Senin, 14 Mei 2012

Umat Buddha Dan Solusi Kemarahan



oleh : Bhikkhu Uttamo

Khobah Dhamma di Denpasar Tanggal 15 Pebruari 1994.

TIPE UMAT BUDDHA
        Dapat diterangkan di sini bahwa tipe atau jenis umat Buddha itu ada bermacam-macam. Jenis kelompok umat yang pertama adalah: Umat Buddha KTP. Jadi ke mana-mana disombongkan: "Ini lho, KTP saya: Buddhis!" Kalau mereka ditanya, bagaimana riwayat Sang Buddha? Jawabnya: "Ah, itu bukan urusan saya. Itu urusannya para bhikkhu dan para Dharmaduta. Pokoknya saya Buddhis". Ditanya viharanya di mana. Jawabnya: "Bukan urusan saya. Itu urusannya orang-orang yang mau jadi bhikkhu". Ditanya buku parittanya apa, dijawab: "Buku paritta bukan urusan saya. Saya susah membaca paritta". Paritta apa saja yang dihafal? Jawabnya: "Untuk apa menghafal paritta? Lidah saya keseleo-keseleo!" Jadi kamu Buddhis-nya apa? "K-T-P! Toh kalau KTP-nya Buddhis, juga bisa masuk surga, cukup". Kalaupun mau ditambah sedikit, pokoknya Buddhisnya sampai dupa. "Kalau saya sudah bisa pegang dupa, acung-acung dupa, jungkir balik di depan patung, saya sudah Buddhis". Patung apakah itu? "Tidak tahu. Pokoknya saya ikut yang lain". Nah, ini golongan yang pertama. Amat menderita, saudara.

        Golongan yang kedua adalah golongan yang lebih baik daripada yang pertama, yaitu yang disebut umat Buddha bergaya "Kapal Selam". Saudara tentu pernah nonton film "The Man From The Atlantis", bukan? Di sana mereka selalu menggunakan kapal selam. Saudara perhatikan kebiasaan kapal selam; kalau ada bahaya, dia turun, biar aman. Kalau mau ketemu pejabat, dia naik. Nanti kalau santai-santai, nganggur-nganggur: turun. Kalau mau jalan-jalan: naik. Nah, itu cerita film The Man From The Atlantis. Ternyata  cerita itu bukan hanya ada di televisi, tetapi di vihara cerita itu bisa terjadi. Ada acara Waisak: muncul. Tidak ada bhikkhu: tenggelam. Ada bhikkhu: naik. Ini tipe yang kedua.

        Tipe yang ketiga adalah tipe yang paling ideal, yaitu umat Buddha yang memang betul-betul mempelajari Dhamma dan melaksanakan Dhamma. KTP-nya Buddhis, rajin datang ke vihara untuk berpuja-bakti, mendengar Dhamma, serta melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari.

JENIS "UKIRAN" KEMARAHAN DAN SOLUSINYA
        Di Bali saya lihat umat Buddhanya telah menunjukkan satu kekompakan/persatuan di dalam mengembangkan Buddha Dhamma. Ternyata orang Bali, umat Buddha di Bali, bukan hanya terkenal bisa mengukir kayu, mengukir barang-barang, meja-kursi, tapi juga bisa mengukir prestasi di dalam memajukan umat Buddha. Oleh karena itu saudara tidak sia-sia menjadi orang Bali. Bisa mengukir, tidak hanya mengukir patung, tapi juga mengukir prestasi untuk memajukan agama Buddha. Dan saya harap, ukirannya jangan berhenti sampai di sini. Ini hendaknya semakin dikembangkan, sehingga ukiran prestasi atau kebajikan saudara itu semakin banyak, ke mana akhirnya manfaat kebajikan ini juga menjadi milik saudara.

        Berbicara tentang ukiran yang positif perlu saudara kembangkan, tetapi yang negatif jangan dikembangkan. Apakah yang negatif itu? Sang Buddha di dalam Anguttara Nikaya I ayat 283, bercerita tentang seni mengukir. Beliau bercerita demikian. Saudara-saudara, ada jenis tukang ukir yang bermacam-macam. Yang pertama adalah tukang ukir yang mengukir di batu karang. Jadi ada batu karang yang besar, diukir. Saya tadi baru saja datang dari Tanah Lot, di sana saya melihat batu karang yang besar sekali, dan seperti diukir dindingnya. Begitu juga ketika ke Gunung Kawi, saya melihat gunung batu yang diukir. Ini kepandaian orang Bali dalam hal mengukir. Sang Buddha mengatakan, ada orang-orang yang seperti orang yang bisa mengukir batu cadas, batu karang. Bayangkan, saudara. Batu karang yang teguh, yang kuat, seperti candi Gunung Kawi, diukir. Itu bisa bertahan bertahun-tahun lamanya, bahkan ratusan tahun. Kalau itu ukiran yang positif, tentu kita akan merasa senang dan bahagia. Tetapi seperti saya katakan tadi, yang diceritakan Sang Buddha ini adalah jenis ukiran yang negatif. Orang yang mengukir seperti mengukir di batu karang itu adalah diumpamakan orang yang kalau sudah jengkel, marah, atau benci, ia menyimpan kejengkelan atau kebenciannya itu bukan untuk waktu 1-2 hari, bukan untuk waktu 1-2 bulan, tetapi bertahun-tahun jengkelnya masih ada. Itu seperti orang mengukir di batu karang, seperti mengukir Gunung Kawi. Dari jenis yang pertama ini, saya ingin bertanya, apakah saudara punya "Gunung Kawi" di dalam diri saudara? Apakah masih tersimpan kejengkelan saudara yang 10 hari yang lalu? Yang 10 tahun yang lalu?

        Suami rewel, langsung dikatakan: "Memang kamu sudah rewel sejak bertahun-tahun lalu". Demikian juga dengan sang suami, bila melihat istrinya akan ke vihara "make-up"-nya saja lama sekali, lalu suami mengatakan: "Ayo cepat, ini sudah mau mulai kebaktiannya. Kamu pasang gincu saja, masa begitu? Jambonnya itu terlalu muda. Hapus. Ganti yang merah tua. Wah, itu terlalu merah, kayak bikang ambon! Hapus. Ganti yang muda lagi". Berkali-kali ganti sampai tissu satu dus habis untuk menghapus pemerah bibir. Suaminya jengkel, kemudian mengatakan: "Kamu ini dari sejak menikah sampai sekarang punya anak-cucu, begini terus".

        Kalau saudara masih mengucapkan kata-kata seperti itu, hati saudara itu seperti Gunung Kawi, seperti batu karang di Tanah Lot yang diukir, sehingga tidak bisa hilang kejengkelan, dendam saudara itu, baik kepada pasangan hidup maupun kepada yang lain. Kalau sekarang kepada pasangan saja tidak bisa memafkan sampai bertahun-tahun, apalagi sama teman. Kalau di vihara kita melihat teman berbisik-bisik, tertawa cekikikan-cekikikan, saudara berkata: "Awas kamu ya, kamu menggosipkan saya. Pokoknya selama kamu belum meninggal, saya tidak akan pernah mau datang ke vihara. Jangan harap saya akan menginjakkan kaki di rumahmu". Itu namanya kita mengukir Gunung Kawi di dalam diri kita. Apakah saudara demikian? Saudara sendiri yang bisa menjawabnya.

        Jenis ukiran yang kedua, bukan mengukir di batu karang, atau di dinding batu, tetapi mengukir di pantai. Tadi saya juga mengunjungi Pantai Sanur. Saya cemplungkan kaki saya di pasir pantai, kemudian saya minggir. Tidak lama, jejak telapak kaki saya hilang kena ombak. Tapi hilangnya setelah ombaknya beberapa kali. Nah, saudara, Sang Buddha pun mengumpamakan demikian; seperti orang mengukir di atas pasir. Ada ukirannya, ada gambarnya, bisa bertahan untuk waktu yang sementara. Kalau yang pertama tadi, waktunya tidak terhingga, sampai mendarah daging menulang sumsum kebenciannya tidak bisa hilang. Tapi, kalau yang mengukir di atas pasir, ini lain ceritanya. Jengkel sama temen, jengkel sama pasangan hidup, itu wajar. Pasangan hidup masih punya kesalahan, itu wajar. Namanya saja manusia yang masih punya rasa kebencian. Tetapi kalau kita seperti mengukir di pasir, hendaknya janganlah untuk waktu yang lama.

        Jenis berikutnya yaitu jenis yang ketiga. Kalau yang pertama adalah mengukir di batu karang, jenis yang kedua mengukir di pasir, maka yang ketiga adalah yang ideal, yaitu mengukir di atas air. Saudara nanti boleh mencoba di bak mandi saudara. Tulis huruf "A". Bekas garisnya ada, tetapi langsung hilang. Demikian pula hendaknya apabila timbul kejengkelan, kemarahan, ketidaksenangan di dalam hati kita, hendaknya jangan ditahan seperti batu karang, bahkan juga jangan ditahan seperti lukisan di pasir, tetapi hendaknya seperti kita melukis di atas air. Cepat hilang kejengkelan itu. Nah, saudara, tiga jenis kejengkelan, tiga jenis ukiran inilah yang mulai kita renungkan sekarang.

        Idealnya kita tentu mau menjadi umat Buddha yang terbaik, bukan? Saya yakin tidak ada yang ingin menjadi umat Buddha yang jelek-jelek, tetapi pasti yang baik. Bahkan kalau bisa, yang terbaik. Menjadi umat Buddha yang sungguh-sungguh mau mendengar Dharma, melaksanakan Dharma dengan baik, bukan hanya umat Buddha KTP atau Kapal Selam. Demikian pula dengan kesabaran, hendaknya seperti melukis di atas air. Tapi sekarang, bagaimanakah caranya? Seseorang bisa jengkel, marah, atau tidak senang itu karena ada sebabnya. Apakah yang menjadi sebab kejengkelan/kemarahan?

        Kalau kita marah kepada pembantu di rumah, apakah sebabnya? Apakah karena pembantu kurang pintar? Ataukah saudara yang kurang pintar? Tentu saudara menjawab, "Pembantu yang kurang pintar". Kenapa demikian? Karena kalau dia pintar, dia sudah jadi boss seperti saudara semua. Jadi, yang kurang pintar itu siapa? Kita sendiri! Kalau misalnya ada pembantu yang menutup pintu saja lupa terus, setiap hari mesti disuruh; kemudian kita omeli; "Kamu ini betul-betul bodoh ya, bodoh kayak kerbau. Masa diberitahu untuk menutup pintu saja setiap hari tidak pernah ingat?"

        Kalau saudara renungkan baik-baik pembantu yang lupa-lupa terus itu mungkin memang otaknya kurang lancar. Kalau saudara omeli sampai setengah jam itu, sebetulnya saudara menjadi seperti dia. Karena dengan ngomel-ngomel, saudara sendiri jadi tidak menutup pintu, pintunya terbuka terus. Padahal kalau sudah tutup pintu itu, sudah selesai masalahnya.

        Jadi kalau saudara ngomel, saudara marah, berarti saudara tidak menyadari bahwa kemampuan orang itu jauh di bawah saudara. Berarti yang kurang pintar bukan dia, tetapi saudara sendiri yang kurang pintar memahami kenapa kok dia membuat kesalahan itu. Makanya secara Dharma, alam sudah menunjukkan bahwa kalau satu jari menunjuk orang lain, maka tiga jari menunjuk kepada diri sendiri. Kalau kita menunjuk: "Kamu kurang pintar!" Berarti 1 jari menunjuk dia, 3 jari menunjuk ke kita; berarti kita ini 3 kali lebih "kurang pintar" daripada dia. Maka dari itu belajarlah dari alam, supaya tidak gampang-gampang kita menunjuk orang lain: kamu bodoh, kurang pintar, buruk, dan sebagainya. Jadi yang pertama harus kita renungkan bahwa sebetulnya mengapa saya marah? Mengapa saya jengkel dengan dia? Itu semua sesungguhnya adalah karena keinginan saya sendiri. Jadi penyebab dari kejengkelan, ketidaksenangan, atau kemarahan, sesungguhnya adalah karena KEINGINAN sendiri.

        Coba saudara yang sudah punya pasangan hidup, tanyakan, "Kenapa saudara sayang sama pasangan hidup saudara. Kenapa saudara kadang-kadang ingin selalu dekat dengan pasangan hidup saudara?" Kadang-kadang inginnya hanya ngomong-ngomong bersama dengan pasangan hidup saudara. Kenapa? Karena pasangan hidup saudara bisa memberikan apa yang saudara inginkan. "Wah, kalau saya ngomong-ngomong dengan dia, cocok sekali". Sehingga, karena ngomong-ngomong terus, lalu lupa ke vihara! Atau "Wah, saya ini kalau jalan berduaan dengan dia, senang sekali, karena saya itu bisa mengikuti jalan cepat. Kalau ingin jalan lambat sambil nonton-nonton toko, dia bisa ikut pelan, bisa mengikuti keinginan saya. Saya ketemu dengan teman-teman, dia bisa saya ajak dan tidak memalukan saya. Wah, saya bahagia".

        Tetapi sebaliknya, dengan pasangan hidup juga bisa jengkel. Kenapa? Karena pasangan hidup saudara tidak memuaskan keinginan saudara sendiri. Diajak ngomong-ngomong: "Bagaimana ya, situasi politik zaman sekarang?" Langsung pasangan hidupnya menjawab: "Iya, situasinya tidak enak. Coba, harga bawang sekarang naik". Ditanya: "Bagaimana keadaan vihara sekarang, apakah banyak kemajuan?" Jawabnya: "Ya, cukuplah. Tapi umat vihara yang dulu itu pernah pinjam sendok, tidak dikembalikan. Padahal sendoknya antik, itu. Bagaimana ya caranya kita minta kembali sendoknya sama dia?" Wah, ini sudah tidak cocok. Yang ditanya tentang vihara, jawabannya tentang sendok. Yang ditanya soal politik, jawabannya bawang merah, bawang putih. Sudah tidak karuan ini. "Ah, malas saya ngomong-ngomong sama dia, enakan ke vihara, pelarian". Daripada di rumah jengkel terus, stress, lebih baik ke vihara saja, dengar-dengar Dhamma atau kadang-kadang di vihara ngaco-ngaco saja, bisa juga begitu. Nah, saudara, mengapa kita jengkel dengan pasangan hidup kita? Karena kita tidak ingin pasangan hidup kita itu melakukan demikian. Sebaliknya kalau jalan; saya ingin cepat, pasangan hidupnya pelan. Saya ingin pelan sambil nonton-nonton toko, dia malah ngebut, mau cari toilet! Bagaimana ini? Wah tidak cocok. Lebih baik jalan sendiri saja. Kenapa? Karena keinginan tidak tercapai. Begitu juga kalau ketemu teman-teman, diajak ngomong-ngomong. Teman-teman bertanya, "Bagaimana ini pasangan hidupmu, bahagia ya, hidup rukun-rukun?" Langsung sang istri pasang muka merengut: "Rukun apa. Itu kan hanya di depan umum. Kalau di belakang, dia ngomel-ngomel terus sama saya, malah pernah mukulin saya juga, koq". Sang suami lalu berpikir, "Wah, ini menjatuhkan martabat dan gengsi. Bisa repot. Ini memalukan saya". Sehingga istri tidak diajak jalan-jalan lagi.

        Nah, dari contoh-contoh tersebut, jelaslah kenapa kita senang sama orang, kenapa kita tidak senang sama orang. Itu semua karena keinginan kita. Kalau keinginan tercapai, saya senang. Kalau keinginan tidak tercapai, saya tidak senang. Bukan hanya dengan pasangan hidup atau orang, dengan benda, rumah/tempat, dengan musik, bacaan, apa saja, semuanya tergantung kepada kesenangan saudara. Kalau kesenangan tercapai, saudara senang, cinta, bahagia. Kalau kesenangan atau keinginan tidak tercapai, saudara jengkel, emosi, marah. Kalau demikian, dapat kita simpulkan bahwa marah adalah karena keinginan kita, setuju?

        Kalau sekarang marah itu adalah karena keinginan, maka begitu kita marah, hendaknya kita segera menyadari: "Ini keinginan saya. Saya ingin apa sih? Saya ingin dia pintar seperti ini". O..., lalu saya lihat kemampuannya, dia tidak bisa, ya sudah. Keinginan saya, saya turunkan. Tidak usah terlalu menuntut. Kalau kita hanya memegang keinginan saja, "Pokoknya dia harus bisa menuruti omongan saya", maka kita akan menderita. Menderita karena keinginan kita sendiri.

        Dengan bisa memaklumi kekurangan orang lain, dan mengubah cara berpikir atau keinginan kita, kita dapat mengurangi kemarahan. Jangan terlalu menuntut terhadap orang lain, karena semua orang, semua barang, semua benda itu ada kelemahannya, ada kekurangannya.

        Jadi kalau saudara marah, ingat baik-baik: "Ini toh karena keinginan saya". Lalu bagaimana renungannya supaya tidak sering marah? Bagaimana mengendalikan kemarahan? Kita merenungkan demikian: "Dia punya kekurangan, tetapi juga punya kelebihan; demikian pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diri saya". Nah, inilah mantranya. Mantra agar tidak marah. Kalau kita mulai jengkel atau marah kepada seseorang, kita merenungkan atau langsung mengatakan: "Dia memang punya kekurangan, tapi juga punya kelebihan. Begitu pula dengan saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diri saya". Melakukan perenungan ini, kalau pagi bangun tidur diulang 5 kali, malam mau tidur diulang 5 kali. Dan mulai membaca mantra ini sejak hari ini. Kenapa demikian? "Saya 'kan belum marah sama dia?" Itu memang benar. Tapi ini untuk siap-siap menghadapi munculnya marah itu. Sama seperti saudara belum ketemu maling, tapi saudara sudah belajar kungfu. Jangan belajar kungfu kalau malingnya sudah datang. Keburu benjol semua kepala saudara. Belajar kungfu itu kalau malingnya belum datang, otomatis jurusnya keluar. Demikian juga dengan kemarahan. Jangan menunggu akan marah, baru merenungkan mantra itu. Mulailah sejak sekarang, mumpung belum marah. Walaupun saudara adalah pasangan hidup yang serasi, saudara hendaknya mulai berpikir demikian. Walaupun di pergaulan saudara tidak ada masalah, mulailah saudara berpikir begitu. Sehingga nanti kalau ketemu teman di organisasi yang menjengkelkan, saudara akan berpikir: "Walaupun dia punya kekurangan, toh dia juga punya kelebihan. Saya akan mengingat-ingat kelebihannya.

        Dengan demikian maka kejengkelan kita bisa kita kurangi, karena sumber kejengkelan adalah pikiran kita, keinginan kita sendiri. Karena kita ingin dia sempurna, dan tidak ingin dia tidak sempurna. Siapakah yang sempurna dalam dunia ini? Tidak ada yang sempurna. Inilah yang perlu kita renungkan di dalam hati. Jangan ngomong dia punya kelebihan dulu, karena kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak. Kesalahan orang sedikit saja nampak, tetapi kebaikannya meskipun banyak, tidak nampak. Karena itu kesalahan pada orang lain lebih mudah dilihat daripada kelebihan dia. Karena itu kita ngomong dulu kekurangannya pada mantra perenungan kita: "Memang dia punya kekurangan, tapi dia pasti punya kelebihan. Begitu pula saya. Tiada lagi kemarahan di dalam diriku". Ini direnungkan terus. Kalau direnungkan terus, maka dalam waktu 1 tahun saya akan melihat "ukiran-ukiran di Gunung Kawi", yang berupa kejengkelan-kejengkelan, emosi, kebencian, kemarahan, semuanya menjadi hancur, lumat, rata dengan tanah. Tidak ada lagi emosi di dalam diri saudara.

        Tetapi ukiran-ukiran Gunung Kawi yang baik-baik, dengan mengenalkan Dharma kepada lingkungan, keluarga, rekan-rekan dan kerabat saudara, akan terus berjaya untuk waktu yang tak terbatas. Dan kalau saudara bisa mengembangkan hal ini —ukiran yang positif bisa dipertahankan, ukiran yang negatif tidak dilakukan—, maka kebahagiaan akan menjadi milik saudara. Kebahagiaan tidak hanya saudara alami di dalam kehidupan ini, tetapi kebahagiaan juga akan saudara alami setelah kehidupan saudara hidup di duni aini. Artinya saudara pun akan bisa terlahir di surga karena kebaikan saudara. KTP saudara Buddhis, juga bisa lahir di surga. Umat Buddha kapal selam juga bisa lahir di surga. Umat Buddha yang sungguh-sungguh, akan terlahir di surga untuk waktu yang lama dan berkali-kali.

        Oleh karena itu lakukanlah kebaikan, karena kebaikan yang dilakukan akan membuahkan kebahagiaan, baik di dalam kehidupan ini, maupun di dalam kehidupan-kehidupan yang selanjutnya.

        Semoga semua makhluk, baik yang tampak maupun yang tidak tampak akan memperoleh kebahagiaan lahir dan batin, sesuai dengan kondisi karma masing-masing.***

Sumber:
Mutiara Dhamma VI, Ir. Lindawati T. (editor), pt. Indografika Utama, Denpasar-Bali, 1994

Tidak ada komentar: