dengan jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan untuk menyembuhkan sakit, yang didapatnya. Mengapa demikian? Sebab bhikkhu adalah sulit dikoreksi bila ia tidak mendapat jubah, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan.

Tetapi seorang bhikkhu mudah dikoreksi bila ia menghormat, memuja dan sujud pada Dhamma. Itulah sebabnya, para bhikkhu harus melatih diri: ‘Kami akan mudah dikoreksi karena menghormat, memuja dan sujud pada, Dhamma.’

Para bhikkhu, ada lima macam ucapan yang mungkin ditujukan orang lain kepadamu; mereka berbicara :

i. pada waktu tepat atau pada waktu tidak tepat.

ii. benar atau tidak benar.

iii. lembut atau kasar.

iv. berhubungan dengan kebaikan atau mencelakakan.

v. disertai dengan pikiran cinta kasih atau benci.

Bila ada orang berbicara dengan lima macam ucapan itu, para bhikhu harus melatih diri mereka: ‘Pikiran kami tidak akan terpengaruh, kami tidak akan mengucapkan kata-kata buruk dan kami akan tetap penuh kasih sayang demi kesejahteraan (banyak orang) dengan pikiran diliputi cinta kasih tak ada kebencian. Kami akan memancarkan pikiran cinta kasih kepada orang itu; kami akan meliputi diri dengan cinta kasih yang banyak, penuh dan tak terbatas tanpa kejahatan atau iri hati untuk semua makhluk di alam semesta ini, sebagai obyeknya.’

Demikian pula, bila ada penjahat yang dengan buas memotong tangan dan kaki dengan gergaji, ia yang membangkitkan kebencian karena hal itu tidak akan dapat melaksanakan ajaranku. Inilah caranya kamu sekalian harus melatih diri: ‘Pikiran kami tidak akan terpengaruh, kami … untuk semua makhluk di alam semesta ini sebagai obyeknya.’
Para bhikkhu, ingatlah selalu uraian ini sebagai Perumpamaan Gergaji.

Para bhikkhu, apakah kamu sekalian melihat ucapan kasar, kecil atau besar yang tidak dapat kamu tahan?”

“Tidak, bhante.”

“Para bhikkhu, ingatlah selalu uraian ini sebagai Perumpamaan Gergaji. Hal ini akan cukup lama mensejahterakan dan membahagiakan kamu sekalian.”



32.ALAGADDUPAMA SUTTA




Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya I,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta, 1996



1. Demikianlah saya dengar:
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi.

2. Pada waktu itu suatu pandangan jahat (papa ditthi) telah timbul di dalam diri seorang bhikkhu yang bernama Arittha, yang pada waktu yang lampau adalah seorang pembunuh burung Nasar (Burung Pemakan Bangkai).

Sebagaimana saya mengerti Dhamma diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang (antarayika) oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu.

3. Beberapa bhikkhu setelah mendengar hal ini, menemui Bhikkhu Arittha dan bertanya kepadanya: “Avuso Arittha, apakah benar bahwa ada pikiran jahat muncul dalam dirimu?”

“Benar, para avuso. Sebagaimana saya mengerti Dhamma diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang (antarayika) oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu.

Kemudian, para bhikkhu ini berkeinginan untuk membebaskan dia dari pandangan jahat itu, menekan, bertanya dan menanyai dia berulang kali: “Avuso Arittha, jangan berkata begitu. Jangan salah mengerti mengenai Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak akan mengatakan seperti itu. Karena di dalam banyak khotbah Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu.

Namun, walaupun ditekan, ditanya, dan ditanya berulang kali oleh mereka dengan cara ini, Bhikkhu Arittha tetap teguh mempertahankan pandangan jahat itu dan bersikeras berlanjut dengan pandangan itu.

4. Karena para bhikkhu tidak berhasil membebaskannya dari pandangan jahat, maka mereka pergi menemui Sang Bhagava, setelah memberi hormat kepada Beliau, mereka duduk di tempat vang tersedia dan mengatakan kepada Beliau semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Bhante, karena kami tidak dapat membebaskan Bhikkhu Arittha dari pandangan jahat ini, kami melaporkan hal ini kepada Sang Bhagava.”

5. Sang Bhagava berkata kepada seorang bhikkhu: “Bhikkhu, katakan kepada bhikkhu Arittha atas nama Saya bahwa Guru (Sattha) memanggilnya.”

“Ya, Bhante,” jawabnya. Ia pergi menemui Bhikkhu Arittha dan berkata kepadanya: “Avuso Arittha, Guru memanggilmu.”

“Baiklah, avuso,” jawabnya, dan ia pergi menemui Sang Bhagava. Setelah menghormat Beliau, ia duduk di tempat yang tersedia. Kemudian Sang Bhagava bertanya kepadanya: “Arittha, apakah benar bahwa pandangan jahat seperti ini telah muncul dalam dirimu: ‘Sebagaimana saya mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu’?”

“Benar, Bhante. Sebagaimana saya mengerti Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, hal-hal yang disebut penghalang oleh Sang Bhagava adalah tidak dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu.”

6. “Orang yang salah arah, dari siapa anda mengetahui Saya mengajarkan Dhamma dengan cara ini? Orang yang salah arah, dalam banyak khotbah Saya telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Saya telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Saya telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Tetapi anda, orang yang salah arah, telah mengsalah mengertikan Kami dengan penangkapan salahmu dan merusak dirimu sendiri serta menimbun karma buruk: karena ini akan mengantarmu ke kecelakaan dan penderitaan untuk masa yang lama.

7. Selanjutnya, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, bagaimana pendapat kamu sekalian. Apakah bhikkhu Arittha, menyalakan seberkas kebijaksanaan dalam Dhamma dan Vinaya ini?” “Bagaimana mungkin, Bhante? Tidak, Bhante.”

Ketika hal ini telah dikatakan. Bhikkhu Arittha duduk diam, malu, dengan bahu menurun dan kepala menunduk, menerawang dan tak berkata apa-apa. Kemudian, setelah mengetahui keadaan ini, Sang Bhagava berkata kepadanya: “Orang yang salah arah, anda akan terkenal karena pandangan jahatmu. Saya akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”

8. Selanjutnya, Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, apakah kamu sekalian mengerti Dhamma yang Saya ajarkan seperti Bhikkhu Arittha ini lakukan ketika ia mengsalahartikan Kami dengan pengertiannya yang salah dan melukai dirinya sendiri serta menimbun karma buruk?”

“Tidak, Bhante. Karena di dalam banyak khotbah Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagava telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu.”

“Baik, para bhikkhu. Baik, karena kamu sekalian mengerti Dhamma yang Saya ajarkan seperti itu. Karena dalam banyak khotbah Saya telah menyatakan bagaimana hal-hal penghalang menghalangi, dan bagaimana penghalang-penghalang ini dapat menghalangi seseorang yang sibuk dengan hal-hal itu. Saya telah menyatakan bagaimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Dengan perumpamaan tengkorak … dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan rumput obor … dengan perumpamaan lobang arang … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang dipinjam … perumpamaan pohon sarat dengan buah … perumpamaan rumah jagal … perumpamaan pedang … dengan perumpamaan kepala ular, Saya telah menyatakan bagimana keinginan nafsu indera yang hanya menghasilkan kepuasan sedikit, banyak penderitaan, banyak keputusasaan, dan betapa besar bahaya di hal-hal itu. Tetapi anda, orang yang salah arah, telah mengsalahmengertikan Kami dengan penerimaan salahmu dan merugikan dirimu sendiri serta menimbun karma buruk; karena ini akan mengantarmu ke kecelakaan dan penderitaan untuk masa yang lama.

9. “Para bhikkhu, seseorang yang sibuk dengan pemuasan nafsu indera tanpa keinginan nafsu, tanpa persepsi keinginan nafsu dan tanpa pikiran-pikiran keinginan nafsu – adalah tak mungkin.”

Perumpamaan Ular

10. Para bhikkhu, beberapa orang bodoh belajar Dhamma khotbah-khotbah (sutta-sutta), bait-bait (geyya), eksposisi-eksposisi (veyyakarana), syair-syair (gatha), pernyataan-pernyataan gembira (udana), kata-kata (itivuttaka), cerita-cerita kelahiran (jataka), Dhamma yang menakjubkan (abbhutadhamma) dan tanya-jawab (vedalla) – tetapi setelah mempelajari Dhamma, mereka tidak memeriksa arti dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Tidak memeriksa arti dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka tidak mendapat pengertian sebenarnya dari ajaran-ajaran itu. Sebaliknya mereka belajar Dhamma hanya untuk mencela orang-orang lain dan memenangkan perdebatan, serta mereka tidak mengalami kebaikan dari tujuan mereka belajar Dhamma. Ajaran-ajaran itu, salah diterima oleh mereka, menyebabkan kerugian dan penderitaan yang lama.

Misalnya, ada seorang yang memerlukan ular, mencari ular, mengembara mencari ular, melihat seekor ular besar dan menangkap lingkarannya atau ekornya. Ular itu akan berbalik kepadanya, menggigit tangannya, lengannya atau anggota tubuhnya, dan karena itu ia dapat mati atau mati dengan menderita. Mengapa begitu? Sebab ia salah menangkap ular. Begitu pula, di sini ada beberapa bhikkhu yang salah arah belajar Dhamma …. Ajaran-ajaran itu, salah diterima oleh mereka, menyebabkan kerugian dan penderitaan yang lama.

11. “Para bhikkhu, di sini ada beberapa keluarga (kulaputta) belajar Dhamma – khotbah-khotbah … tanya-jawab – setelah mempelajari Dhamma, mereka memeriksa arti dari ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan. Memeriksa arti ajaran-ajaran itu dengan kebijaksanaan, mereka mendapat pengertian benar dari ajaran-ajaran itu. Mereka tidak belajar Dhamma untuk mencela orang-orang lain dan untuk memenangkan perdebatan, mereka mengalami kebaikan sesuai dengan tujuan mereka mempelajari Dhamma. Ajaran-ajaran itu telah diterima dengan benar oleh mereka, menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk masa yang lama.

Misalnya, ada seorang yang memerlukan ular, mencari ular, mengembara mencari ular, melihat seekor ular besar dan menangkapnya secara benar dengan tongkat berpenjepit, setelah melakukan seperti itu, ia memegangnya tepat di lehernya. Walaupun ular itu melingkarkan tubuhnya pada tangannya, lengannya atau anggota tubuhnya, tetap ia tidak akan mati atau mati menderita karena perbuatan itu. Mengapa begitu? Sebab ia menangkap ular dengan cara yang benar. Begitu pula, di sini ada beberapa keluarga mempelajari Dhamma …. Ajaran-ajaran itu, telah diterima dengan benar, menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk masa yang lama.

12. “Para bhikkhu, bilamana kamu sekalian mengerti Dhamma yang Saya nyatakan, ingatlah itu sesuai dengan apa adanya; dan bilamana kamu sekalian tidak mengerti apa yang Saya nyatakan, maka tanyalah hal itu pada-Ku atau kepada bhikkhu yang bijaksana.

Perumpamaan Rakit

13. “Para bhikkhu, Saya akan mengajarkan kepadamu Dhamma yang mirip dengan rakit, yang digunakan untuk menyeberang, dan bukan untuk dipegang saja. Dengar dan perhatikanlah dengan baik pada apa yang akan Saya katakan.”

“Ya, Bhante,” jawab para bhikkhu.

“Para bhikkhu, ketika seorang yang melakukan perjalanan di jalan raya melihat sebuah genangan air yang lebar, tepi sisi dari genangan air itu sangat berbahaya dan menakutkan, tepi yang seberang aman dan tidak menakutkan, tetapi apabila di sana tidak ada perahu untuk menyeberanginya atau pula tidak ada jembatan yang dapat dititi dari sini ke sana, hal ini mungkin terjadi padanya: [135] ‘Ini adalah bentangan air yang besar dan lebar, tepi yang sini berbahaya dan menakutkan, tepi yang sana aman dan tidak menakutkan, tetapi di sana tidaklah terdapat sebuah perahu untuk menyeberangkannya atau tidak pula terdapat jembatan untuk dapat dititi dari tepi sini ke tepi sana. Seandai aku, setelah mengumpulkan rumput-rumputan, kayu-kayu, cabang-cabang dan ranting-ranting, daun-daunan dan setelah mengikatnya menjadi sebuah rakit, dengan bergantung pada rakit itu, dan berusaha dengan tangan-tangan serta kaki-kaki, harus dapat menyeberang dengan selamat ke seberang di sana?’ Kemudian, para bhikkhu, orang itu, setelah mengumpulkan rumput-rumput, kayu-kayu, cabang-cabang, ranting-ranting, daun-daunan, setelah mengikat rakit, dengan bergantung pada rakit tersebut berusaha dengan keras dengan tangan-tangan serta kaki-kaki, akan dapat menyeberang dengan selamat ke seberang. Baginya, setelah menyeberang, pergi ke sana, hal ini bisa terjadi: ‘Sekarang, rakit ini sudah sangat berguna bagiku. Aku, dengan menggantungkan pada rakit ini, dan berusaha dengan keras dengan tangan-tangan serta kaki-kakiku, telah menyeberang dengan selamat keseberang sana. Seandai aku sekarang, setelah menaruh rakit itu di atas kepalaku, dan mengangkatnya ke atas pundak-ku, apakah bisa berjalan menurut apa yang ku inginkan?’ Apa yang kamu pikir kan tentang hal ini, para bhikkhu? Apabila orang itu melakukan itu, apa ia melakukan apa yang semestinya dilakukan dengan rakit tersebut?”

“Tidak, Bhante.”

“Para bhikkhu, apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut, demi untuk berbuat apa yang seharusnya diperbuat dengan rakit tersebut? Dalam hal ini, para bhikkhu, mungkin bisa terjadi terhadap orang itu yang telah menyeberang ke sana, ke seberang di sana: ‘Sekarang, rakit ini telah sangat berguna bagiku. Dengan bergantung pada rakit ini dan berusaha dengan kuatnya memakai tangan dan kaki-kakiku, aku telah menyeberang dengan selamanya ke seberang sana. Seandai saya sekarang, setelah menepikan rakit ini di atas tanah kering atau setelah aku menenggelamkannya di bawah air, apakah aku harus melakukan hal itu sesuai dengan keinginanku? Dalam melakukan hal ini, para bhikkhu, orang itu harus melakukan apa yang harus ia lakukan? Dalam melakukan hal ini, para bhikkhu, orang itu harus melakukan apa yang harus ia lakukan dengan rakit tersebut. Sekalipun demikian, para bhikkhu, apakah Dhamma tentang persamaan dengan rakit yang aku ajarkan itu untuk dipakai menyeberang, bukan untuk disimpan atau dipertahankan.”

“Para bhikkhu bilamana kamu sekalian mengetahui Dhamma seperti rakit, kamu sekalian harus meninggalkan hal-hal baik tertentu, apa lagi hal-hal yang buruk.”

15. Para bhikkhu, terdapat keenam pandangan dengan hubungan-hubungan sebab akibat. Apa keenam pandangan itu? Di dalam hubungan ini, para bhikkhu, rata-rata orang yang tidak diberikan instruksi, tidak ambil peduli terhadap hal-hal yang murni, tidak terampil dalam Dhamma dari orang-orang suci, tidak terlatih dalam Dhamma dari orang-orang suci, tidak ambil peduli terhadap orang-orang benar, tidak terampil dalam Dhamma dari orang benar, tak terlatih dalam Dhamma dari orang-orang benar, mengganggap bentuk-bentuk material sebagai: ‘Ini adalah kepunyaanku … ‘ Ia menganggap persepsi menanggapi itu sebagai: ‘Ini adalah aku, ini adalah pribadiku.’ Juga pandangan apapun dengan hubungan sebab akibat mengatakan: ‘Ini adalah dunia ini adalah pribadi; sesudah kematian aku akan menjadi kekal abadi, tahan lama, kekal, tidak terkena hukum perubahan, [136] aku akan berdiri tegak seperti masuk ke dalam alam kekal, ‘ia menganggap ini sebagai: ‘Ini adalah kepunyaanku, ini adalah pribadiku.’

16. Para bhikkhu, tetapi siswa yang telah diberikan instruksi tentang hal-hal murni, memperhatikan hal-hal murni, terampil di dalam Dhamma dari orang-orang suci, terlatih baik-baik di dalam Dhamma dari orang-orang suci; berprihatin terhadap orang-orang benar, terampil di dalam dhamma dari orang-orang benar, terlatih baik-baik di dalam Dhamma dari orang-orang benar, menganggap bentuk-bentuk material sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku, ini bukan aku, ini adalah bukan pribadiku; ‘ia menganggap perasaan sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku …’ ia menganggap persepsi sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku…’ ia menganggap kecenderungan-kecenderungan kebiasaan sebagai: ‘Mereka ini adalah bukan milikku …; ‘Ia menganggap kesadaran sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku.’ Dan juga ia menganggap apapun yang dilihat, didengar, dirasa, dimengerti, dicapai, dicari, direnungkan oleh pikiran sebagai: “ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku.’ Juga, pandangan apapun dengan hubungan sebab akibat mengatakan: “Ini dunia ini sangat pribadi, sesudah mati aku akan menjadi permanen, bertahan lama, kekal, tidak patut terkena hukum perubahan, aku akan berdiri tegap seperti masuk kedalam kekekalan, ‘ia menganggap ini sebagai: ‘Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini adalah bukan pribadiku.’ ia, sambil menganggap demikian sesuatu yang tidak ada, tidak akan menjadi khawatir atau cemas.”

17. “Karena ia memandang hal-hal itu seperti itu, maka ia tidak cemas tentang apa yang non-eksisten.”

18. Ketika hal ini telah diucapkan, seorang bhikkhu berkata seperti ini kepada Sang Bhagava: “Bhante, tetapi apakah tidak muncul kecemasan tentang sesuatu non-eksisten eksternal?”

“Bhikkhu, mungkin ada,” kata Sang Buddha. “Bhikkhu, dalam hal ini, itu terjadi pada seseorang: ‘Apa yang sudah pasti milikku adalah pasti bukan milikku; apa yang mungkin pasti menjadi milikku, sudah pasti tidak ada kesempatan untuk aku peroleh.’ Ia berduka, menangisi, meratapi, memukul-mukul dadanya, dan terjatuh ke dalam kekecewaan. Sekalipun demikian, para bhikkhu, datanglah suatu kecemasan tentang sesuatu obyek yang tidak ada itu.”

19. “Bhante, tetapi apakah bisa terjadi, tidakkah ada kecemasan tentang sesuatu obyek yang tidak ada itu?”

“Bhikkhu, mungkin,” kata Sang Bhagava. “Di dalam hal ini, ia tidak terjadi pada setiap orang: ‘Apa yang sudah pasti milikku adalah pasti bukan milikku (sekarang); apa yang pasti menjadi milikku, pasti tidaklah ada kesempatan untuk menjadi milikku.’ Ia tidak berduka, menangis, meratap, ia tidak memukuli dadanya, ia tidak terjatuh ke dalam kekecewaan. Sekalipun demikian, terjadilah suatu kecemasan tentang sesuatu obyek (sesuatu yang obyektif) yang tidak ada.”

20. “Bhante, tetapi apakah di sana terdapat kecemasan tentang sesuatu yang non-eksisten eksternal?”

“Mungkin saja bisa, bhikkhu,” kata Sang Bhagava. “Para bhikkhu, dalam hal ini pandangan terjadi pada seseorang: ‘Dunia ini sang pribadi; sesudah mati aku akan menjadi permanen, tahan lama, kekal, tidak patut terkena hukum perubahan, aku akan berdiri tegap seperti masuk ke dalam kekekalan.’ Ia mendengarkan Dhamma seperti apa adanya yang diajarkan oleh Sang Tathagata atau oleh seorang siswa dari Tathagata untuk mencabut hingga ke akar-akarnya semua ketetapan, prasangka, kecenderungan dan ketergantungan terhadap pandangan dan hubungan sebab akibat, untuk menenangkan semua aktivitas-aktivitas, untuk melenyapkan semua kemelekatan, untuk menghancurkan nafsu atau keinginan keras, untuk menghilangkan nafsu-nafsu, mengadakan penghentian-penghentian, Nibbana. Tetapi ia tidak terjadi padanya demikian: ‘Aku pasti akan dimusnahkan, aku pasti akan dimusnahkan, aku pasti akan dihancurkan, aku pasti akan tidak ada.’ Oleh sebab itu maka ia tidak berduka, tidak menangis, tidak meratap, tidak memukul-mukul dadanya, ia tidak terjatuh ke dalam putus asa. Demikianlah, bhikkhu, maka tidak terdapatlah kecemasan tentang sesuatu yang subyektif yang tidak ada itu.

Para bhikkhu, apakah kamu dapat memegang beberapa hak milik, hak-hak milik mana yang menjadi kekal, bertahan lama, abadi, tidak patut terkena hukum perubahaan, yang dapat berdiri tegap sepertinya masuk ke dalam kekekalan itu? Tetapi apakah kamu, para bhikkhu, melihat bahwa hak milik itu adalah materi yang akan menjadi permanen, tahan lama, kekal tidak patut terkena hukum perubahan, yang akan berdiri tegap seperti hendak masuk ke dalam kekekalan itu?”

“Tidak, Bhante.”

“Baik, para bhikkhu. Akupun tidak, para bhikkhu, melihat bahwa harta milik itu adalah materi yang permanen, tahan lama, kekal, tidak patuh terkena hukum perubahan, yang akan berdiri tegak bagaikan mau masuk ke dalam kekekalan. Dapatkah kamu, para bhikkhu menangkap pemahaman terori tentang pribadi, sedemikian sehingga dengan menangkap teori tersebut tentang pribadi tidak kekal akan timbul kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa, tetapi apakah kamu, para bhikkhu, melihat bahwa pemahaman teori tersebut tentang pribadi, dari hasil pemahaman atau penangkapan teori tentang pribadi, disana tidak akan timbul kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa.”

“Tidak, Bhante.”

“Baik, para bhikkhu. Akupun tidak, para bhikkhu, melihat bahwa pemahaman teori tentang pribadi dari pemahaman mana tidak bakal akan timbul, kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa. Dapatkah kamu, para bhikkhu, bergantung pada ketergantungan pandangan, menggantungkan diri pada ketergantungan pandangan tidak bakal akan timbul kedukaan, penderitaan kesengsaraan, ratap tangis, putus asa? Tetapi apakah kamu, para bhikkhu, melihat bahwasanya bergantung pada pandang … putus asa?”

“Tidak, Bhante.”

“Baik, para bhikkhu. Akupun tidak, para bhikkhu, melihat bahwa bergantung pada pandangan dengan bergantung pada ketergantungan pandangan (138), tidaklah bakal timbul kedukaan, penderitaan, kesengsaraan, ratap tangis, putus asa. Apabila, para bhikkhu, di sana terdapat pribadi dapatlah dikatakan: ‘Ia termasuk ke dalam pribadiku?’”

“Ya, Bhante.”

“Atau, para bhikkhu, apakah di sana terdapat apa yang termasuk ke pribadi, dapatkah dikatakan: ‘Ia adalah pribadiku?’ ”

“Ya, Bhante.”

“Tetapi apabila Pribadi, para bhikhu, dan apa yang termasuk ke Pribadi, walaupun sebenarnya ada, tidak dapat dipahami, adalah bukan pandangan serta hubungan sebab akibat bahwa: ‘Ini adalah dunia ini adalah pribadi, sesudah kematian aku akan menjadi permanen, tahan lama, kekal, tidak patut terkena hukum perubahan, aku akan berdiri tegap seperti akan masuk ke dalam kekekalan’- adalah bukan demikian, para bhikkhu, kebodohan total sempurna?”

“Bhante, bagaimana bisa tidak menjadi kebodohan total sempurna?”

“Apa yang kamu pikirkan tentang hal ini, para bhikkhu, apakah bentuk material itu kekal atau tidak kekal?”

“Tidak kekal, Bhante.”

“Tetapi apa yang tidak kekal itu menyenangkan atau menyakitkan?”

“Menyakitkan, Bhante.”

“Tetapi apakah pantas untuk menganggap bahwa apa yang tidak kekal itu, menyakitkan, patut terkena hukum perubahan, sebagai ‘Ini adalah milikku, ini adalah aku, ini adalah pribadiku?’ ”

“Tidak, Bhante.”

“Apa yang kamu pikirkan tentang ini, para bhikkhu: apakah perasaan … persepsi… kecenderungan-kecenderungan kebiasaan itu kekal atau tidak kekal? Apa yang kamu pikirkan tentang ini, para bhikkhu: Apakah kesadaran itu kekal atau tidak kekal?”

“Tidak kekal, Bhante.”

“Sesuatu yang tidak kekal itu menyakitkan atau menyenangkan?”

“Menyakitkan, Bhante.”

“Tetapi apakah pantas untuk menganggap yang tidak kekal, menyakitkan, patut terkena hukum perubahan sebagai, ‘Ini adalah kepunyaanku, ini adalah aku, ini adalah pribadiku?’ ”

“Tidak, Bhante.”

“Mengapa, para bhikkhu, bentuk materi apapun, yang lalu, yang akan datang, sekarang, subyektif atau obyektif, [139] kasar maupun lembut, buruk atau baik, apakah ia jauh dekat-semua bentuk-bentuk materi haruslah dilihat sedemikian dengan kebijaksanaan intuitif yang sempurna sebagaimana ia sebenarnya: Ini adalah bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan peribadiku. Perasaan apapun … persepsi apapun … kecenderungan-kecenderungan kebiasaan apapun … kesadaran apapun, baik yang lampau, yang akan datang, sekarang, subyektif maupun obyektif, kasar maupun lembut, buruk atau baik, apakah ia berada jauh atau dekat – semua kesadaran haruslah dilihat sedemikian oleh kebijaksanaan intuitip nan sempurna sebagaimana ia sebenarnya: Ini adalah bukan milikku, ini adalah bukan aku, ini bukan pribadiku.”

“Para bhikkhu, seorang siswa yang telah diberikan pelajaran oleh orang-orang suci, dengan melihat cara demikian itu, tidak menganggap bentuk-bentuk materi, tidak menganggap perasaan, tidak menganggap persepsi, tidak menganggap kecenderungan-kecenderungan kebiasaan, tidak menganggap kesadaran; dengan tidak menganggap itu, maka ia adalah tidak bernafsu; melalui jalan tidak mempunyai nafsu (maka) ia terbebaskan; di dalam kebebasan pengetahuan datanglah keadaan bahwasannya ia telah terbebas, dunia memahami: kelahiran dihancurkan, kelana-brahmana di bawah mendekatinya, apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, tidak ada lagi yang akan menjadi ini dan itu.”

“Para bhikkhu, bhikkhu semacam itu dikatakan telah mengangkat penghalang, dunia dikatakan telah mengisi lubang besar menganga, dan ia dikatakan telah menarik atau mencabut pilar, dan ia dikatakan telah menarik keluar baut-baut, dan ia dikatakan telah menjadi orang suci, bendera dikibarkan rendah-rendah, beban telah diturunkan, tanpa penggoda penggoda.”"Para bhikkhu, bagaimana apakah seorang bhikkhu telah mengangkat penghalang itu? Dalam hubungan ini, para bhikkhu, kebodohan telah diletakkan oleh bhikkhu itu, dipotong habis hingga ke akar-akarnya, dibuat seperti pohon palem yang tumpul, dibuat sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi bisa ada diwaktu yang akan datang, tidak dapat untuk timbul lagi. Dalam cara demikian, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjadi seseorang yang telah mengangkat atau menyisihkan halangan itu.”

“Para bhikkhu, bagaimana, seorang bhikkhu bisa menjadi seorang yang telah mengisi penuh-penuh sebuah lubang besar menganga itu? Dalam hubungan ini, para bhikkhu, menjadi-sekali lagi, berkelana di dalam kelahiran-kelahiran bisa dilenyapkan oleh bhikkhu itu, dipotong hingga ke akar-akarnya, dibuat seperti pohon palem yang tumpul, dibuat sedemikian hingga tidak akan lagi bisa ada diwaktu yang akan datang. Dalam cara demikian, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjadi seorang yang telah mengisi penuh-penuh lubang besar yang menganga itu.”

“Para bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu bisa menjadi seorang yang telah menarik keluar baut itu? Dalam hubungan ini, para bhikkhu, kelima buah penggoda-penggoda yang mengikat yang lebih rendah dapat dilenyapkan oleh bhikkhu itu … dibuat sedemikian sehingga ia tidak lagi dapat ada di waktu yang akan datang, tidak lagi dapat timbul. Dalam cara demikian, para bhikkhu, seorang bhikkhu bisa menjadi seorang yang telah menarik ke luar baut-baut itu.”

“Para bhikkhu, bagaimana seorang bhikkhu sampai bisa menjadi suci, bendera dikibarkan rendah-rendah, beban diturunkan, tanpa penggoda-penggoda? Di dalam hubungan ini, para bhikkhu, kesombongan tentang ‘Aku’ haruslah dilenyapkan oleh bhikkhu itu, dipotong hingga ke akar-akarnya, dibuat seperti pohon palem tumpul, dibuat sedemikian sehingga ia tidak lagi bisa ada di waktu yang akan datang, [140] tidak bisa timbul lagi. Dalam cara ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu menjadi suci, bendera dikibarkan rendah, beban diturunkan, tanpa penggoda-penggoda.”

“Para bhikkhu, apabila pikiran dari bhikkhu telah terbebaskan demikian para deva-mereka dengan Inda, mereka dengan Brahma, mereka dengan Pajapati, tidak akan berhasil dalam pencarian mereka apabila mereka berpikir: ‘Ini adalah kesadaran diskriminatif yang melekat kepada Tathagata. Apa alasan untuk hal ini? Aku, para bhikkhu, mengatakan di sini dan sekarang bahwa seorang Tathagata tak dapat ditelusuri.”

“Para bhikkhu, walaupun Saya adalah seorang yang berbicara demikian, yang menunjukkan demikian, di sana terdapatlah beberapa pertapa dan Brahmana yang salah mewakili diri-ku secara sadar tidak benar, samar-samar, palsu, tidak sesuai dengan kenyataan, dan mereka berkata: ‘Petapa Gotama adalah seseorang nihilis, Beliau mengatakan untuk memotong, menghancurkan, dan tidak lagi boleh munculnya kesatuan kehidupan. Tetapi seperti ini, para bhikkhu, adalah justru aku tidak demikian, seperti inilah yang justru Aku tidak mengatakannya, oleh sebab tidak benar, samar-samar, palsu, dan tidak selaras dengan kenyataan ketika mereka berkata; ‘Petapa Gotama adalah seorang nihilis, Ia menggariskan (peraturan) untuk memutus, penghancuran, menyebabkan tidak bisa munculnya kembali kesatuan penghidupan. Dahulunya aku, para bhikkhu, seperti juga halnya sekarang, sekedar menurunkan peraturan tentang adanya kesengsaraan serta penghentian kesengsaraan itu. Apabila, berkenaan dengan ini, para bhikkhu, yang lain-lain meyumpahi, memaki, menjengkelkan Sang Tathagata, di dalam diri Sang Tathagata tidak terdapat kejengkelan, tidak ada kesedihan, tidak ada ketidakpuasan pikiran berkenaan dengan mereka itu.”

“Para bhikkhu, apabila berkenaan dengan ini, orang-orang lain memuja, menghargai, menghormat serta menjunjung tinggi Sang Tathagata, di dalam diri Sang Tathagata tidaklah terdapat rasa gembira, tidak terdapat rasa senang, tidak ada kegirangan dari pikiran berkenaan dengan mereka itu. Apabila, berkenaan dengan ini, para bhikkhu, orang-orang lain memuja, menghormat, menghargai, serta menjunjung tinggi Sang Tathagata, terjadilah pada Sang Tathagata, para bhikkhu, berkenaan dengan mereka: ‘Ini adalah apa yang dahulunya telah diketahui dengan seksama, jenis tugas-tugas semacam itu harus di kerjakan olehku. Untuk alasan mana, para bhikkhu, sekalipun apabila orang-orang lain harus mencaci maki, mencela dengan kasar, menjengkelkan kamu, seharusnyalah pada dirimu tiada ada kebencian, kesusahan, ketidakpuasan pikiran terhadap mereka. Dan dengan alasan apa, para bhikkhu, sekalipun orang-orang lain akan memuja dirimu, menghormat, menghargai, memuliakan dirimu, seharusnya di dalam dirimu tiada ada kesenangan, kegembiraan, pikiran yang membengkak berkenaan dengan mereka. Dan dengan alasan apa, para bhikkhu, sekalipun apabila orang-orang lain akan memuja, menghormat, memandang tinggi, memuliakan dirimu, haruslah terjadi pada dirimu: “Ini adalah apa yang dahulunya telah diketahui dengan seksama tugas-tugas semacam itu haruslah dikerjakan oleh kita.”

“Para bhikkhu, dengan alasan apa, apa yang bukan milikmu, enyahkanlah. Dengan mengenyahkan itu akan menjadi lama bagi kesejahteraan serta kebingungan-mu. Dan apa, para bhikkhu, apa-apa yang bukan milikmu itu? Bentuk materi, para bhikkhu, adalah bukan milikmu, enyahkanlah, dengan mengenyahkan itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaanmu. Perasaan, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; [141] enyahkanlah, dengan mengenyahkannya akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Pencerapan atau persepsi, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; enyahkanlah, dengan mengenyahkan itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagianmu. Kecenderungan-kecenderungan yang merupakan kebiasaan, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; enyahkanlah mereka itu, dengan mengenyahkannya itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Kesadaran adalah bukan milikmu; enyahkanlah mereka itu, dengan mengenyahkan itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Kesadaran adalah bukan milikmu; enyahkanlah serta kebahagiaan bagimu. Apa yang kamu pikirkan tentang ini, para bhikkhu? Apabila seseorang akan berkumpul atau membakar atau akan berbuat sesuatu yang ia senangi dengan rumput, ranting-ranting, cabang-cabang serta daun-daun di dalam Hutan Jeta ini, apakah akan terjadi padamu: orang itu akan mengumpulkan kita, akan membakar kita, ia akan berbuat apa yang ia senangi terhadap kita?”

“Tidak, Bhante. Apa alasan untuk ini? Bhante, sesungguhnya, adalah bukan pribadi kita juga bukan termasuk pribadi.”

“Para bhikkhu, sekalipun demikian, apa yang bukan milikmu, enyahkanlah mereka itu; dengan mengenyahkan mereka itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaan bagimu. Dan apa, para bhikkhu, yang bukan milikmu itu? Bentuk-bentuk materi, para bhikkhu, adalah bukan milikmu; enyahkanlah mereka itu, dengan mengenyahkan mereka itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaanmu: Perasaan, persepsi, kecenderungan-kecenderungan yang merupakan kebiasaan … kesadaran, para bhikkhu, adalah bukan milikmu, enyahkanlah, dengan mengenyahkan mereka itu akan lama waktunya bagi kesejahteraan serta kebahagiaanmu.”

“Para bhikkhu, jadi dengan demikian, Dhamma telah aku babarkan dengan baiknya, dibuat jelas, terbuka, diperkenalkan, dibukakan jalannya untuk dapat dipahami. Dikarenakan Dhamma telah diajarkan dengan sempurna oleh-Ku sedemikian, dibuat jelas, dibuka, dibuat untuk diperkenalkan, dibuka jalannya untuk dipahami, para bhikkhu itu yang merupakan orang-orang sempurna mereka, melakukan apa yang harus kelahiran, menurunkan bebannya, mencapai satu-satunya tujuan mereka, penggoda dari kelahiran telah dihancurkan dengan seksama (sama sekali telah dihancurkan), yang telah terbebaskan oleh pengetahuan agung yang sempurna itu jejak atau jalan ini tidak bisa dipertajam lagi.”

“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah dibabarkan dengan baiknya oleh-ku … dibuka untuk dapat dipahami. Disebabkan Dhamma telah diajarkan oleh-Ku dengan baiknya sedemikian itu … dibuka untuk dapat dipahami, para bhikkhu didalam diri mana kelima penggoda-penggoda yang telah mengikat lebih rendah telah dilenyapkan kesemuanya ini. Adalah terdiri dari timbulnya yang mendadak, mereka itu adalah pencapaian nibbana disana, tidak lagi patut terkenan hukum untuk kembali dari dunia itu.”

“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku … dibuka untuk dipahami. Para bhikkhu itu di dalam mana ketika macam penggoda-penggoda telah dilenyapkan, di dalam mana kemelekatan, keengganan serta kekacauan telah dikurangi, mereka itu semuanya adalah yang menjadi orang-orang kembali satu kali saja yang, setelah kembali ke dalam dunia ini sekali, akan mengakhiri penderitaan.”

“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku … ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan. Disebabkan Dhamma telah diajarkan dengan baiknya olehku sedemikian …. ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan, bhikkhu-bhikkhu tersebut di mana di dalam diri mereka ketiga penggoda-penggoda telah dilenyapkan, semuanya adalah merupakan pencapai-pencapai arus [142] yang, tidak lagi terkena hukum kejatuhan, telah pasti, terikat untuk bangkit kembali.”

“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku … ditelanjangi dari kekaburan-kekaburannya. Disebabkan Dhamma telah diajarkan dengan baiknya oleh-ku sedemikian … ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan, semua dari bhikkhu bhikkhu itu yang telah berusaha dengan keras untuk dhamma, berusaha untuk kepercayaan adalah terikat untuk bangkit.”

“Para bhikkhu, demikianlah Dhamma telah diajarkan dengan baiknya olehku, dibuat jelas, dibuka, dibuat untuk diperkenalkan, ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan. Disebabkan Dhamma telah diajarkan dengan baiknya olehku, dibuat jelas, dibuka, dibuat untuk dapat dikenal, ditelanjangi dari kekaburan-kekaburan, semua dari mereka yang mempunyai cukup kepercayaan kepadaku, cukup banyak kasih sayang, akan terikat untuk mendapatkan sorga.”

Demikian kata-kata dari Sang Bhagava. Para bhikkhu menjadi senang dan gembira dengan apa yang dikatakan Sang Bhagava.



33.VAMMIKA SUTTA




Bukit Semut

Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005




1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Savatthi Di Hutan Jeta. Taman Anathapindika. Pada kesempatan itu, Y.M. Kumara Kassapa sedang berdiam di Hutan Manusia Buta.275

Kemudian, ketika malam telah larut, satu dewa dengan penampilan elok yang menyinari seluruh Hutan Manusia Buta mendekati Y.M. Kumara Kassapa dan berdiri di satu sisi.276 Dengan berdiri, dewa itu berkata kepada beliau:

2. “Bhikkhu, bhikkhu, bukit-semut ini berasap pada malam hari dan menyala pada siang hari.277

“Demikian kata brahmana itu: ‘Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana melihat suatu batang: ‘Suatu batang, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: ‘Buanglah batang itu; selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana itu melihat seekor katak: ‘Seekor katak, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: ‘Buanglah katak itu; selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana itu melihat sebuah garpu: ‘Sebuah garpu, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: ‘Buanglah garpu itu, selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Ketika menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana itu melihat sebuah saringan: ‘Sebuah saringan, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: [143] ‘Buanglah saringan itu; selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana itu melihat seekor kura-kura: ‘Seseekor kura-kura, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: ‘Buanglah kura-kura itu, selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana itu melihat sebuah kapak dan balok: ‘Sebuah kapak dan balok, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: ‘Buanglah kapak dan balok itu, selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menyelidiki dengan pisau, yang bijaksana itu melihat sepotong daging: ‘Sepotong daging, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: ‘Buanglah potongan daging itu; selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Setelah menggali dengan pisau, yang bijaksana itu melihat seekor ular naga: ‘Seekor ular Naga, O Yang Mulia Bhante.’

“Demikian kata brahmana itu: ‘Tinggalkanlah ular Naga itu; janganlah menyakiti ular Naga itu; hormatilah ular Naga itu.’

“Bhikkhu, engkau seharusnya menghadap Yang Terberkahi dan bertanya kepada Beliau tentang teka-teki ini. Sebagaimana Yang Terberkahi menjelaskan kepadamu, demikianlah yang seharusnya engkau ingat. Bhikkhu, selain Tathagata atau siswa Tathagata atau orang yang telah mempelajarinya dari mereka, saya tidak melihat seorang pun di dunia ini bersama dengan para dewa, Mara, dan Brahma-nya, di dalam generasi ini bersama para petapa dan brahmananya, pangeran dan rakyatnya, yang bisa menjelaskan teka-teki ini sehingga memuaskan pikiran.”

Demikianlah yang dikatakan oleh dewa itu, dan segera sesudahnya dewa itu pun lenyap dari sana.

3. Kemudian, ketika malam telah berlaku, Y.M. Kumara Kassapa pergi menghadap Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada Beliau, dia duduk di satu sisi dan memberitahu kepada Yang Terberkahi apa yang telah terjadi. Kemudian dia bertanya: “Yang Mulia Bhante, apa arti bukit-semut itu, apa arti berasap pada malam hari itu, apa arti menyala pada siang hari itu? Siapakah brahmana itu, siapakah yang bijaksana itu? Apa arti pisau, apa arti menyelidiki, apa arti batang, apa arti katak, apa arti garpu, apa arti saringan, apa arti kura-kura, apa arti kapak dan balok apa arti sepotong daging, apa arti ular Naga itu?”[144]

“Bhikkhu, bukit-semut adalah symbol bagi tubuh ini, yang terbuat dari bentuk materi, terdiri atas empat elemen besar, yang dihasilkan oleh ibu dan ayah, dibangun dari nasi dan bubur,278 dan terkena ketidak-kekalan, terkena keuangan dan kikisan, terkena peleburan dan penguraian.

“Apa yang dipikirkan dan direnungkan seseorang pada malam hari berdasarkan tindakan-tindakannya selama siang hari itulah ‘berasap pada malam hari.’

“Tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang selama siang hari oleh tubuh, ucapan, dan pikiran setelah berpikir dan merenung pada malam hari itulah ‘menyala pada siang hari.’

“Brahmana adalah simbol bagi Tathagata, yang telah mantap dan sepenuhnya tercerahkan. Yang bijaksana merupakan simbol bagi seorang bhikkhu yang menjalani pelatihan yang lebih tinggi. Pisau merupakan simbol bagi kebijaksanaan yang agung. Menyelidiki merupakan simbol bagi pembangkitkan energi.

“Tongkat adalah simbol bagi ketidak-tahuan.279 Buanglah batang itu: tinggalkanlah ketidak-tahuan. Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Demikianlah artinya.

“Katak adalah simbol bagi keputus-asaan yang disebabkan oleh kemarahan. Buanglah keputus-asaan yang disebabkan oleh kemarahan. ‘Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Demikianlah artinya.

“Garpu adalah simbol bagi keraguan,280 ‘Buanglah garpu itu: tinggalkanlah keraguan. Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Demikianlah artinya,

“Saringan adalah simbol bagi lima rintangan, yaitu rintangan nafsu indera, rintangan niat jahat, rintangan kemalasan dan kelambanan, rintangan kegelisahan dan penyesalan, dan rintangan keraguan. ‘Buanglah saringan itu: tinggalkanlah lima rintangan tersebut. Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Demikianlah artinya.

“Kura-kura adalah simbol bagi lima kelompok yang dipengaruhi oleh kemelekatan,281 yaitu, kelompok bentuk materi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok perasaan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok persepsi yang dipengaruhi oleh kemelekatan, kelompok bentukan-bentukan yang dipengaruhi oleh kemelekatan, dan kelompok kesadaran yang dipengaruhi oleh kemelekatan. ‘Buanglah kura-kura itu: tinggalkanlah lima kelompok yang dipengaruhi oleh kemelekatan tersebut. Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Demikiankah artinya.

“Kapak dan balok merupakan simbol bagi lima tali kesenangan indera282-bentuk-bentuk yang dapat dikognisi oleh mata yang dirindukan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, berhubungan dengan nafsu indera, dan merangsang nafsu; suara yang dapat dikognisikan oleh telinga…bau-bauan yang dapat dikognisi oleh hidung…citarasa yang dapat dikognisi oleh lidah …benda-benda nyata yang dapat dikognisi oleh tubuh, yang dirindukan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, berhubungan dengan nafsu indera, [145] dan merangsang nafsu. ‘Buanglah kapak dan balok itu: tinggalkanlah lima tali kesenangan indera tersebut. Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Demikianlah artinya.

“Potongan daging merupakan simbol bagi kesenangan dan nafsu jasmani.283 ‘Buanglah potongan daging itu: tinggalkanlah kesenangan dan nafsu jasmani. Selidikilah dengan pisau, engkau yang bijaksana.’ Demikianlah artinya.

“Ular Naga merupakan simbol bagi seorang bhikkhu yang telah menghancurkan noda-noda.284‘Biarkah ular Naga itu; janganlah menyakiti ular Naga itu; hormatilah ular Naga itu.’ Demikianlah artinya.”

Demikianlah yang dikatakan Yang Terberkahi. Y.M. Kumara Kassapa merasa puas dan bergembira di dalam kata-kata Yang Terberkahi.

Catatan :

(275) Y.M. Kumara Kassapa adalah anak angkat Raja Pasenadi dari Kosala, yang terlahir dari seorang wanita yang tidak mengetahui bahwa dia sedang mengandung ketika memutuskan untuk meninggalkan keduniawian sebagai bhikkhuni. Pada waktu sutta ini diberikan, Y.M. Kumara Kassapa masih sekha; beliau mencapai tingkat Arahat dengan menggunakan sutta ini sebagai subjek meditasinya.

(276) Menurut, dewa ini adalah makhluk Yang-Tidak-Kembali-Lagi, yang hidup di Alam Kediaman Murni. Dia dan Kumara Kassapa, telah menjadi anggota kelompok lima bhikkhu yang telah mempraktekkan meditasi bersama-sama di suatu puncak gunung pada waktu Buddha sebelumnya, yaitu Buddha Kassapa membabarkan Ajaran Beliau. Dewa yang sama inilah yang mendorong Bahiya Daruciriya, anggota lain dari kelompok itu, untuk mengunjungi Sang Buddha (lihat Ud 1:10/7).

(277) Arti dari perumpamaan para dewa itu akan dijelaskan lebih lanjut di dalam sutta itu sendiri.

(278) Kummasa: Vinaya dan kitab-kitab komentar menjelaskannya sebagai sesuatu yang terbuat dari yava, sejenis gandum. Nm telah menerjemahkan kata itu sebagai roti, tetapi dari MN 82.18 terlihat jelas bahwa kummasa itu kental dan rusak setelah semalam. PED mendefinisikannya sebagai susu kental yang asam; Horner menerjemahkan sebagai “susu aasam.”

(279) MA: Sebagaimana halnya batang melintang di jalan masuk kota akan menghalangi orang untuk masuk ke kota, demikianlah pula kebodohan batin akan menghalangi orang untuk mencapai Nibbana.

(280) Dvedhapatha mungkin juga telah diterjemahkan sebagai “jalan yang bercabang,” yang jelas merupakan simbol keraguan.

(281) MA menyatakan bahwa empat kaki dan kepala kura-kura itu mirip dengan lima kelompok kehidupan.

(282) MA: kapak dan balok (asisuna, di MN 22.3 diterjemahkan sebagai “rumah jagal”) digunakan untuk memotong daging. Demikian juga, para makhluk yang menginginkan kenikmatan indera dipotong-potong oleh kapak nafsu indera di atas balok objek indera.

(283) Simbolisme ini dijelaskan lebih lanjut di MN 54.16.

(284) Ini adalah Arahat. Untuk simbolisme, lihat n.75.


34.RATHAVINITA SUTTA




Kereta-kereta Estafet

Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Diterjemahkan oleh : Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Penerbit Vihara Bodhivamsa, Wisma Dhammaguna, Klaten, 2005


1. Demikian yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terbekahi sedang berdiam di Rajagaha di Hutan Bambu, di Taman Tupai.

2. Pada waktu itu, sejumlah bhikkhu dari negeri asal [Yang Terberkahi],285 yang telah melewatkan musim penghujan di sana, menghadap Yang Terberkahi. Setelah memberi hormat kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Yang Terberkahi bertanya kepada mereka:”Para bhikkhu, siapakah di negeri asal [-ku] yang dijunjung tinggi oleh para bhikkhu di sana, oleh sahabat-sahabatnya di dalam kehidupan suci, dengan cara ini: ‘Karena dia sendiri hanya memiliki sedikit keinginan, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai sedikitnya keinginan; karena dia sendiri merasa puas, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai kepuasan hati; karena dia sendiri berada di dalam kesendirian, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai kesendirian; karena dia sendiri jauh dari masyarakat, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai penjauhan dari masyarakat; karena dia sendiri penuh semangat, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai pembangkitan semangat; karena dirinya sendiri mencapai moralitas, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai pencapaian moralitas, karena dirinya sendiri mencapai konsentrasi, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai pencapaian konsentrasi; karena dirinya sendiri mencapai kebijaksanaan, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai pencapaian kebijaksanaan; karena dirinya sendiri mencapai pembebasan, dia berbicara kepadapara bhikkhu mengenai pencapaian pembebasan, karena dirinya sendiri mencapai pengetahuan dan visi tentang pembebasan, dia berbicara kepada para bhikkhu mengenai pencapaian pengetahuan dan visi pembebasan;286 dia adalah orang yang memberikan nasehat, memberikan informasi, mengajar, mendesak, [146] membangkitkan, dan mendorong sahabat-sahabatnya di dalam kehidupan suci’?”

“Yang Mulia Bhante, Y.M. Punna Mantaniputta adalah orang yang amat dihormati di negeri asal [Yang Terberkahi] oleh para bhikkhu di sana, oleh sahabat-sahabatnya di alam kehidupan suci.”287

3. Pada waktu itu, Y.M. Sariputta duduk di dekat Yang Terberkahi. Kemudian muncul pada diri Y.M. Sariputta: “Sungguh merupakan keuntungan bagi Y.M. Punna Mantaniputta, sungguh merupakan keuntungan yang besar baginya karena sahabat-sahabatnya yang bijaksana di dalam kehidupan suci memuji dia poin demi poin di hadapan Sang Guru. Mungkin di suatu kesempatan atau kesempatan lain kami bisa bertemu dengan Y.M. Punna Mantaniputta dan bercakap-cakap denngan beliau.”

4. Kemudian, setelah Yang Terberkahi tinggal di Rajagaha selama yang dikehendaki, Beliau berangkat untuk berkelana secara bertahap menuju Savatthi. Setelah berkelana secara bertahap, akhirnya Beliau sampai di Savatthi, dan di sana Beliau berdiam di Hutan Jeta, Taman Anathapindika.

5. Y.M. Punna Mantaniputta mendengar: “Yang Terberkahi telah tiba di Savatthi dan sedang tinggal di Hutan Jeta, Taman Ananthapindika.” Kemudian Y.M. Punna Mantaniputta merapikan tempat istirahatnya, mengambil jubah luar serta mangkuknya, dan berangkat berkelana secara bertahap menuju Savatthi. Setelah berkelana secara bertahap, akhirnya beliau sampai di Savatthi dan menuju Hutan Jeta, Taman Anathapindika, untuk menemui Yang Terberkahi, Setelah memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dia duduk di satu sisi dan Yang Terberkahi mengajar, mendesak, membangkitkan, dan mendorong dia dengan khotbah Dhamma. Kemudian Y.M. Punna Mantaniputta, setelah diajar, didesak, dibangkitkan, dan didorong oleh khotbah Dhamma Yang Terberkahi, merasa gembira dan bersukacita di dalam kata-kata Yang Terberkahi. Dia pun bangkit dari duduknya. Setelah memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dengan tetap menjaga Beliau di sisi kanannya, beliau pergi menuju Hutan Manusia Buta untuk tinggal pada hari itu.

6. Kemudian seorang bhikkhu menghampiri Y.M. Sariputta dan berkata kepada beliau: “Sahabat Sariputta, bhikkhu Punna Mantaniputta yang selalu kau puji [147] itu baru saja diajar, didesak, dibangkitkan, dan didorong oleh Yang Terberkahi dengan khotbah Dhamma. Setelah bergembira dan bersukacita di dalam kata-kata Yang Terberkahi, dia bangkit dari duduknya. Setelah memberi hormat kepada Yang Terberkahi, dengan tetap menjaga Beliau di sisi kanannya, dia pergi menuju Hutan Manusia Buta untuk tinggal pada hari itu.”

7. Maka segera Y.M. Sariputta mengambil sehelai tiker dan mengikuti secara dekat di belakang Y.M. Punna Mantaniputta, dengan menjaga agar kepala beliau tetap terlihat. Kemudian Y.M. Punna Mantaniputta memasuki Hutan Manusia Buta dan duduk untuk tinggal pada hari itu di kaki sebuah pohon. Y.M. Sariputta juga memasuki Hutan Manusia Buta dan duduk di kaki sebuah pohon untuk berdiam pada hari itu.

8. Ketika hari menjelang petang, Y.M. Sariputta bangkit dari meditasi, menghampiri Y.M. Punna Mantaniputta, dan bertegur sapa dengan beliau. Setelah pembicaraan yang ramah dan bersahabat itu selesai, beliau duduk di satu sisi dan berkata kepada Y.M. Punna Mantaniputta:

9. “Apakah kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi kita, sahabat?”-“Ya, sahabat.”-“Tetapi, sahabat, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?”-“Tidak, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah demi pemurnian pikiran maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?”-“Tidak, sahabat.” “Kalau demikian, apakah demi pemurnian pandangan maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?”-“Tidak, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah demi mengatasi keraguan maka kehidupan suci dijalani dibawah Yang Terberkahi?”-“Tidak, sahabat.” –“Kalau demikian, apakah demi pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan Sang Jalan dan apa yang bukan Sang Jalan maka kehidupan suci dijalani dibawah Yang Terberkahi?”-“Tidak, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah demi pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang caranya maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?”-“Tidak, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah demi pemurnian lewat pengetahuan dan visi maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?”-“Tidak-sahabat.”288

10. “Sahabat, ketika ditanya: ‘Tetapi, sahabat, apakah demi pemurnian moralitas maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?’ engkau menjawab: ‘Tidak, sahabat.’Ketika ditanya: ‘Kalau demikian, apakah demi pemurnian pikiran…pemurnian pandangan…pemurnian lewat menanggulangi keraguan…pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan Sang Jalan dan apa yang bukan Sang Jalan…pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang caranya…pemurnian lewat pengetahuan dan visi maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?’ engkau menjawab: ‘Tidak, sahabat.’ Kalau demikian, sahabat, demi apa [148] kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi?”

“Sahabat, adalah demi Nibbana akhir tanpa kemelekatan maka kehidupan suci dijalani di bawah Yang Terberkahi.”289

11. “Tetapi sahabat, apakah pemurnian moralitas yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?”-“Bukan, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah pemurnian pikiran yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?”-Bukan, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah pemurnian pandangan yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?”-Bukan, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah pemurnian lewat mengatasi keraguan yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?”-“Bukan, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan Sang Jalan dan apa yang bukan Sang Jalan merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?”-“Bukan, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang caranya yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?”-“Bukan, sahabat.”-“Kalau demikian, apakah pemurnian lewat pengetahuan visi yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?”-“Bukan, sahabat.”-“Tetapi, sahabat, apakah Nibbana akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa keadaan-keadaan ini?”-“Bukan, sahabat.”

12. “Ketika ditanya: ‘Tetapi sahabat, apakah pemurnian moralitas yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?’ engkau menjawab: ‘Bukan, sahabat.’ Ketika ditanya: ‘Kalau demikian, apakah pemurnian pikiran…pemurnian pandangan….pemurnian lewat mengatasi keraguan…pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan Sang Jalan dan apa yang bukan Sang Jalan…pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang caranya…pemurnian lewat pengetahuan dan visi yang merupakan Nibbana akhir tanpa kemelekatan?’ engkau menjawab:’Bukan, sahabat.’ Dan ketika ditanya: ‘Tetapi, sahabat, apakah Nibbana akhir tanpa kemelekatan harus dicapai tanpa keadaan-keadaan ini?’ engkau menjawab: ‘Bukan, sahabat.’ Tetapi ahabat, agaimana arti pertanyaan-pertanyaan ini harus dipahami?”

13. “Sahabat, seandainya saja Yang Terberkahi telah menjelaskan tentang pemurnian moralitas sebagai Nibbana akhir tanpa kemelekatan, Beliau pasti akan menjelaskan apa yang masih dibarengi oleh kemelekatan sebagai Nibbana akhir tanpa kemelekatan. Seandainya saja Yang Terberkahi telah menjelaskan pemurnian pikiran…pemurnian pandangan…pemurnian lewat menanggulangi keraguan….pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan Sang Jalan dan apa yang bukan Sang Jalan…pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang caranya…pemurnian lewat pengetahuan dan visi sebagai Nibbana akhir tanpa kemelekatan, Beliau pasti akan menjelaskan apa yang masih dibarengi oleh kemelekatan sebagai Nibbana akhir tanpa kemelekatan.290 Dan seandainya saja Nibbana akhir tanpa kemelekatan dan dapat dicapai tanpa keadaan-keadaan ini, maka orang biasa pasti sudah mencapai Nibbana akhir, karena orang biasa memang tidak memiliki keadaan-keadaan ini.

14. “Mengenai hal itu, sahabat, saya akan memberimu suatu perumpamaan, karena beberapa manusia bijaksana memahami arti suatu pertanyaan dengan sarana perumpamaan. Misalnya saja raja Pasenadi dari negeri kosala sedng tinggal di Savatthi [149], dan tiba-tiba ada urusan penting yang harus diselesaikan di Saketa. Di antara Savatthi dan Saketa ada tujuh kereta estafet yang disediakan bagi Raja. Ketika Raja Pasenadi dari negeri Kosala meninggalkan Savatthi melalui pintu istana sebelah dalam, beliau naik ke kereta estafet yang pertama. Dengan sarana kereta estafet pertama itu beliau akan tiba di kereta estafet kedua; kemudian beliau akan turun dari kereta estafet pertama dan naik ke kereta estafet kedua, dan dengan sarana kereta estafet kedua beliau akan tiba di kereta ketiga…dengan sarana kereta ketiga, beliau akan tiba di kereta ke empat … dengan sarana kereta kereta ke empat, beliau akan tiba di kereta kelima…dengan sarana kereta kelima, beliau akan tiba di kereta keenam…dengan sarana kereta keenam, beliau akan sampai di kereta ketujuh, dan dengan sarana kereta ketujuh, dia akan tiba di pintu istana sebelah dalam di Saketa. Kemudian, ketika beiau telah sampai di pintu istana sebelah dalam, teman-teman dan kenalan-kenalannya, sanak saudara dan keluarganya, akan bertanya kepadanya: “Tuan, apakah engkau datang dari Savatthi ke pintu istana sebelah dalam di saketa dengan sarana kereta estafet ini?” Kalau demikian halnya, bagaimana raja Pasenadi dari negeri Kosala harus menjawab agar jawabannya benar?”

“Agar jawabannya benar, sahabat, dia harus menjawab demikian: ‘Disini, sementara tinggal di Savatthi, ada urusan penting yang harus diselesaikan di Saketa, dan di antara Savatthi dan Saketa ada tujuh kereta estafet yang telah disediakan bagiku. Kemudian, setelah meninggalkan Savatthi melalui pintu istana sebelah dalam, aku naik ke kereta estafet yang pertama, dan dengan sarana kereta estafet pertama, aku tiba di kereta estafet kedua; kemudian aku turun dari kereta pertama dan naik ke kereta kedua, dan dengan sarana kereta kedua aku tiba di kereta ketiga…keempat…kelima…keenam…ketujuh, dan dengan sarana kereta ke tujuh aku tiba di pintu istana sebelah dalam di Saketa.’ Agar jawabannya benar, dia harus menjawab demikian.”

15. “:Demikian pula, sahabat, pemurnian moralitas adalah demi mencapai pemurnian pikiran, pemurnian pikiran adalah demi mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi mencapai pemurnian lewat mengatasi keraguan; pemurnian lewat mengatasi [150] adalah demi mencapai pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan Sang Jalan dan apa yang bukan Sang Jalan; pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan Sang jalan dan apa yang bukan Sang Jalan adalah demi mencapai pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang caranya; pemurnian lewat pengetahuan dan visi tentang caranya adalah demi mencapai pemurnian pengetahuan dan visi; pemurnian lewat pengetahuan dan visi adalah demi mencapai Nibbana akhir tanpa kemelekatan. Demi Nibbana akhir tanpa kemelekatan inilah maka kehidupan suci dijalani dibawah Yang terberkahi.”

16. Ketika hal ini telah dikatakan, Y.M. Sariputta bertanya kepada Y.M. Punna Mantaniputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah sahabat-sahabat di dalam kehidupan suci mengenal Yang Mulia?”291

“Nama saya adalah Punna, sahabat, dan sahabat-sahabat saya di dalam kehidupan suci mengenal saya sebagai Mantaniputta.”

“Sungguh luar biasa, sahabat, sungguh, menakjubkan! Setiap pertanyaan yang mendalam telah terjawab, poin demi poin, oleh Y.M. Punna Mantaniputta sebagai siswa yang terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dngan benar. Sungguh ini merupakan keuntungan bagi sahabat-sahabatnya di dalam kehidupan suci, sungguh ini merupakan keuntungan besar bagi mereka yang memiliki kesempatan bertemu dan menghormat Y.M. Punna Mantaniputta. Bahkan seandainya saja untuk memperoleh kesempatan bertemu dan menghormat beliau, para sahabat di dalam kehidupan sucinya memanggul Y.M. Punna Mantaniputta dengan bantal di atas kepala mereka, hal itu pun akan merupakan keuntungan bagi mereka, keuntungan yang besar bagi mereka. Dan sungguh merupakan keuntungan bagi kami, keuntungan yang besar bagi kami karena kami mempunyai kesempatan bertemu dan menghormati Y.M. Punna Mantaniputta.”

17. Ketika hal ini telah dikatakan, Y.M. Punna Mantaniputta bertanya kepada Y.M. Sariputta: “Siapakah nama Yang Mulia, dan bagaimanakah sahabat-sahabat di dalam kehidupan suci mengenal yang mulia?”

“Nama saya adalah Upatisa, sahabat, dan sahabat-sahabat saya di dalam kehidupan suci mengenal saya sebagai Sariputta.”

“Sungguh, sahabat, tadi kami tidak mengetahui bahwa kami sedang berbicara dengan Y.M. Sariputta, siswa yang sudah seperti Sang Guru sendiri.292 Seandainya saja tadi kami mengetahui bahwa ini adalah Y.M. Sariputta, kami tidak akan berkata begitu banyak. Sungguh luar biasa, sahabat, sungguh menakjubkan! Setiap pertanyaan yang mendalam telah diajukan, poin demi pon, oleh Y.M. Sariputta sebagai siswa terpelajar yang memahami Ajaran Sang Guru dengan Benar. Sungguh ini merupakan keuntungan bagi sahabt-sahabatnya di dalam kehidupan suci, sungguh ini merupakan keuntungan besar bagi mereka yang memiliki kesempatan bertemu dan menghormat Y.M. Sariputta. Bahkan seandainya saja untuk memperoleh kesempatan bertemu dan menghormat beliau [151] para sahabat di dalam kehidupan sucinya memanggul Y.M. Sariputta dengan bantal di atas kepala mereka, hal; itu pun akan merupakan keuntungan bagi mereka, keuntungan yang besar bagi mereka. Dan sungguh merupakan keuntungan bagi kami, keuntungan yang besar bagi kami karena kami mempunyai kesempatan bertemu dan menghormat Y.M. Sariputta.”

Demikianlah kedua makhluk agung ini bersukacita di dalam kata-kata lawan bicara mereka masing-masing yang menyenangkan.

Catatan :

(285) Spesifikasi dalam tanda kurung diambil dari MA. Tanah kelahiran Sang Buddha adalah Kapilavatthu, di kaki pegunungan Himalaya.

(286) Lima hal terakhir membentuk satu rangkaian yang disebut lima kelompok Dhamma (dhammakkhandha). “Pembebasan” ditujukan dengan buah-buah agung, “pengetahuan dan visi tentang pembebasan” dengan pengetahuan memeriksa.

(287) Y.M. Punna Mantaniputta termasuk keluarga brahmana dan ditahbiskan oleh Y.M. Anna Kondanna di Kapilavatthu. Di situ beliau berdiam sampai beliau memutuskan untuk mengunjungi Sang Buddha di Savatthi. Di kemudian hari, beliau dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhu yang paling unggul di antara para pembabar Dhamma.

(288) Walaupun tujuh pemurnian ini (satta visuddhi) disebutkan di tempat lain di Kitab Suci Pali (di DN iii.288, dengan tambahan dua pemurnian: pemurnian oleh kebijaksanaan dan pemurnian oleh pembebasan), aneh juga mengapa berbagai pemurnian ini tidak dianalisa sebagai satu rangkaian di dalam Nikaya-nikaya mana pun; dan hal ini bahkan menjadi lebih aneh ketika kedua siswa yang besar ini tampaknya mengenalinya sebagai kelompok kategori doktri yang sudah pasti. Walaupun demikian, skema berunsur-tujuh ini membentuk perancah bagi seluruhh Visuddhimagga, yang mendefinisikan berbagai tahap dengan sarana tradisi komentar yang telah sepenuhnya dikembangkan tentang konsentrasi dan meditasi pandangan terang.

Pendek kata, “pemurnian moralitas” (silavisuddhi) merupakan ketaatan tak-terputus pada peraturan moral yang telah diambil seseorang. Hal ini dijelaskan oleh Vsm dengan mengacu pada pelatihan moral seorang bhikkhu sebagai “pemurnian moralitas berunsur empat.” “Pemurnian pikiran” (cittavisuddhi) adalah pematahan lima penghalang melalui pencapaian konsentrasi akses dan jhana-jhana. “Pemurnian pandangan” (ditthivisuddhi) adalah pemahaman yang mendefinisikan sifat dari lima kelompok kehidupan yang membentuk suatu makhluk hidup. “Pemurnian dengan mengatasi keraguan” (kankhavitaranavisuddhi) adalah pemahaman tentang pengondisian. “Pemurnian oleh pengetahuan dan visi tentang apa yang merupakan jalan dan apa yang merupakan bukan-jalan” (maggamaggananadassanavisuddhi) adalah pembedaan yang benar tentang jalan yang salah dari pengalaman-pengalaman yang amat menggairahkan dan menggirangkan serta jalan yang benar dari kebijaksanaan ke dalam ketidak-puasan, dan tanpa-diri. “Pemurnian oleh pengetahuan dan visi tentang jalan: (patipadananadassanavisuddhi) terdiri atas rangkaian mendaki dan pengetahuan-pengetahuan kebijaksanaan sampai ke jalan-jalan supra-duniawi. Dan “pemurnian oleh pengetahuan dan visi” (nanadassanavisuddhi) merupakan jalan-jalan supra-duniawi.

(289) MA menjelaskan anupadanaparinibbana sebagai appaccayaparinibbana, “Nibbana akhir yang tidak memiliki kondisi,” yang menjelaskan bahwa upadana mempunyai dua arti: mencengkeram (gahana), seperti yang terdapat dibacaan umum tentang empat jenis kemelekatan; dan kondisi (paccaya), seperti yang diilustrasikan di dalam bacaan ini. Para komentator menjelaskan “Nibbana akhir tanpa kemelekatan sebaagai salah satu dari dua hal: sebagai buah dari tingkat Arahat, karena tidaak dapat dicengkeram oleh empat jenis kemelekatan; atau sebagai Nibbana yang tak-terkondisikan, karena tidak lagi muncul melalui kondisi apa pun.

290. MA menjelaskan bahwa enam tahap pertama adalah “diiringi kemelekatan” yang berarti tahap yang terkondisi maupun tahap yang ada pada orang yang masih memiliki kemelekatan; tahap ketujuh, yang supra-duniawi, hanya dalam pengertian tahap yang terkondisi.

291. MA mengatakan bahwa Sariputta bertanya hanya sebagai basa-basi untuk menyapa Punna Mataniputta karena beliau sudah mengetahui nama Punna. Tetapi, Punna belum pernah bertemu dengan Sariputta sebelumnya. Maka, pastilah dia amat terkejut ketika bertemu dengan siswa agung itu.

292. Satthukappa. MA mengatakan bahwa ini merupakan pujian tertinggi yang dapat dipakai untuk menyebut seorang siswa.