KEBENARAN
ARIYA KETIGA
Apakah
Kebenaran Ariya mengenai Berakhirnya Penderitaan?
Kebenaran
Ariya ini adalah luruh tanpa sisa dan berakhirnya kecanduan (tanha) yang sama
itu;penolakan, penyerahan, peninggalan dan pelepasannya.
Tetapi
bagaimanakah keserakahan ditinggalkan dan diakhiri?
Kapanpun
timbul sesuatu yang tampaknya menarik dan menguntungkan, maka ditinggalkan dan diakhiri.
Inilah Kebenaran Ariya mengenai Berakhirnya Penderitaan: demikianlah pandangan,
pengetahuan,kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diriku
mengenai hal yang belum pernah terdengar
sebelumnya.
Kebenaran Ariya ini harus ditembus dengan mencapai Berakhirnya Penderitaan . .
. . Kebenaran Ariya ini telah ditembus dengan mencapai Berakhirnya
Penderitaan:
demikianlah pandangan, pengetahuan,kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang
timbul dalam diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar
sebelumnya.
[Samyutta Nikaya LVI, 11]
Kebenaran
Ariya Ketiga dengan ketiga aspeknya adalah: ‘Ada berakhirnya penderitaan,
dukkha. Berakhirnya dukkha harus dicapai. Berakhirnya dukkha telah dicapai.’
Tujuan
ajaran Buddhisme adalah untuk mengembangkan pikiran reflektif agar dapat
melepas delusi-delusi (pemikiran salah). Empat Kebenaran Ariya adalah sebuah
ajaran mengenai melepas dengan cara menyelidiki atau melihat kedalam —
mengkontemplasikan:‘Mengapa ini begini? Mengapa demikian?’ Sungguh baik untuk
merenung tentang hal-hal seperti mengapa para bhikkhu mencukur rambutnya dan
mengapa patung Buddha berbentuk demikian. — Kita kontemplasikan . .. . pikiran
tidak membentuk pendapat yang baik, buruk, berguna atau tidak berguna. Pikiran
sebenarnya terbuka dan mempertimbangkan, ‘Apakah arti dari ini? Mewakili apakah
para bhikkhu itu? Mengapa mereka membawa mangkuk sedekah? Mengapa mereka tidak
boleh memiliki uang? Mengapa mereka tak boleh bercocok tanam untuk makanan
mereka sendiri?’
Kita merenungkan bagaimana cara hidup ini
telah mempertahankan tradisi
dan
membuatnya dapat diwariskan dari penemu awalnya,Sang Buddha Gotama, sampai saat
ini. Kita merefleksi tatkala kita melihat penderitaan, sifat sejati
nafsu-keinginan dan ketika kita mengenali bahwa kemelekatan pada nafsu-keinginan
adalah penderitaan.
Maka
kita memiliki pengetahuan-kebijaksanaan (insight) untuk membiarkan sang nafsu
berlalu serta merealisasi ketidak-menderitaan — berakhirnya penderitaan.
Pengetahuan
ini hanya dapat timbul melalui refleksi,bukan melalui sekedar percaya. Anda
tidak dapat membuat diri anda yakin atau merealisasi kebijaksanaan dengan sengaja.
Dengan benar-benar merenung dan memikirkan kebenaran inilah maka pengetahuan
timbul dalam diri anda. Kebijaksanaan ini timbul hanya melalui pikiran yang terbuka
dan siap menerima ajaran. Percaya membuta jelas tidak disarankan atau
diharapkan dari siapapun.
Sebaliknya,
pikiran harus siap menerima, meneliti dan mempertimbangkan.
Keadaan
mental ini sangat penting — inilah jalan keluar dari penderitaan.
Ini bukanlah pikiran yang berpandangan kaku
dan penuh prasangka serta merasa
mengetahui
segalanya atau yang gampang-gampang menerima omongan orang sebagai kebenaran.
Ini adalah pikiran yang terbuka terhadap Empat Kebenaran Ariya —yang dapat
berefleksi terhadap sesuatu yang bisa kita lihat dalam pikiran kita.Orang
jarang merealisasi ketidak-menderitaan karena dibutuhkan tekad istimewa buat
merenung,menyelidiki dan melampaui yang kasar dan [yang seakan
sudah]
jelas. Dibutuhkan kemauan untuk benar-benar melihat reaksi-reaksi anda sendiri,
untuk mampu melihat kemelekatan serta merenung: ‘Seperti apakah rasanya kemelekatan?’
Contohnya,
apakah anda merasa senang atau terbebaskan dengan melekat pada nafsu-keinginan?
Apakah
meringankan atau justru menekan? Pertanyaan ini musti anda selidiki. Bila anda
menemukan bahwa dengan melekat pada nafsu-keinginan anda merasa terbebaskan, maka
lakukan saja itu. Melekatlah pada semua nafsukeinginan anda dan lihatlah
hasilnya.
Dalam
praktik saya, saya telah menyaksikan bahwa kemelekatan pada nafsu- keinginan
adalah penderitaan. Tiada keraguan mengenainya. Saya bisa melihat banyaknya
penderitaan dalam hidup saya disebabkan oleh kemelekatan pada benda-benda
material,ide, sikap-batin atau kekhawatiran. Saya dapat melihat
semua
jenis kesengsaraan yang tak perlu yang sudah saya timbulkan sendiri melalui
kemelekatan hanya karena ketidak-mengertian saya. Saya dibesarkan di Amerika, tanah
kebebasan. Tanah yang menjanjikan hak untuk bahagia, tetapi sebenarnya yang
ditawarkan hanyalah hak untuk melekat pada apapun (!). Amerika mendorong orang
untuk berusaha sebahagia mungkin dengan cara mendapatkan barang-barang. Namun
demikian, bila anda berlatih dengan Empat Kebenaran ArIya, kemelekatan adalah
untuk dipahami dan direnungkan, sehingga insight
mengenai
ketidak-melekatan timbul. Pengetahuan ini bukanlah pendirian intelektual atau
perintah dari otak anda yang mengatakan anda seharusnya tidak melekat; ini pengetahuan
alami dari ketidak-melekatan atau ketidakmenderitaan.
KEBENARAN
KETIDAK-PERMANENAN
Di
sini, di Amaravati, kami melantunkan Dhammacakkappavattana Sutta dalam bentuk
tradisional. Ketika Sang Buddha memberikan kotbah mengenai Empat
Kebenaran
Ariya ini, hanya satu dari kelima muridnya yang sungguh mengerti. Hanya seorang
yang memperoleh insight yang mendalam. Keempat murid lain Cuma sekadar
menyukainya dan berpikir ‘Sungguh suatu ajaran yang bagus.’ Tetapi hanya satu
dari kelima murid, yakni: Kondanna, yang memiliki pemahaman sempurna atas perkataan
Sang Buddha.
Para
dewa juga ikut mendengarkan kotbah itu.
Para
dewa adalah makhluk surgawi, makhluk halus yang jauh lebih super dibanding
kita. Mereka tidak memiliki badan kasar seperti kita. Mereka memiliki badan
halus dan juga cantik, indah dan cerdas. Walaupun mereka gembira manakala
mendengar kotbah itu, tak ada satupun dari mereka yang tercerahkan.
Dikatakan
bahwa para dewa menjadi sangat berbahagia atas pencerahan Sang Buddha dan
mereka pun berseru gembira hingga ke surga-surga ketika mendengar ajarannya.
Pada mulanya, dewa pada lapis surga pertama mendengarnya, kemudian berteriak ke
lapisan di atasnya, demikian seterusnya sampai pada akhirnya semua dewa ikut
bergembira — hingga sampai ke alam tertinggi, yaitu alam Brahma. Seruan
kegembiraan terdengar berulang-ulang
dikarenakan
berputarnya Roda Dhamma dan para dewa serta brahma ikut bergembira karenanya.
Namun hanya Kondannya, salah satu dari kelima murid, yang bisa tercerahkan
ketika mendengar kotbah ini. Pada akhir sutta
ini,
Sang Buddha memanggilnya ‘Annya Kondannya’. ‘Annya’ berarti pengetahuan
mendalam. Jadi ‘Annya Kondannya’ berarti ‘Kondannya yang Mengetahui.’Apakah
yang diketahui Kondannya? Insight apakah yang dicapainya sehingga Sang Buddha memujinya
di akhir kotbah? Pengetahuan itu adalah:
‘Segalanya
yang mengalami kemunculan bakal mengalami penghentian. [“All that is subject to arising is subject to ceasing”]
Pengetahuan
ini mungkin tidak tampak sebagai pengetahuan yang luar biasa tetapi sebenarnya pengetahuan
ini menyiratkan pola yang universal: semua
yang
berawal akan berakhir; Semuanya tak-kekal dan bukan diri. . . . Jadi janganlah
melekat, jangan dibohongi oleh apa yang muncul dan lenyap. Oleh karena itu
janganlah mencari perlindungan, dimana anda ingin tinggal dan percayai, dalam
apapun yang berawal — karena itupun akan berakhir.
Bila
anda ingin menderita dan menyia-nyiakan hidup anda, maka carilah hal-hal yang
berawal. Itu akan membawa anda pada akhirnya, pada lenyapnya, dan anda
tidak
akan bertambah bijaksana karenanya. Anda Cuma bakal berputar-putar mengulangi
kebiasaan lama yang menyedihkan dan ketika anda meninggal, anda tidak mempelajari
apapun yang penting dari hidup anda.
Jangan
cuma memikir-mikirkannya, tapi benar-benar renungkanlah: ‘Semua yang muncul
akan berlalu.’
Gunakan
ini pada hidup, pada pengalaman anda sendiri, maka anda akan paham. Perhatikan
saja: awal . . . akhir.
Renungkan
sesuatu sebagaimana adanya. Alam indria ini segalanya adalah mengenai timbul
dan lenyap, awal dan akhir. Pengertian sempurna, samma ditthi, dalam kehidupan
ini adalah mungkin. Saya tidak tahu berapa lama Y.M. Kondannya hidup setelah
kotbah itu, tetapi beliau tercerahkan pada saat itu. Pada saat itu, beliau memiliki
pemahaman sempurna.
Saya
ingin menekank an pentingnya mengembangkan cara berefleksi demikian. Daripada
hanya mengembangkan cara mengheningkan pikiran, yang tentu saja merupakan
bagian dari latihan, perhatikanlah dengan seksama bahwa meditasi yang benar
adalah komitmen pada investigasi yang bijak. Meditasi yang benar
melibatkan
usaha yang berani untuk melihat ke kedalaman segala sesuatu, dan tidak hanya
menganalisa diri sendiri dan membuat penilaian sebab penderitaan anda pada tingkatan
pribadi, tetapi bertekad untuk mengikuti jalan dengan tulus sampai anda
mencapai pemahaman yang sungguh mendalam. Pemahaman semacam ini didasarkan pada
pola timbul dan tenggelam, berawal dan berakhir.
Ketika
hukum ini dimengerti, semuanya terlihat mengikuti pola tersebut.
‘Semua
yang berawal akan berakhir’ bukanlah ajaran metafisik. Ajaran ini bukanlah
mengenai realitas ultimit — realitas keabadian; tetapi bila anda memahami dengan
mendalam dan mengetahui bahwa semua yang berawal akan berakhir, maka anda akan
merealisasi realitas ultimit, yang tanpa kematian, kebenaran abadi. Inilah cara
yang cerdik menuju realitas tertinggi. Perhatikan
bedanya:
pernyataan itu bukanlah pernyataan metafisik tetapi pernyataan yang membawa
kita pada pencapaian (realisasi) metafisik.
KEFANAAN
DAN BERAKHIRNYA PENDERITAAN
Dengan
refleksi atas Kebenaran Ariya, kita membawa masalah utama eksistensi manusia
ini hadir ke ruang kesadaran. Kita melihat perasaan terasingkan dan kemelekatan
membuta pada kesadaran indria,kemelekatan pada apa yang terpisah dari dan hadir
dalam kesadaran. Kita melekat pada nafsu-keinginan akan nafsu indria
dikarenakan kebodohan batin. Ketika kita mengidentifikasi diri dengan apa yang
fana atau dibatasi kematian, dan dengan yang tak-memuaskan, kemelekatan
seperti
itulah penderitaan.
Kenikmatan
indria adalah kenikmatan yang fana.Apapun yang kita lihat, dengar, sentuh,
cicip, pikir atau rasa adalah fana – dibatasi kematian. Jadi ketika kita
melekat pada indria-indria yang fana, kita melekat pada kematian.
Bila
kita tidak merenungkan atau memahaminya, kita hanya melekat secara membuta pada
kefanaan, berharap bahwa kita dapat menundanya sebentar. Kita bersikap seakan-akan
bisa bakal sungguh bahagia dengan hal-hal yang kita lekati – yang pada akhirnya
hanya untuk merasakan dibohongi, putus-asa, serta kecewa. Kita mungkin bisa
saja berhasil menjadi apa yang kita mau, tapi itupun fana.
Kita
melekat pada kondisi lain yang juga dibatasi kematian.
Kemudian
dengan nafsu-keinginan untuk mati, kita dapat melekat pada bunuh diri atau
pemusnahan — namun kematian itu sendiri sebenarnya juga cuma merupakan kondisi
lain yang dibatasi kematian. Apapun yang kita lekati dari tiga macam
nafsu-keinginan, berarti kita melekat pada kematian — kita bakal mengalami
kekecewaan atau keputus-asaan.
Kematian
pikiran adalah keputus-asaan. Depresi adalah sejenis pengalaman matinya
pikiran. Seperti halnya tubuh mengalami kematian fisik, demikian pula
pikiran
yang mati. Keadaan dan kondisi mental dapat mati;kita menyebutnya
keputus-asaan, kebosanan, depresi,dan kesedihan. Setiap kali kita melekat, kita
mengalami kebosanan, keputus-asaan, dan kesedihan, maka kita cenderung mencari
kondisi fana lain yang berawal.
Contohnya,
anda merasa putus-asa dan berpikir, ‘Saya mau sepotong kue coklat.’ Maka anda
pergi mencarinya.Untuk sementara anda dapat tenggelam dalam rasa kue coklat
yang manis, lezat. Pada saat itu ada ‘menjadi’ — anda
sebenarnya
menjadi rasa coklat, lezat dan manis! Tetapi anda tidak dapat bertahan lama
pada rasa itu. Ketika anda menelannya, apa yang tersisa? Kemudian anda harus
pergi dan melakukan hal lain. Inilah ‘menjadi’ (becoming).
Kita
dibutakan, terperangkap dalam proses ‘menjadi’ pada dataran indria. Tetapi
melalui pengetahuan tentang nafsu-keinginan tanpa menilai cantik atau buruknya dataran
indria, kita dapat melihat nafsu-keinginan sebagaimana adanya. Ada
‘mengetahui.’ Kemudian dengan meletakkannya, nafsu-keinginan ini, ke samping,
daripada memegangnya, kita mengalami nirodha — berakhirnya
penderitaan.
Inilah Kebenaran Ariya Ketiga yang harus kita realisasi untuk diri sendiri.
Kita merenungkan berakhirnya penderitaan. Kita berkata ‘ada berakhirnya
penderitaan’,dan kita tahu sesuatu telah berakhir atau berhenti.
MENGIJINKAN
PELBAGAI HAL UNTUK TIMBUL
Sebelum
anda dapat melepas sesuatu, anda harus mengakuinya dengan kesadaran penuh.
Dalam meditasi,kita berusaha secara trampil mengijinkan bawah sadar
untuk
hadir dalam kesadaran. Semua keputus-asaan,ketakutan, kesedihan, ketertekanan,
dan kemarahan diijinkan untuk sadar. Ada sebuah kecenderungan dalam diri tiap
orang untuk memegang idealisme yang muluk.
Kita
dapat menjadi sangat kecewa dengan diri sendiri karena terkadang merasa bahwa
kita tidaklah sebaik yang seharusnya atau kita mestinya tidak merasa marah
–pokoknya semua yang “harus” dan “tidak harus”. Kemudian kita pun menciptakan
nafsu-keinginan buat menyingkirkan hal-hal yang buruk — dan nafsu-keinginan ini
mempunyai kualitas yang bajik. – Tampaknya memang baik untuk menyingkirkan
pikiran-pikiran buruk, kemarahan dan cemburu karena orang-baik ‘tidak boleh
seperti itu.’ Maka, kita pun menciptakan rasa bersalah …
Dengan
merefleksikannya, kita membawa ke dalam ruang kesadaran nafsu untuk menjadi
ideal dan nafsu buat menyingkirkan hal-hal yang buruk.
Dengan
melakukannya, kita dapat membiarkannya berlalu — jadi daripada berusaha menjadi
orang yang sempurna, anda melepas nafsu-keinginan ini.
Apa
yang tersisa adalah pikiran murni. Tidak perlu menjadi orang yang sempurna
karena
pikiran-murni adalah tempat dimana orang yang sempurna berawal dan
berakhir.Berakhirnya penderitaan mudah dimengerti pada tingkat intelektual,
tetapi untuk merealisasinya cukup sulit karena menyangkut tinggal dengan apa
yang kita pikir taktertahankan. Contohnya, ketika saya pertama kali
bermeditasi, saya mengira bahwa meditasi akan membuat saya jadi lebih baik-hati
dan bahagia dan saya mengharapkan pengalaman keadaan pikiran yang sangat berbahagia.
Namun selama dua bulan pertama, ternyata saya mengalami begitu banyak kebencian
dan kemarahan yang selamanya belum pernah saya rasakan dalam hidup ini. Saya
berpikir, ‘Ini sungguh-sungguh buruk. Meditasi membuat saya bertambah jelek.’
Tetapi kemudian saya merenungkan mengapa begitu banyak kebencian dan kemarahan
yang muncul, dan saya sadar bahwa di kebanyakan hidup saya adalah merupakan
usaha untuk selalu melarikan diri dari semua itu. Saya dulunya seorang kutu
buku. Saya harus membawa buku-buku kemanapun
saya
pergi. Setiap kali kecemasan atau kebencian merayap masuk, saya akan membuka
buku dan membaca; atau saya akan merokok atau mengudap.
Saya
memiliki citra tentang diri saya sendiri sebagai seorang yang baik hati
dan
tidak membenci orang, sehingga setiap tanda-tanda kejengkelan atau kebencian
akan ditekan.
Inilah
sebabnya selama bulan-bulan awal sebagai bhikkhu, saya bersusah-payah repot
mencari sesuatu untuk dikerjakan. Saya berusaha mencari sesuatu untuk
mengalihkan
perhatian, karena dalam meditasi saya mulai teringat dengan jelas semua hal
yang tadinya berusaha saya lupakan. Ingatan-ingatan dari masa kecil
dan
remaja terus bermunculan dalam pikiran; kemudian kemarahan dan kebencian ini
menjadi begitu terasa sehingga membuat saya benar-benar kewalahan.
Tetapi ada sesuatu dalam diri saya mulai
mengenali bahwa saya musti tahan menghadapi semua ini, sehingga saya terus bertahan.
Semua kebencian dan kemarahan yang telah tertekan selama tigapuluh tahun
memuncak pada saat
itu,
kemudian terbakar dan lenyap melalui meditasi. Itu adalah proses pemurnian.
Agar
proses-penghentian ini berjalan baik, kita mesti bersedia untuk menderita. Oleh
karena itu saya menekankan pentingnya kesabaran. Kita harus membuka pikiran
pada penderitaan karena dengan merangkulnyalah maka ia akan lenyap. Manakala
kita menemukan bahwa kita sedang menderita, baik fisik maupun mental, maka kita
justru mendatangi langsung penderitaan riil yang sedang hadir
tersebut.
Kita terbuka sepenuhnya terhadap penderitaan,menerimanya, berkonsentrasi
padanya, membiarkannya untuk menjadi sebagaimana adanya. Artinya kita mesti bersabar
dan menghadapi ketidaknyamanan dari suatu
kondisi.
Kita harus bertahan pada kebosanan, keputusasaan, kebimbangan, kecemasan dan
ketakutan agar bisa memahami berakhirnya penderitaan daripada cuma selalu melarikan
diri darinya.
Selama
kita tidak mengijinkan sesuatu berakhir,maka kita hanya menciptakan kamma baru
yang justru memperkuat kebiasaan-buruk kita. Ketika sesuatu
timbul,
kita menggenggam serta melipatgandakannya;dan segalanya bertambah rumit.
Kemudian semua ini akan diulang dan diulang dalam semua kehidupan kita
—
tak bisa caranya kita berputar-putar menuruti segala nafsu-keinginan serta
ketakutan, dan kemudian berharap mampu merealisasi kedamaian.
Kita
mengkontemplasikan ketakutan dan nafsu-keinginan sehingga tidak akan
membohongi
kita lagi: kita harus mengetahui apa yang membohongi kita sebelum kita dapat
melepasnya. Nafsukeinginan dan ketakutan harus dipahami sebagai
tak-kekal,tak-memuaskan, dan bukan diri. Keduanya dilihat dan ditembus sehingga
penderitaan dapat terbakar habis dengan sendirinya.
Sangat
penting untuk membedakan antara“berakhirnya” (cessation) dengan
“pemusnahan”(annihilation) — yakni nafsu untuk menyingkirkan sesuatu.
Berakhirnya
adalah akhir alami dari segala kondisi apapun yang muncul.
Jadi ini bukan nafsu-keinginan! Berakhirnya bukanlah
sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran melainkan akhir dari sebuah awal,
kematian dari yang terlahir.
Oleh
karena itu berakhirnya bukan-diri — ini tidak datang dari perasaan ‘Saya harus
menyingkirkan sesuatu,’tetapi adalah tatkala kita membiarkan apa yang muncul untuk
lenyap. Untuk melakukannya maka kemelekatan harus ditinggalkan – dibiarkan
berlalu. Meninggalkan bukan berarti menolak atau membuangnya melainkan sekedar
melepas membiarkannya berlalu.
Kemudian
ketika kemelekatan atau kecanduan (craving) lenyap, anda mengalami nirodha –
berakhirnya, kekosongan, ketidak-melekatan. — Nirodha adalah kata
lain
dari Nibbana. Ketika anda telah melepas sesuatu dan membiarkannya lenyap, maka
yang tersisa adalah kedamaian.
Anda
dapat mengalami kedamaian itu melalui meditasi anda. Ketika anda telah
membiarkan nafsukeinginan berakhir dalam pikiran, dan yang tersisa adalah
suatu
kedamaian yang luar biasa. Inilah kedamaian sejati, Keabadian (the Deathless).
Ketika anda benar-benar mengetahui sebagaimana adanya, anda mewujudnyatakan nirodha
sacca, Kebenaran akan Berakhirnya, dimana tiadadiri
namun
tetap ada kewaspadaan dan kejernihan. Arti kebahagian luar biasa sebenarnya
adalah kedamaian,kesadaran transendental.
Bila
kita tidak mengijinkan berakhirnya, maka kita cenderung bertindak berdasarkan
asumsi-asumsi yang kita buat mengenai diri sendiri tanpa tahu apa yang sesungguhnya
kita lakukan. Terkadang kita sendiri tidak menyadari sampai kita mulai berlatih
meditasi bahwa ternyata ada banyak ketakutan dan rasa kurang percaya diri dalam
hidup kita berasal dari pengalaman masa kecil.
Saya
ingat semasa kecil mempunyai seorang sahabat karib yang berbalik memusuhi serta
menampik saya. Sehabis itu saya merana selama berbulan-bulan. Kejadian itu
begitu membekas dalam pikiran. Kemudian melalui meditasi
saya
sadar bahwa kejadian kecil seperti itu saja seterusnya mempengaruhi hubungan
saya dengan orang lain — saya selalu memiliki ketakutan besar pada penolakan
(rejection).
Saya
bahkan tak pernah memikirkan hal itu sampai ingatan itu terus muncul dalam
kesadaran saya saat meditasi. Pikiran yang rasional tahu bahwa menggelikan
untuk
terus
memikirkan tragedy-tragedi masa kecil. Tetapi bila ingatan-ingatan itu terus
timbul saat anda sudah separuh baya, mungkin hal tersebut hanya berusaha
mengingatkan anda mengenai asumsi-asumsi yang terbentuk saat anda masih
kecil.Manakala anda mulai merasakan munculnya memori-memori atau ketakutan
obsesif dalam meditasi,daripada menjadi frustasi atau kesal, lihatlah itu
sebagai
sesuatu
yang harus diterima dalam kesadaran sehingga anda dapat melepasnya (let them
go). — Anda memang bisa saja mengatur kehidupan sehari-hari sedemikian rupa
sehingga anda tidak pernah lagi melihat hal-hal ini (endapan memori,
ketakutan-ketakutan obsesif anda dsb.);kemudian kondisi-kondisi yang memicunya
pun dapat minimal. Barangkali bisa dengan cara membenamkan diri
pada
pelbagai aktifitas ‘perjuangan’ penting dan disibukkan olehnya; sehingga kecemasan
serta ketakutan-ketakutan tanpa nama ini tiada pernah tampil menjadi sadar –
namun apa yang terjadi bilamana anda mampu melepasnya?
Nafsu-keinginan
atau obsesi itu bergerak — bergerak ke arah pelenyapan. Berakhir. — Kemudian
anda pun bakal memiliki insight bahwa: inilah lenyapnya nafsu-keinginan (there
is the cessation of desire). Jadi aspek ketiga dari
Kebenaran
Ariya Ketiga adalah: berakhirnya [penderitaan] telah direalisasi.
REALISASI
Pelenyapan
harus diwujudnyatakan. Sang Buddha berkata dengan empatik: ‘Ini adalah
kebenaran yang musti direalisasi di sini dan sekarang.’ Kita tidak harus
menunggu sampai kita mati untuk mengetahui benar tidaknya — ajaran ini adalah
buat manusia hidup seperti kita. Setiap orang musti mewujudnyatakannya. Saya
mungkin dapat saja memberitahu dan mendorong anda tetapi saya toh tidak dapat
membuat anda merealisasikannya!
Jangan
memikirkannya sebagai sesuatu yang amat jauh atau di luar jangkauan. Ketika
kita membicarakan Dhamma atau Kebenaran, kita mengatakannya di sini dan sekarang,
dan sesuatu yang dapat kita lihat sendiri. Kita dapat berlindung dalamnya; kita
dapat bersandar pada Kebenaran. Kita dapat memperhatikannya sebagaimana adanya,
di sini dan sekarang, saat ini dan di sini juga.
Inilah perhatian-penuh (mindfulness) — yaitu
waspada dan memperhatikan sesuatu sebagaimana adanya. Melalui perhatian penuh,
kita menyelidiki perasaan keakuan,perasaan aku dan milikku: badanku,
perasaanku, ingatan-ingatanku,
pikiranku,
pandanganku, pendapatku, rumahku,mobilku, dan sebagainya.
Kecenderungan
diri saya adalah rendah diri.Contohnya, dengan pikiran :’Saya adalah Sumedho,’
maka saya akan berpikir negatif: ‘Saya orang yang tidak berguna.’
Tetapi
dengar, darimanakah itu muncul dan dimanakah itu berakhir? . . . atau, ‘Saya
lebih baik dari anda, saya memiliki pencapaian yang lebih tinggi. Saya telah
menjalani kehidupan suci lebih lama, berarti saya lebih baik dari anda semua!’
Darimanakah ITU ber-awal dan ber-akhir?
Ketika
ada arogansi, kesombongan atau rendah diri— apapun itu — amatilah; dengarlah ke
dalam batin: ‘Saya adalah . . . .’ Waspada dan perhatikanlah pada ruang [sela] itu
sebelum anda memikirkannya; kemudian pikirkanlah
dan
perhatikan ruang [sela] yang muncul. Pertahankan perhatian anda pada kekosongan
di akhir dan seberapa lama anda dapat memertahankan perhatian itu. Coba lihat apakah
anda dapat mendengar sejenis suara bordering dalam pikiran, suara kesunyian,
suara awal. Ketika anda memusatkan perhatian padanya, anda dapat
merefleksi:‘Apakah ada rasa keakuan?’ (!) Anda melihat bahwa tatkala anda
benar-benar kosong — tatkala yang ada hanya kejernihan, kewaspadaan, perhatian
— maka tiada keakuan. Tidak ada perasaan aku dan milikku. Jadi saya
menuju
keadaan kosong itu dan merenungkan Dhamma: saya berpikir, ‘Inilah sebagaimana
adanya. Tubuh ini hanyalah demikian.’ Sekarang saya bisa memberinya nama atau
tidak, tetapi demikianlah apa adanya. Ini bukanlah
Sumedho!
[Bahkan] tidak ada [yang namanya] bhikkhu dalam kekosongan. ‘Bhikkhu’ hanyalah
sebuah kesepakatan yang sesuai pada suatu waktu dan tempat tertentu. Ketika seseorang
memuji anda dan berkata, ‘Hebat’, anda dapat mengetahuinya hanya sebagai
seseorang memberikan pujian tanpa menganggapnya untuk diri-anda (taking it personally).
Anda tahu bahwa sebenarnya tiada bhikkhu di sana; hanya apa adanya. Demikian
apa adanya.
Bila
saya ingin Amaravati sukses dan itu terjadi, maka saya gembira. Namun bagaimana
jika gagal, jika tidak ada yang tertarik, kita tidak dapat membayar rekening
listrik dan semuanya ambruk — gagal! Tetapi sebenarnya tiada Amaravati. Ide
bahwa seseorang adalah bhikkhu atau sebuah tempat bernama Amaravati – ini semua
hanyalah kesepakatan (convention) bukan realitas ultimit. Sekarang ini
demikianlah apa adanya, demikianlah seharusnya.
Seseorang
tiada perlu menanggung beban akan tempat seperti itu karena telah melihat hal
yang sebenarnya dan tidak ada orang yang perlu masuk-terlibat di dalamnya (no
person to be involved in it). Dengan cara yang sama, apakah hal tersebut sukses
atau gagal tak lagi begitu penting.
Dalam
kekosongan (emptiness), semua adalah sekedar sebagaimana adanya. Ketika kita
sadar dengan cara ini, bukan berarti kita menjadi acuh tak acuh pada
kesuksesan
atau kegagalan dan tak melakukan apapun.
Kita
dapat menerapkankan diri kita sendiri. Kita tahu apa yang dapat kita lakukan;
kita tahu apa yang harus dilakukan dan kita bisa melakukannya dengan cara yang
baik.
Kemudian semuanya menjadi Dhamma, menjadi apa adanya. Kita melakukan sesuatu
karena itu adalah sesuatu yang tepat untuk dilakukan pada saat ini dan di sini
—bukan karena ambisi pribadi atau takut akan kegagalan.
Jalan
menuju lenyapnya penderitaan adalah jalan menuju kesempurnaan. Kesempurnaan
adalah sebuah kata yang agak menyeramkan karena kita merasa sangat tidak
sempurna. Sebagai individu, kita heran mengapa kita berani bahkan sekadar untuk
memikirkan kemungkinan menjadi sempurna. Kesempurnaan manusia bukanlah sesuatu
yang dibicarakan orang-orang; tampaknya tidaklah
mungkin
untuk memikirkan kesempurnaan dalam lingkup manusia. Tetapi seorang arahat
hanyalah seorang manusia biasa yang telah menyempurnakan hidupnya, seseorang yang
telah mempelajari semua yang perlu dipelajari melalui hukum dasar: ‘Semua yang
berawal akan berakhir.’ Seorang arahat tak perlu tahu segala-galanya mengenai semuanya;
yang diperlukan hanyalah mengetahui dan
paham
sepenuhnya hukum ini.
Kita
menggunakan kebijaksanaan Buddha untuk merenungkan Dhamma, segala sesuatu apa
adanya. Kita berlindung pada Sangha, pada apa yang baik dan tidak
berbuat
jahat. Sangha adalah se-suatu, sebuah komunitas. Sangha bukan kumpulan
individu-individu yang berbeda atau karakter-karakter yang berbeda. Perasaan
menjadi individu seorang pria atau wanita tiada lagi penting bagi kita.
Perasaan sebagai Sangha ini direalisasikan sebagai Perlindungan. Ada kesatuan
itu sehingga walaupun semua perwujudannya adalah individual, realisasinya sama.
Dengan terjaga, waspada, dan tiada lagi melekat, kita merealisasi berakhirnya
penderitaan dan tinggal di dalam kekosongan dimana kita semua menyatu.
Tiada
lagi orang (diri-pribadi, person) di sana. Orang dapat timbul dan lenyap di
dalam kekosongan, namun tidak ada person. Hanya ada kejernihan, kesadaran,
kedamaian, dan kemurnian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar