Minggu, 27 Mei 2012

Agama Buddha Sebagai Semangat Hidup






YM. Bhante Uttamo Mahathera.


Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri,
karena siapa pula yang akan menjadi pelindung bagi dirinya?
Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik,
ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.

(Dhammapada XII, 4)


PENDAHULUAN

Kehidupan yang selalu berubah serta penuh dengan perbedaan antara keadaan seseorang dengan orang yang lain, seringlah menimbulkan kejengkelan, kecemburuan dan putus asa. Sering kali kita menyesali, mengapa orang lain lebih bahagia daripada kita, padahal tingkah laku mereka tidak lebih baik daripada kita. Kita yang telah berusaha berbuat baik, penderitaan malah sering mengikuti seperti bayangan kita sendiri. Apakah ada kesalahan kita? Mengapa pula di dunia ini ada orang yang kaya-miskin, sehat-sakit-sakitan, umur panjang-umur pendek, cantik-jelek, pandai-bodoh, dan masih panjang lagi daftar ini bila semua dituliskan. Perasaan kita kadang lebih hancur bila kita mengingat penderitaan seakan lebih sering terjadi pada kita dibandingkan pada orang lain. Hal semacam ini juga terjadi dalam kehidupan kampus, rasanya kita telah lebih banyak belajar untuk persiapan ujian, kenapa orang yang lebih tidak siap menghadapi ujian sering memperoleh nilai yang hampir sama, bahkan kadang sama atau malah melebihi nilai kita. Kita kecewa. Kita kemudian bertanya dalam hati, apakah kesalahan kita? Apakah benar ini cobaan hidup? Siapakah yang mencoba? Kita terus berusaha mencari 'kambing hitam' atas kesulitan yang dialami.

Namun, sebagai seorang umat Buddha, kita tidak diajar oleh Sang Guru Agung untuk menyalahkan pihak lain atas kesulitan kita. Semua penderitaan dan masalah kehidupan pasti ada penyebabnya. Setiap orang memiliki penyebabnya masing-masing.

Oleh karena itu, sungguh tidak tepat bila dalam diri kita masih juga muncul kejengkelan, iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, bahkan amat keliru kalau kita sampai putus asa, patah semangat hidup dalam menghadapi perubahan yang terus terjadi dalam kehidupan. Buddha Dhamma telah sempurna dibabarkan. Buddha Dhamma memberikan jalan untuk memperoleh kebahagiaan. Buddha Dhamma juga menguraikan cara untuk mempertahankan kebahagiaan yang kita alami.

SETIAP MAHLUK MEMILIKI KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

Sang Buddha sejak hampir tiga ribu tahun yang lalu telah mengerti dan menyadari bahwa kehidupan ini memang selalu berisikan perbedaan, saling bertolak belakang. Perbedaan dalam dunia ini malah sering diibaratkan sebagai saudara kembar. Artinya, kita tidak mungkin hanya menerima satu sisi dan menolak sisi yang lainnya. Kita hanya mau menerima sisi kebahagiaan saja dan menolak sisi yang berisikan penderitaan. Tidak bisa. Tidak mungkin. Kita pasti menerima keduanya. Menerima kedua kenyataan hidup ini sering membuat pikiran kita menjadi tidak seimbang. Kadang pikiran merasa senang, tetapi tidak jarang pikiran menjadi sedih. Sungguh sulit untuk bertahan pada pikiran yang penuh kebahagiaan. Permasalahannya sekarang, adakah sistem yang dapat mempertahankan pikiran akan selalu bahagia walaupun kita harus menerima kenyataan bagaimanapun juga? Ada. Buddha Dhamma yang telah dibabarkan sempurna oleh Sang Guru Agung Buddha Gotama mampu memberikan jalan kebebasan menuju kebahagiaan sejati.

Bila diamati, kondisi bahwa segala sesuatu selalu berubah ini adalah merupakan hakekat kehidupan. Perubahan itu sendiri adalah netral, tidak menyedihkan maupun menggembirakan. Munculnya perasaan suka maupun duka dalam menghadapi perubahan itu adalah hasil pikiran kita sendiri.

Oleh karena itu, tidak mungkin kita mampu mengubah dunia. Tidak mungkin kita mengubah kenyataan. Hal yang mampu kita lakukan adalah mengubah cara berpikir kita sendiri. Siap menerima kenyataan sebagai kenyataan, bukan seperti yang kita harapkan menjadi kenyataan. Cara berpikir yang salahlah yang membuat kita menderita. Cara berpikir yang salah ini karena kita terlalu mengharapkan kenyataan dapat berubah sesuai dengan keinginan kita. Makin besar keinginan mengubah kenyataan, makin besar pula penderitaan dan kekecewaan yang akan dirasakan. Kita ingin selalu berkumpul dengan segala sesuatu yang dicinta. Sebaliknya, kita selalu berusaha menolak untuk bertemu dengan apapun yang kita benci. Kenyataannya, kita pasti akan berpisah dengan segala yang dicinta dan bertemu dengan hal-hal yang dibenci. Karena itu, kita hendaknya mengubah cara berpikir agar mampu menerima kehidupan ini sebagaimana adanya.

Dalam pergaulan dengan sesama manusia, sering muncul benturan dan ketidakselarasan. Masalah ini juga timbul karena harapan tidak selalu sesuai dengan keinginan. Untuk mengatasi masalah ini kita hendaknya mengembangkan pola pikir bahwa semua orang selalu memilki kelebihan dan kekurangan. Kita memiliki kekurangan, tetapi juga pasti ada kelebihannya; sebaliknya orang lain di samping kelebihannya, dia pasti mempunyai kekurangan pula. Kita semua sama. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada orang yang memiliki kelebihan di bidang penampilan fisik tetapi mungkin memiliki kekurangan dalam bidang kecerdasan. Orang lain yang memiliki kekurangan dalam kecerdasan, mungkin ia adalah orang yang sukses dalam berniaga. Serta masih banyak contoh lainnya. Dengan memiliki cara berpikir seperti ini membuat kita dapat lebih menerima perbedaan-perbedaan itu. Dalam kehidupan ini, sesungguhnya orang hanya saling memperhatikan antara satu dengan yang lainnya. Apabila ia melihat orang lain memiliki sesuatu yang ia sendiri belum memiliki maka ia katakan orang itu berbahagia. Kenyataannya, kebahagiaan relatif sifatnya. Kebahagiaan adalah urusan pribadi, tidak dapat diukur oleh orang lain.


KAMMA BURUK DILAWAN KAMMA BAIK

Apabila kita sudah mengerti adanya kekurangan dan kelebihan pada setiap mahluk, maka kita hendaknya mulai merenungkan penyebab perbedaan ini muncul. Perbedaan ini muncul karena adanya Hukum Karma/Kamma atau hukum perbuatan. Dalam Samyutta Nikaya telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditanam demikian pula buah yang akan dipetik, pembuat kebajkan akan memperoleh kebahagiaan, sebaliknya pembuat kejahatan akan mendapatkan penderitaan. Jadi, orang yang memiliki penampilan menarik adalah karena buah kebajikannya dari kehidupan lampaunya, sedangkan bila dia tidak pandai di kampus adalah bagian dari buah kamma buruknya di masa lampau pula.

Membahas masa lampau memang sulit. Dibahaspun tidak akan menyelesaikan masalah, malah mungkin menimbulkan masalah baru. Debat kusir. Oleh karena itu, sekarang yang paling penting adalah bagaimana menyelesaikan masalah atau kesulitan yang timbul dalam kehidupan kita, tanpa harus mencari 'kambing hitam'.

Karena kesulitan dan permasalahan adalah bagian dari buah kamma buruk kita, maka untuk mengatasinya, kita dapat menambah kamma baik. Penambahan kamma baik dapat dilakukan melalui perbuatan badan, ucapan dan juga pikiran. Semakin banyak kamma baik kita lakukan, semakin besar kondisi hidup kita untuk mencapai kebahagiaan. Ibarat pada segelas air dimasukkan satu sendok garam, lalu diaduk, terasa sangat asin. Untuk mengurangi rasa asin itu, kita dapat menambah air sedikit demi sedikit. Apabila air sudah sebanyak lima atau sepuluh gelas maka satu sendok garam yang ada di dalam air itu sudah tidak terasa lagi asinnya. Demikian pula dengan hukum perbuatan, garam diibaratkan sebagai perbuatan buruk kita; air adalah perbuatan baik kita. Jika seseorang mengalami kesulitan hidup, hal ini disebabkan karena jumlah garam atau kamma buruknya cukup banyak sehingga ia harus terus menambah air kebajikan sekaligus menghentikan kejahatannya. Sebaliknya, orang yang telah berbahagia dalam kehidupan ini diibaratkan seperti orang yang memiliki air dalam jumlah banyak dengan sedikit garam. Asinnya hampir tidak terasa. Meskipun demikian, hendaknya ia tidak dengan seenaknya saja menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesempatan dalam hidupnya dengan melakukan kamma buruk, atau digambarkan seperti menambah jumlah garam ke dalam air. Sebab, meskipun memiliki air kebajikan dalam jumlah yang banyak, apabila terus ditambah dengan garam kejahatan, lambat laun perbandingannya pun semakin kecil dan buah kejahatan akan menimbulkan penderitaan padanya.

CARA MENCAPAI KEBAHAGIAAN

Dalam Agama Buddha, terdapat tiga perbuatan baik yang dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat kehidupan kita. Ketiga perbuatan itu adalah kerelaan (dana), kemoralan (sila) dan konsentrasi (samadhi). Ketiga jalan Ajaran Sang Buddha ini jika dilaksanakan terus dalam kehidupan akan membuat hidup kita lebih baik dan bahagia di dunia ini. Bahkan, di kehidupan yang akan datang pun dapat terlahir di salah satu dari dua puluh enam alam surga.

Kerelaan (dana) adalah awal kebajikan. Kerelaan dapat berupa materi dan juga bukan materi. Pokok pemikiran latihan kerelaan ini adalah agar orang dapat memilki pola pikir: Semoga semua mahluk berbahagia. Sebab, dengan pemikiran awal ini saja, kebencian, iri hati maupun kecemburuan akibat perbedaan dalam kehidupan akan dapat dilenyapkan. Kita bahkan ikut berbahagia atas kebahagiaan mahluk lain. Kita bersimpati dengan kebahagiaan orang lain. Kita menjadi orang yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap lingkungan. Dengan latihan kerelaan, kita berusaha menurunkan tingkat keinginan kita - bila memang tidak mampu mencapainya - agar sesuai dengan kenyataan yang sedang kita hadapi. Apabila kita bertemu dengan orang yang menjengkelkan, kita bisa menghindarinya sambil merenungkan, mungkin memang tingkah semacam itulah yang membuatnya bahagia.

Kemoralan berintikan kedisiplinan. Latihan ini diawali dengan pelaksanaan Pancasila Buddhis. Isi Pancasila Buddhis adalah latihan pengendalian diri untuk tidak melakukan pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, berbohong dan mabuk-mabukan. Inti latihan ini adalah agar kita dapat meningkatkan kualitas diri kita. Meningkatkan disiplin diri. Menumbuhkembangkan disiplin diri diperlukan agar kita mampu mencapai harapan kita. Jadi apabila kedermawanan ditujukan untuk menurunkan harapan, disiplin diri ditujukan untuk meningkatkan sistem kerja agar tercapai target yang diharapkan.

Peningkatan sistem kerja ini dengan merenungkan dua hal yang telah diajarkan dalam Dhamma (Anguttara Nikaya II, 16). Pertama, menganalisa kelebihan dan kekurangannya sendiri. Faktor kelebihan hendaknya kita kembangkan terus sehingga kebahagiaan akan semakin sering dirasakan. Sebaliknya, unsur kekurangan, hendaknya kita hindari agar penderitaan tidak lagi datang pada diri kita. Kedua, menganalisa kelebihan dan kekurangan orang lain. Apabila kita dapat menemukan kekurangan orang, segera hindarilah sikap buruk semacam itu karena kita memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukannya. Sedangkan apabila kita melihat kelebihannya, segera tirulah agar kita juga memperoleh keberhasilan yang sama. Dengan demikian, bila kita melihat keberhasilan orang lain, tidak akan muncul rasa iri hati, justru kita akan bersemangat untuk meneladaninya. Kalau orang lain mampu melakukan, kita pun harus berusaha untuk melakukannya pula.

Konsentrasi atau latihan meditasi ditujukan untuk mencapai ketenangan pikiran. Meditasi tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Meditasi adalah sarana untuk menenangkan pikiran agar dapat menyelesaikan masalah. Dengan memiliki ketenangan pikiran, kita dapat menentukan kapankah kita harus menurunkan harapan kita; atau kapankah kita harus meningkatkan sistem kerja kita. Ataukah, kapan saatnya untuk melakukan keduanya sekaligus, menurunkan harapan dan meningkatkan kinerja. Pemilihan ini membutuhkan ketenangan dan keseimbangan batin. Dengan memiliki kemampuan memberikan pilihan yang tepat, kita akan dapat meningkatkan kebahagiaan dalam hidup.

KESIMPULAN

1. Semua mahluk memang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan.

2. Perbedaan yang ada pada mahluk hidup adalah karena setiap mahluk memiliki kammanya sendiri-sendiri.

3. Kita dapat memperbaiki kehidupan kita dengan melaksanakan kerelaan, kemoralan dan samadhi setiap hari.

4. Kerelaan digunakan untuk menyesuaikan harapan kita agar sama dengan kenyataan. Dapat menerima kenyataan.

5. Kemoralan ditujukan agar kita dapat memperbaiki kualitas diri dan sistem kerja kita agar harapan dapat tercapai.

6. Samadhi dimanfaatkan untuk menentukan apakah keinginan ataukah sistem kerja yang harus kita perbaiki. Atau menentukan tindakan yang tepat untuk menghadapi masalah.

RENUNGAN

Segala suka dan duka sesungguhnya adalah karena buah perbuatan kita sendiri. Karena itu bila kita sedang berbahagia tambahlah terus kebajikan agar dapat terus mempertahankan kebahagiaan yang sedang kita rasakan. Bila sedang mengalami penderitaan, maka jangan bosan-bosan untuk menambah kebajikan pula agar kamma buruk yang kita alami segera berlalu.

Jumat, 25 Mei 2012

Empat Kebenaran Mulia - KEBENARAN ARIYA KEEMPAT



KEBENARAN ARIYA KEEMPAT

Apakah Kebenaran Ariya mengenai Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan? Kebenaran Ariya ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu: Pandangan Benar, Niat Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar,Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.
Inilah Jalan Mulia Menuju Berakhirnya Penderitaan: demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan,pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diriku
mengenai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya….

Kebenaran Ariya ini harus ditembus dengan meng-kultivasi Jalan [tersebut] . . . .
Kebenaran Ariya ini telah ditembus dengan mengkultivasi Jalan: demikianlah pandangan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul
dalam diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya.
[Samyutta Nikaya LVI, 11]

Kebenaran Ariya Keempat, seperti tiga lainnya,memiliki tiga aspek. Aspek pertama adalah: ‘Ada Jalan Berunsur Delapan, attangika magga – jalan keluar dari
penderitaan.’ Jalan ini disebut juga ariya magga, Jalan Ariya atau Mulia. Aspek kedua adalah: ‘Jalan ini harus dikembangkan.’ Pengetahuan-kebijaksanaan final
menuju ke kearahatan adalah: ‘Jalan ini telah sepenuhnya dikembangkan.’
Jalan Berunsur Delapan diuraikan secara berurutan: diawali dengan Pengertian Benar (atau sempurna), samma ditthi, berlanjut ke Niat atau Aspirasi Benar (atau sempurna),samma sankappa; kedua elemen jalan ini dikelompokkan dalam Kebijaksanaan (panna).Panna mengalir ke komitmen moral (sila), yang mencakup Ucapan Benar, Perbuatan Benar, dan Penghidupan Benar – juga disebut dengan
ucapan sempurna (samma vaca), perbuatan sempurna (samma kammanta) dan penghidupan sempurna (samma ajiva).
Kemudian dari sila secara alamiah mengalir: Usaha Benar (samma vayama), Perhatian-penuh Benar (samma sati) dan Konsentrasi Benar (samma samadhi).
Ketiga elemen terakhir ini memberikan keseimbangan emosional. Ketiganya adalah mengenai hati – sang hati yang terbebaskan dari keberpusatan-diri dan keegoisan.
Dengan adanya Usaha Benar, Perhatian-penuh Benar dan Konsentrasi Benar, hati menjadi murni, bebas dari noda dan kotoran. Ketika hati murni, pikiran damai. Kebijaksanaan (panna), atau Pengertian Benar dan Niat Benar, timbul dari hati yang murni. Dengan demikian kita kembali lagi ke awal.
Berikut adalah elemen-elemen dari Jalan Berunsur Delapan yang dikelompokkan menjadi tiga bagian.
1. Kebijaksanaan (panna)
     -Pengertian Benar (samma ditthi)
     -Niat Benar (samma sankappa)
2. Moralitas (sila)
      -Ucapan Benar (samma vaca)
      -Perbuatan Benar (samma kammanta)
      -Penghidupan Benar (samma ajiva)
3. Konsentrasi (samadhi)
     -Usaha Benar (samma vayama)
     -Perhatian-penuh Benar (samma sati)
     -Konsentrasi Benar (samma samadhi)
Hanya karena kedelapan elemen ini diuraikan secara berurutan bukan berarti bahwa kejadiannya juga runtut demikian. Kedelapan elemen ini terjadi bersamaan.
Kita mungkin dapat membicarakan Jalan Berunsur Delapan dan berkata ‘Pertama-tama anda harus memiliki Pengertian Benar, kemudian Aspirasi Benar, kemudian . . . . ‘Tetapi sebenarnya, dengan diuraikan demikian, kita diajari untuk merefleksikan pentingnya bertanggungjawab atas apa yang kita katakan dan lakukan dalam hidup.

PENGERTIAN BENAR
Elemen pertama dari Jalan Berunsur Delapan adalah Pengertian Benar yang terbit dari insight ke dalam ketiga butir Kebenaran Ariya sebelumnya. Apabila anda memiliki pengetahuan-kebijaksanaan itu maka akan ada pengertian sempurna tentang Dhamma – pengertian bahwa: ‘Semua yang berawal akan berakhir.’ Sesederhana itu .… Anda tidak harus menghabiskan banyak waktu buat membaca ‘semua yang berawal akan berakhir’, tetapi memang dibutuhkan waktu cukup banyak bagi sebagian besar dari kita agar mampu memahami kata-kata itu secara mendalam dan tidak sekedar secara intelektual belaka.
Insight adalah benar-benar pengetahuan inti –bukan hanya dari gagasan-gagasan. Ini bukan lagi, ‘Saya pikir saya tahu’, atau ‘Oh ya, semuanya kelihatan masuk
akal. Saya setuju. Saya suka pemikiran itu.’ Pengetahuan macam itu masih cuma berasal dari otak sedangkan pengetahuan-kebijaksanaan adalah sesuatu yang lebih mendalam. Pengetahuan ini benar-benar diketahui dan keraguan tidak lagi menjadi masalah.Pemahaman yang mendalam ini datang dari kesembilan insight sebelumnya. Jadi ada urutan yang sampai ke Pengertian Benar mengenai segala sesuatu sebagaimana adanya, yaitu: Semua yang berawal bakal berakhir dan bukan-diri. Dengan pengertian benar, anda telah melepas semua ilusi mengenai diri yang berkaitan dengan kondisi-kondisi yang fana. — Badan tetaplah ada
dan demikian juga perasaan dan pikiran, tetapi semuanya hanya sebagaimana adanya — tidak ada lagi kepercayaan bahwa anda adalah badan anda atau perasaan anda atau pikiran anda. Penekanannya adalah pada: Segala sesuatu itu ialah sebagaimana adanya. Kita tidak berusaha mengatakan bahwa segala sesuatu bukanlah apa-apa atau segala sesuatu bukan sebagaimana adanya. Segala sesuatu adalah sebagaimana adanya dan tidak lebih. Tetapi tatkala kita diselimuti kebodohan-batin (ignorant), tidak memahami kebenaran ini, kita cenderung berpikir bahwa segala sesuatu itu tampak lebih dari sekedar apa adanya.
Kita mempercayai pelbagai macam hal dan menciptakan semua ragam masalah di sekitar kondisi yang kita alami.Begitu banyak kepedihan dan keputus-asaan
manusia disebabkan oleh imbuhan embel-embel yang diakibatkan kekelirutahuan sesaat. Sungguh sangat mengenaskan bahwa [ternyata] kesengsaraan, kesedihan
dan keputusasaan umat manusia itu disebabkan oleh khayalan; keputus-asaan ialah sia-sia tanpa arti. Manakala anda mampu melihatnya, maka anda mulai merasakan welas-asih yang tiada batas terhadap semua makhluk.
Bagaimana anda bisa membenci atau menggerutui atau mengutuk orang yang terikat oleh kekelirutahuan? Semua orang dipengaruhi oleh pandangan-salahnya untuk melakukan hal-hal yang mereka lakukan.
***
Kala kita bermeditasi, kita mengalami kedamaian,sedikit ketenangan dimana pikiran melambat. Ketika dengan pikiran tenang kita menatap sesuatu seperti
misalnya bunga, kita melihatnya sebagaimana adanya.
Ketika tidak ada penggenggaman (grasping) – tiada [pamrih] yang dicari atau disingkirkan – maka apa yang kita lihat, dengar atau alami melalui indria adalah indah, benar-benar indah. Kita tak lagimengkritiknya,membandingbandingkannya
,atau berusaha memilikinya. Kita mendapat keasyikan serta kegembiraan dalam keindahan di sekeliling kita karena tiada lagi yang perlu diperbuat darinya.
Semuanya persis sebagaimana adanya.
Kecantikan mengingatkan kita pada kemurnian,kebenaran, kenyatan dan keindahan mutlak. Kita jangan melihatnya sebagai umpan buat mengecoh kita: ‘Bunga ini ada di sini cuma buat menggaet saya sehingga saya akan dikecoh olehnya’ – itu adalah sikap dari si penggerutu meditator bangkotan.
Manakala kita memandang lawan jenis dengan hati yang murni, kita menghargai
kecantikannya tanpa nafsu-keinginan untuk menyentuh atau memiliki.
Kita dapat gembira dalam kecantikan orang lain, baik pria ataupun wanita, ketika tidak ada pamrih pribadi atau nafsu. Ada kejujuran – segala sesuatu sebagaimana adanya. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan atau dalam Pali, vimutti.
Kita terbebaskan dari ikatan yang membias dan mengkorup keindahan di sekeliling kita, seperti tubuh yang kita miliki. Namun,pikiran kita bisa menjadi begitu ter-korupsi, dan negative dan tertekan dan terobsesi sehingga kita tak lagi melihat
benda-benda sebagaimana adanya. Ketika kita tidak memiliki Pengertian Benar, kita [secara salah] melihat segala sesuatunya melalui [bias] cadar atau tapis yang kian tebal.Pengertian Benar harus dikembangkan melalui refleksi, dengan menggunakan ajaran Sang Buddha.
Dhammacakkapavatana Sutta sebenarnya merupakan ajaran yang menarik untuk direnungkan dan digunakan sebagai acuan berefleksi. Kita juga dapat menggunakan sutta lain dari Tipitaka, misalnya yang membahas paticcasamuppada (kemunculan saling bergantungan).
Ini adalah ajaran yang sangat hebat untuk direnungkan. Kalau anda dapat mengkontemplasikan ajaran semacam ini,anda dapat melihat dengan jelas perbedaan antara segala sesuatu-sebagaimana-adanya [sesuai dengan Dhamma]
dan titik dimana kita cenderung mulai mengarang-ngarang membias dari sesuatu-yang-sebagaimana-adanya. Oleh karena itu kita perlu memantapkan kewaspadaan penuh pada segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika ada pengetahuan mengenai Empat Kebenaran Ariya, maka ada Dhamma.
Dengan pengertian benar, semuanya terlihat sebagai Dhamma; contoh: kita sekarang duduk di sini. . . . Ini adalah Dhamma. Kita tidak memikirkan tubuh dan pikiran ini sebagai kepribadian dengan segala pandangannya dan pendapatnya dan semua pikiran terkondisinya dan reaksinya yang kita kumpulkan akibat kebodohan-batin.
Kita merefleksi keadaan saat ini sebagai: ‘Inilah sebagaimana adanya. Ini adalah Dhamma.’ Kita menumbuhkan dalam pikiran, pemahaman bahwa bentukan tubuh ini hanyalah Dhamma. Ini bukan diri; bukan pribadi.
Kemudian kita juga melihat sensitifnya bentukan tubuh ini sebagai Dhamma daripada mengganggapnya sebagai diri-pribadi: ‘Saya sensitif,’ atau ‘Saya tidak sensitif;’‘Anda tidak sensitif terhadap saya. Siapakan yang paling sensitif?’ . . . ‘Mengapa kita merasakan rasa sakit? Mengapa Tuhan menciptakan rasa sakit; mengapa Dia tidak hanya menciptakan rasa senang saja? Mengapa ada begitu banyak kesengsaraan dan penderitaan dalam hidup? Ini tidak adil.
Orang mati dan kita harus terpisah dengan orang yang kita cintai; kesedihan ini sungguh mengerikan.’ —Tiada Dhamma dalam racauan itu bukan? Semuanya hanya keakuan: ‘Betapa malangnya aku. Aku tidak suka ini, aku tidak suka itu begitu. Aku mau rasa-aman, kebahagiaan, kesenangan dan semua yang terbaik. Sungguh tidak adil bahwa orang tua aku bukan arahat ketika aku lahir.
Sungguh tidak adil bahwa mereka tidak pernah memilih arahat sebagai Perdana Mentri Inggris. Bila semuanya adil,mereka akan memilih arahat sebagai Perdana Mentri!’
Saya mencoba menunjukkan bahwa perasaan‘Ini tidak benar, itu tidak adil’ tidak masuk akal untuk menunjukkan bahwa kita mengharapkan Tuhan untuk
menciptakan semuanya demi kita dan membuat kita terus bahagia dan aman. Inilah yang biasanya dipikirkan orang walaupun mereka tidak berkata demikian. Tetapi ketika kita merefleksi, kita melihat ‘Inilah apa adanya. Sakit adalah demikian dan seperti inilah rasanya kesenangan.
Kesadaran adalah seperti ini.’ Kita merasakan. Kita bernafas. Kita dapat menginginkan.
Ketika kita merefleksi, kita merenungkan kemanusiaan kita sendiri sebagaimana adanya. Kita tidak lagi membawanya ke tingkat pribadi atau menyalahkan
siapapun karena segalanya tidak persis yang kita suka atau mau. Semua sebagaimana adanya dan kita sebagaimana adanya. Anda mungkin bertanya mengapa ya kita semua kok tidak bisa persis sama saja – dengan kemarahan yang
sama, keserakahan yang sama dan ketidaktahuan yang sama; tanpa semua variasi dan kombinasi. Walaupun anda dapat melacak pengalaman manusia sampai ke hal-hal mendasar, setiap orang memiliki kamma masing-masing yang harus dihadapi – obsesi dan kecenderungan kita yang selalu berbeda dalam kualitas dan kuantitas dengan orang lain.
Mengapa kita semua tidak bisa sama persis,memiliki barang-barang yang sama dan wajah yang sama– satu makhluk hermaphrodit? Dalam dunia seperti itu,
tidak ada ketidakadilan, tidak ada perbedaan, semuanya benar-benar sempurna dan tidak ada kemungkinan ketidaksetaraan. Namun ketika kita mengenali Dhamma,kita melihat bahwa dalam alam terkondisi, tidak ada dua hal yang identik. Semuanya memiliki perbedaan,variabel yang tak terbatas, terus berubah, dan semakin kita berusaha membuat kondisi sesuai dengan keinginan kita, maka kita semakin frustasi. Kita berusaha untuk saling menciptakan satu sama lain dan masyarakat yang sesuai dengan ide kita tentang bagaimana sesuatu seharusnya,
tetapi kita pada akhirnya selalu merasa frustasi. Dengan refleksi, kita sadar bahwa: ’Inilah demikan apa adanya,’inilah demikian hal-hal seharusnya – dan memang hal-hal tersebut hanya bisa demikian.
Namun itu bukanlah refleksi yang fatalistik atau negatif. Bukan sikap: ‘Inilah demikian apa adanya dan tidak ada yang bisa anda perbuat padanya.’ Ini adalah
respon yang positif untuk menerima aliran kehidupan apa adanya. Walaupun itu bukan apa yang anda mau, kita dapat menerima dan belajar darinya.
***
Kita adalah makhluk yang sadar, cerdas dan memiliki ingatan yang kuat.
Kita memiliki bahasa. Selama ribuan tahun, kita telah mengembangkan rasio, logika dan kecerdasan-diskriminatif (kemampuan mengenali dan membeda-bedakan pelbagai hal secara cermat). Kita musti memikirkan bagaimana menggunakan kapasitas-kapasitas ini sebagai alat untuk merealisasi Dhamma daripada malah
sebagai masalah pribadi atau kepemilikan pribadi. Orang yang mampu mengembangkan kecerdasan-diskriminatifnya acapkali malah berakhir melukai diri sendiri dengannya;mereka kadang jadi sangat kritis terhadap diri sendiri atau bahkan mulai membenci diri sendiri. Ini disebabkan alat diskriminatif kita cenderung untuk terlalu berfokus hanya pada apa-apa yang salah (negatif) dengan segala hal. [Karena awalnya ya memang] inilah maksudnya diskriminatif: mengenali bagaimana ini berbeda dengan itu. Lalu kemudian tatkala anda menerapkan ini terhadap diri sendiri, apa yang pada akhirnya anda miliki? Hanya setumpuk daftar cacat dan kesalahan yang membuat anda tampak benar-benar tiada harapan.
Ketika kita mengembangkan Pengertian Benar,kita menggunakan kecerdasan untuk merefleksi dan mengkontemplasikan hal-hal. Kita juga menggunakan
perhatian-penuh, menjadi terbuka terhadap segala hal apa adanya (the way it is). Ketika kita merenung dengan cara demikian, kita menggunakan perhatian-penuh dan kebijaksanaan secara bersamaan. Jadi sekarang kita menggunakan kemampuan kita untuk mendiskriminasi [Perlu dicatat bahwa kata diskriminasi (kecerdasan, kemampuan mengenali dan membeda-bedakan pelbagai hal secara cermat) disini bersifat netral tidak berkonotasi negatif – ed.] dengan kebijaksanaan (vijja) bukan dengan kebodohan (avijja). Ajaran Empat Kebenaran Ariya ini adalah untuk membantu anda menggunakan kecerdasaan anda –kemampuan anda untuk kontemplasi, merefleksi dan berpikir – dalam cara yang bijaksana dan bukannya dengan cara yang tamak, dengki atau merusak-diri.

ASPIRASI BENAR
Elemen kedua dari Jalan Berunsur Delapan adalah samma sankappa. Terkadang kata ini diterjemahkan menjadi ‘Pemikiran Benar’, yaitu berpikir dengan cara yang benar. Namun, sebenarnya kata ini memiliki kualitas yang dinamis, seperti ‘niat’, ‘sikap’ atau ‘aspirasi (keinginan)’. Saya lebih suka mengunakan ‘aspirasi’ yang sangat bermakna dalam Jalan ini, karena kita memang menginginkan.Penting untuk melihat bahwa aspirasi bukanlah nafsu-keinginan. Kata Pali ‘tanha’ berarti keinginan yang berasal dari kekelirutahuan (kebodohan-batin), sedang‘sankappa’ adalah keinginan atau cita-cita yang terbit bukan dari kebodohan. Aspirasi mungkin terlihat sebagai sejenis nafsu-keinginan (desire) bagi kita karena dalam bahasa Inggris kita menggunakan kata desire untuk hal tersebut, baik mencita-citakan (aspiring) atau maui (wanting). Anda mungkin berpikir bahwa keinginan adalah sejenis tanha, ingin menjadi tercerahkan (bhava tanha).
Tetapi samma sankappa datang dari Pengertian Benar yang melihat jelas. Bukan menghasrati menjadi apapun, bukan nafsu-keinginan untuk menjadi orang yang tercerahkan.Dengan Pengertian Benar, seluruh ilusi dan cara berpikir tersebut tak lagi masuk di akal.
Aspirasi adalah perasaan, niat, sikap atau pergerakan dalam diri kita. Semangat kita naik, bukan tenggelam —ini bukanlah keputusasaan! Ketika ada Pengertian Benar,
kita menginginkan kebenaran, keindahan dan kebaikan.
Samma ditthi dan samma sankapppa, Pengertian Benar dan Niat Benar, disebut panna atau kebijaksanaan dan keduanya membentuk satu dari tiga bagian dalam Jalan Berunsur Delapan.
***
Kita dapat merenung: Mengapa kita tetap saja merasa tidak puas bahkan ketika kita memiliki segala hal yang terbaik? Kita tidak sepenuhnya bahagia walaupun
kita memiliki rumah yang indah, mobil, perkawinan yang sempurna, anak-anak yang cerdas dan manis dan lain-lainnya– dan [tentu saja] kita jelas tak puas kalau kita tidak memiliki semua itu! . . . Kala kita tidak memilikinya, kita dapat berpikir, ‘Yah, bila saya punya yang terbaik, maka saya akan puas.’ Tetapi kita tidak akan puas. Bumi bukanlah tempat untuk kepuasan kita. Bumi memang semestinya
bukan tempat seperti itu. Ketika kita menyadarinya, kita tidak lagi mengharapkan kepuasan dari planet bumi; kita tidak membuat tuntutan itu.
Sampai kita menyadari bahwa planet ini takkan bisa memuaskan semua hasrat kita, kita akan terus bertanya,‘Ibu Bumi, mengapa engkau tak dapat membuat aku puas?’ Kita seperti anak kecil yang menyusu pada ibu,terus berusaha menyedot sebanyak mungkin darinya dan menginginkannya terus mengasuh dan memberi makan dan membuat kita puas.
Kalau kita puas, maka mestinya kita tidak akan heran dengan segala sesuatu. Namun, tetap kita toh mengenali bahwa ada sesuatu yang lebih daripada tanah
di bawah kita; ada sesuatu di atas kita yang tidak begitu kita mengerti.
Kita memiliki kemampuan untuk berpikir dan mempertimbangkan kehidupan, untuk merenungkan maknanya. Bila anda ingin mengetahui makna hidup anda,
anda tidak dapat puas dengan kesejahteraan material, kenyamanan dan keamanan saja.Jadi kita ingin mengetahui kebenaran. Anda mungkin merasa bahwa ini adalah keinginan yang terlalu berani, ‘Memangnya siapa saya ini? Saya terlalu tua untuk mengetahui segala sesuatu.’ Tetapi keinginan itu ada. Mengapa kita memilikinya bila itu tidak mungkin?
Pertimbangkan konsep realitas tertinggi. Kebenaran tertinggi atau mutlak adalah suatu pemikiran yang sangat halus. Ide adanya Tuhan, yang Tanpa Kematian atau yang Abadi, sebenarnya adalah suatu pemikiran yang halus. Kita ingin mengetahui realitas tertinggi. Sisi hewani dari kita tidak menginginkan; sisi ini tidak tahu apapun mengenai keinginan seperti ini. Tetapi dalam diri kita terdapat kecerdasan intuitif yang ingin mengetahui; yang selalu ada tetapi cenderung tidak kita perhatikan; tidak kita mengerti.
Kita cenderung membuang atau tidak mempercayainya —terutama para materialis modern. Mereka pikir ini hanyalah khayalan dan tidak nyata.
Sedangkan saya sangat gembira ketika sadar bahwa planet ini bukanlah rumah saya yang sebenarnya. Saya sudah menduganya. Saya ingat ketika masih kecil berpikir,‘Tempatku bukan di sini.’ Saya tidak pernah merasa planet bumi ini adalah tempat saya, bahkan sebelum saya menjadi bhikkhu, saya tidak pernah merasa cocok berada dalam masyarakat. Bagi sebagian orang, mungkin ini adalah
cuma problem neurotik, tetapi boleh jadi ini juga sejenis intuisi yang sering dimiliki anak-anak. Ketika anda polos tanpa dosa, pikiran anda sangat intuitif.
Pikiran seorang anak lebih intuitif dalam berhubungan dengan kekuatan misterius daripada pikiran kebanyakan orang dewasa.
Dengan semakin dewasanya kita, kita menjadi terkondisi berpikir dengan cara tertentu dan memiliki ide yang kaku mengenai apa yang riil dan apa yang tidak. Seiring dengan berkembangnya ego kita, masyarakat mendiktekan apa
yang nyata dan tidak, yang benar dan salah, dan kita mulai menerjemahkan dunia melalui persepsi-persepsi kaku tersebut. Satu hal yang menakjubkan mengenai
anak-anak adalah mereka belum melakukan itu; mereka masih melihat dunia dengan pikiran intuitif yang belum terkondisi.
Meditasi adalah sebuah cara buat meluruhkan keterkondisian pikiran yang kemudian membantu kita guna melepas semua pandangan-pandangan picik dan ide-ide kaku yang kita punya. Biasanya, apa yang riil menjadi tersingkir ketika apa yang tak nyata mendapatkan seluruh perhatian kita. Inilah apa yang disebut kekelirutahuan (avijja).
Kontemplasi aspirasi kemanusiaan kita menghubungkan kita dengan sesuatu yang lebih tinggi daripada hanya kerajaan hewan atau planet bumi. Bagi saya hubungan ini lebih nyata daripada pemikiran bahwa hanya inilah apa yang ada, bahwa ketika mati tubuh kita membusuk dan tiada lagi selain itu. Ketika kita merenung dan mempertimbangkan alam tempat kita hidup ini, kita melihat bahwa alam ini sangat luas, misterius dan tak terpahami oleh kita. Namun, ketika kita lebih mempercayai
pikiran intuitif kita, kita menjadi reseptif (mudah menerima) terhadap hal-hal yang mungkin telah terlupakan atau tidak pernah terbuka sebelumnya – kita terbuka ketika kita melepas [kecenderungan] reaksi-reaksi yang kaku,terkondisi.
Kita bisa memiliki ide yang terpaku sebagai pribadi tertentu (personality), sebagai pria atau wanita,sebagai orang Inggris atau Amerika. Hal semacam ini dapat menjadi sangat nyata (real) bagi kita, dan kita dapat menjadi sangat sedih atau marah karenanya. Kita bahkan dapat membunuh satu sama lain dikarenakan pandangan terkondisi yang kita pegang, percayai dan tak pernah kita pertanyakan. Tanpa Aspirasi Benar dan Pengertian Benar, tanpa panna, kita tiada pernah bisa melihat sifat yang sejatinya dari pandangan-pandangan ini.

PERKATAAN BENAR, TINDAKAN BENAR, PENGHIDUPAN
BENAR
Sila, aspek moral dari Jalan Berunsur Delapan, terdiri dari Perkataan Benar, Tindakan Benar dan Penghidupan Benar, yang berarti bertanggungjawab atas perkataan kita dan berhati-hati terhadap apa yang kita lakukan dengan tubuh. Ketika saya penuh perhatian dan waspada, saya bicara sesuai dengan waktu dan tempat; dan demikian pula saya bertindak atau bekerja sesuai dengan waktu dan
tempat.Kita mulai sadar bahwa kita harus berhati-hati dengan apa yang kita katakan dan lakukan; kalau tidak kita hanya akan terus-menerus menyakiti diri sendiri.Apabila anda melakukan atau mengatakan hal-hal yang tak baik atau keji, maka segera bakal berakibat. Dulu anda mungkin dapat melarikan diri dengan membohongi diri,mengalihkan perhatian pada hal lain sehingga anda tidak
harus memikirkannya. Anda bisa saja untuk sementara lupa pada segala sesuatu sampai hal-hal itu datang kembali. Tetapi jika kita berlatih sila, maka segala sesuatu
tampaknya kembali dengan segera. Bahkan ketika saya melebih-lebihkan, sesuatu dalam diri saya berkata, ‘Kamu seharusnya tidak melebih-lebihkan, kamu harusnya lebih berhati-hati.’ Saya dulunya memiliki kebiasaan melebih-lebihkan
– ini merupakan bagian dari budaya [Barat] kita; dan tampaknya normal saja. [Orang Barat relatif lebih suka melebih-lebihkan (ekspresif) ketimbang kita
di Asia; terlihat misal dari cara mereka saling menyapa. Kalau orang berkata
“Hai, apa kabar?”, adalah lumrah bagi mereka untuk menjawab, “Luar biasa!”,
“Superb!”, “Tak pernah sebaik ini”, atau “Huebaat!” [padahal sebenarnya tak ada sesuatu yang spesial] – hal yang bagi kita terdengar agak lucu, risih – ed.]
Tetapi ketika anda waspada (aware), sedikit kebohongan atau gosip segera berakibat karena anda sepenuhnya terbuka, rapuh dan sensitif. Jadi anda berhati-hati terhadap apa yang anda lakukan; anda sadar bahwa penting untuk bertanggung-jawab terhadap apa yang anda lakukan dan katakan.
Dorongan untuk menolong orang adalah Dhamma yang skillful (terampil). Bila anda melihat seseorang jatuh di lantai karena pingsan, sebuah Dhamma yang skillful melewati pikiran anda: ‘Tolong orang ini, ‘dan anda menolongnya untuk siuman. Bila anda melakukannya dengan pikiran kosong [tanpa-pamrih] — bukan karena nafsu-keinginan pribadi untuk mendapatkan sesuatu,tetapi hanya karena belas-kasih dan karena ini adalah hal yang benar untuk dikerjakan. Maka ini hanyalah Dhamma yang terampil. Ini bukanlah kamma pribadi; bukan milik
anda. Tetapi bila anda melakukannya buat mendapatkan jasa dan mencari perhatian orang lain atau karena orang tersebut kaya dan anda mengharapkan hadiah, maka —walaupun tindakan tersebut terampil — anda membuat hubungan personal dengannya, dan ini cuma mempertebal rasa keakuan. Ketika kita melakukan perbuatan baik yang berasal dari perhatian-penuh dan kebijaksanaan, dan bukannya kebodohan-batin, maka ini adalah Dhamma yang terampil tanpa kamma pribadi.
Pasamuan para bhikkhu (sangha) didirikan Sang Buddha sehingga pria dan wanita bisa hidup dalam kehidupan yang sempurna dan tanpa salah. Sebagai bhikkhu, anda hidup dalam keseluruhan sistem aturan latihan yang disebut disiplin Patimokkha. Ketika anda hidup dalam disiplin ini, walaupun tindakan atau ucapan anda agak gegabah, paling tidak bekas-kesan yang ditinggalkan tidaklah mendalam. — Anda tak boleh memiliki uang sehingga anda tak dapat pergi ke mana-mana sampai diundang. Anda hidup selibat. Karena anda hidup dari
dana makanan, maka anda pun tidak membunuh binatang. Anda bahkan tidak memetik daun atau bunga atau tindakan apapun yang mengganggu aliran alam dengan cara apapun; anda sepenuhnya tidak berbahaya. Bahkan di Thailand, kami diharuskan untuk membawa saringan air buat menyaring makhluk hidup yang ada dalam air seperti larva nyamuk. Membunuh dengan sengaja sepenuhnya dilarang.
Saya telah hidup di bawah aturan ini selama dua puluh lima tahun, sehingga saya tak melakukan tindakan kamma yang kuat. Di bawah disiplin ini, seseorang hidup dalam cara yang benar-benar tak berbahaya dan bertanggungjawab. Mungkin bagian yang paling sulit adalah ucapan; kebiasaan ucapan adalah yang paling
sulit dihancurkan dan dilepas — tetapi kebiasaan ini bisa diperbaiki. Melalui refleksi dan kontemplasi, seseorang mulai melihat ketidaknyamanannya berbicara apapun
yang konyol atau sekedar ngobrol ataupun bercakap-cakap tanpa alasan yang jelas.Bagi umat awam, Penghidupan Benar adalah sesuatu yang dikembangkan ketika anda mengetahui maksud dari apa yang anda lakukan. Anda dapat mencoba
untuk menghindari dengan sengaja menyakiti makhluk lain atau mencari penghidupan dalam cara yang merusak dan tidak baik. Anda juga bisa menghindari penghidupan yang menyebabkan orang lain menjadi kecanduan pada obat atau minuman atau hal lain yang dapat membahayakan keseimbangan ekologis planet ini.
Jadi ketiga ini – Tindakan Benar, Ucapan Benar dan Penghidupan Benar – berlanjut dari Pengertian Benar atau pemahaman sempurna. Kita mulai merasa bahwa kita ingin hidup dalam cara yang merupakan berkah bagi planet ini,atau paling tidak, tidak mengganggunya.
Pengertian Benar dan Keinginan Benar memiliki pengaruh yang pasti pada apa yang kita lakukan dan katakan. Jadi panna, atau kebijaksanaa, menuju pada sila:
Ucapan Benar, Tindakan Benar dan Penghidupan Benar.
Sila berhubungan dengan ucapan dan tindakan kita; dalam sila dimasukkan pula dorongan seksual atau penggunaan tubuh yang semena-mena — kita tidak memakainya untuk mencuri atau membunuh. Dengan cara ini, panna dan sila
bekerja sama dalam harmoni sempurna.

USAHA BENAR, PERHATIAN-PENUH BENAR, KONSENTRASI BENAR
Usaha Benar, Perhatian-penuh Benar dan Konsentrasi Benar mengacu pada jiwa anda, hati anda. Ketika kita memikirkan jiwa, kita menunjuk pada pusat dada, pada
hati. Jadi kita memiliki panna (kepala), sila (badan) dan samadhi (hati). Anda dapat menggunakan tubuh anda sebagai sejenis diagram, sebagai simbol Jalan Berunsur
Delapan. Ketiganya terintegrasi, bekerja sama untuk realisasi dan saling mendukung seperti sebuah tripod (tumpuan kaki tiga). Tidak ada yang mendominasi yang lain dan mengekspolitasi atau menyingkirkan apapun.
Ketiganya bekerja sama: kebijaksanaan dari Pengertian Benar dan Keinginan Benar; kemudian moralitas, yaitu Ucapan Benar, Tindakan Benar dan Penghidupan Benar; dan Usaha Benar, Perhatian-penuh Benar dan Konsentrasi Benar – pikiran yang tenang seimbang, kedamaian emosional. Kedamaian adalah ketika emosi dalam keadaan seimbang dan saling mendukung.
Emosi tidak bergejolak naik ataupun turun. Ada perasaan kebahagiaan luar-biasa, tentram-damai; ada harmoni sempurna antara intelektual, insting dan emosi. Semuanya bersama-sama mendukung, menolong satu sama lain. Hal-hal tersebut tiada lagi berkonflik atau membawa kita ke ke arah ekstrim, dan karena itu kita mulai merasa kedamaian yang amat sangat dalam pikiran. Ada perasaan santai
dan tanpa-ketakutan yang muncul dari Jalan Berunsur Delapan – sebuah persaan ketenang-seimbangan dan keseimbangan emosional. Kita merasa santai dan bukannya cemas, tertekan dan konflik emosional. Ada kejernihan; ada kedamaian, keheningan, pemahaman. Insight dari Jalan Berunsur Delapan ini harus dikembangkan; inilah bhavana.
Kita menggunakan kata bhavana untuk menandakan perkembangan.

ASPEK-ASPEK MEDITASI
Pikiran yang reflektif atau keseimbangan emosional dikembangkan sebagai hasil dari berlatih meditasi konsentrasi dan perhatian-penuh (mindfulness). Misalnya,
anda dapat mencoba ketika mengikuti retret dan menghabiskan satu jam melakukan meditasi samatha ketika anda hanya mengkonsentrasikan pikiran pada satu objek,misalnya sensasi nafas. Teruslah mempertahankannya dalam kesadaran dan mempertahankannya, sehingga sungguh-sungguh ada kesinambungan kehadiran nafas dalam pikiran.
Dengan cara ini, anda bergerak menuju pada apa yang terjadi dalam tubuh anda daripada dipikat keluar oleh objek-objek indra. Kalau anda tidak memiliki tempat
berlabuh (perlindungan) di-dalam, maka anda akan terus menerus ke-luar, terserap dalam buku, makanan dan segala jenis pengalihan perhatian. Namun, pengembaraan pikiran yang tiada pernah berakhir ini sangatlah meletihkan. Jadi
sebaliknya, latihannya adalah untuk menjadi SATU dengan nafas – yang artinya anda harus menahan atau tidak mengikuti kecenderungan buat selalu mencari sesuatu di-luar diri anda. Anda musti membawa perhatian anda pada pernafasan tubuh anda dan mengkonsentrasikan pikiran pada sensasi itu. Begitu anda melepas wujud yang kasar, anda sebenarnya menjadi perasaan itu, menjadi ciri [Ciri (sign): objek-meditasi samatha adalah suatu “ciri” atau karakter atau sifat;sedang realitas ultimit adalah “tanpa-ciri” atau “kosong [dari ciri]” – ed.
itu sendiri. Ke dalam sesuatu apapun anda tercerap, maka anda bakal menjadi sesuatu tersebut untuk jangka waktu tertentu. Ketika anda benar-benar berkonsentrasi, maka anda benar-benar menjadi keadaan yang sangat tenang
itu sendiri. Anda telah menjadi ketenangan. Inilah yang kita sebut menjadi (becoming). Meditasi Samatha adalah sebuah proses menjadi.
Tapi sayangnya, bila anda menginvestigasinya,ketenangan itu bukanlah ketenangan yang [sungguh] memuaskan. Ada sesuatu yang hilang karena
kebergantungannya pada teknik, karena kemelekatannya dan memegang pada sesuatu yang masih berawal dan berakhir. Menjadi apapun anda, anda hanya bisa
menjadi untuk sementara waktu karena menjadi adalah sesuatu yang berubah. Bukan kondisi yang permanen.
Jadi menjadi apapun anda, maka anda juga akan Tak menjadi lagi. Ini bukanlah realitas ultimit. Setinggi apapun konsentrasi anda, tetap bakalan menjadi kondisi yang tak memuaskan. Meditasi Samatha memang membawa anda ke pengalaman yang sangat tinggi dan membahagiakan— namun itu pun akan berakhir.
Kemudian, bila anda berlatih meditasi vipassana selama satu jam berikutnya dengan hanya mindful dan membiarkan berlalu semuanya dan rela menerima segala ketakpastian (uncertainty), keheningan dan berakhirnya kondisi-kondisi, hasilnya adalah kedamaian (peaceful)— bukannya sekedar ketenangan (tranquil). Kedamaian itu adalah kedamaian sempurna. Lengkap. Bukan ketenangan dari samatha, yang memiliki ketaksempurnaan atau tak memuaskan mengenainya bahkan pada saat terbaiknyapun. Realisasi dari berakhirnya kondisi, semakin
anda mengembangkan dan memahami lebih dan lebih, membawa anda pada kedamaian sejati, ketidakmelekatan — Nibbana.
Jadi samatha dan vipassana adalah dua bagian dalam meditasi. — Samatha mengembangkan keadaan pikiran yang terkonsentrasi pada objek yang halus dimana kesadaran anda menjadi amat halus melalui konsentrasi itu. Namun dikarenakan begitu luar-biasa halusnya, dengan adanya intelek yang tinggi serta selera pada keindahan yang besar, membuat apapun yang kasar menjadi tak
tertahankan karena kemelekatan pada apa-apa yang halus (refined). Orang seperti itu, yang mengabdikan hidup mereka pada penghalusan, hanya akan menemukan hidup sebagai frustasi serta mengerikan manakala mereka tak
lagi mampu mempertahankan standar yang tinggi itu.

RASIONALITAS DAN EMOSI
Bila anda menggemari pikiran rasional serta melekat pada pelbagai ide dan persepsi, maka anda cenderung tak menyukai emosi. Anda bisa memperhatikan
kecenderungan ini; ketika anda mulai merasakan emosi, anda berkata, ‘Saya hendak membungkamnya. Saya tak mau merasakan hal-hal itu.’ Anda tidak suka untuk merasa-kan apapun, karena anda bisa mencapai semacam kegairahan (high) dari kemurnian intelektual serta kenikmatan berpikir rasional. Pikiran itu menggemari keadaannya yang logis dan terkendali, yang masuk akal.
Semuanya begitu bersih dan rapi serta pasti dan akurat seperti matematika — sedangkan emosi itu berceceran,tertebar di segala tempat, bukankah begitu? Emosi itu tidak pasti, tak rapi dan cenderung mudah lepas kendali.
Jadi sifat alami emosi itu acapkali tak disukai. Kita ngeri padanya. Sebagai contoh, pria sering merasa takut pada emosi karena pria dibesarkan untuk percaya bahwa
pria tidak boleh menangis. Sebagai anak lelaki, atau paling tidak pada generasi saya, kami diajari bahwa anak lelaki tidak menangis sehingga kami berusaha mengikuti standar tentang bagaimana seharusnya seorang lelaki berlaku.
Mereka akan berkata, ‘Kamu adalah anak lelaki’, dan kita berusaha untuk menjadi sesuai keinginan orang tua kita.
Ide-ide masyarakat mempengaruhi pikiran kita, dan oleh karena itu kita merasa emosi itu memalukan. Di sini di Inggris, umumnya orang merasa emosi itu memalukan.
Kalau anda menjadi sedikit terlalu emosional, mereka akan menganggap anda orang Italia atau orang bangsa lain.
Apabila anda sangat rasional dan telah memikirkan semuanya, maka anda tidak tahu apa yang mesti dilakukan bila orang menjadi emosional. Jikalau seseorang mulai menangis, anda berpikir, ‘Apa yang mesti saya lakukan?’
Barangkali anda berkata, ‘Eh, senyumlah; semuanya baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja, tidak perlu menangis.’ Bila anda sangat melekat pada pikiran rasional,maka anda cenderung untuk mengesampingkannya dengan logika, tetapi emosi tidak tanggap pada logika.
Sering kali emosi bereaksi pada logika, tetapi mereka tidak tanggap padanya. Emosi adalah sesuatu yang sangat sensitif dan bekerja dengan cara yang terkadang tidak dapat kita pahami. Kalau kita tiada pernah benar-benar mempelajari atau mencoba memahami bagaimana rasanya hidup, dan benar-benar terbuka dan membolehkan diri kita menjadi sensitif, maka hal-hal yang emosional benar-benar menakutkan dan memalukan bagi kita. Kita tidak tahu apa artinya hal-hal itu karena kita sudah menolak sisi diri kita yang itu.
Pada ulang tahun tahun saya yang ketigapuluh, saya menyadari bahwa saya adalah orang yang belum berkembang secara emosional. Ini adalah ulang tahun yang
penting bagi saya. Saya sadar bahwa saya adalah orang yang sudah dewasa, matang — saya tak lagi menganggap diri saya muda, tetapi secara emosional, terkadang saya pikir saya masih berumur enam tahun. Saya benar-benar belum berkembang secara emosional. Walaupun saya dapat mempertahankan keseimbangan dan kehadiran sebagai pria dewasa dalam masyarakat, saya tidaklah
selalu berasa demikian. Saya masih memiliki perasaan tak pasti serta kengerian dalam pikiran. Menjadi semakin jelas bahwa saya musti melakukan sesuatu terhadapnya, karena pemikiran bahwa saya harus menghabiskan sisa hidup ini
dengan usia emosional enam tahun adalah gambaran yang cukup menyedihkan.
Di sinilah banyak orang dalam masyarakat kita mentok. Contohnya, masyarakat Amerika tidak memberikan kesempatan anda untuk berkembang secara emosional, untuk menjadi dewasa. Masyarakat Amerika tidak memahami kebutuhan itu sama sekali,sehingga mereka tidak menyediakan tata cara untuk
melewatinya. Masyarakat tidak menyediakan pengenalan ke dunia dewasa semacam itu. Anda diharapkan untuk tidak dewasa seumur hidup anda.
Anda memang mesti bertindak dewasa, tapi tidaklah menjadi dewasa.
Oleh karena itu, hanya beberapa orang yang menjadi dewasa.
Emosi tidak benar-benar dipahami, tiada terselesaikan — kecenderungan kekanak-kanakannya hanya ditekan dan bukannya dikembangkan menjadi kedewasaan.
Apa yang dilakukan meditasi adalah menawarkan sebuah kesempatan buat menjadi dewasa pada dataran emosional. Kedewasaan emosional yang sempurna akan berupa samma vayama, samma sati dan samma samadhi.
Ini adalah sebuah refleksi; anda takkan menjumpainya di buku manapun — ini untuk anda kontemplasikan.
Kedewasaan emosional yang sempurna terdiri dari Usaha Benar, Perhatian-penuh Benar dan Konsentrasi Benar.
Ketiganya hadir ketika seseorang tiada lagi terperangkap pada fluktuasi dan naik-turunnya emosi, ketika seseorang memiliki keseimbangan dan kejernihan serta mampu menjadi reseptif dan sensitif.

SEMUANYA SEBAGAIMANA ADANYA
Dengan Usaha Benar, akan ada penerimaan (acceptance) yang tenang akan situasi yang ada dan bukannya panik yang timbul dari pemikiran bahwa semuanya bergantung pada saya untuk mengatur agar semua orang lempang, segalanya musti beres serta menyelesaikan masalah semua orang. Kita memang
melakukan yang terbaik, tetapi kita juga menyadari bahwa bukan tergantung kita untuk melakukan semuanya dan membuat semuanya menjadi baik.
Suatu ketika di Wat Pah Pong sewaktu saya masih bersama Ajahn Chah, saya bisa melihat bahwa banyak hal yang berjalan salah di biara. Jadi saya pun menghadap
beliau serta berkata, ‘Ajahn Chah, hal-hal ini berjalan salah; anda harus melakukan sesuatu mengenainya.’ Dia menatap saya sembari berkata, ‘Ooh, engkau sangat menderita, Sumedho. Kau sangat menderita … Itu akan berubah.’ Saya berpikir, ‘Wah, dia tidak peduli! Ini adalah vihara tempat ia mengabdikan hidupnya dan dia cuma membiarkannya rusak!’ — Tetapi beliau ternyata benar. Setelah beberapa
waktu semuanya pun mulai berubah, hanya dengan [sabar] bertahan dengannya, dan orang pun mulai tahu apa yang mereka lakukan. Terkadang kita hanya perlu membiarkan sesuatu hingga terperosok agar orang dapat mengerti dan mengalaminya sendiri. Kemudian kita pun dapat belajar bagaimana agar tak lagi terperosok.
Apakah anda mengerti apa yang saya maksud?
Terkadang situasi dalam hidup kita hanyalah demikian.
Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali membiarkannya; meskipun keadaan bertambah buruk, kita membiarkannya memburuk. Tetapi apa yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang fatalistik atau negatif; ini adalah sejenis kesabaran – kepasrahan untuk bertahan terhadap sesuatu; membiarkannya berubah secara alami daripada dengan egois berusaha buat segera merapikan serta membersihkan segala sesuatu dikarenakan kebencian dan ketidaksukaan kita pada kekacauan.
Di kemudian hari, manakala seseorang memencet“tombol” kita, kita tidak selalu tersinggung, tersakiti atau sedih karena apa yang terjadi, atau bahkan terkoyak
dan remuk karena apa yang orang lain perbuat atau katakan. – Ada seseorang yang saya kenal; ia condong melebih-lebihkan segala sesuatu. Bila ada yang salah hari ini, ia akan berkata, ‘Saya benar-benar hancur total,cilaka!’ – padahal yang terjadi sebenarnya cuma masalah kecil. Namun pikirannya membesar-besarkan sehingga hal yang kecil saja dapat merusak dirinya seharian. Ketika kita memperhatikannya, kita seharusnya sadar bahwa ada ketidakseimbangan yang besar karena hal-hal kecil seharusnya tidak menghancurkan siapapun.
Saya menyadari bahwa saya mudah tersinggung,sehingga saya berikrar untuk tidak tersinggung. Saya memperhatikan bahwa saya mudah tersinggung oleh
hal-hal kecil, baik disengaja atau tidak. Kita dapat melihat betapa mudahnya untuk merasa sakit, terluka, tersinggung,sedih atau cemas — bagaimana sesuatu dalam diri kita selalu berusaha untuk menjadi manis, namun toh selalu merasa sedikit tersinggung karena ini atau sedikit terluka karena itu.
Dengan refleksi, kita dapat melihat bahwa dunia adalah tempat seperti itu; dunia adalah tempat yang sensitif. Dunia takkan selalu menyejukkan anda dan
membuat anda merasa bahagia, aman dan positif. Hidup penuh dengan hal-hal yang dapat menyinggung, menyakiti atau melukai. Inilah hidup. Ya demikianlah adanya. Bila seseorang berbicara dengan nada yang menyerang, anda akan merasakannya. Tetapi kemudian pikiran akan berlanjut dan tersinggung: ‘Oh benar-benar menyakitkan ketika ia mengatakan itu pada saya; anda tahu, nada
bicaranya tidaklah menyenangkan. Saya merasa terluka.
Saya tidak pernah melakukan apapun yang menyakitinya.’
Pikiran itu terus melipat ganda – anda telah dilukai, disakiti atau disinggung! Tetapi bila anda merenung, anda sadar bahwa itu hanya karena sensitifitas.
Ketika anda berkontemplasi dengan cara demikian,bukanlah berarti anda berusaha untuk tidak me-rasa-kan.
Bila seseorang bicara dengan nada yang tak ramah, bukan berarti anda tidak merasakannya sama sekali. Kita bukan berusaha untuk menjadi tak sensitif. Namun, kita hanya berusaha untuk tidak memberikan interpretasi yang salah, untuk tidak menganggapnya sebagai hal pribadi. [Menjadikan sebagai hal pribadi (take it personally): gampang tersinggung,gede-rumangsa, menganggap, mengkait-kaitkan segala sesuatu sebagai problem pribadi – ed.]
Memiliki emosi yang seimbang berarti bahwa orang-orang bisa saja mengatakan hal-hal yang menyinggung dan anda bisa menerimanya. Anda memiliki keseimbangan dan kekuatan emosional untuk tidak tersinggung, terluka atau hancur oleh apa yang terjadi dalam hidup.
Bila anda adalah seseorang yang selalu terluka atau tersinggung oleh hidup, maka anda harus terus melarikan diri dan bersembunyi, atau anda harus mencari
sekelompok penjilat dan hidup bersama mereka, yang akan berkata: ‘Ajahn Sumedho, anda sungguh sangat luar biasa.’ ‘Apakah saya benar-benar luar biasa?’ ‘Ya.’ ‘Ah, anda cuma berbasa-basi bukan?’ ‘Oh tidak, saya benar-benar tulus.’ ‘Tetapi orang di sana tidak menganggap saya luar biasa.’ ‘Dia itu bodoh!’ — ‘Ya, saya juga berpikir demikian’(!) — Kisahnya sama dengan kisah Baju Baru Raja (cerita anak-anak dimana raja telanjang karena dibohongi orang dan tidak ada yang berani memberitahunya) bukan? Anda harus mencari lingkungan khusus sehingga semuanya setuju dengan anda. Lingkungan yang aman dan tidak mengancam dengan cara apapun.

HARMONI
Ketika ada Usaha Benar, Perhatian-penuh Benar dan Konsentrasi Benar, maka seseorang menjadi berani.
Keberanian timbul karena tidak ada yang ditakuti.
Orang memiliki nyali untuk melihat sesuatu dan tidak menganggapnya dalam cara yang salah; seseorang memiliki kebijaksanaan untuk merenung dan merefleksi
hidup; seseorang memiliki rasa-aman dan keyakinan pada sila, yaitu kekuatan komitmen moral seseorang dan tekad buat melakukan yang baik dan pantang melakukan yang tak baik melalui tubuh dan ucapan. Dengan cara ini, semuanya
saling bergabung sebagai jalan menuju perkembangan.
Jalan ini sempurna karena semuanya saling membantu dan menyokong; tubuh, sifat alami emosional (sensitifitas perasaan), serta intelektual. Kesemuanya dalam harmoni yang sempurna, saling menyokong.
Tanpa harmoni ini, insting alami kita dapat menjadi tak terkendali. Bila kita tidak memiliki komitmen moral,maka insting akan mengendalikan kita. Sebagai contoh,
jika kita menuruti nafsu seksual tanpa acuan moralitas apapun, maka kita dapat terperangkap dalam segala hal yang dapat menyebabkan kebencian pada diri sendiri. Ada perselingkuhan, berganti-ganti pasangan, penyakit, serta semua gangguan dan kebingungan yang timbul dari tidak mengendalikan insting alami kita dengan batasan-batasan moral.
Kita dapat menggunakan intelektual kita buat menipu dan berbohong, bukan? tetapi ketika kita memiliki landasan moral, kita dibimbing oleh kebijaksanaan dan
samadhi, yang menuju pada keseimbangan dan kekuatan emosional. Tetapi kita tidak menggunakan kebijaksanaan untuk menekan sensitifitas. Kita tidak mendominasi emosi kita dengan memikirkan dan menekan emosi alami kita.
 Inilah yang cenderung dilakukan orang Barat;kita menggunakan pikiran rasional dan idealisme untuk mendominasi dan menekan emosi, sehingga menjadi tidak
sensitif terhadap segala sesuatu, terhadap hidup dan diri sendiri.
Namun, dalam latihan perhatian-penuh melalui meditasi vipassana, pikiran menjadi reseptif dan terbuka sepenuhnya sehingga pikiran memiliki kualitas kepenuhan dan mampu menerima semua. Dan karena pikiran terbuka,
maka ia juga reflektif. Ketika anda berkonsentrasi pada satu titik, pikiran tidak lagi reflektif — pikiran menjadi terserap dalam kualitas objek itu. Kemampuan reflektif
pikiran muncul melalui perhatian-penuh (mindfulness),kepenuhan-pikiran (whole-mindedness). Anda tidak menyaring atau memilih. Anda hanya mencatat bahwa
apapun yang berawal, — berakhir. Anda kontemplasikan bahwa bila anda melekat pada apapun yang berawal, ia bakal berakhir. Anda mengalami bahwa walaupun sesuatu mungkin menarik saat berawal, namun itupun berubah menuju pengakhiran. Kemudian rasa ketertarikan itu memudar dan kita harus menemukan hal lain lagi buat terserap di dalamnya.
Masalahnya mengenai manusia adalah kita harus menyentuh bumi, kita harus menerima batasan dari bentuk manusia dan kehidupan planet ini. Kemudian dengan hanya melakukan itu, maka jalan keluar dari penderitaan bukan hanya melalui keluar dari pengalaman manusia dengan hidup dalam keadaan kesadaran yang sangat halus, tetapi dengan menerima totalitas semua alam manusia dan Brahma melalui perhatian-penuh. Dengan cara ini, Sang Buddha menunjuk pada realisasi total dan bukannya pelarian diri sementara melalui penghalusan dan kecantikan. Inilah yang dimaksud Sang Buddha ketika beliau menunjukkan jalan ke Nibbana.

JALAN BERUNSUR DELAPAN SEBAGAI AJARAN REFLEKTIF
Dalam Jalan Berunsur Delapan, kedelapan elemen bekerja seperti delapan kaki yang menyokong anda.Kedelapan elemen itu bukan bekerja seperti: 1, 2, 3, 4, 5, 6,
7, 8 pada skala linear. Kedelapan elemen bekerja bersama-sama.
Anda tidak mengembangkan panna dulu dan baru ketika anda memiliki panna, anda mengembangkan sila,dan ketika sila sudah dikembangkan, baru anda memiliki samadhi. Bukankan ini yang kita pikirkan: ‘Anda harus punya satu, kemudian dua, kemudian tiga.’ Sebagai realisasi yang aktual, pengembangan Jalan Berunsur Delapan adalah pengalaman dalam satu saat, semuanya adalah
satu. Semua bagian bekerja sebagai satu pengembangan yang kuat; proses ini tidaklah linear — kita mungkin berpikir demikian karena kita hanya bisa memiliki satu pemikiran pada satu saat.
Semua yang telah saya katakan mengenai Jalan Berunsur Delapan dan Empat Kebenaran Arya hanyalah refleksi. Yang terpenting adalah anda merealisasi apa
yang secara aktual saya kerjakan ketika saya merefleksi daripada berusaha memegang apa yang saya katakan. Ini adalah proses yang membawa Jalan Berunsur Delapan merasuk ke dalam benak anda, menggunakannya sebagai
ajaran reflektif sehingga anda dapat mengetahui maksud sebenarnya. — Janganlah merasa tahu hanya karena mampu mengucapkan, ‘Samma ditthi berarti Pengertian Benar. Samma sankappa berarti Pemikiran Benar.’ Ini adalah
pemahaman intelektual. Seseorang mungkin berkata, ‘Oh tidak, menurut saya samma sankappa berarti. . . .’ Dan anda menjawab, ‘Bukan, bukan, dalam buku dikatakan sebagai Pemikiran Benar. Anda salah mengerti.’ — Ini bukanlah
refleksi.Kita bisa saja menerjemahkan samma sankappa sebagai Pemikiran atau Sikap atau Niat Benar; kita bisa menjajal dari pelbagai segi. Kita boleh menggunakannya sebagai alat untuk perenungan, daripada berpikir bahwa
artinya mutlak-tetap serta harus diterima secara ortodox, yaitu bahwa semua variasi dari interpretasi yang persis adalah tak layak. Terkadang kita berpikir dengan cara yang kaku itu, tetapi kita berusaha melampaui cara berpikir itu
dengan mengembangkan pikiran yang keliling mengitar,melihat, menyelidiki, mempertimbangkan, bertanya-tanya dan merefleksi.
Saya berusaha mendorong anda agar lebih berani untuk mempertimbangkan dengan bijaksana mengenai bagaimana seharusnya sesuatu, daripada menunggu
ada orang yang memberitahu kapan anda siap untuk pencerahan. Tetapi sebenarnya, ajaran Sang Buddha adalah untuk tercerahkan sekarang juga daripada melakukan sesuatu untuk menjadi tercerahkan. Ide bahwa anda harus melakukan sesuatu untuk menjadi tercerahkan hanya dapat timbul dari pengertian salah. Bila demikian maka pencerahan hanyalah kondisi lain yang tergantung pada hal lain – jadi itu bukanlah pencerahan yang sebenarnya.
Ini hanyalah persepsi akan pencerahan. Namun, saya bukan berkata mengenai persepsi apapun melainkan mengenai menjadi awas (alert) terhadap bagaimana
segala sesuatu apa adanya. “Saat ini” adalah yang bisa kita amati secara nyata: kita belum bisa mengamati “esok”, dan kita pun hanya dapat mengingat hari kemarin. Latihan Buddhisme adalah sangat langsung, yakni: “saat ini” dan
“di sini”, melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.
Sekarang bagaimana kita melakukannya? Ya, pertama-tama kita mesti melihat keraguan dan ketakutan-ketakutan kita — karena kita begitu melekat pada
pandangan-pandangan dan opini sehingga membuat kita bimbang terhadap apa yang kita lakukan. Seseorang mungkin mengembangkan keyakinan yang salah
dengan mempercayai bahwa mereka telah tercerahkan.
Tetapi mempercayai bahwa anda tercerahkan atau tidak tercerahkan, keduanya adalah khayalan. Apa yang saya maksud adalah menjadi tercerahkan daripada Cuma mempercayainya. Dan untuk itu, kita perlu terbuka terhadap segala sesuatu sebagaimana adanya.
Kita mulai dengan segala sesuatu sebagaimana adanya saat ini – seperti pernafasan tubuh kita. Apa hubungan itu dengan Kebenaran, dengan pencerahan?
Apakah maksudnya dengan mengamati nafas maka saya tercerahkan? Tetapi semakin anda mencoba memikir-mikir dan mengira-ngira apa itu sebenarnya, anda merasa semakin tak pasti dan tak aman. Apa yang bisa kita lakukan dalam bentuk yang konvensional ini hanyalah melepas,membiarkan khayalan-khayalan (delusions) pergi berlalu.
Inilah latihan Empat Kebenaran Ariya dan pengembangan Jalan Berunsur Delapan.

Sabtu, 19 Mei 2012

Empat Kebenaran Mulia - KEBENARAN ARIYA KETIGA



KEBENARAN ARIYA KETIGA
Apakah Kebenaran Ariya mengenai Berakhirnya Penderitaan?
Kebenaran Ariya ini adalah luruh tanpa sisa dan berakhirnya kecanduan (tanha) yang sama itu;penolakan, penyerahan, peninggalan dan pelepasannya.
Tetapi bagaimanakah keserakahan ditinggalkan dan diakhiri?
Kapanpun timbul sesuatu yang tampaknya menarik dan menguntungkan, maka ditinggalkan dan diakhiri. Inilah Kebenaran Ariya mengenai Berakhirnya Penderitaan: demikianlah pandangan, pengetahuan,kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar
sebelumnya. Kebenaran Ariya ini harus ditembus dengan mencapai Berakhirnya Penderitaan . . . . Kebenaran Ariya ini telah ditembus dengan mencapai Berakhirnya
Penderitaan: demikianlah pandangan, pengetahuan,kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar
sebelumnya. [Samyutta Nikaya LVI, 11]
Kebenaran Ariya Ketiga dengan ketiga aspeknya adalah: ‘Ada berakhirnya penderitaan, dukkha. Berakhirnya dukkha harus dicapai. Berakhirnya dukkha telah dicapai.’
Tujuan ajaran Buddhisme adalah untuk mengembangkan pikiran reflektif agar dapat melepas delusi-delusi (pemikiran salah). Empat Kebenaran Ariya adalah sebuah ajaran mengenai melepas dengan cara menyelidiki atau melihat kedalam — mengkontemplasikan:‘Mengapa ini begini? Mengapa demikian?’ Sungguh baik untuk merenung tentang hal-hal seperti mengapa para bhikkhu mencukur rambutnya dan mengapa patung Buddha berbentuk demikian. — Kita kontemplasikan . .. . pikiran tidak membentuk pendapat yang baik, buruk, berguna atau tidak berguna. Pikiran sebenarnya terbuka dan mempertimbangkan, ‘Apakah arti dari ini? Mewakili apakah para bhikkhu itu? Mengapa mereka membawa mangkuk sedekah? Mengapa mereka tidak boleh memiliki uang? Mengapa mereka tak boleh bercocok tanam untuk makanan mereka sendiri?’
 Kita merenungkan bagaimana cara hidup ini telah mempertahankan tradisi
dan membuatnya dapat diwariskan dari penemu awalnya,Sang Buddha Gotama, sampai saat ini. Kita merefleksi tatkala kita melihat penderitaan, sifat sejati nafsu-keinginan dan ketika kita mengenali bahwa kemelekatan pada nafsu-keinginan adalah penderitaan.
Maka kita memiliki pengetahuan-kebijaksanaan (insight) untuk membiarkan sang nafsu berlalu serta merealisasi ketidak-menderitaan — berakhirnya penderitaan.
Pengetahuan ini hanya dapat timbul melalui refleksi,bukan melalui sekedar percaya. Anda tidak dapat membuat diri anda yakin atau merealisasi kebijaksanaan dengan sengaja. Dengan benar-benar merenung dan memikirkan kebenaran inilah maka pengetahuan timbul dalam diri anda. Kebijaksanaan ini timbul hanya melalui pikiran yang terbuka dan siap menerima ajaran. Percaya membuta jelas tidak disarankan atau diharapkan dari siapapun.
Sebaliknya, pikiran harus siap menerima, meneliti dan mempertimbangkan.
Keadaan mental ini sangat penting — inilah jalan keluar dari penderitaan.
 Ini bukanlah pikiran yang berpandangan kaku dan penuh prasangka serta merasa
mengetahui segalanya atau yang gampang-gampang menerima omongan orang sebagai kebenaran. Ini adalah pikiran yang terbuka terhadap Empat Kebenaran Ariya —yang dapat berefleksi terhadap sesuatu yang bisa kita lihat dalam pikiran kita.Orang jarang merealisasi ketidak-menderitaan karena dibutuhkan tekad istimewa buat merenung,menyelidiki dan melampaui yang kasar dan [yang seakan
sudah] jelas. Dibutuhkan kemauan untuk benar-benar melihat reaksi-reaksi anda sendiri, untuk mampu melihat kemelekatan serta merenung: ‘Seperti apakah rasanya kemelekatan?’
Contohnya, apakah anda merasa senang atau terbebaskan dengan melekat pada nafsu-keinginan?
Apakah meringankan atau justru menekan? Pertanyaan ini musti anda selidiki. Bila anda menemukan bahwa dengan melekat pada nafsu-keinginan anda merasa terbebaskan, maka lakukan saja itu. Melekatlah pada semua nafsukeinginan anda dan lihatlah hasilnya.
Dalam praktik saya, saya telah menyaksikan bahwa kemelekatan pada nafsu- keinginan adalah penderitaan. Tiada keraguan mengenainya. Saya bisa melihat banyaknya penderitaan dalam hidup saya disebabkan oleh kemelekatan pada benda-benda material,ide, sikap-batin atau kekhawatiran. Saya dapat melihat
semua jenis kesengsaraan yang tak perlu yang sudah saya timbulkan sendiri melalui kemelekatan hanya karena ketidak-mengertian saya. Saya dibesarkan di Amerika, tanah kebebasan. Tanah yang menjanjikan hak untuk bahagia, tetapi sebenarnya yang ditawarkan hanyalah hak untuk melekat pada apapun (!). Amerika mendorong orang untuk berusaha sebahagia mungkin dengan cara mendapatkan barang-barang. Namun demikian, bila anda berlatih dengan Empat Kebenaran ArIya, kemelekatan adalah untuk dipahami dan direnungkan, sehingga insight
mengenai ketidak-melekatan timbul. Pengetahuan ini bukanlah pendirian intelektual atau perintah dari otak anda yang mengatakan anda seharusnya tidak melekat; ini pengetahuan alami dari ketidak-melekatan atau ketidakmenderitaan.

KEBENARAN KETIDAK-PERMANENAN
Di sini, di Amaravati, kami melantunkan Dhammacakkappavattana Sutta dalam bentuk tradisional. Ketika Sang Buddha memberikan kotbah mengenai Empat
Kebenaran Ariya ini, hanya satu dari kelima muridnya yang sungguh mengerti. Hanya seorang yang memperoleh insight yang mendalam. Keempat murid lain Cuma sekadar menyukainya dan berpikir ‘Sungguh suatu ajaran yang bagus.’ Tetapi hanya satu dari kelima murid, yakni: Kondanna, yang memiliki pemahaman sempurna atas perkataan Sang Buddha.
Para dewa juga ikut mendengarkan kotbah itu.
Para dewa adalah makhluk surgawi, makhluk halus yang jauh lebih super dibanding kita. Mereka tidak memiliki badan kasar seperti kita. Mereka memiliki badan halus dan juga cantik, indah dan cerdas. Walaupun mereka gembira manakala mendengar kotbah itu, tak ada satupun dari mereka yang tercerahkan.
Dikatakan bahwa para dewa menjadi sangat berbahagia atas pencerahan Sang Buddha dan mereka pun berseru gembira hingga ke surga-surga ketika mendengar ajarannya. Pada mulanya, dewa pada lapis surga pertama mendengarnya, kemudian berteriak ke lapisan di atasnya, demikian seterusnya sampai pada akhirnya semua dewa ikut bergembira — hingga sampai ke alam tertinggi, yaitu alam Brahma. Seruan kegembiraan terdengar berulang-ulang
dikarenakan berputarnya Roda Dhamma dan para dewa serta brahma ikut bergembira karenanya. Namun hanya Kondannya, salah satu dari kelima murid, yang bisa tercerahkan ketika mendengar kotbah ini. Pada akhir sutta
ini, Sang Buddha memanggilnya ‘Annya Kondannya’. ‘Annya’ berarti pengetahuan mendalam. Jadi ‘Annya Kondannya’ berarti ‘Kondannya yang Mengetahui.’Apakah yang diketahui Kondannya? Insight apakah yang dicapainya sehingga Sang Buddha memujinya di akhir kotbah? Pengetahuan itu adalah:
‘Segalanya yang mengalami kemunculan bakal mengalami penghentian. [“All that is subject to arising is subject to ceasing”]
Pengetahuan ini mungkin tidak tampak sebagai pengetahuan yang luar biasa tetapi sebenarnya pengetahuan ini menyiratkan pola yang universal: semua
yang berawal akan berakhir; Semuanya tak-kekal dan bukan diri. . . . Jadi janganlah melekat, jangan dibohongi oleh apa yang muncul dan lenyap. Oleh karena itu janganlah mencari perlindungan, dimana anda ingin tinggal dan percayai, dalam apapun yang berawal — karena itupun akan berakhir.
Bila anda ingin menderita dan menyia-nyiakan hidup anda, maka carilah hal-hal yang berawal. Itu akan membawa anda pada akhirnya, pada lenyapnya, dan anda
tidak akan bertambah bijaksana karenanya. Anda Cuma bakal berputar-putar mengulangi kebiasaan lama yang menyedihkan dan ketika anda meninggal, anda tidak mempelajari apapun yang penting dari hidup anda.
Jangan cuma memikir-mikirkannya, tapi benar-benar renungkanlah: ‘Semua yang muncul akan berlalu.’
Gunakan ini pada hidup, pada pengalaman anda sendiri, maka anda akan paham. Perhatikan saja: awal . . . akhir.
Renungkan sesuatu sebagaimana adanya. Alam indria ini segalanya adalah mengenai timbul dan lenyap, awal dan akhir. Pengertian sempurna, samma ditthi, dalam kehidupan ini adalah mungkin. Saya tidak tahu berapa lama Y.M. Kondannya hidup setelah kotbah itu, tetapi beliau tercerahkan pada saat itu. Pada saat itu, beliau memiliki pemahaman sempurna.
Saya ingin menekank an pentingnya mengembangkan cara berefleksi demikian. Daripada hanya mengembangkan cara mengheningkan pikiran, yang tentu saja merupakan bagian dari latihan, perhatikanlah dengan seksama bahwa meditasi yang benar adalah komitmen pada investigasi yang bijak. Meditasi yang benar
melibatkan usaha yang berani untuk melihat ke kedalaman segala sesuatu, dan tidak hanya menganalisa diri sendiri dan membuat penilaian sebab penderitaan anda pada tingkatan pribadi, tetapi bertekad untuk mengikuti jalan dengan tulus sampai anda mencapai pemahaman yang sungguh mendalam. Pemahaman semacam ini didasarkan pada pola timbul dan tenggelam, berawal dan berakhir.
Ketika hukum ini dimengerti, semuanya terlihat mengikuti pola tersebut.
‘Semua yang berawal akan berakhir’ bukanlah ajaran metafisik. Ajaran ini bukanlah mengenai realitas ultimit — realitas keabadian; tetapi bila anda memahami dengan mendalam dan mengetahui bahwa semua yang berawal akan berakhir, maka anda akan merealisasi realitas ultimit, yang tanpa kematian, kebenaran abadi. Inilah cara yang cerdik menuju realitas tertinggi. Perhatikan
bedanya: pernyataan itu bukanlah pernyataan metafisik tetapi pernyataan yang membawa kita pada pencapaian (realisasi) metafisik.

KEFANAAN DAN BERAKHIRNYA PENDERITAAN
Dengan refleksi atas Kebenaran Ariya, kita membawa masalah utama eksistensi manusia ini hadir ke ruang kesadaran. Kita melihat perasaan terasingkan dan kemelekatan membuta pada kesadaran indria,kemelekatan pada apa yang terpisah dari dan hadir dalam kesadaran. Kita melekat pada nafsu-keinginan akan nafsu indria dikarenakan kebodohan batin. Ketika kita mengidentifikasi diri dengan apa yang fana atau dibatasi kematian, dan dengan yang tak-memuaskan, kemelekatan
seperti itulah penderitaan.
Kenikmatan indria adalah kenikmatan yang fana.Apapun yang kita lihat, dengar, sentuh, cicip, pikir atau rasa adalah fana – dibatasi kematian. Jadi ketika kita melekat pada indria-indria yang fana, kita melekat pada kematian.
Bila kita tidak merenungkan atau memahaminya, kita hanya melekat secara membuta pada kefanaan, berharap bahwa kita dapat menundanya sebentar. Kita bersikap seakan-akan bisa bakal sungguh bahagia dengan hal-hal yang kita lekati – yang pada akhirnya hanya untuk merasakan dibohongi, putus-asa, serta kecewa. Kita mungkin bisa saja berhasil menjadi apa yang kita mau, tapi itupun fana.
Kita melekat pada kondisi lain yang juga dibatasi kematian.
Kemudian dengan nafsu-keinginan untuk mati, kita dapat melekat pada bunuh diri atau pemusnahan — namun kematian itu sendiri sebenarnya juga cuma merupakan kondisi lain yang dibatasi kematian. Apapun yang kita lekati dari tiga macam nafsu-keinginan, berarti kita melekat pada kematian — kita bakal mengalami kekecewaan atau keputus-asaan.
Kematian pikiran adalah keputus-asaan. Depresi adalah sejenis pengalaman matinya pikiran. Seperti halnya tubuh mengalami kematian fisik, demikian pula
pikiran yang mati. Keadaan dan kondisi mental dapat mati;kita menyebutnya keputus-asaan, kebosanan, depresi,dan kesedihan. Setiap kali kita melekat, kita mengalami kebosanan, keputus-asaan, dan kesedihan, maka kita cenderung mencari kondisi fana lain yang berawal.
Contohnya, anda merasa putus-asa dan berpikir, ‘Saya mau sepotong kue coklat.’ Maka anda pergi mencarinya.Untuk sementara anda dapat tenggelam dalam rasa kue coklat yang manis, lezat. Pada saat itu ada ‘menjadi’ — anda
sebenarnya menjadi rasa coklat, lezat dan manis! Tetapi anda tidak dapat bertahan lama pada rasa itu. Ketika anda menelannya, apa yang tersisa? Kemudian anda harus pergi dan melakukan hal lain. Inilah ‘menjadi’ (becoming).
Kita dibutakan, terperangkap dalam proses ‘menjadi’ pada dataran indria. Tetapi melalui pengetahuan tentang nafsu-keinginan tanpa menilai cantik atau buruknya dataran indria, kita dapat melihat nafsu-keinginan sebagaimana adanya. Ada ‘mengetahui.’ Kemudian dengan meletakkannya, nafsu-keinginan ini, ke samping, daripada memegangnya, kita mengalami nirodha — berakhirnya
penderitaan. Inilah Kebenaran Ariya Ketiga yang harus kita realisasi untuk diri sendiri. Kita merenungkan berakhirnya penderitaan. Kita berkata ‘ada berakhirnya penderitaan’,dan kita tahu sesuatu telah berakhir atau berhenti.

MENGIJINKAN PELBAGAI HAL UNTUK TIMBUL
Sebelum anda dapat melepas sesuatu, anda harus mengakuinya dengan kesadaran penuh. Dalam meditasi,kita berusaha secara trampil mengijinkan bawah sadar
untuk hadir dalam kesadaran. Semua keputus-asaan,ketakutan, kesedihan, ketertekanan, dan kemarahan diijinkan untuk sadar. Ada sebuah kecenderungan dalam diri tiap orang untuk memegang idealisme yang muluk.
Kita dapat menjadi sangat kecewa dengan diri sendiri karena terkadang merasa bahwa kita tidaklah sebaik yang seharusnya atau kita mestinya tidak merasa marah –pokoknya semua yang “harus” dan “tidak harus”. Kemudian kita pun menciptakan nafsu-keinginan buat menyingkirkan hal-hal yang buruk — dan nafsu-keinginan ini mempunyai kualitas yang bajik. – Tampaknya memang baik untuk menyingkirkan pikiran-pikiran buruk, kemarahan dan cemburu karena orang-baik ‘tidak boleh seperti itu.’ Maka, kita pun menciptakan rasa bersalah …
Dengan merefleksikannya, kita membawa ke dalam ruang kesadaran nafsu untuk menjadi ideal dan nafsu buat menyingkirkan hal-hal yang buruk.
Dengan melakukannya, kita dapat membiarkannya berlalu — jadi daripada berusaha menjadi orang yang sempurna, anda melepas nafsu-keinginan ini.
Apa yang tersisa adalah pikiran murni. Tidak perlu menjadi orang yang sempurna
karena pikiran-murni adalah tempat dimana orang yang sempurna berawal dan berakhir.Berakhirnya penderitaan mudah dimengerti pada tingkat intelektual, tetapi untuk merealisasinya cukup sulit karena menyangkut tinggal dengan apa yang kita pikir taktertahankan. Contohnya, ketika saya pertama kali bermeditasi, saya mengira bahwa meditasi akan membuat saya jadi lebih baik-hati dan bahagia dan saya mengharapkan pengalaman keadaan pikiran yang sangat berbahagia. Namun selama dua bulan pertama, ternyata saya mengalami begitu banyak kebencian dan kemarahan yang selamanya belum pernah saya rasakan dalam hidup ini. Saya berpikir, ‘Ini sungguh-sungguh buruk. Meditasi membuat saya bertambah jelek.’ Tetapi kemudian saya merenungkan mengapa begitu banyak kebencian dan kemarahan yang muncul, dan saya sadar bahwa di kebanyakan hidup saya adalah merupakan usaha untuk selalu melarikan diri dari semua itu. Saya dulunya seorang kutu buku. Saya harus membawa buku-buku kemanapun
saya pergi. Setiap kali kecemasan atau kebencian merayap masuk, saya akan membuka buku dan membaca; atau saya akan merokok atau mengudap.
Saya memiliki citra tentang diri saya sendiri sebagai seorang yang baik hati
dan tidak membenci orang, sehingga setiap tanda-tanda kejengkelan atau kebencian akan ditekan.
Inilah sebabnya selama bulan-bulan awal sebagai bhikkhu, saya bersusah-payah repot mencari sesuatu untuk dikerjakan. Saya berusaha mencari sesuatu untuk
mengalihkan perhatian, karena dalam meditasi saya mulai teringat dengan jelas semua hal yang tadinya berusaha saya lupakan. Ingatan-ingatan dari masa kecil
dan remaja terus bermunculan dalam pikiran; kemudian kemarahan dan kebencian ini menjadi begitu terasa sehingga membuat saya benar-benar kewalahan.
 Tetapi ada sesuatu dalam diri saya mulai mengenali bahwa saya musti tahan menghadapi semua ini, sehingga saya terus bertahan. Semua kebencian dan kemarahan yang telah tertekan selama tigapuluh tahun memuncak pada saat
itu, kemudian terbakar dan lenyap melalui meditasi. Itu adalah proses pemurnian.
Agar proses-penghentian ini berjalan baik, kita mesti bersedia untuk menderita. Oleh karena itu saya menekankan pentingnya kesabaran. Kita harus membuka pikiran pada penderitaan karena dengan merangkulnyalah maka ia akan lenyap. Manakala kita menemukan bahwa kita sedang menderita, baik fisik maupun mental, maka kita justru mendatangi langsung penderitaan riil yang sedang hadir
tersebut. Kita terbuka sepenuhnya terhadap penderitaan,menerimanya, berkonsentrasi padanya, membiarkannya untuk menjadi sebagaimana adanya. Artinya kita mesti bersabar dan menghadapi ketidaknyamanan dari suatu
kondisi. Kita harus bertahan pada kebosanan, keputusasaan, kebimbangan, kecemasan dan ketakutan agar bisa memahami berakhirnya penderitaan daripada cuma selalu melarikan diri darinya.
Selama kita tidak mengijinkan sesuatu berakhir,maka kita hanya menciptakan kamma baru yang justru memperkuat kebiasaan-buruk kita. Ketika sesuatu
timbul, kita menggenggam serta melipatgandakannya;dan segalanya bertambah rumit. Kemudian semua ini akan diulang dan diulang dalam semua kehidupan kita
— tak bisa caranya kita berputar-putar menuruti segala nafsu-keinginan serta ketakutan, dan kemudian berharap mampu merealisasi kedamaian.
Kita mengkontemplasikan ketakutan dan nafsu-keinginan sehingga tidak akan
membohongi kita lagi: kita harus mengetahui apa yang membohongi kita sebelum kita dapat melepasnya. Nafsukeinginan dan ketakutan harus dipahami sebagai tak-kekal,tak-memuaskan, dan bukan diri. Keduanya dilihat dan ditembus sehingga penderitaan dapat terbakar habis dengan sendirinya.
Sangat penting untuk membedakan antara“berakhirnya” (cessation) dengan “pemusnahan”(annihilation) — yakni nafsu untuk menyingkirkan sesuatu.
Berakhirnya adalah akhir alami dari segala kondisi apapun yang muncul.
 Jadi ini bukan nafsu-keinginan! Berakhirnya bukanlah sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran melainkan akhir dari sebuah awal, kematian dari yang terlahir.
Oleh karena itu berakhirnya bukan-diri — ini tidak datang dari perasaan ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu,’tetapi adalah tatkala kita membiarkan apa yang muncul untuk lenyap. Untuk melakukannya maka kemelekatan harus ditinggalkan – dibiarkan berlalu. Meninggalkan bukan berarti menolak atau membuangnya melainkan sekedar melepas membiarkannya berlalu.
Kemudian ketika kemelekatan atau kecanduan (craving) lenyap, anda mengalami nirodha – berakhirnya, kekosongan, ketidak-melekatan. — Nirodha adalah kata
lain dari Nibbana. Ketika anda telah melepas sesuatu dan membiarkannya lenyap, maka yang tersisa adalah kedamaian.
Anda dapat mengalami kedamaian itu melalui meditasi anda. Ketika anda telah membiarkan nafsukeinginan berakhir dalam pikiran, dan yang tersisa adalah
suatu kedamaian yang luar biasa. Inilah kedamaian sejati, Keabadian (the Deathless). Ketika anda benar-benar mengetahui sebagaimana adanya, anda mewujudnyatakan nirodha sacca, Kebenaran akan Berakhirnya, dimana tiadadiri
namun tetap ada kewaspadaan dan kejernihan. Arti kebahagian luar biasa sebenarnya adalah kedamaian,kesadaran transendental.
Bila kita tidak mengijinkan berakhirnya, maka kita cenderung bertindak berdasarkan asumsi-asumsi yang kita buat mengenai diri sendiri tanpa tahu apa yang sesungguhnya kita lakukan. Terkadang kita sendiri tidak menyadari sampai kita mulai berlatih meditasi bahwa ternyata ada banyak ketakutan dan rasa kurang percaya diri dalam hidup kita berasal dari pengalaman masa kecil.
Saya ingat semasa kecil mempunyai seorang sahabat karib yang berbalik memusuhi serta menampik saya. Sehabis itu saya merana selama berbulan-bulan. Kejadian itu begitu membekas dalam pikiran. Kemudian melalui meditasi
saya sadar bahwa kejadian kecil seperti itu saja seterusnya mempengaruhi hubungan saya dengan orang lain — saya selalu memiliki ketakutan besar pada penolakan (rejection).
Saya bahkan tak pernah memikirkan hal itu sampai ingatan itu terus muncul dalam kesadaran saya saat meditasi. Pikiran yang rasional tahu bahwa menggelikan untuk
terus memikirkan tragedy-tragedi masa kecil. Tetapi bila ingatan-ingatan itu terus timbul saat anda sudah separuh baya, mungkin hal tersebut hanya berusaha mengingatkan anda mengenai asumsi-asumsi yang terbentuk saat anda masih kecil.Manakala anda mulai merasakan munculnya memori-memori atau ketakutan obsesif dalam meditasi,daripada menjadi frustasi atau kesal, lihatlah itu sebagai
sesuatu yang harus diterima dalam kesadaran sehingga anda dapat melepasnya (let them go). — Anda memang bisa saja mengatur kehidupan sehari-hari sedemikian rupa sehingga anda tidak pernah lagi melihat hal-hal ini (endapan memori, ketakutan-ketakutan obsesif anda dsb.);kemudian kondisi-kondisi yang memicunya pun dapat minimal. Barangkali bisa dengan cara membenamkan diri
pada pelbagai aktifitas ‘perjuangan’ penting dan disibukkan olehnya; sehingga kecemasan serta ketakutan-ketakutan tanpa nama ini tiada pernah tampil menjadi sadar – namun apa yang terjadi bilamana anda mampu melepasnya?
Nafsu-keinginan atau obsesi itu bergerak — bergerak ke arah pelenyapan. Berakhir. — Kemudian anda pun bakal memiliki insight bahwa: inilah lenyapnya nafsu-keinginan (there is the cessation of desire). Jadi aspek ketiga dari
Kebenaran Ariya Ketiga adalah: berakhirnya [penderitaan] telah direalisasi.

REALISASI
Pelenyapan harus diwujudnyatakan. Sang Buddha berkata dengan empatik: ‘Ini adalah kebenaran yang musti direalisasi di sini dan sekarang.’ Kita tidak harus menunggu sampai kita mati untuk mengetahui benar tidaknya — ajaran ini adalah buat manusia hidup seperti kita. Setiap orang musti mewujudnyatakannya. Saya mungkin dapat saja memberitahu dan mendorong anda tetapi saya toh tidak dapat membuat anda merealisasikannya!
Jangan memikirkannya sebagai sesuatu yang amat jauh atau di luar jangkauan. Ketika kita membicarakan Dhamma atau Kebenaran, kita mengatakannya di sini dan sekarang, dan sesuatu yang dapat kita lihat sendiri. Kita dapat berlindung dalamnya; kita dapat bersandar pada Kebenaran. Kita dapat memperhatikannya sebagaimana adanya, di sini dan sekarang, saat ini dan di sini juga.
 Inilah perhatian-penuh (mindfulness) — yaitu waspada dan memperhatikan sesuatu sebagaimana adanya. Melalui perhatian penuh, kita menyelidiki perasaan keakuan,perasaan aku dan milikku: badanku, perasaanku, ingatan-ingatanku,
pikiranku, pandanganku, pendapatku, rumahku,mobilku, dan sebagainya.
Kecenderungan diri saya adalah rendah diri.Contohnya, dengan pikiran :’Saya adalah Sumedho,’ maka saya akan berpikir negatif: ‘Saya orang yang tidak berguna.’
Tetapi dengar, darimanakah itu muncul dan dimanakah itu berakhir? . . . atau, ‘Saya lebih baik dari anda, saya memiliki pencapaian yang lebih tinggi. Saya telah menjalani kehidupan suci lebih lama, berarti saya lebih baik dari anda semua!’ Darimanakah ITU ber-awal dan ber-akhir?
Ketika ada arogansi, kesombongan atau rendah diri— apapun itu — amatilah; dengarlah ke dalam batin: ‘Saya adalah . . . .’ Waspada dan perhatikanlah pada ruang [sela] itu sebelum anda memikirkannya; kemudian pikirkanlah
dan perhatikan ruang [sela] yang muncul. Pertahankan perhatian anda pada kekosongan di akhir dan seberapa lama anda dapat memertahankan perhatian itu. Coba lihat apakah anda dapat mendengar sejenis suara bordering dalam pikiran, suara kesunyian, suara awal. Ketika anda memusatkan perhatian padanya, anda dapat merefleksi:‘Apakah ada rasa keakuan?’ (!) Anda melihat bahwa tatkala anda benar-benar kosong — tatkala yang ada hanya kejernihan, kewaspadaan, perhatian — maka tiada keakuan. Tidak ada perasaan aku dan milikku. Jadi saya
menuju keadaan kosong itu dan merenungkan Dhamma: saya berpikir, ‘Inilah sebagaimana adanya. Tubuh ini hanyalah demikian.’ Sekarang saya bisa memberinya nama atau tidak, tetapi demikianlah apa adanya. Ini bukanlah
Sumedho! [Bahkan] tidak ada [yang namanya] bhikkhu dalam kekosongan. ‘Bhikkhu’ hanyalah sebuah kesepakatan yang sesuai pada suatu waktu dan tempat tertentu. Ketika seseorang memuji anda dan berkata, ‘Hebat’, anda dapat mengetahuinya hanya sebagai seseorang memberikan pujian tanpa menganggapnya untuk diri-anda (taking it personally). Anda tahu bahwa sebenarnya tiada bhikkhu di sana; hanya apa adanya. Demikian apa adanya.
Bila saya ingin Amaravati sukses dan itu terjadi, maka saya gembira. Namun bagaimana jika gagal, jika tidak ada yang tertarik, kita tidak dapat membayar rekening listrik dan semuanya ambruk — gagal! Tetapi sebenarnya tiada Amaravati. Ide bahwa seseorang adalah bhikkhu atau sebuah tempat bernama Amaravati – ini semua hanyalah kesepakatan (convention) bukan realitas ultimit. Sekarang ini demikianlah apa adanya, demikianlah seharusnya.
Seseorang tiada perlu menanggung beban akan tempat seperti itu karena telah melihat hal yang sebenarnya dan tidak ada orang yang perlu masuk-terlibat di dalamnya (no person to be involved in it). Dengan cara yang sama, apakah hal tersebut sukses atau gagal tak lagi begitu penting.
Dalam kekosongan (emptiness), semua adalah sekedar sebagaimana adanya. Ketika kita sadar dengan cara ini, bukan berarti kita menjadi acuh tak acuh pada
kesuksesan atau kegagalan dan tak melakukan apapun.
Kita dapat menerapkankan diri kita sendiri. Kita tahu apa yang dapat kita lakukan; kita tahu apa yang harus dilakukan dan kita bisa melakukannya dengan cara yang
baik. Kemudian semuanya menjadi Dhamma, menjadi apa adanya. Kita melakukan sesuatu karena itu adalah sesuatu yang tepat untuk dilakukan pada saat ini dan di sini —bukan karena ambisi pribadi atau takut akan kegagalan.
Jalan menuju lenyapnya penderitaan adalah jalan menuju kesempurnaan. Kesempurnaan adalah sebuah kata yang agak menyeramkan karena kita merasa sangat tidak sempurna. Sebagai individu, kita heran mengapa kita berani bahkan sekadar untuk memikirkan kemungkinan menjadi sempurna. Kesempurnaan manusia bukanlah sesuatu yang dibicarakan orang-orang; tampaknya tidaklah
mungkin untuk memikirkan kesempurnaan dalam lingkup manusia. Tetapi seorang arahat hanyalah seorang manusia biasa yang telah menyempurnakan hidupnya, seseorang yang telah mempelajari semua yang perlu dipelajari melalui hukum dasar: ‘Semua yang berawal akan berakhir.’ Seorang arahat tak perlu tahu segala-galanya mengenai semuanya; yang diperlukan hanyalah mengetahui dan
paham sepenuhnya hukum ini.
Kita menggunakan kebijaksanaan Buddha untuk merenungkan Dhamma, segala sesuatu apa adanya. Kita berlindung pada Sangha, pada apa yang baik dan tidak
berbuat jahat. Sangha adalah se-suatu, sebuah komunitas. Sangha bukan kumpulan individu-individu yang berbeda atau karakter-karakter yang berbeda. Perasaan menjadi individu seorang pria atau wanita tiada lagi penting bagi kita. Perasaan sebagai Sangha ini direalisasikan sebagai Perlindungan. Ada kesatuan itu sehingga walaupun semua perwujudannya adalah individual, realisasinya sama. Dengan terjaga, waspada, dan tiada lagi melekat, kita merealisasi berakhirnya penderitaan dan tinggal di dalam kekosongan dimana kita semua menyatu.
Tiada lagi orang (diri-pribadi, person) di sana. Orang dapat timbul dan lenyap di dalam kekosongan, namun tidak ada person. Hanya ada kejernihan, kesadaran, kedamaian, dan kemurnian.