Sabtu, 24 Maret 2012

Cara Menghilangkan Kemelekatan





Oleh YM. Bhante Uttamo Mahathera.



Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana, namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma, bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.
(Dhammapada V, 6)


Saudara-saudara, para bapak-ibu yang berbahagia, pada kesempatan ini, marilah kita berusaha melihat dan merenungkan perilaku umat Buddha di vihara. Seorang umat Buddha yang rajin mengikuti berbagai kegiatan di vihara, sering malah dipandang keliru oleh umat Buddha yang lain. Mereka akan berpikir bahwa apabila ada umat Buddha yang sering ke vihara dan rajin mengikuti berbagai kegiatan di vihara maka akhirnya ia nanti akan menjadi bhikkhu. Ataupun, kalau orang yang rajin ke vihara itu adalah seorang wanita, maka orang akan kuatir kalau ia nantinya menjadi seorang anagarini atau wanita yang meninggalkan keduniawian. Menurut anggapan banyak orang di masyarakat Buddhis, pria yang rajin ke vihara pastilah akan menjadi bhikkhu, sedangkan kalau wanita, ia akan menjadi seorang anagarini atau bahkan bhiksuni. Memang untuk aliran Theravada saat ini seorang wanita cukup menjadi seorang anagarini saja. Sedangkan kalau mereka ingin menjadi bhikhuni, mereka dapat menjadi bhiksuni Mahayana karena silsilah bhikkhuni Theravada telah punah. Namun, apabila ada sekelompok wanita yang mengaku dirinya sebagai bhikkhuni Theravada, hal itu adalah hak mereka mengaku dirinya sendiri. Namun, tentunya juga merupakan hak para umat Buddha Theravada lainnya untuk tidak mengakui mereka sebagai bhikkhuni Theravada. Namun, yang penting untuk ditekankan di sini adalah bahwa dalam masyarakat masih sering timbul anggapan yang menyatakan bahwa kalau ada orang yang sering beribadah di rumah, aktif mengikuti kebaktian di vihara maupun melakukan berbagai kegiatan religius lainnya, maka orang seperti itu pastilah akan menjadi seorang bhikkhu atau anagarini.

Tentu saja pola pikir semacam itu adalah pola pikir yang salah. Sejak jaman Sang Buddha jumlah para bhikkhu selalu lebih sedikit dibandingkan jumlah umat yang datang ke vihara. Padahal pada waktu itu Sang Buddha sendirilah yang mengajarkan Dhamma. Logikanya, apabila orang yang sering ke vihara dan mengadakan berbagai kegiatan ritual di vihara selalu akan menjadi bhikkhu, maka pada jaman Sang Buddha, pastilah jumlah bhikkhu jauh lebih banyak daripada jumlah umat yang ada. Namun, kenyataannya tidak demikian. Pernah diceritakan bahwa ketika Sang Buddha sedang berkumpul dengan 1250 orang bhikkhu, jumlah umat yang hadir pada saat itu lebih banyak daripada jumlah bhikkhu tersebut.

Ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu ketika nanti semua umat Buddha akan menjadi bhikkhu. Dan, apabila hal itu terjadi, dunia ini akan mengalami kepunahan. Pendapat ini juga tidak benar dan bahkan tidak masuk akal. Disebut sebagai pendapat yang tidak masuk akal karena bahkan saudara sekandung pun bisa memiliki keinginan yang berbeda, cita-cita hidup yang berbeda, apalagi dibandingkan dengan semua orang di dunia. Pasti mereka tidak mungkin mempunyai cita-cita yang sama yaitu menjadi bhikkhu. Tidak mungkin. Oleh karena itu, kalaupun sering membaca paritta dan melatih meditasi, tidak harus kegiatan tersebut menandakan bahwa orang itu akan menjadi bhikkhu. Hal ini mungkin saja terjadi karena agama Buddha bukan khusus untuk para bhikkhu maupun orang yang akan meninggalkan keduniawian saja, melainkan dapat dilaksanakan dan memberikan manfaat untuk semua orang. Siapapun juga, bahkan dengan latar belakang apapun juga. Buddha Dhamma berlaku untuk semua orang. Menjadi bhikkhu, anagarini ataupun berbagai bentuk kehidupan di vihara lainnya adalah merupakan salah satu pilihan hidup, tetapi bukan satu-satunya pilihan hidup sebagai umat beragama Buddha. Seorang umat Buddha yang berumah tangga dan tinggal di dalam masyarakat serta melakukan berbagai aktifitas sosial kemasyarakatan masih tetap dapat melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Mereka juga tetap dapat memetik buah kebahagiaan sebagai hasil pelaksanaan Buddha Dhamma.

Kalau memang sebagai seorang umat perumah tangga dapat melaksanakan dan mendapatkan manfaat dari pelaksanakan Ajaran Sang Buddha. Lalu, apakah manfaat yang dapat diperoleh sebagai seorang samanera, bhikkhu maupun anagarini? Sebenarnya, menjadi viharawan, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, adalah merupakan salah satu pilihan hidup, bukan satu-satunya. Karena memang dalam kenyataannya, ada orang yang sudah tertarik untuk meninggalkan keduniawian sejak dari kecil, namun, ada pula walaupun sudah berusia lanjut masih saja melekat dan terikat dengan segala yang dimilikinya. Ia melekat dengan harta, kedudukan dan keluarganya. Kemelekatan yang tinggi inilah yang sesungguhnya menjadi sasaran utama untuk diatasi dengan Ajaran Sang Buddha. Untuk mengatasi kemelekatan tersebut, memang ada orang yang senang dengan cara meninggalkan keduniawian untuk menjadi viharawan. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan untuk mereka yang bukan viharawan pun melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Walaupun bukan viharawan, orang akan tetap dapat merasakan manfaat pelaksanaan Buddha Dhamma yaitu tidak melekat. Oleh karenanya, adanya para viharawan sesungguhnya dapat dijadikan simbol pelaksanaan Buddha Dhamma yang lebih tekun agar mendapatkan manfaat dan kebahagiaan, walaupun ia tetap tinggal sebagai perumah tangga.

Membahas secara mendalam tentang ketidakmelekatan ini sesungguhnya bukan hanya sesuai untuk para anagarini, bhikkhu maupun samanera saja, namun juga cocok untuk para perumahtangga. Sebab, tidak melekat bukan berarti tidak boleh punya pasangan hidup. Tidak melekat itu bukan berarti tidak boleh punya kekayaan. Tidak melekat itu bukan berarti tidak boleh punya rumah, tidak punya mobil, tidak punya pekerjaan yang berhasil. Bukan demikian, bukan. Tidak melekat itu berarti siap menghadapi perubahan pada segala sesuatu yang dimiliki. Menerima perubahan itu sebagai kenyataan. Itulah kunci agar tidak melekat. Apabila sebagai perumah tangga yang mempunyai pasangan hidup, bisa saja dalam proses berjalannya waktu, pasangan hidup yang semula serasi menjadi kurang serasi. Ada beberapa perubahan sifat maupun perilaku yang diketemukan dalam diri pasangan tersebut. Tidak melekat berarti siap menghadapi perubahan. Kalau dahulu pasangan hidup bisa selalu harmonis, sekarang mungkin sering timbul percekcokan di antaranya. Hal ini hendaknya bisa diterima sebagai kenyataan. Menerima perubahan sebagai kenyataan inilah yang disebut sebagai tidak melekat. Tidak menuntut pasangan hidup harus seperti semula. Ia mungkin telah berubah. Demikian pula dengan masalah pekerjaan, kesehatan dlsb. Dahulu mungkin orang itu sehat dan lancar usahanya, namun, karena segalanya bisa berubah, ia kemudian menjadi sering sakit dan mundur usahanya. Namun, apabila seseorang bisa menyadari bahwa memang dalam dunia ini adalah merupakan hal yang wajar apabila ada untung- rugi, sehat-sakit dlsb, maka orang akan siap mental menghadapi perubahan. Menerima perubahan sebagai kenyataan yang tidak bisa ditolak. Inilah makna ketidakmelekatan.

Para bhikkhu dan samanera yang selalu menyukur rambutnya adalah merupakan lambang ketidakmelekatan pada rambutnya. Ketidakmelekatan pada rambut ini juga bisa dilakukan oleh para perumah tangga. Namun, sebagai seorang perumah tangga, tidak harus semuanya kemudian mencukur bersih rambutnya dan menjadi gundul. Bukan demikian. Inti pengertian ketidakmelekatan itu dapat tumbuh dari kesadaran untuk menerima perubahan bahwa suatu saat rambut akan menjadi berubah warna, beruban, rambut juga semakin tipis karena rontok yang disebabkan oleh bertambahnya usia. Menyadari dan mampu menerima sebagai kenyataan segala bentuk perubahan yang terjadi pada rambut seperti itu tanpa menimbulkan kesedihan maupun kekecewaan dalam batin, itulah yang merupakan contoh ketidakmelekatan.

Para bhikkhu selain mencukur habis rambutnya, juga selalu mengenakan jubah. Hal ini dapat dilihat pula sebagai simbolik sikap batin yang tidak melekat dengan pakaian. Dalam kehidupan sebagai perumah tangga, ketidakmelekatan dengan pakaian ini tetap juga bisa dikembangkan. Tidak melekat pada pakaian bukan berarti mengenakan pakaian semaunya dan tampak tidak rapi. Bukan demikian maksudnya, namun seseorang hendaknya dalam kehidupan sehari-hari, mampu tampil percaya diri dengan pakaian apapun yang telah dimilikinya. Ia tidak perlu merasa malu walaupun tidak mengenakan dasi kalau memang tidak mampu mengadakannya. Orang hendaknya jangan menggunakan pengertian bahwa lebih baik pakai dasi walaupun tidak makan nasi. Kalau demikian halnya, maka pakaian menjadi yang paling utama, sedangkan kebutuhan pokok malah dijadikan pilihan kedua. Hal ini tentu saja tidak tepat. Orang seperti ini adalah orang yang tidak bijaksana. Orang yang tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Padahal, sebenarnya pakaian hanyalah alat bantu yang mungkin dapat menambah nilai dalam penampilan. Namun, sesungguhnya penampilan yang hebat bukanlah tergantung pada pakaian atau berbagai bentuk perhiasan yang dipergunakan, melainkan dari kepribadian dan perilakunya. Perilaku baik ditunjukkan dengan ucapan baik, perbuatan melalui badan yang baik dan bermanfat untuk diri sendiri maupun lingkungan, serta pikiran hendaknya juga yang baik. Dengan memiliki ucapan, perbuatan dan pikiran yang baik, pakaian sederhana pun menjadi tidak masalah. Orang akan tetap dapat menghargainya.

Dalam kehidupan ini, sesungguhnya hal yang paling penting pada diri manusia adalah keluhuran perilakunya, semua bentuk pakaian, perhiasan maupun kekayaan lainnya hanyalah merupakan kelengkapan saja.

Selain mencukur habis rambut, menggunakan jubah para bhikkhu juga telah meninggalkan rumah, keluarganya dan menetap di vihara. Cara hidup seperti itu juga dapat dijadikan simbol untuk tidak melekat dengan rumah ataupun rumah tangga yang tentunya juga bisa dilakukan oleh para perumah tangga. Perumah tangga yang tinggal dalam rumah yang dibangun sendiri setelah melalui berbagai perjuangan dapat pula mengembangkan sikap tidak melekat. Misalnya saja, ketika ia melihat rumahnya bocor di sana sini, atau luntur catnya atau bahkan rumah itu terbakar habis, seorang yang tidak melekat pada rumahnya akan bisa menerima hal ini sebagai kenyataan. Batinnya akan tetap tenang menghadapi semua perubahan itu. Bahkan, setelah ia mengalami berbagai kesulitan akibat kepemilikannya itu, ia dapat mengambil pelajaran darinya. Ia akan lebih rajin merawat rumahnya agar tidak mudah bocor. Ia akan menjaga rumahnya dengan lebih baik agar tidak terkena bahaya kebakaran lagi. Ia mampu mencari kekurangan yang telah dimilikinya untuk diperbaiki dimasa sekarang. Oleh karena itu, seseorang dengan mempunyai pengertian untuk tidak melekat, ia malah akan mampu mencari kelebihan yang telah dimiliki untuk dikembangkan dan kekurangan untuk diperbaiki. Dengan demikian, orang dengan kualitas diri seperti ini akan selalu mendapatkan kemajuan serta mengurangi kesempatan untuk memperoleh kemunduran.

Jadi, jelaslah kini bahwa untuk melaksanakan Ajaran Sang Buddha yang luhur tentang ketidakmelekatan ini tidak mengharuskan seseorang menjadi anagirini, samanera maupun menjadi bhikkhu terlebih dahulu melainkan sebagai perumahtangga pun bisa. Namun, apabila memang seseorang berkeinginan meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi bhikkhu tentu saja tidak masalah, namun hal itu hanyalah pilihan hidup, bukan merupakan keharusan. Seperti para viharawan dan viharawati yang telah meninggalkan keduniawian, maka sikap batin untuk meninggalkan kemelekatan pada segala sesuatu yang dimiliki itu hendaknya juga bisa dilatih semasa tinggal dalam masyarakat dan keluarga. Ketidak melekatan adalah merupakan cara berpikir. Selama seseorang bisa tenang batinnya untuk menerima segala bentuk perubahan yang terjadi pada dirinya maupun lingkungannya, maka orang seperti itulah yang memiliki sikap batin tidak melekat.

Siapapun juga, bila telah tidak waktunya, maka tubuh, rambut, ketajaman telinga, ketajaman mata, ketajaman lidah, ketajaman perasaan dlsb akan ditinggalkan semuanya. Apabila seseorang melekat dengan ketajaman telinga, ketajaman mata maupun kekuatan tubuh maka apabila suatu saat harus menggunakan kacamata karena telah rabun, menggunakan alat bantu dengar karena pendengaran mulai berkurang, maka ia akan mengalami stress. Batinnya selalu gelisah dan menolak untuk bisa menerima kenyataan. Hidup penuh kemelekatan ini akan menimbulkan penderitaan. Padahal apabila seseorang bisa menyadari bahwa segalanya hanyalah proses, maka sesungguhnya tidak ada hal yang membuat seseorang harus senang maupun sedih melihat perubahan tersebut. Kalau orang sudah bisa menerima kenyataan hidup, maka kehidupan inni dapat diisi dengan hal yang positif. Orang akan selalu dapat memanfaatkan segala potensi yang ada dalam dirinya untuk dapat memberikan kebahagiaan untuk diri sendiri maupun lingkungannya.

Inilah uraian singkat yang tentunya akan dapat dijadikan pendorong untuk selalu melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Karena seperti yang telah disampaikan dalam Dhamma bahwa orang yang bijaksana hendaknya seperti lidah yang dapat merasakan sayur yang melewatinya. Demikian pula dengan orang bijaksana yang pada setiap kali mengikuti kebaktian hendaknya ada sesuatu pesan Dhamma yang dapat dibawa pulang agar dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kesempatan ini, dapat direnungkan pula bahwa setelah mendengarkan Dhamma ini hendaknya timbullah pengertian bahwa ketidakmelekatan itu sesungguhnya bisa dilatih kehidupan sehari-hari sebagai perumah tangga. Tidak melekat dengan rumah, kesehatan, maupun segala sesuatu yang dimiliki mempunyai makna bahwa seseorang hendaknya selalu memiliki kesiapan mental untuk menghadapi perubahan. Apabila perubahan itu menuju ke hal yang baik, carilah sebabnya untuk dikembangkan di masa depan. Sebaliknya, kalau perubahan itu menuju ke hal yang kurang baik, maka carilah penyebabnya agar dapat diperbaiki, demikian seterusnya. Rumah tidak selamanya bagus, suatu saat akan membutuhkan direnovasi. Kesehatan tidak selamanya sehat dan baik, suatu ketika membutuhkan pengawasan dan pengobatan ke dokter. Kekuatan tidak selamanya ada, suatu ketika orang akan membutuhkan alat bantu untuk mendukung kekuatan yang dimilikinya saat ini. Semua ini sebenarnya adalah usaha untuk mendapatkan kebahagiaan di dalam kehidupan yang sesuai dengan Dhamma.

Inilah yang dapat disampaikan dalam kesempatan ini. Semoga kita semua mendapatkan manfaat dengan melatih ketidak-melekatan yang bukan berarti masa bodoh dengan rambut, masa bodoh dengan penampilan, masa bodoh dengan rumah yang makin lama makin miring, bukan demikian, namun hendaknya kita semua mampu menerima segala perubahan itu sebagai suatu kenyataan agar dapat ditingkatkan maupun diperbaiki.

Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun yang tidak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Sabbe satta bhavantu sukhittata

Tidak ada komentar: