Judul Asli
: Buddhis Meditation
Oleh
Piyadassi Thera
Bersabdalah
Sang Buddha Gotama
“Kini saya
katakan, Nigrodha, tidak mengharapkan untuk memperoleh murid, tidak
mengharapkan kamu untuk gagal dalam mempelajari pengetahuan agama, tidak
mengharapkan kamu untuk menghentikan cara dan laku hidupmu yang telah biasa
kamu lakukan, tidak memaksakan padamu untuk menerima sesuatu sebagai tidak baik
dan tidak sempurna sebagai kamu atau gurumu memandangnya, atau menganjurkan
padamu untuk meninggalkan sesuatu yang engkau anggap baik dan juga dianggap
baik oleh gurumu. TIDAK DEMIKIAN.
“Namun,
Nigrodha, ada beberapa hal yang tidak baik, jahat, yang tidak disingkirkan
(dilenyapkan), segala sesuatu yang bersangkutan dengan kekotoran batin. Untuk
melenyapkan ini semua, maka aku mengajarkan Dhamma; berlakulah hidup sesuai
dengan Dhamma, maka segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kekotoran
(batin) akan dapat dilenyapkan, dan sesuatu yang baik dapat dikembangkan, dan siapapun,
baik kini maupun kelak, mampu mencapai dan menghayati dengan penuh
kebijaksanaan.”
(Udumbarika-sihanada
Sutta, D.N., 25)
MEDITASI
BUDDHIS
Jalan
Menuju Ketenangan dan Kebersihan Batin.
Dua ribu
lima ratus tahun yang lampau, seorang putra mahkota pada usia dua puluh
sembilan tahun, saat seseorang berada di puncak kegemilangan hidup, telah
meninggalkan tahta yang penuh dengan kemegahan dan kekuasaan dan pergi
menyendiri ke hutan menjauhi keduniawian mencari obat untuk mengatasi penyakit
kehidupan, mencari jalan keluar dari belenggu ketidakpastian untuk mencapai
Nibbana.
Di bawah
bimbingan para ahli meditasi pada zaman itu, beliau mencari dengan harapan
bahwa mereka dapat menunjukkan jalan ke arah pembebasan dan kebijaksanaan;
beliau melatih konsentrasi, pemusatan perhatian (samatha atau samadhi) dan
telah mencapai tingkat-tingkat tertinggi dari latihan-latihan tersebut. Namun
beliau merasa tak puas dengan semua itu karena tidak menghasilkan Penerangan
Agung. Pengetahuan dan kemampuan guru beliau cenderung pada mistik dan
karenanya tidak memuaskannya untuk mencari apa yang masih belum diketahuinya.
Menjadi
kepercayaan di India pada zaman itu, terutama di kalangan para ahli kebatinan
(ascetic), bahwa penyucian batin dan kebebasan akhir batin dapat diperoleh
dengan melatih diri secara keras, kalau perlu dengan menyiksa diri. Beliau
memutuskan untuk membuktikan kebenarannya. Beliau mulai berjuang untuk melatih
jasmaninya dengan harapan, agar batinnya dapat mengatasi jasmaninya dan mampu
membebaskan dirinya. Dengan amat tekun dan rajin beliau berlatih. Beliau hanya
hidup dengan makan dedaunan, akar-akar pohon kemudian mengurangi jumlah makanan
sehingga amat minim, pakaiannya sangat bersahaja yang dihimpunnya dari sampah
buangan dan tidur di antara bangkai atau di atas duri. Kekurangan makan dan
minuman membuat jasmani beliau sangat lemah.
Selama enam
tahun lamanya beliau berjuang sedemikian kerasnya hingga hampir mendekati pintu
ajal, namun tujuan tetap tak tercapai. Cara menyiksa diri jelas baginya tidak
berarti melalui pengalamannya sendiri. Percobaan dengan cara seperti itu
ternyata gagal. Namun beliau tidak putus asa. Dengan pikiran yang kuat dan
kemauan yang membara, beliau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan. Beliau
berhenti menyiksa diri dan berpuasa yang ekstrim itu dan kembali makan minum
seperti biasa. Jasmani beliau yang telah lemah dan kurus itu kembali pada
keadaan sehat seperti dulu. Beliau kini menyadari bahwa Jalan ke arah
keberhasilan yang diidamkannya terletak pada penyelidikan ke dalam yaitu akan
kemurnian batin sendiri, tanpa bantuan guru, beliau memutuskan untuk bertapa
menyendiri untuk mencapai tujuan akhir.
Dengan
bersila di bawah pohon yang kemudian terkenal sebagai pohon Bodhi atau pohon
Penerangan Sempurna, di tepi sungai Neranjara, di Gaya (kini dikenal dengan
sebutan Buddhagaya) suatu tempat yang sejuk dan mendorong kemantapan batin dan
dengan tekad yang membaja : ‘Sekalipun badanku tinggal kulit dan tulang serta
darahku mengering, aku takkan meninggalkan tempat ini sebelum mencapai
Penerangan Sempurna’. Begitu mantap usahanya, begitu kuat pengabdiannya, begitu
keras tekadnya dalam mencapai kebenaran dan memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi.
Dengan
akhir pandangan seperti itu, beliau menyelusuri kedalaman batinnya untuk
mencari cara meditasi yang dapat memberi ketenangan mutlak, penerangan dan
kebebasan. Dengan cara Ana-apana-sati, beliau mencapai dan memasuki Jhana
pertama (hasil kedalaman meditasi yang disebut juga Dhyana – Sankrt, suatu
istilah yang sulit diterjemahkan). Secara bertahap beliau mencapai dan memasuki
Jhana kedua, ketiga dan keempat. Dengan demikian beliau mempersiapkan diri
membersihkan kekotoran batin yang masih melekat dan mampu mengembangkan
Pandangan Terang (Vipassana bhavana), Pandangan Benar dan Kebijaksanaan Mutlak,
yang membuat orang mampu memandang sesuatu sebagaimana adanya dengan mengetahui
ketiga corak umum (Tilakkhana) atau tiga sifat dari apa saja yang saling
terkait yaitu anicca, dukkha dan anatta. Dengan Pandangan Terang ini, dengan
penembusan yang bijaksana beliau mampu memahami dan mengetahui semua
kesempurnaannya, yaitu yang disebut sebagai Empat Kesunyataan Mulia tentang
penderitaan, sebab musababnya, lenyapnya dan cara mengakhiri.
Dengan
mengetahui kesunyataan tersebut maka batinNya terbebas dari segala akar atau
ikatan kenikmatan indriya (kama-asava), kotoran batin kehidupan (bhava–asava),
kegelapan batin (avijja–asava). Sewaktu batin terbebas dari mereka, segeralah
tumbuh pengetahuan dan pengertian : ‘Pandangan Benar timbul padaku, tak
tergoyahkan kebebasan batinku. Inilah kelahiranku yang terakhir, tiada
kelahiran lagi untuk selanjutnya bagiku, tak ada hasrat untuk menjadi’.
Pangeran
India ini dengan pribadi dinamis, tidak lain adalah Sakyamuni Siddharta Gautama
(Siddhattha Gotama), Sang Buddha.
Waktu telah
berlalu dan Sang Buddha tampaknya tidak pergi jauh dari kita. Sabda Sang Buddha
masih berkumandang di telinga kita dan mengatakan, agar kita jangan lari dari
perjuangan namun harus tenang menghadapinya, dengan memandang bahwa justru
kehidupan ini memberi kesempatan bagi kita untuk berkembang dan maju.
Kepribadian masih berarti sejak dulu hingga kini, dan seseorang yang memikirkan
kemanusiaan seperti Sang Buddha yang bahkan hingga saat ini masih terasa hidup
dan membangkitkan semangat, pastilah orang yang menakjubkan.
‘Pesan Sang
Buddha diucapkan beribu-ribu tahun yang lalu namun selalu baru dan asli bagi
mereka yang melatih diri dalam kerohanian, menyentuh pandangan kaum intelek dan
meresap ke lubuk hati masyarakat’.
DUNIA YANG
SEDANG BERUBAH
Meditasi
Buddhis merupakan inti dari Ajaran Sang Buddha. Karena subjek ini amat padat,
saya mengusulkan untuk membicarakan beberapa segi saja, khususnya yang
bertalian dengan Satipatthana, yaitu cara pengembangan perhatian terpusat atau
terarah.
Di zaman
sekarang, bukan zaman setengah abad yang silam, pendapat tentang kebaikan dan
kejahatan berubah-ubah dengan cepat, usaha kearah perkembangan akhlak dan yang
tidak baik berbeda-beda; begitu juga cara pendekatan dan pandangan umum tentang
manusia serta benda juga amat berbeda-beda.
Kita hidup
di zaman serba tergesa-gesa dan menuntut kecepatan. Dimana-mana ada ketegangan.
Jika anda berdiri di ujung jalan dan memandang pada muka mereka yang sedang
lewat maka terlihat bahwa mereka semua dihinggapi demam ketergesaan. Sebagian
besar mereka sedang gelisah. Mereka mengantungi ketegangan. Hampir semuanya
menggambarkan ketergesaan di wajah mereka. Seperti itulah kehidupan dunia
modern.
Dunia
sekarang ditandai dengan kesibukan dan ketergesaan yang menghasilkan keputusan
cepat dan kelakuan yang tak bijak. Mereka berteriak di saat mereka dapat bicara
secara biasa dan yang lain bicara disertai ketegangan dan tekanan yang
berlebihan untuk waktu yang lama dan mengakhiri segala ucapannya dengan
kelelahan yang menghabiskan tenaga. Semua ketegangan merupakan tekanan dalam
pandangan kejiwaan, dan ketegangan mempercepat ausnya proses jasmani. Tak
jarang tampak seorang pengendara sepeda dengan cepat melarikan sepedanya begitu
melihat lampu persimpangan berwarna hijau. Orang yang gelisah memandang suatu
persoalan bahkan yang kecil seperti suatu krisis sebagai suatu ancaman. Sebagai
akibatnya ia tidak bahagia dan tidak tenang.
Segi lain
dari kehidupan modern ini adalah terlalu bising. “Musik mengandung kelembutan”,
kata mereka, namun dewasa ini bahkan musik yang lembut tak lagi disenangi
karena kurang bising; bertambah bising dan nyaring musiknya maka bertambah
disukai. Bagi orang yang hidup di kota besar takkan punya waktu untuk menilai
kebisingan karena sudah terbiasa. Suara, tekanan yang ditimbulkan, banyak
membuat kerugian berupa penyakit jantung, kanker, bisul, gangguan syaraf, dan
sulit tidur. Sebagian besar penyakit kita disebabkan oleh keadaan batin,
ketegangan yang dibawa serta kehidupan modern, kegelisahan ekonomi dan
ketidaktenangan batin.
Kelesuan
syaraf pada manusia semakin meningkat dengan cara hidup yang selalu tegang.
Acapkali orang pulang dari pekerjaan dengan menunjukkan tanda kehabisan tenaga
karena gelisah. Konsekuensinya adalah daya konsentrasi semakin menurun dan
efektivitas kerja jasmaniah dan batin merosot. Orang cepat marah dan suka
mencari kesalahan orang lain. Ia menjadi pemurung dan egois serta menderita
tekanan darah tinggi dan susah tidur. Gejala kelesuan menunjukkan bahwa orang
modern memerlukan istirahat yang cukup secara batin maupun jasmani.
Perlu
diperhatikan bahwa menjauhkan diri secara tertentu, yakni penarikan batin dan
pikiran dari keruwetan hidup amat perlu bagi kesehatan batin. Di manapun dan
kapanpun ada kesempatan, pergilah keluar kota dan libatkan dirimu untuk
menyendiri dan merenung, katakanlah sebagai yoga yaitu konsentrasi atau
meditasi. Belajarlah merasakan keheningan yang amat berguna dan membawa
kebaikan bagi kita. Salah sama sekali untuk berpendapat bahwa hanya yang suka
keributan dan kesibukan yang mempunyai kemampuan. Diam itu emas, dan kita baru
berbicara jika mampu meningkatkan keadaan diam. Memperhatikan keheningan
amatlah penting. Daya kreatif dan agung bekerja dalam hening. Dan kita lakukan
keheningan ini dalam latihan meditasi kita. Sang Buddha bersabda :
“Oh para
bhikkhu, jika kalian sedang berkumpul, ada dua hal yang harus dilakukan,
berbincang-bincang tentang Dhamma atau mengamati keheningan nan agung”.
NILAI DARI
MENYENDIRI
Manusia
terbiasa dengan keributan dan berbicara dan mereka merasa kesepian jika tidak
berbicara dan dikucilkan. Namun jika kita melatih diri dalam seni berdiam diri,
maka pasti kita akan menyenanginya. Pisahkanlah dan jauhkanlah dirimu dari
kebisingan dan ketergesaan dan ingatlah bahwa ada kedamaian dalam kesunyian.
Sekali waktu kita harus menjauhi kesibukan agar mendapatkan keheningan. Ini
merupakan suatu keadaan damai dan tenang di saat menyendiri, kita akan
mengalami hakekat yang berguna dari ‘mengheningkan cipta’. Kita melakukan perjalanan
ke dalam diri kita. Jika kita memasuki keadaan diam maka kita samasekali
sendirian untuk mampu memeriksa diri kita sendiri dan mampu melihat diri
sendiri sebagaimana adanya, kemudian kita mampu mengatasi kelemahan diri dan
keterbatasan kemampuan diri dalam pengalaman yang sederhana.
Waktu yang
dipakai untuk menyendiri sesungguhnya bukan suatu pemborosan, malahan membentuk
pribadi kuat. Yang ini merupakan suatu simpanan yang berharga kelak bagi
pekerjaan kita sehari-hari dan kemajuannya, jika kita setiap hari mampu
menyediakan waktu untuk menyendiri dan melakukan perenungan di keheningan.
Sesungguhnya hal ini sama sekali bukan pelarian atau hidup berkhayal, namun
cara terbaik untuk menguatkan pikiran dan menumbuhkan sifat-sifat baik pada
pikiran/batin. Dengan menyelami pikiran sendiri serta perasaan yang timbul maka
orang dapat mengetahui arti dan guna sesuatu dengan sebenarnya dan menemukan
kekuatan yang terletak dalam diri.
Manusia
modern mencari kebahagiaan di luar dirinya yang seharusnya dicari di dalam
dirinya sendiri. Ia menjadi Ekstrovert. Kebahagiaan tidak terletak di luar
dirinya. Peradaban modern bukan merupakan suatu berkah yang tidak campur aduk.
Nampaknya manusia membawa dunia luar ke dalam kekuasaannya. Ilmu pengetahuan
dan teknologi seakan menjanjikan kesanggupannya membuat dunia menjadi suatu
surga. Kini di mana-mana orang sibuk tanpa henti berusaha di dalam memperbaiki
dunia. Para ahli mengejar metode dan hasil percobaannya tanpa rasa jemu dan
penuh keyakinan. Usaha dan perjuangan manusia untuk dapat mengungkap rahasia
alam berlangsung terus. Penemuan baru dan metode komunikasi serta hubungan
memberikan hasil yang mempesona. Semua perbaikan ini walaupun bermanfaat dan
bersifat khusus di bidang materi dan untuk luar batin manusia. Sekalipun
begitu, manusia tidak mampu mengendalikan pikirannya sendiri, ia tidak menjadi
lebih baik dari ilmunya. Bagaimanapun di dalam gerak batin dan jasmani manusia
nyatanya terdapat keanehan yang tidak mampu diungkapkan sekalipun para ahli
ilmu pengetahuan telah menyibukkan dirinya selama bertahun-tahun.
Orang
selalu mencari jalan keluar bagi berbagai persoalannya, namun selalu gagal,
sebab metode dan pendekatannya keliru. Mereka mengira bahwa seluruh persoalan
bisa diatasi dari segi luar. Sebagian besar problema sebenarnya berada di
dalam. Ia timbul dari dunia di dalam, oleh sebab itu pemecahannya harus dicari
ke dalam juga.
Kita dengar
bahwa orang yang memperhatikan pencemaran lingkungan telah memperdengarkan
keberatannya terhadap pencemaran udara, laut dan darat. Namun bagaimana dengan
pencemaran batin kita? Sebagaimana Sang Buddha menunjukkan: ‘Sejak lama batin
manusia dikotori oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin. Kekotoran
batin membuat manusia tidak suci, pembersihan batin membuat mereka suci’. Hidup
secara Buddhis merupakan proses yang terus menerus dari pembersihan atas
perbuatan, perkataan dan pikiran. Ini berupa usaha mengembangkan pemurnian diri
sendiri di dalam menyucikan penyadaran diri. Penekanan ada pada hasil-hasil
praktis dan bukan pada spekulasi kejiwaan atau analisa logika yang tidak nyata,
oleh karena itulah menjadi kebutuhan sehari-hari untuk berlatih meditasi
sebentar yang bagaikan seekor induk ayam yang sedang mengerami telornya, sebab
hampir seluruh waktu kita hanya dihabiskan bagai seekor tupai dalam kandang
yang berputar terus.
Meditasi
bukan merupakan pelaksanaan kemarin atau kini. Sejak dahulu kala orang telah
melakukannya dengan berbagai cara; para yogi, orang suci dan pencari Penerangan
Sempurna dari tiap zaman telah melakukannya dan telah memperoleh hasilnya dan
mencapainya melalui meditasi. Tak pernah ada dan tak mungkin ada suatu
pembentukan akhlak atau pembersihan batin tanpa melalui meditasi adalah jalan
yang dipergunakan oleh Sang Buddha Sidharta Gotama untuk mencapai tingkat
tertinggi dari Kebijaksanaan Mutlak.
Meditasi
bukan hanya bagi India atau hanya untuk zaman Sang Buddha, namun untuk semua
manusia pada situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Batas kesukuan, agama,
batas waktu ataupun ruang tidaklah menjadi halangan untuk melakukan meditasi.
Semua agama
mengajarkan semacam meditasi untuk mengembangkan batin manusia yang bisa berupa
berdoa diam atau membaca sendirian atau bersama-sama Paritta atau doa tertentu
atau berkonsentrasi pada suatu objek yang suci, baik objek orang ataupun ide.
Dan diyakini bahwa latihan batin seperti itu kadangkala membuat orang mampu
melihat bayangan orang suci atau sedang terlibat berbicara dengan mereka atau
mendengar suara atau penampilan yang gaib. Apakah semua itu khayal, ilusi, halusinasi
belaka atau sekedar proyeksi bawah sadar atau gejala yang sungguh tak dapat
dikatakan dengan pasti. Batin merupakan kekuatan tersembunyi yang mampu
menghasilkan gejala demikian.
Keadaan tak
sadarkan diri sejauh ini dikembangkan oleh para yogi dan ahli mistik tertentu
hingga menjadi sesuatu yang tidak baik dipandang. Namun mereka sendiri tidak
merasakan apa-apa sama sekali. Kita telah menyaksikan orang dalam sikap
meditasi yang terjatuh ke dalam keadaan koma dan tampaknya kehilangan daya
pikir. Yang menyaksikan menjadi salah terka, jika berpendapat bahwa itu adalah
suatu jenis meditasi (bhavana).
Kitab suci
Buddhis memberi tahu bahwa dengan melalui kedalaman meditasi (Jhana atau
dhyana), dengan mengembangkan kemampuan batin maka orang akan mampu memperkembangkan
kekuatan batin. Namun amat penting untuk diingat, bahwa Jhana Buddhis sama
sekali bukan suatu keadaan menghipnotis keadaan diri sendiri atau suatu keadaan
penciptaan dengan koma (lupa diri). Jhana Buddhis merupakan keadaan batin yang
bersih; gangguan berupa keinginan dan dorongan hati telah mereda hingga batin
menyatu untuk selanjutnya memberi keadaan kesadaran dan perhatian yang
sempurna.
Amat
menarik untuk mengamati gejala demikian, para ahli penyelidik dan ahli jiwa
dapat menerima dan membenarkannya. Perhatian terhadap pandangan bawah sadar
(kemampuan atau daya serap indra keenam), pada terapan ilmu jiwa secara
perlahan memperoleh dukungan dan hasil yang diperoleh di luar dari dugaan
semula. Semuanya ini sebenarnya hanya berupa hasil sampingan yang tidak begitu
berarti jika dibandingkan dengan kebebasan akhir seseorang yang terbebas dari
segala nafsu dan ikatan duniawi dan akhirnya berhasil mencapai kebebasan
mutlak.
Meditasi
yang diajarkan di dalam Agama Buddha tidak bertujuan untuk menyatukan diri
dengan mahluk super ataupun untuk memperoleh pengalaman mistik ataupun untuk
menghipnotis diri sendiri. Tujuan meditasi adalah untuk mencapai ketenangan
batin (samatha) dan Pandangan Terang (vipassana), dengan tujuan akhir
satu-satunya untuk memperoleh keadaan batin yang tidak tergoyahkan (akuppa ceto
vimutti), jaminan tertinggi untuk terbebas dari semua belenggu batin dengan
mengikis habis semua kekotoran batin. Tidak semua orang mampu mencapai
tingkatan yang tertinggi ini yang merupakan kebebasan total dari batin, namun
segala kegagalan tidak berarti, asal kita tetap tekun dan bersungguh-sungguh
serta bertekad baik. Mari kita usahakan dan jangan ragu-ragu. Cukup berharga
untuk terus diusahakan. Pada suatu saat, walau tidak dalam kehidupan yang
sekarang, jika tetap tekun maka akan mencapai tingkat yang tertinggi.
Sekalipun
kita gagal mencapai tingkat kebijaksanaan yang tertinggi, kita akan tetap
mendapatkan pahala dari usaha kita. Masyarakat yang bergerak cepat memerlukan
meditasi walaupun sedikit untuk melenyapkan ketegangan dan tekanan serta untuk
bertahan terhadap perubahan yang dibawa kehidupan. Dengan meditasi kita dapat
mengatasi persoalan kita yang bersifat kejiwaan ataupun problema yang berkenaan
dengan kejiwaan seperti kegelisahan, emosi dan dorongan hati; meditasi akan
meningkatkan kedamaian dan ketenangan yang kita dambakan.
PENAKLUKAN
DIRI DAN NARKOTIK
Sang Buddha
bersabda: ‘Sekalipun seseorang menaklukan seribu lawan, namun bila ia mampu
menundukan dirinya sendiri ia adalah orang besar’. Ini tidak lain adalah
penaklukan diri sendiri. Ini berarti menguasai isi batin dan emosi yang kita
sukai atau yang tidak kita sukai. Milton, seorang penyair, mengumandangkan
kata-kata Sang Buddha sebagai berikut: ‘Penaklukan diri sendiri merupakan
kerajaan terbesar yang dapat diperoleh seseorang dan sebaliknya, bila kita
memperturutkan keinginan akan menjadi budak yang menyedihkan’.
Pengendalian
batin sendiri adalah kunci kebahagiaan. Ini merupakan kekuatan di balik semua
pencapaian. Setiap perbuatan yang tidak terkendali adalah sia-sia. Bila kita
tidak mampu menguasai diri, maka berbagai konflik akan timbul di dalam batin.
Jika semua konflik harus dikendalikan, jika tidak dihilangkan maka seseorang
harus mengekang keinginan, kecenderungan dan usahanya untuk hidup terkendali
dan murni. Tiap orang menyadari manfaat latihan jasmaniah. Walaupun demikian
kita tidak hanya sekedar jasmani belaka, kita juga punya pikiran yang
memerlukan latihan. Kebahagiaan tergantung padanya.
Dari segala
kekuatan maka kekuatan pikiranlah yang paling hebat. Ia merupakan kekuatan
sendiri. Untuk dapat mengerti sifat kehidupan sebenarnya, seseorang harus
menyelidiki semua gerak batin yang terdalam, yang hanya dapat diselami dengan
instropeksi mendalam berdasarkan kemurnian kelakuan dan meditasi.
Menyadari
kenyataan ini, bertambah banyak orang dari dunia Barat yang mempelajari Dhamma,
Ajaran Sang Buddha. Telah dicapai suatu kesepakatan di antara kaum terpelajar
Barat bahwa Agama Buddha merupakan agama ilmu jiwa tertinggi, dan bahwa Agama
Buddha paling mampu menyoroti dan menangani gerak yang rumit dari batin manusia
dibanding dengan sistem pendekatan dan pandangan yang lain.
Pandangan
Agama Buddha adalah batin atau keadaan kita itu merupakan pokok keberadaan
kita. Semua pengalaman kejiwaan, seperti sedih dan senang, susah dan bahagia,
baik dan buruk, hidup dan mati…… tidak disebabkan oleh sesuatu di luar diri.
Semua ini merupakan hasil batin dan pikiran serta perbuatan kita sendiri.
Akhir-akhir ini seseorang telah menyelidiki gejala-gejala yang bersifat
kejiwaan, suatu penyelidikan yang nampaknya mengungkapkan kekuatan tersembunyi
batin manusia. Dorongan dalam diri untuk mencari bimbingan batin, sedang
meningkat. Ini merupakan pertanda yang baik.
Perhatian
orang Barat terhadap cara berfikir ahli yoga dan pemeditasi India telah
meningkat secara mengagetkan. Alasannya tidak perlu jauh untuk dicari.
Nampaknya ada perasaan gelisah yang menumpuk pada manusia dimana-mana. Perasaan
itu lebih tampak pada remaja. Mereka menghendaki jalan pintas yang cepat untuk
mengatasi kekeruhan dalam dunia yang bersifat materi ini. Mereka mendambakan
kedamaian dan ketenangan.
Problema
remaja tidak dapat dipecahkan dengan cara dogmatis dari pelajaran agama
bertahun-tahun. Pernyataan-pernyataan yang menyangkut batin (ke dalam diri)
tetap tidak terjawab. Nilai yang dilekatkan pada aspek materi kehidupan amat
dihargai oleh manusia modern tampaknya tidak mampu dan tidak berguna untuk
menyelidiki batin. Problema kehidupan dunia Barat pada dasarnya bersifat kejiwaan.
Nyatanya pengetahuan, ilmu dan kemampuan teknologi di bidang materi tidak mampu
memberi jawaban bagi problema dunia dan manusia. Jenis pengetahuan begitu
hanyalah melipatgandakan problema yang ada.
Remaja yang
menjadi pecandu obat bius merasa yakin untuk menemukan jawaban atas frustrasi
batin mereka, kini mengarahkan diri mereka pada latihan yoga dan meditasi.
Jelaslah obat bius tidak mampu berbuat apapun dibanding dengan hasil meditasi
yang dapat kita capai. Obat bius bukan merupakan pengganti meditasi yang benar
di dalam mencari ketenangan batin dibanding menguatkannya.
Dunia telah
dicengkram oleh gangguan baru berupa penyakit yang tidak tersembuhkan bagi
mereka yang disentuhnya, bahkan mencelakakan mereka, serta keterjangkitan yang
menjanjikan mimpi ke alam yang indah, menuju suatu kehidupan yang tanpa arti
dan tujuan, suatu penyakit yang mengancam anak-anak kita atau dunia teknologi
atau abad modern: obat bius. Berjuta-juta remaja telah dihinggapinya,
beribu-ribu dari mereka tidak dapat diselamatkan dari kematian, ratusan ribu
telah kecanduan dan hanya tergantung serta terperangkap pada obat-obatan
seperti ‘hasis’ yang menyebabkan kerusakan otak dan berlanjut pada keruntuhan
akhlak.
Terdapat
bukti yang tidak dapat dibantah bahwa meditasi mampu merubah batin yang secara
kejiwaan, pada gilirannya mempunyai efek sampingan yang berguna sekali.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk menilai efek-efek ini.
Dr. Herbert
Benson yang melakukan penyelidikan terhadap meditasi selama satu dasawarsa
terutama sangat tertarik saat mengetahui bahwa faktor--faktor kejiwaan alamiah
mampu mempengaruhi jantung, tekanan darah dan segi yang lain dari peredaran
darah dan fungsinya. Pendapat dan penyelidikannya dibukukan dengan judul: ‘The
Relaxation Response’.
Penyelidikan
yang dilakukan dalam Universitas Havard, Cambridge, Amerika Serikat
mengungkapkan bahwa ratusan remaja yang menelan L.S.D. dan mengisap ganja telah
menghentikan semua itu setelah melakukan meditasi beberapa bulan.
MEDITASI
DAN MISTIK
Meditasi
pasti bukan pengasingan sukarela dari kehidupan, atau suatu usaha untuk hari
depan (setelah mati). Meditasi harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan
hasilnya didapatkan saat ini dan di sini juga. Ia tidak terpisah dari apa yang
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, ia merupakan bagian dari kehidupan
kita. Kenyataan ini menjadi jelas jika kita mempelajari empat objek meditasi,
atau penerapan dari Perhatian Benar (Satipatthana). Jika kita terbebas dari
keributan kehidupan kota, bebas dari cengkraman kesibukan duniawi maka kita tak
begitu kehilangan kontrol diri. Dan ini hanya mungkin bagi masyarakat yang
berusaha untuk memeriksa kekeliruan seperti itu. Meditasi yang kita lakukan
merupakan bantuan yang berarti agar kita mampu menghadapi semua ini dengan
tabah. Dan jika kita mengabaikan meditasi maka hidup kehilangan arti, tujuan
dan ilhamnya.
Ada suatu
waktu di mana banyak orang berpendapat bahwa meditasi hanya bagi pertapa, para
yogi dan penghuni hutan. Kini pendapat itu berubah. Dewasa ini tampak meningkat
minat atas meditasi. Jika meditasi ini diartikan sebagai disiplin dan
pembudayaan batin maka tak usah dikatakan lagi bahwa semua orang harus
melaksanakannya, tanpa memandang jenis kelamin, bangsa, keturunan atau
perbedaan yang lain.
Masyarakat modern
dalam bahaya dilanda pesona dan godaan yang hanya mampu diatasi dengan usaha
yang berat dan mantap dalam melatih batin kita.
Memang
diakui amat sulit untuk meninggalkan kebiasaan berpikir dan berkelakuan, namun
meditasi mampu membantu kita untuk mengatasi beban dari segala kesulitan hidup
ini. Tujuan akhir dari meditasi Buddhis adalah untuk mencapai Kebijaksanaan
Mutlak, Penguasaan diri sendiri dan Nibbana melalui penguasaan atas semua
kotoran batin.
Namun
terlepas dari tujuan utama tadi, ada keuntungan dan manfaat lain yang mampu
diraih dengan meditasi. Ia mengilhami kita untuk menemukan kecerdasan,
keluhuran alamiah kita dan bahwa kita berharga. Meditasi mampu meredakan
syaraf, mengendalikan atau menurunkan tekanan darah, membuat kita santai dengan
mengendorkan pemborosan tenaga akibat ketegangan syaraf, memperbaiki kesehatan
dan menyegarkan badan.
Ia juga
dapat merangsang kekuatan yang tersembunyi dari batin, membantu berpikir
jernih, berpengertian mendalam, mempunyai batin yang seimbang dan tenang.
Bahkan beberapa penyakit syaraf pun dapat disembuhkan. Kita dapat mempergunakan
meditasi untuk mengatasi keadaan dalam emosi. Tekanan batin kebal akan efek
sampingan dari obat-obatan. Meditasi menenangkan diri dan beberapa pengobatan
yang lain dapat dipergunakan dengan berhasil terhadap beberapa penyakit kronis.
Meditasi merupakan suatu proses kreatif yang bertujuan merubah perasaan yang
kalut dan pikiran yang tidak baik menjadi harmonis dan murni. Ia merupakan cara
pengobatan yang sangat berguna bagi problema dunia modern. Jika batin terlatih
dengan meditasi maka ia akan mampu menangkap sesuatu yang berada di luar
jangkauan pencerapan biasa. Semua manfaat ini dapat diperoleh dengan meditasi,
tentu saja tidak langsung, namun bertahap melalui sistem yang sistematis.
Meditasi
adalah cara hidup. Ia merupakan cara hidup yang menyeluruh, bukan hanya
sebagian. Tujuannya adalah mengembangkan manusia seutuhnya. Marilah kita
berusaha keras untuk menjadi sempurna dan tak usah menunggu zaman emas yang
akan datang. Bukan tidak mungkin bagi kita untuk memperoleh apa yang
benar-benar kita kehendaki dengan kemampuan batin yang ada pada diri kita yakni
kekuatan yang luar biasa dari batin kita.
Meditasi
adalah gejala istimewa kehidupan manusia dan oleh sebab itu, harus didekati
dari sudut pandang manusiawi dengan perasaan manusiawi dan pengertian
manusiawi. Problema kehidupan dan jalan keluarnya pada dasarnya bersifat
kejiwaan. Meditasi yang sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan
mistik. Mereka sangat berbeda. Sementara mistik membawa kita pergi dari
kenyataan kama, meditasi mendekatkan kita pada kenyataan; sebab dengan meditasi
kita akan mampu melihat khayalan dan halusinasi kita secara langsung. Ini
membawa perubahan yang menyeluruh pada watak kita. Ini lebih merupakan suatu
yang tidak dipelajari. Kita harus meninggalkan banyak hal yang telah kita
pelajari dan anut dengan menyadari bahwa mereka hanya merupakan penghalang yang
menggoda kita.
Semua
problema kejiwaan berakar dari kebodohan dan pandangan salah. Ketidaktahuan
adalah mahkota kemalangan (avijja paramam malam). Irihati, kebencian,
kepongahan dan setumpuk kotoran batin yang lain berjalan bersamaan dengan
kebodohan batin. Pemecahannya harus ditemukan di dalam problema itu sendiri dan
seharusnya kita tidak lari darinya. Coba periksa dan selidiki dan anda akan
menemukan bahwa semuanya itu adalah problema kehidupan. Oleh karena itu
janganlah menyalahkan semua ini disebabkan oleh mahluk lain. Persoalan kita
yang sebenarnya hanya bisa dipecahkan dengan meninggalkan semua konsep palsu
dan bayangan khayal dan membawa hidup kita ke dalam keserasian dengan kenyataan
dan ini hanya dapat diperoleh dengan melalui bermeditasi.
JALAN MULIA
BERUNSUR DELAPAN
Dengan
menjauhi apa yang membuat mabuk serta meningkatkan kewaspadaan, memantapkan
kesabaran dan menjaga kebersihan batin, para bijak melatih dirinya. Tidak
seberapa sulit bagi yang menginginkan ketenangan jika lingkungannya menunjang,
namun jika berada di lingkungan yang tidak sesuai amatlah sulitnya. Justru
kesulitan seperti itu yang harus diatasi, sebab dengan demikian kita membangun
karakter yang kuat.
Dengan
melatih pemusatan pikiran maka batin akan menjadi tenang. Dapatkah kita
mencapinya? Jawabannya adalah : ‘Pasti’ – namun bagaimana caranya? Bukan dengan
melakukan ‘sesuatu yang hebat’. Mengapa orang suci itu hebat? Jawabannya adalah
: mereka tetap bergembira pada saat yang sulit untuk bergembira, dan tetap
bersabar pada saat sulit untuk bersabar. Mereka tetap bersemangat disaat mereka
harus berusaha untuk berdiam diri dan justru berdiam diri pada saat ingin
berbicara. Itulah semua. Amat sederhana tetapi maha sulit untuk dikerjakan.
Suatu persoalan pembersihan batin…..!
Berusahalah
terus dengan tanpa berhenti. Tiada seseorang dapat mencapai puncak gunung
dengan seketika. Bagaikan seorang pandai besi yang trampil mengeluarkan kotoran
dari perak satu per satu, demikianlah kita berusaha demi keberhasilan batin
kita sendiri.
Jalan yang
ditunjukan para Buddha dan yang berhasil dari segala jaman untuk menumbuhkan
dan mengembangkan batin adalah meditasi dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan
mulia ini terbagi atas tiga bagian: Sila (kemoralan), Samadhi dan Pañña
(kebijaksanaan) yang merupakan satu-satunya cara. Tidak ada jalan pintas lain
untuk menuju Penerangan Sempurna. Jalan ini sangat khas Buddhis. Tidak ada
satupun Ajaran Agama atau filsafat lain yang mampu dipertandingkan dengannya.
Semua
bimbingan yang bersifat praktis yang ditunjukkan oleh Sang Buddha untuk
melenyapkan konflik batin yang disebabkan oleh ketidakpuasan hidup, dapat
ditemukan di dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan ini.
‘Saya telah
menyelidiki setiap cara dari semua agama yang dikenal di dunia ini, namun tidak
saya temukan yang mampu menyamai baik dari segi keindahan maupun luasnya
seperti Jalan Mulia ini. Oleh sebab itu Saya bertekad untuk mengabdikan dan
merubah diri Saya sesuai dengannya’ (T.W. Rhys Davids, Presiden dari Pali Text
Society, London).
Jalan Mulia
Berunsur Delapan (Jalan Tengah) tersebut adalah :
Pandangan
Benar (sammaditthi) ----- Pañña (kebijaksanaan)
Pikiran
Benar (sammasankappa)
Ucapan
Benar (sammavaca)
Perbuatan
Benar (samma Kamanta) ----- Sila (kemoralan)
Daya Upaya
Benar (samma ajiva)
Usaha Benar
(sammavayama)
Perhatian
Benar (sammasati) ----- Samadhi (Konsentrasi)
Konsentrasi
Benar (sammasamadhi)
DUA
TINGKATAN DALAM MEDITASI
Penjelasan
meditasi seperti apa adanya melalui kitab suci Buddhis awal sedikit banyak
berdasar atas metode yang digunakan Sang Buddha untuk mencapai Penerangan
Sempurna dan Nibbana, dan dalam pengalaman Beliau sendiri disaat mengembangkan
batinNya.
Istilah
meditasi sebenarnya dapat disamakan dengan istilah ‘bhavana’ yang arti
harafiahnya ‘pengembangan batin’ yakni usaha untuk menumbuhkan batin terpusat,
tenang, mampu dengan jelas melihat sifat batin sesungguhnya gejala apapun yang
dapat merealisir Nibbana, suatu keadaan batin ideal dari batin yang sehat.
Meditasi
yang dilakukan oleh Sang Buddha ada dua macam : Pemusatan Batin (samatha atau
samadhi) yaitu penyatuan pemusatan batin (cittekaggata Skrt. cittaikagrata),
dan Pandangan Terang (Vipassana Skrt. Vipasyana atau Vidarsana). Dari kedua
istilah ini samatha atau konsentrasi, untuk alasan ini kata samatha atau
samadhi, pada konteks tertentu dimaksudkan sebagai ketenangan atau keheningan.
Menenangkan pikiran berarti menunggalkan pikiran yang diperoleh dengan
menunjukan batin pada suatu objek pilihan dengan meninggalkan yang lain.
Meditasi
(bhavana) dimulai dengan pemusatan pikiran/konsentrasi (samatha) adalah suatu
keadaan yang bebas dari kekalutan. Apa pemusatan itu? Apa ciri-cirinya? Dan
bagaimana mengembangkannya?
‘Apapun
cara penyatuan pikiran, inilah pemusatan (konsentrasi); empat usaha terhadap
perhatian benar adalah ciri-ciri pemusatan, merupakan syarat-syarat yang
diperlukan dalam pemusatan; bagaimanapun cara melatihnya, mengembangkannya,
akan meningkatkan kemampuan konsentrasi. Inilah yang membangun konsentrasi.
Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa ketiga faktor kelompok samadhi yakni:
Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar bekerja sama dan saling
menunjang. Ketiganya meliputi konsentrasi yang sesungguhnya.
Perlu
ditunjukkan bahwa mengembangkan pemusatan pikiran (samatha bhavana) seperti
yang diajarkan oleh Sang Buddha bukan semata-mata Agama Buddha. Para Yogi
sebelum Sang Buddha telah melakukan berbagai cara meditasi yang berlainan yang
sampai kini masih dilakukan. India sejak dahulu sudah merupakan negara mistik,
tetapi yoga yang amat terkenal di India tidak mampu melampaui sampai titik
batas.
Samatha
seperti yang diajarkan di dalam Agama Buddha hanya berakhir pada pencapaian
Jhana dan Vipassana mengarah kepada empat tingkat pencapaian kesucian batin
atau emansipasi. Siswa meditasi yang melanjutkan usahanya dengan tekun dan
terus-menerus dengan Vipassana melenyapkan tahap demi tahap, kotoran batin yang
membelenggu dirinya dalam putaran penderitaan (Samsara, juga disebut roda
kehidupan dan kematian) dan mencapai tingkat keempat dari kesucian batin
Arahat. Pengertian yang detail tentang Empat kesucian ini dapat dibaca dalam buku
‘The Buddha’s Ancient Path, karangan Piyadasi Thera, B.P.S. hlm 210’.
Sang Buddha
tidak puas dengan pencapaian Jhana dan pengalaman mistik; satu-satunya tujuan
Beliau adalah pencapaian Kebijaksanaan Mutlak dan Nibbana. Setelah mencapai
ketenangan yang mantap dan konsentrasi yang tidak tergoyahkan dengan Samatha
bhavana, Beliau mampu mengembangkan Vipassana yang membuat orang mampu
memandang apapun dalam keadaan sebagaimana adanya, dan tidak sebagaimana
penampilannya. Dengan kata lain untuk mengerti bagaimana sesungguhnya diri kita
ini.
Istilah
Vipassana (vi + passana) berasal dari asal katanya, ‘dilihat dengan cara
istimewa’ dan kata ‘passati’ melihat dan tambahan ‘vi’ artinya : ‘khusus’. Maka
Vipassana berarti melihat dari segi yang lebih jauh, bukan melihat kepermukaan
ataupun bersifat sepintas lalu melainkan melihatnya dalam perspektif yang
sebenarnya, yang dalam istilah dari ketiga sifat khas dari semua gejala
kehidupan yaitu anicca, dukkha dan anatta. Meditasi Pandangan Terang ini
mempunyai landasan ketenangan batin hasil Samatha Bhavana yang meningkatkan
kemampuan meditasi seorang siswa untuk membersihkan batinnya dari segala
kotoran, melenyapkan khayalan keakuan dan mampu melihat kasunyataan dan
merealisir Nibbana.
Vipassana
merupakan ajaran khas Sang Buddha sendiri yang sebelumnya tidak pernah Beliau
dengar, suatu pengalaman langsung yang luar biasa dan khas dari Beliau sendiri,
yang tidak akan ada seandainya tidak ada Pangeran Siddharta.
BEBERAPA
JENIS WATAK
Batin
manusia amat dipengaruhi jasmaninya. Jika dibiarkan berperan semaunya dan
melakukan pikiran yang tidak baik, maka akan mampu menciptakan kehancuran dan
bahkan menyebabkan pembunuhan. Sebaliknya jika batin diliputi oleh pikiran yang
baik dapat menyembuhkan jasmani yang sedang sakit. Jika batin dipusatkan pada
pikiran yang baik dengan mengembangkan usaha benar dan pengertian yang benar,
maka hasilnya tidak terbatas. Jadi batin yang bersih dan pikiran yang baik
membuat hidup menjadi sehat dan santai.
Dr. Bernard
Grad dari Mcgill University di Montreal melakukan suatu percobaan dengan susah
payah yaitu jika seseorang penyembuh jasmani memegang sebotol air yang tertutup
rapat dan air ini disiramkan ke bibit jelai maka akan tampak menyolok bahwa
bibit-bibit tersebut tumbuh melebihi yang lain. Ini merupakan fakta yang
mengejutkan karena jika pasien penyakit jiwa atau syaraf memegang sebotol air
lalu menyiramkan ke bibit maka pertumbuhannya menjadi terganggu.
Kesimpulan
Dr. Grad adalah ada suatu faktor X atau energi yang mengalir dari badan manusia
yang mampu mempengaruhi pertumbuhan tanaman atau binatang. Keadaan batin
manusia mempengaruhi dirinya. ‘Energi’ yang belum diakui tersebut mempunyai
dampak luas bagi Ilmu Pengobatan, dari sifat-sifat penyembuhan sampai pada
percobaan laboratorium, kata Dr. Grad.
Sebagaimana
ditemukan olehnya bahwa batin mampu mempengaruhi benda, maka tidak sulit untuk
menyimpulkan bahwa batinpun mampu mempengaruhi batin.
Jasmani
kita bisa berada dalam kesehatan yang amat baik, namun batin sakit, digerogoti
oleh penyakit yang berupa lobha, dosa dan moha serta berbagai pesona yang
menyesatkan. Sebagian besar penyakit manusia berasal dari batinnya. Batin tidak
saja menjadi penyebab penyakit melainkan juga menyembuhkannya. Pasien yang
optimis lebih banyak mempunyai harapan sembuh daripada pasien yang pesimis.
Catatan keyakinan pada penyembuhan menunjukan bahwa cara inilah yang
menyembuhkan penyakit organis secara mendadak.
Batin amat
peka dan merupakan gejala yang ruwet sehingga tidaklah mungkin kita temukan dua
orang yang sama batinnya. Pikiran manusia diterjemahkan melalui kata dan
perbuatan. Pengulangan kata-kata dan perbuatan menumbuhkan kebiasaan dan
akhirnya membentuk watak. Watak adalah hasil dari kegiatan yang dijuruskan oleh
pikiran, oleh sebab itu watak manusia berbeda-beda. Ahli Ilmu Jiwa seperti Carl
G. Yung mengatakan ada dua tipe, introvert dan exstravert, yaitu orang yang
lebih suka memperhatikan diri sendiri daripada orang lain serta orang yang
lebih suka memperhatikan hal-hal yang ada di luar dirinya.
Jalan ke
arah pembersihan batin (Visudhi Magga) menunjukan enam tipe watak (carita) yang
meliputi banyak hal yang tidak berarti. Ada beberapa yang condong ke-nafsu
keinginan, kebencian, kebodohan batin, keyakinan, kecerdasan dan keraguan.
Karena adanya watak yang berbeda-beda maka subyek meditasinya pun disesuaikan
(kammatthana). Orang menjumpai kammatthana ini disebutkan satu demi satu pada
Kitab Suci Pali, khususnya mengenai kotbah Sang Buddha. Petunjuk tentang Jalan
menuju Pembersihan Batin, (Visuddhi Magga) ada empat puluh macam. Mereka
benar-benar merupakan resep obat bagi berbagai kekacauan batin manusia.
Di dalam
kitab Majjhima Nikaya, salah satu dari lima Kitab Tipitaka asli yang berisikan
petunjuk-petunjuk Sang Buddha, ada dua di antaranya (no 61 dan 62) berisikan
nasehatNya kepada Rahula sewaktu mengajarkan Dhamma. Semuanya berisikan tentang
meditasi. Pada wejangan yang ke 62 kepada Rahula, yang saat itu baru berusia
delapan belas tahun, menarik sekali untuk diperhatikan bahwa Sang Buddha
memberikan tujuh macam meditasi, yang intinya sebagai berikut :
‘Kembangkanlah
meditasi cinta kasih (metta), maka itikad jahat akan lenyap.
Kembangkanlah
meditasi belas kasihan (karuna), maka kekejaman akan lenyap.
Kembangkanlah
meditasi simpati (mudita), maka antipati (ketidak senangan terhadap
keberhasilan orang lain) akan lenyap.
Kembangkanlah
meditasi keseimbangan batin (upekkha), maka kebencian akan lenyap.
Kembangkanlah
meditasi dengan objek yang menjijikan (asubha), maka nafsu keinginan akan
lenyap.
Kembangkanlah
meditasi pada objek ketidakkekalan (anicca sañña), Rahula; dengan demikian maka
kesombongan diri atau ke-Akuan (asmi - mana) akan lenyap.
Kembangkanlah
meditasi pada objek yang keluar masuknya nafas (anapana sati), Rahula,
perhatian pada keluar masuknya nafas ini bila dilatih dengan sungguh-sungguh
dan teratur banyak memberi manfaat.
Sang Buddha
tidak hanya menganjurkan kepada orang lain untuk melatih meditasi, akan tetapi
Beliau sendiri telah terbiasa melakukannya untuk menciptakan suasana damai,
tentram (ditthadhamma sukha vihari). Pada suatu waktu Sang Buddha bersabda :
‘Wahai para Bhikkhu, Aku akan menyendiri selama tiga bulan. Yang menemuiKu
hanyalah yang mengantarkan makanan dan minumKu’. ‘Baik Yang Mulia’, jawab para
Bhikkhu. Setelah tiga bulan Sang Buddha bersabda sebagai berikut :
‘Wahai para
Bhikkhu, jika ada seseorang dari ajaran lain bertanya kepadamu Meditasi apa
yang sering dilakukan oleh Samana Gotama selama musim hujan, maka jawablah
dengan mengatakan ‘Sang Buddha sering menghabiskan waktu selama musim hujan
dengan meditasi keluar dan masuknya napas’. ‘Dengan meditasi ini Aku
mengeluarkan dan menarik napas dengan penuh perhatian. Orang yang berkata benar
harus mengatakan; perhatian benar terhadap keluar dan masuknya napas merupakan
cara hidup Sang Tathagata’.
Kita tidak
perlu dan tidak mungkin menguasai empat puluh subjek meditasi. Yang penting
adalah memilih salah satu di antaranya yang sesuai dengan dirinya. Akan sangat
membantu jika mendapat bimbingan dari orang yang sudah terlatih dalam meditasi,
buku-buku tentang meditasi juga akan dapat membantu. Sesungguhnya dalam hal ini
kita harus dengan jujur mengenali watak sendiri, sebab bila tidak, kita tidak
akan mampu memilih subjek meditasi yang tepat. Begitu pilihan telah diambil, kita
harus tekun melatih diri dengannya. Meditasi adalah suatu ‘usaha yang dilakukan
diri sendiri’.
Jika sibuk
dengan urusan duniawi, kita tidak akan mudah memisahkan diri dan menyendiri di
tempat yang sepi untuk waktu tertentu melakukan meditasi dengan serius setiap
hari. Namun jika ada kemauan maka akan terdapat jalan. Pada waktu pagi hari
atau sesaat menjelang tidur atau kapan saja jika batin telah siap, walaupun
sebentar, kita menyatukan pikiran dan meningkatkan konsentrasi.
Jika kita
mengembangkan perenungan yang tenang setiap hari maka kita akan mampu
mengerjakan tugas kita dengan baik, dan lebih efisien. Kita mempunyai
keberanian untuk menghadapi kesulitan, mudah puas dan lebih mudah berhasil.
Cukup berharga untuk dicoba, namun kita harus cukup sabar, percaya diri dan
mantap. Jika memungkinkan, meditasi harus dilakukan dengan teratur dan cukup,
dan hendaknya jangan mengharapkan hasilnya dengan cepat. Perubahan kejiwaan
tibanya perlahan-lahan.
LATIHAN
TIGA UNSUR
Diperlukan
disiplin bagi kita di dalam berkata dan berbuat sebelum melatih batin dengan
meditasi yang bertujuan menumbuhkan dan memperbaiki moral. Ini disebut latihan
kebajikan (sila sikha). Tiga faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan kode
hidup (sila) Agama Buddha, yaitu Ucapan Benar, Perbuatan Benar dan Daya Upaya
Benar. Siswa meditasi yang berusaha dengan tekun mentaati sedikitnya Lima
Pantangan (Pancasila) yang terdiri dari tidak membunuh, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak berbohong dan tidak makanan dan minuman yang memabukkan. Pada
latihan meditasi siswa diharapkan tidak melibatkan diri pada hubungan seks dan
memelihara kemurnian diri.
Moralitas
(sila) ini merupakan batu loncatan pertama, pangkal berpijak umat Buddha,
merupakan fondasi untuk mengembangkan batin. Orang yang ingin menekuni meditasi
harus mengembangkan cinta kasih dan kebersihan batin yang mempengaruhi
kehidupan batin dan membuatnya tenang. Pencari ketenangan batin selalu berusaha
menjauhkan diri dari keterlibatan nafsu atau melenyapkannya. Inilah sikap
pertapa yang benar. Ia berpikir : ‘Biarlah orang berbuat jahat, saya tidak akan
terpengaruh, saya tidak akan mencelakakan orang lain, biarpun orang lain
berbuat sebaliknya. Biarlah orang lain mencuri tetapi saya tidak; biarlah orang
lain berkehidupan tidak suci, namun saya harus hidup suci, biarlah orang lain
terlibat kata-kata yang kasar, memfitnah dan membuat gosip, namun saya hanya
akan berbicara yang membawa kebaikan, dapat diterima oleh telinga, penuh kasih,
menyenangkan untuk didengar, tidak ada kesalahan, berharga untuk diingat, tepat
pada waktunya, tepat mengenai persoalannya, saya tidak mau berkeinginan,
biarlah orang lain bergairah pada sesuatu yang tidak berharga/pantas, namun
saya akan mendambakan secara batin apa yang baik. Penuh semangat, rendah hati, tidak
ragu terhadap apa yang benar, jujur, damai, berguna, pemurah, selalu benar dan
adil dalam berhubungan dengan apapun juga. Saya akan selalu sadar dan bijak
terhadap semua kenyataan sepanjang masa, dan tidak akan goyah terhadap sesuatu
yang mudah lenyap dan tidak akan melekat padanya. Orang seperti itu tidak akan
pernah berlaku sebagai budak atau seekor domba yang tidak mempunyai pikiran.
Sila, kode
moral yang dikemukan oleh Sang Buddha bukan suatu urutan lapangan yang bersifat
kaku tetapi lebih tepat merupakan suatu anjuran untuk berlaku baik – suatu
sikap hidup penuh tekat baik demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Prinsip moral ini mengarah kepada suatu sikap masyarakat yang aman dengan
menganjurkan persatuan, keharmonisan dan saling pengertian antar manusia.
Kelakuan
yang baik akan membantu membentuk konsentrasi. Tiga faktor terakhir dari Jalan
Mulia yakni Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar merupakan
bagian dari Samadhi. Ini disebut latihan berkonsentrasi (samadhi sikha).
Dengan
selalu meningkatkan kebajikan, ia melatih mengembangkan batin. Dengan duduk
dalam ruangan tertutup, di bawah pohon, di alam terbuka, atau di manapun, siswa
meditasi memantapkan perhatiannya kepada suatu objek meditasi dan dengan usaha
yang tiada hentinya membersihkan diri dari segala kekotoran batin sehingga
dengan bertahap akan memperoleh kedalaman konsentrasinya.
Konsentrasi
yang tinggi dan dalam merupakan alat untuk mendapatkan kebijaksanaan dan
Pandangan Terang. Kebijaksanaan terdiri dari Pandangan Benar dan Pikiran Benar,
kedua faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ini disebut latihan
kebijaksanaan (pañña sikkha). Jalan Tengah yang terdiri dari Sila, Samadhi dan
Panna di dalam kitab Ajaran Sang Buddha disebut ‘Latihan Tiga Unsur’
(Tividha-sikkha). Tidak satupun dari mereka merupakan akhir dari diri sendiri,
setiap bagian merupakan satu tujuan pencapaian. Tidak satupun dapat berfungsi
tanpa tergantung pada faktor lain. Bagaikan sebuah pot yang berkaki tiga yang
langsung terbalik jika salah satu kakinya putus, maka demikianlah hubungan dari
ketiga unsur di atas. Mereka selalu bekerja sama dan saling menunjang. Kelakuan
baik akan menguatkan konsentrasi yang akan membawa banyak manfaat. Konsentrasi
pada gilirannya pada kebijaksanaan yang akan membantu kita melenyapkan
pandangan salah dan dapat memandang kehidupan sebagaimana adanya, artinya dapat
melihat kehidupan dan segala yang ada bergerak timbul dan lenyap (udaya-vaya).
Dengan proses bertahap melalui pengalaman dan latihan dan pengalaman yang bertahap,
ia membuang semua kotoran yang ada di dalam dirinya, mencabut seluruh akarnya
dan memperoleh kebebasan yang baginya berarti pengalaman yang hidup dengan
berakhirnya tiga akar kejahatan : lobha, dosa dan moha yang mengotori batin
manusia. Ketiga akar ini harus dilenyapkan dengan melatih diri dengan
menjalankan Sila, Samadhi dan Pañña.
Pada akhir
pembersihan diri ia mencapai di mana cahaya Nibbana mulai terserap, keadaan
hening di luar kata-kata, di luar perbuatan, namun damai mutlak, tidak akan
goyah oleh pikiran yang dikotori oleh nafsu, sesuatu yang pasti dan mantap,
gemilang luar biasa, kebahagiaan dari keheningan yang mendalam, suatu kepuasan
terlepas dari beban, kelegaan, kebahagiaan yang amat dan bersih yang tiada
persamaannya, yaitu Kebenaran Mutlak. Itulah mahkota dari kehidupan meditasi,
hasilnya sangat besar. Dengan hasil ini maka semua kelahiran, kelapukan dan
kematian dihentikan dengan total, kehidupan suci telah dicapai dan telah
selesai apa yang harus dikerjakan, dan kata-kata tiada lagi punya arti.
Tampaklah
di sini bahwa Sila, Samadhi dan Pañña bukan merupakan sifat yang terpisah,
namun justru merupakan bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan
Jalan Meditasi seperti terurai di atas.
PELAKSANAAN
PERHATIAN BENAR.
Apakah meditasi
itu? Untuk apa orang bermeditasi dan apa manfaatnya? Pertanyaan ini telah
dijawab. Mari kita dekati prosedur khusus pelaksanaan meditasi.
Saya
anjurkan untuk membicarakan satu segi yang penting dari meditasi Buddhis, yaitu
Pelaksanaan Perhatian Benar atau Satipatthana. Kata patthana adalah singkatan
dari upatthana yang arti harfiahnya ‘mendekatkan pada batin’, yaitu tetap
sadar, tetap teguh, melaksanakan atau menumbuhkan. Untuk menumbuhkan daya
kesadaran terhadap objek tertentu dan menghidupkan peranan dan mengarahkan
kemampuan mengawasi, kemampuan kekuatan, faktor penerangan dan cara
berkesadaran, semua ini merupakan pembentukan perhatian benar.
Petunjuk
mengenai pembentukan Perhatian Benar (Satipatthana Sutta) yang dapat dikatakan
sebagai Ajaran paling penting yang pernah diberikan sekitar 2500 tahun yang
lalu oleh Sang Buddha Gotama untuk melatih, menetapkan, memurnikan, dan
menyeimbangkan batin, tampil sebanyak dua kali di Kitab Suci Buddhis. Sebagai
pembukaan yang terdapat di buku tersebut tentang latihan ini, jelas sekali
disebutkan bahwa Satipatthana merupakan satu-satunya cara/jalan (ekayano maggo)
untuk membersihkan batin, melenyapkan penderitaan, untuk mencapai Jalan yang
benar serta Nibbana, itulah Satipatthana, pelaksanaan Perhatian Benar’.
Empat
Pelaksanaan Perhatian Benar.
Jasmani
(Kayanupassana).
Perasaan
(Vedananupasana).
Gerak
pikiran (Cittanupassana).
Objek-objek
batin (Dhammanupassana).
Yang paling
pokok di sini adalah Perhatian dan pengamatan (anupassana).
Sebagaimana
telah disebutkan keadaan perhatian yang tenang dilakukan bersama ketiga faktor
terakhir dari Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu Usaha Benar, Perhatian Benar
dan Konsentrasi Benar. Ini merupakan Tiga Jalur dari kekuatan tali yang saling
menjalin dan menunjang. Perhatian Benar adalah terkuat sebab memegang peran
utama dalam usaha mencapai ketenangan maupun ketajaman pandangan. Perhatian
Benar merupakan suatu kerja tertentu dari batin karena merupakan faktor batin.
Tanpa ada faktor dari perhatian yang bernilai tinggi maka orang tidak dapat
membedakan objek hasil pencerapan, tidak dapat melihat dan menyadari dengan
jelas tingkah lakunya sendiri. Disebut Perhatian Benar karena mampu
menghindarkan kesalahan arah perhatian dan menghindarkan batin dari perhatian
terhadap sesuatu yang tidak baik serta menjaga agar siswa selalu berada pada
jalan benar ke arah pembebasan, kedamaian dan kebersihan batin.
Perhatian
Benar mempertajam kemampuan mengamati dan mendukung cara berpikir dan
berpengertian benar. Cara berpikir dan mempertimbangkan yang teratur oleh
Perhatian Benar. Petunjuk-petunjuk latihan memperlihatkan bahwa siswa meditasi
menjadi sadar akan gerak pikirannya, siaga mengawasi dan menangkap setiap gerak
pikiran, tidak perduli yang bersifat baik ataupun buruk, terpuji atau tidak.
Semua petunjuk mengingatkan kita kepada ketidakacuhan dan lamunan serta selalu
mendorong agar batin kita tetap siap. Sebenarnya siswa yang rajin akan melihat
dan menyadari bahwa sekedar membaca dan menyadari kembali segala petunjuk
terkadang membuatnya sadar dan waspada, rajin dan serius. Tidak perlu dikatakan
bahwa Perhatian Benar selalu diusahakan oleh orang yang berminat. Kesungguhan
adalah amatlah penting untuk mengembangkan Perhatian Benar ini justru pada
zaman yang membingungkan ini banyak orang menjadi korban dari
ketidak-seimbangan batin.
Perhatian
Benar merupakan alat yang tidak saja membuat konsentrasi menjadi tenang tetapi
juga meningkatkan Pengertian Benar dan Daya Upaya Benar. Ia merupakan faktor
yang amat penting di dalam kegiatan duniawi maupun spiritual. Kini kita telah
melihat bahwa meditasi bukan suatu pelarian, dari kehidupan masyarakat,
melainkan merupakan suatu bentuk batin yang diidam-idamkan.
MEDITASI
DALAM PRAKTEK
Apabila
kita hanya duduk bermeditasi maka kita mampu tanpa hambatan menganalisa secara
serius keadaan diri sendiri, lalu konsep pria dan wanita akan lenyap. Kita
hanya melihat suatu gerak pikiran dan jasmani tanpa inti dari sesuatu yang
bersifat kekal bagaikan sebatang kayu atau suatu keakuan yang tidak dapat
musnah. Dipandang dari sudut ini maka kehidupan bukan dari Barat maupun Timur,
kehidupan merupakan suatu proses yang terlepas dari ikatan kasta, warna kulit,
ras, maupun keturunan maupun ruang. Sebagaimana kata William James, seorang
ahli Ilmu Jiwa terkemuka : ‘jika dua orang bertemu, sebenarnya ada enam orang
yang hadir. Ada seseorang melihat dirinya sebagai dia sendiri melihat dirinya,
ada yang melihat orang lain sebagai orang lain memandangnya dan ada orang yang
memandang sebagai dirinya sesungguhnya’.
Maka
cobalah untuk jujur, dan benar-benar jujur terhadap diri sendiri, dengan
perasaan diri dan pikiran sendiri. Berusahalah melihat sebagaimana adanya dan
bukan pada penampakannya. Semuanya ini tidak dapat dilakukan, kecuali Anda
memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Keterbukaan atau kebebasan menyelidiki
merupakan syarat mutlak dari sistem meditasi Buddhis. Tanpa syarat ini, siswa
pemula tidak akan mampu membuat dasar untuk membangun struktur yang baik sekali
oleh karena kebenaran tersebut bersifat pribadi dan menyangkut perseorangan,
maka tidak satupun petunjuk atau bimbingan mampu mendorong siswa, kecuali bila
ia sudah terbiasa dan terlatih dengan metode pengenalan diri sendiri. Oleh
karena meditasi sangat penting, sebab hanya dengan cara ini kita mampu menyibak
semua rahasia batin.
Petunjuk-petunjuk
mengenai Perhatian Benar menjelaskan teknik untuk mengembangkan batin, untuk
menyelami ketrampilan langsung pada pengalaman nyata dari kehidupan itu
sendiri, untuk mengetahui penyakit abadi batin manusia dan berusaha membebaskan
batin demi memperoleh Kebebasan Mutlak.
Mari kita
meneruskan mengenai perenungan terhadap jasmani (kayanupassana), khususnya
Perhatian Benar terhadap jasmani (anapanasati) atau Perhatian pada masuk dan
keluarnya napas. Meditasi ini telah dikenal dan digemari oleh banyak orang di
seluruh dunia, suatu cara yang amat dianjurkan dan berguna sekali untuk
meningkatkan konsentrasi dan menenangkan batin. Anapanasati ini telah
dilaksanakan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau berjuang di bawah pohon Bodhi
untuk mencapai Penerangan Sempurna, dan Sang Buddha sangat menekankan akan
manfaatnya yang luar biasa. Meditasi yang demikian digambarkan sebagai kondisi
yang penuh kedamaian, luar biasa, dan membahagiakan hidup (anto ceva panito ca
asacaneko ca sukho ca viharo). Harus diingat bahwa ‘anapanasati’ bukan
merupakan suatu latihan pernapasan untuk memperoleh kesehatan jasmani dan sama
sekali tidak sama dengan ‘pranayama’ seperti yang diajarkan dalam Yoga Hindu.
Tempat yang
cocok yang dianjurkan bagi pelaksanaan meditasi adalah di hutan, di bawah pohon
atau tempat menyendiri, di alam terbuka atau di tempat lain yang sesuai.
Carilah tempat yang sunyi jika mungkin, jauh dari keramaian duniawi. Kamar
tidur atau kamar khusus Anda sangat beruntung jika bisa mempunyainya, dapat
menjadi tempat yang tersendiri dan bersifat pribadi.
Untuk
meditasi ini diperlukan sikap duduk. Duduklah tegak lurus dengan kaki bersila,
namun lemas; tidak kaku dan penuh kewaspadaan serta terarah. Kadang kala kaki
terasa kaku jika duduk di atas ubin yang keras. Ini akan mengganggu
konsentrasi. Maka pilihlah sikap tubuh yang nyaman. Anda dapat duduk di kursi
dengan sandaran yang ditegakkan. Namun bagi jenis meditasi ini yang tidak sama
dengan lain, tulang belakang badan dan kepala harus tegak, seimbang dan lurus.
Anda harus duduk dengan nyaman, namun tidak bersandar ataupun berbaring,
kecuali jika kantuk datang mengganggu. Kedua tangan harus diletakkan lemas di
atas paha dan telapak tangan kanan harus diletakkan di atas tangan kiri yang
terbuka ke atas. Kedua mata dapat setengah terbuka ataupun ditutup rapat, tanpa
menegangkannya. Kedua bibir tertutup rapat dengan lidah menyentuh
langit-langit. Semua ini menunjukkan bahwa orang yang latihan meditasi harus
menyatukan badannya yang merupakan faktor pendorong kemampuan konsentrasi.
Usahakan
agar badan tidak bergerak, batin tetap waspada dan awas. Badan dan batin harus
teguh bagaikan busur dan juga sangat serasi. Meditasi sungguh-sungguh merupakan
usaha yang berazaskan praktek. Segaimana seekor kura-kura yang melindungi
anaknya di dalam rumahnya, demikianlah siswa meditasi menjaga indrianya dan
mengatasi dorongan seks dengan perhatian yang penuh dan benar, menyimpan
seluruh tenaganya untuk mengembangkan batinnya. Usahakanlah melakukan
meditasimu secara teratur dan penuh perhatian, jika mungkin pada saat-saat yang
sama setiap hari, sebab faktor-faktor kejiwaan ini menyukseskan meditasimu.
Dalam
melatih meditasi keluar dan masuknya napas perlu untuk menyadari gerak napas
ini. Arus napas yang normal harus diawasi. Bernapas menenangkan badan dan
mempersiapkannya untuk meditasi yang dalam dari apa yang dituju adalah kekuatan
konsentrasi dan ketenangan. Sangat menarik untuk diketahui bahwa para ahli ilmu
jiwa modern mengakui nilai-nilai dan pentingnya perhatian pada pernafasan ini
untuk meredakan jasmani dan rohani. Oleh sebab itu meditasi seperti ini
sesungguhnya adalah suatu bagian yang amat praktis dalam kehidupan dan bersifat
menyembuhkan. Ia tidak sekedar untuk membebaskan diri dari segala kotoran batin
dan memperoleh kesucian dan kedamaian batin.
Pada
meditasi pernapasan ini hal yang hakiki adalah keadaan yang selalu waspada
dalam menyadari jalan napas. Amatlah penting untuk selalu waspada, selalu
sadar, penuh perhatian (sati) dan tanggap (anupassana) akan keempat jenis
meditasi Perhatian Benar. Tenangkanlah diri, tinggalkan dunia yang hiruk pikuk
dan penuh ketegangan. Jika anda sedang melatih meditasi ini, sewaktu melakukan
penarikan nafas di tiga bagian yang pertama, bayangkanlah sedang memasukkan
segala yang bajik di sekitarmu, dari alam kosmos. Sedang saat mengeluarkan
ketiga nafas yang pertama, bayangkanlah seolah Anda melempar semua yang tidak
bajik dari pikiran. Demikian cara Anda mulai memasukkan kerang meditasi ke
dalam batin.
PELAKU-PELAKU
DI ATAS PENTAS
Kini
mulailah meditasi dengan memperhatikan masuk dan keluarnya napas
(anapanassati). Gerak napasmu harus wajar dan tidak dipaksakan. Bernapaslah
dengan tenang dan jangan ada usaha sedikitpun untuk mengontrol napas.
Biarkanlah prosesnya berjalan secara bebas di bawah cahaya kesadaran penuh.
Siswa
meditasi bernapas keluar masuk dengan kesadaran penuh, menyadari gerak napas
dan bukan dirinya sendiri. Tujuan tunggal adalah memusatkan batin pada napas
dengan meniadakan pikiran yang lain dan tetap mengarahkan perhatian batinnya ke
situ saja, sebab apa yang berada di daerah ‘tepi’ menembusi daerah ‘fokal’, ia
akan sulit untuk berkonsentrasi dan menjadi liar. Amat membantu bagi siswa
pemula untuk mencatat secara membatin tentang masuk dan keluar napas saat
bermeditasi. Jika anda mengalami gangguan dalam menetapkan perhatian pada
napas, hitunglah ‘satu’ pada saat masuknya napas dan ‘dua’ pada saat napas
keluar, catatlah ‘satu’ pada akhir masuknya napas dan ‘dua’ pada akhir hembusan
dan keluarnya napas dan begitu pula seterusnya. Jangan mencatat kurang dari
‘lima’ atau lebih dari ‘sepuluh’, kalau tidak perhatian dapat menyeleweng dari
napas yang sedang dihitung. Hentikanlah menghitung, jika sudah tertuju hanya
pada napas.
Jika Anda
melakukan perhatian pada masuk dan keluarnya napas, pusatkanlah perhatian Anda
pada titik di mana angin napas menyentuh lubang hidung atau bibir atas, dan
perhatikanlah bagaimana napas itu sedang keluar dan masuk, tapi jangan
mengikuti napas ke dalam paru-paru atau saat keluar. Jangan ada suatu perubahan
dari gerak napas itu. Ia harus menjadi tanpa usaha sama sekali, napas itu
hendaknya bekerja sewajarnya. Perhatikanlah titik pusat Anda pada pintu hidung
dan sadarilah seluruhnya tiap lalu lintas masuk dan keluarnya napas. Pada saat
napas menjadi amat lembut dan halus hingga tidak terasa, anda tak lagi mampu
menyadari napas, namun jangan dikira bahwa pikiran Anda bersih. Ini tak
mungkin, sebab tak bisa dipikirkan bahwa batin terbebas dari pikiran. Di saat
Anda tidak memperhatikan napas maka Anda akan menyadarinya dan itu pasti bukan
batin yang kosong.
Bilamana
pikiran anda berkeliaran menuju bentuk-bentuk pikiran, maka sadarilah mereka,
namun jangan melibatkan diri secara emosi maupun menurut akal; jangan
mengomentari, menyalahkan, menilai maupun memujinya, tetapi kembalikan
perhatian Anda pada gerak napas yang alamiah itu. Batin Anda dapat diliputi
oleh pikiran yang jahat. Ini sudah dapat diduga. Di dalam meditasilah Anda
dapat mengerti cara kerja batin. Sadari saja pikiran apa yang baik dan yang
tidak baik, yang buruk maupun yang indah, yang jahat maupun yang berguna.
Janganlah senang dengan pikiran yang baik dan sebaliknya janganlah murung
dengan yang jahat. Semua ini datang dan mereka bertindak selaku pemain di atas
pentas. Jika anda mendengar suara, sadarilah dan kembalikan perhatian pada napas.
Begitu pula dengan bau, rasa, sentuhan (yang mungkin Anda alami dalam batin),
rasa sakit, bahagia dan sebagainya. Perhatikanlah pikiran dengan tenang dan
tidak terikat.
Perhatian
Benar berarti mengamati apapun yang terjadi di dalam diri dan kebiasaan diri,
tanpa menilai baik buruknya, kita hanya sekedar mengawasi dan menyadarinya saja
dengan kesadaran yang nyata kecuali bila Anda terlibat pada pikiran-pikiran
tersebut. Sungguh-sungguh menggunakan sepenuhnya konsentrasi pada apa yang
dilakukan dan dialami.
Bisa juga
Anda memperoleh bayangan batin yang dihasilkan ingatan dan khayalan, seperti
cahaya, warna, bentuk dan sebagainya. Jangan terpengaruh dengan mengira bahwa
inilah kehebatan batin. Jauh dari itu. Semua ini adalah rintangan yang
menghambat kemajuan. Waspadalah terhadap semua bayangan ini tanpa batin harus
terlibat, kembalikan segera perhatian pada pernapasan. Orang memerlukan banyak
kesabaran dan usaha untuk dapat melepaskan diri dari hasil-hasil sampingan
demikian dan kembalilah menyibukkan diri pada tugas sesungguhnya dalam
melaksanakan latihan konsentrasi. ‘Betapa kuat keharusan usaha batin dan
kesabaran untuk mempu mencapai Kebersihan Batin dan Kesempurnaan melalui
Samatha Vipassana, ketenangan dan Pandangan Terang. Hanya seorang siswa meditasi
yang murnilah yang mengetahuinya’.
Wajar bagi
manusia penghuni bumi ini untuk terlibat pada kejahatan dan pikiran yang
keliru. Napsu memasuki pikiran dan batin yang tidak terlatih, bagaikan hujan
yang merembes atap rumah yang belubang. Kobaran napsu keinginan amat menggangu
keinginan ini, jika ditunjang oleh sebab, dia akan berwujud sebagai luapan.
Oleh sebab
itu, setiap orang harus berusaha dan mengembangkan pikiran yang baik serta
kemungkinan yang tidak terbatas yang terselubung dalam sifat manusia. Untuk
mengusahakan ini, diperlukan latihan ketenangan (samadhi-sikkha). Hanya dengan
latihan secara bertahap seseorang dapat memeriksa batinnya dan menguasainya
(cittam vasamvattati) dan tidak menjadi budak batin dan di bawah kehendaknya
(cittasa vasena vattati). Dengan latihan semacam itu dalam batin, orang dapat
membebaskan diri dari pengaruh objek indriya.
Sejak
kemajuan duniawi, keuntungan dan faedahnya, sebagian besar tergantung atas
usaha kita sendiri. Jelaslah anda harus berusaha lebih giat dan keras untuk
melatih batin dan dengan begitu akan mengembangkan yang terbaik yang ada pada
diri anda.
Karena
latihan batin memerlukan usaha yang giat, keras dan kejujuran pribadi, maka
lakukanlah sekarang juga.
‘Jangan
biarkan hari-harimu berlalu bagai bayang-bayang awan, yang tak meninggalkan
bekas untuk diingat’.
NASEHAT
BAGI SISWA MEDITASI
Kitab Suci
Buddhis penuh dengan uraian tentang keluar masuknya napas (anapanassati) dan
tak mengherankan bahwa sewaktu Sang Buddha membimbing Rahula, petunjuk rinci
diberikan. Marilah kita kembali pada Majjhima Nikaya, petunjuk No. 62, Maha
Rahulavada Sutta :
‘Seorang
siswa, Rahula, setelah pergi ke hutan di bawah pohon, atau di tempat yang sepi,
duduk bersila dan menegakkan badan, penuh kewaspadaan pada perhatian. Disertai
perhatian ia menarik napas, disertai perhatian penuh ia menarik napas dan
mengeluarkan napas. Sewaktu menarik napas panjang, ia menyadari ‘saya menarik
napas panjang’ di saat mengeluarkan napas panjang ia mengetahui ‘saya
mengeluarkan napas panjang’. Sewaktu menarik napas pendek, ia menyadari ‘saya
menarik napas pendek; sewaktu mengeluarkan napas pendek, ia menyadari ‘saya
mengeluarkan napas pendek’; ‘penuh perhatian saya menarik napas’ dengan
demikian ia melatih dirinya. ‘Dengan menyadari seluruh gerak napas saya
mengeluarkan napas’ demikianlah ia melatih dirinya.
‘Dengan
menenangkan seluruh gerak napas, saya menarik napas’ demikianlah ia melatih
dirinya. ‘Dengan menenangkan seluruh gerak napas saya mengeluarkan napas’,
demikian ia melatih dirinya.
‘Di saat
mengalami kegiuran, saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di
saat mengalami kegiuran, saya mengeluarkan napas’.
‘Di saat
mengalami berkah, saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat
mengalami berkah, saya mengeluarkan napas’.
‘Di saat
mengalami gerak batin (perasaan dan pencerapan), saya menarik napas’,
demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat mengalami bentuk-bentuk batin, saya
mengeluarkan napas’.
‘Di saat
menenangkan gerak batin, saya menarik napas’ demikianlah ia melatih dirinya.
‘Di saat menenangkan formasi batin, saya mengeluarkan napas’.
‘Di saat
mengalami pemusatan batin yang meningkat (Jhana), saya menarik napas’, demikian
ia melatih diri. ‘Di saat mengalami pemusatan batin yang meningkat, saya mengeluarkan
napas’.
‘Di saat
mencapai puncak batin yang menyenangkan dengan Samatha, begitu juga Vipassana,
saya menarik napas’, demikianlah ia melatih diri. ‘Di saat saya mencapai puncak
batin yang menyenangkan, saya mengeluarkan napas’, demikian ia melatih dirinya.
‘Dengan
batin terpusat sepenuhnya pada napas, saya menarik napas’, demikianlah ia
melatih dirinya. ‘Dengan batin terpusat sepenuhnya pada napas, saya
mengeluarkan napas’, demikian ia melatih diri.
‘Di saat
membebaskan batin (dari segala rintangan), saya menarik napas’, demikianlah ia
melatih dirinya. ‘Di saat membebaskan batin, saya mengeluarkan napas’, demikian
ia melatih diri.
‘Di saat
menyaksikan ketidak-kekalan (jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk
pikiran, kesadaran), saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di
saat menyaksikan perenungan ketidak-kekalan, saya mengeluarkan napas’,
demikianlah ia melatih diri.
‘Di saat
menyaksikan perenungan terhadap ketidak-terikatan, saya menarik napas’,
demikian ia melatih dirinya. ‘Di saat menyaksikan perenungan terhadap
ketidak-terikatan, saya mengeluarkan napas’, demikianlah ia melatih diri.
‘Di saat
menyaksikan perenungan terhadap penghentian, saya menarik napas’, demikian ia
melatih dirinya. ‘Di saat menyaksikan perenungan terhadap penghentian, saya
mengeluarkan napas’, demikian ia melatih diri.
‘Di saat
menyaksikan kebebasan, saya menarik napas’, demikian ia melatih dirinya. ‘Di
saat menyaksikan kebebasan, saya mengeluarkan napas’, demikianlah ia melatih
diri.
‘Dengan
memperhatikan keluar masuknya napas, Rahula, bila dikembangkan dan sering
dilaksanakan, akan membuahkan hasil dan bermanfaat sekali. Dan bila perhatian
terhadap keluar masuknya napas yang terakhir dapat disadari dengan jelas,
bahkan tidak diketahui. ‘Tepi viditva nirujjhanti no avidita ‘ti.’
Ada yang
berpendapat bahwa latihan meditasi seperti ini bodoh dan tak bertujuan. Biarlah
mereka berkata semuanya. Biarlah ahli filsafat berfilsafat, ahli pidato
meneruskan pidatonya; anda tetap melakukan meditasi dengan melatih perhatian.
Bahkan Sang Buddha pernah dicela, dalam usaha Beliau melakukan kehidupan
‘menjauhi orang banyak yang selalu berusaha memuaskan kobaran keinginan
duniawinya’. Dalam Digha Nikaya hal. 38, bab III ditemukan celaan pertapa
Nigrodha terhadap Sang Buddha: ‘Pertapa Gotama menggoyahkan pandangan terangnya
dengan kebiasaan menyendiri. Beliau tak hadir pada pertemuan-pertemuan
pengarahan. Beliau tak siap untuk berbincang-bincang. Beliau hanya menyibukkan
diri dengan urusan yang tak penting. Bagaikan sapi yang bermata satu yang
selalu menghindarkan dirinya dan hanya menjauh ke tepi hutan, demikian juga
dengan pertapa Gotama itu’.
Sebenarnya
Sang Buddha tidak selalu menyendiri. Beliau menjelajahi kota dan pedalaman di
India dengan menyebarkan cinta kasih beliau. Dan sewaktu-waktu Beliau
menyendiri dengan jangka waktu panjang.
LIMA
RINTANGAN (PANCANIVARANA).
Bila anda
mengembangkan kesadaran dan perhatian benar secara bertahap, maka pemusatan
perhatian pada napas akan bertambah kuat. Maka Anda akan sadar, bahwa
sebenarnya hanya ada napas dan batin yang memperhatikannya, dan tak ada apa-apa
dibalik keduanya tidak ada yang disebut ‘ego’, ‘aku’ atau sesuatu yang bersifat
kekal atau semacamnya. Itulah napas, dan Anda tidak mengalami dua macam proses,
yang ada hanya satu proses, melulu penarikan dan pengeluaran napas yang seperti
ombak laut. Dalam arti paling tinggi adalah : terdapatnya meditasi (tentang
kesadaran dan perhatian), namun tidak ada pelaku di baliknya. Apabila Anda
dapat mencapai tingkatan pengertian ini pada pemusatanmu, berarti bahwa latihan
pemusatanmu sudah sangat tinggi dan bersamaan dengan hal ini, muncullah
kebahagiaan yang menggiurkan dan kedamaian batin yang amat mengesankan, suatu
pengalaman yang sebelumnya tak pernah Anda alami.
Mungkin keadaan
seperti ini hanya sebentar dan pikiran ruwet kembali lagi. Ia akan berkelana
pula, dan akan terasa sulit untuk berkonsentrasi. Anda akan merasa malas atau
ingin tidur, bosan dan gelisah, merasa jemu dengan latihan meditasi. Tidak
mengapa. Memang begitulah cara batin manusia bekerja. Kini Anda mengerti
kelakuan batin melalui pengalaman sendiri dan tidak melalui buku-buku atau apa
yang didengar. Anda harus menumbuhkan kembali kemauan, menetapkan ketekunan,
siap untuk bertempur. Lupakanlah diri sendiri dan suatu saat Anda akan mencapai
tingkat Jhana (dhyana) suatu pengalaman pencerapan penuh pada konsentrasi yang
mendalam dan berhasil melenyapkan segala rintangan. Tahap pemusatan seperti
itu, yang bersifat menenangkan (samatha bhavana) amat perlu dan penting sekali
untuk menumbuhkan Pengertian Benar, penembusan dan memperoleh Pandangan Terang
(Vipassana) untuk mencapai batin yang bersih -- Nibbana.
Banyak
rintangan yang harus dihadapi siswa meditasi, namun ada lima rintangan
khususnya dalam usaha membangun pemusatan batin dan pencapaian Jalan ke arah
kebebasan. Ia disebut ‘Nivaranani’ sebab bersifat menutupi, memotong dan
merusak. Ia menutup pintu kearah kebebasan. Apakah lima rintangan ini? Nafsu
keinginan akan objek indriya yang menyenangkan seperti bentuk yang dapat
dilihat (rupa) dan lain-lain, ingin menyakiti orang lain, kelambanan dan
kemalasan (batin), kekacauan dan kekuatiran, keraguan dan ketidak-pastian.
Batin yang
sudah terisi oleh sifat seperti itu tak akan bisa berhasil melakukan pemusatan
pada objek apapun yang baik. Tanpa Usaha Benar kelima rintangan pengembangan
batin tak dapat diatasi. Fungsi Usaha Benar ini ada empat macam yaitu mencegah,
melenyapkan, mengembangkan dan mempertahankan. Usaha Benar atau juga disebut
Daya Upaya Benar menyajikan sifat :
Mencegah
munculnya pikiran atau itikat jahat yang masih belum muncul.
Melenyapkan
pikiran yang tidak baik yang sedang tampak/muncul.
Menumbuhkan
dan mengembangkan pikiran baik yang belum muncul.
Menunjang
dan menumbuhkan pikiran baik yang sudah ada.
Dengan
pikiran yang tidak benar yang dimaksudkan di sini adalah sebab atau akar yang
menumbuhkan kejahatan seperti keserakahan, kebencian dan kebodohan batin. Semua
kotoran batin yang lain berasal dari tiga akar kejahatan ini, sedangkan yang baik
merupakan lawannya.
Keempat
sifat Daya Upaya Benar merupakan pelengkap dari usaha konsentrasi. Usaha Benar
ini bekerja sama dengan dua faktor secara serentak dalam satu golongan, yakni
Kesadaran dan Perhatian Benar. Usaha dan Daya Upaya benar melenyapkan pikiran
jahat yang menjadi perintang pelaksanaan meditasi, dan meningkatkan serta
mempertahankan sifat batin yang baik yang diperlukan sebagai penunjang
mengembangkan Perhatian Benar.
Apabila
batin siswa melemah, maka tibalah saatnya menumbuhkan kemauan dan semangatnya,
meningkatkan usaha dan mengatasi keengganan dan kemalasan. Kemurungan dan
melemahnya batin serta faktor batin merupakan musuh meditasi, karena bila batin
melemah, maka dayanya pun melemah. Ini mengakibatkan bertambahnya kelemahan, yang
akhirnya menjurus kepada ketidakacuhan.
MENGHINDARI
SESUATU YANG BERLEBIHAN
Mengembangkan
batin dengan usaha sebesar itu bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dalam satu
malam. Ini memerlukan waktu yang lama dan latihan yang teratur bagi batin.
Seorang atlit tidak akan berhenti setelah berlatih dua kali dalam sehari namun
ia terus melakukan program latihan. Keteraturan dalam latihan tanpa berhenti
karena sesuatu yang tidak begitu perlu, merupakan kunci pencapaian kesehatan
jasmani, jika ia hanya melatih dirinya sewaktu hendak berlomba, ia tidak akan
menjadi atlit yang baik. Di dalam hal melatih batin juga demikian – keteraturan
dan kesinambungan merupakan aturan yang harus ditaati.
Jika sedang
melatih batin, orang tak harus berkelahi dengan pikiran yang jahat. Jika hanya
berusaha melawan pikiran yang jahat, kita tidak akan berhasil. Sebagai
gantinya, maka kita harus memperhatikan dan menyadari pikiran jahat yang timbul
dan berusaha melemahkan ketegangan yang ada. Caranya adalah seperti orang yang
sedang berenang. Jika anda tidak menggerakkan otot-otot Anda maka Anda akan
tenggelam. Namun jika Anda berputar-putar, Anda tidak berenang. Seperti juga
orang yang ingin tidur, jika Anda berusaha dengan kuat untuk dapat tidur maka
justru rasa kantuk tidak datang, menambah penderitaan dan kesal di dalam hati.
Seharusnya jangan ada usaha sama sekali untuk tidur. Seharusnya rasa ingin
tidur datang secara wajar dan mencoba meredakan ketegangan otot. Demikan dapat
dikatakan ‘suatu usaha’ tanpa usaha berusaha bersantai dan menyadarinya.
Demikian
juga penyiksaan diri merupakan satu dari dua cara yang ekstrem (yang satunya
berfoya-foya) yang tidak dikehendaki oleh Sang Buddha dan hendaknya dihindari
oleh siswa yang meditasi sebab tidak berguna dan tidak akan membawa kita pada
ketenangan batin apalagi ke Kebijaksanaan. Sia-sia melakukan penyiksaan jasmani
(yang hingga kini masih dilakukan di India) dalam usaha untuk menghentikan
pikiran yang tidak baik yang sedang tumbuh; sebab penyisaan ini hanya akan
menghasilkan kekecewaan dan frustasi. Apabila pikiran sedang kacau, maka
kelemahan dan ketidakacuhan akan timbul pada siswa meditasi. Seluruh latihan
batin harus dilaksanakan secara wajar disertai kesadaran yang mantap; sebab
‘berkobar-kobar saja tanpa kewaspadaan bagaikan berlari-lari di malam yang
gelap gulita’.
Sebagaimana
ditekankan oleh Sang Buddha, segala yang ekstrem harus dihindarkan dimanapun
dan kapanpun jika kita ingin berhasil membebaskan batin dengan pencapaian
Pandangan Terang. Siswa meditasi harus selalu berada pada Jalan Tengah. Juga di
dalam melakukan Daya Upaya Benar, tetaplah berada dalam Jalan Tengah yang sama.
Seorang
penunggang kuda misalnya, memperhatikan kecepatan lari kudanya, begitu
kecepatan lari kudanya tidak seperti dengan apa yang dikehendakinya, maka
ditahannya tali kendali. Sebaliknya jika lari kudanya semakin pelan, maka
dipacunyalah kudanya agar tetap bertahan pada kecepatan yang diinginkannya.
Demikian pula seharusnya di dalam melakukan Daya Upaya Benar itu. Jangan
berlebihan sehingga berkobar-kobar dan juga jangan melemah karena berakibat
kemalasan. Kita harus tetap waspada sebagaimana penunggang kuda tadi.
Apabila
senar tali kecapi kendur, maka nada yang keluar tidak sama dengan iramanya,
namun jika terlalu kencang maka senar akan putus. Bila senar kecapi tidak
terlalu kendur maupun tidak terlalu kencang, maka iramanya akan sesuai dan
dapat dimainkan. Dengan mengerti akan persamaan dari lima faktor yang terpuji
yaitu keyakinan, usaha, perhatian, samadhi dan kebijaksanaan (saddha, viriya,
sati, samadhi dan pañña), maka seharusnyalah kita berusaha mencapai tujuan
dengan keseragaman usaha.
PERHATIAN
BENAR
Dalam
hubungan ini harus diperhatikan bahwa pada kitab suci Agama Buddha perkataan
Perhatian (sati) dapat juga diistilahkan dengan kata lain yang mempunyai arti
sama pentingnya yaitu ‘sampajañña’. ‘Sati sampajañña’ sering tampil dalam kitab
tersebut. Perhatian dan Sampajañña saling bekerja sama yang merupakan jelas
atas kegiatan dan gerak-gerik jasmani. Siswa meditasi yang memperhatikan
gerak-gerik jasmaninya akan selalu menyadari gerak-gerik ini; baik sewaktu
berjalan, berdiri, duduk, maupun sedang merebahkan diri. Seluruh kegiatan diri
secara jasmaniah dilakukannya dengan kesadaran penuh.
‘Sewaktu
berjalan mondar-mandir, sewaktu memandang ke depan maupun ke samping, selalu
disadarinya (sampajaññakari hoti); sedang berpakaian, makan, minum, mengunyah,
menelan, melakukan hajat alamiah; ia selalu menyadarinya dengan penuh; baik
ketika sedang berjalan, duduk, berdiri, berbaring, (sutte), sedang terjaga
(jagarite), berbicara, berdiam diri, ia menyadari sepenuhnya. ‘Sutte’ termasuk
‘sedang berbaring’ namun tegasnya berarti : sedang memasuki keadaan tidur.
Siswa meditasi berbaring dengan perhatiannya kepada Kammatthana, subjek
meditasinya, dengan cara itu ia tertidur dengan tidak terganggu.
‘Jagarite’,
adalah sikap dalam keadaan terjaga, atau sedang bangun : sewaktu terjaga,
pencerapan perhatian berarti langsung mengambil objek ‘kammatthana’, bahkan
sebelum orang membuka mata. Ini berarti bahwa saat-saat lainnya seperti terjaga
dalam keadaan berperhatian (dalam hal ini jangan sampai tidur), sewaktu kita
akan melakukan perhatian dalam keadaan berbaring (karena sakit atau lain
keadaan yang tidak memungkinkan bangkit dari posisi tidur) dan juga di saat susah
tidur; perhatian dan kesadaran seperti ini membantu kita untuk menghadapinya
dengan tenang dan penuh perhatian akan sebab dari ‘sulit tidur’ tersebut.
Dengan ketenangan dan pengertian ini, pada suatu ketika, dengan sendirinya
tidur itu akan terjadi.
Dalam arti
luas, latihan sutte dan jagarite ini dilakukan pada sikap badan apapun, sebab
bisa dilakukan sedang tidur di kursi atau pada saat dia berdiri. Dalam arti
luas, orang tertidur bila tidak berada di bawah kekuasaan kekotoran batin
(kilesa).
Pada pelaksanaan
menyeluruh, ini meliputi kesadaran sepenuhnya yang menandai kekhasan appamada
(selalu sadar). Seperti sabda Sang Buddha : ‘Kotoran batin akan musnah oleh
kewaspadaan orang yang selalu melatih dirinya siang dan malam
(ahorattanusikkhinam) dan yang sungguh-sungguh menginginkan Nibbana.’
Jadi setiap
keadaan maupun saat siswa meditasi harus selalu sadar dan terjaga. Dalam hal
ini bersabdalah Sang Buddha : ‘Wahai para Bhikkhu, Saya tekankan, hal ini
amatlah penting dalam keadaan apapun dan dimanapun, bagaikan garam dalam
masakan’ selanjutnya : Wahai para Bhikkhu, Saya tidak mengenal cara lain yang
bermanfaat begitu besar seperti kesadaran yang membawa berkah luar biasa’.
Kita harus
memahami persoalan Perhatian Benar dan Kesadaran Benar ini (sati sampajañña)
dalam arti yang luas. Memang membahas Empat Usaha Benar yang sebelumnya sudah
dibicarakan, merupakan satu ‘penjagaan’ yang amat baik, Kesadaran dan Perhatian
seperti ini harus disebar ke seluruh situasi (keadaan diri), agar ketenangan
yang diperoleh darinya membuat kita mampu melihat keadaan yang sedang dihadapi
dengan bijak. Namun sebagai bagian dari ‘Jalan Tengah’ itu sendiri pada
waktu-waktu tertentu, kita harus juga melakukan Empat Usaha Benar tadi, bahkan
jenis yang tegar seperti yang disebutkan dalam Vitakkasanthana Sutta, yaitu di
saat kewaspadaan itu sendiri sudah tidak memadai.
Kitab Suci
memberi tahu kepada kita mengenai suatu kisah menarik dari Maha Phussa Thera.
Dengan melatih diri pada Pengertian Benar, beliau selalu mengawasi pikirannya.
Sewaktu sedang berjalan, pikiran jahat muncul pada batinnya, maka langsung
beliau berhenti dan tidak melanjutkan jalannya sebelum pikiran jahat tersebut
lenyap dari batin. Orang yang sering memperhatikan ini akan bertanya-tanya
apakah ia tersesat atau ia kehilangan sesuatu di perjalanan. Akhirnya, dengan
melatih Kesadaran dan Perhatian Benar secara tetap, beliau mencapai apa yang
diidamkannya, memperoleh kebersihan batin dan menjadi Arahat, yaitu orang yang
tanpa noda lagi. Ini menunjukkan bahwa orang-orang dahulu selalu waspada dan
selalu menyadari pikirannya, bukan saja sedang duduk dalam sikap tertentu pada
saat tertentu untuk bermeditasi, namun untuk seterusnya tanpa putus.
SENI
BERSANTAI (THE ART OF RELAXING)
Jika telah
lama duduk bermeditasi, kita melakukan sikap untuk melemaskan otot-otot yang
kaku. Tibalah saatnya untuk melakukan latihan meditasi dengan sikap berjalan.
Lakukanlah dengan perlahan-lahan dan penuh perhatian terhadap gerakan. Pada
saat ini kita tidak perlu untuk memperhatikan masuk dan keluarnya napas, namun
menyadari gerak sedang berjalan itu. Apabila pikiran sedang berkelana,
tujukanlah perhatian kepada gerak yang sedang dilakukan itu tanpa melibatkan
perhatian pada pikiran tersebut. Jika Anda menghentikan gerak, putar balik atau
memandang sekitar, sadarilah dan perhatikanlah. Jika kaki menyentuh pada tanah
yang diinjak atau disentuh pada saat mana timbul sensasi pada batin, sadarilah
itu. Berjalan-jalan merupakan latihan perhatian juga.
Jika kita
sedang melakukan latihan meditasi, berusahalah sadar setiap saat dan di mana
saja : baik sedang duduk, berdiri, berjalan, mengerjakan sesuatu, makan dan
sebagainya selalu dengan perhatian penuh.
Jika kaki
sudah atau sedang penat, bujurkanlah dan gosoklah bagian yang penat dengan
penuh perhatian. Juga dapat beristirahat dengan merebahkan tubuh, dapat
dilakukan akhir meditasi dalam sikap duduk. Baringkanlah tubuh di atas lantai
atau permukaan yang rata dan sedapat mungkin jangan menggunakan bantal atau
penunjang kepala. Lujurkanlah kaki dengan sedikit terbuka dan letakkanlah kedua
lenganmu secara lemas dikedua sisi badan, tutup mata dan jangan membiarkan
pikiran bekerja keras, namun biarkanlah gerak pikiran santai, tetapi tidak
berkelana. Lemaskanlah otot pada seluruh tubuh selama beberapa menit. Dapat
tertidur dengan tenang beberapa saat lamanya, akhirnya dari bersantai ini
timbul kesegaran kembali.
Cara santai
ini dapat dilakukan tidak saja pada latihan meditasi, tetapi juga setiap saat
dirasa perlu dalam kegiatan yang lain.
GADIS YANG
PALING MENARIK – SUATU PERUMPAMAAN
Perhatian
yang terpusat pada gerak dan sikap badan itu sangat membantu di dalam
melenyapkan setiap gerak pikiran yang menggangu. Meningkatkan kemampuan
berkonsentrasi dan mengembangkan perhatian dan kewaspadaan diri. Sang Buddha
memberikan perumpamaan yang amat tepat terhadap pentingnya mengembangkan
kewaspadaan dan kesadaran diri melalui badan :
‘Seandainya,
wahai para Bhikkhu, sekelompok orang sedang mengelilingi seorang gadis penari
dan berkata : alangkah mengagumkan gadis yang paling cantik ini. Lalu gadis
tersebut yang ahli menari dan menyanyi, menari dengan lemah gemulai menampakkan
kecantikan dirinya, menarik khalayak ramai menjadi bertambah banyak yang
berseru-seru amat kagum : betapa mengagumkan, betapa memikat, o gadis cantik
yang sedang menari dan menyanyi!
Kemudian
datanglah seorang yang amat tertarik kepada duniawi, tidak menyukai kematian,
menyenangi segala kesenangan duniawi, dan tidak menyukai apapun yang
menyedihkan, lalu orang berkata kepadanya : Hai, lihat! Ini ada semangkuk
minyak. Engkau harus membawanya kepada gadis yang berada diantara kerumunan
manusia yang berjejal itu. Namun kamu diikuti dari belakang oleh orang yang
membawa pedang terhunus dan siap memenggal kepalamu begitu minyak menetes dari
mangkuk yang kau bawa ini.
Nah, wahai
para Bhikkhu apa pendapat kalian, akankah orang tersebut tidak akan
memperhatikan orang yang sedang membawa mangkuk minyak dan lebih tertarik akan
hal-hal yang ada di sekitar dirinya, lalu menjadi tidak waspada?
‘Tentu saja
tidak, Guru Agung’
‘Nah inilah
perumpamaan yang Aku sajikan kepada kalian untuk menekankan betapa pentingnya
apa yang Kumaksudkan. Mangkuk yang penuh itu seumpama usaha latihan usaha
perhatian penuh kewaspadaan terhadap jasmani. Oleh sebab itu wahai para Bhikkhu
begitulah cara kalian melatih diri – Perhatikan tubuh sepenuhnya, perhatian ini
harus kita latih dan kembangkan terus-menerus sehingga tercapai dan berguna
bagi tingkah laku dan sikap kita. Harus selalu ditingkatkan dan diterapkan.’
‘Demikianlah
wahai para Bhikkhu, kalian harus melatih diri dengan giat’
Bagian
latihan perhatian terhadap badan jasmani ini (kayanupassana) tidak saja
mancakup Anapanasati (jadi merupakan bagian dari enambelas ke seluruh latihan)
tetapi juga menyangkut jenis lain berikutnya seperti pengamatan seksama pada
sifat badan yang terbelenggu dan menjijikan (asubha).
KECANTIKAN
HANYA SEDALAM KULIT
Sebagaimana
telah dijelaskan dalam khotbah Dhamma, seorang siswa meditasi mengamati badan
yang dibungkus kulit yang penuh dengan kotoran, mulai dari ujung rambut sampai
ujung kuku disertai renungan : di badan ada rambut, kuku, gigi, kulit, gumpalan
daging, isi perut, rongga, tulang… dan sebagainya. Demikianlah mereka
merenungkan semua kotoran yang ada dalam badan jasmani.
Mungkin ini
subjek meditasi yang disetujui orang Barat. Muda-mudi Timur atau Barat
khususnya tidak mau memandang badan sebagai sesuatu yang penuh kotoran. Diskusi
atau tidak, jikalau kita secara objektif mau merenungkan sepanjang badan ini
maka tidak tertampak sesuatu yang bagus misalnya mutiara atau logam mulia yang
lain, badan hanya sekedar tumpukan kotoran belaka. Kecantikan hanya sedalam
kulit. Tua atau muda akan memetik manfaat jika mau memahami kenyataan badan
yang sebenarnya ini, dan bahwa kita selalu dihadapkan kepada tiga sifat khas
kehidupan yaitu kelahiran, usia tua dan kematian. Kita hidup, mencintai,
gembira, namun nyatanya kehidupan ini begitu gelap oleh bayangan ketuaan,
dikejar kematian, terbelenggu oleh perbuatan dan sifat yang amat nyata bagai hijaunya
rumput dan pahitnya pil kina yang tidak bisa diubah oleh segala kemampuan luar
biasa ilmu pengetahuan.
Bagaikan
bunga mawar yang dipandang
atau
lebatnya bunga dipohon
atau
mekarnya bunga di bulan mei
atau fajar
yang menyingsing setiap hari
tau bagu
mataharu atau awan gelap
atau bagai
kali di jonas…
demikianlah
seseorang terbelenggu
terjerat,
tercekik semakin erat
bunga mawar
layu, bunga-bunga gugur
Kuntum
bunga lenyap, fajarpun pergi
Matahari
terbenam, bayangan terbang
Jala
terkatup dan manusiapun………. mati
Demikianlah
manusia yang hidup dari napas
Ada di sini
dan di sana; hidup dan mati
…………………….
Begitulah
manusia, yang menimbun derita
Hidupnya
hanya hari ini, esok meninggal dunia
Lagu itu
singkat, begitu juga perjalanan
Buah
menjadi busuk, yang padat menjadi kering
Salju
mencair, demikian juga yang lain ……………….
Pandangan
tentang kehidupan bukan bersifat pesimis maupun optimis, namun sebagaimana
adanya. Janganlah mengira bahwa pandangan Buddhis tentang kehidupan dan dunia
ini gelap dan menyedihkan, dan bahwa seorang Buddhis itu tidak bersemangat.
Jauh dari ini, malah ia tersenyum menjelajahi kehidupan ini.
Dari
renungan terhadap badan (kayanupassana), marilah kita menuju renungan terhadap
perasaan (vedananupassana). Dalam latihan ini kita diharapkan perasaan yang
sedang timbul apakah ini; suatu yang menyenangkan, tidak menyenangkan ataupun
netral. Sewaktu mengalami perasaan yang menyenangkan, siswa mengetahuinya,
sebab disadarinya. Begitupun juga terhadap perasaan lainnya yang sedang timbul.
Seorang siswa meditasi selalu berusaha untuk mengalami tiap perasaan yang
sedang timbul sebagaimana adanya.
Pada
umumnya orang tertekan jika perasaan yang tidak menyenangkan sedang timbul.
Tapi terpesona dan terikat pada perasaan menyenangkan yang sedang timbul.
Latihan Perhatian Benar membantu memandang segala macam perasaan yang sedang
dialaminya dengan pandangan yang tidak terikat, berusaha seimbang dan tidak
menjadi budaknya. Dengan meditasi Pandangan Terang ia menyadari dan mengerti,
bahwasanya hanya ada perasaan, ada sensasi, dan itu saja, lebih tidak, dan sama
sekali tidak bersifat kekal, dan sama sekali tidak ada ‘aku’ yang merasakan ini
atau itu.
Latihan
perenungan terhadap pikiran (cittanupassana) yang merupakan tipe ketiga dari
latihan Perhatian Benar ini menerangkan betapa pentingnya usaha mengamati
pikiran kita sendiri, menyadari selalu gerak diam atau kegiatan pikiran itu.
Bentuk pikiran, khususnya dalam konteks ini adalah kegairahan napsu,
berkobarnya kebencian, dan kegiatan pikiran yang dangkal, dungu dan gelap
merupakan akar atau penyebab segala kelakuan yang tidak benar, dan juga segala
bentuk pikiran yang berlawanan dengan sifat baik tadi. Ini bukan pemikiran
tentang napsu melainkan perenungan tentang napsu sebagai suatu keadaan batin
(cittaragam cittam, dan sebagainya).
Siswa
meditasi selalu berusaha untuk mengetahui dengan perhatian penuh, keadaan yang
baik, maupun yang tidak baik dari batinnya. Namun ia menyaksikan semua ini
tanpa melekat pada mereka. Dengan begitu akan membuat siswa mengerti tentang
kegunaan sesungguhnya daya pikiran, sifat sebenarnya dan tingkah lakunya.
Mereka yang terlatih merenungkan pikirannya, belajar mengendalikannya.
Pasti
pendapat ini ditolak mentah-mentah oleh zaman sekarang, namun jika saja mau
menyelidiki dengan tidak berat sebelah, mereka takkan tidak mengakuinya.
Seorang modern akan berhenti berpikir dengan mendalam. Penampilan faktor luar
terlampau banyak mempengaruhinya. Lihat saja betapa mudahnya mereka dipengaruhi
oleh berbagai reklame dan pameran di kaca etalase. Bila semua ini tidak
mempengaruhinya, maka pemilik toko takkan mengeluarkan banyak biaya untuk
memasang iklan.
Meditasi
Buddhis mempunyai obat penyembuh terhadap cara memandang sekedar pada permukaan
saja, yaitu Cittanupassana, perhatian terhadap pikiran atau perenungan terhadap
keadaan pikiran.
Zaman
sekarang orang sedikit sekali berpikir secara mandiri (cara berpikir dengan
tidak terpengaruh). Ia jarang membentuk pendapatnya sendiri. Potongan baju,
barang yang dibelinya, ditetapkan oleh iklan. Betapa mudahnya ia digerakkan
oleh iklan, propaganda dan semboyan politik yang membentuk pikirannya, dan
kehidupan cenderung bersifat mekanis, singkatnya, manusia jadi budak dan alat
belaka yang dikendalikan dari luar.
Manusia
kini tampaknya dijejali bermacam pandangan, pendapat dan ideologi yang baik
maupun yang tidak. Ia dipenuhi dengan film, televisi dan radio, tv, novel,
gambar dan psikologi tertentu di bidang seks dan film porno yang membuat orang
menyimpang dari pengertian dan kemampuan mandiri.
Tetapi
orang melatih Perhatian Benar akan terlindung dari segala pengaruh iklan-iklan
yang meyakinkan itu atau teriakkan-teriakkan propaganda atau efek dramatik dari
mengikuti jejak khalayak ramai.
Kelemahan
lain adalah keinginan akan perubahan dan ingin cepat berhasil. Ketidak-tenangan
diri merupakan kekurangan yang amat besar. Ketenangan mampu membentuk kekuatan
batin. Ketidaktenangan mengakibatkan kita tidak sabar, orang tidak sabar tidak
pernah merasa puas. Ia selalu menginginkan apa yang baru dan mempesona. Ia
mudah kecewa ketika ia mengambil koran dan tidak menemukan berita yang
sensasional.
Manusia
modern akan bergairah akan keanekaragaman. Ia menyenangi sensasi. Ia dibentuk
oleh sensasi. Kobaran napsunya selalu mencari apa yang baru. Ia menggandrungi metode
baru, mesin baru, gaya hidup baru, ideologi baru yang tak ada sudahnya.
Kecenderungan modern ini merupakan gejala suatu penyakit ketidak-tenangan
batin.
Pada
kondisi ini, latihan perhatian benar merupakan obat manjur yang amat
dibutuhkan. Perhatian seperti ini pada pelaksanaannya berarti menciptakan
ketenangan dan ketenangan akan memberikan nada yang wajar terhadap kehidupan.
Bila terlatih dalam ketenangan, ia mampu menyingkirkan segala kobaran napsu
yang tak perlu. ‘Ia berkelakuan tenang dan tak tergorahkan, di tengah keadaan
yang tidak tenang’ (visame samam caranti).
Renungan
terhadap pikiran sebagai objek juga membuat kita menyadari apa yang kita sebut
sebagai pikiran itu yang hanya berupa suatu proses yang selalu berubah-ubah,
terdiri dari perubahan yang setara dan bersamaan dari faktor batin, dan di
balik semua ini tidak ada sesuatu yang dikatakan sebagai ‘Aku’.
Jenis
keempat yang merupakan tipe terakhir dari latihan perhatian Benar ini adalah
renungan terhadap kandungan pikiran, disebut juga renungan terhadap objek yang
bersifat batin (dhamma nupassana). Cara ini meliputi Ajaran Dhamma yang penting
yaitu Ajaran Sang Buddha, sebagian besar telah diuraikan dalam buku ‘The
Buddha’s Ancient Path’ oleh penulis yang sama.
Latihan ini
meliputi objek batin yang amat luas. Di sini siswa meditasi melakukan renungan
pada objek-objek batin. Ini bukan sekedar merenungkan atau mempertimbangkan,
namun juga disertai ketajaman daya pengamatan terhadap objek-objek batin pada
saat mula timbulnya hingga melemah serta lenyap (samudaya vaya). Misalnya siswa
meditasi menyadari bahwa napsu keinginan ada, maka ia segera mengetahuinya;
‘ada napsu keinginan dalam diriku’ atau jika lenyap, ia mengetahui juga: ‘Tidak
ada napsu keinginan padaku’ dan begitu seterusnya. Demikian juga yang terjadi
pada diri siswa meditasi mengenai gangguan yang lain (Nivaranani).
Dengan cara
ini ia mengamati dengan penuh kesadaran akan lima kekuatan penyebab keterikatan
(pancaupadanakkhandha) jasmani atau bentuk-bentuk materi, perasaan (senang,
tidak senang, netral), pencerapan, pembentuk pikiran atau kegiatan dan
kesadaran kemauan.
Dengan
penuh kewaspadaan, siswa meditasi mengamati keenam dasar pencerapan baik di
luar maupun di dalam dirinya. Dalam hal ini, ia tahu dan menyadari : ini mata,
ini objek yang sedang tampak dan akibat yang timbul karena tergantung pada
keduanya dan bentuk. Ia mengetahui dengan baik telinga dan suara … hidung dan
bau … lidah dan rasa … badan dan obyek sentuhan … pikiran dan obyek pikiran,
dan mengetahui dengan jelas sekali bahwa timbulnya sesuatu tergantung pada
keduanya. Iapun dengan jelas mengetahui lenyapnya kedua hubungan itu.
Dengan cara
yang sama ia mengamati dengan sangat cermat ke Tujuh Faktor Penerangan
(satta-bojjhanga), dan juga Empat Kesunyataan Mulia (cattari ariyasaccani).
Empat Kesunyataan Mulia dalam hal ini bukan termasuk kategori hasil pemikiran,
namun merupakan penggambaran hasil sentuhan langsung yang ditemui dan dikenali
pada saat dia berlatih meditasi.
Maka
hidupnya penuh penyelidikan dan pengertian terhadap obyek-obyek batin. Ia hidup
bebas, tanpa terikat pada apapun di dunia ini. Empat serangkai Perhatian Benar
ini merupakan Dhamma di mana seluruh aspek dari Dhamma terungkap dan bertemu di
satu titik.
Uraian dari
tiap jenis Perhatian Benar ini pada petunjuk latihan terakhir dengan kata-kata
sebagai berikut: ‘Ia hidup tanpa tergantung pada apapun di dunia, sebab ‘apapun
yang terikat cenderung gagal’. Inilah hasil yang diusahakan siswa meditasi,
yang hanya dapat dicapai dengan ketekunan dan kerajinan ‘Hidup bebas’ berarti
tidak terbelenggu oleh keinginan napsu dan tidak disertai pandangan salah
(tanha, ditthi). Di sini yang dimaksud dengan ‘Dunia’ adalah dunia kehidupan
makhluk; gabungan batin dan jasmani dari badan kasar dan batin. Ia tidak mengikat
diri pada proses jasmani dan batin, atau berpendapat sebagai keadaan keakuan
atau diri sendiri yang bersifat kekal.
PERUMPAMAAN
RAKIT
Karena
serakah dan bernapsu rendah, kita terikat pada materi yang berbentuk maupun
yang tidak berbentuk. Jika kita mampu menangani mereka dengan seni pandangan
tidak terikat maka berarti kita belajar untuk melepas. Semua keterikatan kita
bukan berasal dari pencerapan ataupun obyek yang diserap. Sebenarnya dia
terjadi karena timbul keserakahan, begitu alat pencerap kontak dengan obyek
tersebut. Oleh sebab itu problema dan pemecahannya, penyebab dan jalan
keluarnya terletak dalam diri kita. Pelajarilah seni untuk membebaskan diri.
Memang berat tampaknya untuk hidup tanpa ikatan pada apapun di dunia ini dan
usaha kita untuk dapat mencapai tingkat batin demikian tampaknya hampir tak
mungkin. Namun cukup berharga untuk diusahakan terus-menerus, sebab dengan
ketekunan, banyak yang telah mampu mencapainya dalam kehidupan ini.
Taburlah
pikiran maka kamu mewarisi perbuatan. Taburlah perbuatan maka kamu mewarisi
kebiasaan. Taburlah kebiasaan maka kamu memperoleh akhlak (sifat). Taburlah
sifat maka kamu akan mencapai tujuan hidupmu.
Dalam
hubungan ini amat menarik untuk mengenal perumpamaan Sang Buddha mengenai
sebuah rakit. Marilah kita menyimaknya :
‘Dengan
mengambil perumpamaan rakit, oh para Bhikkhu, saya membabarkan Dhamma untuk
menyeberangi sungai agar dapat mencapai pantai seberang, bukan berhenti dan
terikat, dengarlah dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh pada apa yang
akan saya katakan!
‘Kami
memperhatikannya, Yang Mulia’, jawab para Bhikkhu. Maka beliau bersabda :
‘Oh para
Bhikkhu, seseorang akan berlayar dan sampai pada suatu hamparan air yang sangat
luas. Sisi pantai yang dekat dipenuhi dengan rasa takut dan bahaya, sedang sisi
pantai yang jauh aman. Tidak ada perahu maupun jembatan yang berhubungan dengan
pantai seberang. Orang itu berpikir: luas sekali hamparan air ini. Sisi pentai
sebelah sini tidak aman, sedang sisi pantai sebelah sana tidak berbahaya. Lebih
baik aku mengumpulkan daun-daun, ranting dan batang kayu untuk membuat sebuah
rakit. Dengan bantuan rakit tersebut dan dengan mempergunakan kaki dan tangan
saya akan menyeberangi pantai sebelah sana’.
‘Oh para
Bhikkhu, setelah selesai membuat rakit, maka dengan bantuan kakinya serta
tangannya ia berhasil naik rakit dan pencapai pantai seberang. ‘Lebih baik jika
kuangkat rakit ini dan kubawa serta kemana saja ku pergi’.
‘Bagaimana
pendapatmu, oh para Bhikkhu, apakah kelakuannya ini menurut kalian benar?’
‘Tidak ,
Yang Mulia, jelas tidak benar’.
‘Seandainya
orang yang telah mencapai pantai seberang itu berpikir begini: ‘rakit ini telah
berguna bagiku, dengannya saya telah mencapai pantai ini dengan selamat. Lebih
baik kutinggalkan dia di tepian ini atau kubiarkan dia hanyut dibawa air dan
saya bebas pergi kemana saja’. Jika ia berbuat begitu, maka ia berbuat benar
terhadap rakit tersebut, demikian pula dengan perumpamaan rakit tadi kuajarkan
Dhamma yang dikhususkan untuk menyeberang dan tidak untuk menjadi pengikat.
Kalian para Bhikkhu yang mengerti Dhamma dengan perumpamaan rakit harus
meninggalkan sesuatu (apa saja) yang baik, terlebih lagi meninggalkan yang
tidak baik (a-Dhamma)’.
Maka perlu
dan penting untuk mengetahui bahwa dalam hal ini, kata atau sebutan ‘Dhamma’
itu menurut Ajaran adalah ketenangan dan konsentrasi (samatha) dan Pandangan
Terang (Vipassana). Tingkatan batin yang telah dicapai seperti itu juga harus
ditinggalkan. Apalagi keadaan batin yang jelek.
PANDANGAN
OBYEKTIP DAN SUBYEKTIP :
Pada
petunjuk ini Perhatian Benar khususnya menyangkut hanya empat hal; jasmani,
perasaan, pikiran dan obyek batin. Perhatian terhadap jasmani akan menyadarkan
kita tentang sifat sebenarnya dari alam tanpa suatu praduga dengan menganalisa
secara langsung dan mendasar. Penyelidikan mendalam terhadap jasmani akan
membantu kita mengerti bahwa ini sekedar suatu proses belaka, tanpa ada inti
yang mendasarinya yang bersifat kekal dan berlaku untuk selamanya.
Segi khusus
Perhatian Benar yang teramat penting ini adalah ia mencakup suatu cara
memandang apapun lebih obyektip daripada subyektip. Amatlah penting untuk dapat
tahu perbedaan memandang sesuatu secara obyektip dan subyektip.
Pelaksanaan
empat macam meditasi untuk menumbuhkan Perhatian Benar harus dilaksanakan
dengan obyektip, tanpa suatu reaksi subyektip. Ini berarti bahwa siswa meditasi
seharusnya tidak menjadikan dirinya pengamat yang menaruh minat tapi hanya
sekedar pengamat yang tidak terlihat (bare abserver). Hanya secara begitu orang
mampu melihat gambaran yang sebenarnya dari suatu obyek melihat dalam
perspektip sebenarnya dan tidak seperti tampaknya.
Apabila
Anda memandang sesuatu secara subyektip, maka pikiran Anda akan terlibat ke
dalamnya, Anda berusaha untuk mengidentikkan diri dengan obyek tersebut. Anda
berusaha menilainya, memberikan komentar atau mengagungkannya. Pandangan
demikian dengan sendirinya mewarnai pengamatan Anda. Oleh sebab itu pelaksanaan
perhatian benar keempat latihan terhadap jasmani, perasaan, pikiran dan obyek
batin harus dilaksanakan tanpa pewarnaan, praduga, suka atau tidak suka dan
tanpa suatu pertimbangan yang mendahului apapun, tanpa syarat. Dengan kata
lain, perhatian begitu harus dilaksanakan secara obyektip, seolah-olah Anda
mengamati dari luar.
Jika
melakukan renungan badan melalui badan (kaye kayanupassi), anda jangan
memperhatikan perasaan, pikiran (atau keadaan pikiran), obyek pikiran mengenai
badan; perhatikanlah badan itu saja. Dalam hubungan ini kita harus tepat tahu
jalan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha kepada Bahiya yang adalah pemimpin satu
sekte agama. Bahiya mengira dirinya seorang Arahat yang telah tamat belajar.
Namun kemudian atas nasihat seseorang, ia pergi ke Sang Buddha untuk belajar
tehnik, proses serta cara untuk menjadi Arahat. Mengetahui bahwa Bahiya adalah
seorang yang pandai, maka Sang Buddha mengajarkannya tehnik pelaksanaan dengan
kata-kata sebagai berikut :
‘Oh Bahiya,
inilah cara melatih dirimu; pada apa yang dilihat, haruslah hanya ada yang
sedang dilihat, pada apa yang didengar, haruslah hanya yang didengar itu saja,
pada apa yang dicerap (seperti bau-bauan, rasa dan sentuhan-sentuhan) haruslah
yang hanya dicerap itu saja, pada apa yang dirasakan, haruslah hanya itu saja
yang kau rasakan.’
Dalam hal
ini, ide semacam sebagai berikut : aku melihat, mendengar, membau, meraba dan
menyentuh harus ditiadakan. Konsepsi ‘aku’ yaitu khayalan tentang aku
dilenyapkan sehingga mampu melihat kenyataan. Pencerapan dan perhatian semacam
ini menghilangkan ketegangan, menciptakan suasana tenang, sabar dan santai.
Inilah sebab mengapa siswa meditasi tak memerlukan banyak tidur. Jangankan
meditasi yang amat dalam, banyak orang tak tahu seni melihat bahkan suatu
gejala yang wajar, sebab mereka belum melatih diri bagaimana mengamati sesuatu
secara obyektip.
Andaikata
Anda sedang memandang matahari yang terbenam yang sangat indah. Jika Anda mulai
memberi penilaian, mengamati secara subyektip, berarti Anda menyertakan diri
sangat dekat kepadanya. Anda tak mampu melihat matahari terbenam, Anda
sesungguhnya tidak melihat segi yang bagus darinya. Tapi jika Anda memandang
kejadian tersebut secara obyektip dengan tenang dan dengan pikiran yang diam,
dengan penuh perhatian, maka Anda mampu melihat keindahan secara lengkap dan
juga mampu melihat keindahan matahari terbenam dengan sepenuhnya dan apa yang
disebut sebagai keindahan itu adalah tidak kekal dan selalu berubah-ubah.
Demikianlah halnya dengan kejadian yang lain. Jika Anda mampu melihat bunga
mawar atau teratai secara obyektip tanpa sertanya reaksi subyektip maka Anda
mampu melihat keindahan dan lebih banyak daripada orang lain. Begitupun jika
Anda menyenangi lagu dan mendengarkannya secara penuh, Anda akan lebih
menikmatinya lebih dari pemain musiknya sendiri.
KETENANGAN
DAN PANDANGAN TERANG
Bahkan
latihan meditasi menenangkan konsentrasi yang lebih tinggi tidak menempatkan
siswa pada tingkatan yang aman, sebab kotoran yang mendasarinya maupun yang
dalam batin dan kecenderungan pengotoran batin belum dapat dimusnahkan
(anusaya). Kotoran itu masih ada dan tiap saat bisa muncul kembali jika keadaan
mengijinkan dan menunggu Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.
Karena batin siswa masih diendapi kotoran batin, kecenderungan laten masih saja
mewarnai keadaan batinnya, maka ia belum berada pada keadaan yang aman. Siswa
telah memperoleh ketenangan batin melalui samadhi. Hanya melalui Vipassana
segala akar kotoran batin dapat dicabut dari batinnya. Oleh karena itu siswa
meditasi harus membiasakan berbuat baik dan berkonsentrasi (sila sikkha dan
samadhi sikkha), mengembangkan Vipassana.
Mengembangkan
ketenangan dengan meditasi, samadhi, tak pernah mencapai titik akhir. Ia hanya
merupakan suatu sarana ke arah lebih baik yang amat penting yaitu Pandangan
Terang. Dengan kata lain merupakan cara landasan untuk memperoleh Pengertian
Benar yang merupakan faktor pertama Jalan Utama. Sekalipun hanya sebagai alat
untuk mencapai titik akhir samadhi memegang peranan penting pada jalan itu
sendiri. Juga disebut sebagai Citta-visuddhi, penyucian batin, yang tumbuh dengan
melemahkan penghalang. Sang Buddha bersabda: ‘Kembangkanlah ketenangan, seorang
siswa yang mencapai ketenangan batin akan melihat sesuatu sebagaimana adanya
(samadhim bhavetha, samahito yatha bhutam paja nati).
‘Dua hal,
oh para Bhikkhu, harus dikembangkan agar dapat memahami Lobha, Dosa dan Moha.
Apakah itu? Ketenangan dan Pandangan Terang. Dua hal ini harus dikembangkan
untuk melenyapkan lobha, dosa dan moha’ .........
Selanjutnya
bersabdalah Beliau : ‘Dua hal oh para Bhikkhu merupakan bagian dari pengetahuan
(vijja-bhagiya) : ketenangan dan Pandangan Terang. Jika ketenangan
dikembangkan, maka berkembanglah batin; maka napsu lenyap demikian juga
keinginan. Batin yang dikotori napsu tidak bebas. Jika ada pencemaran akibat
kebodohan, kebijaksanaan tak mampu berkembang. Jadi kebebasan batin (ceto
vimutti) adalah akibat hilangnya napsu yang tadi melekat pada batin. Kebebasan
dan kebijaksanaan (pañña vimutti) adalah akibat batin yang telah dibersihkan
dari kebodohan.
Pada apa
yang diutarakan di atas jelaslah bahwa ketenangan dan Pandangan Benar dari Sang
Jalan tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling menunjang. Tanpa suatu pikiran
tertentu dari konsentrasi yang tenang, Pandangan Terang tidak dapat
dikembangkan, dan tanpa suatu ukuran tertentu dari Pandangan Terang tidaklah
mungkin Konsentrasi dapat dikembangkan. Keduanya tak terpisahkan; kenyataan ini
diuraikan oleh Sang Buddha sebagai berikut:
‘Konsentrasi
bukan orang yang dungu.
Tak ada
kebijaksanaan bagi yang lemah dalam konsentrasi
Mereka yang
mampu berkonsentrasi dan bijaksana,
Benar-benarlah
ia berada di ambang Nibbana’.
MENGERTI
DIRI SENDIRI
Siswa
meditasi yang memperoleh kedalaman konsentrasi melalui perhatian terhadap
keluar masuknya napas kini mengarahkan pikirannya ke meditasi Pandangan Terang.
Dalam hal ini Vipassana berarti memahami sebagaimana adanya, yaitu melihat dan
menyaksikan gejala ketidak-kekalan, gejala yang tidak memuaskan, yang kosong -
inilah sifat sebenarnya lima unsur pengikat (pancakkhandha). Singkatnya
memahami diri sendiri. Tak mudah untuk dapat mengerti diri sendiri, karena
pandangan keliru, khayalan tak berdasar, harapan hampa dan kekecewaan kita.
Amat sulit mencari manusia dalam arti sebenarnya. Dengan latihan Vipassana,
kita mampu melenyapkan khayalan (maya), konsep (pannatti), pemutarbalikan
(vipallasa) dan mampu melihat seseorang sebagaimana adanya.
Jika
seorang siswa telah maju dalam latihan perhatian terhadap keluar masuknya napas
dan jika pikirannya ditenangkan dengan meniadakan rintangan, maka ia mampu
menyaksikan ketidak-kekalan pada napasnya sendiri, yaitu timbul dan tenggelam
(naik turunnya) bagaikan gelombang laut. Dengan berdasar atas ketidak-kekalan
napas, ia cenderung mengerti bahwa ketidak-kekalan adalah sifat dari lima unsur
pengikat (pancakhandha). Kemampuan memeriksa apa yang disebut makhluk, yang
sebenarnya hanya merupakan suatu ikatan pancakhandha akan mengungkapkan dengan
jelas sekali ketidak-adaan sesuatu yang kekal di balik apa yang disebut makhluk
ini – melainkan hanya suatu proses dari badan dan batin belaka.
Harus
diperhatikan urutan di antara Perhatian penuh (sati), ketajaman penyelidikan
Dhamma (Dhammavicaya), semangat (viriya) dan lain-lain, dari faktor Bojjhanga,
sebagai disebut pada bagian keempat dasar latihan Pandangan Terang
(Dhammanupassana). Dengan penuh perhatian seseorang menganalisa Dhamma. Di sini
yang dimaksud dengan dhamma adalah jasmani dan batin kita sendiri. Untuk itu
perlu ketekunan terhadap keempat Usaha Benar agar mampu mengatasi sifat tak
baik dan mempertahankan yang baik dari gerak pikiran. Jika siswa meditasi dapat
maju dengan mantap dalam usaha menyelidiki jasmani dan batinnya dan mampu
melihat apa yang ada dibalik mata biasa, sebagai hasil dari Vipassana, maka
timbullah kegembiraan dan kebahagiaan (aradha viriyassa uppajati piti niramisa).
Perubahan
atau ketidak-kekalan merupakan inti dari sifat kehidupan. Kita tak mengatakan,
baik yang hidup maupun tidak, sebagai ‘ini abadi’, bahkan di saat kita
mengatakan demikian, dia berada dalam keadaan berubah terus, ada dan selalu
dalam ikatan dengan kesatuannya dan bersyarat. Oleh karenanya selalu mengemban
gerak sebab dan akibat. Tanpa kesudahan kesadaran atau batin beserta faktornya
mengalami perubahan tiada hentinya sekalipun pada tahap yang paling rendah,
badan mengalami perubahan dari saat ke saat. ‘Siapa yang mampu melihat dengan
jelas akan kelima perintang batin yang selalu berubah dan karenanya tak kekal,
akan memperoleh Pengertian Benar’.
Sang Buddha
memberikan lima perumpamaan yang amat tepat untuk menggambarkan sifat tidak kekal
dari lima rintangan batin. Ia menyamakan bentuk materi atau jasmani dengan
setumpuk buih, perasaan dengan gelombang, pencerapan dengan kilatan cahaya,
bentuk pikiran dengan tabung kosong tanpa dinding dan kesadaran dengan ilusi
(khayalan); lalu Sang Buddha bertanya : ‘Inti apa, oh para Bhikkhu, yang
mungkin ada pada setumpuk buih, gelombang, kilatan cahaya dan tabung kosong tak
berdinding serta khayalan?’
Sang Buddha
bersabda lebih lanjut: ‘Apapun bentuk materi, baik pada masa lalu, masa yang
akan datang, maupun saat ini, baik bagian dalam maupun luar, kasar maupun
halus, rendah maupun tinggi, dekat maupun jauh; berbentuk seperti itu yang
tampak, yang direnungkan secara mendalam oleh siswa, diselidikinyalah dengan
bijaksana dan sistematis, maka akan ditemukan bahwa semuanya berupa proses
belaka, tanpa substansi dan samasekali tak berinti. Maka inti apa itu, oh para
Bhikkhu, yang ada pada segala bentuk materi dan dalam perhatian’
Begitu pula
Sang Buddha bersabda mengenai kelompok kehidupan yang lain: ‘Inti apa, oh para
Bhikkhu, yang mungkin ada pada perasaan, pencerapan, bentuk pikiran dan
kesadaran?’ Maka tampaklah oleh kita timbulnya pemikiran yang lebih luas dan
maju dengan hasil merenungkan kelima unsur pengikat saling bergantung. Pada
tingkat ini Pengertian Benar yang dikenal sebagai Vipassana mulai bekerja. Pada
Pandangan Benar terungkap sifat sesungguhnya dari kelima unsur pengikat dan
terlihat dari sinar Tiga Corak Umum atau Tilakkhana yaitu anicca, dukkha, dan
anatta atau anatman, tanpa aku atau roh yang kekal. Sang Buddha menguraikan
sebagai berikut :
‘Kelima
unsur pengikat itu, oh para Bhikkhu, tidak kekal (anicca) dan apapun yang tidak
kekal tidak memuaskan dan tanpa inti yang kekal, bukan aku pribadi. Dengan
demikian harus dipandang sesuai dengan Kebijaksanaan yang sempurna
(sammapaññaya). Dan siapa dapat memandang melalui Kebijaksanaan Sempurna ini
maka batinnya tidak bergelora, bebas dari ikatan. Ia bebas, mencapai kebebasan.
Nagarjuna
hanya mengulangi kata-kata ini sewaktu beliau berkata: ‘Jika pandangan tentang
atman, Aku yang abadi, Roh, sudah terhenti, maka pandangan tentang keakuan
inipun berhenti dan orang terbebas dari ide tentang aku dan kepunyaanku.’
Bukan saja
kelima unsur pengikat ini tidak kekal, namun penyebabnya dan syaratnyapun
menimbulkan kelima ikatan itu juga bersifat tidak kekal, tidak menyenangkan dan
tanpa inti yang kekal.
Hal ini
dijelaskan oleh Sang Buddha sebagai berikut : ‘Bentuk materi, perasaan,
pencerapan, bentuk batin dan kesadaran, oh para Bhikkhu, tidaklah kekal; apapun
penyebabnya dan syarat untuk menimbulkannya tidak kekal. Bagaimana mungkin
sesuatu yang menumbuhkan tidak kekal itu kekal? Apa yang bersifat tidak kekal
tak bernilai untuk diingini dan disenangi, tidak berharga bagi kita untuk
mengikatkan diri padanya.....
Sebenarnya
kita hidup hanya sesaat, dan selanjutnya berada pada kehidupan yang lain. Jadi
kelangsungan hidup sebenarnya hanya sesaat. Ini terkadang dihubungkan sebagai
kehidupan sesaat – tiap saat berlangsung kehidupan dan kematian. Hari ini adalah
apa yang kita katakan sebagai ‘besok’ kemarin. Batin yang berada pada keadaan
meditasi yang tidak terikat pada masa lalu dan yang akan datang maupun untuk
hidup dengan kejernihan dan akal yang sehat.
Inti dari
meditasi Vipassana terletak pada pengalaman langsung, tidak pada khotbah,
petunjuk dalam buku meditasi sekalipun mereka bermanfaat. Jangan mengharap
lebih dulu hasil-hasil meditasi, sebab latihan ini dilakukan tanpa ikatan atau
terbelenggu pada apapun yang bersifat duniawi, sebab apapun yang dilekati
cenderung gagal. Yang penting adalah tekun dan sabar.
Petunjuk ke
arah perkembangan latihan Perhatian Benar (Satipatthana Sutta) selalu mengulang
sebagai berikut : ‘Ia hidup tidak terikat, tidak mengikatkan diri pada apapun
di dunia ini’ (anisi to ca viharati na ca kimci loke upadiyati). Inilah hasil
yang diperoleh siswa meditasi.
MENGHILANGKAN
KHAYALAN
Di saat
kita gagal melihat sifat sebenarnya dari alam ini pandangan kita menjadi gelap.
Karena praduga, keinginan dan harapan, kesenangan dan ketidaksukaan kita maka
kita gagal melihat alat pencerap dari dan segala seginya dalam bentuk
sebenarnya secara obyektip, lalu kita mengejar bayang-bayang, khayalan dan
kepalsuan. Alat pencerap menyesatkan dan membodohi kita sehingga kita gagal
melihat sifatnya yang sebenarnya, dan akibatnya kita memandang sesuatu secara
terbalik. Batin yang kotor melihat apa yang tak benar sebagai benar, mengikuti
bayang-bayang sebagai sesuatu yang kekal dan hasilnya adalah kebodohan,
konflik, ketidakserasian dan akhirnya penderitaan.
Sang Buddha
bersabda tentang Tiga Vipallasa (Skrt. Viparyasa), halusinasi dan bayangan yang
mencengkram batin, yakni Saññavi pallasa, khayalan melalui pencerapan,
cittavipallasa – melalui pikiran dan Ditthivipallasa – melalui pandangan. Nah,
jika seseorang tercengkram oleh tiga macam khayalan ini maka ia mencerap,
berpikir dan berpandangan yang selalu salah.
Ia
menyangka pada apa yang tidak kekal sebagai kekal, apa yang menyakitkan sebagai
menyenangkan, apa yang tanpa inti sebagai kekal, apa yang buruk sebagai indah.
Cara berpikir dan berpandangan seperti itu salah. Jadi tiap khayalan bekerja
dalam empat jalan dan menyesatkan manusia, mengaburkan pandangannya serta
membingungkannya. Ia dibodohi oleh indriya pencerapannya sendiri. Ini semua
karena refleksinya yang tidak bijak, perhatian yang tidak teratur
(ayoniso-manasikara). Ia tidak mampu melihat sifat sebenarnya dari kehidupan,
cara-caranya, kecenderungannya, hasil-hasil perbuatan yang tidak terlaksanakan;
ia tidak mampu melihat bahwa kehidupan ini tidak kekal dan tidak mengandung
kebahagiaan yang kekal dan ia masih saja mengikatkan diri padanya, sebenarnya
masih terlalu hijau dalam kehidupan. Ia harus mendorong dirinya untuk menjadi
matang dalam Pengertian Benar sebelum Buddha Dhamma mempunyai arti baginya.
Kerudung nafsu keinginan, keserakahan dan kegelapan pandangannya terlalu tebal
dan kuat baginya. Bahaya yang amat mencengkram dunia dan penghidupan terletak
pada pengertian tentang kehidupan sebab apa saja yang bersangkut paut dengan
hidup selalu berubah tanpa kecuali. Orang tak dapat berpegang pada apapun.
‘Wajah
makhluk hidup hanya sekedar topeng yang menyembunyikan kematian’
Dengarlah
kata-kata ahli sajak :
“Perhatikanlah,
perhatikanlah, dunia ini hanya mimpi,
dan
bentuk-bentuknya yang mengambang hanya sekedar debu mimpi;
Badan yang
diwangikan minyak harum ini hanya sekedap saja, lebih cepat layu dari sekuntum
bunga;
Semua harta
yang kita miliki, mengikat lebih kuat daripada kemiskinan,
Uang,
harta, masa muda dan kegairahan ditarik terus bagaikan rombongan kereta ke
gurun kematian.”’
Oleh sebab
itu berkatalah para Bijak zaman baheula :
‘Ke delapan
gunung besar dan ketujuh lautan,
Matahari,
para dewa yang memerintah atas semua ini,
Kalian
semua, akupun, alam jagad raya ini akan berakhir,
‘Waktu’
menelan semua, mengapa masih menggemari permainan ‘Maya’?’
Hanya
Pengertian Benar atau Pandangan Benar mampu melenyapkan khayalan ini dan
menolong manusia mengenali sifat dan maksud sebenarnya dari segala penampilan
ini. Hanya apabila seseorang mampu keluar dari kegelapan khayalan dan salah
pandangan, maka ia akan bersinar dengan Kebijaksanaan bagai bulan purnama yang
sedang dengan megahnya keluar dari awan yang tebal.
Bila
membicarakan tentang ketiga latihan: Sila – Samadhi – Pañña yang membawa
kebebasan dan kesucian batin, amatlah perlu menyelami dan mengetahui bagaimana
kerja kecenderungan tersembunyi tapi kronis dari semua kotoran batin.
Jika
kecenderungan kotoran batin terbaring tidur di dalam batin manusia disebut
tersembunyi (anusaya). Ia ‘tidur’ sejauh ia tak diberi makan. Ke lima indriya
pencerap dengan pikiran sebagai yang keenam, menyajikan makanan dalam bentuk
obyek indriya nyata yaitu suara, bau-bauan, rasa, sentuhan-sentuhan dan
obyek-obyek batin. Keenam macam makanan ini dapat berdiam diri ataupun
menyerang. Pada salah satu hal, obyek indriya bersifat mendorong sehingga
dengan segera kecenderungan yang sedang ‘tidur’ itu muncul ke permukaan.
Penampilan kecenderungan ini disebut ‘pariutthana’ atau ‘samudagata’. Dan bila
dibangunkan dan tampil akan cenderung membebaskan dirinya dan segera mencari
saluran baru. Jika seseorang gagal melatih Perhatian Benar secara sistimatis
(yonisomanasikara) dan gagal melemahkan kecenderungan yang sedang tumbuh itu,
mereka melompat dan keluar melalui perkataan, perbuatan atau melalui keduanya
dan ini disebut pelanggaran atau kemerosotan (vitaka-kama).
Pada ketiga
tingkatan kecenderungan ini maka yang ketiga, tahap kemerosotan agak bersifat
kasar, yang kedua ‘tahap muncul’ masih bersifat halus dan tahap pertama lebih
halus. Ketiga senjata untuk dapat menumpasnya atau membebaskan cengkramannya
adalah Sila, Samadhi dan Pañña.
Melalui
Sila atau Kemoralan, semua kegiatan jasmani dan gerak batin rendah dapat
dikendalikan hingga tahap ketiga yang kasar tersebut mampu diatasi. Oleh karena
itu masa latihan batin dan jasmani (melalui) disiplin batin tertentu
diperlukan, sekalipun tidak terlalu ketat.
Melalui
Sila seseorang dapat tenang dan terkendali baik melalui ucapan dan perbuatan,
namun tidak mampu mengendalikan pikiran sebab konsentrasinya kurang. Sila tidak
mampu menguasai pikiran sekalipun ia merupakan bagian dari ketenangan batin.
Dengan bantuan Perhatian Benar, Konsentrasi menetralisir tipe kedua
kecenderungan dan dengan begini mampu mencegahnya keluar.
Namun
Konsentrasi saja tidak mampu melenyapkan kecenderungan yang sedang tidur itu.
Hanya dengan Pengertian benar yang dihasilkan dari Pandangan Terang
(vipassana), semua dorongan hati dan semua kecenderungan dapat dicabut secara
total.
Setelah
semua ini tidak ada satupun yang mampu membuatnya bingung atau menundukkannya
dengan berbagai ragam pesona dan rangsangan dalam bentuk apapun. Maka tidak
mungkin lagi ia mempunyai kekeliruan pandangan terhadap gejala kehidupan ini;
sebab ia mampu menembus segala kekeliruan sebagai akibat ia tidak ternoda, dan
hanya dengan Vipassana yang mampu memberikannya.
Inilah
‘Kebebasan’ (Vimutti), gerak keluar (Nissarana) dari roda perputaran lingkaran
‘Samsara’ yang tampaknya selalu berulang.
Marilah
kita ingat dan memperhatikan apa yang Sang Buddha sampaikan yang terdapat pada
baris-baris pembukaan Kitab Satipatthana Sutta yang dapat dikatakan sebagai
‘salah satu Jalan yang amat penting dari petunjuk-petunjuk beliau’ yang
diberikan sekitar 2500 tahun yang lalu untuk melatih diri, untuk menyeimbangkan
dan menyucikan batin dimana telah diungkapkan sampai ‘dua kali’ dalam kumpulan
Kitab Suci Tipitaka. Bunyinya sebagai berikut :
Satipatthana
merupakan ‘satu-satunya’ jalan (ekayanomaggo) untuk menyucikan mahluk untuk
dapat mengatasi penderitaan dan kesakitan, kepedihan dan kedukaan untuk
mencapai ‘Jalan Benar’ dan Jalan merialisir Nibbana, yaitu dengan menegakkan
Perhatian dan Kesadaran Benar.
K E S I M P
U L A N
Sebagaimana
telah kita bicarakan sebelumnya, titik tolak penghormatan kita kepada Sang
Buddha (Buddha Sasana) adalah dengan 'Sila', kemoralan. Berpangkal pada dasar
yang kuat dari Sila, siswa meditasi harus berusaha mengendalikan dan
mendisiplinkan gerak pikiran. Sang Buddha telah menguraikan dan menunjukkan
kepada siswaNya, cara untuk mengatasi kebiasaan yang tidak baik dalam berkata
dan berbuat. Setelah berhasil menguasai ucapan dan perbuatan serta melakukan
pencaharian dengan jujur, siswa memantapkan kebiasaan-kebiasaan yang baik bagi
dirinya. Sementara melatih diri dalam berkata dan berbuat, ia berusaha menjaga
pintu indrianya, sebab bila lemah di dalam mengendalikan indrianya maka
pikiran-pikiran yang tidak baik akan mampu mengisi pikirannya. Ia memantapkan
keseimbangan dengan melempar segala yang disebut menyenangkan atau tidak
menyenangkan. Pengendalian indrianya harus dilakukan dengan tekun. Ia makan
secara sederhana dan penuh kesadaran dan membiasakan dirinya selalu waspada.
Jika kini
ia telah tekun dan penuh kesadaran, ia akan melangkah lebih maju tanpa goyah untuk
menempuh meditasi yang lebih sulit. Dengan memilih suatu subyek yang sesuai
dengan sifatnya dan melanjutkan latihan dengan subyek yang dipilihnya dengan
tanpa henti, ia akan memperoleh ketenangan dalam konsentrasi dan akan mampu
mengatasi segala rintangan yang dapat merusak meditasinya. Jadi siswa meditasi
yang berusaha dengan penuh perhatian dan kesadaran, menambah kemampuan
mengendalikan pikirannya yang mudah bergerak. Dengan menguasai, perkataan,
kelakuan, indria dan pikirannya, ia kini mampu menguasai dirinya.
Dengan
melatih dirinya pada Sila dan Samadhi (Sila-sikkha dan Samadhi-sikkha), kini ia
berusaha untuk memperoleh Kebijaksanaan atau Pandangan Terang terhadap segala
hal dalam bentuk apa adanya (yathabhutam). Dengan memandang apapun sebagaimana
adanya berarti sesuai dengan apa yang telah dibicarakan sebelumnya yaitu mampu
melihat ketidakkekalan, ketidakpuasan dan ketiadaan aku yang kekal dari semua
benda dan gabungannya yang bersyarat. Bagi siswa meditasi (pengikut Sang
Buddha) seperti itu, 'dunia' bukanlah dipandang dari sudut luarnya atau suatu
wilayah untuk percobaan, namun suatu tubuh manusia dengan kesadarannya. Ini
adalah dalam lima ikatan. Inilah yang dicoba dipahaminya sebagai tidak kekal,
tidak memuaskan, tanpa aku yang kekal. Dunia tubuh dan batin inilah yang
diuraikan Sang Buddha pada waktu beliau mengatakan kepada Mogharaja : ‘Dengan
penuh perhatian, wahai Mogharaja, dunia ini dipandang sebagai 'kosong' (suñña)-
setelah melapaskan pendapaat adanya suatu 'diri' yang kekal- dengan demikian
seseorang dapat mengatasi Mara (kematian).
Vipassana
mencakup metode untuk memperoleh pengetahuan dengan melakukan pengamatan
langsung yang membawa kepercayaan kepada diri sendiri, dan membuat batin
menjadi bersih. Ia melampui para cerdik pandai, segala konsep dan teori yang
hanya merupakan hasil dari pikiran belaka; ia langsung menembus ke dalam
pengalaman sendiri pada kehidupan dan segala yang berhubungan dengan kehidupan.
Dengan
memerlukan apa saja sesuai dengan penampilan yang sebenarnya dan menyadari
sifat sebenarnya dari kelima unsur pengikat yang menumbuhkan ikatan, dengan
membersihkan semua kotoran batin, ia melangsungkan kehidupan bebas tanpa ikatan
terhadap apapun yang ada di dunia ini.
Dengan
pemberian akhir yang dicapainya, ia berada pada suatu tingkatan di mana terbuka
baginya Cahaya Nibbana, tidak terukur dengan kata-kata, sesuatu yang mantap
yang tidak mampu dibayangkan oleh pikiran, kedamaian dan kebebasan yang tidak
pernah sama dengan hasil perbuatan manusia biasa, suatu kepastian di atas
landasan yang kukuh, kecemerlangan yang tiada taranya, suatu kebahagiaan dari
kesunyian, hasil pembebasan dan kedamaian yang sempurna, tidak terukur dalamnya
yang tidak dapat disamakan dengan apapun dan siapapun. Itulah Kebenaran Mutlak.
Itulah
mahkota dari hasil kehidupan meditasi, buah yang teragung. Dengan dicapainya
hasil ini, maka kelahiran, usia tua dan kematian berakhir. Semua pekerjaan yang
harus dikerjakan telah selesai dan dunia tidak lagi menyembunyikan apa-apa.
Singkatnya, dengan petunjuk tersebut siswa meditasi dengan latihan bertahap
untuk mencapai tujuan akhir.
Para
pembaca harus ingat bahwa di dalam usaha pembersihan (penyucian diri dan
penguasaan diri sendiri demi kebebasan tidak ada paksaan atau dipaksakan oleh
siapapun atau apapun, tidak ada hadiah atau ganjaran bagi perbuatan yang telah
dilakukan atau yang tidak dilakukan; tidak ada pemberkahan dengan air suci;
tidak ada persembahan bagi makhluk gaib atau penghormatan bagi para dewa, atau
juga kepada air atau api. ‘Bukan karena tidak berambut ataupun rambut yang
rapi, bukan karena kotor, bukan karena puasa ataupun berbaring di tanah atau
debu atau penuh lalat atau selalu duduk diam, mampu mensucikan orang yang masih
terikat’.
Mengapa?
Sebab kesucian dan kotoran batin masing-masing tergantung pada keadaan
masing-masing. Apapun yang dari luar diri, baik yang tampak maupun yang tidak
tampak akan mampu memberi kita kesucian dan kebebasan.
Membebaskan
diri sendiri dari semua belenggu batin terutama terletak pada usaha kita
sendiri dan bukan pada kemampuan orang lain baik manusia biasa ataupun makhluk
suci Pintu tetap bebas terbuka dari segala belenggu maupun kesuciannya, sebab
semua itu tergantung oleh diri sendiri. Bahkan Sang Buddha yang paling Agungpun
tidak bisa membebaskan semua manusia dari kotoran batin, kecuali hanya sekedar
‘Menunjukkan Jalan’. Dan jalan itu adalah Sila, Samadhi dan Pañña.
Semua
persoalan hidup ini dapat dikembalikan pada satu soal saja yaitu persolan
‘Dukkha’, penderitaan Jalan keluar yang telah ditemukan oleh Sang Buddha dan
para Buddha yang lain sepanjang zaman adalah ‘Jalan Mulia Berunsur Delapan’.
Nilai Jalan
ini terletak pada pelaksanaannya. Jalan meditasi Sang Buddha adalah Jalan Mulia
berunsur Delapan yang selalu membuka kesempatan bagi para khalifah untuk
mencapai kedamaian dan kepastian menuju Nibbana.
Jalan
sejauh seribu mil dimulai dari langkah pertama’ adalah pepatah kuno : ‘Ada yang
berlari cepat ada yang berjalan saja, bahkan ada yang merangkak dengan susah
payah, namun siapa yang gigih berusaha akan mencapai tujuan akhir’.
‘Penuh
kesungguhan dan keuletan para siswa masa lampau
merenungkan
‘cara’ laku hidup dan usaha mereka,
Sekalipun
saat ini hanya bekas peninggalan mereka,
Namun masih
memungkinkan untuk mampu mencapai
Kebebasan
Abadi’.
=========
DEMIKIANLAH
YANG KUDENGAR
Pada suatu
saat ada seorang Bhikkhu menemui Sang Buddha. Setelah memberi hormat dan duduk
di sampingNya, mereka berkata :‘Yang Mulia, tentang laku hidup sesuai dengan
Dhamma (dhammavihari). Bagaimana sebenarnya orang hidup sesuai dengan Dhamma
itu?’
Sang Buddha
menjawab :
‘Wahai para
Bhikkhu, seorang Bhikkhu menguasai Dhamma dan menghabiskan setiap hari dengan
usaha menguasainya namun tidak menjauhkan diri dari khalayak ramai, tidak
melatih diri dengan meditasi. Bhikkhu seperti itu dikatakan amat giat belajar,
tapi sebenarnya tidak hidup sesuai dengan Dhamma.
Ada pula
seorang Bhikkhu yang mengajarkan Dhamma sampai mendetail sebagaimana ia
mendengarnya, dan setelah menguasainya ia menyakinkan orang tentang ini, namun
tidak menyepi dan tidak melatih meditasi. Bhikkhu seperti ini dikatakan amat
rajin menyakinkan orang namun sebenarnya tidak sesuai dengan Dhamma.
Ada pula
seorang bhikkhu yang mengulang-ulang Dhamma sampai mendetail seperti yang
pernah didengarnya, setelah mengulang-ulangnya namun ia tidak menyepi dan tidak
melatih meditasi. Bhikkhu seperti itu dikatakan amat rajin mengulang-ulang
Dhamma namun sebenarnya ia tidak hidup sesuai dengan Dhamma.
Ada pula
seorang Bhikkhu, memusatkan perhatiannya secara penuh kepada Dhamma, giat
menyelidiki, merenungkannya, setiap hari menghabiskan waktunya untuk
merenungkan Dhamma namun tidak menyepi dan melatih diri dengan meditasi
pemusatan. Bhikkhu demikian dikatakan menghabiskan melatih merenungkan Dhamma,
namun sebenarnya ia tidak hidup sesuai dengan Dhamma.
Sedangkan
apabila ada seorang Bhikkhu yang menguasai Dhamma dan tidak menghabiskan
waktunya sehari-hari menguasai Dhamma, namun memisahkan diri dari khalayak
ramai (menyepi) dan melatih dirinya dengan meditasi, maka sesungguhnya Bhikkhu
seperti ini berperilaku sesuai dengan Dhamma’.
‘Wahai para
Bhikkhu, sesungguhnya telah Kutekankan seseorang yang rajin mempelajari, yang
rajin menyakinkan orang lain, yang rajin mengulang-ulang pelajaran, yang rajin
merenungkan, dan yang memisahkan diri dari khalayak ramai serta melatih diri
dengan meditasi, maka dialah yang sesungguhnya hidup sesuai dengan Dhamma’.
'Apakah
yang seharusnya dilakukan oleh seorang Guru demi kasih sayangnya kepada
siswanya, seperti yang telah dilakukan terhadap kalian. Inilah akar-akar pohon,
inilah tempat sepi; latihlah meditasi, wahai para bhikkhu, janganlah acuh tak
acuh, janganlah menyesak kemudian, inilah Ajaranku bagi kalian’.
==========
LAKU HIDUP
YANG TERPUJI (BRAHMA VIHARA)
Brahma
Vihara adalah subyek meditasi lain yang dapat dipilih orang, suatu subyek yang
menguntungkan. Kata ‘Brahma’ dapat diartikan sebagai ‘Agung’ sangat luhur,
terpuji; dan ‘Vihara’ adalah ‘Cara Hidup’.
Oleh
karenanya Brahma Vihara berarti keadaan dan Laku yang terpuji. Kadang kala
disebut juga sebagai ‘Kediaman Luhur’. Dapat juga disebut sebagai (seni) Hidup
Mulia (terpuji), suatu laku hidup yang teragung (di jagad raya) yang terdiri
atas :
Metta,
cinta kasih universal/semesta.
Karuna,
welas asih terhadap semua makhluk.
Mudita,
simpati, turut bergembira atas keberhasilan orang lain.
Upekkha,
keseimbangan batin.
Semua ini
merupakan kebajikan yang terpuji untuk menuju laku hidup yang suci. Mereka
melenyapkan ketidakbahagiaan dan ketidakharmonisan yang hanya mementingkan diri
sendiri dan mempersatukan kerukunan dan persaudaraan. Juga dikatakan keadaan
tidak terbatas dan bersifat luas (appamaññayo) sebab merupakan kebajikan yang
ditujukan kepada semua makhluk hidup dengan tanpa pilih kasih, tanpa memandang
keturunan, golongan, warna kulit, masyarakat manapun, tanpa ada perbedaan baik
yang berada di Timur maupun Barat.
Subha-Vimokkha
adalah istilah lain yang digunakan juga untuk menggambarkan sifat-sifat ini.
Vimokkha berarti (kebebasan) pengutaraan batin melalui sesuatu yang baik
(subha) dari diri seseorang. Sebagai ganti memperhatikan kejelekan orang lain,
siswa meditasi mengarahkan perhatiannya kepada kebaikan yang ada pada orang
lain tersebut. Dengan demikian ia mengembangkan keempat sifat terpuji dalam
dirinya. Apa yang menjadi pembawaan pada batin manusia adalah segi-segi yang
beraneka ragam, oleh karena itu jamak kiranya manusia berkelakuan bodoh dan
memiliki pikiran yang tidak baik. Namun amat menarik untuk mengetahui bahwa
setiap ragam dari sifat yang tidak baik itu juga mempunyai kebalikannya, yakni
sifat-sifat yang baik, lalu ada sifat yang tidak baik pada orang yang paling
baik dan ada segi sifat yang baik pada orang yang paling tidak baik diantara
sesama kita.
Pandangan
seorang Buddhis terhadap dunia ini adalah tidak ada makhluk hidup yang dianggap
berada di luar ruang lingkup empat sifat terpuji ini. Sifat-sifat baik ini
tidak membedakan manusia menurut ukuran tinggi dan rendahnya derajat, kaya atau
miskin, kuat atau lemah, bijak atau tidak bijak, brahmana atau budak, atau
membedakan umat Kristen, Hindu, Yahudi, Muslim, Buddhis dan sebagainya, sebab
keempat sifat agung ini tidak mengenal batas. Namun manakala kita sudah mulai
membedakan manusia berdasarkan pertimbangan yang salah, maka perasaan
membeda-bedakan mulai mempengaruhi dan merupakan halangan terhadap perkembangan
sifat-sifat baik ini di dalam diri seeorang.
‘Brahma
Vihara adalah cinta kasih, belas kasihan, simpati terhadap keberhasilan orang
lain dan keseimbangan batin, dapat diambil dengan subjek meditasi, dan ini
disebut ‘Brahma Vihara Bhavana’ atau cara mengembangkan sifat Agung pada diri.
Dengan mengembangkannya orang akan memantapkan diri pada suatu keadaan batin
yang tenang dan murni. Melatih sifat-sifat ini dengan mudah dapat dilakukan
pada diri sendiri. Misalnya jika bermeditasi dengan mengambil objek cinta
kasih, lakukanlah dengan cara sbb: ‘Semoga saya sejahtera, semoga saya
berbahagia, semoga saya terbebas dari penyakit, semoga saya tidak mengalami
kemalangan, semoga saya dapat mempertahankan kebahagiaan saya sendiri’ dsb. Dan
tujukanlah pemusatan pada Guru kita, teman atau kepada siapa saja, dan bahkan
pada akhirnya kepada musuh kita, jika ada namun janganlah berusaha menciptakan
permusuhan. Memang sulit nampaknya untuk memancarkan cinta kasih kepada musuh
namun ini merupakan bentuk latihan untuk melenyapkan sifat pilih kasih tanpa
adanya batasan yang dibuat-buat.
Mungkin ada
pertanyaan, mengapa harus mencurahkan cinta kasih kepada diri sendiri terlebih
dahulu? Tidakkah ini egois? Tampaknya begitu, namun dengan berbuat begitu akan
memudahkan kebiasaan agar dapat memancarkan kepada makhluk lain. ‘Saya
menyenangi kebahagiaan, biarlah orang lainpun menikmati kebahagiaan’
‘Sebagaimana aku, biarlah mereka juga bahagia, sebagaimana mereka semoga
dirikupun demikian’. Dengan memperbandingkan diri, kita mengembangkan cinta
kasih terhadap semua.
DHAMMAPADA
130 :
‘Semua
orang takut akan hukuman
Semua
makhluk mendambakan kehidupan,
Dengan
menganggap yang lain sebagai diri sendiri,
Maka
seseorang tidak akan menyakitkan atau menyebabkan yang lain disakiti.’
I. M E T T
A
Metta
(skrt. maitri) adalah keinginan akan kesejahteraan semua makhluk tanpa kecuali.
Ia mempunyai sifat sebagai seorang sahabat yang setia. Lawan langsung adalah
itikad tidak baik dan kebencian, sedangkan lawan tidak langsung adalah nafsu
keinginan jasmaniah, keterikatan nafsu indriya dan kegiuran atau kemelekatan
keakuan (pema). Kesemuanya ini sangat berbeda dengan Metta. Cinta kasih
jasmaniah apabila tidak dibedakan dengan Metta, dapat membawa kecelakaan atau
kerugian baik bagi diri sendiri bagi orang lain. Haruslah waspada terhadap
musuh terselubung ini yaitu keterikatan nafsu indriya dan kekikiran atau
kemelekatan kepada materi. Apabila rasa cinta kasih timbul karena keterikatan,
maka sesungguhnya bukan metta. Mencintai seseorang berarti mengembangkan
keterikatan padanya dan jika yang kita cintai juga bereaksi sama, maka suatu
ikatan terjadi, namun apabila perpisahan terjadi pada keduanya atau salah satu
pihak melemah cintanya, maka akan terjadi keadaan yang tidak menyenangkan dan
bahkan terjadi sesuatu yang amat menyedihkan.
Tentang
Kebenaran Aria tentang penderitaan, Sang Buddha bersabda : ‘Berkumpul dengan
orang yang tidak disenangi adalah penderitaan, berpisah dengan yang disukai
adalah penderitaan, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan’.
Sedang
Metta adalah suatu keadaan batin yang amat bersih : yang bagaikan air raksa
yang tidak akan melekat pada apapun.
Memang amat
sulit untuk mencintai seseorang dengan tanpa harus terikat, tanpa ada perasaan
keakuan, baik mengenai diri ‘ku’ dan kepunyaan ‘ku’, sebab penekanan tentang
‘aku’ sudah dominan.
Juga amat
sulit untuk membedakan perbedaan mengasihi antara si Anu dan si Polan, dengan
tanpa membeda-bedakan kasih antara sesama; untuk memperlakukan semua bagaikan
saudara atau mengasihi dengan tanpa keterikatan batin – hampir tidak mungkin –
namun orang yang berusaha dan mencoba biarpun sedikit tentu akan memperoleh
hasil, maka sungguh berharga untuk dicoba. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik
yaitu dendam dan dendam amatlah tidak baik dan merusak siapa saja yang
memeliharanya. Jika kita amat marah maka sebenarnya kita tak jauh daripada
binatang buas. Kita menggeram dan menggigit, mencakar dan menerjang. Ini semua
karena kebodohan. Ini merupakan kenyataan baik dari segi perorangan maupun
sampai kepada hubungan antar negara.
Metta
merupakan obat terbaik bagi kemarahan yang ada pada diri kita. Ia merupakan
obat penyembuh yang mujarab bagi mereka yang sedang marah. Marilah kita mengembangkan
cinta kasih bagi siapa pun yang memerlukan dengan hati yang lapang dan tidak
terikat. Cinta kasih itu bahasa hati, bahasa dari hati ke hati, kekuatan yang
menghubungkan dan mempersatu. Cinta kasih yang dikembangkan dengan mendalam
akan mempunyai kekuatan bagaikan magnetik. Dengan memancarkan cinta kasih ini
memungkinkan kita untuk menarik dan mempengaruhi orang lain.
Beberapa
negara percaya bahwa jika mereka mempertahankan perdamaian, mereka harus
mempersiapkan diri untuk perang. Namun penyelidikan ternyata tidak membenarkan
pendapat ini. Petunjuk yang tidak goyah adalah seperti yang telah disabdakan
oleh Sang Buddha pada 2500 tahun yang lalu :
‘Di dunia
ini kejahatan tidak bisa diakhiri dengan kejahatan. Hanya dengan cinta kasih
segalanya dapat diakhiri. Inilah hukum yang abadi’.
Melalui
cinta kasih seseorang akan dapat menambah kebajikan dalam hidup ini. Dapat
membuat kesemarakan dunia ini, menjadi lebih agung, lebih baik, lebih jujur,
suatu dasar landasan yang lebih baik dari cara lainnya. Tidak ada nasib yang
jelek daripada kebencian, tidak ada cara yang paling aman terhadap kebencian
orang lain daripada batin yang penuh cinta kasih, hati yang sudah padam
kebenciannya.
Jika
seseorang telah mengembangkan cinta kasih yang mendalam akan terbebas dari
keinginan untuk memiliki atau memegang erat, maka cinta kasih yang murni ini
tidak akan ternoda sedikitpun oleh nafsu yang bagaimanapun kecilnya, maka cinta
kasih seperti itu amat mantap namun tidak mencengkeram, halus caranya, namun
pasti, amat kuat dan mampu menembus bagaikan intan tetapi tidak menyakiti,
bersifat membantu tetapi tidak mencampuri, amat sejuk membahagiakan, lebih
bersifat memberi daripada menuntut, tidak bangga namun agung, tidak lemah namun
lembut, inilah sifat cinta kasih yang akan mengangkat seseorang pada ketinggian
pencapaian batin, dan pada orang yang mempunyai sifat ini, tidak mungkin lagi
ada itikad jahat.
Cinta kasih
adalah kekuatan yang aktip. Setiap perbuatan cinta kasih dilakukan dengan tekad
untuk menolong, membebaskan, membahagiakan, melapangkan jalan; cara yang amat
lembut untuk disesuaikan dengan penaklukkan penderitaan, suatu keberhasilan
berkah tertinggi.
Cara untuk
mengembangkan cinta kasih ialah melempar jauh-jauh semua sifat jahat, kebencian
dan dendam serta merenungkan keuntungan dari keadaan tidak membenci, dengan
jalan memusatkan pikiran pada kenyataan sesuai hukum karma, bahwa sebenarnya
tidak ada apapun yang harus dibenci dan bahwasanya kebencian adalah perasaan
yang bodoh yang hanya menambah gelapnya batin, yang menghalangi Perhatian
Benar.
Kebencian
membatasi – cinta kasih membebaskan. Kebencian mengikat – cinta kasih
melepaskan. Kebencian menggelisahkan, cinta kasih menumbuhkan kedamaian,
Kebencian menggelegakkan darah – cinta kasih menenangkan, menumbuhkan kesabaran.
Kebencian memecah belah – cinta kasih menyatukan. Kebencian mengeraskan – cinta
kasih melembutkan. Kebencian menghalangi – cinta kasih membantu. Hingga dengan
mempelajari dengan tepat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebencian dan
manfaat cinta kasih maka seharusnya orang mengembangkan cinta kasih.
CINTA KASIH
Bagaikan
seorang ibu yang mengasihi anak tunggalnya
dengan
kasih sayang tak kenal batas, amat luas, tak terbendung, tak terukur, dan
untuk itu,
ia siap mengorbankan diri sendiri.
Berikanlah
cinta kasihmu bagi semua makhluk,
ke timur,
ke barat, ke utara, dan ke selatan,
ke atas dan
ke bawah,
kian
menyebar, meluas, tanpa batas, tak pernah berhenti, amat luas meliputi
segalanya.
Murnilah
cinta kasih seperti itu, tidak mengikat,
tak dimengerti
oleh yang dungu,
namun
dimengerti yang bijak dan yang tahu,
mereka
mampu menghargai bagaikan emas murni’.
(Kassapa
Thera)
II. KARUNA
(WELAS ASIH)
Karuna
(Skrt.-Pali) didefinisikan sebagai berikut: ‘Sifat yang menggetarkan hati orang
yang baik bila merasakan penderitaan orang lain’ atau ‘kualitas yang
menumbuhkan perasaan lembut pada orang yang baik di saat melihat penderitaan
makhluk lain’.
Kekerasan
dan kekejaman merupakan kebalikan dari Karuna, sedangkan kesedihan merupakan
lawan terselubung dari Karuna. Sekalipun yang disebut terakhir ini
berpenampilan sebagai teman, namun ia bukan Karuna yang asli, ia hanya berupa
simpati palsu, simpati pura-pura dan seseorang harus berusaha untuk mampu
membedakan belas kasihan palsu dengan yang asli. Cara yang penuh Belas Kasihan
akan menghindari kejahatan dan kekejaman dan berusaha melenyapkan penderitaan
makhluk lain, memberikan sesuatu yang menenteramkan siapa saja, tanpa pandang
bulu.
Dengan
pengalaman dan teladan nyata, Sang Buddha merupakan orang Maha Karuna
(seseorang yang penuh rasa belas kasihan). Beliau memancarkan Karuna untuk
semua makhluk hidup dan tidak pernah menganjurkan kekerasan, kekejaman atau
menimbulkan kesulitan.
Pada suatu
saat Sang Buddha bersabda kepada para pengikutNya: ‘Saya tidak memusuhi dunia,
dunialah yang memusuhi saya. Seorang pengikut Dhamma tidak memusuhi dunia atau
siapa saja’. Petunjuk Sang Buddha tersebut penuh diliputi Karuna.
Kebajikan
dan kejahatan tak bisa bersama-sama; kebajikan bersifat membangun, menegakkan,
sedangkan kejahatan bersifat menghancurkan. Karuna tak dapat dikembangkan oleh
orang yang mengutamakan keakuan. Hanya orang yang penuh pengorbanan yang
memenuhi batinnya dengan pikiran yang bersih penuh rasa kasihan dan selalu
ingin menolong yang lain. Orang yang egois tak mungkin berguna bagi yang lain
sebab keakuannya menghalanginya untuk berbuat baik. Begitu dia menjadi egoistis
dan mendahulukan kepentingan dirinya, maka ia gagal melembutkan kekerasan
hatinya. Kekerasan tingkah laku dapat diatasi dengan perasaan belas kasihan,
turut bersimpati. Jika Anda menyingkirkan Karuna dari Ajaran Sang Buddha
berarti menghilangkan Inti Ajaran beliau, sebab semua sifat-sifat baik, semua
kesucian laku hidup mempunyai dasar Karuna sebagai pangkal pijakan (karuna
nidhanam hi silam).
Kebajikan-kebajikan
(paramita) yang dilakukan oleh para Bodhi satta atau siapa saja menunjang
pembentukkan Kebijaksanaan, Kesucian Batin, tampak pada laku Karuna.
Karuna
(belas kasihan) diarahkan oleh Kebijaksanaan dan Pengertian Benar, dan sebaliknya
Kebijaksanaan diarahkan oleh Karuna. Keduanya saling menunjang dan berjalan
bersama-sama, merupakan tulang punggung dari Agama Buddha, prinsip saling
menjaga dan menunjang.
Belas
kasihan jelas bukan suatu kilasan sesaat dari pikiran. Ia adalah sesuatu yang
bertahan lama dan terus-menerus. Jika seseorang gelisah atau murung, maka
Karuna mendorong orang untuk bertindak dan menolong yang sedang dilanda derita.
Ini
memerlukan kekuatan batin. Mereka yang tergesa-gesa mengatakan bahwa Karuna ini
sekedar suatu pernyataan dari kelemahan pikiran sebab mempunyai sifat yang
lembut maka mereka tidak mengerti apa yang mereka katakan. Mungkin mereka
berpendapat bahwa menganiaya merupakan lambang kekuatan. Manusia cenderung
terpesona menyelidiki berbagai mesin yang diciptakan Ilmu Pengetahuan duniawi.
Sebenarnya yang lebih penting adalah menyelidiki gerakan mekanis batin.
Penyelidikan seperti inilah yang mampu menghilangkan kesalahpahaman antar
manusia.
Karena
perang selalu dimulai dari pikiran manusia, Unesco dan lembaganya mengatakan:
‘Hasil pemikiran manusialah yang berpendapat bahwa pertahanan perdamaian harus
dibuat’. Terdapat satu kesadaran yang mengikat yang kita perlukan untuk kembali
dalam Dhamma, kejujuran, kebenaran jika kita hendak membentuk suatu masyarakat
yang sehat dan berakhlak.
Dewasa ini,
lebih dari waktu yang lain, kita memerlukan cahaya Dhamma. Jika orang mengerti
Dhamma, ia mampu membedakan yang benar dari yang tidak benar, yang tidak baik
dari yang baik, maka mereka akan menyadari kejahatan yang ditimbulkan
perkelahian.
Hanya
melalui terang Dhamma maka dunia mengetahui cara kerja batin. Sebagai kata
pujangga:
‘Kehidupan
bagaikan buih yang lalu lalang
Hanya dua
hal yang tampak jelas bagaikan batu karang;
Belas
kasihan kepada penderitaan orang lain
dan
keberanian yang harus ada pada diri sendiri’.
III. MUDITA
(SIMPATI)
Gembira
atas keberhasilan orang lain merupakan sifat ketiga dari Berkah Mulia yang
dikenal dalam bahasa Pali sebagai Mudita. Bukan sekedar simpati, namun simpati
yang tanpa keakuan dan juga bersifat gembira. Lawan langsungnya adalah iri hati
dan lawan terselubung adalah luapan emosi. Iri hati merupakan ketidakbaikkan
yang membuat batin kita kotor dan membuat kita menderita.
Bila orang
lain berada dalam keadaan murung, kita memperlihatkan simpati dan berusaha
menghilangkan kemurungannya. Tapi manakala orang lain berhasil kita selayaknya
menunjukkan kegembiraan atas keberhasilannya. Sifat ikut bergembira atas
keberhasilan orang lain adalah seperti bila kita gembira atas keberhasilan kita
sendiri.
Malangnya,
orang-orang tertentu justru merasa iri dan tak senang akan keberhasilan orang
lain, sebaliknya merasa gembira atas kegagalan atau kerugian orang lain. Ada
beberapa orang tua merasa iri atas keberhasilan anak orang lain sedangkan anaknya
sendiri tidak berhasil. Ini tak berguna dan membuahkan hasil yang tidak
menguntungkan. Iri hati adalah kotoran batin yang banyak tampak pada berbagai
manusia -- tak peduli apakah mereka cendekiawan, politikus atau orang terkenal.
Dalam hal ini perlukah kita melihat orang-orang yang miskin dan tak terpelajar.
Seringkali mereka lebih mudah diajak kerja sama dan tidak egois.
Daripada
kita membiarkan diri tenggelam dalam iri dan dengki, lebih baik kita berusaha
keras untuk melenyapkan berbagai rintangan batin dan mengisi serta mengejar
harapan kita. Harus kita camkan, namun tak harus terlampau diperhatikan, apa
yang disebut 'nasib baik'. Kamma atau penyebab moral amat berperan dalam
kehidupan kita.
Mudita
adalah sifat yang dipujikan bagi manusia, ia menghilangkan kebencian. Melalui
meditasi dan mempelajari liku-liku kehidupan, kita akan mampu membentuk sifat
baik (mudita) dengan merasa senang atas keberhasilan, kesejahteraan dan
kemajuan orang lain. Dengan berbuat begitu, batin kita diisi dengan kegembiraan,
tak rewel, bersih dan agung.
Di saat
menyaksikan orang kelaparan, kita memberi makanan atas dasar Karuna. Manakala
kita melihat ia makan pemberian kita, kita sadar bahwa laparnya telah
dilenyapkan dan ia merasa bahagia. Dengan demikian kita juga turut merasa
bahagia. Perbuatan-perbuatan menghilangkan keakuan ini membuat kita senang dan
puas, sifat Mudita. Anda dapat menyaksikan bagaimana kedua sifat ini saling
menunjang dan kerja sama.
IV. UPEKKHA
(KESEIMBANGAN)
Yang
keempat dan terakhir dari sifat yang luhur (Brahmavihara) adalah Upekkha
(keseimbangan batin), dan bukan berupa ketidak-acuhan karena nafsu keinginan.
Keseimbangan ini disebabkan oleh hasil batin yang tenang dan terpusat. Keempat
sifat luhur ini saling mempengaruhi dan berkaitan, namun Keseimbangan batinlah
yang memelihara yang lain: cinta kasih, belas kasihan dan Mudita. Keseimbangan
batin adalah yang terpenting dan paling bernilai, amat dalam dan paling sulit
untuk dikembangkan.
Hidup bukan
sekumpulan bunga mawar, seseorang memerlukan kesabaran yang amat besar, tenaga
dan kemantapan hati untuk dapat mengembangkan sifat ini tanpa terjerumus pada
keakuan dan berpihak (subjektip). Keseimbangan batin menjaga ketiga sifat yang
terdahulu dan memelihara siswa meditasi agar berada pada keselamatan dirinya.
Ia menghasilkan kepercayaan bagi diri sendiri.
Kita selalu
dihadapkan pada perubahan delapan macam dari kehidupan ini (atthalokadhamma),
untung dan rugi, termashur dan tidak termashur, dipuji dan dicela, suka dan
duka. Sesungguhnya amat berat untuk tidak terganggu bila tersentuh dengan salah
satu darinya. Tetapi orang yang sudah seimbang batinnya tidaklah goyah. Ia
tidak bergetar. Di tengah pujian dan celaan, untung dan rugi, suka dan duka, ia
seteguh batu karang. Dikatakan bahwa 'mereka telah meninggalkan dan
menanggalkan keinginan terhadap apapun. Mereka tidak lagi menghiraukan
pikiran-pikiran untuk memiliki. Tidak disentuh oleh kesakitan (penderitaan)
ataupun kebahagiaan, para Bijak tak menunjukkan kegairahan atau
keputusan-asaan.'
Orang awampun
yang mengerti sifat alam dan kehidupan makhluk dengan segala naik turunnya,
yang mengembangkan keseimbangan batin, mampu menghadapi segala bentuk perubahan
dari kehidupan ini dengan tabah. Ia mampu melihat segala sesuatu pada proporsi
yang wajar dan perspektif dan bagaimana mereka datang dan pergi, tampak dan
lenyap.
'Dengan
bebas dari ketakutan dan kegelisahan, ia mampu mengenali kerapuhan dari sesuatu
yang tak kekal. Batin yang tenang … maju terus, baik pada saat yang
menguntungkan maupun merugikan, pada keteguhan langkah sendiri bagaikan lonceng
yang berdetak terus di saat terjadi badai.'
Mengenai
dan mengerti kerja 'kamma', hukum sebab dan akibat (pada batin) dan bagaimana
Kamma terjadi masak (kammavipaka), amatlah penting bagi yang bersungguh-sungguh
mengembangkan keseimbangan batinnya. Dalam sinar kamma seseorang mampu bersikap
tidak terikat dengan makhluk lain, bahkan pada semua (apa saja). Penyebab yang
paling dekat dengan keseimbangan batin adalah pengertian bahwa semua makhluk
mendapatkan hasil dari kamma masing-masing (disini perbuatannya masing-masing).
Lawan langsung dari Upekkha dan keterikatan dan lawan tersebung sarinya adalah
kekejaman atau sifat acuh tak acuh akibat kebodohan batin.
Upekkha
mengesampingkan baik keterikatan (anurodha) maupun kebencian (virodha).
Keduanya amat ekstrim. Siswa meditasi yang mengikuti Jalan Tengah tidak terikat
dengan apa yang menyenangkan atau pun yang tidak menyenangkan perasaaannya. Ia
mempertahankan keseimbangan batinnya tanpa tergetar, tanpa meluap-luap, tanpa
merasa tertekan maupun gelisah. Penyiar Wordworth mengamati: ‘Batin yang kuat
acapkali didapatkan pada orang yang tidak dikenal dunia’ dan 2500 tahun yang
lalu Sang Buddha bersabda :
‘Demikianlah,
kosong itu berbunyi nyaring
yang penuh
hening dan tenang;
Si dungu
bagaikan guci berisi setengah,
Yang
Bijaksana bagaikan telaga’.
‘Bahwasanya
kita mampu memperoleh lebih dari kehidupan ini ialah dengan jalan menjauhkan
keinginan bukan dengan mengorbankan – pelajaran hidup yang masih sulit untuk
dicerna. Kita terlampau tinggi menilai pelengkap-pelengkap dan alat-alat
kehidupan ini dan terlalu rendah menilai kesempatan untuk dapat hidup’. (Croft
Cooke).
Metta
merangkul semua makhluk, Karuna menyentuh orang yang sedang menderita, Mudita
menumbuhkan semangat bagi yang berhasil dan Upekkha merangkul baik yang
berhasil maupun yang tidak berhasil, yang jahat maupun yang baik, yang dikasihi
maupun yang diterlantarkan, yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan,
yang tampak buruk maupun yang cantik, tanpa pilih kasih.
‘……. Siswa
meditasi mengalami kebahagiaan; dengan kebahagiaannya perhatiannya terpusat. Ia
merenungkan dan menggenangi ke satu arah dengan hati penuh cinta kasih.
Demikian pula ke arah kedua, ketiga, keempat, keatas, ke bawah dan ke sekelilingnya.
Ia melanjutkan memancarkan cinta kasih berlimpah ruah, tumbuh membesar, tidak
terbatas dan tidak terukur, tanpa kebencian, tanpa kebencian, tanpa tekad tidak
baik. Ia merenung sambil memancarkan hati penuh belas kasihan (karuna) … penuh
simpati (mudita) …. teguh dalam keseimbangan (upekkha) tanpa kebencian, tanpa
itikad jahat.
Bagaikan
hanya ada sekuntum bunga teratai dalam air jernih, air harum, sejuk, bening
dengan tepiannya yang indah, dan ada orang yang tiba dari Timur, Barat, Utara,
dan Selatan dibebani dengan rasa panas, lelah, kehausan dan kekeringan. Dengan
datang ke kolom teratai itu ia akan menghilangkan dahaga dan panasnya.
Demikian
juga … orang yang datang pada Ajaran ini dan Dhammavinaya yang dibabarkan oleh
Sang Buddha, setelah mengembangkan Metta, Karuna, Mudita dan Upekkha akan
memperoleh kedamaian dalam batinnnya -- adalah disertai dengan ketenangan dalam
batinnya, siswa meditasi melakukan latihan dengan pergi menyepi.
Appendix 1
USAHA BENAR
Fungsi dari
Usaha Benar terdiri dari empat tindakan yaitu untuk mencegah, meninggalkan,
mengembangkan dan mempertahankan.
1. Usaha
Benar dengan mencegah.
Seorang
siswa meditasi mengerahkan usahanya untuk mencegah timbulnya kemauan jahat,
pikiran yang tidak baik yang belum muncul. Dia berjuang dan mengembangkan
tenaganya serta memperkuat batinnya (untuk mengakhirinya).
Seorang
siswa meditasi di saat melihat bentuk, mendengar suara, membau bauan, mencecap,
merasa ataupun mengamati objek batin, tidak menangkap tanda-tanda maupun
keterangan (yaitu tidak tergerak oleh bentuk umum maupun detil mereka).
Disebabkan oleh hasrat dan kemurungan, dan pikiran yang jahat serta tidak baik
menyerobot masuk ke dalam diri seseorang yang tak terkendali indriyanya, maka
dia mengusahakan pengendalian atas indriyanya. Inilah yang dikatakan sebagai
mencegah.
2. Usaha
Benar dengan meninggalkan.
Seorang
siswa meditasi mengerahkan usahanya untuk meninggalkan pikiran yang tidak baik
yang telah muncul. Dia berjuang dan mengembangkan tenaga serta memperkuat
batinnya (untuk mengakhirinya).
Seorang
siswa meditasi tidak memperbolehkan keinginan indriyanya yang telah muncul,
melainkan meninggalkan, membuang dan menolaknya, mengakhiri serta melenyapkan
mereka. Demikian juga dengan pikiran jahat yang telah timbul.
Inilah yang
dikatakan sebagai meninggalkan.
3. Usaha
Benar dengan mengembangkan.
Seorang
bhikkhu mengerahkan usahanya untuk membuat dan mengembangkan pikiran yang baik
yang belum muncul. Dia berjuang, mengembangkan tenaga serta memperkuat batinnya
(untuk mengakhiri).
Seorang
siswa meditasi mengembangkan faktor-faktor Penerangan Sempurna dengan
menyendiri, bersikap tenang, menggunakan alat penghenti yang berakhir dengan
kebebasan yaitu: Perhatian, menyelidiki Dhamma, Tenaga, Kegiuran, Ketenangan,
Konsentrasi dan Keseimbangan Batin. Inilah yang disebut sebagai mengembangkan.
4. Usaha
Benar dengan mempertahankan
Seorang
bhikkhu mempertahankan objek konsentrasi (meditasi) yang menyenangkan … Inilah
yang disebut sebagai mempertahankan.
Jadi inilah
yang disebut sebagai empat usaha:
Pikiran
jahat yang dimaksudkan disini adalah tiga akar kajahatan, yaitu: keserakahan,
kebencian dan kebodohan batin (lobha, dosa dan moha). Bentuk nafsu yang lain
bertetangga dengan ketiga akar penyebab ini, sementara pikiran yang baik menjadi
kebalikan mereka.
Tujuan
utama dari empat usaha ini adalah mencapai keberhasilan dalam meditasi. Empat
usaha benar merupakan tuntutan meditasi. Sebagaimana telah kita baca
sebelumnya, usaha benar ini termasuk dalam kelompok samadhi atau konsentrasi.
Karena usaha benar sedemikian itu saling menunjang dan tergantung, ia bekerja
bersama dan serentak dengan dua faktor lain dari kelompok tersebut, yaitu
Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Tanpa usaha yang benar rintangan bagi
kemajuan batin tidak dapat ditanggulangi. Usaha Benar membuang pikiran jahat
dan yang tidak baik yang berlaku seperti rintangan bagi ketenangan menyerap dan
mengusahakan serta mempertahankan faktor batin yang lebih baik yang membantu
pengembangan konsentrasi.
Appendix 2
RINTANGAN-RINTANGAN
BATIN
(NIVARANANI)
Oh para
bhikkhu, ada lima macam rintangan batin yang menyebabkan kebutaan, mengaburkan
pandangan dan ketidaktahuan yang melenyapkan pandangan, dengan disertai
penderitaan dan tidak mengarah ke Nibbana.
Nivaranani
berarti sesuatu yang menghalangi pengembangan batin. Ia disebut rintangan,
sebab bersifat mencengkram, memotong dan merusak. Ia menutup pintu ke arah
kebebasan. Apa kelima rintangan itu?
Kammacchanda
: nafsu indriya
Vypada :
itikad jahat
Thinamiddha
: kelambanan dan kemalasan
Uddhacca-kukucca
: kegelisahan dan ketakutan
Vicikiccha
: keragu-raguan
1.
Kammacchanda adalah kobaran nafsu terhadap objek indriya. Pikiran dipenuhi
dengan nafsu yang dengan pasti merusak pengembangan batin. Ia mengganggu batin
dan merintangi konsentrasi. Nafsu indriya muncul akibat panca indriya tidak
terkendali, yang apabila tidak diawasi akan menumbuhkan nafsu pada pikiran
sehingga batin menjadi kotor. Oleh sebab itu amat penting bagi siswa meditasi
untuk mengawasi dan waspada terhadap rintangan ini yang menutupi usaha kearah
kebebasan.
2. Vyapada
adalah itikad jahat. Sebagaimana halnya dengan nafsu indriya, perhatian yang
tak teratur dan tidak bijaksana menumbuhkan Vyapada. Dan jika tidak selalu
diawasi akan makin berkembang, mempengaruhi batin dan mengaburkan pandangan. Ia
memutar-balikkan seluruh kerja batin dan dengan demikian menghalangi kesadaran
akan kebenaran dan menutup jalan ke arah Pembebasan. Nafsu dan itikad jahat
yang berdasarkan kebodohan tidak hanya mengganggu pertumbuhan batin tapi juga
menjadi sebab timbulnya ketegangan antar manusia dan antar negara.
3.
Thinamiddha adalah kelambanan dan kemalasan, merupakan keadaan yang mengerikan
dari batin dan bentuk-bentuk batin. Tidak seperti yang diperkirakan orang
tentang kelambanan dan kemalasan, sebab para Arahat – makhluk-makhluk yang
sempurna – yang terbebas dari sifat tidak baik juga mengalaminya. Bagaikan
mentega yang terlalu keras untuk dioleskan, sifat ini membuat pikiran
menjadikanku serta lemah dan dengan demikian mengurangi semangat dan
kesungguhan siswa meditasi, membuatnya lesu dan malas secara batiniah.
Keengganan akhirnya menumbuhkan kemalasan dan ketidak-acuhan (masa bodoh) yang
lebih besar.
4.
Uddhacca-kukucca adalah kegelisahan dan ketakutan, suatu sifat yang tidak baik
yang menghambat kemajuan. Batin yang tidak tenang adalah bagaikan lebah
manakala sarangnya digoyang, batin yang tidak mampu berkonsentrasi. Begitu juga
dengan rasa takut. Di saat seseorang sedang meresahkan sesuatu disertai rasa
was-was, seperti misalnya rasa resah akan pekerjaan yang belum selesai atau
bila mengalami kerugian materi; ia tak akan pernah mampu berada dalam
ketenangan batin. Hal ini mengganggu dan membuatnya resah dan menimbulkan rasa
takutnya dan semua perasaan was-was tersebut menghalangi konsentrasinya.
5.
Vicikkiccha adalah keragu-raguan yang merupakan rintangan terakhir. Arti
harfiah kata Pali ini adalah : tanpa (vi = vigata) obat penyembuh (cikiccha).
Seseorang yang menderita karena keragu-raguan sesungguhnya menderita penyakit
yang kronis, dan jika ia tak mampu melenyapkan maka selanjutnya ia akan
menderita terus-menerus. Dan selama seseorang tergantung pada keadaan batin
seperti itu, ia akan memandang apapun secara skeptis. Dan ini amat merugikan
perkembangan batin. Para penafsir menggambarkan penghalang ini sebagai
ketidakmampuan mengambil keputusan yang tepat, termasuk juga keragu-raguan yang
berhubungan dengan kemungkinan mencapai tingkatan Jhana yaitu kedalaman
meditasi.
Jadi kelima
rintangan batin ini baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama merintangi
terciptanya ketenangan konsentrasi.
Batin yang
terikat pada sifat seperti itu, tak dapat berkonsentrasi dengan baik pada objek
apapun dengan nyaman. Memang benar seseorang dapat memusatkan perhatiannya
(konsentrasi) pada objek atau pikiran mengenai sesuatu yang mengobarkan nafsu
atau ketidakbaikan dan sebagainya, namun ini merupakan konsentrasi yang keliru
(micchasamadhi). Jelaslah bahwa selama kotoran batin dan hawa nafsu (kilesa)
terdapat pada diri seseorang, maka cetusan-cetusan pikiran jahat terus
bermunculan. Bagaimanapun seorang siswa meditasi yang melatih dirinya dengan
tekun dan tetap mampu mencegah perbuatan yang tidak baik sebab
rintangan-rintangan ini berada di bawah kendalinya.
Seseorang
harus mengembangkan lima kekuatan batin (faktor-faktor Jhana) yang disebut
Jhananga untuk mampu mengatasi rintangan-rintangan ini. Mereka adalah :vitakka,
vicara, piti, sukha, dan ekagata, yang dengan tepat merupakan kebalikan dari
kelima rintangan ini. Kelima faktor batin inilah yang meningkatkan siswa
meditasi dari tingkat yang rendah sampai ke tingkatan yang lebih tinggi.
Kesadaran yang disertai dengan peningkatan batin ini disebut Jhana.
Faktor-faktor
jasmaniah ini dalam urutan tahap demi tahap, mampu memperlemah rintangan-rintangan
batin yang membantu jalan menuju konsentrasi. Nafsu indriya, sebagai misal,
dilemahkan oleh ekagata, yaitu penyatuan arah atau penyatuan pikiran (piti);
kelambanan dan kemalasan dengan Vitakka; rasa takut dan gelisah dengan sukkha;
keragu-raguan diatasi dengan vicara. Jika diletakkan bersisian akan terjadi
urutan sebagai berikut :
Kamacchanda
-- ekagata
Vyapada --
piti
Thinamiddha
-- vitakka
Uddhaccakukkucca
-- sukha
Vicikicca
-- vicara
Appendix 3
SONA, SISWA
MEDITASI YANG TEKUN
Ada suatu
kisah tentang seorang bhikkhu yaitu bhante Sonakolivisa, yang berusaha dengan
tekun dan rajin, namun tidak mencapai hasil apa-apa baik secara batin maupun
jasmaniah. Timbullah pikiran sebagai berikut : ‘Siswa Sang Buddha sangat giat
berusaha, termasuk diriku ini. Namun pikiranku masih belum bebas dari kotoran
batin. Keluargaku kaya raya dan aku dapat menikmati kekayaanku dan bisa berbuat
baik; seandainya aku mengakhiri latihanku ini dan kembali pada kehidupan umat
biasa, untuk menikmati kekayaan dan melakukan kebaikan?
Sang Buddha
membaca pikiran Sona, beliau mendekat dan bertanya:
Sona,
apakah engkau berpikir: 'Para Siswa Sang Bhagava selalu hidup rajin berlatih
diri …. dan berbuat baik?'
Demikianlah,
Guru Agung.
Dan apa
pendapatmu, Sona, tidaklah engkau merasa tidak trampil memetik kecapi sewaktu
engkau masih menjadi umat biasa?
Demikianlah
Guru Agung
Dan apa
pandapatmu, hai Sona, jika senar kecapimu itu terlalu kencang, dapatkah ia
mengeluarkan suara dan dapatkah dimainkan?
Tidak, tentu
saja tidak, Sang Guru Agung
Dan Sona,
bagaimana bila tali kecapi itu dipasang terlalu kendur, mampukah ia
mengeluarkan nada yang sesuai?
Tentu saja
tidak, Yang Mulia.
Tapi, Sona,
di saat tali senar kecapimu dipasang tidak terlampau kendur maupun tidak
terlalu kencang sehingga seimbang, apakah kecapi tersebut dapat dimainkan dan
serasi bunyinya?
Tentu saja,
Yang Mulia.
Demikian
juga, wahai Sona, usaha yang terlampau bersemangat akan mengarah pada
pengacauan. Dan jika terlalu kendur (tak bersemangat) akan membuatmu lengah.
Oleh karena itu, tetapkanlah bagimu demikian: Dengan memahami keseimbangan dari
sifat-sifat penunjang (saddha = keyakinan, viriya = semangat, sati = perhatian
benar, samadhi = konsentrasi, pañña = kebijaksanaan) engkau akan berpegang
teguh bagi pancapaian tujuan dengan usaha yang seragam.
Baik, Yang
Mulia.
Maka
bhikkhu Sona mengikuti petunjuk latihan Sang Buddha tersebut dan pada saatnya
mencapai kesempurnaan dan tergolong sebagai salah seorang Arahat.
Appendix 4
MEGHILANGKAN
PIKIRAN – PIKIRAN YANG MENYIMPANG
Risalat ke
20 Kitab Majjhima Nikaya (Vitakkasanthana Sutta) memberikan petunjuk-petunjuk
praktis cara melenyapkan pikiran yang sedang kacau, yang amat diperlukan oleh
siswa meditasi. Berikut ini adalah intisarinya. Sang Buddha memberi petunjuk
sebagai berikut:
Para
bhikkhu, seorang siswa meditasi yang menginginkan kemajuan harus dari waktu ke
waktu memperhatikan lima hal:
1. Jika
sewaktu memperhatikan objek, pikiran jahat yang disertai keinginan, kebencian
dan kebodohan, maka ia harus memindahkan perhatiannya pada objek yang luhur
untuk dapat mengatasinya. Maka pikiran kotor itu akan lenyap. Dengan lenyapnya
pikiran yang kotor, maka batin akan mantap dan tenang, bersatu dan terpusat ke
dalam. Sebagaimana seorang tukang kayu berserta pembantunya yang ahli
menyingkirkan bahan yang kasar dan menggantinya dengan bahan yang lebih baik,
demikian juga dengan siswa meditasi harus melenyapkan dan mengganti objek
meditasinya. Dengan begitu pikiran yang tak baik yang disertai lobha, dosa dan
moha tersingkir sehingga batin yang menjadi teguh.
2. Jika
pikiran jahat tetap ada pada siswa meditasi yang sudah menggantinya maka ia
harus memperhatikan ketidak-baikkan gerak pikirannya, dan merenungkannya
sebagai berikut: ‘Kini pikiranku sedang tidak baik dan hanya membawa akibat
yang menyakitkan’. Dengan cara ini, pikiran yang tidak baik dilenyapkan dan
batin menjadi tenang.
3. Jika
pikiran tersebut tetap timbul pada siswa meditasi yang sudah berusaha
memperhatikannya ketidak-baikkan yang ditimbulkan oleh pikiran yang tidak baik
ini, maka ia harus tidak memperhatikan lagi. Dengan demikian ia melenyapkannya.
Dan bila pikiran jahat lenyap, batinnya menjadi teguh.
4. Jika
pikiran jahat itu tetap ada sekalipun sudah tidak diberi perhatian, seorang
siswa meditasi harus menyoroti akar (penyebab) pikiran jahat tersebut. Dengan
lenyapnya ini, maka batin menjadi tenang dan teguh.
5. Jika
pikiran jahat itu masih ada sekalipun siswa meditasi telah menyoroti
penyebabnya, maka rapatkan gigi atas dan gigi bawah, letakkanlah lidah ke
langit mulut, tutuplah mulut dan siswa meditasi mencoba membendung pikiran yang
tidak baik dengan pikiran yang baik. Dengan demikian pikiran yang jahat akan
lenyap dan dengan lenyapnya pikiran jahat maka batin menjadi teguh.
Jika
melalui perenungan objek yang baik yaitu dengan memikirkan kerugian yang
ditimbulkan oleh pikiran jahat; dengan tidak memberikan perhatian dan tidak
merenungkan pikiran jahat; dengan merenungkan penghilangan akar-akar pikiran
jahat; dengan membendung, mengatasi dan mengendalikan pikiran jahat dengan
pikiran baik disertai dengan perapatkan gigi atas dan bawah dan lidah
ditekankan ke langit-langit mulut, maka pikiran-pikiran jahat dapat
disingkirkan. Selanjutnya batin menjadi teguh dan tenang, disatukan dan terarah
ke dalam, maka siswa meditasi dapat disebut sebagai Penguasa Sang Jalan
hamparan pikirannya. Ia mampu menunjukkan pikiran pada apa yang dikehendaki
untuk dipikirkannya. Ia mampu memotong nafsu dan melenyapkannya sama sekali; menguasai
keakuan dan kesombongan mengakhiri penderitaan.
Source : http://www.samaggi-phala.or.id