Jumat, 11 Mei 2012

Mencintai Kehidupan




Ada beberapa hal yang menarik dalam agama Buddha, yang membuat dunia Barat tertarik. Ada sebuah cerita: suatu saat, seseorang sedang berkunjung ke suatu ruangan, dan pada waktu itu seorang bhikkhu sedang berada di sana bersama dengan beberapa orang umat lainnya. Di ruang tersebut terdapat banyak semut, bhikkhu itu meminta agar semut-semut tersebut disapu—mencegah agar tamu tersebut ti dak membunuh semut-semut. Di samping itu, ia ingin mengajarkan dan memberikan contoh kepada tamu tersebut bahwa membunuh itu tidak baik. Lalu, salah seorang umat mulai menyapu, tamu tersebut hanya memperhati kan dan berkata, “Bunuh saja semutnya!” Seorang umat yang lain berkata, “Jangan dibunuh, kita harus mencintai kehidupan.” Menurut tamu tersebut, membunuh semut juga berarti mencintai kehidupan. Semut itu mengganggu kehidupannya, dengan membunuh semut berarti dia telah mencintai kehidupannya sendiri.

Anda boleh mencintai kehidupan Anda, tetapi apakah dengan mencintai kehidupan sendiri, Anda harus membunuh mahkluk lain? Dengan tidak membunuh makhluk lain, sesungguhnya Anda bisa mencintai kehidupan Anda, seperti makhluk-makhluk itu yang juga mencintai kehidupannya sendiri. Anda juga tidak ingin dibunuh.

Ketika Anda dianggap berbahaya oleh orang lain, orang itu akan membunuh Anda. Apakah hal itu yang Anda inginkan?


Di negara-negara Buddhis, sejak kecil anak-anak diajarkan untuk tidak membunuh, misalnya, jangan menangkap jangkrik,kupu-kupu, atau memelihara burung. Anak-anak menjadi takut membunuh—karena orang tua mengajarkan bahwa membunuh dilarang oleh Sang Buddha—dan takut akibat yang akan diterima jika membunuh makhluk hidup, tetapi mereka belum mengerti apa arti mencintai kehidupan. Saat beranjak dewasa, saat mereka sudah dapat menggunakan intelektualitas mereka, barulah diberikan penjelasan mengapa tidak boleh membunuh.

Apa hanya karena takut menerima buah karma buruk atau penderitaan. Bukan karena itu, tetapi karena kehidupan itu memang berharga.

Anak-anak di negara Buddhis tidak membunuh karena pengaruh keyakinan orang tuanya, yakni membunuh dilarang oleh Sang Buddha—karena membunuh akan mengakibatkan penderitaan.

Tetapi beda halnya dengan seorang bapak yang baru belajar Dhamma, bapak itu tidak membunuh semut karena pengertiannya sendiri.

Ajaran Buddha bersifat konsisten, salah satunya adalah tentang konsistensi mencintai kehidupan. Dhamma ti dak pernah membuat standar ganda tentang mencintai kehidupan.
Contohnya: membunuh berarti tidak menghargai kehidupan, termasuk misalnya jika ada seseorang yang ingin mengganggu Sang Buddha, maka orang itu tidak boleh dibunuh. Sang Buddha konsisten dengan ajarannya, seperti yang ada pada hukum alam yang selalu konsisten. Dalam ajaran Sang Buddha, menghargai kehidupan—larangan pembunuhan—menjadi hal yang sangat penting.

Konsistensi tentang larangan itu, tidak akan pernah berubah. Berat dan ringannya akibat yang akan dialami dari perbuatan membunuh tentu berbeda-beda.

 Ajaran mencintai kehidupan sering disebut sebagai ‘metta ’ atau cinta kasih—mencintai semua kehidupan tanpa kecuali.

Almarhum Soedjatmoko pernah menulis, bahwa ada dua pandangan tentang keberadaan manusia di dunia. Pandangan yang satu menyatakan bahwa manusia memiliki mandat untuk mengelola alam ini. Pengerti an ini bisa memicu manusia untuk meng-eksploitasi kekayaan alam. Pengerti an yang kedua: manusia adalah bagian dari alam, penjaga alam, bukan pengelola alam.

Memancarkan metta dan menghargai kehidupan bisa langsung dilakukan dalam praktik dan sikap hidup sehari-hari. Kebaikan,ketulusan memang harus selalu dipelajari dan dilatih; tetapi keburukan tidak perlu sulit-sulit dipelajari. Semua sumber kebaikan berasal—mengalir—dari metta, mencintai kehidupan.

Dengan berkembangnya metta, maka niat melanggar sila akan lebih sulit muncul karena pikiran telah terkondisikan pada hal-hal yang baik.

Dalam keadaan lain, seseorang yang minum minuman keras memiliki empat sahabat yang nanti nya akan selalu mengikuti nya.

Yang pertama adalah berbohong atau berkata yang tidak benar, yaitu waktu berbicara saat sedang mabuk. Tanpa sadar ia akan mengatakan sesuatu yang tidak baik atau tidak benar. Yang kedua,mencuri: seseorang yang telah kecanduan minuman keras akan mencuri jika tidak lagi memiliki uang untuk membeli minuman keras. Yang ketiga, orang mabuk juga cenderung melakukan perbuatan asusila. Yang terakhir, keempat, membunuh: orang yang kecanduan minuman keras akan melakukan segala cara untuk memperoleh apa yang diinginkan, termasuk membunuh, karena dia sudah ti dak bisa mengendalikan dirinya lagi akan apa yang dilakukan.

Orang yang semula kecanduan dan sekarang telah sembuh dari kecanduannya, ia bisa teringat kembali pada kenikmatan kecanduan di masa lalu, dan ia bisa kembali pada kebiasaan yang tidak baik itu. Rokok merupakan pembunuh yang sangat cepat, karena rokok banyak mengandung zat-zat yang ti dak baik.

Marilah mengembangkan metta, mencintai kehidupan, tidak hanya melaksanakan melalui ucapan, tetapi perbuatan. Setelah memiliki metta, maka seseorang akan memiliki karuna – welas asih, dan mudita – rasa simpati .

Perilaku sangat berharga yang lebih tinggi untuk dikembangkan adalah meditasi. Meditasi bisa membantu dalam menghadapi kesulitan, emosi, ataupun ketegangan. Dalam latihan awal meditasi, sebaiknya kita tidak mencari ketenangan, karena ketenangan itu adalah hasil dari latihan terus-menerus.

Yang kedua adalah pandangan terang atau kebijaksanaan.

Kebijaksanaan yang mampu memotong kotoran batin muncul dari hasil meditasi. Saat tidak sedang meditasi, ada kalanya kita merasa tenang. Ini bukan ketenangan yang sesungguhnya. Ketenangan yang timbul saat tidak sedang bermeditasi adalah ketenangan yang timbul karena terpenuhinya kebutuhankebutuhan indera kita.

Enam indera yang kita miliki adalah: mata yang melihat, telinga yang mendengar, hidung yang membau, lidah yang merasakan rasa, badan yang merasakan sentuhan, dan pikiran. Jika ada kebutuhan yang ti dak terpenuhi, maka kita akan gelisah. Seperti mendapatkan makanan yang tidak disenangi, bau yang tidak sedap, atau hinaan.

Ketenangan yang kita peroleh dari kepuasan indera, misal: melihat pemandangan indah, duduk di tempat yang empuk, adalah berbeda dengan ketenangan yang didapat saat kita bermeditasi. Saat bermeditasi, pikiran memperhatikan objek meditasi, mata tidak melihat karena tertutup, telinga mendengar tapi tidak ada perhatian, hidung tidak membau apa-apa, lidah tidak makan, tubuh tidak menyentuh apa-apa. Meditasi mencoba untuk mereduksi rangsangan panca indera yang sangat ganas,yang sulit untuk dikendalikan.

Jika meditasi dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan mendapatkan ketenangan tanpa harus memberi makanan kepada indera dan pikiran. Yang disenangi tubuh kita, yaitu tidur berlama-lama, mata menonton film yang disukai, telinga mendengar lagu-lagu favorit, mencium aroma/ bebauan yang harum, lidah selalu mencari makanan. Panca indera menjadi pintu pikiran yang selalu menuntut lebih dan tidak pernah bisa merasa puas. Hal-hal yang dulu sudah dapat memuaskan, sekarang harus mencari sesuatu yang berbeda, yang lebih dari biasanya.

Ketenangan rendah yaitu saat panca indera merasa nyaman, tidak terusik oleh hal-hal yang tidak menyenangkan. Ketenangan pikiran terjadi karena pikiran diberikan sasaran atau objek yang harus diperhati kan. Syarat orang bermeditasi adalah adanya perhatian. Perhatian terhadap naik-turunnya perut, atau keluar-masuknya napas, atau dengan mengucapkan “Semoga semua mahkluk berbahagia.” Pikiran kita ini sangat liar bila dibandingkan dengan ucapan dan perbuatan kita.

Sesuatu yang menyebabkan terjadinya meditasi adalah perhatian—perhatian terus-menerus. Dari perhatian terus-menerus akan muncul pengetahuan. Jika hanya melihat sepintas, tidak dapat dikatakan sebagai suatu lati han meditasi. Dari perhatian terus-menerus, akan timbul rasa bosan—apalagi yang diamati sesuatu yang bersifat netral. Meditasi yang paling baik, yang bisa menimbulkan pencerahan adalah meditasi dengan objek netral, yaitu dengan memperhatikan bagian dari tubuh atau mental ini. Meditasi membutuhkan keuletan untuk mengamati secara terus-menerus. Keuletan terus-menerus ini lazim disebut viriya atau semangat. Dua hal ini—keuletan (viriya) dan perhatian (sati )—adalah faktor mental yang dimiliki oleh semua orang, baik yang beragama maupun yang tidak beragama.

Jadi apa perbedaan manusia dengan binatang? Manusia adalah binatang yang dapat berpikir, memerlukan kebutuhankebutuhan secara distinctive, berbeda.

Ditinjau dari Dhamma,manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia tidak hanya bisa berpikir, tetapi bisa menyadari pikirannya. Sebagai contoh, segala sesuatu yang dilakukan secara terus-menerus tapi tidak ada perhatian, seperti menyapu halaman, belajar, dan yang lain-lain.

Tetap ada hasil dari pekerjaan tersebut, yaitu hasil duniawi, tetapi tidak ada manfaat batin atau mental, karena dilakukan tanpa perhatian penuh. Menyapu atau mengepel bisa dijadikan objek meditasi bila melakukan pekerjaan sederhana itu dengan perhatian penuh, terus-menerus—tidak sambil memperhatikan hal-hal lain atau melamun.

Latihan meditasi di vihara dianjurkan untuk dilakukan dengan aktivitas perlahan-lahan. Karena dengan melakukan kegiatan secara perlahan-lahan, maka perhatian akan timbul. Syarat terjadinya meditasi adalah kerjakan segala sesuatu dengan penuh perhatian secara terus-menerus pada objek tertentu.

Yang menjadi salah satu hambatan adalah:

1. Rasa bosan

2. Tuntutan pikiran untuk mencari yang lain, sehingga menjadikan gelisah, menimbulkan keraguan, rasa malas,kebencian, dan sebagainya.

Mencoba untuk berlatih meditasi pagi dan malam hari, karena pada saat duduk diam adalah saat yang paling mudah untuk menghadirkan perhatian. Yang bisa digunakan sebagai objek meditasi antara lain metta dan pernapasan. Napas yang diperhatikan, makin lama akan terlihat makin halus, dan makin terasa membosankan. Suatu saat, dengan latihan terus-menerus, pikiran kita akan diam. Dan kita bisa merasakan ketenangan, tanpa harus menuruti keinginan inderawi. Ketenangan adalah hasil dari perhatian atau kesadaran. Ketenangan muncul dari kesadaran murni, bukan datang dari panca indera yang mendapat kepuasan.

Kesimpulan

1. Sebagai seorang umat Buddha harus mempunyai sikap yang baik dalam bergaul di tengah-tengah masyarakat, sebagai praktik dari ajaran Dhamma. Contoh: mencintai kehidupan,ketulusan, pengendalian diri, yang semuanya bersumber dari metta.

2. Melatih meditasi. Meditasi dilatih dengan perhatian dan keuletan. Tujuan meditasi Buddhis antara lain adalah membuka pengetahuan kita terhadap dunia ini secara apa adanya, agar kita ti dak terkejut bila mengalami atau menghadapi perubahan. Di samping itu, amat berguna untuk menambah pengetahuan tentang kehidupan lewat kemampuan intelektualitas kita seperti membaca dan mendengarkan ceramah. Pengetahuan itu adalah pengetahuan tentang ketidakkekalan, pengetahuan tentang saling bergantungan (interdependensi). Karena, di dunia ini semua saling bergantungan, tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Banyak faktor yang mendukung pada segala hal.

3. Dengan adanya pengetahuan, perubahan tidak akan menghancurkan kehidupan.

4. Meditasi membawa ketenangan. Meditasi menumbuhkan pengetahuan. Pengetahuan intelektual, tidak dapat memotong kemelekatan emosi sekaligus. Yang dimaksud dengan pengetahuan intelektual adalah secara intelektual mengerti semua berubah, tetapi jika apa yang dimiliki berubah, maka akan sulit untuk menerima kenyataan itu.

Secara logika intelektual, hukum perubahan bisa dimengerti , tetapi dalam praktik keseharian perubahan itu sukar diterima. Lain halnya dengan pengetahuan dari meditasi.

Apapun yang terjadi, yang kita terima atau rasakan, kita dapat tetap bersikap seimbang.

Meditasi memberikan dua hasil, yakni:

1. Ketenangan sebagai hasil dari Samatha

2. Pengetahuan dan kebebasan sebagai pencapaian dari Vipassana

Pengetahuan dari meditasi sangat kuat, membuat kita tidak terombang-ambing terhadap perubahan. Jika pengetahuan hasil dari meditasi belum muncul, maka kita harus menambah pengetahuan itu dengan belajar, membaca, mendengar.

Pengetahuan intelektual berguna untuk mereduksi kesedihan, kesusahan, rasa penasaran, kekecewaan, dan emosi-emosi mengganggu lainnya.

Pengetahuan meditatif sering disebut sebagai Lokuttara Pañña atau Insight wisdom, yakni kebijaksanaan yang muncul dari batin yang sudah tenang. Pengetahuan dari meditasi itulah yang dapat memotong penderitaan. Tenang menghadapi perubahan apapun.

Pengetahuan intelektual sering disebut sebagai Lokiya Pañña atau Intelectual wisdom, yakni kebijaksanaan yang didapat dari berpikir, berdiskusi, membaca. Pengetahuan ini juga dapat membantu menerima perubahan.



Kumpulan ceramah Sri Pannyavaro Mahathera

Vidyāsenā Production
Vihāra Vidyāloka

Tidak ada komentar: