By : Venerable Ajahn Sumedho
KEBENARAN
ARIYA PERTAMA
Apakah
Kebenaran Ariya tentang Penderitaan? Hidup adalah penderitaan, menjadi tua
adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, perpisahan dari yang dicintai
ialah penderitaan, tidak mendapatkan yang diinginkan ialah penderitaan;
singkatnya, kelima kelompok unsur yang dipengaruhi kemelekatan adalah
penderitaan.
Inilah
Kebenaran Ariya tentang Penderitaan; demikianlah penglihatan, pengetahuan,
kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya yang timbul dalam diriku mengenai hal yang belum
pernah kudengar sebelumnya.
Kebenaran
Ariya ini harus ditembus dengan sepenuhnya memahami penderitaan: demikianlah
penglihatan,pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya
yang
timbul dalam diriku mengenai hal yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Kebenaran
Ariya ini telah ditembus dengan sepenuhnya memahami penderitaan; demikianlah
penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan cahaya
yang
timbul dalam diriku mengenai hal yang belum pernah kudengar sebelumnya.
[Samyutta
Nikaya LVI, 11]
Kebenaran
Ariya Pertama dengan ketiga aspeknya adalah: ‘Ada penderitaan, dukkha. Dukkha
harus dipahami.Dukkha telah dipahami.’
Ajaran
ini sangat terampil karena diungkapkan dalam rumusan sederhana yang mudah
diingat, dan bisa dipakai untuk semua hal yang anda alami, lakukan atau
pikir
mengenai hal yang lampau, sekarang atau akan datang.
Penderitaan
atau dukkha adalah ikatan umum yang dialami kita semua. Semua orang di
mana-mana menderita. Manusia menderita di masa lalu, di India kuno;
Inggris
modern; dan di masa depan, manusia juga bakal menderita…. Apa kesamaannya
antara kita dengan Ratu Elizabeth? — kita sama-sama menderita. Dengan pelacur di
Charing Cross, apa kesamaan kita? — penderitaan.
Penderitaan
melingkupi semua tingkatan dari manusia elit yang paling istimewa sampai dengan
yang rendahan dan tersisih. Semua orang di mana-mana menderita — inilah perikatan
antara kita semua, suatu hal yang kita semua
paham.
Manakala
kita membahas tentang penderitaan umat manusia, cenderung rasa welas-asih
kitalah yang muncul. Tetapi ketika kita berbicara mengenai opini-opini
kita,
tentang pendapat saya dan pendapat anda mengenai politik dan agama, kita bisa
berperang. Saya mengingat sepuluh tahun yang lalu sewaktu menonton
film
di London. Saya mencoba untuk membayangkan orang-orang Rusia sebagai
manusia-biasa dengan memperlihatkan para wanita Rusia dengan bayi-bayinya
dan
para prianya membawa anak-anak mereka berpiknik.
Pada
waktu itu gambaran orang Rusia seperti ini tidaklah biasa karena kebanyakan
propaganda Barat menampilkan mereka bagai monster-monster raksasa atau manusia reptil
yang berhati dingin — sehingga kita tidak pernah menimbang mereka sebagai
manusia-biasa. – Kalau anda mau membunuh orang, anda memang mesti membuat citra
mereka tampak seperti itu; akan sulit membunuh
orang
bila anda menyadari bahwa sebenarnya mereka juga sama menderitanya dengan kita.
Anda harus berpikir bahwa mereka berhati dingin, tidak bermoral, tidak berharga
dan batil — bahwa lebih baik kalau mereka disingkirkan saja.
Anda harus berpikir bahwa mereka memang jahat
dan merupakan hal yang mulia untuk menyingkirkan kejahatan. Dengan sikap
seperti ini, anda merasa dibenarkan buat mengebom dan menembaki mereka.
Sebaliknya, apabila anda mengingat tentang adanya ikatan kesamaan dalam
penderitaan kita, maka pikiran ini bakal mencegah anda untuk tega melaksanakan hal-hal
semacam itu.
Kebenaran
Ariya Pertama bukanlah pernyataan metafisik yang suram bahwa semuanya adalah
penderitaan.
Perhatikan
bahwa ada perbedaan antara doktrin metafisik dimana anda membuat pernyataan
mengenai yang absolut dan Kebenaran Ariya yang merupakan refleksi
atau
permenungan. Kebenaran Ariya adalah kebenaran yang digunakan untuk refleksi;
bukan yang absolut; bukan Sang Absolut. [Sesuatu
yang absolut (mutlak, solid, independen memang dari sono-nya, dari dirinya
sendiri) berarti takkan bisa berubah – tidak ada jalan-keluarnya – ed.]
Pada
bagian ini biasanya orang Barat kebingungan karena mereka mengartikan Kebenaran
Ariya ini sebagai kebenaran metafisik Buddhisme — tetapi bukanlah demikian
maksudnya.
Anda
bisa melihat bahwa Kebenaran Ariya Pertama bukanlah pernyataan yang absolut
dikarenakan adanya Kebenaran Ariya Keempat, yakni: jalan menuju ke
tanpapenderitaan.Anda tak mungkin memiliki penderitaan yang absolut dan kemudian
ada jalan-keluarnya bukan? Tidak masuk akal. Walaupun begitu toh ada juga
beberapa orang yang memungut Kebenaran Ariya Pertama lalu mengatakan bahwa Sang
Buddha mengajarkan semuanya adalah penderitaan.
Kata
Pali, dukkha, berarti ‘tidak mampu memuaskan’ atau ‘tidak mampu menahan
apapun’: selalu berubah, tidak mampu untuk benar-benar memuaskan atau membahagiakan
kita. Demikianlah dunia inderawi, yang hakekatnya hanya getaran. Namun pada
kenyataannya malah lebih buruk bila kita dapat menemukan kepuasan di dunia
indera karena kita kemudian takkan mencari yang melampauinya; kita cuma bakal
terikat padanya. Namun, tatkala kita sadar akan dukkha, kita mulai mencari
jalan keluar sehingga kita tak lagi selalu terperangkap dalam kesadaran indera
saja.
PENDERITAAN
DAN KEAKUAN
Refleksi
pada untaian kata Kebenaran Ariya pertama sangatlah penting.
Kebenaran
ini diungkapkan dengan sangat jelas: “Ada penderitaan”, bukannya, ‘Saya
menderita.’Secara psikologis, refleksi ini merupakan cara yang lebih
baik
untuk mengungkapkannya. Kita cenderung untuk mengartikan penderitaan kita
sebagai ‘Saya benar-benar menderita. Saya sangat menderita — dan saya tidak
ingin menderita.’ — Ya beginilah cara berpikir kita terkondisi.
‘Saya
menderita’ selalu membawa makna bahwa ‘Saya adalah orang yang sangat menderita.
Penderitaan ini adalah milik saya; saya memiliki banyak penderitaan dalam hidup
saya.’ Kemudian seluruh proses kait-mengkait
antara
diri sendiri dengan ingatan berlangsung. Anda mengingat apa yang terjadi ketika
anda masih bayi… dan sebagainya.
Perhatikanlah
bahwa sekarang kita tidak lagi mengatakan ada orang yang menderita. Maka
penderitaan bukan lagi suatu penderitaan personal (pribadi) ketika kita
memandangnya sebagai ‘Ini ada penderitaan.’ Cara pandang kita bukan: ‘Duhh…,
betapa kasihannya saya ini,mengapa saya harus begitu menderita? Apa yang telah aku
lakukan sehingga nasibku seperti ini? Mengapa saya bertambah tua? Mengapa saya
harus memiliki kesusahan,kepedihan, ratap tangis dan keputus-asaan? Ini tidak adil!
Saya tidak mau. Saya hanya mau kebahagiaan dan rasa-aman’ – Semua pemikiran
semacam ini timbul dari kekeliru-tahuan (ignorance): [kebodohan psyche; batin yang salahpaham akan sifat dasar segala
fenomena (tak-permanen, tak bisa sungguh memuaskan, tidak memiliki diri) dan
kita melihatnya secara keliru-terbalik,menyangka fenomena sebagai: permanen,
sungguh mampu memuaskan,solid- mutlak-independen; disamping salah melihat, kita
makhluk yang belum tercerahkan juga melekat pada kebodohan batin ini – ed.]
yang memperumit segala sesuatu dan berakibat
pada permasalahan kepribadian.
Untuk
lepas dari penderitaan kita harus mengakuinya dalam kesadaran. Tetapi pengakuan
dalam meditasi Buddhis tidak bertolak dari ‘Saya sedang menderita’
melainkan,
‘Ada kehadiran penderitaan’, karena: kita tidak mengidentifikasi diri kita
dengan permasalahan tersebut, melainkan sekedar mengenali keberadaannya.
‘Saya
pemarah; saya mudah sekali marah; bagaimanakah cara menghilangkannya?’ cara
berpikir demikian tidaklah skillful [:
terampil secara spiritual; suatu istilah yang agak khas di dalam Buddhisme,
berkait dengan pengertian: kecerdasan spiritual, keterampilan memilih atau
menggunakan metode-jitu yang manjur serta bermanfaat bagi kemajuan [spiritual]
– ed.]
—
hal ini memicu semua anggapan-tersembunyi mengenai diri [The
underlying assumptions of a self: kecenderungan-kecenderungan mental mendasar
(bawah sadar) yang otomatis-cepat suka menganggap begitu saja adanya “aku” yang
solid-mandiri sebagai tokoh [atau korban] dari pengalaman-pengalaman kita.
Kebodohan mental ini menyebabkan moda pikir (pengalaman) kita jadi sempit,
picik, kaku, mencekam, tegang, menjengkelkan – tak bisa
longgar-luas-perspektif-rileks – ed.] dan sulit sekali untuk mendapatkan
perspektif [yang longgar] dari pemikiran semacam itu. Keadaan pikiran menjadi
sangat kisruh karena perasaan mengenai masalah-ku atau pemikiran-ku dengan
mudahnya membikin kita tertekan atau membuat kita mengadili serta mencela diri
kita sendiri. Kita condong untuk melekat dan mengidentifikasi daripada
mengamati, menyaksikan dan memahami sesuatu sebagaimana adanya. — Namun
manakala anda bisa sekedar mengakui adanya perasaan kalut, bahwa ada ketamakan atau kemarahan, maka
timbullah refleksi yang jujur mengenai sebagaimana apa adanya dan anda pun
telah menghilangkan semua anggapan-tersembunyi [tentang diri] — atau paling
tidak menyusutnya.
Jadi
jangan melekat kepada hal-hal ini sebagai suatu kesalahan personal tetapi
tetaplah merenungkan kondisi-kondisi ini sebagai tak-kekal, tak-memuaskan dan
bukan-diri.
Tetaplah merefleksi, melihatnya sebagaimana adanya. – Umumnya kecenderungan
orang adalah untuk memandang hidup dari sudut: “Ini adalah masalah saya”, —
dengan demikian orang menyangka bahwa ia sudah berlaku jujur serta terus-terang
pada diri sendiri.
Lalu
kehidupan kita pun cenderung untuk semakin mempertegas sikap pikir seperti itu
karena hidup kita terus beroperasi berlandaskan anggapan salah tersebut. Tetapi
bahkan pandangan itu sesungguhnya juga: tidak-kekal, tidak-memuaskan dan
bukan-diri.
‘Ada
penderitaan’ (There is suffering) merupakan pengakuan yang sangat jelas dan
tepat bahwa pada saat ini ada perasaan ketidak-bahagiaan. Perasaan ini bisa
berkisar
dari kesedihan mendalam dan keputusasaan sampai sekedar perasaan terganggu;
dukkha tidak harus berarti penderitaan yang berat. Anda tidak harus
dihancurkan
oleh kehidupan, anda tidak harus berasal dari Auschwitz atau Belsen untuk
mengatakan adanya penderitaan. Bahkan Ratu Elizabeth pun bisa berkata, ‘Ini ada
penderitaan.’ Saya yakin dia juga pernah merasakan saat-saat kesedihan mendalam
serta keputusasaan, atau paling tidak, saat-saat terganggu.
Dunia
indera itu merupakan [dunia] pengalaman yang sensitif. Maksudnya, anda selalu
terpapar pada senang dan sakit serta dualisme samsara. Rasanya seperti berada dalam
sesuatu yang sangat rapuh dan tertular oleh apapun yang kontak dengan badan ini
serta indera-inderanya. Ya demikianlah hidup ini. Inilah akibat dari kelahiran…
PENYANGKALAN
PENDERITAAN
Biasanya,
penderitaan bukanlah sesuatu yang ingin kita ketahui — kita hanya ingin
cepat-cepat menyingkirkannya. Begitu timbul perasaan tak nyaman atau terganggu,
orang-biasa yang belum tercerahkan cenderung untuk segera menyingkirkan atau
malah menekannya. Maka kita bisa lihat mengapa masyarakat
modern
terjebak untuk selalu mencari kesenangan dan kenikmatan dalam sesuatu yang
baru, menggairahkan atau romantis. Kita cenderung untuk membesar-besarkan keindahan
dan kenikmatan masa muda, sementara sisi tak enak dari kehidupan yakni: usia
tua, penyakit, kematian,bosan, keputusasaan dan depresi kita kesampingkan.
Ketika kita bertemu dengan sesuatu yang tidak menyenangkan,
kita
segera berusaha untuk lari ke yang kita senangi. Bila kita merasa bosan, kita
pergi ke sesuatu yang menarik. Bila kita merasa takut, kita mencari keamanan.
Ini merupakan tindakan yang sangat alami. Kita mengasosiasikan prinsip nikmat-dan-sakit
dengan sesuatu “yang menarik” dan“yang musti disingkirkan”.
Jadi,
manakala pikiran tidak jernih dan tak bisa menerima (receptive), maka pikiran
pun
menjadi pilih-pilih. Pikiran memilih yang disukai dan berusaha menekan yang
tidak disukai. Sehingga kebanyakan pengalaman kita musti ditekan sebab banyak
yang
akhirnya selalulah pada bagian tertentu berkait dengan sesuatu yang tak
menyenangkan.
Kalau
timbul sesuatu yang tidak mengenakkan,kita segera berseru, ‘Lari!’ Bila ada
yang menghalangi,kita berkata, ‘Bunuh dia!’ Kecenderungan ini tampak
dalam
kerja pemerintah kita…. Bukankah sebenarnya mengerikan kala kita memikirkan
orang macam apa yang menjalankan pemerintahan — karena mereka masih sangat
tidak bijaksana dan belum tercerahkan. Tetapi, ya demikianlah adanya. Pikiran
yang tidak bijaksana berpikir tentang pemusnahan: ‘Ada nyamuk. Bunuh!’,
‘Semut-semut menyerbu kamar; semprot baygon!’ Di Inggris ada sebuah perusahaan
bernama Rent-o-Kil (sewa untuk bunuh). Saya kurang tahu entah itu semacam mafia
Inggris atau bukan, tetapi spesialisasinya adalah membunuh hama — apapun artian
anda tentang kata ‘hama’ …
MORALITAS
DAN WELAS-ASIH
Itulah
makanya kita memiliki hukum seperti,‘Saya akan menahan diri untuk tidak
membunuh dengan sengaja,’ karena insting alami kita adalah membunuh:
bila
ada yang menghalangi, bunuh saja. Anda dapat melihatnya di kerajaan rimba.
Sedikit banyak kita juga memiliki sifat pemangsa; kita menyangka bahwa kita ini
beradab
namun sebenarnya kita memiliki sejarah yang sangat berdarah-darah – dalam
artian sebenar-benarnya.
Masa
lalu kita dipenuhi pembantaian tanpa akhir dan pembenaran atas segala
kesewenang-wenangan terhadap manusia lain — belum lagi termasuk binatang — dan semuanya
disebabkan oleh kebodohan mendasar ini, pikiran yang tidak merefleksi-lah yang
memberitahu kita untuk memusnahkan segala yang menghalangi.
Namun,
dengan refleksi kita melangkah untuk merubahnya; kita berjalan melampaui naluri
dasar itu,pola kebinatangan kita. Kita bukan lagi cuma boneka
masyarakat
yang taat hukum, takut membunuh Cuma karena takut ancaman dihukum. Sekarang
kita benar-benar mandiri bertanggungjawab.
Kita
menghormati hidup makhluk lain, bahkan hidup serangga dan hewan yang
tidak
kita sukai. Tak ada orang yang menyukai nyamuk atau semut, tetapi kita dapat
merefleksikan fakta bahwa mereka juga memiliki hak hidup. Demikianlah refleksi
dari pikiran; ini bukan lagi cuma bereaksi: ‘Dimana semprotan baygonnya.’ (Saya
juga tidak menyukai semut merayapi lantai saya; reaksi pertama saya adalah,
‘Dimana semprotan baygonnya.’), pikiran reflektif saya menunjukkan makhluk ini
mengganggu dan walaupun saya lebih suka kalau
mereka
menyingkir saja, namun mereka memiliki hak untuk hidup. Inilah refleksi pikiran
manusiawi. Cara yang sama berlaku pula terhadap keadaan pikiran yang tidak
menyenangkan. Jadi ketika anda sedang marah, daripada berkata: ‘Oh saya
lagi-lagi marah!’kita merefleksikan: ‘Ini ada kemarahan.’ Sama halnya dengan
rasa takut — bila anda mulai memandangnya sebagai ketakutan ibu saya atau
ketakutan ayah saya atau ketakutan anjing saya atau ketakutan saya, maka
semuanya menjadi jejaring lengket dari berbagai macam makhluk yang terhubung di
satu sisi dan tidak terhubung di sisi lain; sehingga menjadi sulit untuk
memiliki pemahaman yang baik. Kendatipun demikian, ketakutan dalam makhluk ini
dan ketakutan dalam anjing kudis, adalah hal yang sama. ‘Ada rasa takut.’ Hanya
demikian saja. Ketakutan yang saya alami tidaklah berbeda dengan kecemasan
atau
ketakutan yang dialami orang lain. Sehingga dengan demikian kita juga memiliki
welas-asih meski bagi anjing tua kudisan sekalipun. Kita memahami bahwa adanya ketakutan
itu adalah sama-sama tidak mengenakkan baik bagi anjing maupun kita. Tatkala
seekor anjing ditendang dengan sepatu boot yang berat dan ketika kita ditendang
dengan sepatu boot yang berat, perasaan sakitnya sama.Sakit hanyalah sakit,
dingin hanyalah dingin, kemarahan hanyalah sekedar kemarahan. Perasaan ini
bukan milikku,namun sekedar: ‘Ini ada rasa-sakit.’ Demikianlah cara berpikir
terampil (skillful) yang membantu kita melihat segala sesuatu lebih jelas
daripada hanya terus memperkuat sudut pandang personal (diri-pribadi). Maka hasil
dari mengenali keadaan dari penderitaan — bahwa ini
ada
penderitaan — timbullah insight kedua dari Kebenaran Arya Pertama: ‘Dukkha
mesti dipahami.’ Penderitaan ini harus dikaji secara mendalam.
MENGKAJI
PENDERITAAN
Saya
mendorong anda agar berusaha memahami dukkha: untuk benar-benar mengamatinya,
berdiri di bawahnya serta menerimanya. Cobalah untuk memahami
ketika
anda sedang merasakan kesakitan, atau putus-asa dan sedih, atau benci dan
sengit — apapun bentuknya,apapun kualitasnya, entah ekstrim atau lamat-lamat.
Ajaran ini tidaklah berarti bahwa guna mencapai pencerahan maka hidup anda
harus amat-sangat malang. Anda tidak harus mengalami kehilangan segala galanya
atau disiksa dengan keji; anda hanya musti mampu melihat serta mengenali
penderitaan, kendati bila yang timbul sekadar sebuah ketidakpuasan ringan, dan
berusahalah memahaminya.
Kita
gampang sekali mencari kambing hitam buat permasalahan kita. ‘Ah, kalau saja
ibuku benar-benar mencintaiku atau andai semua di sekelilingku benar-benar
bijaksana,
dan berdedikasi guna menciptakan lingkungan yang sempurna bagiku, maka aku
takkan memiliki permasalahan emosional seperti sekarang ini’ — Ini
bodoh
dan konyol! Namun ya memang demikianlah cara kebanyakan orang memandang dunia,
mereka mengira bahwa: mereka jadi galau dan sengsara disebabkan karena mereka
mendapat perlakuan yang tidak adil. Tetapi dengan rumusan Kebenaran Arya
Pertama ini, walaupun andai hidup kita cukup malang, yang kita lihat bukanlah bahwa
penderitaan yang berasal dari luar sana, melainkan
penderitaan
yang kita ciptakan dalam pikiran kita sendiri. Ini merupakan keterjagaan
(awakening) dalam diri seseorang.
Keterjagaan
pada Kebenaran mengenai Penderitaan. Dan ini adalah Kebenaran Ariya karena tak
lagi menyalahkan duka yang dialami kepada pihak lain. Oleh karena itu pendekatan
Buddhisme sungguh unik dibandingkan agama-agama lain karena penekanannya pada
jalan-keluar dari penderitaan dengan menggunakan kebijaksanaan,kebebasan dari
semua delusi — daripada mengejar suatu keadaan yang sangat damai atau
kemanunggalan dengan Yang Ultimit.
Bukan
maksud saya buat mengatakan bahwa orang lain tidak pernah menjadi sumber rasa
frustasi dan kejengkelan kita, tetapi yang ingin kita tunjukan dalam
ajaran
ini adalah: reaksi kita sendiri terhadap kehidupan.
Jika
ada orang yang jahat terhadap anda atau dengan sengaja dan dengki berusaha
membuat anda menderita, dan anda berpikir bahwa orang itulah yang membuat anda
menderita, itu berarti anda masih belum memahami
Kebenaran
Ariya Pertama (!). Bahkan andai ia
mencabuti kuku anda atau perbuatan keji lainnya sekalipun — selama anda
menyangka bahwa anda menderita karena orang itu, anda belum memahami Kebenaran
Arya Pertama.
Pemahaman
mengenai penderitaan adalah melihat dengan jelas bahwa REAKSI kita terhadap
orang yang mencerabuti kuku kita — ‘Saya benci kamu’ — ini-lah penderitaan.
Kuku yang ditarik keluar memang mengakibatkan rasa sakit,
tetapi
penderitaan itu adalah yang melibatkan ‘Aku benci kamu,’ ‘Betapa kejinya kau
kepadaku,’ dan ‘Aku takkan memaafkanmu selamanya.’
Namun,
jangan menunggu sampai ada orang yang menarik kuku anda baru anda mempraktikkan
Kebenaran Ariya Pertama. Cobalah melatihnya dengan hal-hal kecil,seperti kalau
ada orang yang berlaku tidak tenggang-rasa atau kasar atau mengabaikan anda.
Jika anda menderita karena ada orang yang merendahkan atau menyinggung anda,
anda bisa berlatih dengan perasaan itu. Sering sekali dalam kehidupan
sehari-hari kita merasa tersinggung atau jengkel. Kita dapat merasa terganggu
atau ter-iritasi hanya karena cara berjalan atau penampilan seseorang,
paling
tidak saya bisa merasa demikian. Terkadang anda dapat memperhatikan bahwa anda
merasa tidak senang hanya dikarenakan oleh cara berjalan seseorang atau karena
orang itu tidak melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan — kita bisa menjadi
sangat jengkel dan marah karena hal-hal seperti itu. Kendati orang itu sama
sekali tidak menyakiti anda atau melakukan apapun kepada anda, seperti menarik
keluar kuku anda, tetapi toh anda tetap menderita. Kalau anda tidak mampu
melihat penderitaan dalam kasus-kasus yang sederhana ini, maka
anda
tidak bakal bisa bersikap heroik jika ada orang yang benar-benar mencopoti kuku
anda.Kita berlatih dengan kekecewaan kecil dalam hidup kita. Kita perhatikan
bagaimana kita dapat terluka dan tersinggung atau terganggu dan ter-iritasi
oleh tetangga, orang di sekeliling kita,keadaan disekeliling kita serta diri
kita sendiri. Kita tahu bahwa penderitaan ini musti dipahami. Kita berpraktik
dengan sungguh-sungguh melihat penderitaan sebagai obyek dan memahami ‘Inilah
penderitaan.’ Sehingga kita memiliki insight mendalam mengenai penderitaan.
KENIKMATAN
DAN KETIDAK-ENAKAN
Kita
dapat mengkaji: Sampai manakah cara hidup hedonistik yang memburu kenikmatan
[sebagai tujuan akhir bagi dirinya sendiri] telah membawa kita? Pengejaran kesenangan
ini sudah berlangsung selama beberapa dekade tetapi sebagai hasilnya apakah
umat-manusia jadi lebih berbahagia? Dewasa ini kita seakan telah diberi hak dan
kebebasan buat melakukan apapun yang kita suka
dengan
narkoba, seks, jalan-jalan dan sebagainya – semua jalan terus; semuanya
diperbolehkan; tidak ada yang dilarang. Di jaman sekarang ini, tampaknya anda
harus melakukan sesuatu yang amat-sangat memalukan, amat sangat kejam, baru
anda mungkin dikucilkan masyarakat.
Tetapi
apakah dengan selalu menuruti hasrat-hasrat kita, kita menjadi lebih bahagia
atau lebih rileks atau puas?
Justru
sebaliknya, kita condong menjadi lebih egois; tidak menimbang dampak perbuatan
kita bagi orang lain. Kita cenderung untuk berpikir hanya mengenai diri kita
sendiri; saya dan kebahagiaan saya, kebebasan saya dan hak saya.
Sehingga
yang terjadi adalah: saya menjadi pengacau,sumber frustasi, gangguan dan
kesengsaraan bagi banyak orang di sekeliling saya. Bila saya berpikir bahwa
saya dapat berbuat apapun yang saya mau atau omong apapun yang ingin omongkan,
meski itu berarti mengorbankan orang lain, maka saya hanyalah sebuah pengacau
dalam masyarakat (!).
Ketika
perasaan ‘yang saya maui’ dan ‘yang menurut saya seharusnya [begini] dan
seharusnya tidak [begitu]’muncul, serta kita ingin menikmati semua kesenangan dalam
hidup, kita pastilah jengkel-jengkel karena hidup jadi nampak tidak ada harapan
— semuanya serba salah. Kita diputar-putar oleh kehidupan — cuma pusing
berlarian di antara situasi takut dan berhasrat. Bahkan meski kala kita
mendapatkan semua yang kita maui, kita toh bakal berpikir bahwa ada sesuatu
yang kurang, sesuatu yang belum lengkap. Jadi bahkan ketika hidup sedang pada
puncaknya,
tetaplah ada rasa penderitaan – perasaan ada sesuatu masih perlu dilakukan,
semacam keraguan atau kecemasan yang menghantui kita.
Sebagai
contoh, saya selalu menyukai pemandangan indah. Suatu waktu saya memimpin
retret di Swiss, saya dibawa melihat pengunungan yang indah dan saya
memperhatikan
bahwa selalu ada perasaan tak-enak dalam pikiran saya oleh karena adanya begitu
banyak keindahan, pemandangan indah yang tiada akhirnya. Saya punya perasaan
ingin memegang semuanya, sehingga harus tetap terjaga agar dapat tuntas
menikmati semuanya dengan mata saya. Akibatnya saya tegang dan kelelahan!
Bukankah
ini adalah dukkha?
Saya
menemukan bahwa manakala saya berlaku kurang mindful (waspada), walaupun dalam
suatu tindakan tak berbahaya seperti menikmati pegunungan
indah,
begitu batin ini mulai menggapai dan berusaha merengkuh sesuatu, pastilah
timbul perasaan tidak mengenakkan. Ya, bagaimana mungkin anda bisa
mendekap
pegunungan Jungfrau dan Eiger? Paling yang bisa anda lakukan hanyalah
memfotonya, berusaha menangkap semua keindahannya dalam sepotong kertas.
Inilah
dukkha; bila anda berusaha memegangi sesuatu yang indah karena anda tak mau
berpisah dengannya –ini-lah penderitaan.
Berada
dalam situasi yang tak anda sukai juga penderitaan. Contohnya, saya tidak
pernah suka naik kereta bawah tanah di London. Saya bakal menggerutu:
‘Saya
tidak mau ke bawah tanah dengan poster-poster jeleknya dan stasiun-stasiun
bawah tanah yang kotor itu. Saya tidak mau dimasukkan dalam gerbong kecil di bawah
tanah.’ Hal ini benar-benar merupakan pengalaman buruk bagi saya. Tetapi saya
akan mendengar suara gerutuan dan keluhan ini — penderitaan akibat tak ingin
bersama dengan yang tidak disenangi. Kemudian, setelah mengkontemplasikannya,
saya berhenti membuat apapun darinya sehingga saya bisa hadir berada dengan ketidakenakan
dan keburukan tanpa menderita. Sayapun
kini
menyadari bahwa: ya demikianlah adanya dan ini oke.
Kita
tak perlu menciptakan masalah — baik tentang berada di stasiun bawah tanah yang
kumuh atau sedang melihat pemandangan indah. Demikianlah apa adanya, sehingga kita
mampu mengenali dan menghargainya dalam bentuknya yang berubah-rubah tanpa
melekat (grasping).
Melekat
adalah keinginan untuk menggenggam yang kita suka; ingin melenyapkan yang tidak
kita sukai; atau mengingini untuk mendapat sesuatu yang tidak kita
miliki.Kita
juga bisa menderita karena orang lain.
Saya
ingat bahwa sewaktu saya di Thailand, saya punya pemikiran negatif tentang
salah seorang bhikkhu. Apabila ia melakukan sesuatu, saya akan berpikir, ‘Seharusnya
ia tidak melakukan itu,’ atau ketika ia mengatakan sesuatu, saya akan berpikir,
‘Seharusnya ia tidak mengatakan hal itu!’ Saya terus membawa bhikkhu ini dalam
pikiran saya dan bahkan kala saya pergi ke tempat lain, saya akan tetap memikirkan
bhikkhu itu; persepsi mengenainya akan muncul dan reaksi yang sama pun muncul:
‘Ingatkah kamu waktu ia mengatakan ini dan ketika ia melakukan itu?’
dan:‘Seharusnya ia tidak mengatakan ini dan semestinya ia tak
melakukan
itu.’
Pula,
ketika menemukan guru seperti Ajahn Chah, saya ingat mengingini agar ia
sempurna. Saya berpikir, ‘Oh, ia guru yang luar biasa — sungguh luar biasa!’
Tetapi kemudian beliau akan melakukan sesuatu yang tak saya sukai dan saya
berpikir, ‘Saya tidak mau ia melakukan perbuatan yang tak saya suka karena saya
ingin
memikirkan ia sebagai orang yang luar biasa.’ Sama saja dengan berkata, ‘Oh,
Ajahn Chah, jadilah luar-biasa bagi saya setiap saat. Janganlah pernah
melakukan apapun yang bisa menimbulkan pemikiran negatif dalam benak saya.’ —
Jadi kendatipun anda sudah menemukan seseorang yang sangat anda hormati dan
cintai, tetap saja ada penderitaan dari kemelekatan. Sudah pasti nantinya
orang
itu bakal melakukan atau mengatakan sesuatu yang takkan anda sukai atau
setujui, menimbulkan sejenis kebimbangan dalam diri, dan anda pun bakal
menderita.
Pada
suatu masa, beberapa bhikkhu Amerika datang ke Wat Pah Pong, biara kami di
Timur Laut Thailand. Mereka sangat rewel dan tampaknya cuma memandang sisi yang
buruk-buruk saja. Mereka tidak berpikir Ajahn Chah adalah guru yang sangat baik
dan mereka tak menyukai biaranya.
Saya
merasakan terbitnya kemarahan dan kebencian dalam diri saya karena mereka
mengkritik sesuatu yang sangat saya cintai. Saya merasa jengkel — ‘Eh, kalau
kalian tidak suka, keluarlah dari sini. Dia adalah guru paling hebat di dunia
dan kalau kalian toh tidak bisa melihatnya, sana PERGI!’ Kemelekatan semacam
ini — gandrung ataupun pengabdian — adalah penderitaan karena bila sesuatu
atau
seseorang yang anda cintai dikritik, anda merasa marah dan jengkel.
INSIGHT
DALAM BERBAGAI SITUASI
Terkadang
kebijaksanaan (insight) timbul pada saat yang tak terduga. Peristiwa ini
terjadi pada diri saya manakala saya tinggal di Wat Pah Pong. Daerah timur laut
Thailand
dengan semak-belukar serta dataran-rendahnya bukanlah tempat yang terindah dan
disukai di dunia; dan daerah ini menjadi sangat terik di musim panas. Kita
mesti keluar di tengah terik siang pada tiap hari Uposatha dan menyapu dedaunan
di jalan. Daerah yang harus disapu sangat luas. Kami akan menghabiskan siang
itu di bawah jerangan matahari, berkeringat dan menyapu dedaunan hingga menjadi
tumpukan dengan sapu-lidi biasa; inilah salah satu tugas kami. Saya tidak suka
melakukan ini. Saya kerap berpikir, ‘Saya tidak mau melakukannya. [Jauh-jauh] saya
ke sini bukanlah buat menyapu dedaunan; Saya ke
sini
untuk mencapai pencerahan — dan mereka malah menyuruh saya menyapu rontokan
daun. Lagipula, cuaca di luar sangat panas, saya berkulit putih; Saya bisa kena
kanker kulit.[ Orang kulit-putih (bule),
karena kurangnya pigmen, rentan terhadap sinar matahari, bisa menyebabkan
kanker kulit – ed.]
Saya
berdiri di luar sana di suatu siang, merasa sangat malang, dan berpikir, ‘Duhh,
apa yang kulakukan di sini? Kenapa aku ke sini? Mengapa aku tinggal di sini?’
Di sana, saya berdiri dengan sapu bergagang panjang, lunglai, menyesali diri
sendiri dan membenci semuanya. Kemudian Ajahn Chah datang, tersenyum kepada
saya serta berkata, ‘Wat Pah Pong [ternyata] adalah penuh penderitaan,
ya
`kan ?’ seraya melangkah pergi. Saya lalu berpikir, ‘Mengapa ia berkata
demikian?’ dan, ‘Sesungguhnya,kamu juga tahu, semuanya toh tidak begitu buruk.’
— Ia membuat saya merenung: Apakah menyapu dedaunan benar mengesalkan? … Tidak,
tidak demikian. Perbuatan ini termasuk netral; anda menyapu dedaunan, dan bukan
soal di sini ataupun di sana … Apakah keringatan
ini
begitu menyengsarakan? Apakah pengalaman ini sungguh celaka dan memalukan?
Apakah ini benar-benar seburuk anggapan saya? …. Tidak, — berkeringat itu oke-oke
saja, sesuatu yang alami sekali. Dan saya juga tidak
mendapat
kanker kulit, lagian orang-orang di Wat Pah Pong sangatlah baik. Gurunya amat
bijak dan ramah. Para bhikkhu memperlakukan saya dengan baik. Para umat awam
datang serta memberi makanan, dan ….. Apa yang saya gerutukan?’
Dengan
merefleksikan pengalaman nyata di sana, saya pun berpikir, ‘Saya baik-baik
saja. Orang-orang menghargai saya. Saya diperlakukan dengan baik. Saya
diajari
oleh orang yang menyenangkan di negeri yang sangat menyenangkan.
Tak
ada apapun yang salah,kecuali saya ; saya membuatnya jadi masalah karena saya tidak
mau keringatan dan menyapu dedaunan.’ Kemudian saya memiliki
pengetahuan-kebijaksanaan yang sangat jelas. Tiba-tiba saya menangkap sesuatu
dalam diri saya yang selalu menggerutu dan mencela, serta yang menghambat saya
untuk membaktikan diri pada apapun atau mempersembahkan diri pada situasi
manapun.
Pelajaran
lain dari pengalaman saya berasal dari adat-kebiasaan mencuci kaki para bhikkhu
senior ketika mereka pulang dari keliling pindapata [menerima
persembahan
makanan].
Setelah mereka berjalan telanjang kaki melalui desa-desa dan sawah, kaki mereka
akan berlumpur. Di luar ruang makan terdapat tempat
mencuci
kaki. Ketika Ajahn Chah datang, semua bhikkhu — sekitar 20 atau 30 orang — akan
menghambur keluar dan mencuci kaki beliau. Tatkala pertama kali melihatnya, saya
berpikir, ‘Saya tidak akan melakukan itu. Tidak akan!’
Keesokan
harinya, kembali tiga puluh bhikkhu terburu-buru keluar ketika Ajahn Chah
muncul dan mencuci kaki beliau — saya berpikir, ‘Sungguh perbuatan yang
bodoh—tiga puluh bhikkhu mencuci kaki satu orang. Saya tidak bakal melakukan
itu.’ Keesokan harinya lagi, reaksi saya bertambah keras… tiga puluh bhikkhu
menghambur dan mencuci kaki Ajahn Chah dan….’ Saya benar-benar marah.
Saya
muak! Saya merasa itu adalah hal terbodoh yang pernah saya lihat — tiga puluh
orang pergi mencuci kaki satu orang! Mungkin Ajahn Chah mengira bahwa ia patut menerimanya,
tahukah anda — kebiasaan ini benar-benar mengelembungkan egonya. Mungkin ia
jadi punya ego raksasa, dengan banyaknya orang yang mencuci kakinya setiap
hari. Saya takkan pernah melakukannya!’
Saat
itu saya mulai membangun reaksi yang kuat, reaksi yang berlebihan.
Saya
akan duduk di sana dan merasa sangat sengsara dan marah. Saya akan melihatpara
bhikkhu dan berpikir, ‘Mereka semua tampak dungu di mata saya. Saya tak tahu
lagi apa gunanya saya di sini.’
Tetapi
saya mulai mendengar pemikiran saya dan berpikir, ‘Sungguh cara berpikir yang
tak menyenangkan.
Apa
sih yang benar perlu untuk di buat kesal? Mereka toh tidak meminta saya untuk
melakukannya. Tidak apa-apa – [sebenarnya] tidak ada yang salah tho dengan tiga
puluh orang mencuci kaki satu orang. Perbuatan itu tidaklah tak-bermoral atau
jahat, mungkin mereka memang menikmatinya; barangkali mereka memang ingin
melakukannya — mungkin tak apa-apa untuk melakukannya…. Mungkin saya harus
melakukannya!’
Maka
keesokan paginya, tiga-puluh-satu bhikkhu tergopoh-gopoh mencuci kaki Ajahn
Chah. Selanjutnya tiada masalah lagi. Saya merasa sangat baik: hal buruk
dalam
diri saya telah berhenti. Kita dapat berefleksi dengan hal-hal yang menimbulkan
kekesalan dan kemarahan dalam diri kita: apa sungguh ada yang salah dengan
mereka atau justru kita sendiri yang menciptakan dukkha darinya? Kemudian kita
pun mulai memahami masalah-masalah yang kita ciptakan dalam hidup kita sendiri
dan pada hidup orang lain di sekitar kita.
Dengan
perhatian-penuh (mindfulness) kita akan sanggup menanggung keseluruhan hidup
ini — beserta kegairahan dan kebosanannya, harapan dan
keputusasaannya,kenikmatan dan kesakitannya, takjub dan kelelahannya, awal
serta akhirnya, lahir dan matinya. Kita sanggup menerima keseluruhannya dalam
benak kita daripada hanya menyerap yang menyenangkan serta menekan yang tidak
menyenangkan. Proses insight adalah: menyongsong dukkha, melihat dukkha,
mengakui dukkha,mengenali dukkha dalam segala bentuknya. Sehingga
anda
tak lagi latah bereaksi seperti kebiasaan lama, larut menimang hawa-nafsu atau
menekan. Oleh karena itu anda jadi mampu menanggung penderitaan, anda bisa lebih
sabar dalam menghadapinya.
Ajaran
ini tidaklah berada di luar pengalaman kita.
Sebaliknya,
ajaran ini merupakan refleksi pengalaman nyata kita — bukan permasalahan
intelektual yang rumit. Jadi berusahalah sunguh-sungguh dalam pengembangan-diri
daripada terjebak dalam rutinitas. Seberapa sering anda
merasa
bersalah atas kegagalan dan kesalahan anda di masa lampau?
Apakah
anda harus menghabiskan seluruh waktu anda memuntahkan kembali semua yang telah
terjadi dalam hidup anda dan tengelam dalam spekulasi dan analisis tanpa henti?
Beberapa orang membentuk dirinya menjadi kepribadian yang begitu rumitnya. Bila
anda terus hanyut tenggelam dalam ingatan, pandangan-pandangan serta opini anda
sendiri, maka anda akan terus terjebak di dalam dunia ini dan takkan pernah melampauinya.
Anda
dapat melepas beban ini bila anda bersedia menggunakan ajaran dengan terampil.
Katakan pada diri sendiri: ‘Saya tidak akan terjebak lagi; saya menolak untuk ikut
dalam permainan ini. Saya takkan menyerah pada gejolak suasana hati ini.’
Mulailah menempatkan diri anda pada posisi yang mengetahui: ‘Saya mengetahui
ini adalah dukkha; itu adalah dukkha.’ Adalah sangat penting untuk
bertekad
bersedia menyongsong dimana ada penderitaan dan mau tinggal bersamanya. Sebab
hanya dengan mengamati dan mehadapi-langsung penderitaan dengan cara demikian
maka seseorang boleh berharap untuk
mendapatkan
pengetahuan yang mendalam: ‘Penderitaan ini telah dimengerti.’
Jadi
inilah ketiga aspek dari Kebenaran Ariya Pertama.
Inilah
formula yang musti kita gunakan dan aplikasikan dalam refleksi hidup kita.
Bilamana anda merasakan penderitaan, pertama-tama buatlah pengenalan: ‘Itu
adalah penderitaan’, kemudian: ‘Penderitaan harus dipahami’, dan akhirnya:
‘Penderitaan telah dipahami.’ Pemahaman dukkha ini adalah
pengetahuan-kebijaksanaan dari Kebenaran Ariya Pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar