oleh : Bhikkhu Uttamo
Khobah Dhamma di Denpasar Tanggal 15
Pebruari 1994.
TIPE UMAT BUDDHA
Dapat diterangkan di sini bahwa tipe atau jenis umat Buddha itu ada
bermacam-macam. Jenis kelompok umat yang pertama adalah: Umat Buddha
KTP. Jadi ke mana-mana disombongkan: "Ini lho, KTP saya:
Buddhis!" Kalau mereka ditanya, bagaimana riwayat Sang Buddha? Jawabnya:
"Ah, itu bukan urusan saya. Itu urusannya para bhikkhu dan para
Dharmaduta. Pokoknya saya Buddhis". Ditanya viharanya di mana. Jawabnya:
"Bukan urusan saya. Itu urusannya orang-orang yang mau jadi bhikkhu".
Ditanya buku parittanya apa, dijawab: "Buku paritta bukan urusan saya.
Saya susah membaca paritta". Paritta apa saja yang dihafal? Jawabnya:
"Untuk apa menghafal paritta? Lidah saya keseleo-keseleo!" Jadi kamu
Buddhis-nya apa? "K-T-P! Toh kalau KTP-nya Buddhis, juga bisa masuk surga,
cukup". Kalaupun mau ditambah sedikit, pokoknya Buddhisnya sampai dupa.
"Kalau saya sudah bisa pegang dupa, acung-acung dupa, jungkir balik di
depan patung, saya sudah Buddhis". Patung apakah itu? "Tidak tahu.
Pokoknya saya ikut yang lain". Nah, ini golongan yang pertama. Amat
menderita, saudara.
Golongan yang kedua adalah golongan yang lebih baik daripada yang pertama,
yaitu yang disebut umat Buddha bergaya "Kapal Selam".
Saudara tentu pernah nonton film "The Man From The Atlantis",
bukan? Di sana mereka selalu menggunakan kapal selam. Saudara perhatikan
kebiasaan kapal selam; kalau ada bahaya, dia turun, biar aman. Kalau mau ketemu
pejabat, dia naik. Nanti kalau santai-santai, nganggur-nganggur: turun. Kalau
mau jalan-jalan: naik. Nah, itu cerita film The Man From The Atlantis.
Ternyata cerita itu bukan hanya ada di televisi, tetapi di vihara cerita
itu bisa terjadi. Ada acara Waisak: muncul. Tidak ada bhikkhu: tenggelam. Ada
bhikkhu: naik. Ini tipe yang kedua.
Tipe yang ketiga adalah tipe yang paling ideal, yaitu umat Buddha yang memang
betul-betul mempelajari Dhamma dan melaksanakan Dhamma. KTP-nya Buddhis, rajin
datang ke vihara untuk berpuja-bakti, mendengar Dhamma, serta melaksanakan
Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.
JENIS "UKIRAN" KEMARAHAN DAN
SOLUSINYA
Di Bali saya lihat umat Buddhanya telah menunjukkan satu kekompakan/persatuan
di dalam mengembangkan Buddha Dhamma. Ternyata orang Bali, umat Buddha di Bali,
bukan hanya terkenal bisa mengukir kayu, mengukir barang-barang, meja-kursi, tapi
juga bisa mengukir prestasi di dalam memajukan umat Buddha. Oleh karena itu
saudara tidak sia-sia menjadi orang Bali. Bisa mengukir, tidak hanya mengukir
patung, tapi juga mengukir prestasi untuk memajukan agama Buddha. Dan saya
harap, ukirannya jangan berhenti sampai di sini. Ini hendaknya semakin
dikembangkan, sehingga ukiran prestasi atau kebajikan saudara itu semakin
banyak, ke mana akhirnya manfaat kebajikan ini juga menjadi milik saudara.
Berbicara tentang ukiran yang positif perlu saudara kembangkan, tetapi yang
negatif jangan dikembangkan. Apakah yang negatif itu? Sang Buddha di dalam
Anguttara Nikaya I ayat 283, bercerita tentang seni mengukir. Beliau bercerita
demikian. Saudara-saudara, ada jenis tukang ukir yang bermacam-macam. Yang
pertama adalah tukang ukir yang mengukir di batu karang. Jadi ada batu karang
yang besar, diukir. Saya tadi baru saja datang dari Tanah Lot, di sana saya
melihat batu karang yang besar sekali, dan seperti diukir dindingnya. Begitu
juga ketika ke Gunung Kawi, saya melihat gunung batu yang diukir. Ini
kepandaian orang Bali dalam hal mengukir. Sang Buddha mengatakan, ada
orang-orang yang seperti orang yang bisa mengukir batu cadas, batu karang.
Bayangkan, saudara. Batu karang yang teguh, yang kuat, seperti candi Gunung
Kawi, diukir. Itu bisa bertahan bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun.
Kalau itu ukiran yang positif, tentu kita akan merasa senang dan bahagia.
Tetapi seperti saya katakan tadi, yang diceritakan Sang Buddha ini adalah jenis
ukiran yang negatif. Orang yang mengukir seperti mengukir di batu karang itu
adalah diumpamakan orang yang kalau sudah jengkel, marah, atau benci, ia
menyimpan kejengkelan atau kebenciannya itu bukan untuk waktu 1-2 hari, bukan
untuk waktu 1-2 bulan, tetapi bertahun-tahun jengkelnya masih ada. Itu seperti
orang mengukir di batu karang, seperti mengukir Gunung Kawi. Dari jenis yang
pertama ini, saya ingin bertanya, apakah saudara punya "Gunung Kawi"
di dalam diri saudara? Apakah masih tersimpan kejengkelan saudara yang 10 hari
yang lalu? Yang 10 tahun yang lalu?
Suami rewel, langsung dikatakan: "Memang kamu sudah rewel sejak
bertahun-tahun lalu". Demikian juga dengan sang suami, bila melihat
istrinya akan ke vihara "make-up"-nya saja lama sekali, lalu suami
mengatakan: "Ayo cepat, ini sudah mau mulai kebaktiannya. Kamu pasang
gincu saja, masa begitu? Jambonnya itu terlalu muda. Hapus. Ganti yang merah
tua. Wah, itu terlalu merah, kayak bikang ambon! Hapus. Ganti yang muda
lagi". Berkali-kali ganti sampai tissu satu dus habis untuk menghapus
pemerah bibir. Suaminya jengkel, kemudian mengatakan: "Kamu ini dari sejak
menikah sampai sekarang punya anak-cucu, begini terus".
Kalau saudara masih mengucapkan kata-kata seperti itu, hati saudara itu seperti
Gunung Kawi, seperti batu karang di Tanah Lot yang diukir, sehingga tidak bisa
hilang kejengkelan, dendam saudara itu, baik kepada pasangan hidup maupun
kepada yang lain. Kalau sekarang kepada pasangan saja tidak bisa memafkan
sampai bertahun-tahun, apalagi sama teman. Kalau di vihara kita melihat teman
berbisik-bisik, tertawa cekikikan-cekikikan, saudara berkata: "Awas kamu
ya, kamu menggosipkan saya. Pokoknya selama kamu belum meninggal, saya tidak
akan pernah mau datang ke vihara. Jangan harap saya akan menginjakkan kaki di
rumahmu". Itu namanya kita mengukir Gunung Kawi di dalam diri kita. Apakah
saudara demikian? Saudara sendiri yang bisa menjawabnya.
Jenis ukiran yang kedua, bukan mengukir di batu karang, atau di dinding batu,
tetapi mengukir di pantai. Tadi saya juga mengunjungi Pantai Sanur. Saya
cemplungkan kaki saya di pasir pantai, kemudian saya minggir. Tidak lama, jejak
telapak kaki saya hilang kena ombak. Tapi hilangnya setelah ombaknya beberapa
kali. Nah, saudara, Sang Buddha pun mengumpamakan demikian; seperti orang
mengukir di atas pasir. Ada ukirannya, ada gambarnya, bisa bertahan untuk waktu
yang sementara. Kalau yang pertama tadi, waktunya tidak terhingga, sampai
mendarah daging menulang sumsum kebenciannya tidak bisa hilang. Tapi, kalau
yang mengukir di atas pasir, ini lain ceritanya. Jengkel sama temen, jengkel
sama pasangan hidup, itu wajar. Pasangan hidup masih punya kesalahan, itu
wajar. Namanya saja manusia yang masih punya rasa kebencian. Tetapi kalau kita
seperti mengukir di pasir, hendaknya janganlah untuk waktu yang lama.
Jenis berikutnya yaitu jenis yang ketiga. Kalau yang pertama adalah mengukir di
batu karang, jenis yang kedua mengukir di pasir, maka yang ketiga adalah yang
ideal, yaitu mengukir di atas air. Saudara nanti boleh mencoba di bak mandi
saudara. Tulis huruf "A". Bekas garisnya ada, tetapi langsung hilang.
Demikian pula hendaknya apabila timbul kejengkelan, kemarahan, ketidaksenangan
di dalam hati kita, hendaknya jangan ditahan seperti batu karang, bahkan juga
jangan ditahan seperti lukisan di pasir, tetapi hendaknya seperti kita melukis
di atas air. Cepat hilang kejengkelan itu. Nah, saudara, tiga jenis
kejengkelan, tiga jenis ukiran inilah yang mulai kita renungkan sekarang.
Idealnya kita tentu mau menjadi umat Buddha yang terbaik, bukan? Saya yakin
tidak ada yang ingin menjadi umat Buddha yang jelek-jelek, tetapi pasti yang
baik. Bahkan kalau bisa, yang terbaik. Menjadi umat Buddha yang sungguh-sungguh
mau mendengar Dharma, melaksanakan Dharma dengan baik, bukan hanya umat Buddha
KTP atau Kapal Selam. Demikian pula dengan kesabaran, hendaknya seperti melukis
di atas air. Tapi sekarang, bagaimanakah caranya? Seseorang bisa jengkel,
marah, atau tidak senang itu karena ada sebabnya. Apakah yang menjadi sebab
kejengkelan/kemarahan?
Kalau kita marah kepada pembantu di rumah, apakah sebabnya? Apakah karena
pembantu kurang pintar? Ataukah saudara yang kurang pintar? Tentu saudara
menjawab, "Pembantu yang kurang pintar". Kenapa demikian? Karena kalau
dia pintar, dia sudah jadi boss seperti saudara semua. Jadi, yang kurang pintar
itu siapa? Kita sendiri! Kalau misalnya ada pembantu yang menutup pintu saja
lupa terus, setiap hari mesti disuruh; kemudian kita omeli; "Kamu ini
betul-betul bodoh ya, bodoh kayak kerbau. Masa diberitahu untuk menutup pintu
saja setiap hari tidak pernah ingat?"
Kalau saudara renungkan baik-baik pembantu yang lupa-lupa terus itu mungkin
memang otaknya kurang lancar. Kalau saudara omeli sampai setengah jam itu, sebetulnya
saudara menjadi seperti dia. Karena dengan ngomel-ngomel, saudara sendiri jadi
tidak menutup pintu, pintunya terbuka terus. Padahal kalau sudah tutup pintu
itu, sudah selesai masalahnya.
Jadi kalau saudara ngomel, saudara marah, berarti saudara tidak menyadari bahwa
kemampuan orang itu jauh di bawah saudara. Berarti yang kurang pintar bukan
dia, tetapi saudara sendiri yang kurang pintar memahami kenapa kok dia membuat
kesalahan itu. Makanya secara Dharma, alam sudah menunjukkan bahwa kalau satu
jari menunjuk orang lain, maka tiga jari menunjuk kepada diri sendiri. Kalau
kita menunjuk: "Kamu kurang pintar!" Berarti 1 jari menunjuk dia, 3
jari menunjuk ke kita; berarti kita ini 3 kali lebih "kurang pintar"
daripada dia. Maka dari itu belajarlah dari alam, supaya tidak gampang-gampang
kita menunjuk orang lain: kamu bodoh, kurang pintar, buruk, dan sebagainya.
Jadi yang pertama harus kita renungkan bahwa sebetulnya mengapa saya marah?
Mengapa saya jengkel dengan dia? Itu semua sesungguhnya adalah karena keinginan
saya sendiri. Jadi penyebab dari kejengkelan, ketidaksenangan, atau kemarahan,
sesungguhnya adalah karena KEINGINAN sendiri.
Coba saudara yang sudah punya pasangan hidup, tanyakan, "Kenapa saudara
sayang sama pasangan hidup saudara. Kenapa saudara kadang-kadang ingin selalu
dekat dengan pasangan hidup saudara?" Kadang-kadang inginnya hanya
ngomong-ngomong bersama dengan pasangan hidup saudara. Kenapa? Karena pasangan
hidup saudara bisa memberikan apa yang saudara inginkan. "Wah, kalau saya
ngomong-ngomong dengan dia, cocok sekali". Sehingga, karena
ngomong-ngomong terus, lalu lupa ke vihara! Atau "Wah, saya ini kalau
jalan berduaan dengan dia, senang sekali, karena saya itu bisa mengikuti jalan
cepat. Kalau ingin jalan lambat sambil nonton-nonton toko, dia bisa ikut pelan,
bisa mengikuti keinginan saya. Saya ketemu dengan teman-teman, dia bisa saya
ajak dan tidak memalukan saya. Wah, saya bahagia".
Tetapi sebaliknya, dengan pasangan hidup juga bisa jengkel. Kenapa? Karena
pasangan hidup saudara tidak memuaskan keinginan saudara sendiri. Diajak
ngomong-ngomong: "Bagaimana ya, situasi politik zaman sekarang?"
Langsung pasangan hidupnya menjawab: "Iya, situasinya tidak enak. Coba,
harga bawang sekarang naik". Ditanya: "Bagaimana keadaan vihara
sekarang, apakah banyak kemajuan?" Jawabnya: "Ya, cukuplah. Tapi umat
vihara yang dulu itu pernah pinjam sendok, tidak dikembalikan. Padahal
sendoknya antik, itu. Bagaimana ya caranya kita minta kembali sendoknya sama
dia?" Wah, ini sudah tidak cocok. Yang ditanya tentang vihara, jawabannya
tentang sendok. Yang ditanya soal politik, jawabannya bawang merah, bawang
putih. Sudah tidak karuan ini. "Ah, malas saya ngomong-ngomong sama dia,
enakan ke vihara, pelarian". Daripada di rumah jengkel terus, stress,
lebih baik ke vihara saja, dengar-dengar Dhamma atau kadang-kadang di vihara
ngaco-ngaco saja, bisa juga begitu. Nah, saudara, mengapa kita jengkel dengan
pasangan hidup kita? Karena kita tidak ingin pasangan hidup kita itu melakukan
demikian. Sebaliknya kalau jalan; saya ingin cepat, pasangan hidupnya pelan.
Saya ingin pelan sambil nonton-nonton toko, dia malah ngebut, mau cari toilet!
Bagaimana ini? Wah tidak cocok. Lebih baik jalan sendiri saja. Kenapa? Karena
keinginan tidak tercapai. Begitu juga kalau ketemu teman-teman, diajak
ngomong-ngomong. Teman-teman bertanya, "Bagaimana ini pasangan hidupmu,
bahagia ya, hidup rukun-rukun?" Langsung sang istri pasang muka merengut:
"Rukun apa. Itu kan hanya di depan umum. Kalau di belakang, dia ngomel-ngomel
terus sama saya, malah pernah mukulin saya juga, koq". Sang suami lalu
berpikir, "Wah, ini menjatuhkan martabat dan gengsi. Bisa repot. Ini
memalukan saya". Sehingga istri tidak diajak jalan-jalan lagi.
Nah, dari contoh-contoh tersebut, jelaslah kenapa kita senang sama orang,
kenapa kita tidak senang sama orang. Itu semua karena keinginan kita. Kalau
keinginan tercapai, saya senang. Kalau keinginan tidak tercapai, saya tidak
senang. Bukan hanya dengan pasangan hidup atau orang, dengan benda,
rumah/tempat, dengan musik, bacaan, apa saja, semuanya tergantung kepada
kesenangan saudara. Kalau kesenangan tercapai, saudara senang, cinta, bahagia.
Kalau kesenangan atau keinginan tidak tercapai, saudara jengkel, emosi, marah.
Kalau demikian, dapat kita simpulkan bahwa marah adalah karena keinginan kita,
setuju?
Kalau sekarang marah itu adalah karena keinginan, maka begitu kita marah,
hendaknya kita segera menyadari: "Ini keinginan saya. Saya ingin apa sih?
Saya ingin dia pintar seperti ini". O..., lalu saya lihat kemampuannya,
dia tidak bisa, ya sudah. Keinginan saya, saya turunkan. Tidak usah terlalu
menuntut. Kalau kita hanya memegang keinginan saja, "Pokoknya dia harus
bisa menuruti omongan saya", maka kita akan menderita. Menderita karena
keinginan kita sendiri.
Dengan bisa memaklumi kekurangan orang lain, dan mengubah cara berpikir atau
keinginan kita, kita dapat mengurangi kemarahan. Jangan terlalu menuntut
terhadap orang lain, karena semua orang, semua barang, semua benda itu ada
kelemahannya, ada kekurangannya.
Jadi kalau saudara marah, ingat baik-baik: "Ini toh karena keinginan
saya". Lalu bagaimana renungannya supaya tidak sering marah? Bagaimana
mengendalikan kemarahan? Kita merenungkan demikian: "Dia punya kekurangan,
tetapi juga punya kelebihan; demikian pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di
dalam diri saya". Nah, inilah mantranya. Mantra agar tidak marah. Kalau
kita mulai jengkel atau marah kepada seseorang, kita merenungkan atau langsung
mengatakan: "Dia memang punya kekurangan, tapi juga punya kelebihan.
Begitu pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diri saya".
Melakukan perenungan ini, kalau pagi bangun tidur diulang 5 kali, malam mau
tidur diulang 5 kali. Dan mulai membaca mantra ini sejak hari ini. Kenapa
demikian? "Saya 'kan belum marah sama dia?" Itu memang benar. Tapi
ini untuk siap-siap menghadapi munculnya marah itu. Sama seperti saudara belum
ketemu maling, tapi saudara sudah belajar kungfu. Jangan belajar kungfu kalau malingnya
sudah datang. Keburu benjol semua kepala saudara. Belajar kungfu itu kalau
malingnya belum datang, otomatis jurusnya keluar. Demikian juga dengan
kemarahan. Jangan menunggu akan marah, baru merenungkan mantra itu. Mulailah
sejak sekarang, mumpung belum marah. Walaupun saudara adalah pasangan hidup
yang serasi, saudara hendaknya mulai berpikir demikian. Walaupun di pergaulan
saudara tidak ada masalah, mulailah saudara berpikir begitu. Sehingga nanti
kalau ketemu teman di organisasi yang menjengkelkan, saudara akan berpikir:
"Walaupun dia punya kekurangan, toh dia juga punya kelebihan. Saya akan
mengingat-ingat kelebihannya.
Dengan demikian maka kejengkelan kita bisa kita kurangi, karena sumber
kejengkelan adalah pikiran kita, keinginan kita sendiri. Karena kita ingin dia
sempurna, dan tidak ingin dia tidak sempurna. Siapakah yang sempurna dalam
dunia ini? Tidak ada yang sempurna. Inilah yang perlu kita renungkan di dalam
hati. Jangan ngomong dia punya kelebihan dulu, karena kuman di seberang lautan
tampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak. Kesalahan orang sedikit saja
nampak, tetapi kebaikannya meskipun banyak, tidak nampak. Karena itu kesalahan
pada orang lain lebih mudah dilihat daripada kelebihan dia. Karena itu kita
ngomong dulu kekurangannya pada mantra perenungan kita: "Memang dia punya
kekurangan, tapi dia pasti punya kelebihan. Begitu pula saya. Tiada lagi
kemarahan di dalam diriku". Ini direnungkan terus. Kalau direnungkan
terus, maka dalam waktu 1 tahun saya akan melihat "ukiran-ukiran di Gunung
Kawi", yang berupa kejengkelan-kejengkelan, emosi, kebencian, kemarahan,
semuanya menjadi hancur, lumat, rata dengan tanah. Tidak ada lagi emosi di
dalam diri saudara.
Tetapi ukiran-ukiran Gunung Kawi yang baik-baik, dengan mengenalkan Dharma kepada
lingkungan, keluarga, rekan-rekan dan kerabat saudara, akan terus berjaya untuk
waktu yang tak terbatas. Dan kalau saudara bisa mengembangkan hal ini —ukiran
yang positif bisa dipertahankan, ukiran yang negatif tidak dilakukan—, maka
kebahagiaan akan menjadi milik saudara. Kebahagiaan tidak hanya saudara alami
di dalam kehidupan ini, tetapi kebahagiaan juga akan saudara alami setelah
kehidupan saudara hidup di duni aini. Artinya saudara pun akan bisa terlahir di
surga karena kebaikan saudara. KTP saudara Buddhis, juga bisa lahir di surga.
Umat Buddha kapal selam juga bisa lahir di surga. Umat Buddha yang
sungguh-sungguh, akan terlahir di surga untuk waktu yang lama dan berkali-kali.
Oleh karena itu lakukanlah kebaikan, karena kebaikan yang dilakukan akan
membuahkan kebahagiaan, baik di dalam kehidupan ini, maupun di dalam
kehidupan-kehidupan yang selanjutnya.
Semoga semua makhluk, baik yang tampak maupun yang tidak tampak akan memperoleh
kebahagiaan lahir dan batin, sesuai dengan kondisi karma masing-masing.***
Sumber:
Mutiara Dhamma VI, Ir. Lindawati T.
(editor), pt. Indografika Utama, Denpasar-Bali, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar