KEBENARAN
ARIYA KEDUA
Apakah
Kebenaran Ariya tentang Sumber Penderitaan?
Penderitaan
bersumber pada kecanduan [Craving (Pali:
tanha, Skt. trsna), arti harafiahnya: ‘kedahagaan’; tanha kadang pula
diterjemahkan sebagai ‘nafsu-keinginan-rendah’, atau kecanduan,
ketergila-gilaan; kedahagaan [psikologis] yang tak habis-habisnya – meliputi
hal-hal yang paling kasar hingga yang paling subtil, yakni: pikiran yang haus
akan objek, bergerak terus, tak mau hening-istirahat – ed.]
Yang
membentuk kembali makhluk-hidup dan disertai dengan kegemaran dan
ketergila-gilaan, kegemaran pada ini dan itu: dengan kata lain, kecanduan akan
kenikmatan indria, kecanduan untuk menjadi dan kecanduan untuk takmenjadi.
Tetapi
dimanakah kecanduan ini muncul dan berkembang? Dimana saja ada yang tampaknya
menarik dan menguntungkan, di sanalah kecanduan muncul dan berkembang. Inilah
Kebenaran Ariya tentang Sumber Penderitaan: demikianlah pandangan,
pengetahuan,kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul
dalam
diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Kebenaran
ArIya ini harus ditembus dengan meninggalkan sumber asal-penderitaan. . .
.Kebenaran Ariya ini telah ditembus dengan meninggalkan sumber
asal-penderitaan: demikianlah pandangan,pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman
dan cahaya yang timbul dalam diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar
sebelumnya.
[Samyutta
Nikaya LVI, 11]
Kebenaran
Ariya Kedua dengan ketiga aspeknya adalah: ‘Itu adalah sumber penderitaan,
yaitu kemelekatan pada nafsu-keinginan (desire). Nafsu-keinginan harus dibiarkan
berlalu. Nafsu-keinginan telah dibiarkan pergi berlalu.’
Kebenaran
Ariya Kedua menyatakan bahwa ada sumber dari penderitaan dan sumber-penderitaan
adalah kemelekatan kepada tiga jenis nafsu: nafsu kenikmatan indria (kama
tanha), nafsu menjadi (bhava tanha) dan nafsu
menyingkirkan
(vibhava tanha). Demikianlah pernyataan Kebenaran Ariya Kedua, teorinya,
pariyatti-nya. Inilah yang anda renungkan: sumber penderitaan adalah
kemelekatan pada nafsu-keinginan.
TIGA JENIS
NAFSU-KEINGINAN
Nafsu-keinginan
atau tanha (dalam bahasa Pali) penting untuk dipahami.
Apakah
nafsu itu? Kama tanha sangat mudah dimengerti. Nafsu macam ini adalah
mengingini
kenikmatan-indria melalui tubuh atau indria lainnya dan selalu mencari sesuatu
buat menggairahkan atau menyenangkan indra — inilah kama tanha.
Anda
dengan gampang bisa merenung: bagaimana rasanya memiliki hasrat akan hal-hal
yang nikmat? Sebagai contoh, ketika anda makan, bila anda sedang lapar dan makanannya
enak, anda dapat menyadari adanya keinginan untuk imbuh sesendok lagi.
Perhatikanlah perasaan yang timbul tatkala anda sedang mengecap sesuatu yang nikmat;
perhatikan bagaimana anda menginginkannya lagi. Jangan hanya percaya saja;
cobalah sendiri. Jangan mengira bahwa anda sudah tahu karena sudah
pernah.Cobalah sewaktu anda sedang makan. Coba sesuatu yang
nikmat
dan lihat apa yang terjadi: timbulnya hasrat untuk tambah lagi.
Inilah
kama tanha.
Kita
juga merenungkan keinginan untuk menjadi sesuatu. Ketika ada kebodohan, maka
manakala kita tidak sedang mengejar makanan-enak atau musik yang
merdu,
kita dapat terperangkap dalam dunia ambisi dan pencapaian — nafsu-keinginan
untuk menjadi. Kita terperangkap dalam rombongan yang berusaha untuk menjadi
bahagia, menjadi kaya; atau kita berusaha membuat hidup kita agar terasa
penting dengan berjuang membetulkan dunia. Jadi, perhatikanlah: rasa-ingin
untuk menjadi sesuatu yang lain dari keadaan anda sekarang ini.
Dengarkan
bhava tanha dalam hidup anda: ‘Saya ingin melatih meditasi agar bebas dari
kepedihan. Saya mau mencapai pencerahan. Saya ingin menjadi bhikkhu atau
bhikkhuni. Saya ingin menjadi umat awam yang tercerahkan.
Saya
ingin memiliki istri, anak dan pekerjaan.
Saya
ingin menikmati keduniawian tanpa harus melepaskan apapun sekaligus mejadi
arahat yang tercerahkan.’
Manakala
kita kecewa berat terhadap keinginan untuk menjadi sesuatu, maka timbullah
keinginan untuk menyingkirkan (get rid of it) sesuatu. Jadi sekarang kita
merenungkan
vibhava tanha, nafsu-keinginan untuk menyingkirkan: ‘Saya ingin menyingkirkan
penderitaan saya. Saya ingin menyingkirkan kemarahan saya. Saya
memiliki
kemarahan ini dalam diri saya dan saya ingin menyingkirkannya. Saya ingin
meyingkirkan rasa cemburu, cemas dan gelisah.’ Perhatikan ini sebagai refleksi
vibhava tanha. Kita sungguh-sungguh mengkontemplasikannya dalam diri kita yang
ingin menyingkirkan sesuatu; kita tidak-lah sedang berusaha untuk menyingkirkan
vibhava tanha. Kita tidak berdiri melawan nafsu untukmenyingkirkan ataupun
mendorongnya. Alih-alih, kita hanya merefleksi, ‘Demikianlah adanya;
demikianlah rasanya ingin meyingkirkan sesuatu — Saya musti mengendalikan
amarah saya !; Saya harus membunuh sang iblis dan menyingkirkan amarah saya —
kemudian saya akan menjadi ….’ — Kita dapat melihat dari rentetan pemikiran ini
bahwa menjadi dan menyingkirkan ternyata
sangat
erat hubungannya.
Namun,
ingatlah bahwa ketiga kategori kama tanha, bahva tanha dan vibhava tanha
hanyalah cara memudahkan guna mengkontemplasikan nafsu-keinginan.
Ketiganya
bukanlah bentuk nafsu-nafsu yang sama sekali terpisah, melainkan hanya ragam
aspek darinya saja.
Insight
kedua dari Kebenaran Ariya Kedua adalah:
‘Nafsu-keinginan
harus dibiarkan berlalu.’ – Maka dari itu,melepas, membiarkannya pergi berlalu,
termasuk dalam praktik kita. Anda memiliki pengetahuan bahwa nafsu keinginan harus
dilepas (let it go), tetapi pengetahuan ini bukanlah nafsu-keinginan untuk
melepas apapun. Bila anda tidak cukup bijaksana dan tidak merefleksikan dalam pikiran
anda, anda cenderung hanyut menuruti ‘Saya ingin menyingkirkan, saya ingin
melepas semua nafsu keinginan’
—
tetapi inipun hanyalah nafsu-keinginan jenis lain. Namun anda bisa
merefleksikannya; anda bisa melihat nafsu-keinginan-menyingkirkan,
nafsu-menjadi sesuatu atau nafsu pada kenikmatan indria. Dengan memahami
ketiga
macam nafsu ini, anda dapat membiarkannya berlalu.
Kebenaran
Ariya Kedua tidak menyuruh anda berpikir, ‘Saya memiliki banyak nafsu indria’,
atau, ‘Saya sangat ambisius. Saya sangat bhava tanha plus, plus,
plus!’
atau, ‘Saya adalah seorang nihilis. Saya hanya ingin lepas. Saya benar-benar
fanatik vibhava tanha. Inilah aku.’ Kebenaran Ariya Kedua bukan demikian, bukan
mengenai mengidentifikasi [
Mengidentifikasi: menyamakan, men-cap, mengidentikkan sesuatu dengan‘aku’ – ed.]
diri dengan nafsu-nafsu dalam cara apapun; hal ini adalah tentang mengenali nafsu-keinginan.
Dulu
saya sering menghabiskan waktu mengamati bagaimana kebanyakan latihan saya
adalah nafsu untuk menjadi sesuatu. Contohnya, betapa maksud baik praktik
meditasi
saya sebagai biarawan sebenarnya adalah agar jadi disukai — betapa hubungan
saya dengan biarawan atau biarawati atau umat awam berkaitan dengan keinginan
untuk disukai dan didukung (approved of ).
Itulah
bhava tanha — nafsu akan pujian dan sukses.
Sebagai
biarawan, ada bahva tanha: ingin agar orang-orang mengerti semuanya dan
menghargai Dhamma.
Bahkan
nafsu-keinginan yang halus, nyaris mulia ini, sebenarnya juga: bhava tanha.
Bahkan
juga ada vibhava tanha dalam kehidupan spritual, yang dapat berupa pembenahan
diri yang amat sangat: ‘Saya ingin menyingkirkan, melenyapkan dan
memusnahkan
kekotoran batin ini.’ Saya benar-benar mendengarkan diri saya berpikir, ‘Saya
mau menyingkirkan nafsu-keinginan. Saya mau menyingkirkan kemarahan.Saya tidak
ingin jadi ketakutan atau cemburu lagi. Saya ingin menjadi berani. Saya ingin
memiliki kegembiraan dan kesenangan dalam hati saya.’
Berlatih
Dhamma bukanlah dengan membenci diri sendiri [karena mempunyai
pemikiran-pemikiran semacam itu], melainkan dengan: benar-benar melihat bahwa
semua pemikiran-pemikiran itu memang terkondisi14 dalam pikiran. Mereka semua
tak-kekal. Nafsu-keinginan bukanlah diri kita yang sesungguhnya, melainkan
hanya kebiasaan kita yang cenderung untuk be-reaksi karena kebodohan akibat
tidak memahami Empat Kebenaran Ariya dalam ketiga aspeknya. Kita condong selalu
bereaksi demikian terhadap segala sesuatu. Ini reaksi normal dikarenakan kebodohan
(ignorance).
Tetapi
kita tidak perlu terus melanjutkan penderitaan.
Kita
bukanlah korban tanpa harapan dari nafsu-keinginan.
Kita
dapat membiarkan nafsu-keinginan sebagaimana adanya dan dengan demikian mulai
membiarkannya berlalu. Nafsu-keinginan memiliki kekuatan atas kita dan membohongi
kita HANYA selama kita menggenggamnya, mempercayainya serta bereaksi padanya.
MENGGENGGAM
ADALAH PENDERITAAN
Biasanya
kita menyamakan penderitaan dengan perasaan, tetapi perasaan bukanlah
penderitaan.Penderitaan ialah menggenggam nafsu-keinginan. Nafsu keinginan tidak
menyebabkan penderitaan; penyebab penderitaan adalah menggenggam
nafsu-keinginan.
Pernyataan
ini untuk refleksi dan renungan dalam pengalaman pribadi anda.
Anda
musti benar-benar menyelidiki nafsu keinginan dan mengetahui apa
nafsu-keinginan itu. Anda harus mengetahui apa yang alamiah serta perlu buat
bertahan hidup dan apa yang sesungguhnya tak diperlukan buat bertahan hidup
(survival). Kita bisa saja menjadi sangat idealis dengan berpikir bahwa kebutuhan-makan
pun jugalah sejenis nafsu-keinginan yang semestinya jangan pula kita punyai;
memang, dalam membicarakan hal demikian kadang seseorang bisa menjadi sangat
konyol. — Tetapi Sang Buddha bukanlah seorang yang idealis atau moralis. Beliau
tidak berusaha hendak mengutuk apapun. Beliau hanya berusaha untuk mem-bangun-kan
kita akan kebenaran sehingga kita bisa melihat segalanya dengan jelas.
Ketika
ada penglihatan yang jelas dan benar,maka takkan ada penderitaan. Anda masih
dapat merasa lapar. Anda dapat tetap memerlukan makanan tanpa membuatnya
menjadi nafsu-keinginan. Makanan adalah kebutuhan alami tubuh. Tubuh bukanlah
diri; tubuh perlu mendapat makanan, bila tidak tubuh akan melemah dan mati.
Demikanlah sifat alami tubuh — tiada yang salah dengannya. Bila kita menjadi
sangat moralis dan berpikir tinggi serta percaya bahwa kita adalah tubuh kita,
bahwa kelaparan adalah permasalahan kita-sendiri, dan bahkan seharusnya kita
tidak makan — maka ini bukanlah kebijaksanaan; melainkan kebodohan. Ketika anda
benar-benar melihat sumber penderitaan, anda akan merealisasi bahwa
permasalahannya adalah penggenggaman (grasping) nafsu-keinginan bukan
nafsu-keinginan itu sendiri. Menggenggam artinya dibohongi oleh
nafsu-keinginan, berpikir bahwa inilah‘aku’ dan ‘milikku’: ‘Nafsu-keinginan ini
adalah saya dan ada sesuatu yang salah dalam diri saya karena
memilikinya’;atau, ‘Saya tidak suka diri saya yang sekarang. Saya harus menjadi
sesuatu yang lain’; atau, ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu dulu sebelum saya
bisa menjadi apa yang saya inginkan.’ Semua ini adalah nafsu-keinginan. Jadi
dengarkanlah
dengan perhatian-murni tanpa mengatakan baik atau jahat, melainkan hanya
mengenali apa adanya.
MEMBIARKAN
BERLALU (LETTING GO)
Ketika
kita mengkontemplasikan dan dengan cermat mendengarkan nafsu-keinginan, maka
kita tidak lagi melekat padanya; kita hanya membiarkan mereka
sebagaimana
adanya. Kemudian kita sampai pada realisasi bahwa sumber penderitaan,
nafsu-keinginan, dapat dikesampingkan dan dibiarkan berlalu,
Bagaimana
anda membiarkannya berlalu? Caranya dengan membiarkannya sebagaimana adanya;
ini bukan berarti anda memusnahkan atau membuangnya,
melainkan
lebih pada meletakkan dan membiarkannya sendiri. Melalui latihan melepas, kita
menyadari keberadaan sumber penderitaan, yaitu kemelekatan pada nafsu keinginan,
dan kita sadar bahwa kita harus melepas ketiga nafsu-keinginan ini. Kemudian
kita menyadari bahwa kita telah melepas ketiga nafsu-keinginan ini, dan tiada
lagi kemelekatan padanya.
Ketika
anda menyadari diri anda sedang melekat pada sesuatu, ingatlah bahwa ‘melepas’
tidak sama dengan‘menyingkirkan’ atau ‘membuang’. Bila saya sedang memegang
sebuah jam dan anda berkata, ‘Lepaskan jam itu!’, perkataan anda bukan berarti
‘buang’. Boleh jadi saya berpikir bahwa saya musti membuangnya karena saya
melekat padanya, tetapi ini pun hanyalah nafsu-keinginan untuk menyingkirkan.
Kita cenderung berpikir bahwa menyingkirkan objek merupakan cara untuk
menyingkirkan kemelekatan. Tetapi bila saya dapat merenungkan kemelekatan,
penggenggaman jam ini, saya menyadari bahwa tiada artinya berusaha menyingkirkannya
— jam ini bagus; tepat waktu dan tidak berat untuk dibawa-bawa. Jam ini
bukanlah masalahnya. Jadi apa yang saya lakukan? Lepaskan, kesampingkan
—letakkan dengan lembut tanpa ada kebencian. Kemudian saya boleh mengambilnya
lagi, melihat pukul berapa saat itu serta kembali meletakkannya bila perlu. Anda
dapat menggunakan pengetahuankebijaksanaan‘melepas’ ini pada nafsu-keinginan
indria.
Mungkin
anda sedang ingin bersenang-senang. Bagaimana cara mengesampingkan
nafsu-keinginan ini tanpa menimbulkan kebencian? Sangat sederhana: sekedar kenalilah
saja tanpa menilai atau mengadilinya. Anda dapat
mengkontemplasikan
keinginan untuk menyingkirkannya— karena anda merasa bersalah memiliki nafsu
yang bodoh ini — tetapi kesampingkan saja. Anda tidak lagi melekat padanya
ketika anda melihatnya sebagaimana adanya, mengenalinya hanya sebagai
nafsu-keinginan.
Jadi
caranya adalah dengan selalu berlatih setiap waktu dalam kehidupan sehari-hari.
Bilamana anda sedang merasa tertekan dan negatif, begitu di saat anda menolak larut
tenggelam dalamnya, inilah pengalaman yang mencerahkan. Ketika anda
melihat-nya, anda tak perlu tenggelam dalam lautan depresi dan keputusasaan.
Anda sebenarnya bahkan dapat stop dengan belajar untuk tidak
menimbang-ulang
tentangnya sedikitpun.[ “You can actually
stop by learning not to give things a second thought“,maksudnya: secara mental
tegas-disiplin-‘tega’, tidak bimbang, tidak member kesempatan ke-dua kepada
timbulnya buah-buah pikir tersebut, secara mental tidak meliriknya lagi – fokus
pada metode-praktik – ed.]
Anda
harus memahaminya sendiri melalui latihan sehingga anda dapat mengetahui
sendiri bagaimana cara melepas sumber penderitaan. Dapatkah anda
melepas
nafsu-keinginan dengan ingin melepaskannya?
Apakah
yang sebenarnya melepas pada saat itu? Anda harus merenungkan pengalaman melepas
dan benar-benar meneliti dan menyelidiki sampai pengetahuan kebijaksanaan timbul.
Teruskan sampai insight itu timbul: ‘Ah, melepas, ya, sekarang saya mengerti.
Nafsu-keinginan telah dilepas.’ Bukan berarti bahwa dengan ini anda bisa melepas
nafsu-keinginan selamanya, tetapi pada saat itu, anda benar-benar telah melepas
dan anda telah melakukannya dengan kesadaran perhatian penuh. Maka ada
pengetahuan. Inilah yang kita sebut pengetahuan kebijaksanaan.
Dalam
bahasa Pali, kita menyebutnya nanadassana
atau pemahaman yang mendalam.
Saya
mendapat pengalaman pertama saya dalam melepas pada tahun pertama meditasi
saya. Saya memikirkan secara intelektual bahwa saya harus melepas
semuanya
dan kemudian saya berpikir: ‘Bagaimana anda melepas?’
Tampaknya
mustahil untuk melepas apapun. Saya terus merenungkan: ‘Bagaimana anda
melepas?’ Kemudian saya akan berkata, ‘Anda melepas dengan melepas.’ ‘Kalau
begitu, lepaskan!’ Kemudian saya berkata:
‘Tetapi,
apakah saya sudah melepas?’ dan, ‘Bagaimana anda melepas?’ ‘Kalau begitu hanya
lepaskan!’ Saya terus melakukannya, sehingga bertambah frustasi. Tetapi pada akhirnya
semakin jelas apa yang terjadi. Bila anda berusaha
untuk
menganalisa pelepasan secara mendetil, anda dapat terjebak dengan membuatnya
menjadi sangat rumit. Pelepasan bukanlah sesuatu yang dapat anda pikirkan dalam
kata-kata, melainkan sesuatu yang anda lakukan.
Sehingga
saya hanya melepas satu saat begitu saja. masalah dan obsesi pribadi. Caranya
bukanlah dengan menganalisa dan menambah permasalahan dari yang
sudah
ada, tetapi melatih keadaan meninggalkannya sendirian, melepasnya.
Pada
mulanya, anda melepas tetapi kemudian mengambilnya kembali karena kebiasaan memegang
yang kuat. Tetapi paling tidak anda menangkap maksudnya. Bahkan ketika saya
memiliki pengetahuan untuk melepas, saya melepas untuk sesaat tetapi kemudian mulai
memegang lagi dengan berpikir: ‘Saya tidak dapat
melakukannya,
saya terlanjur memiliki banyak kebiasaan jelek!’ Tetapi janganlah percaya pada
keluhan itu, jangan merendahkan diri anda sendiri karena itu semua
sangat
tak dapat dipercaya. — Masalahnya hanyalah melatih untuk melepas. Semakin anda
mulai melihat bagaimana melakukannya, maka semakin mampu anda mempertahankan
keadaan tidak melekat.
PENCAPAIAN
Adalah
penting untuk mengetahui bahwa anda telah melepas nafsu-keinginan: ketika anda
tak lagi menilai (judge) atau berkeras buat menyingkirkannya; kala anda mengenali
bahwa ya demikianlah adanya (just the way it is). Ketika anda benar-benar
tenang dan damai, maka anda akan menemukan bahwa tiada kemelekatan pada
apapun.Anda tidak terperangkap, berusaha untuk memperoleh
atau
menyingkirkan sesuatu. Kewarasan itu hanyalah sekedar mengetahui sesuatu
sebagaimana adanya tanpa merasa perlu untuk mengadili atau membuat penilaian
ini-itu
tentangnya.Kita selalu mengatakan, ‘Ini mestinya tidak begini!’, ‘Saya tidak
seharusnya berlaku begini!’ dan, ‘Anda seharusnya tidak begini atau begitu!’,
dan seterusnya. Saya yakin bahwa saya dapat memberitahu anda bagaimana anda
seharusnya — dan anda pun dapat memberitahu saya bagaimana saya seharusnya.
Kita ini seharusnya penyayang, dermawan, baik hati, pekerja keras, rajin,
berani dan penuh kasih. Saya bahkan tidak perlu mengenal anda
untuk
memberitahu semua itu! Tetapi untuk benar-benar mengenal anda, saya perlu
terbuka terhadap anda —daripada memulai dari suatu pemikiran muluk tentang bagaimana
seharusnya seorang pria atau wanita, atau bagaimana seharusnya seorang Buddhis
atau Kristen.
Masalahnya
bukan karena kita tidak tahu bagaimana seseorang seharusnya berlaku. Penderitaan
kita bermula dari kemelekatan pada ideal serta pelbagai kerumitan yang kita
ciptakan sendiri mengenai bagaimana sesuatu seharusnya. Kita ini tak bakalan
pernah menjadi seperti apa kita seharusnya menurut ideal tertinggi kita.
Kehidupan, sesama, negara, dunia tempat kita hidup — segala sesuatu tidak
pernah tampak sebagaimana seharusnya. Kita menjadi sangat kritis terhadap
semuanya dan diri kita sendiri: ‘Saya tahu saya harus lebih sabar, tetapi
pokoknya saya TIDAK bisa sabar!’… Dengarkan tentang semua ‘seharusnya’
dan‘seharusnya tidak’ dan segala hasrat: menginginkan yang menyenangkan,
menginginkan untuk menjadi [sesuatu] atau menyingkirkan sisi yang buruk dan
menyakitkan. Ini bagaikan mendengar seseorang di balik pagar berkata,
‘Saya
menginginkan ini dan tidak menyukai itu. Seharusnya begini dan seharusnya tidak
begitu.’ Sungguh dibutuhkan waktu untuk mendengarkan pikiran penggerutu; untuk membawanya
ke kesadaran.
Saya
biasanya sering melakukan ini bila saya merasa tidak puas atau mencela. Saya
akan menutup mata dan mulai berpikir, ‘Saya tidak suka ini dan saya tidak
mau
itu’, ‘Orang itu seharusnya tidak begini’, dan ‘Dunia mestinya tidak demikian.’
Saya akan terus mendengarkan sejenis siluman-pencela ini mengoceh dan mengoceh—
mengkritik, mencela saya, anda dan dunia. Kemudian saya akan berpikir, ‘Saya
menginginkan kebahagiaan dan kenyamanan; saya ingin merasa aman; saya ingin dicintai!’
— [Bahkan] saya akan sengaja membiarkan hal-hal ini keluar serta dengan seksama
mendengarkan untuk mengetahuinya — yang hanyalah kondisi-kondisi [Conditions: cuma akibat rentetan
peng-kondisian masa lalu yang bak lingkaran-setan tiada henti; berwujud a.l.
kebiasaan, kecenderungan (habit) pikiran – ed.] yang timbul dalam pikiran.
Jadi, bawa saja mereka semua
dalam
pikiran anda — bangkitkan semua harapan, nafsu dan kritikan. Bawa semuanya
dalam kesadaran, maka anda akan mengetahui nafsu-keinginan dan mampu mengesampingkannya
(lay it aside).
Semakin
kita merenung dan menginvestigasi penggenggaman, semakin pengetahuan-kebijaksanaan
terbit: ‘Nafsu-keinginan harus dilepas.’ Kemudian, melalui latihan dan
pemahaman mengenai melepas yang sebenarnya, kita mendapatkan pengetahuan ketiga
dari Kebenaran Ariya Kedua: ‘Nafsu-keinginan telah dilepas.’ Kita benar-benar
memahami pelepasan. Bukan pelepasan teoritis, tetapi pengetahuan langsung. Anda
memahami bahwa pelepasan telah dicapai. Inilah gunanya praktik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar