Selasa, 03 Januari 2012

BAB LIMA



Kelompok Lima




92. Kekuatan-kekuatan Siswa yang Berlatih
Para bhikkhu, ada lima kekuatan di dalam diri orang yang menjalankan latihan yang lebih tinggi.1Apakah yang lima itu?
Kekuatan keyakinan, malu, takut moral, semangat, dan kebijaksanaan.
Dan apakah kekuatan keyakinan itu? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa agung memiliki keyakinan; dia menempatkan keyakinan pada pencerahan Tathagata: “Yang Terberkahi adalah Arahat, sepenuhnya tercerahkan, mantap di dalam pengetahuan dan perilaku sejati, luhur, pengenal dunia, pemimpin yang tak-terkalahkan bagi manusia yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, Yang Telah Tercerahkan, Yang Terberkahi.”
Dan apakah kekuatan malu itu? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa agung memiliki rasa malu; dia malu akan perilaku buruk lewat tubuh, ucapan dan pikiran; dia malu akan apa pun yang jahat dan tidak bermanfaat.2
Dan apakah kekuatan rasa takut moral itu? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa agung memiliki takut moral; dia takut akan perilaku buruk lewat tubuh, ucapan dan pikiran; dia takut akan apa pun yang jahat dan tidak bermanfaat.
Dan apakah kekuatan semangat itu? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa agung hidup dengan semangat yang ditujukan untuk menghilangkan segala sesuatu yang tak-bajik dan memperoleh segala sesuatu yang bajik; dia mantap dan kuat di dalam usahanya, tidak menghindari tugasnya sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik.
Dan apakah kekuatan kebijaksanaan itu? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa agung bersifat bijaksana; dia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya semua fenomena, yang agung dan menembus, dan membimbing menuju hancurnya penderitaan secara total.3
Para bhikkhu, inilah lima kekuatan di dalam diri orang yang menjalankan latihan yang lebih tinggi.
Karena itu, O para bhikkhu, kalian seharusnya melatih diri demikian: “Kami akan memperoleh kekuatan keyakinan, malu, takut moral, semangat dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh orang yang menjalankan latihan yang lebih tinggi!” Demikianlah seharusnya kalian melatih diri.
(V, 2)


93. Kondisi Kebaikan dan Kejahatan
Para bhikkhu, selama keyakinan ada di dalam sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tak-bajik tidak akan dapat masuk. Tetapi ketika keyakinan (di dalam hal-hal bajik) telah lenyap dan rasa tidak percaya mencengkeram dan bertahan, maka apa yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.4
Para bhikkhu, selama malu masih ada sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika malu seperti itu telah lenyap dan tak-malu mencengkeram dan bertahan, maka apa yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
Para bhikkhu, selama takut moral masih ada sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika takut moral seperti itu telah lenyap dan kecerobohan moral mencengkeram dan bertahan, maka apa yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
Para bhikkhu, selama ada semangat yang diarahkan pada sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika semangat seperti itu telah lenyap dan kemalasan mencengkeram dan bertahan, maka apa yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
Para bhikkhu, selama ada kebijaksanaan sehubungan dengan sifat-sifat yang bajik, maka apa yang tak-bajik tidak akan mendapat jalan masuk. Tetapi ketika kebijaksanaan seperti itu telah lenyap dan kebodohan mencengkeram dan bertahan, maka apa yang tak-bajik akan mendapat jalan masuk.
(V, 6)


94. Perumpamaan Bayi
Para bhikkhu, pada umumnya para makhluk menganggap kesenangan-kesenangan indera itu nikmat. Tetapi jika seorang pria muda dari keluarga baik-baik telah menyingkirkan sabit dan tongkat penjinjing,5 dan telah meninggalkan kehidupan berumah-tangga menuju kehidupan tak-berumah, sesungguhnya dia bisa dianggap telah menjalankannya karena keyakinan. Mengapa dapat dianggap demikian? Karena bagi orang muda, kesenangan-kesenangan indera dapat diperoleh dengan sangat mudah. Dari apa pun yang baik, kasar, sedang atau halus – semua itu dianggap sebagai kesenangan indera.
Para bhikkhu, andaikan saja ada seorang bayi yang masih lemah sedang berbaring, dan karena kelalaian perawatnya, dia memasukkan potongan ranting atau kerikil kecil ke dalam mulutnya. Maka dengan cepat perawat itu akan mempertimbangkan apa yang telah terjadi, dan dengan sangat cepat dia akan mengambil keluar benda itu. Tetapi andaikan dia tidak dapat dengan cepat mengambil keluar benda itu, dia akan memegang kepala bayi itu dengan tangan kanannya, dan dengan jari yang dibengkokkan dia akan mengambil keluar benda itu, sekalipun bayi itu harus berdarah. Mengapa? Walaupun tentu hal itu menyakiti si bayi -tak dapat disangkal lagi- tetapi perawat itu harus bertindak demikian untuk kebaikan anak itu, karena peduli pada kesejahteraannya, karena kasihan, karena welas asih. Tetapi bila bayi itu sudah besar dan cukup memiliki penalaran, perawat itu tidak perlu lagi mengkhawatirkan anak itu, karena mengetahui bahwa anak itu sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri dan tidak akan lalai lagi.
Demikian pula, para bhikkhu, selama seorang bhikkhu belum membuktikan keyakinannya dalam hal-hal yang bajik, belum membuktikan malu dan takut moralnya, semangat dan kebijaksanaannya sehubungan dengan hal-hal yang bajik, selama itu pula aku harus mengawasinya. Tetapi jika dia telah membuktikan dirinya di dalam semua hal ini, aku tidak perlu lagi mengkhawatirkan bhikkhu itu, karena mengetahui bahwa dia sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri dan tidak akan lalai lagi.6
(V, 7)


95. Lima Kekuatan Lain
Para bhikkhu, ada lima kekuatan lain: kekuatan keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan.7
Para bhikkhu, apakah kekuatan keyakinan itu? (Seperti dalam Teks 92. )
Apakah kekuatan semangat itu? (Seperti dalam Teks 92.)
Apakah kekuatan kewaspadaan itu? Di sini, para bhikkhu, seorang siswa agung selalu waspada; dia diperlengkapi dengan kewaspadaan dan kehati-hatian yang paling tajam; dia mengingat dengan baik dan menyimpan di pikirannya apa yang telah dikatakan dan dilakukan lama sebelumnya.8
Apakah kekuatan konsentrasi itu? Di sini, para bhikkhu, terpisah dari kesenangan-kesenangan indera, terpisah dari keadaan-keadaan yang tak-bajik, seorang siswa agung memasuki dan berdiam di jhana pertama … (seperti dalam Teks 39) … di jhana keempat, yang bukan-menyakitkan-pun-bukan-menyenangkan dan mencakup pemurnian kewaspadaan lewat ketenangseimbangan.
Apakah kekuatan kebijaksanaan itu? (seperti dalam Teks 92.)
(V, 14)


96. Kriteria Lima Kekuatan
Para bhikkhu, ada lima kekuatan ini: kekuatan keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan.
Para bhikkhu, di manakah kekuatan keyakinan dapat dilihat? Di dalam empat faktor pemasuk-arus.9
Di manakah kekuatan semangat dapat dilihat? Di dalam empat usaha benar.10
Di manakah kekuatan kewaspadaan dapat dilihat? Di dalam empat landasan kewaspadaan.11
Di manakah kekuatan konsentrasi dapat dilihat? Di dalam empat jhana.
Di manakah kekuatan kebijaksanaan dapat dilihat? Di dalam Empat Kebenaran Mulia.12
(V, 15)


97. Lima Pembantu bagi Pandangan Benar
Para bhikkhu, jika pandangan benar dibantu oleh lima hal, memiliki pembebasan pikiran sebagai buahnya dan dianugerahi dengan buah pembebasan pikiran; pandangan benar memiliki kebebasan oleh kebijaksanaan sebagai buahnya dan dianugerahi dengan buah pembebasan oleh kebijaksanaan.13 Apakah yang lima itu?
Di sini, para bhikkhu, pandangan benar dibantu oleh moralitas, oleh belajar banyak, oleh diskusi (tentang apa yang telah dipelajari), oleh ketenangan, dan oleh pandangan terang.14
(V, 25)


98. Lima Landasan Pembebasan
Para bhikkhu, ada lima dasar pembebasan, dan jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, bersemangat dan mantap di dalam hal-hal ini, maka pikiran yang tadinya belum terbebas menjadi terbebas, noda-nodanya yang tadinya belum hancur mengalami penghancuran, dan dia mencapai kemantapan kebebasan tak-tertandingi yang tadinya belum dicapai; yaitu kebebasan dari ikatan. Apakah yang lima itu?
Di sini, para bhikkhu, Sang Guru atau sesama bhikkhu yang berkedudukan sebagai guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu. Bahkan ketika Guru itu sedang mengajarkan Dhamma kepadanya, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia mencapai pengalaman seperti itu, kegembiraan pun muncul. Ketika dia bergembira, suka-cita muncul; ketika mengalami suka-cita, tubuhnya menjadi tenang; orang yang tubuhnya tenang merasa bahagia; bila orang bahagia, pikirannya menjadi terkonsentrasi.15 Inilah landasan pembebasan yang pertama, dan jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, bersemangat dan mantap di sini, pikiran yang tadinya belum terbebas menjadi terbebas, noda-noda yang tadinya belum hancur mengalami penghancuran, dan dia mencapai kemantapan kebebasan tak-tertandingi yang tadinya belum dicapai, yaitu kebebasan dari ikatan.
Selanjutnya, para bhikkhu, bukan Sang Guru dan bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, melainkan bhikkhu itu sendiri yang mengajarkan Dhamma secara rinci kepada yang lain sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Bahkan ketika dia sedang mengajarkan Dhamma, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia mencapai pengalaman seperti itu, kegembiraan muncul … pikirannya menjadi terkonsentrasi. Inilah landasan pembebasan yang kedua ….
Selanjutnya, para bhikkhu, bukan Sang Guru dan juga bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, dan juga bukan dirinya sendiri yang mengajarkan Dhamma secara rinci kepada orang lain sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Tetapi dia mengulang Dhamma secara rinci sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Ketika dia sedang mengulang Dhamma, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia mencapai pengalaman seperti itu, kegembiraan muncul … pikirannya menjadi terkonsentrasi. Inilah landasan pembebasan yang ketiga ….
Selanjutnya, para bhikkhu, bukan Sang Guru dan juga bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, bukan pula dirinya sendiri yang mengajarkan Dhamma secara rinci kepada orang lain, dan tidak juga dia mengulang Dhamma secara rinci. Tetapi dia merenung, memeriksa dan secara mental menyelidiki Dhamma sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Ketika dia sedang merenungkan Dhamma, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia mencapai pengalaman itu, kegembiraan muncul … pikirannya menjadi terkonsentrasi. Inilah landasan pembebasan yang keempat ….
Selanjutnya, para bhikkhu, bukan Sang Guru dan juga bukan sesama bhikkhu yang berkedudukan sebagai guru yang mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu … tidak juga dia merenungkan Dhamma. Tetapi dia telah mempelajari dengan baik suatu objek konsentrasi tertentu, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan sepenuhnya menembusnya dengan kebijaksanaan.16 Bahkan ketika dia sedang mempelajari dengan baik objek konsentrasi itu, bhikkhu itu mengalami arti dan Dhamma itu. Ketika dia mencapai pengalaman seperti itu, kegembiraan pun muncul. Ketika dia bergembira, suka-cita muncul; ketika mengalami suka-cita, tubuhnya menjadi tenang; orang yang tubuhnya tenang merasa bahagia; bila orang bahagia, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Inilah landasan pembebasan yang kelima, dan jika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, bersemangat dan mantap di sini, pikiran yang tadinya belum terbebas menjadi terbebas, noda-noda yang tadinya belum hancur mengalami penghancuran, dan dia mencapai kemantapan kebebasan tak-tertandingi yang tadinya belum dicapai, yaitu kebebasan dari ikatan.
Para bhikkhu, inilah lima landasan pembebasan, dan ketika seorang bhikkhu berdiam dengan rajin, bersemangat dan mantap di dalam hal-hal ini, pikirannya yang tadinya belum terbebas menjadi terbebas, noda-nodanya yang tadinya belum hancur mengalami penghancuran, dan dia mencapai kemantapan tak-tertandingi yang tadinya belum dicapai, yaitu kebebasan dari ikatan.
(V, 26)


99. Sukacita Karena Tidak Melekat
Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berkelana di negara Kosala bersama dengan sejumlah besar bhikkhu. Ketika Beliau sampai di sebuah desa brahmana bernama Icchanangala, di sana Yang Terberkahi berdiam di hutan kecil dekat Icchanangala.
Para perumah-tangga brahmana di Icchanangala mendengar: “Dikatakan bahwa petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan kehidupan duniawi dari keluarga Sakya, telah tiba di Icchanangala. Berita yang bagus mengenai Guru Gotama telah beredar demikian: Yang Terberkahi itu adalah Arahat … (seperti dalam Teks 36) … Beliau membabarkan kehidupan suci yang lengkap dan murni secara sempurna. Merupakan hal yang baik bila kita menjumpai arahat-arahat seperti ini.”
Dan ketika malam telah lewat, para perumah-tangga brahmana pergi menemui Yang Terberkahi di hutan itu. Mereka membawa banyak makanan keras dan lunak. Setelah tiba, mereka berhenti di luar pintu masuk. Segera keributan dan kegaduhan terdengar.
Pada saat itu, YM Nagita adalah pelayan pribadi Sang Buddha. Sang Buddha berkata kepada YM Nagita, “Siapakah itu, Nagita, yang membuat keributan dan kegaduhan ini? Orang bisa berpikir mereka adalah nelayan yang mendapat banyak ikan.”
“Bhante, mereka adalah para perumah-tangga brahmana Icchanangala. Mereka berdiri di pintu masuk dengan banyak makanan untuk Yang Terberkahi dan untuk Sangha para bhikkhu.”
“Semoga aku tidak berurusan dengan kemashyuran, Nagita, dan semoga tidak juga kemashyuran datang kepadaku! Siapa pun yang tidak dapat memperoleh -sesuai kehendaknya, dengan mudah dan tanpa kesulitan- kebahagiaan meninggalkan keduniawian, kebahagiaan kesendirian, kebahagiaan kedamaian, kebahagiaan pencerahan seperti yang telah kuperoleh ini, biarlah dia menikmati kebahagiaan yang kotor dan penuh kemalasan ini, kebahagiaan yang didapat dari perolehan, penghormatan dan publisitas.”
“Bhante, saya mohon Bhante menerima persembahan itu dengan kesabaran, sudilah Yang Luhur menerimanya! Sudah waktunya bagi Yang Terberkahi untuk menerima itu dengan kesabaran. Kemana pun Yang Terberkahi sekarang pergi, ke sanalah para perumah-tangga brahmana dari kota dan daerah pedesaan akan cenderung pergi. Seperti halnya ketika air hujan yang turun dengan deras akan cenderung mengalir menuruni bukit, demikian juga ke mana pun Yang Terberkahi sekarang pergi, ke sanalah orang-orang akan cenderung pergi. Mengapa demikian? Karena keluhuran dan kebijaksanaan Yang Terberkahi.”
“Semoga aku tidak berurusan dengan kemashyuran, Nagita, dan semoga tidak juga kemashyuran datang kepadaku! Siapa pun yang tidak dapat memperoleh -sesuai kehendaknya, dengan mudah dan tanpa kesulitan- kebahagiaan meninggalkan keduniawian … kebahagiaan pencerahan seperti yang telah kuperoleh ini, biarlah dia menikmati kebahagiaan yang kotor dan penuh kemalasan ini, kebahagiaan yang didapat dari perolehan, penghormatan dan publisitas.
“Sesungguhnya, Nagita: makan, minum, mengunyah dan menikmati makanan akan berakhir menjadi tahi dan air kencing; inilah hasilnya.
“Melalui perubahan dan perombakan di dalam apa yang disukai seseorang, di sana muncul penderitaan, ratap tangis, rasa sakit, kesedihan dan keputusasaan; inilah hasilnya.
“Tetapi siapa pun, Nagita, yang memaksa diri untuk bermeditasi mengenai sifat-sifat yang menjijikkan (dari hal-hal yang menarik), di dalam dirinya akan kokoh terbentuk kemuakan terhadap objek-objek yang menarik; inilah hasilnya.
“Siapa pun, Nagita, yang berdiam merenungkan ketidakkekalan di dalam enam landasan kontak indera, di dalam dirinya akan kokoh terbentuk kemuakan terhadap kontak indera; inilah hasilnya.
“Siapa pun, Nagita, yang berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok kemelekatan, di dalam dirinya akan kokoh terbentuk kemuakan terhadap kemelekatan; inilah hasilnya.”
(V, 30)


100. Manfaat-manfaat Berdana
Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di dekat Savatthi di Hutan Jeta, di Vihara Anathapindika. Pada saat itu Putri Sumana -diikuti lima ratus wanita kerajaan di dalam lima ratus kereta- datang mengunjungi Sang Bhagava. Setelah tiba, dia memberikan hormat, duduk di satu sisi dan berkata:
“Bhante, seandainya ada dua siswa Bhante yang setara keyakinannya, setara keluhurannya, dan setara kebijaksanaannya. Tetapi yang satu adalah pemberi dana dan yang lain bukan. Maka keduanya ini, ketika tubuhnya hancur, setelah kematian, akan terlahir lagi di alam bahagia, di alam surgawi. Setelah menjadi dewa demikian, O Bhante, adakah perbedaan atau ketidaksamaan di antara keduanya?”
“Ada, Sumana,” kata Yang Terberkahi. “Si pemberi dana, sesudah menjadi dewa, akan melampaui yang bukan pemberi dana di dalam lima hal: di dalam jangka waktu kehidupan surgawi, keelokan surgawi, kebahagiaan surgawi, kemashyuran surgawi, dan kekuatan surgawi.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya ini kemudian meninggal dari sana dan kembali ke dunia ini di sini, apakah masih ada perbedaan atau ketidaksamaan di antara mereka ketika mereka menjadi manusia lagi?”
“Ada, Sumana,” kata Yang Terberkahi. “Si pemberi dana, setelah menjadi manusia, akan melampaui yang bukan-pemberi dana di dalam lima hal: di dalam masa hidup manusiawi, keelokan manusiawi, kebahagiaan manusiawi, kemashyuran manusiawi dan kekuatan manusiawi.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya ini akan meninggalkan kehidupan perumah-tangga menuju kehidupan tak-berumah sebagai bhikkhu, apakah masih akan ada perbedaan atau ketidaksamaan di antara mereka ketika mereka menjadi bhikkhu?”
“Ada, Sumana,” kata Yang Terberkahi. “Si pemberi dana, sesudah menjadi bhikkhu, akan melampaui yang bukan-pemberi dana di dalam lima hal: dia sering diminta untuk menerima jubah, dan jarang dia tidak diminta; dia sering diminta untuk menerima dana makanan … tempat tinggal … dan obat-obatan, dan jarang dia tidak diminta. Selanjutnya, sesama bhikkhu biasanya ramah terhadapnya lewat perbuatan, kata-kata dan pikiran; jarang mereka tidak ramah. Pemberian-pemberian yang mereka bawa kepadanya kebanyakan menyenangkan. Jarang pemberian-pemberian itu tidak menyenangkan.”
“Tetapi, Bhante, jika keduanya mencapai tingkat Arahat, apakah masih akan ada perbedaan dan ketidaksamaan di antara keduanya?”
“Di dalam hal itu, Sumana, kunyatakan tidak akan ada perbedaan antara satu pembebasan dan pembebasan lain.”
“Luar biasa, Bhante, indah sekali! Sungguh orang mempunyai alasan yang baik untuk memberikan dana, alasan yang baik untuk melakukan tindakan-tindakan yang berjasa, jika tindakan-tindakan itu akan membantu seseorang sebagai dewa, membantu sebagai manusia, dan membantu sebagai bhikkhu.”
(V, 31)


101. Lima Hal yang Diinginkan
Suatu ketika Sang Buddha berbicara kepada perumah-tangga Anathapindika demikian:
“Perumah-tangga, ada lima hal yang diinginkan, dicintai dan disukai tetapi jarang diperoleh di dunia ini. Apakah yang lima itu? Umur panjang, keelokan, kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran ulang di surga. Tetapi dari lima hal itu, perumah-tangga, aku tidak mengajarkan bahwa kelimanya harus dicapai lewat doa atau lewat sumpah. Seandainya saja orang dapat memperolehnya lewat doa atau sumpah, siapa yang tidak akan memperolehnya?
“Perumah-tangga, bagi seorang siswa agung yang menginginkan kehidupan yang panjang, tidaklah sesuai bila dia berdoa untuk umur panjang atau bergembira dalam melakukannya. Sebaiknya dia justru mengikuti jalan kehidupan yang menopang untuk umur panjang.17 Dengan mengikuti jalan itu, dia akan memperoleh umur panjang, baik yang surgawi maupun manusiawi.
“Perumah-tangga, bagi seorang siswa agung yang menginginkan keelokan, kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran ulang di surga, tidaklah sesuai bila dia berdoa untuk hal-hal itu atau bergembira dalam melakukannya. Sebaiknya dia justru mengikuti jalan kehidupan yang menopang untuk keelokan, kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran ulang di surga. Dengan mengikuti jalan itu, dia akan memperoleh keelokan, kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran ulang di surga.”
(V, 43)


102. Lima Perenungan bagi Setiap Orang
Ada lima fakta, O para bhikkhu, yang seharusnya sering direnungkan oleh siapa pun -tidak peduli apakah pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu. Apakah yang lima itu?”
“Aku pasti menjadi tua; aku tidak dapat menghindari menjadi tua.”
“Aku pasti menjadi sakit; aku tidak dapat menghindari menjadi sakit.”
“Aku pasti akan mati; aku tidak dapat menghindari kematian.”
“Aku akan terpisah dan tercerai dari semua yang kusayangi dan kucintai.”
“Aku adalah pemilik perbuatan-perbuatanku sendiri, pewaris perbuatan-perbuatanku sendiri, perbuatan merupakan kandungan (yang dari situ aku muncul), perbuatan adalah keluargaku, perbuatan adalah pelindungku. Apa pun perbuatan yang kulakukan -baik atau buruk- akulah yang akan menjadi pewarisnya.”18
Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti menjadi tua dan tidak dapat menghindari menjadi tua? Ketika masih muda, para makhluk merasa sombong akan kemudaan mereka; dan karena tergila-gila pada kesombongan kemudaan itu, mereka menjalani kehidupan yang jahat di dalam perbuatan, kata-kata dan pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan kepastian usia tua, kesombongan kemudaan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah fakta menjadi tua harus sering direnungkan.19
Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti menjadi sakit dan tidak dapat menghindari menjadi sakit? Ketika masih sehat, para makhluk merasa sombong akan kesehatan mereka; dan karena tergila-gila pada kesombongan kesehatan itu, mereka menjalani kehidupan yang jahat di dalam perbuatan, kata-kata dan pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan kepastian menjadi sakit, kesombongan kesehatan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah fakta penyakit harus sering direnungkan.
Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti mati dan tidak dapat menghindari kematian? Ketika masih hidup, para makhluk merasa sombong akan kehidupan mereka; dan karena tergila-gila pada kesombongan kehidupan itu, mereka menjalani kehidupan yang jahat dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan kepastian kematian, kesombongan kehidupan akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah fakta kematian harus sering direnungkan.
Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka pasti terpisah dan tercerai dari semua yang disayangi dan dicintai? Para makhluk mempunyai nafsu yang tinggi terhadap apa yang disayangi dan dicintai; dan karena terbakar oleh nafsu, mereka menjalani kehidupan yang jahat dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan perpisahan dari hal-hal yang disayangi dan dicintai, nafsu yang tinggi terhadap apa yang disayangi dan dicintai akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah perpisahan dari apa dicintai harus sering direnungkan.
Untuk alasan yang baik apakah maka seorang pria atau wanita, perumah-tangga atau bhikkhu, sering merenungkan fakta bahwa mereka adalah pemilik perbuatan-perbuatan mereka sendiri, dan bahwa apa pun perbuatan yang mereka lakukan -baik atau buruk- merekalah yang akan menjadi pewarisnya? Ada makhluk yang menjalani kehidupan yang jahat dalam perbuatan, ucapan dan pikiran. Tetapi di dalam diri orang yang sering merenungkan tanggung jawabnya terhadap perbuatan-perbuatannya sendiri, perilaku jahat seperti itu akan sepenuhnya lenyap atau akan menjadi lemah. Untuk alasan yang baik itulah fakta tanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri harus sering direnungkan.
Para bhikkhu, seorang siswa agung merenungkan demikian: “Aku bukanlah satu-satunya yang pasti menjadi tua, jatuh sakit atau mati. Tetapi di mana pun para makhluk datang dan pergi, mati dan muncul lagi, mereka semuanya terkena usia tua, penyakit dan kematian.” Di dalam diri orang yang sering merenungkan fakta-fakta ini, Sang Jalan muncul. Sekarang dia secara tetap mengejar, mengembangkan dan memupuk Sang Jalan itu. Dan sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu itu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasarinya pun lenyap.20
Selanjutnya, seorang siswa agung merenungkan demikian: “Aku bukanlah satu-satunya yang harus terpisah dan tercerai dari apa yang kusayangi dan kucintai; aku bukanlah satu-satunya yang merupakan pemilik dan pewaris perbuatan-perbuatannya sendiri. Tetapi di mana pun makhluk datang dan pergi, mati dan terlahir kembali, semuanya pasti terpisah dan tercerai dari apa yang disayangi dan dicintai; dan semua merupakan pemilik dan pewaris perbuatan-perbuatan mereka.” Di dalam diri orang yang sering merenungkan fakta-fakta ini, Sang Jalan muncul. Sekarang dia dengan tetap mengejar, mengembangkan dan memupuk Sang Jalan itu. Dan sementara dia melakukannya, belenggu-belenggu itu ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasarinya pun lenyap.
Para makhluk duniawi merasa muak dengan makhluk-makhluk lain21
Yang memiliki sifat yang sama dengan kita,
Dengan mereka yang terkena usia tua dan penyakit,
Dengan mereka yang berada di tepi kematian.
Karena aku hidup untuk tujuan yang lebih tinggi, tidaklah pantas
Bagiku untuk merasa jijik terhadap para makhluk yang pantas dikasihani ini.
Sementara berdiam demikian, aku akan mengalahkan
Kesombongan akan kesehatan, kemudaan dan kehidupan,
Setelah mengetahui keadaan yang bebas dari topangan,
Setelah melihat kemantapan di dalam pelepasan.22
Ketika kuarahkan pandangan ke Nibbana, semangat muncul di dalam diriku:
“Sekarang tak bisa lagi aku mengejar kesenangan-kesenangan indera!
Tidak pernah lagi aku akan berpaling,
Kehidupan suci sekarang adalah tujuan tertinggiku. “

(V, 57)


103. Hidup Dekat dengan Dhamma
Suatu ketika seorang bhikkhu mendekati Sang Buddha … dan berkata kepada Beliau:
“Hal ini, Bhante, dikatakan: ‘Orang yang hidup dekat dengan Dhamma! Orang yang hidup dekat dengan Dhamma!’ Dengan cara bagaimanakah Bhante, seorang bhikkhu adalah orang yang hidup dekat dengan Dhamma?”
“Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu menguasai Dhamma – khotbah-khotbah, prosa campuran, penjelasan, syair, ungkapan-ungkapan yang penuh inspirasi, ucapan-ucapan singkat, cerita-cerita kelahiran, cerita-cerita yang luar biasa, dan lain-lainnya.23 Dia melewatkan hari-harinya sibuk menguasai Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan dia juga tidak selanjutnya memahami artinya dengan kebijaksanaan.24 Ini disebut bhikkhu yang sibuk belajar, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Selanjutnya, bhikkhu, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma secara rinci kepada yang lain sebagaimana yang dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk mengajar Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan dia juga tidak selanjutnya memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk mengajar, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Selanjutnya, bhikkhu, seorang bhikkhu mengulang Dhamma secara rinci sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk mengulang Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan dia juga tidak selanjutnya memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk mengulang, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Selanjutnya, bhikkhu, seorang bhikkhu merenung, memeriksa dan secara mental menyelidiki sebagaimana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Dia melewatkan hari-harinya sibuk merenungkan Dhamma, dia mengabaikan kesendirian, dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam, dan dia juga tidak selanjutnya memahami artinya dengan kebijaksanaan. Ini disebut bhikkhu yang sibuk merenung, bukan orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Tetapi di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu menguasai Dhamma: khotbah-khotbah … dan lain-lainnya. Dia tidak melewatkan hari-harinya sibuk menguasai Dhamma, dia tidak mengabaikan kesendirian, dia memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam dan dia selanjutnya memahami artinya dengan kebijaksanaan. Bhikkhu seperti itulah orang yang hidup dekat dengan Dhamma.
“Jadi, bhikkhu, aku telah mengajar tentang bhikkhu yang sibuk dengan penguasaan belajar, tentang bhikkhu yang sibuk mengajar, tentang bhikkhu yang sibuk mengulang, tentang bhikkhu yang sibuk merenung, dan tentang bhikkhu yang hidup dekat dengan Dhamma.25 Apa pun yang seharusnya dilakukan oleh guru yang penuh welas asih yang -karena kasih sayangnya- mencari kesejahteraan bagi para siswanya, itulah yang telah kulakukan untuk kalian. Ini adalah akar-akar pohon, O bhikkhu, ini adalah gubuk-gubuk yang kosong. Bermeditasilah bhikkhu, jangan lalai, jangan sampai kalian menyesal nantinya. Inilah instruksiku kepada kalian.
(V, 73 & 74; gabungan)


104. Nasihat kepada Para Bhikkhu Baru
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di antara penghuni Maghada di Andhakavinda. Pada saat itu Yang Mulia Ananda mendekati Yang Terberkahi … dan Yang Terberkahi berkata kepada beliau:
“Ananda, para bhikkhu yang merupakan pendatang-pendatang baru, yang baru saja meninggalkan kehidupan perumah-tangga dan baru saja masuk ke dalam Dhamma dan Vinaya ini, harus didorong, dikokohkan dan dimantapkan oleh kalian di dalam lima hal. Apakah yang lima itu?
“‘Marilah, sahabat-sahabat, jadilah bermoral, berdiamlah terkendali lewat pengendalian Patimokkha, sempurna di dalam perilaku dan tekad, karena melihat bahaya di dalam kesalahan terkecil sekalipun. Setelah menjalankan peraturan-peraturan latihan ini, latihlah diri kalian di dalamnya’: demikianlah mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam pengendalian Patimokkha.
“‘Marilah, sahabat-sahabat, berdiamlah dengan menjaga pintu-pintu kemampuan indera, dengan kewaspadaan sebagai penjaga, dengan kewaspadaan yang menembus, dengan pikiran yang terlindung baik, dengan pikiran yang mempertahankan kewaspadaan’: demikianlah mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam pengendalian kemampuan indera.
“‘Marilah, sahabat-sahabat, janganlah banyak bicara, batasilah pembicaraan kalian’: demikianlah mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam pembatasan bicara.
“‘Marilah, sahabat-sahabat, jadilah penghuni hutan. Bertekadlah untuk berdiam di tempat tinggal yang terpencil di hutan dan di hutan kecil’: demikianlah mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam menarik diri secara jasmani.
“‘Marilah, sahabat-sahabat, milikilah pandangan benar, perspektif yang benar’: demikianlah mereka seharusnya didorong, dikokohkan dan dimantapkan di dalam perspektif yang benar.
“Para bhikkhu itu, Ananda, yang merupakan pendatang-pendatang baru, yang baru saja meninggalkan kehidupan perumah-tangga dan baru saja masuk ke dalam Dhamma dan Vinaya ini, harus didorong, dikokohkan dan dimantapkan olehmu di dalam lima hal ini.”
(V, 114)


105. Sifat yang Menjijikkan dan Tidak Menjijikkan
Di Hutan Tikandaki dekat Saketa, Yang Terberkahi berkata:
“Para bhikkhu, adalah baik bagi seorang bhikkhu:
(1) untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang menjijikkan di dalam hal yang tak-menjijikkan;
(2) untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang tak-menjijikkan di dalam hal yang menjijikkan;
(3) untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang menjijikkan di dalam hal yang menjijikkan dan juga tak-menjijikkan;
(4) untuk berdiam dari saat ke saat memahami sifat yang tak-menjijikkan di dalam hal yang menjijikkan dan juga yang tak-menjijikkan;
(5) untuk menolak hal yang menjijikkan maupun yang tak-menjijikkan serta berdiam di dalam ketenangseimbangan, kewaspadaan dan pemahaman yang jelas.26
(1) “Tetapi untuk alasan apakah seharusnya seorang bhikkhu berdiam memahami sifat yang menjijikkan di dalam hal yang tak-menjijikkan? (Dia seharusnya melakukannya dengan pemikiran:) ‘Semoga tidak ada nafsu yang muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan nafsu!’
(2) “Untuk alasan apakah seharusnya dia berdiam memahami sifat yang tak-menjijikkan di dalam hal yang menjijikkan? (Dia seharusnya melakukannya dengan pemikiran:) ‘Semoga tidak ada kebencian yang muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan kebencian!’
(3) “Dan untuk alasan apakah seharusnya dia berdiam memahami sifat yang menjijikkan di dalam hal yang tak-menjijikkan maupun yang menjijikkan? (Dia seharusnya melakukannya dengan pemikiran:) ‘Semoga tidak ada nafsu yang muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan nafsu, dan semoga tidak ada kebencian yang muncul dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan kebencian!’
(4) “Dan untuk alasan apakah seharusnya dia berdiam memahami sifat yang tak-menjijikkan di dalam hal yang menjijikkan maupun yang tak-menjijikkan? (Dia seharusnya melakukannya dengan pemikiran:) ‘Semoga tidak ada kebencian yang muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan kebencian, dan semoga tidak ada nafsu yang muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan nafsu!’
(5) “Dan untuk alasan apakah seharusnya dia menolak sifat yang menjijikkan dan tak-menjijikkan serta berdiam di dalam ketenangseimbangan, dengan waspada dan pemahaman yang jelas? (Dia seharusnya melakukannya dengan pemikiran:) ‘Di dalam situasi apa pun, di mana pun dan dalam batas apa pun, semoga nafsu tidak pernah muncul di dalam diriku terhadap objek-objek yang menimbulkan nafsu, tidak juga kebencian terhadap objek-objek yang menimbulkan kebencian, tidak juga kebodohan terhadap objek-objek yang dapat menimbulkan kebodohan!’ “27
(V, 144)


106. Pemberian Orang yang Superior
Para bhikkhu, ada lima pemberian dari orang yang superior.28 Apakah yang lima itu? Dia memberi dengan keyakinan; dia memberi dengan penuh hormat; dia memberi pada saat yang tepat; dia memberi dengan hati yang dermawan; dia memberi tanpa menjelekkan.
Karena dia memberi dengan keyakinan, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan dia elok, menarik, anggun, memiliki keindahan kulit yang luar biasa.
Karena dia memberi dengan penuh hormat, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan anak istrinya, budaknya, persuruh dan pekerjanya patuh, mendengarkan dia dan menggunakan pikirannya untuk memahami dia.
Karena dia memberi pada waktu yang tepat, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan keuntungan-keuntungan datang kepadanya pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang melimpah.
Karena dia memberi dengan hati yang dermawan, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan pikirannya cenderung menikmati hal-hal yang menyenangkan di antara lima kesenangan indera.
Karena dia memberi tanpa menjelekkan dirinya dan orang lain, di mana pun hasil dari pemberian itu masak, dia menjadi kaya dan berkelimpahan, harta kekayaannya besar, dan tidak terjadi hilangnya kekayaan dari penjuru mana pun, entah dari api atau banjir atau raja atau bandit atau ahli waris yang tidak dicintai.
Inilah para bhikkhu, lima pemberian orang yang superior.
(V,148)


107. Cara yang Benar untuk Mengajarkan Dhamma
Pada satu ketika Sang Buddha berdiam di Kosambi, di Vihara Ghosita. YM Udayi duduk di sana di tengah banyak umat awam dan mengajarkan Dhamma kepada mereka. Ketika melihat hal ini, YM Ananda pergi menghadap Yang Terberkahi dan melaporkan hal ini. (Yang Terberkahi kemudian berkata:)
“Ananda, adalah tidak mudah mengajarkan Dhamma kepada orang-orang lain. Ketika mengajarkan Dhamma kepada orang-orang lain, orang seharusnya membangun lima standar di dalam dirinya sendiri untuk melakukan hal itu. Apakah yang lima itu?
” ‘Saya akan memberikan kotbah yang bertingkat:29 dengan cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya akan memberikan khotbah yang masuk-akal‘: dengan cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya akan berbicara karena tergerak oleh simpati‘:30 dengan cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya akan berbicara bukan demi keuntungan duniawi‘: dengan cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
” ‘Saya akan berbicara tanpa menyindir diri sendiri atau orang lain‘:31 dengan cara itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
“Sungguh Ananda, adalah tidak mudah mengajarkan Dhamma kepada orang-orang lain. Ketika melakukannya, orang seharusnya membangun lima standar ini di dalam dirinya.
(V,159)


108. Bagaimana Cara Menghilangkan Dendam
Para bhikkhu, ada lima cara untuk bebas dari dendam, yang dengannya seorang bhikkhu dapat menghilangkan semua dendam yang telah muncul di dalam dirinya. Apakah yang lima itu?
Jika muncul suatu dendam terhadap siapa pun, maka orang seharusnya mengembangkan cinta kasih terhadapnya … atau kasih sayang … atau ketenangseimbangan.32 Dengan cara itu orang dapat menghilangkan dendam terhadap orang itu.
Atau orang seharusnya tidak memperhatikan dan tidak memikirkan dia. Dengan cara itu orang dapat menghilangkan dendamnya.
Atau orang dapat menerapkan fakta kepemilikan kamma terhadap orang itu:
“Orang terhormat ini adalah pemilik perbuatan-perbuatannya, pewaris perbuatan-perbuatannya; perbuatan-perbuatannya adalah kandungan (dan dari situ dia telah muncul), keluarganya dan pelindungnya. Apa pun perbuatan yang dia lakukan -baik atau buruk- dialah yang akan menjadi pewarisnya.”
Inilah lima cara untuk bebas dari dendam, yang dengannya seorang bhikkhu dapat menghilangkan semua dendam yang telah muncul di dalam dirinya.
(V, 161)


109. Suka-cita Kesendirian
Kemudian perumah-tangga Anathapindika, diiringi oleh lima ratus pengikut awam, mendatangi Yang Terberkahi … Yang Terberkahi kemudian berkata kepada mereka:
“Para perumah-tangga, kalian melayani Sangha para bhikkhu dengan jubah, dana makanan, tempat tinggal dan kebutuhan obat-obatan untuk digunakan pada waktu sakit. Tetapi kalian seharusnya tidak cukup puas hanya dengan ini. Perumah-tangga, kalian seharusnya melatih diri demikian: ‘Bagaimana kami dapat masuk dan berdiam dari saat ke saat di dalam suka-cita kesendirian?’33Demikianlah seharusnya kalian melatih diri.”
Ketika Beliau mengatakan ini, YM Sariputta berkata kepada Yang Terberkahi: “Luar biasa, Bhante! Indah sekali, Bhante! Betapa bagusnya pernyataan itu disampaikan oleh Yang Terberkahi. Bhante, kapan pun seorang siswa agung memasuki dan berdiam dalam suka-cita kesendirian, pada saat itulah lima hal ini muncul di dalam dirinya: (1) Penderitaan dan kesedihan apa pun yang berhubungan dengan nafsu indera tidak muncul pada saat itu; (2) kesenangan dan suka-cita apa pun yang berhubungan dengan nafsu indera tidak muncul pada saat itu; (3) penderitaan dan kesedihan apa pun yang berhubungan dengan yang tak-bajik tidak muncul pada saat itu; (4) kesenangan dan kegembiraan apa pun yang berhubungan dengan yang tak-bajik tidak muncul pada saat itu; (5) penderitaan dan kesedihan apa pun yang berhubungan dengan yang bajik tidak muncul pada saat itu. Kapan pun seorang siswa agung memasuki dan berdiam di dalam suka-cita kesendirian, pada saat itu lima hal ini muncul di dalam dirinya.”
“Bagus, bagus, Sariputta!”
(Sang Buddha kemudian mengulang kata-kata YM Sariputta secara lengkap.)
(V,176)


110. Penghidupan yang Salah
Inilah, para bhikkhu, lima perdagangan yang seharusnya tidak dijalankan oleh seorang pengikut awam: berdagang senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging, berdagang benda-benda yang memabukkan, berdagang racun.34
(V, 177)


111. Lima Rintangan
Pada suatu ketika brahmana Sangarava mendekati Yang Terberkahi dan bertukar salam dengan Beliau. Ketika telah selesai bertegur sapa dan bersopan santun, brahmana itu duduk di satu sisi dan berkata:
“Guru Gotama, apakah penyebab dan alasan sehingga kadang-kadang bahkan mantra-mantra yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan? Apakah penyebab dan alasan sehingga kadang-kadang mantra-mantra yang belum lama dihafalkan muncul di pikiran, apalagi yang sudah lama dihafalkan?”35
(i) Mengapa mantra-mantra itu tidak diingat
“Brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh nafsu indera, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari nafsu indera yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya.36 Pada saat itu bahkan mantra-mantra yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
“Misalnya, brahmana, ada semangkuk air yang dicampur dengan zat pewarna, kunyit, pewarna biru atau pewarna merah tua. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, maka dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh nafsu indera … pada saat itu bahkan mantra-mantra yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
“Demikian pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh niat jahat, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari niat jahat yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang belum dihafalkan.
“Misalnya, brahmana, ada semangkuk air yang dipanaskan di atas api, bergolak dan mendidih. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, maka dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh niat jahat … apalagi yang belum dihafalkan.
“Demikian pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh kemalasan dan kelambanan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari kemalasan dan kelambanan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang belum dihafalkan.
“Seandainya, brahmana, ada semangkuk air yang tertutup tanaman air dan ganggang. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, maka dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh kemalasan dan kelambanan … apalagi yang belum dihafalkan.
“Demikian pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh kegelisahan dan kecemasan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari kegelisahan dan kecemasan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui dan juga tidak melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang belum dihafalkan.
“Seandainya, brahmana, ada semangkuk air yang teraduk oleh angin, beriak, berpusar, bergulung menjadi gelombang kecil. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh kegelisahan dan kecemasan … apalagi yang belum dihafalkan.
“Demikian pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh keraguan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak mengetahui atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang belum dihafalkan.
“Seandainya, brahmana, ada semangkuk air yang keruh, tidak tenang, berlumpur, ditempatkan di tempat gelap. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia tidak akan mengetahui atau melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang terobsesi dan tertekan oleh keraguan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia tidak tahu atau melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Maka bahkan mantra-mantra yang telah lama dihafalkan pun tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
“Brahmana, inilah penyebab dan alasan sehingga bahkan mantra-mantra yang telah lama dihafalkan tidak muncul di pikiran, apalagi yang belum dihafalkan.
(ii) Mengapa mantra-mantra itu diingat
“Brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh nafsu indera, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari nafsu indera yang telah muncul itu, maka pada waktu itu dia mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain dan kebaikan keduanya. Maka bahkan mantra-mantra yang belum lama dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.
“Seandainya brahmana, ada semangkuk air yang tidak dicampur dengan zat pewarna, kunyit, dan pewarna biru atau pewarna merah. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tertekan oleh nafsu indera … pada waktu itu bahkan mantra-mantra yang belum lama dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.
“Demikian pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh niat jahat, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari niat jahat yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Seandainya, brahmana, ada semangkuk air yang tidak dipanaskan di atas api, tidak bergolak, tidak mendidih. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh niat jahat … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Demikian pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh kemalasan dan kelambanan, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari kemalasan dan kelambanan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Misalnya, brahmana, ada semangkuk air yang tidak tertutup tanaman air dan ganggang. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, jika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh kemalasan dan kelambanan … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Demikian pula, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh kegelisahan dan kecemasan, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari kegelisahan dan kecemasan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang sudah dihafalkan.
“Seandainya, brahmana, ada semangkuk air yang tidak teraduk oleh angin, tanpa riak, tanpa pusaran, tidak bergulung menjadi gelombang kecil. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, maka dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh kegelisahan dan kecemasan … apalagi yang telah dihafalkan.
“Demikian pula brahmana, ketika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh keraguan, dan dia memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri … apalagi yang telah dihafalkan.
“Seandainya, brahmana, ada semangkuk air yang jernih, tenang, bening, ditempatkan di tempat yang terang. Jika orang yang bagus penglihatannya memeriksa bayangan wajahnya sendiri di dalam air itu, dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya. Begitu juga, brahmana, jika orang berdiam dengan pikiran yang tidak terobsesi dan tidak tertekan oleh keraguan, dan dia tidak memahami sebagaimana adanya jalan keluar dari keraguan yang telah muncul itu, maka pada saat itu dia akan mengetahui dan melihat sebagaimana adanya kebaikannya sendiri, atau kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya. Maka bahkan mantra-mantra yang belum lama dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.
“Inilah, brahmana, penyebab dan alasan sehingga bahkan mantra-mantra yang belum lama dihafalkan pun muncul di pikiran, apalagi yang telah dihafalkan.”
“Luar biasa, Guru Gotama! … Biarlah Guru Gotama menerima saya sebagai pengikut awam yang telah pergi untuk berlindung sejak saat ini sampai akhir hayat.”
(V, 193)
112. Memuji Sang Buddha
Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Vesali di Hutan Besar, di Aula dengan Atap Runcing. Pada saat itu, seorang brahmana bernama Karanapali sibuk mengawasi pekerjaan pembangunan untuk penduduk Licchavi. Dia melihat brahmana lain bernama Pingiyani mendekat, dan menyapa: “Dari mana Anda datang sesiang ini?”
“Saya datang dari Petapa Gotama.”
“Apa pendapat Anda mengenai pencapaian Petapa Gotama dalam kebijaksanaan? Apakah dia orang yang bijaksana?”
“Siapakah saya ini, tuan yang terhormat, sehingga saya bisa memahami pencapaian Petapa Gotama dalam kebijaksanaan? Tentunya hanya orang setingkat Beliau yang dapat memahaminya.”
“Sungguh pujian yang sangat tinggi yang Anda berikan untuk Petapa Gotama.”
“Siapakah saya ini, tuan yang terhormat, sehingga saya harus memuji Beliau? Guru Gotama dipuji oleh yang terpuji, sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia.” 37
“Tetapi apakah yang telah dilihat oleh yang terhormat Pingiyani di dalam diri Petapa Gotama sehingga Anda memiliki keyakinan yang sedemikian besar pada Beliau?”
“Sebagaimana orang yang telah memperoleh kepuasan di dalam cita-rasa pilihan terbaik tidak akan merindukan cita-rasa lain yang lebih rendah; begitu juga, sahabat, orang tidak akan lagi memiliki kesukaan pada ajaran-ajaran dari petapa-petapa dan brahmana-brahmana lain setelah dia mendengarkan Dhamma Guru Gotama -tak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang luar biasa.
“Sebagaimana orang yang lemah karena kelaparan menemukan kue madu, di bagian mana pun dia makan, dia akan menikmati cita-rasa yang manis dan enak; begitu juga, sahabat, apa pun yang didengar dari Dhamma Guru Gotama -tak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang luar biasa- orang akan memperoleh kepuasan dan keyakinan di dalam hatinya.
“Sebagaimana orang yang menemukan sepotong cendana merah atau kuning, di bagian mana pun dia membau -tak peduli apakah di atas, di tengah atau di bawah- dia akan menikmati bau yang harum dan enak; begitu juga, sahabat, apa pun yang didengar dari Dhamma Guru Gotama -tak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang luar biasa- orang akan memperoleh kebahagiaan dan suka-cita darinya.
“Sebagaimana seorang dokter ahli yang dengan segera bisa menyembuhkan pasien yang kesakitan dan sakit keras; begitu juga, sahabat, apa pun yang didengar dari Dhamma Guru Gotama -tidak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang luar biasa- semua kesedihan, ratap tangis, kesengsaraan, keputusasaan dan penderitaannya akan lenyap.
“Sebagaimana seandainya ada kolam yang indah dengan tepian yang menyenangkan, airnya jernih, menyenangkan, sejuk dan bening, lalu ada orang datang, kelelahan karena panas, kehabisan tenaga, merasa kering dan kehausan, dia akan masuk ke dalam kolam, mandi dan minum, sehingga segala penderitaan, kelelahan dan kepanasannya akan lenyap; begitu juga, sahabat, di mana pun orang mendengar Dhamma Guru Gotama -tak peduli apakah itu khotbah, prosa campuran, penjelasan atau pengalaman yang luar biasa- semua penderitaan, kelelahan dan kepanasan yang membakar itu akan lenyap.”
Setelah Pingiyani berkata demikian, brahmana Karanapali bangkit dari duduknya, mengatur jubah atasnya di satu bahu. Sambil bertumpu di lutut kanannya, dia mengatupkan kedua tangannya dalam sikap penghormatan kepada Yang Terberkahi dan mengucapkan tiga kali kata-kata inspirasi ini:
“Hormatku kepada Beliau, Yang Terberkahi, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan!
“Hormatku kepada Beliau, Yang Terberkahi, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan!
“Hormatku kepada Beliau, Yang Terberkahi, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan!
“Luar biasa, Guru Pingiyani! Luar biasa, Guru Pingiyani! Sama seperti orang yang menegakkan kembali apa yang tadinya terbalik, atau menguak apa yang tadinya tersembunyi, atau menunjukkan jalan ketika orang tersesat, atau memberikan sinar di dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata bisa melihat bentuk. Demikian pula Dhamma telah disampaikan dalam berbagai cara oleh Guru Pingiyani. Sekarang, Guru Pingiyani, saya pergi untuk berlindung pada Guru Gotama, pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Biarlah Guru Pingiyani menerima saya sebagai pengikut awam yang telah pergi berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat.”
(V, 194)


113. Lima Mimpi Bodhisatta
Para bhikkhu, sebelum Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan mencapai pencerahan, ketika masih menjadi bodhisatta, lima mimpi besar tampak padanya. Apakah yang lima itu?
Dia bermimpi bahwa bumi yang besar ini adalah tempat tidurnya yang besar; Himalaya, raja gunung, adalah bantalnya; tangan kirinya beristirahat di laut timur, tangan kanannya di laut barat, kedua kakinya di laut selatan. Inilah, para bhikkhu, mimpi pertama yang muncul pada Sang Tathagatha ketika masih menjadi bodhisatta.
Kemudian, dia bermimpi bahwa dari pusarnya muncul sejenis rumput yang disebut tiriya, yang terus tumbuh sampai akhirnya menyentuh awan. Inilah, para bhikkhu, mimpi besar kedua ….
Kemudian, dia bermimpi tentang cacing-cacing putih berkepala hitam yang merayap di kaki-kakinya sampai ke lutut, menutupi kaki-kaki itu. Inilah, para bhikkhu, mimpi besar ketiga ….
Kemudian, dia bermimpi bahwa empat burung dengan warna yang berbeda-beda datang dari empat penjuru, jatuh di kakinya dan semuanya berubah menjadi putih. Inilah, para bhikkhu, mimpi besar keempat ….
Kemudian, dia bermimpi mendaki gunung kotoran yang besar tanpa dikotori oleh kotoran itu. Inilah, para bhikkhu, mimpi besar kelima ….
Ketika Sang Tathagata, ketika masih menjadi bodhisatta, bermimpi bahwa bumi yang besar ini adalah tempat tidurnya, Himalaya, raja gunung, bantalnya … mimpi pertama ini adalah tanda bahwa dia akan terbangun pada pencerahan sempurna yang tak ada bandingnya.
Ketika dia bermimpi tentang rumput tiriya yang tumbuh dari pusarnya sampai ke awan, mimpi besar kedua ini adalah tanda bahwa dia akan sepenuhnya memahami Jalan Mulia Berunsur Delapan dan akan menyampaikannya dengan baik di antara para dewa dan manusia.
Ketika dia bermimpi tentang cacing-cacing putih berkepala hitam yang merayap di kaki-kakinya sampai ke lutut dan menutupi kaki-kaki itu, mimpi besar ketiga itu adalah tanda bahwa banyak perumah-tangga berjubah putih yang akan pergi berlindung pada Sang Tathagata sampai akhir hayat mereka.
Ketika dia bermimpi tentang empat burung dengan warna yang berbeda-beda datang dari empat penjuru, jatuh di kakinya, semuanya berubah menjadi putih, mimpi besar keempat ini adalah tanda bahwa anggota empat kasta -para bangsawan, brahmana, orang biasa dan orang bawah- akan pergi menuju kehidupan tak-berumah di dalam Ajaran dan Peraturan-peraturan Latihan yang diajarkan oleh Sang Tathagata dan akan merealisasikan pembebasan yang tak ada bandingnya.
Ketika dia bermimpi mendaki gunung kotoran yang besar tanpa dikotori olehnya, mimpi besar kelima ini adalah tanda bahwa Sang Tathagata akan menerima banyak pemberian jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, dan beliau akan menggunakannya tanpa terikat kepadanya, tanpa tergila-gila kepadanya, tanpa melekat kepadanya, karena melihat bahayanya dan karena mengetahui jalan keluarnya.
Inilah lima mimpi besar yang muncul pada Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, sebelum mencapai pencerahan, ketika masih menjadi bodhisatta.
(V, 196)


114. Kata-kata yang Diucapkan dengan Baik
Jika ucapan memiliki lima tanda, para bhikkhu, berarti ucapan itu disampaikan dengan baik, tidak disampaikan dengan buruk, tak-ternoda dan tak-tercela oleh para bijaksana. Apakah lima tanda ini?
Itulah ucapan yang tepat waktu, benar, lembut, bertujuan, dan diucapkan dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih.
(V, 198)


115. Lima Rute Jalan Keluar
Para bhikkhu, ada lima rute jalan keluar.38 Apakah yang lima itu?
Ada seorang bhikkhu yang – ketika memperhatikan sensualitas39 – tidak merasakan dorongan menuju sensualitas, tidak bergembira di dalamnya, tidak berdiam di dalamnya, dan tidak memiliki kecenderungan menuju sensualitas. Tetapi ketika memperhatikan keadaan-melepas-keduniawian, dia merasakan dorongan menuju ke sana, bergembira dengannya, secara mental berdiam di dalamnya dan cenderung menuju padanya. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah meningkat melampaui sensualitas, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh sensualitas, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti itu. Ini di sebut jalan keluar dari sensualitas.40
Demikian pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan niat jahat41 – tidak merasakan dorongan menuju niat jahat, tidak bergembira di dalamnya, tidak berdiam di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju niat jahat. Tetapi ketika memperhatikan niat tak-jahat,42 dia merasakan dorongan menuju ke sana, bergembira dengannya, berdiam di dalamnya dan cenderung menuju padanya. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah meningkat melampaui niat jahat, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh niat jahat, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti itu. Ini disebut jalan keluar dari niat jahat.
Demikian pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan kekejaman- tidak merasakan dorongan menuju kekejaman,43 tidak bergembira di dalamnya, tidak berdiam di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju kekejaman. Tetapi ketika memperhatikan ketidakkejaman, dia merasakan dorongan menuju ke sana, bergembira dengannya, berdiam di dalamnya dan cenderung menuju padanya. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah meningkat melampaui kekejaman, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh kekejaman, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti itu. Ini disebut jalan keluar dari kekejaman.
Demikian pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan bentuk- tidak memiliki dorongan menuju bentuk,44 tidak bergembira dengannya, tidak berdiam di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju ke sana. Tetapi ketika memperhatikan tanpa-bentuk, dia merasakan dorongan menuju ke sana, bergembira dengannya, secara mental berdiam di dalamnya dan cenderung menuju padanya. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah meningkat melampaui bentuk, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh bentuk, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti itu. Ini disebut jalan keluar dari bentuk.
Demikian pula, ada seorang bhikkhu yang -ketika memperhatikan kepribadian45 – tidak merasakan dorongan menuju kepribadian, tidak bergembira dengannya, tidak berdiam di dalamnya dan tidak memiliki kecenderungan menuju ke sana. Tetapi ketika memperhatikan berhentinya kepribadian, dia merasakan kecenderungan menuju penghentian itu, bergembira dengannya, secara mental berdiam di dalamnya dan cenderung menuju ke sana. Pikirannya diarahkan dengan baik dan dikembangkan dengan baik, telah meningkat melampaui kepribadian, telah bebas darinya, tidak terinjak-injak; dan mengenai nafsu-nafsu yang mengganggu dan menyiksa yang disebabkan oleh kepribadian, dia telah bebas darinya dan tidak memiliki perasaan-perasaan seperti itu. Ini disebut jalan keluar dari kepribadian.
Bagi orang seperti itu, tidak ada pemanjaan sensualitas yang terletak di dalam, tidak ada kesenangan niat jahat yang terletak di dalam, tidak ada kesenangan kekerasan yang terletak di dalam, tidak ada kesenangan bentuk yang terletak di dalam, tidak ada kesenangan kepribadian yang terletak di dalam. Oleh karenanya bhikkhu seperti itu disebut “orang tanpa kecenderungan-kecenderungan yang mendasarinya”.46 Dia telah memotong keserakahan, telah membuang belenggu, dan dengan sepenuhnya menghancurkan kesombongan, dia telah mengakhiri penderitaan.
Inilah, para bhikkhu, lima rute dasar untuk jalan keluar.
(V, 200)


Catatan
1 Sekhabala. Sekha (orang yang berlatih, atau pelajar) adalah orang yang -dalam mengejar tiga jenis latihan (sikkha) di dalam kemoralan, konsentrasi dan kebijaksanaan, telah mencapai salah satu dari empat jalan supra-duniawi atau salah satu dari tiga buah yang lebih rendah. Orang yang telah mencapai buah keempat, yaitu arahat, disebut asekha, yaitu orang yang sudah di luar latihan, orang yang sudah sempurna latihannya.
2 Malu (hiri) termotivasi oleh kehormatan-diri dan melihat-ke-dalam, sedangkan takut moral (ottapa) bersifat melihat-ke-luar, yaitu takut terhadap akibat-akibatnya – seperti misalnya disalahkan, memiliki reputasi jelek, dan dihukum.
3 AN V, 12 berkata: “Dari lima kekuatan orang di dalam latihan yang lebih tinggi, inilah yang tertinggi, inilah yang merangkum semuanya menjadi satu, yaitu kekuatan kebijaksanaan.”
4 Di dalam teks sebelumnya, lima sifat ini telah dianggap kekuatan orang yang berlatih, tetapi di sini mereka ditunjukkan di dalam kemampuan umumnya, yaitu mengusir serangan keadaan pikiran yang tak-bajik. Pesan yang terkandung cukup membesarkan hati, karena kualitas moral yang sedang-sedang saja pun telah mengandung benih pengembangan tertinggi. Di teks lain (AN V, 4) dikatakan bahwa memiliki lima sifat ini akan menyebabkan kelahiran ulang di alam surgawi, sedangkan bila tidak memilikinya akan terlahir di alam yang rendah.
5 AA: “Sabit untuk memotong rumput, tongkat untuk menjinjingnya pergi.” Ini diberikan sebagai contoh sarana penghidupan.
6 Menurut AA, ini mengacu pada pemasuk-arus.
7 Lima kekuatan ini (bala) merupakan penguatan dari lima kemampuan identik (indriya). Sebagai kekuatan, kelimanya dikatakan “tidak dapat digoyahkan oleh yang sebaliknya.”
8 Pada bacaan ini, penjelasan tentang sati diambil dari arti asalnya yaitu ingatan, kenangan yang tajam. Dua pengertian itu berhubungan karena kewaspadaan masa-kini merupakan dasar untuk ingatan yang tajam.
9 Sotapattiyanga. Inilah empat sifat pemasuk-arus, yaitu: keyakinan yang tak tergoyahkan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta “keluhuran yang berharga bagi orang-orang suci”, yaitu moralitas sempurna. Untuk serangkaian sotapattiyanga yang berbeda, empat faktor untuk mencapai tingkat pemasuk-arus, lihat Teks 91.
10 Sammappadhana. Usaha-usaha: (1) untuk mencegah munculnya keadaan yang tak-bajik dan jahat yang belum muncul; (2) untuk menghilangkan keadaan yang tak-bajik dan jahat yang sudah ada; (3) untuk mengembangkan keadaan bajik yang belum muncul; (4) untuk menahan dan menyempurnakan keadaan bajik yang sudah ada.
11 Satipatthana: kewaspadaaan terhadap tubuh, perasaan, keadaan pikiran dan objek-objek pikiran.
12 Ariyasacca: kebenaran-kebenaran tentang penderitaan, asal mulanya, berhentinya dan jalan menunju berhentinya; lihat Teks 35. AA berkata bahwa mengenai sifat setiap kemampuan atau kekuatan, masing-masing kemampuan atau kekuatan itu bersifat dominan dan berada di puncak fungsinya, sedangkan empat lainnya hanyalah pengiring dan pendukung fungsi yang dominan. Tetapi kekuatan kebijaksanaan merupakan yang tertinggi di antara kelimanya.
13 “Pembebasan pikiran” (cetovimutti) adalah konsentrasi yang ada pada pencapaian jalan-jalan mulia dan buah-buahnya. “Pembebasan oleh kebijaksanaan” (paññavimutti) adalah kebijaksanaan yang berkenaan dengan buah keempat, yaitu buah tingkat arahat.
14 Bantuan berunsur lima bagi pandangan benar ini, di AA dibandingkan dengan tumbuhnya pohon mangga: pandangan benar seperti benih mangga, faktor-faktor pendukung lainnya bagaikan usaha-usaha yang dilakukan untuk memastikan tumbuhnya pohon itu, sedangkan dua pembebasan bagaikan buah-buahnya.
15 AA: “Ketika mendengarkan Dhamma, dia langsung mengetahui jhana-jhana, pandangan terang, jalan-jalan dan buah-buahnya kapan pun mereka muncul (sepanjang instruksi). Ketika dia mengetahuinya, suka-cita muncul, dan karena suka-cita itu dia tidak mengizinkan dirinya meluncur mundur di tengah jalan; sebaliknya, dia malahan membawa subjek meditasinya naik sampai ke tingkat konsentrasi akses, mengembangkan pandangan terang, dan mencapai tingkat arahat. Mengacu pada hal inilah dikatakan ‘pikiran menjadi terkonsentrasi’.”
16 AA: ” ‘Objek konsentrasi’ (samadhi-nimitta) mengacu pada konsentrasi pada suatu objek tertentu di atara tiga puluh delapan objek konsentrasi.” (Tiga puluh delapan objek adalah penggolongan subjek meditasi yang sudah lama, yang seringkali diacu di kitab-kitab komentar; ini hampir identik dengan empat puluh subjek meditasi di Vism. Di situ dua kasina ditambahkan pada daftar aslinya.)
17 AA: Yaitu jalan yang terdiri dari perilaku berjasa dengan cara mempraktekkan kedermawanan, moralitas dan meditasi.
18 Ini berarti bahwa kita bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan kita yang baik maupun yang buruk, dan merupakan pewaris dari akibat kamma itu – entah menyenangkan atau tidak menyenangkan.
19 Mengenai kesombongan berunsur tiga, lihat Teks 27. Bagi siswa yang penuh pertimbangan, tiga perenungan pertama yang diterangkan berfungsi untuk mengulang kebangkitan spiritual yang sama terhadap realitas tentang kondisi manusia yang tak-terhindarkan, yang dilihat oleh calon Buddha ketika masih berdiam di istana.
20 Merupakan hal yang penting bahwa Sang Buddha menganggap kekuatan untuk menghasilkan jalan supra-duniawi ini berasal dari perenungan yang tampaknya bersifat mendasar. Tampaknya, untuk memperoleh kemampuan seperti itu tema perenungan harus dijelaskan secara universal. Dengan demikian, tema itu mengungkapkan segala sifat yang terkandung dalam usia tua, penyakit dan kematian. Bandingkan Teks 83. Mengenai belenggu dan kecederungan-kecenderungan yang mendasarinya, lihat Bab I, no. 25, Bab III, no. 67-69, Bab IV, no. 66.
21 Formulasi syair di sini menunjukkan bahwa awalnya berhubungan dengan Teks 27, karena mengacu pada periode ketika Sang Buddha masih mencari pencerahan. Syair ini mungkin telah terlepas dari sutta itu dan dihubungkan dengan syair ini pada periode ketika teks-teks masih diajarkan secara lisan.
22 Dhammam nirupadhim. Di kitab-kitab komentar, istilah teknis upadhi (“topangan”, kemahiran) diterangkan sebagai berunsur empat: lima khanda, kekotoran batin, lima tali kesenangan indera dan aktivitas berkehendak. Di sini, “penyangga” adalah lima khanda, “keadaan yang bebas dari topangan” adalah Nibbana.
Ada dua bacaan dari baris terakhir ini: nekkhamme datthu khematam (digunakan di terjemahan ini) dan nekkhammam datthu khemato (“melihat keadaan meninggalkan keduniawian sebagai keamanan”).
23 Rangkaian sembilan hal ini digunakan untuk menggolongkan ajaran-ajaran Buddha pada periode awal, tetapi kemudian diganti menjadi Pitaka dan Nikaya.
24 Lima bagian dari V, 73 secara konsisten diungkapkan sehubungan dengan “dia tidak memaksa diri untuk memperoleh ketenangan pikiran di dalam”, yang menekankan meditasi ketenangan, sedangkan bagian dari V, 74 yang sesuai, yang dalam hal lain identik, diungkapkan sehubungan dengan “dia tidak selanjutnya memahami artinya dengan kebijaksanaan”, yang menekankan meditasi pandangan terang.
25 Adalah menarik bila di Teks 98 empat hal pertama diartikan “landasan-landasan pembebasan” dan ditunjukkan sebagai sarana yang efektik untuk mencapai tingkat arahat. Tampaknya ada perbedaan di dua hal itu. Pada yang pertama, bhikkhu itu menggunakan belajar, mengajar, mengulang dan merenung sebagai sarana untuk pengembangan spiritual pribadi, sementara di sini dia mengejarnya sebagai tujuan akhir dan tidak bisa menggunakannya sebagai metode pengolahan-diri.
26 Yang “tak-menjijikkan” mungkin mengacu pada orang-orang atau benda-benda yang bisa menarik atau biasa saja. Patis II 212-13 menjelaskan lima cara persepsi demikian: (1) dalam hal objek yang menyenangkan, orang bisa menembusnya dengan (pemikiran meditatif tentang) sifat menjijikkan atau memandangnya sebagai tidak kekal. (2) Dalam hal objek yang tidak menyenangkan, orang bisa menyelimutinya dengan cinta kasih atau memandangnya sebagai elemen-elemen yang bukan-pribadi. (3) Orang menyelimuti objek-objek yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan pemikiran tentang sifatnya yang menjijikkan dan memandangnya sebagai tidak-kekal; dengan demikian dia menerima keduanya sebagai menjijikkan. (4) Orang menyelimuti objek-objek yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cinta kasih atau memandangnya sebagai eleman-elemen (bukan pribadi); dengan demikian dia menerima keduanya sebagai bukan-menjijikkan. (5) Setelah melihat suatu bentuk dengan matanya … memahami suatu objek pikiran dengan pikirannya, orang tidak merasa senang ataupun sedih, melainkan berdiam di dalam ketenangseimbangan, waspada dan memahami dengan jelas; dengan demikian dia menghindari aspek menjijikkan maupun tak-menjijikkan. AA berkata bahwa hal terakhir ini adalah “ketenangseimbangan berfaktor-enam, yang mirip -walaupun tidak identik- dengan yang dimiliki para arahat.”
27 Praktek yang diterangkan di sini disebut ariya-iddhi, “kesaktian yang mulia” atau “kekuatan para suci”. Ini sejenis “kesaktian transformasi” yang halus. Dengan kesaktian ini sikap emosi yang merupakan kebiasaan dapat diubah sekehendaknya atau digantikan oleh ketenangseimbangan. Di dalam kesempurnaannya, praktek ini “hanya dihasilkan pada diri orang yang mulia (ariya), yang telah mencapai penguasaan-pikiran.” (Vism XII, 36). Tetapi AA menekankan bahwa mereka yang pencapaiannya masih lebih rendah juga dapat dan harus mempraktekkannya, jika pencapaian-pencapaian itu dialami di dalam meditasi pandangan terang dan mereka memiliki inteligensi yang tajam. Meditasi pandangan terang amat membantu di dalam hal ini, karena meditasi ini mengajarkan pada kita untuk membedakan antara fakta-fakta pengalaman dan reaksi-reaksi emosi (atau lainnya) terhadap fakta-fakta itu. Dengan inteligensi yang tajam orang dapat menjadi sadar tentang kemungkinan respon emosi yang bukan merupakan respon kebiasaan, dan sadar tentang kemungkinan menyembunyikan respon-respon itu.
28 Lihat Bab IV, no. 45.
29 Yaitu, orang harus bicara dengan cara yang menuju pada topik-topik yang makin mendalam dan makin tinggi, atau orang harus mengajar Dhamma dengan cara yang sesuai dengan kecenderungan mental dari para pendengarnya. Lihat Teks 158.
30 AA: “Digerakkan oleh harapan: ‘Aku akan membebaskan para makhluk yang berada di dalam tekanan penderitaan yang besar.’ ”
31 AA: “Orang harus berbicara tanpa memuji dirinya sendiri dan merendahkan yang lain.”
32 Ini adalah kediaman pertama, kedua dan keempat dari empat kediaman surgawi (brahma-vihara). Menurut AA, tempat kediaman ketiga -kegembiraan berkorban- tidak disebutkan di sini karena sulit dipraktekkan terhadap orang yang dibenci dengan dendam.
33 Pavivekam pitim. AA: Suka-cita yang muncul dari ketergantungan pada jhana pertama dan kedua.
34 AA menjelaskan “berdagang makhluk hidup” (sattavanijja) seperti misalnya menjual manusia, yaitu perdagangan budak; ini mungkin terlalu sempit. Mungkin pemeliharaan binatang untuk disembelih harus kita masukkan ke dalam kategori ini. AA berkata bahwa orang tidak seharusnya terlibat di dalam perdagangan-perdagangan ini dan dia seharusnya tidak mendorong orang lain untuk melakukannya. Tidak memiliki pekerjaan yang salah ini termasuk praktek mata pencaharian benar, yaitu faktor kelima dari Jalan Mulia Berunsur Delapan.
35 Seorang brahmana yang memiliki nama ini ditemukan di Teks 34. Seorang brahmana biasanya bertanya dengan acuan manta, yaitu mantra atau himne dari Kitab Veda, tetapi Sang Buddha menjawab dengan acuan pada “kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan orang-orang lain”, yang pada pengertian tertinggi adalah pencapaian tingkat Arahat. Lima faktor yang menghalangi di sini adalah lima penghalang. Sutta yang hampir identik adalah SN 46:55, tetapi dengan alinea tambahan pada tujuh faktor pencerahan.
36 AA menjelaskan jalan keluar bagi setiap penghalang lewat dua cara, yaitu ” jalan keluar lewat penekanan” yang sifatnya sementara (vikkhambhana-nissarana), dan “jalan keluar lewat penghapusan” yang sifatnya permanen (samuccheda-nisarana). Dengan demikian, untuk nafsu indera maka jhana pertama yang didasarkan atas objek yang menjijikkan adalah jalan keluar lewat penekanan, sedangkan jalan menjuju tingkat arahat adalah jalan keluar lewat penghapusan (karena nafsu indera dianggap mewakili semua nafsu yang tak-bajik). Untuk niat jahat, jhana pertama yang didasarkan atas cinta-kasih adalah jalan keluar lewat penekanan, sedangkan jalan menuju yang-tidak-kembali-lagi adalah jalan keluar lewat penghapusan. Untuk kemalasan dan kelambanan, persepsi sinar merupakan jalan keluar oleh penekanan (lihat Teks 59), sedangkan jalan ke tingkat arahat adalah jalan keluar oleh penghapusan. Untuk kegelisahan dan kekhawatiran, meditasi ketenangan adalah jalan keluar oleh penekanan, sedangkan jalan menuju tingkat arahat adalah jalan keluar dari kegelisahan lewat penghapusan, dan jalan menuju yang-tidak-kembali-lagi adalah jalan keluar dari kekhawatiran. Untuk keraguan, diskriminasi fenomena (dhamma-vavatthana) adalah jalan keluar lewat penekanan, sedangkan jalan menjuju pemasuk-arus adalah jalan keluar lewat penghapusan.
37 Pasattha-pasattho: secara harafiah, “dipuji oleh yang terpuji”. AA: “Dia dipuji oleh keluhurannya sendiri’ dengan demikian tidak perlu dipuji oleh yang lain.” Lebih mungkin, artinya adalah dia dipuji oleh mereka yang juga dipuji oleh orang-orang lain.
38 Nissaraniyo dhatuyo; mereka menawarkan jalan keluar dari keadaan-keadaan pikiran yang merugikan atau menghalangi.
39 AA: “Setelah muncul dari jhana yang dihasilkan dari perenungan sifat menjijikkan (asubha), dia mengarahkan pikirannya pada objek indera untuk memeriksanya, sebagaimana orang yang telah minum anti racun memeriksa racun
40 AA menjelaskan “melepas” di sini sebagai jhana pertama yang muncul dengan perenungan sifat tubuh yang menjijikkan. Hal ini menawarkan jalan keluar yang bersifat sementara, tetapi jika orang menggunakan jhana ini sebagai dasar bagi meditasi pandangan terang dan mencapai tingkat tidak-kembali-lagi (anagamiphala), maka dia sepenuhnya bebas dari nafsu indera.
41 Byapada. AA: “Memeriksanya setelah muncul dari jhana yang dihasilkan oleh perenungan tentang cinta kasih.”
42 Abyapada. Istilah negatif ini adalah padan kata metta (cinta kasih).
43 Vihesa; kekejaman, menyakiti, permusuhan, hampir merupakan padan kata vihimsa, kekerasan, kerugian. AA: “Memeriksanya setelah muncul dari jhana yang dihasilkan dari perenungan tentang kasih sayang (karuna).”
44 Rupa. AA: “Memeriksanya setelah muncul dari jhana tanpa-bentuk.” Mengenai empat pencapaian tanpa-bentuk, lihat Teks 87.
45 Sakkaya. Lihat Bab IV, n.15. AA: “Ini mengacu pada orang yang mempraktekkan pandangan benar yang nyata (sukkha-vipassaka) dan yang telah mencapai tingkat arahat -setelah memahami bentukan-bentukan yang nyata; setelah muncul dari pencapaian buah (phala-samapatti), dia kemudian mengarahkan pikirannya pada lima kelompok khanda dengan tujuan untuk memeriksanya.” Dalam kasus “bentuk” dan “kepribadian, jalan keluar akhir (accanta-nissarana) adalah buah tingkat arahat (arahatta-phala).
46 Niranusayo: orang tanpa kecenderungan yang kuat (atau kecenderungan yang masih tidur) pada lima hal itu (sensualitas, dll). AA: “Pernyataan ini dibuat untuk memuji arahat sementara dia berdiam setelah mencapai penghentian, yaitu jalan keluar dari kepribadian.”

Tidak ada komentar: