Rabu, 15 Agustus 2012

JALAN MENUJU KETENANGAN DAN KEBERSIHAN BATIN




Judul Asli : Buddhis Meditation
Oleh Piyadassi Thera




Bersabdalah Sang Buddha Gotama

“Kini saya katakan, Nigrodha, tidak mengharapkan untuk memperoleh murid, tidak mengharapkan kamu untuk gagal dalam mempelajari pengetahuan agama, tidak mengharapkan kamu untuk menghentikan cara dan laku hidupmu yang telah biasa kamu lakukan, tidak memaksakan padamu untuk menerima sesuatu sebagai tidak baik dan tidak sempurna sebagai kamu atau gurumu memandangnya, atau menganjurkan padamu untuk meninggalkan sesuatu yang engkau anggap baik dan juga dianggap baik oleh gurumu. TIDAK DEMIKIAN.

“Namun, Nigrodha, ada beberapa hal yang tidak baik, jahat, yang tidak disingkirkan (dilenyapkan), segala sesuatu yang bersangkutan dengan kekotoran batin. Untuk melenyapkan ini semua, maka aku mengajarkan Dhamma; berlakulah hidup sesuai dengan Dhamma, maka segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kekotoran (batin) akan dapat dilenyapkan, dan sesuatu yang baik dapat dikembangkan, dan siapapun, baik kini maupun kelak, mampu mencapai dan menghayati dengan penuh kebijaksanaan.”

(Udumbarika-sihanada Sutta, D.N., 25)



MEDITASI BUDDHIS

Jalan Menuju Ketenangan dan Kebersihan Batin.

Dua ribu lima ratus tahun yang lampau, seorang putra mahkota pada usia dua puluh sembilan tahun, saat seseorang berada di puncak kegemilangan hidup, telah meninggalkan tahta yang penuh dengan kemegahan dan kekuasaan dan pergi menyendiri ke hutan menjauhi keduniawian mencari obat untuk mengatasi penyakit kehidupan, mencari jalan keluar dari belenggu ketidakpastian untuk mencapai Nibbana.

Di bawah bimbingan para ahli meditasi pada zaman itu, beliau mencari dengan harapan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan ke arah pembebasan dan kebijaksanaan; beliau melatih konsentrasi, pemusatan perhatian (samatha atau samadhi) dan telah mencapai tingkat-tingkat tertinggi dari latihan-latihan tersebut. Namun beliau merasa tak puas dengan semua itu karena tidak menghasilkan Penerangan Agung. Pengetahuan dan kemampuan guru beliau cenderung pada mistik dan karenanya tidak memuaskannya untuk mencari apa yang masih belum diketahuinya.

Menjadi kepercayaan di India pada zaman itu, terutama di kalangan para ahli kebatinan (ascetic), bahwa penyucian batin dan kebebasan akhir batin dapat diperoleh dengan melatih diri secara keras, kalau perlu dengan menyiksa diri. Beliau memutuskan untuk membuktikan kebenarannya. Beliau mulai berjuang untuk melatih jasmaninya dengan harapan, agar batinnya dapat mengatasi jasmaninya dan mampu membebaskan dirinya. Dengan amat tekun dan rajin beliau berlatih. Beliau hanya hidup dengan makan dedaunan, akar-akar pohon kemudian mengurangi jumlah makanan sehingga amat minim, pakaiannya sangat bersahaja yang dihimpunnya dari sampah buangan dan tidur di antara bangkai atau di atas duri. Kekurangan makan dan minuman membuat jasmani beliau sangat lemah.

Selama enam tahun lamanya beliau berjuang sedemikian kerasnya hingga hampir mendekati pintu ajal, namun tujuan tetap tak tercapai. Cara menyiksa diri jelas baginya tidak berarti melalui pengalamannya sendiri. Percobaan dengan cara seperti itu ternyata gagal. Namun beliau tidak putus asa. Dengan pikiran yang kuat dan kemauan yang membara, beliau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan. Beliau berhenti menyiksa diri dan berpuasa yang ekstrim itu dan kembali makan minum seperti biasa. Jasmani beliau yang telah lemah dan kurus itu kembali pada keadaan sehat seperti dulu. Beliau kini menyadari bahwa Jalan ke arah keberhasilan yang diidamkannya terletak pada penyelidikan ke dalam yaitu akan kemurnian batin sendiri, tanpa bantuan guru, beliau memutuskan untuk bertapa menyendiri untuk mencapai tujuan akhir.

Dengan bersila di bawah pohon yang kemudian terkenal sebagai pohon Bodhi atau pohon Penerangan Sempurna, di tepi sungai Neranjara, di Gaya (kini dikenal dengan sebutan Buddhagaya) suatu tempat yang sejuk dan mendorong kemantapan batin dan dengan tekad yang membaja : ‘Sekalipun badanku tinggal kulit dan tulang serta darahku mengering, aku takkan meninggalkan tempat ini sebelum mencapai Penerangan Sempurna’. Begitu mantap usahanya, begitu kuat pengabdiannya, begitu keras tekadnya dalam mencapai kebenaran dan memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi.

Dengan akhir pandangan seperti itu, beliau menyelusuri kedalaman batinnya untuk mencari cara meditasi yang dapat memberi ketenangan mutlak, penerangan dan kebebasan. Dengan cara Ana-apana-sati, beliau mencapai dan memasuki Jhana pertama (hasil kedalaman meditasi yang disebut juga Dhyana – Sankrt, suatu istilah yang sulit diterjemahkan). Secara bertahap beliau mencapai dan memasuki Jhana kedua, ketiga dan keempat. Dengan demikian beliau mempersiapkan diri membersihkan kekotoran batin yang masih melekat dan mampu mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana bhavana), Pandangan Benar dan Kebijaksanaan Mutlak, yang membuat orang mampu memandang sesuatu sebagaimana adanya dengan mengetahui ketiga corak umum (Tilakkhana) atau tiga sifat dari apa saja yang saling terkait yaitu anicca, dukkha dan anatta. Dengan Pandangan Terang ini, dengan penembusan yang bijaksana beliau mampu memahami dan mengetahui semua kesempurnaannya, yaitu yang disebut sebagai Empat Kesunyataan Mulia tentang penderitaan, sebab musababnya, lenyapnya dan cara mengakhiri.

Dengan mengetahui kesunyataan tersebut maka batinNya terbebas dari segala akar atau ikatan kenikmatan indriya (kama-asava), kotoran batin kehidupan (bhava–asava), kegelapan batin (avijja–asava). Sewaktu batin terbebas dari mereka, segeralah tumbuh pengetahuan dan pengertian : ‘Pandangan Benar timbul padaku, tak tergoyahkan kebebasan batinku. Inilah kelahiranku yang terakhir, tiada kelahiran lagi untuk selanjutnya bagiku, tak ada hasrat untuk menjadi’.

Pangeran India ini dengan pribadi dinamis, tidak lain adalah Sakyamuni Siddharta Gautama (Siddhattha Gotama), Sang Buddha.

Waktu telah berlalu dan Sang Buddha tampaknya tidak pergi jauh dari kita. Sabda Sang Buddha masih berkumandang di telinga kita dan mengatakan, agar kita jangan lari dari perjuangan namun harus tenang menghadapinya, dengan memandang bahwa justru kehidupan ini memberi kesempatan bagi kita untuk berkembang dan maju. Kepribadian masih berarti sejak dulu hingga kini, dan seseorang yang memikirkan kemanusiaan seperti Sang Buddha yang bahkan hingga saat ini masih terasa hidup dan membangkitkan semangat, pastilah orang yang menakjubkan.

‘Pesan Sang Buddha diucapkan beribu-ribu tahun yang lalu namun selalu baru dan asli bagi mereka yang melatih diri dalam kerohanian, menyentuh pandangan kaum intelek dan meresap ke lubuk hati masyarakat’.

DUNIA YANG SEDANG BERUBAH

Meditasi Buddhis merupakan inti dari Ajaran Sang Buddha. Karena subjek ini amat padat, saya mengusulkan untuk membicarakan beberapa segi saja, khususnya yang bertalian dengan Satipatthana, yaitu cara pengembangan perhatian terpusat atau terarah.

Di zaman sekarang, bukan zaman setengah abad yang silam, pendapat tentang kebaikan dan kejahatan berubah-ubah dengan cepat, usaha kearah perkembangan akhlak dan yang tidak baik berbeda-beda; begitu juga cara pendekatan dan pandangan umum tentang manusia serta benda juga amat berbeda-beda.

Kita hidup di zaman serba tergesa-gesa dan menuntut kecepatan. Dimana-mana ada ketegangan. Jika anda berdiri di ujung jalan dan memandang pada muka mereka yang sedang lewat maka terlihat bahwa mereka semua dihinggapi demam ketergesaan. Sebagian besar mereka sedang gelisah. Mereka mengantungi ketegangan. Hampir semuanya menggambarkan ketergesaan di wajah mereka. Seperti itulah kehidupan dunia modern.

Dunia sekarang ditandai dengan kesibukan dan ketergesaan yang menghasilkan keputusan cepat dan kelakuan yang tak bijak. Mereka berteriak di saat mereka dapat bicara secara biasa dan yang lain bicara disertai ketegangan dan tekanan yang berlebihan untuk waktu yang lama dan mengakhiri segala ucapannya dengan kelelahan yang menghabiskan tenaga. Semua ketegangan merupakan tekanan dalam pandangan kejiwaan, dan ketegangan mempercepat ausnya proses jasmani. Tak jarang tampak seorang pengendara sepeda dengan cepat melarikan sepedanya begitu melihat lampu persimpangan berwarna hijau. Orang yang gelisah memandang suatu persoalan bahkan yang kecil seperti suatu krisis sebagai suatu ancaman. Sebagai akibatnya ia tidak bahagia dan tidak tenang.

Segi lain dari kehidupan modern ini adalah terlalu bising. “Musik mengandung kelembutan”, kata mereka, namun dewasa ini bahkan musik yang lembut tak lagi disenangi karena kurang bising; bertambah bising dan nyaring musiknya maka bertambah disukai. Bagi orang yang hidup di kota besar takkan punya waktu untuk menilai kebisingan karena sudah terbiasa. Suara, tekanan yang ditimbulkan, banyak membuat kerugian berupa penyakit jantung, kanker, bisul, gangguan syaraf, dan sulit tidur. Sebagian besar penyakit kita disebabkan oleh keadaan batin, ketegangan yang dibawa serta kehidupan modern, kegelisahan ekonomi dan ketidaktenangan batin.

Kelesuan syaraf pada manusia semakin meningkat dengan cara hidup yang selalu tegang. Acapkali orang pulang dari pekerjaan dengan menunjukkan tanda kehabisan tenaga karena gelisah. Konsekuensinya adalah daya konsentrasi semakin menurun dan efektivitas kerja jasmaniah dan batin merosot. Orang cepat marah dan suka mencari kesalahan orang lain. Ia menjadi pemurung dan egois serta menderita tekanan darah tinggi dan susah tidur. Gejala kelesuan menunjukkan bahwa orang modern memerlukan istirahat yang cukup secara batin maupun jasmani.

Perlu diperhatikan bahwa menjauhkan diri secara tertentu, yakni penarikan batin dan pikiran dari keruwetan hidup amat perlu bagi kesehatan batin. Di manapun dan kapanpun ada kesempatan, pergilah keluar kota dan libatkan dirimu untuk menyendiri dan merenung, katakanlah sebagai yoga yaitu konsentrasi atau meditasi. Belajarlah merasakan keheningan yang amat berguna dan membawa kebaikan bagi kita. Salah sama sekali untuk berpendapat bahwa hanya yang suka keributan dan kesibukan yang mempunyai kemampuan. Diam itu emas, dan kita baru berbicara jika mampu meningkatkan keadaan diam. Memperhatikan keheningan amatlah penting. Daya kreatif dan agung bekerja dalam hening. Dan kita lakukan keheningan ini dalam latihan meditasi kita. Sang Buddha bersabda :

“Oh para bhikkhu, jika kalian sedang berkumpul, ada dua hal yang harus dilakukan, berbincang-bincang tentang Dhamma atau mengamati keheningan nan agung”.

NILAI DARI MENYENDIRI

Manusia terbiasa dengan keributan dan berbicara dan mereka merasa kesepian jika tidak berbicara dan dikucilkan. Namun jika kita melatih diri dalam seni berdiam diri, maka pasti kita akan menyenanginya. Pisahkanlah dan jauhkanlah dirimu dari kebisingan dan ketergesaan dan ingatlah bahwa ada kedamaian dalam kesunyian. Sekali waktu kita harus menjauhi kesibukan agar mendapatkan keheningan. Ini merupakan suatu keadaan damai dan tenang di saat menyendiri, kita akan mengalami hakekat yang berguna dari ‘mengheningkan cipta’. Kita melakukan perjalanan ke dalam diri kita. Jika kita memasuki keadaan diam maka kita samasekali sendirian untuk mampu memeriksa diri kita sendiri dan mampu melihat diri sendiri sebagaimana adanya, kemudian kita mampu mengatasi kelemahan diri dan keterbatasan kemampuan diri dalam pengalaman yang sederhana.

Waktu yang dipakai untuk menyendiri sesungguhnya bukan suatu pemborosan, malahan membentuk pribadi kuat. Yang ini merupakan suatu simpanan yang berharga kelak bagi pekerjaan kita sehari-hari dan kemajuannya, jika kita setiap hari mampu menyediakan waktu untuk menyendiri dan melakukan perenungan di keheningan. Sesungguhnya hal ini sama sekali bukan pelarian atau hidup berkhayal, namun cara terbaik untuk menguatkan pikiran dan menumbuhkan sifat-sifat baik pada pikiran/batin. Dengan menyelami pikiran sendiri serta perasaan yang timbul maka orang dapat mengetahui arti dan guna sesuatu dengan sebenarnya dan menemukan kekuatan yang terletak dalam diri.

Manusia modern mencari kebahagiaan di luar dirinya yang seharusnya dicari di dalam dirinya sendiri. Ia menjadi Ekstrovert. Kebahagiaan tidak terletak di luar dirinya. Peradaban modern bukan merupakan suatu berkah yang tidak campur aduk. Nampaknya manusia membawa dunia luar ke dalam kekuasaannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi seakan menjanjikan kesanggupannya membuat dunia menjadi suatu surga. Kini di mana-mana orang sibuk tanpa henti berusaha di dalam memperbaiki dunia. Para ahli mengejar metode dan hasil percobaannya tanpa rasa jemu dan penuh keyakinan. Usaha dan perjuangan manusia untuk dapat mengungkap rahasia alam berlangsung terus. Penemuan baru dan metode komunikasi serta hubungan memberikan hasil yang mempesona. Semua perbaikan ini walaupun bermanfaat dan bersifat khusus di bidang materi dan untuk luar batin manusia. Sekalipun begitu, manusia tidak mampu mengendalikan pikirannya sendiri, ia tidak menjadi lebih baik dari ilmunya. Bagaimanapun di dalam gerak batin dan jasmani manusia nyatanya terdapat keanehan yang tidak mampu diungkapkan sekalipun para ahli ilmu pengetahuan telah menyibukkan dirinya selama bertahun-tahun.

Orang selalu mencari jalan keluar bagi berbagai persoalannya, namun selalu gagal, sebab metode dan pendekatannya keliru. Mereka mengira bahwa seluruh persoalan bisa diatasi dari segi luar. Sebagian besar problema sebenarnya berada di dalam. Ia timbul dari dunia di dalam, oleh sebab itu pemecahannya harus dicari ke dalam juga.

Kita dengar bahwa orang yang memperhatikan pencemaran lingkungan telah memperdengarkan keberatannya terhadap pencemaran udara, laut dan darat. Namun bagaimana dengan pencemaran batin kita? Sebagaimana Sang Buddha menunjukkan: ‘Sejak lama batin manusia dikotori oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin. Kekotoran batin membuat manusia tidak suci, pembersihan batin membuat mereka suci’. Hidup secara Buddhis merupakan proses yang terus menerus dari pembersihan atas perbuatan, perkataan dan pikiran. Ini berupa usaha mengembangkan pemurnian diri sendiri di dalam menyucikan penyadaran diri. Penekanan ada pada hasil-hasil praktis dan bukan pada spekulasi kejiwaan atau analisa logika yang tidak nyata, oleh karena itulah menjadi kebutuhan sehari-hari untuk berlatih meditasi sebentar yang bagaikan seekor induk ayam yang sedang mengerami telornya, sebab hampir seluruh waktu kita hanya dihabiskan bagai seekor tupai dalam kandang yang berputar terus.

Meditasi bukan merupakan pelaksanaan kemarin atau kini. Sejak dahulu kala orang telah melakukannya dengan berbagai cara; para yogi, orang suci dan pencari Penerangan Sempurna dari tiap zaman telah melakukannya dan telah memperoleh hasilnya dan mencapainya melalui meditasi. Tak pernah ada dan tak mungkin ada suatu pembentukan akhlak atau pembersihan batin tanpa melalui meditasi adalah jalan yang dipergunakan oleh Sang Buddha Sidharta Gotama untuk mencapai tingkat tertinggi dari Kebijaksanaan Mutlak.

Meditasi bukan hanya bagi India atau hanya untuk zaman Sang Buddha, namun untuk semua manusia pada situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Batas kesukuan, agama, batas waktu ataupun ruang tidaklah menjadi halangan untuk melakukan meditasi.

Semua agama mengajarkan semacam meditasi untuk mengembangkan batin manusia yang bisa berupa berdoa diam atau membaca sendirian atau bersama-sama Paritta atau doa tertentu atau berkonsentrasi pada suatu objek yang suci, baik objek orang ataupun ide. Dan diyakini bahwa latihan batin seperti itu kadangkala membuat orang mampu melihat bayangan orang suci atau sedang terlibat berbicara dengan mereka atau mendengar suara atau penampilan yang gaib. Apakah semua itu khayal, ilusi, halusinasi belaka atau sekedar proyeksi bawah sadar atau gejala yang sungguh tak dapat dikatakan dengan pasti. Batin merupakan kekuatan tersembunyi yang mampu menghasilkan gejala demikian.

Keadaan tak sadarkan diri sejauh ini dikembangkan oleh para yogi dan ahli mistik tertentu hingga menjadi sesuatu yang tidak baik dipandang. Namun mereka sendiri tidak merasakan apa-apa sama sekali. Kita telah menyaksikan orang dalam sikap meditasi yang terjatuh ke dalam keadaan koma dan tampaknya kehilangan daya pikir. Yang menyaksikan menjadi salah terka, jika berpendapat bahwa itu adalah suatu jenis meditasi (bhavana).

Kitab suci Buddhis memberi tahu bahwa dengan melalui kedalaman meditasi (Jhana atau dhyana), dengan mengembangkan kemampuan batin maka orang akan mampu memperkembangkan kekuatan batin. Namun amat penting untuk diingat, bahwa Jhana Buddhis sama sekali bukan suatu keadaan menghipnotis keadaan diri sendiri atau suatu keadaan penciptaan dengan koma (lupa diri). Jhana Buddhis merupakan keadaan batin yang bersih; gangguan berupa keinginan dan dorongan hati telah mereda hingga batin menyatu untuk selanjutnya memberi keadaan kesadaran dan perhatian yang sempurna.

Amat menarik untuk mengamati gejala demikian, para ahli penyelidik dan ahli jiwa dapat menerima dan membenarkannya. Perhatian terhadap pandangan bawah sadar (kemampuan atau daya serap indra keenam), pada terapan ilmu jiwa secara perlahan memperoleh dukungan dan hasil yang diperoleh di luar dari dugaan semula. Semuanya ini sebenarnya hanya berupa hasil sampingan yang tidak begitu berarti jika dibandingkan dengan kebebasan akhir seseorang yang terbebas dari segala nafsu dan ikatan duniawi dan akhirnya berhasil mencapai kebebasan mutlak.

Meditasi yang diajarkan di dalam Agama Buddha tidak bertujuan untuk menyatukan diri dengan mahluk super ataupun untuk memperoleh pengalaman mistik ataupun untuk menghipnotis diri sendiri. Tujuan meditasi adalah untuk mencapai ketenangan batin (samatha) dan Pandangan Terang (vipassana), dengan tujuan akhir satu-satunya untuk memperoleh keadaan batin yang tidak tergoyahkan (akuppa ceto vimutti), jaminan tertinggi untuk terbebas dari semua belenggu batin dengan mengikis habis semua kekotoran batin. Tidak semua orang mampu mencapai tingkatan yang tertinggi ini yang merupakan kebebasan total dari batin, namun segala kegagalan tidak berarti, asal kita tetap tekun dan bersungguh-sungguh serta bertekad baik. Mari kita usahakan dan jangan ragu-ragu. Cukup berharga untuk terus diusahakan. Pada suatu saat, walau tidak dalam kehidupan yang sekarang, jika tetap tekun maka akan mencapai tingkat yang tertinggi.

Sekalipun kita gagal mencapai tingkat kebijaksanaan yang tertinggi, kita akan tetap mendapatkan pahala dari usaha kita. Masyarakat yang bergerak cepat memerlukan meditasi walaupun sedikit untuk melenyapkan ketegangan dan tekanan serta untuk bertahan terhadap perubahan yang dibawa kehidupan. Dengan meditasi kita dapat mengatasi persoalan kita yang bersifat kejiwaan ataupun problema yang berkenaan dengan kejiwaan seperti kegelisahan, emosi dan dorongan hati; meditasi akan meningkatkan kedamaian dan ketenangan yang kita dambakan.

PENAKLUKAN DIRI DAN NARKOTIK

Sang Buddha bersabda: ‘Sekalipun seseorang menaklukan seribu lawan, namun bila ia mampu menundukan dirinya sendiri ia adalah orang besar’. Ini tidak lain adalah penaklukan diri sendiri. Ini berarti menguasai isi batin dan emosi yang kita sukai atau yang tidak kita sukai. Milton, seorang penyair, mengumandangkan kata-kata Sang Buddha sebagai berikut: ‘Penaklukan diri sendiri merupakan kerajaan terbesar yang dapat diperoleh seseorang dan sebaliknya, bila kita memperturutkan keinginan akan menjadi budak yang menyedihkan’.

Pengendalian batin sendiri adalah kunci kebahagiaan. Ini merupakan kekuatan di balik semua pencapaian. Setiap perbuatan yang tidak terkendali adalah sia-sia. Bila kita tidak mampu menguasai diri, maka berbagai konflik akan timbul di dalam batin. Jika semua konflik harus dikendalikan, jika tidak dihilangkan maka seseorang harus mengekang keinginan, kecenderungan dan usahanya untuk hidup terkendali dan murni. Tiap orang menyadari manfaat latihan jasmaniah. Walaupun demikian kita tidak hanya sekedar jasmani belaka, kita juga punya pikiran yang memerlukan latihan. Kebahagiaan tergantung padanya.

Dari segala kekuatan maka kekuatan pikiranlah yang paling hebat. Ia merupakan kekuatan sendiri. Untuk dapat mengerti sifat kehidupan sebenarnya, seseorang harus menyelidiki semua gerak batin yang terdalam, yang hanya dapat diselami dengan instropeksi mendalam berdasarkan kemurnian kelakuan dan meditasi.

Menyadari kenyataan ini, bertambah banyak orang dari dunia Barat yang mempelajari Dhamma, Ajaran Sang Buddha. Telah dicapai suatu kesepakatan di antara kaum terpelajar Barat bahwa Agama Buddha merupakan agama ilmu jiwa tertinggi, dan bahwa Agama Buddha paling mampu menyoroti dan menangani gerak yang rumit dari batin manusia dibanding dengan sistem pendekatan dan pandangan yang lain.

Pandangan Agama Buddha adalah batin atau keadaan kita itu merupakan pokok keberadaan kita. Semua pengalaman kejiwaan, seperti sedih dan senang, susah dan bahagia, baik dan buruk, hidup dan mati…… tidak disebabkan oleh sesuatu di luar diri. Semua ini merupakan hasil batin dan pikiran serta perbuatan kita sendiri. Akhir-akhir ini seseorang telah menyelidiki gejala-gejala yang bersifat kejiwaan, suatu penyelidikan yang nampaknya mengungkapkan kekuatan tersembunyi batin manusia. Dorongan dalam diri untuk mencari bimbingan batin, sedang meningkat. Ini merupakan pertanda yang baik.

Perhatian orang Barat terhadap cara berfikir ahli yoga dan pemeditasi India telah meningkat secara mengagetkan. Alasannya tidak perlu jauh untuk dicari. Nampaknya ada perasaan gelisah yang menumpuk pada manusia dimana-mana. Perasaan itu lebih tampak pada remaja. Mereka menghendaki jalan pintas yang cepat untuk mengatasi kekeruhan dalam dunia yang bersifat materi ini. Mereka mendambakan kedamaian dan ketenangan.

Problema remaja tidak dapat dipecahkan dengan cara dogmatis dari pelajaran agama bertahun-tahun. Pernyataan-pernyataan yang menyangkut batin (ke dalam diri) tetap tidak terjawab. Nilai yang dilekatkan pada aspek materi kehidupan amat dihargai oleh manusia modern tampaknya tidak mampu dan tidak berguna untuk menyelidiki batin. Problema kehidupan dunia Barat pada dasarnya bersifat kejiwaan. Nyatanya pengetahuan, ilmu dan kemampuan teknologi di bidang materi tidak mampu memberi jawaban bagi problema dunia dan manusia. Jenis pengetahuan begitu hanyalah melipatgandakan problema yang ada.

Remaja yang menjadi pecandu obat bius merasa yakin untuk menemukan jawaban atas frustrasi batin mereka, kini mengarahkan diri mereka pada latihan yoga dan meditasi. Jelaslah obat bius tidak mampu berbuat apapun dibanding dengan hasil meditasi yang dapat kita capai. Obat bius bukan merupakan pengganti meditasi yang benar di dalam mencari ketenangan batin dibanding menguatkannya.

Dunia telah dicengkram oleh gangguan baru berupa penyakit yang tidak tersembuhkan bagi mereka yang disentuhnya, bahkan mencelakakan mereka, serta keterjangkitan yang menjanjikan mimpi ke alam yang indah, menuju suatu kehidupan yang tanpa arti dan tujuan, suatu penyakit yang mengancam anak-anak kita atau dunia teknologi atau abad modern: obat bius. Berjuta-juta remaja telah dihinggapinya, beribu-ribu dari mereka tidak dapat diselamatkan dari kematian, ratusan ribu telah kecanduan dan hanya tergantung serta terperangkap pada obat-obatan seperti ‘hasis’ yang menyebabkan kerusakan otak dan berlanjut pada keruntuhan akhlak.

Terdapat bukti yang tidak dapat dibantah bahwa meditasi mampu merubah batin yang secara kejiwaan, pada gilirannya mempunyai efek sampingan yang berguna sekali. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menilai efek-efek ini.

Dr. Herbert Benson yang melakukan penyelidikan terhadap meditasi selama satu dasawarsa terutama sangat tertarik saat mengetahui bahwa faktor--faktor kejiwaan alamiah mampu mempengaruhi jantung, tekanan darah dan segi yang lain dari peredaran darah dan fungsinya. Pendapat dan penyelidikannya dibukukan dengan judul: ‘The Relaxation Response’.

Penyelidikan yang dilakukan dalam Universitas Havard, Cambridge, Amerika Serikat mengungkapkan bahwa ratusan remaja yang menelan L.S.D. dan mengisap ganja telah menghentikan semua itu setelah melakukan meditasi beberapa bulan.

MEDITASI DAN MISTIK

Meditasi pasti bukan pengasingan sukarela dari kehidupan, atau suatu usaha untuk hari depan (setelah mati). Meditasi harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan hasilnya didapatkan saat ini dan di sini juga. Ia tidak terpisah dari apa yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, ia merupakan bagian dari kehidupan kita. Kenyataan ini menjadi jelas jika kita mempelajari empat objek meditasi, atau penerapan dari Perhatian Benar (Satipatthana). Jika kita terbebas dari keributan kehidupan kota, bebas dari cengkraman kesibukan duniawi maka kita tak begitu kehilangan kontrol diri. Dan ini hanya mungkin bagi masyarakat yang berusaha untuk memeriksa kekeliruan seperti itu. Meditasi yang kita lakukan merupakan bantuan yang berarti agar kita mampu menghadapi semua ini dengan tabah. Dan jika kita mengabaikan meditasi maka hidup kehilangan arti, tujuan dan ilhamnya.

Ada suatu waktu di mana banyak orang berpendapat bahwa meditasi hanya bagi pertapa, para yogi dan penghuni hutan. Kini pendapat itu berubah. Dewasa ini tampak meningkat minat atas meditasi. Jika meditasi ini diartikan sebagai disiplin dan pembudayaan batin maka tak usah dikatakan lagi bahwa semua orang harus melaksanakannya, tanpa memandang jenis kelamin, bangsa, keturunan atau perbedaan yang lain.

Masyarakat modern dalam bahaya dilanda pesona dan godaan yang hanya mampu diatasi dengan usaha yang berat dan mantap dalam melatih batin kita.

Memang diakui amat sulit untuk meninggalkan kebiasaan berpikir dan berkelakuan, namun meditasi mampu membantu kita untuk mengatasi beban dari segala kesulitan hidup ini. Tujuan akhir dari meditasi Buddhis adalah untuk mencapai Kebijaksanaan Mutlak, Penguasaan diri sendiri dan Nibbana melalui penguasaan atas semua kotoran batin.

Namun terlepas dari tujuan utama tadi, ada keuntungan dan manfaat lain yang mampu diraih dengan meditasi. Ia mengilhami kita untuk menemukan kecerdasan, keluhuran alamiah kita dan bahwa kita berharga. Meditasi mampu meredakan syaraf, mengendalikan atau menurunkan tekanan darah, membuat kita santai dengan mengendorkan pemborosan tenaga akibat ketegangan syaraf, memperbaiki kesehatan dan menyegarkan badan.

Ia juga dapat merangsang kekuatan yang tersembunyi dari batin, membantu berpikir jernih, berpengertian mendalam, mempunyai batin yang seimbang dan tenang. Bahkan beberapa penyakit syaraf pun dapat disembuhkan. Kita dapat mempergunakan meditasi untuk mengatasi keadaan dalam emosi. Tekanan batin kebal akan efek sampingan dari obat-obatan. Meditasi menenangkan diri dan beberapa pengobatan yang lain dapat dipergunakan dengan berhasil terhadap beberapa penyakit kronis. Meditasi merupakan suatu proses kreatif yang bertujuan merubah perasaan yang kalut dan pikiran yang tidak baik menjadi harmonis dan murni. Ia merupakan cara pengobatan yang sangat berguna bagi problema dunia modern. Jika batin terlatih dengan meditasi maka ia akan mampu menangkap sesuatu yang berada di luar jangkauan pencerapan biasa. Semua manfaat ini dapat diperoleh dengan meditasi, tentu saja tidak langsung, namun bertahap melalui sistem yang sistematis.

Meditasi adalah cara hidup. Ia merupakan cara hidup yang menyeluruh, bukan hanya sebagian. Tujuannya adalah mengembangkan manusia seutuhnya. Marilah kita berusaha keras untuk menjadi sempurna dan tak usah menunggu zaman emas yang akan datang. Bukan tidak mungkin bagi kita untuk memperoleh apa yang benar-benar kita kehendaki dengan kemampuan batin yang ada pada diri kita yakni kekuatan yang luar biasa dari batin kita.

Meditasi adalah gejala istimewa kehidupan manusia dan oleh sebab itu, harus didekati dari sudut pandang manusiawi dengan perasaan manusiawi dan pengertian manusiawi. Problema kehidupan dan jalan keluarnya pada dasarnya bersifat kejiwaan. Meditasi yang sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan mistik. Mereka sangat berbeda. Sementara mistik membawa kita pergi dari kenyataan kama, meditasi mendekatkan kita pada kenyataan; sebab dengan meditasi kita akan mampu melihat khayalan dan halusinasi kita secara langsung. Ini membawa perubahan yang menyeluruh pada watak kita. Ini lebih merupakan suatu yang tidak dipelajari. Kita harus meninggalkan banyak hal yang telah kita pelajari dan anut dengan menyadari bahwa mereka hanya merupakan penghalang yang menggoda kita.

Semua problema kejiwaan berakar dari kebodohan dan pandangan salah. Ketidaktahuan adalah mahkota kemalangan (avijja paramam malam). Irihati, kebencian, kepongahan dan setumpuk kotoran batin yang lain berjalan bersamaan dengan kebodohan batin. Pemecahannya harus ditemukan di dalam problema itu sendiri dan seharusnya kita tidak lari darinya. Coba periksa dan selidiki dan anda akan menemukan bahwa semuanya itu adalah problema kehidupan. Oleh karena itu janganlah menyalahkan semua ini disebabkan oleh mahluk lain. Persoalan kita yang sebenarnya hanya bisa dipecahkan dengan meninggalkan semua konsep palsu dan bayangan khayal dan membawa hidup kita ke dalam keserasian dengan kenyataan dan ini hanya dapat diperoleh dengan melalui bermeditasi.

JALAN MULIA BERUNSUR DELAPAN

Dengan menjauhi apa yang membuat mabuk serta meningkatkan kewaspadaan, memantapkan kesabaran dan menjaga kebersihan batin, para bijak melatih dirinya. Tidak seberapa sulit bagi yang menginginkan ketenangan jika lingkungannya menunjang, namun jika berada di lingkungan yang tidak sesuai amatlah sulitnya. Justru kesulitan seperti itu yang harus diatasi, sebab dengan demikian kita membangun karakter yang kuat.

Dengan melatih pemusatan pikiran maka batin akan menjadi tenang. Dapatkah kita mencapinya? Jawabannya adalah : ‘Pasti’ – namun bagaimana caranya? Bukan dengan melakukan ‘sesuatu yang hebat’. Mengapa orang suci itu hebat? Jawabannya adalah : mereka tetap bergembira pada saat yang sulit untuk bergembira, dan tetap bersabar pada saat sulit untuk bersabar. Mereka tetap bersemangat disaat mereka harus berusaha untuk berdiam diri dan justru berdiam diri pada saat ingin berbicara. Itulah semua. Amat sederhana tetapi maha sulit untuk dikerjakan. Suatu persoalan pembersihan batin…..!

Berusahalah terus dengan tanpa berhenti. Tiada seseorang dapat mencapai puncak gunung dengan seketika. Bagaikan seorang pandai besi yang trampil mengeluarkan kotoran dari perak satu per satu, demikianlah kita berusaha demi keberhasilan batin kita sendiri.

Jalan yang ditunjukan para Buddha dan yang berhasil dari segala jaman untuk menumbuhkan dan mengembangkan batin adalah meditasi dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan mulia ini terbagi atas tiga bagian: Sila (kemoralan), Samadhi dan Pañña (kebijaksanaan) yang merupakan satu-satunya cara. Tidak ada jalan pintas lain untuk menuju Penerangan Sempurna. Jalan ini sangat khas Buddhis. Tidak ada satupun Ajaran Agama atau filsafat lain yang mampu dipertandingkan dengannya.

Semua bimbingan yang bersifat praktis yang ditunjukkan oleh Sang Buddha untuk melenyapkan konflik batin yang disebabkan oleh ketidakpuasan hidup, dapat ditemukan di dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan ini.

‘Saya telah menyelidiki setiap cara dari semua agama yang dikenal di dunia ini, namun tidak saya temukan yang mampu menyamai baik dari segi keindahan maupun luasnya seperti Jalan Mulia ini. Oleh sebab itu Saya bertekad untuk mengabdikan dan merubah diri Saya sesuai dengannya’ (T.W. Rhys Davids, Presiden dari Pali Text Society, London).

Jalan Mulia Berunsur Delapan (Jalan Tengah) tersebut adalah :

Pandangan Benar (sammaditthi) ----- Pañña (kebijaksanaan)

Pikiran Benar (sammasankappa)

Ucapan Benar (sammavaca)

Perbuatan Benar (samma Kamanta) ----- Sila (kemoralan)

Daya Upaya Benar (samma ajiva)

Usaha Benar (sammavayama)

Perhatian Benar (sammasati) ----- Samadhi (Konsentrasi)

Konsentrasi Benar (sammasamadhi)

DUA TINGKATAN DALAM MEDITASI

Penjelasan meditasi seperti apa adanya melalui kitab suci Buddhis awal sedikit banyak berdasar atas metode yang digunakan Sang Buddha untuk mencapai Penerangan Sempurna dan Nibbana, dan dalam pengalaman Beliau sendiri disaat mengembangkan batinNya.

Istilah meditasi sebenarnya dapat disamakan dengan istilah ‘bhavana’ yang arti harafiahnya ‘pengembangan batin’ yakni usaha untuk menumbuhkan batin terpusat, tenang, mampu dengan jelas melihat sifat batin sesungguhnya gejala apapun yang dapat merealisir Nibbana, suatu keadaan batin ideal dari batin yang sehat.

Meditasi yang dilakukan oleh Sang Buddha ada dua macam : Pemusatan Batin (samatha atau samadhi) yaitu penyatuan pemusatan batin (cittekaggata Skrt. cittaikagrata), dan Pandangan Terang (Vipassana Skrt. Vipasyana atau Vidarsana). Dari kedua istilah ini samatha atau konsentrasi, untuk alasan ini kata samatha atau samadhi, pada konteks tertentu dimaksudkan sebagai ketenangan atau keheningan. Menenangkan pikiran berarti menunggalkan pikiran yang diperoleh dengan menunjukan batin pada suatu objek pilihan dengan meninggalkan yang lain.

Meditasi (bhavana) dimulai dengan pemusatan pikiran/konsentrasi (samatha) adalah suatu keadaan yang bebas dari kekalutan. Apa pemusatan itu? Apa ciri-cirinya? Dan bagaimana mengembangkannya?

‘Apapun cara penyatuan pikiran, inilah pemusatan (konsentrasi); empat usaha terhadap perhatian benar adalah ciri-ciri pemusatan, merupakan syarat-syarat yang diperlukan dalam pemusatan; bagaimanapun cara melatihnya, mengembangkannya, akan meningkatkan kemampuan konsentrasi. Inilah yang membangun konsentrasi. Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa ketiga faktor kelompok samadhi yakni: Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar bekerja sama dan saling menunjang. Ketiganya meliputi konsentrasi yang sesungguhnya.

Perlu ditunjukkan bahwa mengembangkan pemusatan pikiran (samatha bhavana) seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha bukan semata-mata Agama Buddha. Para Yogi sebelum Sang Buddha telah melakukan berbagai cara meditasi yang berlainan yang sampai kini masih dilakukan. India sejak dahulu sudah merupakan negara mistik, tetapi yoga yang amat terkenal di India tidak mampu melampaui sampai titik batas.

Samatha seperti yang diajarkan di dalam Agama Buddha hanya berakhir pada pencapaian Jhana dan Vipassana mengarah kepada empat tingkat pencapaian kesucian batin atau emansipasi. Siswa meditasi yang melanjutkan usahanya dengan tekun dan terus-menerus dengan Vipassana melenyapkan tahap demi tahap, kotoran batin yang membelenggu dirinya dalam putaran penderitaan (Samsara, juga disebut roda kehidupan dan kematian) dan mencapai tingkat keempat dari kesucian batin Arahat. Pengertian yang detail tentang Empat kesucian ini dapat dibaca dalam buku ‘The Buddha’s Ancient Path, karangan Piyadasi Thera, B.P.S. hlm 210’.

Sang Buddha tidak puas dengan pencapaian Jhana dan pengalaman mistik; satu-satunya tujuan Beliau adalah pencapaian Kebijaksanaan Mutlak dan Nibbana. Setelah mencapai ketenangan yang mantap dan konsentrasi yang tidak tergoyahkan dengan Samatha bhavana, Beliau mampu mengembangkan Vipassana yang membuat orang mampu memandang apapun dalam keadaan sebagaimana adanya, dan tidak sebagaimana penampilannya. Dengan kata lain untuk mengerti bagaimana sesungguhnya diri kita ini.

Istilah Vipassana (vi + passana) berasal dari asal katanya, ‘dilihat dengan cara istimewa’ dan kata ‘passati’ melihat dan tambahan ‘vi’ artinya : ‘khusus’. Maka Vipassana berarti melihat dari segi yang lebih jauh, bukan melihat kepermukaan ataupun bersifat sepintas lalu melainkan melihatnya dalam perspektif yang sebenarnya, yang dalam istilah dari ketiga sifat khas dari semua gejala kehidupan yaitu anicca, dukkha dan anatta. Meditasi Pandangan Terang ini mempunyai landasan ketenangan batin hasil Samatha Bhavana yang meningkatkan kemampuan meditasi seorang siswa untuk membersihkan batinnya dari segala kotoran, melenyapkan khayalan keakuan dan mampu melihat kasunyataan dan merealisir Nibbana.

Vipassana merupakan ajaran khas Sang Buddha sendiri yang sebelumnya tidak pernah Beliau dengar, suatu pengalaman langsung yang luar biasa dan khas dari Beliau sendiri, yang tidak akan ada seandainya tidak ada Pangeran Siddharta.

BEBERAPA JENIS WATAK

Batin manusia amat dipengaruhi jasmaninya. Jika dibiarkan berperan semaunya dan melakukan pikiran yang tidak baik, maka akan mampu menciptakan kehancuran dan bahkan menyebabkan pembunuhan. Sebaliknya jika batin diliputi oleh pikiran yang baik dapat menyembuhkan jasmani yang sedang sakit. Jika batin dipusatkan pada pikiran yang baik dengan mengembangkan usaha benar dan pengertian yang benar, maka hasilnya tidak terbatas. Jadi batin yang bersih dan pikiran yang baik membuat hidup menjadi sehat dan santai.

Dr. Bernard Grad dari Mcgill University di Montreal melakukan suatu percobaan dengan susah payah yaitu jika seseorang penyembuh jasmani memegang sebotol air yang tertutup rapat dan air ini disiramkan ke bibit jelai maka akan tampak menyolok bahwa bibit-bibit tersebut tumbuh melebihi yang lain. Ini merupakan fakta yang mengejutkan karena jika pasien penyakit jiwa atau syaraf memegang sebotol air lalu menyiramkan ke bibit maka pertumbuhannya menjadi terganggu.

Kesimpulan Dr. Grad adalah ada suatu faktor X atau energi yang mengalir dari badan manusia yang mampu mempengaruhi pertumbuhan tanaman atau binatang. Keadaan batin manusia mempengaruhi dirinya. ‘Energi’ yang belum diakui tersebut mempunyai dampak luas bagi Ilmu Pengobatan, dari sifat-sifat penyembuhan sampai pada percobaan laboratorium, kata Dr. Grad.

Sebagaimana ditemukan olehnya bahwa batin mampu mempengaruhi benda, maka tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa batinpun mampu mempengaruhi batin.

Jasmani kita bisa berada dalam kesehatan yang amat baik, namun batin sakit, digerogoti oleh penyakit yang berupa lobha, dosa dan moha serta berbagai pesona yang menyesatkan. Sebagian besar penyakit manusia berasal dari batinnya. Batin tidak saja menjadi penyebab penyakit melainkan juga menyembuhkannya. Pasien yang optimis lebih banyak mempunyai harapan sembuh daripada pasien yang pesimis. Catatan keyakinan pada penyembuhan menunjukan bahwa cara inilah yang menyembuhkan penyakit organis secara mendadak.

Batin amat peka dan merupakan gejala yang ruwet sehingga tidaklah mungkin kita temukan dua orang yang sama batinnya. Pikiran manusia diterjemahkan melalui kata dan perbuatan. Pengulangan kata-kata dan perbuatan menumbuhkan kebiasaan dan akhirnya membentuk watak. Watak adalah hasil dari kegiatan yang dijuruskan oleh pikiran, oleh sebab itu watak manusia berbeda-beda. Ahli Ilmu Jiwa seperti Carl G. Yung mengatakan ada dua tipe, introvert dan exstravert, yaitu orang yang lebih suka memperhatikan diri sendiri daripada orang lain serta orang yang lebih suka memperhatikan hal-hal yang ada di luar dirinya.

Jalan ke arah pembersihan batin (Visudhi Magga) menunjukan enam tipe watak (carita) yang meliputi banyak hal yang tidak berarti. Ada beberapa yang condong ke-nafsu keinginan, kebencian, kebodohan batin, keyakinan, kecerdasan dan keraguan. Karena adanya watak yang berbeda-beda maka subyek meditasinya pun disesuaikan (kammatthana). Orang menjumpai kammatthana ini disebutkan satu demi satu pada Kitab Suci Pali, khususnya mengenai kotbah Sang Buddha. Petunjuk tentang Jalan menuju Pembersihan Batin, (Visuddhi Magga) ada empat puluh macam. Mereka benar-benar merupakan resep obat bagi berbagai kekacauan batin manusia.

Di dalam kitab Majjhima Nikaya, salah satu dari lima Kitab Tipitaka asli yang berisikan petunjuk-petunjuk Sang Buddha, ada dua di antaranya (no 61 dan 62) berisikan nasehatNya kepada Rahula sewaktu mengajarkan Dhamma. Semuanya berisikan tentang meditasi. Pada wejangan yang ke 62 kepada Rahula, yang saat itu baru berusia delapan belas tahun, menarik sekali untuk diperhatikan bahwa Sang Buddha memberikan tujuh macam meditasi, yang intinya sebagai berikut :

‘Kembangkanlah meditasi cinta kasih (metta), maka itikad jahat akan lenyap.

Kembangkanlah meditasi belas kasihan (karuna), maka kekejaman akan lenyap.

Kembangkanlah meditasi simpati (mudita), maka antipati (ketidak senangan terhadap keberhasilan orang lain) akan lenyap.

Kembangkanlah meditasi keseimbangan batin (upekkha), maka kebencian akan lenyap.

Kembangkanlah meditasi dengan objek yang menjijikan (asubha), maka nafsu keinginan akan lenyap.

Kembangkanlah meditasi pada objek ketidakkekalan (anicca sañña), Rahula; dengan demikian maka kesombongan diri atau ke-Akuan (asmi - mana) akan lenyap.

Kembangkanlah meditasi pada objek yang keluar masuknya nafas (anapana sati), Rahula, perhatian pada keluar masuknya nafas ini bila dilatih dengan sungguh-sungguh dan teratur banyak memberi manfaat.

Sang Buddha tidak hanya menganjurkan kepada orang lain untuk melatih meditasi, akan tetapi Beliau sendiri telah terbiasa melakukannya untuk menciptakan suasana damai, tentram (ditthadhamma sukha vihari). Pada suatu waktu Sang Buddha bersabda : ‘Wahai para Bhikkhu, Aku akan menyendiri selama tiga bulan. Yang menemuiKu hanyalah yang mengantarkan makanan dan minumKu’. ‘Baik Yang Mulia’, jawab para Bhikkhu. Setelah tiga bulan Sang Buddha bersabda sebagai berikut :

‘Wahai para Bhikkhu, jika ada seseorang dari ajaran lain bertanya kepadamu Meditasi apa yang sering dilakukan oleh Samana Gotama selama musim hujan, maka jawablah dengan mengatakan ‘Sang Buddha sering menghabiskan waktu selama musim hujan dengan meditasi keluar dan masuknya napas’. ‘Dengan meditasi ini Aku mengeluarkan dan menarik napas dengan penuh perhatian. Orang yang berkata benar harus mengatakan; perhatian benar terhadap keluar dan masuknya napas merupakan cara hidup Sang Tathagata’.

Kita tidak perlu dan tidak mungkin menguasai empat puluh subjek meditasi. Yang penting adalah memilih salah satu di antaranya yang sesuai dengan dirinya. Akan sangat membantu jika mendapat bimbingan dari orang yang sudah terlatih dalam meditasi, buku-buku tentang meditasi juga akan dapat membantu. Sesungguhnya dalam hal ini kita harus dengan jujur mengenali watak sendiri, sebab bila tidak, kita tidak akan mampu memilih subjek meditasi yang tepat. Begitu pilihan telah diambil, kita harus tekun melatih diri dengannya. Meditasi adalah suatu ‘usaha yang dilakukan diri sendiri’.

Jika sibuk dengan urusan duniawi, kita tidak akan mudah memisahkan diri dan menyendiri di tempat yang sepi untuk waktu tertentu melakukan meditasi dengan serius setiap hari. Namun jika ada kemauan maka akan terdapat jalan. Pada waktu pagi hari atau sesaat menjelang tidur atau kapan saja jika batin telah siap, walaupun sebentar, kita menyatukan pikiran dan meningkatkan konsentrasi.

Jika kita mengembangkan perenungan yang tenang setiap hari maka kita akan mampu mengerjakan tugas kita dengan baik, dan lebih efisien. Kita mempunyai keberanian untuk menghadapi kesulitan, mudah puas dan lebih mudah berhasil. Cukup berharga untuk dicoba, namun kita harus cukup sabar, percaya diri dan mantap. Jika memungkinkan, meditasi harus dilakukan dengan teratur dan cukup, dan hendaknya jangan mengharapkan hasilnya dengan cepat. Perubahan kejiwaan tibanya perlahan-lahan.

LATIHAN TIGA UNSUR

Diperlukan disiplin bagi kita di dalam berkata dan berbuat sebelum melatih batin dengan meditasi yang bertujuan menumbuhkan dan memperbaiki moral. Ini disebut latihan kebajikan (sila sikha). Tiga faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan kode hidup (sila) Agama Buddha, yaitu Ucapan Benar, Perbuatan Benar dan Daya Upaya Benar. Siswa meditasi yang berusaha dengan tekun mentaati sedikitnya Lima Pantangan (Pancasila) yang terdiri dari tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina, tidak berbohong dan tidak makanan dan minuman yang memabukkan. Pada latihan meditasi siswa diharapkan tidak melibatkan diri pada hubungan seks dan memelihara kemurnian diri.

Moralitas (sila) ini merupakan batu loncatan pertama, pangkal berpijak umat Buddha, merupakan fondasi untuk mengembangkan batin. Orang yang ingin menekuni meditasi harus mengembangkan cinta kasih dan kebersihan batin yang mempengaruhi kehidupan batin dan membuatnya tenang. Pencari ketenangan batin selalu berusaha menjauhkan diri dari keterlibatan nafsu atau melenyapkannya. Inilah sikap pertapa yang benar. Ia berpikir : ‘Biarlah orang berbuat jahat, saya tidak akan terpengaruh, saya tidak akan mencelakakan orang lain, biarpun orang lain berbuat sebaliknya. Biarlah orang lain mencuri tetapi saya tidak; biarlah orang lain berkehidupan tidak suci, namun saya harus hidup suci, biarlah orang lain terlibat kata-kata yang kasar, memfitnah dan membuat gosip, namun saya hanya akan berbicara yang membawa kebaikan, dapat diterima oleh telinga, penuh kasih, menyenangkan untuk didengar, tidak ada kesalahan, berharga untuk diingat, tepat pada waktunya, tepat mengenai persoalannya, saya tidak mau berkeinginan, biarlah orang lain bergairah pada sesuatu yang tidak berharga/pantas, namun saya akan mendambakan secara batin apa yang baik. Penuh semangat, rendah hati, tidak ragu terhadap apa yang benar, jujur, damai, berguna, pemurah, selalu benar dan adil dalam berhubungan dengan apapun juga. Saya akan selalu sadar dan bijak terhadap semua kenyataan sepanjang masa, dan tidak akan goyah terhadap sesuatu yang mudah lenyap dan tidak akan melekat padanya. Orang seperti itu tidak akan pernah berlaku sebagai budak atau seekor domba yang tidak mempunyai pikiran.

Sila, kode moral yang dikemukan oleh Sang Buddha bukan suatu urutan lapangan yang bersifat kaku tetapi lebih tepat merupakan suatu anjuran untuk berlaku baik – suatu sikap hidup penuh tekat baik demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Prinsip moral ini mengarah kepada suatu sikap masyarakat yang aman dengan menganjurkan persatuan, keharmonisan dan saling pengertian antar manusia.

Kelakuan yang baik akan membantu membentuk konsentrasi. Tiga faktor terakhir dari Jalan Mulia yakni Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar merupakan bagian dari Samadhi. Ini disebut latihan berkonsentrasi (samadhi sikha).

Dengan selalu meningkatkan kebajikan, ia melatih mengembangkan batin. Dengan duduk dalam ruangan tertutup, di bawah pohon, di alam terbuka, atau di manapun, siswa meditasi memantapkan perhatiannya kepada suatu objek meditasi dan dengan usaha yang tiada hentinya membersihkan diri dari segala kekotoran batin sehingga dengan bertahap akan memperoleh kedalaman konsentrasinya.

Konsentrasi yang tinggi dan dalam merupakan alat untuk mendapatkan kebijaksanaan dan Pandangan Terang. Kebijaksanaan terdiri dari Pandangan Benar dan Pikiran Benar, kedua faktor dari Jalan Mulia Berunsur Delapan. Ini disebut latihan kebijaksanaan (pañña sikkha). Jalan Tengah yang terdiri dari Sila, Samadhi dan Panna di dalam kitab Ajaran Sang Buddha disebut ‘Latihan Tiga Unsur’ (Tividha-sikkha). Tidak satupun dari mereka merupakan akhir dari diri sendiri, setiap bagian merupakan satu tujuan pencapaian. Tidak satupun dapat berfungsi tanpa tergantung pada faktor lain. Bagaikan sebuah pot yang berkaki tiga yang langsung terbalik jika salah satu kakinya putus, maka demikianlah hubungan dari ketiga unsur di atas. Mereka selalu bekerja sama dan saling menunjang. Kelakuan baik akan menguatkan konsentrasi yang akan membawa banyak manfaat. Konsentrasi pada gilirannya pada kebijaksanaan yang akan membantu kita melenyapkan pandangan salah dan dapat memandang kehidupan sebagaimana adanya, artinya dapat melihat kehidupan dan segala yang ada bergerak timbul dan lenyap (udaya-vaya). Dengan proses bertahap melalui pengalaman dan latihan dan pengalaman yang bertahap, ia membuang semua kotoran yang ada di dalam dirinya, mencabut seluruh akarnya dan memperoleh kebebasan yang baginya berarti pengalaman yang hidup dengan berakhirnya tiga akar kejahatan : lobha, dosa dan moha yang mengotori batin manusia. Ketiga akar ini harus dilenyapkan dengan melatih diri dengan menjalankan Sila, Samadhi dan Pañña.

Pada akhir pembersihan diri ia mencapai di mana cahaya Nibbana mulai terserap, keadaan hening di luar kata-kata, di luar perbuatan, namun damai mutlak, tidak akan goyah oleh pikiran yang dikotori oleh nafsu, sesuatu yang pasti dan mantap, gemilang luar biasa, kebahagiaan dari keheningan yang mendalam, suatu kepuasan terlepas dari beban, kelegaan, kebahagiaan yang amat dan bersih yang tiada persamaannya, yaitu Kebenaran Mutlak. Itulah mahkota dari kehidupan meditasi, hasilnya sangat besar. Dengan hasil ini maka semua kelahiran, kelapukan dan kematian dihentikan dengan total, kehidupan suci telah dicapai dan telah selesai apa yang harus dikerjakan, dan kata-kata tiada lagi punya arti.

Tampaklah di sini bahwa Sila, Samadhi dan Pañña bukan merupakan sifat yang terpisah, namun justru merupakan bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan yang merupakan Jalan Meditasi seperti terurai di atas.

PELAKSANAAN PERHATIAN BENAR.

Apakah meditasi itu? Untuk apa orang bermeditasi dan apa manfaatnya? Pertanyaan ini telah dijawab. Mari kita dekati prosedur khusus pelaksanaan meditasi.

Saya anjurkan untuk membicarakan satu segi yang penting dari meditasi Buddhis, yaitu Pelaksanaan Perhatian Benar atau Satipatthana. Kata patthana adalah singkatan dari upatthana yang arti harfiahnya ‘mendekatkan pada batin’, yaitu tetap sadar, tetap teguh, melaksanakan atau menumbuhkan. Untuk menumbuhkan daya kesadaran terhadap objek tertentu dan menghidupkan peranan dan mengarahkan kemampuan mengawasi, kemampuan kekuatan, faktor penerangan dan cara berkesadaran, semua ini merupakan pembentukan perhatian benar.

Petunjuk mengenai pembentukan Perhatian Benar (Satipatthana Sutta) yang dapat dikatakan sebagai Ajaran paling penting yang pernah diberikan sekitar 2500 tahun yang lalu oleh Sang Buddha Gotama untuk melatih, menetapkan, memurnikan, dan menyeimbangkan batin, tampil sebanyak dua kali di Kitab Suci Buddhis. Sebagai pembukaan yang terdapat di buku tersebut tentang latihan ini, jelas sekali disebutkan bahwa Satipatthana merupakan satu-satunya cara/jalan (ekayano maggo) untuk membersihkan batin, melenyapkan penderitaan, untuk mencapai Jalan yang benar serta Nibbana, itulah Satipatthana, pelaksanaan Perhatian Benar’.

Empat Pelaksanaan Perhatian Benar.

Jasmani (Kayanupassana).

Perasaan (Vedananupasana).

Gerak pikiran (Cittanupassana).

Objek-objek batin (Dhammanupassana).

Yang paling pokok di sini adalah Perhatian dan pengamatan (anupassana).

Sebagaimana telah disebutkan keadaan perhatian yang tenang dilakukan bersama ketiga faktor terakhir dari Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Ini merupakan Tiga Jalur dari kekuatan tali yang saling menjalin dan menunjang. Perhatian Benar adalah terkuat sebab memegang peran utama dalam usaha mencapai ketenangan maupun ketajaman pandangan. Perhatian Benar merupakan suatu kerja tertentu dari batin karena merupakan faktor batin. Tanpa ada faktor dari perhatian yang bernilai tinggi maka orang tidak dapat membedakan objek hasil pencerapan, tidak dapat melihat dan menyadari dengan jelas tingkah lakunya sendiri. Disebut Perhatian Benar karena mampu menghindarkan kesalahan arah perhatian dan menghindarkan batin dari perhatian terhadap sesuatu yang tidak baik serta menjaga agar siswa selalu berada pada jalan benar ke arah pembebasan, kedamaian dan kebersihan batin.

Perhatian Benar mempertajam kemampuan mengamati dan mendukung cara berpikir dan berpengertian benar. Cara berpikir dan mempertimbangkan yang teratur oleh Perhatian Benar. Petunjuk-petunjuk latihan memperlihatkan bahwa siswa meditasi menjadi sadar akan gerak pikirannya, siaga mengawasi dan menangkap setiap gerak pikiran, tidak perduli yang bersifat baik ataupun buruk, terpuji atau tidak. Semua petunjuk mengingatkan kita kepada ketidakacuhan dan lamunan serta selalu mendorong agar batin kita tetap siap. Sebenarnya siswa yang rajin akan melihat dan menyadari bahwa sekedar membaca dan menyadari kembali segala petunjuk terkadang membuatnya sadar dan waspada, rajin dan serius. Tidak perlu dikatakan bahwa Perhatian Benar selalu diusahakan oleh orang yang berminat. Kesungguhan adalah amatlah penting untuk mengembangkan Perhatian Benar ini justru pada zaman yang membingungkan ini banyak orang menjadi korban dari ketidak-seimbangan batin.

Perhatian Benar merupakan alat yang tidak saja membuat konsentrasi menjadi tenang tetapi juga meningkatkan Pengertian Benar dan Daya Upaya Benar. Ia merupakan faktor yang amat penting di dalam kegiatan duniawi maupun spiritual. Kini kita telah melihat bahwa meditasi bukan suatu pelarian, dari kehidupan masyarakat, melainkan merupakan suatu bentuk batin yang diidam-idamkan.

MEDITASI DALAM PRAKTEK

Apabila kita hanya duduk bermeditasi maka kita mampu tanpa hambatan menganalisa secara serius keadaan diri sendiri, lalu konsep pria dan wanita akan lenyap. Kita hanya melihat suatu gerak pikiran dan jasmani tanpa inti dari sesuatu yang bersifat kekal bagaikan sebatang kayu atau suatu keakuan yang tidak dapat musnah. Dipandang dari sudut ini maka kehidupan bukan dari Barat maupun Timur, kehidupan merupakan suatu proses yang terlepas dari ikatan kasta, warna kulit, ras, maupun keturunan maupun ruang. Sebagaimana kata William James, seorang ahli Ilmu Jiwa terkemuka : ‘jika dua orang bertemu, sebenarnya ada enam orang yang hadir. Ada seseorang melihat dirinya sebagai dia sendiri melihat dirinya, ada yang melihat orang lain sebagai orang lain memandangnya dan ada orang yang memandang sebagai dirinya sesungguhnya’.

Maka cobalah untuk jujur, dan benar-benar jujur terhadap diri sendiri, dengan perasaan diri dan pikiran sendiri. Berusahalah melihat sebagaimana adanya dan bukan pada penampakannya. Semuanya ini tidak dapat dilakukan, kecuali Anda memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Keterbukaan atau kebebasan menyelidiki merupakan syarat mutlak dari sistem meditasi Buddhis. Tanpa syarat ini, siswa pemula tidak akan mampu membuat dasar untuk membangun struktur yang baik sekali oleh karena kebenaran tersebut bersifat pribadi dan menyangkut perseorangan, maka tidak satupun petunjuk atau bimbingan mampu mendorong siswa, kecuali bila ia sudah terbiasa dan terlatih dengan metode pengenalan diri sendiri. Oleh karena meditasi sangat penting, sebab hanya dengan cara ini kita mampu menyibak semua rahasia batin.

Petunjuk-petunjuk mengenai Perhatian Benar menjelaskan teknik untuk mengembangkan batin, untuk menyelami ketrampilan langsung pada pengalaman nyata dari kehidupan itu sendiri, untuk mengetahui penyakit abadi batin manusia dan berusaha membebaskan batin demi memperoleh Kebebasan Mutlak.

Mari kita meneruskan mengenai perenungan terhadap jasmani (kayanupassana), khususnya Perhatian Benar terhadap jasmani (anapanasati) atau Perhatian pada masuk dan keluarnya napas. Meditasi ini telah dikenal dan digemari oleh banyak orang di seluruh dunia, suatu cara yang amat dianjurkan dan berguna sekali untuk meningkatkan konsentrasi dan menenangkan batin. Anapanasati ini telah dilaksanakan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau berjuang di bawah pohon Bodhi untuk mencapai Penerangan Sempurna, dan Sang Buddha sangat menekankan akan manfaatnya yang luar biasa. Meditasi yang demikian digambarkan sebagai kondisi yang penuh kedamaian, luar biasa, dan membahagiakan hidup (anto ceva panito ca asacaneko ca sukho ca viharo). Harus diingat bahwa ‘anapanasati’ bukan merupakan suatu latihan pernapasan untuk memperoleh kesehatan jasmani dan sama sekali tidak sama dengan ‘pranayama’ seperti yang diajarkan dalam Yoga Hindu.

Tempat yang cocok yang dianjurkan bagi pelaksanaan meditasi adalah di hutan, di bawah pohon atau tempat menyendiri, di alam terbuka atau di tempat lain yang sesuai. Carilah tempat yang sunyi jika mungkin, jauh dari keramaian duniawi. Kamar tidur atau kamar khusus Anda sangat beruntung jika bisa mempunyainya, dapat menjadi tempat yang tersendiri dan bersifat pribadi.

Untuk meditasi ini diperlukan sikap duduk. Duduklah tegak lurus dengan kaki bersila, namun lemas; tidak kaku dan penuh kewaspadaan serta terarah. Kadang kala kaki terasa kaku jika duduk di atas ubin yang keras. Ini akan mengganggu konsentrasi. Maka pilihlah sikap tubuh yang nyaman. Anda dapat duduk di kursi dengan sandaran yang ditegakkan. Namun bagi jenis meditasi ini yang tidak sama dengan lain, tulang belakang badan dan kepala harus tegak, seimbang dan lurus. Anda harus duduk dengan nyaman, namun tidak bersandar ataupun berbaring, kecuali jika kantuk datang mengganggu. Kedua tangan harus diletakkan lemas di atas paha dan telapak tangan kanan harus diletakkan di atas tangan kiri yang terbuka ke atas. Kedua mata dapat setengah terbuka ataupun ditutup rapat, tanpa menegangkannya. Kedua bibir tertutup rapat dengan lidah menyentuh langit-langit. Semua ini menunjukkan bahwa orang yang latihan meditasi harus menyatukan badannya yang merupakan faktor pendorong kemampuan konsentrasi.

Usahakan agar badan tidak bergerak, batin tetap waspada dan awas. Badan dan batin harus teguh bagaikan busur dan juga sangat serasi. Meditasi sungguh-sungguh merupakan usaha yang berazaskan praktek. Segaimana seekor kura-kura yang melindungi anaknya di dalam rumahnya, demikianlah siswa meditasi menjaga indrianya dan mengatasi dorongan seks dengan perhatian yang penuh dan benar, menyimpan seluruh tenaganya untuk mengembangkan batinnya. Usahakanlah melakukan meditasimu secara teratur dan penuh perhatian, jika mungkin pada saat-saat yang sama setiap hari, sebab faktor-faktor kejiwaan ini menyukseskan meditasimu.

Dalam melatih meditasi keluar dan masuknya napas perlu untuk menyadari gerak napas ini. Arus napas yang normal harus diawasi. Bernapas menenangkan badan dan mempersiapkannya untuk meditasi yang dalam dari apa yang dituju adalah kekuatan konsentrasi dan ketenangan. Sangat menarik untuk diketahui bahwa para ahli ilmu jiwa modern mengakui nilai-nilai dan pentingnya perhatian pada pernafasan ini untuk meredakan jasmani dan rohani. Oleh sebab itu meditasi seperti ini sesungguhnya adalah suatu bagian yang amat praktis dalam kehidupan dan bersifat menyembuhkan. Ia tidak sekedar untuk membebaskan diri dari segala kotoran batin dan memperoleh kesucian dan kedamaian batin.

Pada meditasi pernapasan ini hal yang hakiki adalah keadaan yang selalu waspada dalam menyadari jalan napas. Amatlah penting untuk selalu waspada, selalu sadar, penuh perhatian (sati) dan tanggap (anupassana) akan keempat jenis meditasi Perhatian Benar. Tenangkanlah diri, tinggalkan dunia yang hiruk pikuk dan penuh ketegangan. Jika anda sedang melatih meditasi ini, sewaktu melakukan penarikan nafas di tiga bagian yang pertama, bayangkanlah sedang memasukkan segala yang bajik di sekitarmu, dari alam kosmos. Sedang saat mengeluarkan ketiga nafas yang pertama, bayangkanlah seolah Anda melempar semua yang tidak bajik dari pikiran. Demikian cara Anda mulai memasukkan kerang meditasi ke dalam batin.

PELAKU-PELAKU DI ATAS PENTAS

Kini mulailah meditasi dengan memperhatikan masuk dan keluarnya napas (anapanassati). Gerak napasmu harus wajar dan tidak dipaksakan. Bernapaslah dengan tenang dan jangan ada usaha sedikitpun untuk mengontrol napas. Biarkanlah prosesnya berjalan secara bebas di bawah cahaya kesadaran penuh.

Siswa meditasi bernapas keluar masuk dengan kesadaran penuh, menyadari gerak napas dan bukan dirinya sendiri. Tujuan tunggal adalah memusatkan batin pada napas dengan meniadakan pikiran yang lain dan tetap mengarahkan perhatian batinnya ke situ saja, sebab apa yang berada di daerah ‘tepi’ menembusi daerah ‘fokal’, ia akan sulit untuk berkonsentrasi dan menjadi liar. Amat membantu bagi siswa pemula untuk mencatat secara membatin tentang masuk dan keluar napas saat bermeditasi. Jika anda mengalami gangguan dalam menetapkan perhatian pada napas, hitunglah ‘satu’ pada saat masuknya napas dan ‘dua’ pada saat napas keluar, catatlah ‘satu’ pada akhir masuknya napas dan ‘dua’ pada akhir hembusan dan keluarnya napas dan begitu pula seterusnya. Jangan mencatat kurang dari ‘lima’ atau lebih dari ‘sepuluh’, kalau tidak perhatian dapat menyeleweng dari napas yang sedang dihitung. Hentikanlah menghitung, jika sudah tertuju hanya pada napas.

Jika Anda melakukan perhatian pada masuk dan keluarnya napas, pusatkanlah perhatian Anda pada titik di mana angin napas menyentuh lubang hidung atau bibir atas, dan perhatikanlah bagaimana napas itu sedang keluar dan masuk, tapi jangan mengikuti napas ke dalam paru-paru atau saat keluar. Jangan ada suatu perubahan dari gerak napas itu. Ia harus menjadi tanpa usaha sama sekali, napas itu hendaknya bekerja sewajarnya. Perhatikanlah titik pusat Anda pada pintu hidung dan sadarilah seluruhnya tiap lalu lintas masuk dan keluarnya napas. Pada saat napas menjadi amat lembut dan halus hingga tidak terasa, anda tak lagi mampu menyadari napas, namun jangan dikira bahwa pikiran Anda bersih. Ini tak mungkin, sebab tak bisa dipikirkan bahwa batin terbebas dari pikiran. Di saat Anda tidak memperhatikan napas maka Anda akan menyadarinya dan itu pasti bukan batin yang kosong.

Bilamana pikiran anda berkeliaran menuju bentuk-bentuk pikiran, maka sadarilah mereka, namun jangan melibatkan diri secara emosi maupun menurut akal; jangan mengomentari, menyalahkan, menilai maupun memujinya, tetapi kembalikan perhatian Anda pada gerak napas yang alamiah itu. Batin Anda dapat diliputi oleh pikiran yang jahat. Ini sudah dapat diduga. Di dalam meditasilah Anda dapat mengerti cara kerja batin. Sadari saja pikiran apa yang baik dan yang tidak baik, yang buruk maupun yang indah, yang jahat maupun yang berguna. Janganlah senang dengan pikiran yang baik dan sebaliknya janganlah murung dengan yang jahat. Semua ini datang dan mereka bertindak selaku pemain di atas pentas. Jika anda mendengar suara, sadarilah dan kembalikan perhatian pada napas. Begitu pula dengan bau, rasa, sentuhan (yang mungkin Anda alami dalam batin), rasa sakit, bahagia dan sebagainya. Perhatikanlah pikiran dengan tenang dan tidak terikat.

Perhatian Benar berarti mengamati apapun yang terjadi di dalam diri dan kebiasaan diri, tanpa menilai baik buruknya, kita hanya sekedar mengawasi dan menyadarinya saja dengan kesadaran yang nyata kecuali bila Anda terlibat pada pikiran-pikiran tersebut. Sungguh-sungguh menggunakan sepenuhnya konsentrasi pada apa yang dilakukan dan dialami.

Bisa juga Anda memperoleh bayangan batin yang dihasilkan ingatan dan khayalan, seperti cahaya, warna, bentuk dan sebagainya. Jangan terpengaruh dengan mengira bahwa inilah kehebatan batin. Jauh dari itu. Semua ini adalah rintangan yang menghambat kemajuan. Waspadalah terhadap semua bayangan ini tanpa batin harus terlibat, kembalikan segera perhatian pada pernapasan. Orang memerlukan banyak kesabaran dan usaha untuk dapat melepaskan diri dari hasil-hasil sampingan demikian dan kembalilah menyibukkan diri pada tugas sesungguhnya dalam melaksanakan latihan konsentrasi. ‘Betapa kuat keharusan usaha batin dan kesabaran untuk mempu mencapai Kebersihan Batin dan Kesempurnaan melalui Samatha Vipassana, ketenangan dan Pandangan Terang. Hanya seorang siswa meditasi yang murnilah yang mengetahuinya’.

Wajar bagi manusia penghuni bumi ini untuk terlibat pada kejahatan dan pikiran yang keliru. Napsu memasuki pikiran dan batin yang tidak terlatih, bagaikan hujan yang merembes atap rumah yang belubang. Kobaran napsu keinginan amat menggangu keinginan ini, jika ditunjang oleh sebab, dia akan berwujud sebagai luapan.

Oleh sebab itu, setiap orang harus berusaha dan mengembangkan pikiran yang baik serta kemungkinan yang tidak terbatas yang terselubung dalam sifat manusia. Untuk mengusahakan ini, diperlukan latihan ketenangan (samadhi-sikkha). Hanya dengan latihan secara bertahap seseorang dapat memeriksa batinnya dan menguasainya (cittam vasamvattati) dan tidak menjadi budak batin dan di bawah kehendaknya (cittasa vasena vattati). Dengan latihan semacam itu dalam batin, orang dapat membebaskan diri dari pengaruh objek indriya.

Sejak kemajuan duniawi, keuntungan dan faedahnya, sebagian besar tergantung atas usaha kita sendiri. Jelaslah anda harus berusaha lebih giat dan keras untuk melatih batin dan dengan begitu akan mengembangkan yang terbaik yang ada pada diri anda.

Karena latihan batin memerlukan usaha yang giat, keras dan kejujuran pribadi, maka lakukanlah sekarang juga.

‘Jangan biarkan hari-harimu berlalu bagai bayang-bayang awan, yang tak meninggalkan bekas untuk diingat’.

NASEHAT BAGI SISWA MEDITASI

Kitab Suci Buddhis penuh dengan uraian tentang keluar masuknya napas (anapanassati) dan tak mengherankan bahwa sewaktu Sang Buddha membimbing Rahula, petunjuk rinci diberikan. Marilah kita kembali pada Majjhima Nikaya, petunjuk No. 62, Maha Rahulavada Sutta :

‘Seorang siswa, Rahula, setelah pergi ke hutan di bawah pohon, atau di tempat yang sepi, duduk bersila dan menegakkan badan, penuh kewaspadaan pada perhatian. Disertai perhatian ia menarik napas, disertai perhatian penuh ia menarik napas dan mengeluarkan napas. Sewaktu menarik napas panjang, ia menyadari ‘saya menarik napas panjang’ di saat mengeluarkan napas panjang ia mengetahui ‘saya mengeluarkan napas panjang’. Sewaktu menarik napas pendek, ia menyadari ‘saya menarik napas pendek; sewaktu mengeluarkan napas pendek, ia menyadari ‘saya mengeluarkan napas pendek’; ‘penuh perhatian saya menarik napas’ dengan demikian ia melatih dirinya. ‘Dengan menyadari seluruh gerak napas saya mengeluarkan napas’ demikianlah ia melatih dirinya.

‘Dengan menenangkan seluruh gerak napas, saya menarik napas’ demikianlah ia melatih dirinya. ‘Dengan menenangkan seluruh gerak napas saya mengeluarkan napas’, demikian ia melatih dirinya.

‘Di saat mengalami kegiuran, saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat mengalami kegiuran, saya mengeluarkan napas’.

‘Di saat mengalami berkah, saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat mengalami berkah, saya mengeluarkan napas’.

‘Di saat mengalami gerak batin (perasaan dan pencerapan), saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat mengalami bentuk-bentuk batin, saya mengeluarkan napas’.

‘Di saat menenangkan gerak batin, saya menarik napas’ demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat menenangkan formasi batin, saya mengeluarkan napas’.

‘Di saat mengalami pemusatan batin yang meningkat (Jhana), saya menarik napas’, demikian ia melatih diri. ‘Di saat mengalami pemusatan batin yang meningkat, saya mengeluarkan napas’.

‘Di saat mencapai puncak batin yang menyenangkan dengan Samatha, begitu juga Vipassana, saya menarik napas’, demikianlah ia melatih diri. ‘Di saat saya mencapai puncak batin yang menyenangkan, saya mengeluarkan napas’, demikian ia melatih dirinya.

‘Dengan batin terpusat sepenuhnya pada napas, saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Dengan batin terpusat sepenuhnya pada napas, saya mengeluarkan napas’, demikian ia melatih diri.

‘Di saat membebaskan batin (dari segala rintangan), saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat membebaskan batin, saya mengeluarkan napas’, demikian ia melatih diri.

‘Di saat menyaksikan ketidak-kekalan (jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran), saya menarik napas’, demikianlah ia melatih dirinya. ‘Di saat menyaksikan perenungan ketidak-kekalan, saya mengeluarkan napas’, demikianlah ia melatih diri.

‘Di saat menyaksikan perenungan terhadap ketidak-terikatan, saya menarik napas’, demikian ia melatih dirinya. ‘Di saat menyaksikan perenungan terhadap ketidak-terikatan, saya mengeluarkan napas’, demikianlah ia melatih diri.

‘Di saat menyaksikan perenungan terhadap penghentian, saya menarik napas’, demikian ia melatih dirinya. ‘Di saat menyaksikan perenungan terhadap penghentian, saya mengeluarkan napas’, demikian ia melatih diri.

‘Di saat menyaksikan kebebasan, saya menarik napas’, demikian ia melatih dirinya. ‘Di saat menyaksikan kebebasan, saya mengeluarkan napas’, demikianlah ia melatih diri.

‘Dengan memperhatikan keluar masuknya napas, Rahula, bila dikembangkan dan sering dilaksanakan, akan membuahkan hasil dan bermanfaat sekali. Dan bila perhatian terhadap keluar masuknya napas yang terakhir dapat disadari dengan jelas, bahkan tidak diketahui. ‘Tepi viditva nirujjhanti no avidita ‘ti.’

Ada yang berpendapat bahwa latihan meditasi seperti ini bodoh dan tak bertujuan. Biarlah mereka berkata semuanya. Biarlah ahli filsafat berfilsafat, ahli pidato meneruskan pidatonya; anda tetap melakukan meditasi dengan melatih perhatian. Bahkan Sang Buddha pernah dicela, dalam usaha Beliau melakukan kehidupan ‘menjauhi orang banyak yang selalu berusaha memuaskan kobaran keinginan duniawinya’. Dalam Digha Nikaya hal. 38, bab III ditemukan celaan pertapa Nigrodha terhadap Sang Buddha: ‘Pertapa Gotama menggoyahkan pandangan terangnya dengan kebiasaan menyendiri. Beliau tak hadir pada pertemuan-pertemuan pengarahan. Beliau tak siap untuk berbincang-bincang. Beliau hanya menyibukkan diri dengan urusan yang tak penting. Bagaikan sapi yang bermata satu yang selalu menghindarkan dirinya dan hanya menjauh ke tepi hutan, demikian juga dengan pertapa Gotama itu’.

Sebenarnya Sang Buddha tidak selalu menyendiri. Beliau menjelajahi kota dan pedalaman di India dengan menyebarkan cinta kasih beliau. Dan sewaktu-waktu Beliau menyendiri dengan jangka waktu panjang.

LIMA RINTANGAN (PANCANIVARANA).

Bila anda mengembangkan kesadaran dan perhatian benar secara bertahap, maka pemusatan perhatian pada napas akan bertambah kuat. Maka Anda akan sadar, bahwa sebenarnya hanya ada napas dan batin yang memperhatikannya, dan tak ada apa-apa dibalik keduanya tidak ada yang disebut ‘ego’, ‘aku’ atau sesuatu yang bersifat kekal atau semacamnya. Itulah napas, dan Anda tidak mengalami dua macam proses, yang ada hanya satu proses, melulu penarikan dan pengeluaran napas yang seperti ombak laut. Dalam arti paling tinggi adalah : terdapatnya meditasi (tentang kesadaran dan perhatian), namun tidak ada pelaku di baliknya. Apabila Anda dapat mencapai tingkatan pengertian ini pada pemusatanmu, berarti bahwa latihan pemusatanmu sudah sangat tinggi dan bersamaan dengan hal ini, muncullah kebahagiaan yang menggiurkan dan kedamaian batin yang amat mengesankan, suatu pengalaman yang sebelumnya tak pernah Anda alami.

Mungkin keadaan seperti ini hanya sebentar dan pikiran ruwet kembali lagi. Ia akan berkelana pula, dan akan terasa sulit untuk berkonsentrasi. Anda akan merasa malas atau ingin tidur, bosan dan gelisah, merasa jemu dengan latihan meditasi. Tidak mengapa. Memang begitulah cara batin manusia bekerja. Kini Anda mengerti kelakuan batin melalui pengalaman sendiri dan tidak melalui buku-buku atau apa yang didengar. Anda harus menumbuhkan kembali kemauan, menetapkan ketekunan, siap untuk bertempur. Lupakanlah diri sendiri dan suatu saat Anda akan mencapai tingkat Jhana (dhyana) suatu pengalaman pencerapan penuh pada konsentrasi yang mendalam dan berhasil melenyapkan segala rintangan. Tahap pemusatan seperti itu, yang bersifat menenangkan (samatha bhavana) amat perlu dan penting sekali untuk menumbuhkan Pengertian Benar, penembusan dan memperoleh Pandangan Terang (Vipassana) untuk mencapai batin yang bersih -- Nibbana.

Banyak rintangan yang harus dihadapi siswa meditasi, namun ada lima rintangan khususnya dalam usaha membangun pemusatan batin dan pencapaian Jalan ke arah kebebasan. Ia disebut ‘Nivaranani’ sebab bersifat menutupi, memotong dan merusak. Ia menutup pintu kearah kebebasan. Apakah lima rintangan ini? Nafsu keinginan akan objek indriya yang menyenangkan seperti bentuk yang dapat dilihat (rupa) dan lain-lain, ingin menyakiti orang lain, kelambanan dan kemalasan (batin), kekacauan dan kekuatiran, keraguan dan ketidak-pastian.

Batin yang sudah terisi oleh sifat seperti itu tak akan bisa berhasil melakukan pemusatan pada objek apapun yang baik. Tanpa Usaha Benar kelima rintangan pengembangan batin tak dapat diatasi. Fungsi Usaha Benar ini ada empat macam yaitu mencegah, melenyapkan, mengembangkan dan mempertahankan. Usaha Benar atau juga disebut Daya Upaya Benar menyajikan sifat :

Mencegah munculnya pikiran atau itikat jahat yang masih belum muncul.

Melenyapkan pikiran yang tidak baik yang sedang tampak/muncul.

Menumbuhkan dan mengembangkan pikiran baik yang belum muncul.

Menunjang dan menumbuhkan pikiran baik yang sudah ada.

Dengan pikiran yang tidak benar yang dimaksudkan di sini adalah sebab atau akar yang menumbuhkan kejahatan seperti keserakahan, kebencian dan kebodohan batin. Semua kotoran batin yang lain berasal dari tiga akar kejahatan ini, sedangkan yang baik merupakan lawannya.

Keempat sifat Daya Upaya Benar merupakan pelengkap dari usaha konsentrasi. Usaha Benar ini bekerja sama dengan dua faktor secara serentak dalam satu golongan, yakni Kesadaran dan Perhatian Benar. Usaha dan Daya Upaya benar melenyapkan pikiran jahat yang menjadi perintang pelaksanaan meditasi, dan meningkatkan serta mempertahankan sifat batin yang baik yang diperlukan sebagai penunjang mengembangkan Perhatian Benar.

Apabila batin siswa melemah, maka tibalah saatnya menumbuhkan kemauan dan semangatnya, meningkatkan usaha dan mengatasi keengganan dan kemalasan. Kemurungan dan melemahnya batin serta faktor batin merupakan musuh meditasi, karena bila batin melemah, maka dayanya pun melemah. Ini mengakibatkan bertambahnya kelemahan, yang akhirnya menjurus kepada ketidakacuhan.

MENGHINDARI SESUATU YANG BERLEBIHAN

Mengembangkan batin dengan usaha sebesar itu bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dalam satu malam. Ini memerlukan waktu yang lama dan latihan yang teratur bagi batin. Seorang atlit tidak akan berhenti setelah berlatih dua kali dalam sehari namun ia terus melakukan program latihan. Keteraturan dalam latihan tanpa berhenti karena sesuatu yang tidak begitu perlu, merupakan kunci pencapaian kesehatan jasmani, jika ia hanya melatih dirinya sewaktu hendak berlomba, ia tidak akan menjadi atlit yang baik. Di dalam hal melatih batin juga demikian – keteraturan dan kesinambungan merupakan aturan yang harus ditaati.

Jika sedang melatih batin, orang tak harus berkelahi dengan pikiran yang jahat. Jika hanya berusaha melawan pikiran yang jahat, kita tidak akan berhasil. Sebagai gantinya, maka kita harus memperhatikan dan menyadari pikiran jahat yang timbul dan berusaha melemahkan ketegangan yang ada. Caranya adalah seperti orang yang sedang berenang. Jika anda tidak menggerakkan otot-otot Anda maka Anda akan tenggelam. Namun jika Anda berputar-putar, Anda tidak berenang. Seperti juga orang yang ingin tidur, jika Anda berusaha dengan kuat untuk dapat tidur maka justru rasa kantuk tidak datang, menambah penderitaan dan kesal di dalam hati. Seharusnya jangan ada usaha sama sekali untuk tidur. Seharusnya rasa ingin tidur datang secara wajar dan mencoba meredakan ketegangan otot. Demikan dapat dikatakan ‘suatu usaha’ tanpa usaha berusaha bersantai dan menyadarinya.

Demikian juga penyiksaan diri merupakan satu dari dua cara yang ekstrem (yang satunya berfoya-foya) yang tidak dikehendaki oleh Sang Buddha dan hendaknya dihindari oleh siswa yang meditasi sebab tidak berguna dan tidak akan membawa kita pada ketenangan batin apalagi ke Kebijaksanaan. Sia-sia melakukan penyiksaan jasmani (yang hingga kini masih dilakukan di India) dalam usaha untuk menghentikan pikiran yang tidak baik yang sedang tumbuh; sebab penyisaan ini hanya akan menghasilkan kekecewaan dan frustasi. Apabila pikiran sedang kacau, maka kelemahan dan ketidakacuhan akan timbul pada siswa meditasi. Seluruh latihan batin harus dilaksanakan secara wajar disertai kesadaran yang mantap; sebab ‘berkobar-kobar saja tanpa kewaspadaan bagaikan berlari-lari di malam yang gelap gulita’.

Sebagaimana ditekankan oleh Sang Buddha, segala yang ekstrem harus dihindarkan dimanapun dan kapanpun jika kita ingin berhasil membebaskan batin dengan pencapaian Pandangan Terang. Siswa meditasi harus selalu berada pada Jalan Tengah. Juga di dalam melakukan Daya Upaya Benar, tetaplah berada dalam Jalan Tengah yang sama.

Seorang penunggang kuda misalnya, memperhatikan kecepatan lari kudanya, begitu kecepatan lari kudanya tidak seperti dengan apa yang dikehendakinya, maka ditahannya tali kendali. Sebaliknya jika lari kudanya semakin pelan, maka dipacunyalah kudanya agar tetap bertahan pada kecepatan yang diinginkannya. Demikian pula seharusnya di dalam melakukan Daya Upaya Benar itu. Jangan berlebihan sehingga berkobar-kobar dan juga jangan melemah karena berakibat kemalasan. Kita harus tetap waspada sebagaimana penunggang kuda tadi.

Apabila senar tali kecapi kendur, maka nada yang keluar tidak sama dengan iramanya, namun jika terlalu kencang maka senar akan putus. Bila senar kecapi tidak terlalu kendur maupun tidak terlalu kencang, maka iramanya akan sesuai dan dapat dimainkan. Dengan mengerti akan persamaan dari lima faktor yang terpuji yaitu keyakinan, usaha, perhatian, samadhi dan kebijaksanaan (saddha, viriya, sati, samadhi dan pañña), maka seharusnyalah kita berusaha mencapai tujuan dengan keseragaman usaha.

PERHATIAN BENAR

Dalam hubungan ini harus diperhatikan bahwa pada kitab suci Agama Buddha perkataan Perhatian (sati) dapat juga diistilahkan dengan kata lain yang mempunyai arti sama pentingnya yaitu ‘sampajañña’. ‘Sati sampajañña’ sering tampil dalam kitab tersebut. Perhatian dan Sampajañña saling bekerja sama yang merupakan jelas atas kegiatan dan gerak-gerik jasmani. Siswa meditasi yang memperhatikan gerak-gerik jasmaninya akan selalu menyadari gerak-gerik ini; baik sewaktu berjalan, berdiri, duduk, maupun sedang merebahkan diri. Seluruh kegiatan diri secara jasmaniah dilakukannya dengan kesadaran penuh.

‘Sewaktu berjalan mondar-mandir, sewaktu memandang ke depan maupun ke samping, selalu disadarinya (sampajaññakari hoti); sedang berpakaian, makan, minum, mengunyah, menelan, melakukan hajat alamiah; ia selalu menyadarinya dengan penuh; baik ketika sedang berjalan, duduk, berdiri, berbaring, (sutte), sedang terjaga (jagarite), berbicara, berdiam diri, ia menyadari sepenuhnya. ‘Sutte’ termasuk ‘sedang berbaring’ namun tegasnya berarti : sedang memasuki keadaan tidur. Siswa meditasi berbaring dengan perhatiannya kepada Kammatthana, subjek meditasinya, dengan cara itu ia tertidur dengan tidak terganggu.

‘Jagarite’, adalah sikap dalam keadaan terjaga, atau sedang bangun : sewaktu terjaga, pencerapan perhatian berarti langsung mengambil objek ‘kammatthana’, bahkan sebelum orang membuka mata. Ini berarti bahwa saat-saat lainnya seperti terjaga dalam keadaan berperhatian (dalam hal ini jangan sampai tidur), sewaktu kita akan melakukan perhatian dalam keadaan berbaring (karena sakit atau lain keadaan yang tidak memungkinkan bangkit dari posisi tidur) dan juga di saat susah tidur; perhatian dan kesadaran seperti ini membantu kita untuk menghadapinya dengan tenang dan penuh perhatian akan sebab dari ‘sulit tidur’ tersebut. Dengan ketenangan dan pengertian ini, pada suatu ketika, dengan sendirinya tidur itu akan terjadi.

Dalam arti luas, latihan sutte dan jagarite ini dilakukan pada sikap badan apapun, sebab bisa dilakukan sedang tidur di kursi atau pada saat dia berdiri. Dalam arti luas, orang tertidur bila tidak berada di bawah kekuasaan kekotoran batin (kilesa).

Pada pelaksanaan menyeluruh, ini meliputi kesadaran sepenuhnya yang menandai kekhasan appamada (selalu sadar). Seperti sabda Sang Buddha : ‘Kotoran batin akan musnah oleh kewaspadaan orang yang selalu melatih dirinya siang dan malam (ahorattanusikkhinam) dan yang sungguh-sungguh menginginkan Nibbana.’

Jadi setiap keadaan maupun saat siswa meditasi harus selalu sadar dan terjaga. Dalam hal ini bersabdalah Sang Buddha : ‘Wahai para Bhikkhu, Saya tekankan, hal ini amatlah penting dalam keadaan apapun dan dimanapun, bagaikan garam dalam masakan’ selanjutnya : Wahai para Bhikkhu, Saya tidak mengenal cara lain yang bermanfaat begitu besar seperti kesadaran yang membawa berkah luar biasa’.

Kita harus memahami persoalan Perhatian Benar dan Kesadaran Benar ini (sati sampajañña) dalam arti yang luas. Memang membahas Empat Usaha Benar yang sebelumnya sudah dibicarakan, merupakan satu ‘penjagaan’ yang amat baik, Kesadaran dan Perhatian seperti ini harus disebar ke seluruh situasi (keadaan diri), agar ketenangan yang diperoleh darinya membuat kita mampu melihat keadaan yang sedang dihadapi dengan bijak. Namun sebagai bagian dari ‘Jalan Tengah’ itu sendiri pada waktu-waktu tertentu, kita harus juga melakukan Empat Usaha Benar tadi, bahkan jenis yang tegar seperti yang disebutkan dalam Vitakkasanthana Sutta, yaitu di saat kewaspadaan itu sendiri sudah tidak memadai.

Kitab Suci memberi tahu kepada kita mengenai suatu kisah menarik dari Maha Phussa Thera. Dengan melatih diri pada Pengertian Benar, beliau selalu mengawasi pikirannya. Sewaktu sedang berjalan, pikiran jahat muncul pada batinnya, maka langsung beliau berhenti dan tidak melanjutkan jalannya sebelum pikiran jahat tersebut lenyap dari batin. Orang yang sering memperhatikan ini akan bertanya-tanya apakah ia tersesat atau ia kehilangan sesuatu di perjalanan. Akhirnya, dengan melatih Kesadaran dan Perhatian Benar secara tetap, beliau mencapai apa yang diidamkannya, memperoleh kebersihan batin dan menjadi Arahat, yaitu orang yang tanpa noda lagi. Ini menunjukkan bahwa orang-orang dahulu selalu waspada dan selalu menyadari pikirannya, bukan saja sedang duduk dalam sikap tertentu pada saat tertentu untuk bermeditasi, namun untuk seterusnya tanpa putus.

SENI BERSANTAI (THE ART OF RELAXING)

Jika telah lama duduk bermeditasi, kita melakukan sikap untuk melemaskan otot-otot yang kaku. Tibalah saatnya untuk melakukan latihan meditasi dengan sikap berjalan. Lakukanlah dengan perlahan-lahan dan penuh perhatian terhadap gerakan. Pada saat ini kita tidak perlu untuk memperhatikan masuk dan keluarnya napas, namun menyadari gerak sedang berjalan itu. Apabila pikiran sedang berkelana, tujukanlah perhatian kepada gerak yang sedang dilakukan itu tanpa melibatkan perhatian pada pikiran tersebut. Jika Anda menghentikan gerak, putar balik atau memandang sekitar, sadarilah dan perhatikanlah. Jika kaki menyentuh pada tanah yang diinjak atau disentuh pada saat mana timbul sensasi pada batin, sadarilah itu. Berjalan-jalan merupakan latihan perhatian juga.

Jika kita sedang melakukan latihan meditasi, berusahalah sadar setiap saat dan di mana saja : baik sedang duduk, berdiri, berjalan, mengerjakan sesuatu, makan dan sebagainya selalu dengan perhatian penuh.

Jika kaki sudah atau sedang penat, bujurkanlah dan gosoklah bagian yang penat dengan penuh perhatian. Juga dapat beristirahat dengan merebahkan tubuh, dapat dilakukan akhir meditasi dalam sikap duduk. Baringkanlah tubuh di atas lantai atau permukaan yang rata dan sedapat mungkin jangan menggunakan bantal atau penunjang kepala. Lujurkanlah kaki dengan sedikit terbuka dan letakkanlah kedua lenganmu secara lemas dikedua sisi badan, tutup mata dan jangan membiarkan pikiran bekerja keras, namun biarkanlah gerak pikiran santai, tetapi tidak berkelana. Lemaskanlah otot pada seluruh tubuh selama beberapa menit. Dapat tertidur dengan tenang beberapa saat lamanya, akhirnya dari bersantai ini timbul kesegaran kembali.

Cara santai ini dapat dilakukan tidak saja pada latihan meditasi, tetapi juga setiap saat dirasa perlu dalam kegiatan yang lain.

GADIS YANG PALING MENARIK – SUATU PERUMPAMAAN

Perhatian yang terpusat pada gerak dan sikap badan itu sangat membantu di dalam melenyapkan setiap gerak pikiran yang menggangu. Meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dan mengembangkan perhatian dan kewaspadaan diri. Sang Buddha memberikan perumpamaan yang amat tepat terhadap pentingnya mengembangkan kewaspadaan dan kesadaran diri melalui badan :

‘Seandainya, wahai para Bhikkhu, sekelompok orang sedang mengelilingi seorang gadis penari dan berkata : alangkah mengagumkan gadis yang paling cantik ini. Lalu gadis tersebut yang ahli menari dan menyanyi, menari dengan lemah gemulai menampakkan kecantikan dirinya, menarik khalayak ramai menjadi bertambah banyak yang berseru-seru amat kagum : betapa mengagumkan, betapa memikat, o gadis cantik yang sedang menari dan menyanyi!

Kemudian datanglah seorang yang amat tertarik kepada duniawi, tidak menyukai kematian, menyenangi segala kesenangan duniawi, dan tidak menyukai apapun yang menyedihkan, lalu orang berkata kepadanya : Hai, lihat! Ini ada semangkuk minyak. Engkau harus membawanya kepada gadis yang berada diantara kerumunan manusia yang berjejal itu. Namun kamu diikuti dari belakang oleh orang yang membawa pedang terhunus dan siap memenggal kepalamu begitu minyak menetes dari mangkuk yang kau bawa ini.

Nah, wahai para Bhikkhu apa pendapat kalian, akankah orang tersebut tidak akan memperhatikan orang yang sedang membawa mangkuk minyak dan lebih tertarik akan hal-hal yang ada di sekitar dirinya, lalu menjadi tidak waspada?

‘Tentu saja tidak, Guru Agung’

‘Nah inilah perumpamaan yang Aku sajikan kepada kalian untuk menekankan betapa pentingnya apa yang Kumaksudkan. Mangkuk yang penuh itu seumpama usaha latihan usaha perhatian penuh kewaspadaan terhadap jasmani. Oleh sebab itu wahai para Bhikkhu begitulah cara kalian melatih diri – Perhatikan tubuh sepenuhnya, perhatian ini harus kita latih dan kembangkan terus-menerus sehingga tercapai dan berguna bagi tingkah laku dan sikap kita. Harus selalu ditingkatkan dan diterapkan.’

‘Demikianlah wahai para Bhikkhu, kalian harus melatih diri dengan giat’

Bagian latihan perhatian terhadap badan jasmani ini (kayanupassana) tidak saja mancakup Anapanasati (jadi merupakan bagian dari enambelas ke seluruh latihan) tetapi juga menyangkut jenis lain berikutnya seperti pengamatan seksama pada sifat badan yang terbelenggu dan menjijikan (asubha).

KECANTIKAN HANYA SEDALAM KULIT

Sebagaimana telah dijelaskan dalam khotbah Dhamma, seorang siswa meditasi mengamati badan yang dibungkus kulit yang penuh dengan kotoran, mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku disertai renungan : di badan ada rambut, kuku, gigi, kulit, gumpalan daging, isi perut, rongga, tulang… dan sebagainya. Demikianlah mereka merenungkan semua kotoran yang ada dalam badan jasmani.

Mungkin ini subjek meditasi yang disetujui orang Barat. Muda-mudi Timur atau Barat khususnya tidak mau memandang badan sebagai sesuatu yang penuh kotoran. Diskusi atau tidak, jikalau kita secara objektif mau merenungkan sepanjang badan ini maka tidak tertampak sesuatu yang bagus misalnya mutiara atau logam mulia yang lain, badan hanya sekedar tumpukan kotoran belaka. Kecantikan hanya sedalam kulit. Tua atau muda akan memetik manfaat jika mau memahami kenyataan badan yang sebenarnya ini, dan bahwa kita selalu dihadapkan kepada tiga sifat khas kehidupan yaitu kelahiran, usia tua dan kematian. Kita hidup, mencintai, gembira, namun nyatanya kehidupan ini begitu gelap oleh bayangan ketuaan, dikejar kematian, terbelenggu oleh perbuatan dan sifat yang amat nyata bagai hijaunya rumput dan pahitnya pil kina yang tidak bisa diubah oleh segala kemampuan luar biasa ilmu pengetahuan.

Bagaikan bunga mawar yang dipandang
atau lebatnya bunga dipohon
atau mekarnya bunga di bulan mei
atau fajar yang menyingsing setiap hari
tau bagu mataharu atau awan gelap
atau bagai kali di jonas…
demikianlah seseorang terbelenggu
terjerat, tercekik semakin erat
bunga mawar layu, bunga-bunga gugur
Kuntum bunga lenyap, fajarpun pergi
Matahari terbenam, bayangan terbang
Jala terkatup dan manusiapun………. mati
Demikianlah manusia yang hidup dari napas
Ada di sini dan di sana; hidup dan mati
…………………….
Begitulah manusia, yang menimbun derita
Hidupnya hanya hari ini, esok meninggal dunia
Lagu itu singkat, begitu juga perjalanan
Buah menjadi busuk, yang padat menjadi kering
Salju mencair, demikian juga yang lain ……………….

Pandangan tentang kehidupan bukan bersifat pesimis maupun optimis, namun sebagaimana adanya. Janganlah mengira bahwa pandangan Buddhis tentang kehidupan dan dunia ini gelap dan menyedihkan, dan bahwa seorang Buddhis itu tidak bersemangat. Jauh dari ini, malah ia tersenyum menjelajahi kehidupan ini.

Dari renungan terhadap badan (kayanupassana), marilah kita menuju renungan terhadap perasaan (vedananupassana). Dalam latihan ini kita diharapkan perasaan yang sedang timbul apakah ini; suatu yang menyenangkan, tidak menyenangkan ataupun netral. Sewaktu mengalami perasaan yang menyenangkan, siswa mengetahuinya, sebab disadarinya. Begitupun juga terhadap perasaan lainnya yang sedang timbul. Seorang siswa meditasi selalu berusaha untuk mengalami tiap perasaan yang sedang timbul sebagaimana adanya.

Pada umumnya orang tertekan jika perasaan yang tidak menyenangkan sedang timbul. Tapi terpesona dan terikat pada perasaan menyenangkan yang sedang timbul. Latihan Perhatian Benar membantu memandang segala macam perasaan yang sedang dialaminya dengan pandangan yang tidak terikat, berusaha seimbang dan tidak menjadi budaknya. Dengan meditasi Pandangan Terang ia menyadari dan mengerti, bahwasanya hanya ada perasaan, ada sensasi, dan itu saja, lebih tidak, dan sama sekali tidak bersifat kekal, dan sama sekali tidak ada ‘aku’ yang merasakan ini atau itu.

Latihan perenungan terhadap pikiran (cittanupassana) yang merupakan tipe ketiga dari latihan Perhatian Benar ini menerangkan betapa pentingnya usaha mengamati pikiran kita sendiri, menyadari selalu gerak diam atau kegiatan pikiran itu. Bentuk pikiran, khususnya dalam konteks ini adalah kegairahan napsu, berkobarnya kebencian, dan kegiatan pikiran yang dangkal, dungu dan gelap merupakan akar atau penyebab segala kelakuan yang tidak benar, dan juga segala bentuk pikiran yang berlawanan dengan sifat baik tadi. Ini bukan pemikiran tentang napsu melainkan perenungan tentang napsu sebagai suatu keadaan batin (cittaragam cittam, dan sebagainya).

Siswa meditasi selalu berusaha untuk mengetahui dengan perhatian penuh, keadaan yang baik, maupun yang tidak baik dari batinnya. Namun ia menyaksikan semua ini tanpa melekat pada mereka. Dengan begitu akan membuat siswa mengerti tentang kegunaan sesungguhnya daya pikiran, sifat sebenarnya dan tingkah lakunya. Mereka yang terlatih merenungkan pikirannya, belajar mengendalikannya.

Pasti pendapat ini ditolak mentah-mentah oleh zaman sekarang, namun jika saja mau menyelidiki dengan tidak berat sebelah, mereka takkan tidak mengakuinya. Seorang modern akan berhenti berpikir dengan mendalam. Penampilan faktor luar terlampau banyak mempengaruhinya. Lihat saja betapa mudahnya mereka dipengaruhi oleh berbagai reklame dan pameran di kaca etalase. Bila semua ini tidak mempengaruhinya, maka pemilik toko takkan mengeluarkan banyak biaya untuk memasang iklan.

Meditasi Buddhis mempunyai obat penyembuh terhadap cara memandang sekedar pada permukaan saja, yaitu Cittanupassana, perhatian terhadap pikiran atau perenungan terhadap keadaan pikiran.

Zaman sekarang orang sedikit sekali berpikir secara mandiri (cara berpikir dengan tidak terpengaruh). Ia jarang membentuk pendapatnya sendiri. Potongan baju, barang yang dibelinya, ditetapkan oleh iklan. Betapa mudahnya ia digerakkan oleh iklan, propaganda dan semboyan politik yang membentuk pikirannya, dan kehidupan cenderung bersifat mekanis, singkatnya, manusia jadi budak dan alat belaka yang dikendalikan dari luar.

Manusia kini tampaknya dijejali bermacam pandangan, pendapat dan ideologi yang baik maupun yang tidak. Ia dipenuhi dengan film, televisi dan radio, tv, novel, gambar dan psikologi tertentu di bidang seks dan film porno yang membuat orang menyimpang dari pengertian dan kemampuan mandiri.

Tetapi orang melatih Perhatian Benar akan terlindung dari segala pengaruh iklan-iklan yang meyakinkan itu atau teriakkan-teriakkan propaganda atau efek dramatik dari mengikuti jejak khalayak ramai.

Kelemahan lain adalah keinginan akan perubahan dan ingin cepat berhasil. Ketidak-tenangan diri merupakan kekurangan yang amat besar. Ketenangan mampu membentuk kekuatan batin. Ketidaktenangan mengakibatkan kita tidak sabar, orang tidak sabar tidak pernah merasa puas. Ia selalu menginginkan apa yang baru dan mempesona. Ia mudah kecewa ketika ia mengambil koran dan tidak menemukan berita yang sensasional.

Manusia modern akan bergairah akan keanekaragaman. Ia menyenangi sensasi. Ia dibentuk oleh sensasi. Kobaran napsunya selalu mencari apa yang baru. Ia menggandrungi metode baru, mesin baru, gaya hidup baru, ideologi baru yang tak ada sudahnya. Kecenderungan modern ini merupakan gejala suatu penyakit ketidak-tenangan batin.

Pada kondisi ini, latihan perhatian benar merupakan obat manjur yang amat dibutuhkan. Perhatian seperti ini pada pelaksanaannya berarti menciptakan ketenangan dan ketenangan akan memberikan nada yang wajar terhadap kehidupan. Bila terlatih dalam ketenangan, ia mampu menyingkirkan segala kobaran napsu yang tak perlu. ‘Ia berkelakuan tenang dan tak tergorahkan, di tengah keadaan yang tidak tenang’ (visame samam caranti).

Renungan terhadap pikiran sebagai objek juga membuat kita menyadari apa yang kita sebut sebagai pikiran itu yang hanya berupa suatu proses yang selalu berubah-ubah, terdiri dari perubahan yang setara dan bersamaan dari faktor batin, dan di balik semua ini tidak ada sesuatu yang dikatakan sebagai ‘Aku’.

Jenis keempat yang merupakan tipe terakhir dari latihan perhatian Benar ini adalah renungan terhadap kandungan pikiran, disebut juga renungan terhadap objek yang bersifat batin (dhamma nupassana). Cara ini meliputi Ajaran Dhamma yang penting yaitu Ajaran Sang Buddha, sebagian besar telah diuraikan dalam buku ‘The Buddha’s Ancient Path’ oleh penulis yang sama.

Latihan ini meliputi objek batin yang amat luas. Di sini siswa meditasi melakukan renungan pada objek-objek batin. Ini bukan sekedar merenungkan atau mempertimbangkan, namun juga disertai ketajaman daya pengamatan terhadap objek-objek batin pada saat mula timbulnya hingga melemah serta lenyap (samudaya vaya). Misalnya siswa meditasi menyadari bahwa napsu keinginan ada, maka ia segera mengetahuinya; ‘ada napsu keinginan dalam diriku’ atau jika lenyap, ia mengetahui juga: ‘Tidak ada napsu keinginan padaku’ dan begitu seterusnya. Demikian juga yang terjadi pada diri siswa meditasi mengenai gangguan yang lain (Nivaranani).

Dengan cara ini ia mengamati dengan penuh kesadaran akan lima kekuatan penyebab keterikatan (pancaupadanakkhandha) jasmani atau bentuk-bentuk materi, perasaan (senang, tidak senang, netral), pencerapan, pembentuk pikiran atau kegiatan dan kesadaran kemauan.

Dengan penuh kewaspadaan, siswa meditasi mengamati keenam dasar pencerapan baik di luar maupun di dalam dirinya. Dalam hal ini, ia tahu dan menyadari : ini mata, ini objek yang sedang tampak dan akibat yang timbul karena tergantung pada keduanya dan bentuk. Ia mengetahui dengan baik telinga dan suara … hidung dan bau … lidah dan rasa … badan dan obyek sentuhan … pikiran dan obyek pikiran, dan mengetahui dengan jelas sekali bahwa timbulnya sesuatu tergantung pada keduanya. Iapun dengan jelas mengetahui lenyapnya kedua hubungan itu.

Dengan cara yang sama ia mengamati dengan sangat cermat ke Tujuh Faktor Penerangan (satta-bojjhanga), dan juga Empat Kesunyataan Mulia (cattari ariyasaccani). Empat Kesunyataan Mulia dalam hal ini bukan termasuk kategori hasil pemikiran, namun merupakan penggambaran hasil sentuhan langsung yang ditemui dan dikenali pada saat dia berlatih meditasi.

Maka hidupnya penuh penyelidikan dan pengertian terhadap obyek-obyek batin. Ia hidup bebas, tanpa terikat pada apapun di dunia ini. Empat serangkai Perhatian Benar ini merupakan Dhamma di mana seluruh aspek dari Dhamma terungkap dan bertemu di satu titik.

Uraian dari tiap jenis Perhatian Benar ini pada petunjuk latihan terakhir dengan kata-kata sebagai berikut: ‘Ia hidup tanpa tergantung pada apapun di dunia, sebab ‘apapun yang terikat cenderung gagal’. Inilah hasil yang diusahakan siswa meditasi, yang hanya dapat dicapai dengan ketekunan dan kerajinan ‘Hidup bebas’ berarti tidak terbelenggu oleh keinginan napsu dan tidak disertai pandangan salah (tanha, ditthi). Di sini yang dimaksud dengan ‘Dunia’ adalah dunia kehidupan makhluk; gabungan batin dan jasmani dari badan kasar dan batin. Ia tidak mengikat diri pada proses jasmani dan batin, atau berpendapat sebagai keadaan keakuan atau diri sendiri yang bersifat kekal.

PERUMPAMAAN RAKIT

Karena serakah dan bernapsu rendah, kita terikat pada materi yang berbentuk maupun yang tidak berbentuk. Jika kita mampu menangani mereka dengan seni pandangan tidak terikat maka berarti kita belajar untuk melepas. Semua keterikatan kita bukan berasal dari pencerapan ataupun obyek yang diserap. Sebenarnya dia terjadi karena timbul keserakahan, begitu alat pencerap kontak dengan obyek tersebut. Oleh sebab itu problema dan pemecahannya, penyebab dan jalan keluarnya terletak dalam diri kita. Pelajarilah seni untuk membebaskan diri. Memang berat tampaknya untuk hidup tanpa ikatan pada apapun di dunia ini dan usaha kita untuk dapat mencapai tingkat batin demikian tampaknya hampir tak mungkin. Namun cukup berharga untuk diusahakan terus-menerus, sebab dengan ketekunan, banyak yang telah mampu mencapainya dalam kehidupan ini.

Taburlah pikiran maka kamu mewarisi perbuatan. Taburlah perbuatan maka kamu mewarisi kebiasaan. Taburlah kebiasaan maka kamu memperoleh akhlak (sifat). Taburlah sifat maka kamu akan mencapai tujuan hidupmu.

Dalam hubungan ini amat menarik untuk mengenal perumpamaan Sang Buddha mengenai sebuah rakit. Marilah kita menyimaknya :

‘Dengan mengambil perumpamaan rakit, oh para Bhikkhu, saya membabarkan Dhamma untuk menyeberangi sungai agar dapat mencapai pantai seberang, bukan berhenti dan terikat, dengarlah dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh pada apa yang akan saya katakan!

‘Kami memperhatikannya, Yang Mulia’, jawab para Bhikkhu. Maka beliau bersabda :

‘Oh para Bhikkhu, seseorang akan berlayar dan sampai pada suatu hamparan air yang sangat luas. Sisi pantai yang dekat dipenuhi dengan rasa takut dan bahaya, sedang sisi pantai yang jauh aman. Tidak ada perahu maupun jembatan yang berhubungan dengan pantai seberang. Orang itu berpikir: luas sekali hamparan air ini. Sisi pentai sebelah sini tidak aman, sedang sisi pantai sebelah sana tidak berbahaya. Lebih baik aku mengumpulkan daun-daun, ranting dan batang kayu untuk membuat sebuah rakit. Dengan bantuan rakit tersebut dan dengan mempergunakan kaki dan tangan saya akan menyeberangi pantai sebelah sana’.

‘Oh para Bhikkhu, setelah selesai membuat rakit, maka dengan bantuan kakinya serta tangannya ia berhasil naik rakit dan pencapai pantai seberang. ‘Lebih baik jika kuangkat rakit ini dan kubawa serta kemana saja ku pergi’.

‘Bagaimana pendapatmu, oh para Bhikkhu, apakah kelakuannya ini menurut kalian benar?’

‘Tidak , Yang Mulia, jelas tidak benar’.

‘Seandainya orang yang telah mencapai pantai seberang itu berpikir begini: ‘rakit ini telah berguna bagiku, dengannya saya telah mencapai pantai ini dengan selamat. Lebih baik kutinggalkan dia di tepian ini atau kubiarkan dia hanyut dibawa air dan saya bebas pergi kemana saja’. Jika ia berbuat begitu, maka ia berbuat benar terhadap rakit tersebut, demikian pula dengan perumpamaan rakit tadi kuajarkan Dhamma yang dikhususkan untuk menyeberang dan tidak untuk menjadi pengikat. Kalian para Bhikkhu yang mengerti Dhamma dengan perumpamaan rakit harus meninggalkan sesuatu (apa saja) yang baik, terlebih lagi meninggalkan yang tidak baik (a-Dhamma)’.

Maka perlu dan penting untuk mengetahui bahwa dalam hal ini, kata atau sebutan ‘Dhamma’ itu menurut Ajaran adalah ketenangan dan konsentrasi (samatha) dan Pandangan Terang (Vipassana). Tingkatan batin yang telah dicapai seperti itu juga harus ditinggalkan. Apalagi keadaan batin yang jelek.

PANDANGAN OBYEKTIP DAN SUBYEKTIP :

Pada petunjuk ini Perhatian Benar khususnya menyangkut hanya empat hal; jasmani, perasaan, pikiran dan obyek batin. Perhatian terhadap jasmani akan menyadarkan kita tentang sifat sebenarnya dari alam tanpa suatu praduga dengan menganalisa secara langsung dan mendasar. Penyelidikan mendalam terhadap jasmani akan membantu kita mengerti bahwa ini sekedar suatu proses belaka, tanpa ada inti yang mendasarinya yang bersifat kekal dan berlaku untuk selamanya.

Segi khusus Perhatian Benar yang teramat penting ini adalah ia mencakup suatu cara memandang apapun lebih obyektip daripada subyektip. Amatlah penting untuk dapat tahu perbedaan memandang sesuatu secara obyektip dan subyektip.

Pelaksanaan empat macam meditasi untuk menumbuhkan Perhatian Benar harus dilaksanakan dengan obyektip, tanpa suatu reaksi subyektip. Ini berarti bahwa siswa meditasi seharusnya tidak menjadikan dirinya pengamat yang menaruh minat tapi hanya sekedar pengamat yang tidak terlihat (bare abserver). Hanya secara begitu orang mampu melihat gambaran yang sebenarnya dari suatu obyek melihat dalam perspektip sebenarnya dan tidak seperti tampaknya.

Apabila Anda memandang sesuatu secara subyektip, maka pikiran Anda akan terlibat ke dalamnya, Anda berusaha untuk mengidentikkan diri dengan obyek tersebut. Anda berusaha menilainya, memberikan komentar atau mengagungkannya. Pandangan demikian dengan sendirinya mewarnai pengamatan Anda. Oleh sebab itu pelaksanaan perhatian benar keempat latihan terhadap jasmani, perasaan, pikiran dan obyek batin harus dilaksanakan tanpa pewarnaan, praduga, suka atau tidak suka dan tanpa suatu pertimbangan yang mendahului apapun, tanpa syarat. Dengan kata lain, perhatian begitu harus dilaksanakan secara obyektip, seolah-olah Anda mengamati dari luar.

Jika melakukan renungan badan melalui badan (kaye kayanupassi), anda jangan memperhatikan perasaan, pikiran (atau keadaan pikiran), obyek pikiran mengenai badan; perhatikanlah badan itu saja. Dalam hubungan ini kita harus tepat tahu jalan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha kepada Bahiya yang adalah pemimpin satu sekte agama. Bahiya mengira dirinya seorang Arahat yang telah tamat belajar. Namun kemudian atas nasihat seseorang, ia pergi ke Sang Buddha untuk belajar tehnik, proses serta cara untuk menjadi Arahat. Mengetahui bahwa Bahiya adalah seorang yang pandai, maka Sang Buddha mengajarkannya tehnik pelaksanaan dengan kata-kata sebagai berikut :

‘Oh Bahiya, inilah cara melatih dirimu; pada apa yang dilihat, haruslah hanya ada yang sedang dilihat, pada apa yang didengar, haruslah hanya yang didengar itu saja, pada apa yang dicerap (seperti bau-bauan, rasa dan sentuhan-sentuhan) haruslah yang hanya dicerap itu saja, pada apa yang dirasakan, haruslah hanya itu saja yang kau rasakan.’

Dalam hal ini, ide semacam sebagai berikut : aku melihat, mendengar, membau, meraba dan menyentuh harus ditiadakan. Konsepsi ‘aku’ yaitu khayalan tentang aku dilenyapkan sehingga mampu melihat kenyataan. Pencerapan dan perhatian semacam ini menghilangkan ketegangan, menciptakan suasana tenang, sabar dan santai. Inilah sebab mengapa siswa meditasi tak memerlukan banyak tidur. Jangankan meditasi yang amat dalam, banyak orang tak tahu seni melihat bahkan suatu gejala yang wajar, sebab mereka belum melatih diri bagaimana mengamati sesuatu secara obyektip.

Andaikata Anda sedang memandang matahari yang terbenam yang sangat indah. Jika Anda mulai memberi penilaian, mengamati secara subyektip, berarti Anda menyertakan diri sangat dekat kepadanya. Anda tak mampu melihat matahari terbenam, Anda sesungguhnya tidak melihat segi yang bagus darinya. Tapi jika Anda memandang kejadian tersebut secara obyektip dengan tenang dan dengan pikiran yang diam, dengan penuh perhatian, maka Anda mampu melihat keindahan secara lengkap dan juga mampu melihat keindahan matahari terbenam dengan sepenuhnya dan apa yang disebut sebagai keindahan itu adalah tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Demikianlah halnya dengan kejadian yang lain. Jika Anda mampu melihat bunga mawar atau teratai secara obyektip tanpa sertanya reaksi subyektip maka Anda mampu melihat keindahan dan lebih banyak daripada orang lain. Begitupun jika Anda menyenangi lagu dan mendengarkannya secara penuh, Anda akan lebih menikmatinya lebih dari pemain musiknya sendiri.

KETENANGAN DAN PANDANGAN TERANG

Bahkan latihan meditasi menenangkan konsentrasi yang lebih tinggi tidak menempatkan siswa pada tingkatan yang aman, sebab kotoran yang mendasarinya maupun yang dalam batin dan kecenderungan pengotoran batin belum dapat dimusnahkan (anusaya). Kotoran itu masih ada dan tiap saat bisa muncul kembali jika keadaan mengijinkan dan menunggu Usaha Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Karena batin siswa masih diendapi kotoran batin, kecenderungan laten masih saja mewarnai keadaan batinnya, maka ia belum berada pada keadaan yang aman. Siswa telah memperoleh ketenangan batin melalui samadhi. Hanya melalui Vipassana segala akar kotoran batin dapat dicabut dari batinnya. Oleh karena itu siswa meditasi harus membiasakan berbuat baik dan berkonsentrasi (sila sikkha dan samadhi sikkha), mengembangkan Vipassana.

Mengembangkan ketenangan dengan meditasi, samadhi, tak pernah mencapai titik akhir. Ia hanya merupakan suatu sarana ke arah lebih baik yang amat penting yaitu Pandangan Terang. Dengan kata lain merupakan cara landasan untuk memperoleh Pengertian Benar yang merupakan faktor pertama Jalan Utama. Sekalipun hanya sebagai alat untuk mencapai titik akhir samadhi memegang peranan penting pada jalan itu sendiri. Juga disebut sebagai Citta-visuddhi, penyucian batin, yang tumbuh dengan melemahkan penghalang. Sang Buddha bersabda: ‘Kembangkanlah ketenangan, seorang siswa yang mencapai ketenangan batin akan melihat sesuatu sebagaimana adanya (samadhim bhavetha, samahito yatha bhutam paja nati).

‘Dua hal, oh para Bhikkhu, harus dikembangkan agar dapat memahami Lobha, Dosa dan Moha. Apakah itu? Ketenangan dan Pandangan Terang. Dua hal ini harus dikembangkan untuk melenyapkan lobha, dosa dan moha’ .........

Selanjutnya bersabdalah Beliau : ‘Dua hal oh para Bhikkhu merupakan bagian dari pengetahuan (vijja-bhagiya) : ketenangan dan Pandangan Terang. Jika ketenangan dikembangkan, maka berkembanglah batin; maka napsu lenyap demikian juga keinginan. Batin yang dikotori napsu tidak bebas. Jika ada pencemaran akibat kebodohan, kebijaksanaan tak mampu berkembang. Jadi kebebasan batin (ceto vimutti) adalah akibat hilangnya napsu yang tadi melekat pada batin. Kebebasan dan kebijaksanaan (pañña vimutti) adalah akibat batin yang telah dibersihkan dari kebodohan.

Pada apa yang diutarakan di atas jelaslah bahwa ketenangan dan Pandangan Benar dari Sang Jalan tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling menunjang. Tanpa suatu pikiran tertentu dari konsentrasi yang tenang, Pandangan Terang tidak dapat dikembangkan, dan tanpa suatu ukuran tertentu dari Pandangan Terang tidaklah mungkin Konsentrasi dapat dikembangkan. Keduanya tak terpisahkan; kenyataan ini diuraikan oleh Sang Buddha sebagai berikut:

‘Konsentrasi bukan orang yang dungu.
Tak ada kebijaksanaan bagi yang lemah dalam konsentrasi
Mereka yang mampu berkonsentrasi dan bijaksana,
Benar-benarlah ia berada di ambang Nibbana’.

MENGERTI DIRI SENDIRI

Siswa meditasi yang memperoleh kedalaman konsentrasi melalui perhatian terhadap keluar masuknya napas kini mengarahkan pikirannya ke meditasi Pandangan Terang. Dalam hal ini Vipassana berarti memahami sebagaimana adanya, yaitu melihat dan menyaksikan gejala ketidak-kekalan, gejala yang tidak memuaskan, yang kosong - inilah sifat sebenarnya lima unsur pengikat (pancakkhandha). Singkatnya memahami diri sendiri. Tak mudah untuk dapat mengerti diri sendiri, karena pandangan keliru, khayalan tak berdasar, harapan hampa dan kekecewaan kita. Amat sulit mencari manusia dalam arti sebenarnya. Dengan latihan Vipassana, kita mampu melenyapkan khayalan (maya), konsep (pannatti), pemutarbalikan (vipallasa) dan mampu melihat seseorang sebagaimana adanya.

Jika seorang siswa telah maju dalam latihan perhatian terhadap keluar masuknya napas dan jika pikirannya ditenangkan dengan meniadakan rintangan, maka ia mampu menyaksikan ketidak-kekalan pada napasnya sendiri, yaitu timbul dan tenggelam (naik turunnya) bagaikan gelombang laut. Dengan berdasar atas ketidak-kekalan napas, ia cenderung mengerti bahwa ketidak-kekalan adalah sifat dari lima unsur pengikat (pancakhandha). Kemampuan memeriksa apa yang disebut makhluk, yang sebenarnya hanya merupakan suatu ikatan pancakhandha akan mengungkapkan dengan jelas sekali ketidak-adaan sesuatu yang kekal di balik apa yang disebut makhluk ini – melainkan hanya suatu proses dari badan dan batin belaka.

Harus diperhatikan urutan di antara Perhatian penuh (sati), ketajaman penyelidikan Dhamma (Dhammavicaya), semangat (viriya) dan lain-lain, dari faktor Bojjhanga, sebagai disebut pada bagian keempat dasar latihan Pandangan Terang (Dhammanupassana). Dengan penuh perhatian seseorang menganalisa Dhamma. Di sini yang dimaksud dengan dhamma adalah jasmani dan batin kita sendiri. Untuk itu perlu ketekunan terhadap keempat Usaha Benar agar mampu mengatasi sifat tak baik dan mempertahankan yang baik dari gerak pikiran. Jika siswa meditasi dapat maju dengan mantap dalam usaha menyelidiki jasmani dan batinnya dan mampu melihat apa yang ada dibalik mata biasa, sebagai hasil dari Vipassana, maka timbullah kegembiraan dan kebahagiaan (aradha viriyassa uppajati piti niramisa).

Perubahan atau ketidak-kekalan merupakan inti dari sifat kehidupan. Kita tak mengatakan, baik yang hidup maupun tidak, sebagai ‘ini abadi’, bahkan di saat kita mengatakan demikian, dia berada dalam keadaan berubah terus, ada dan selalu dalam ikatan dengan kesatuannya dan bersyarat. Oleh karenanya selalu mengemban gerak sebab dan akibat. Tanpa kesudahan kesadaran atau batin beserta faktornya mengalami perubahan tiada hentinya sekalipun pada tahap yang paling rendah, badan mengalami perubahan dari saat ke saat. ‘Siapa yang mampu melihat dengan jelas akan kelima perintang batin yang selalu berubah dan karenanya tak kekal, akan memperoleh Pengertian Benar’.

Sang Buddha memberikan lima perumpamaan yang amat tepat untuk menggambarkan sifat tidak kekal dari lima rintangan batin. Ia menyamakan bentuk materi atau jasmani dengan setumpuk buih, perasaan dengan gelombang, pencerapan dengan kilatan cahaya, bentuk pikiran dengan tabung kosong tanpa dinding dan kesadaran dengan ilusi (khayalan); lalu Sang Buddha bertanya : ‘Inti apa, oh para Bhikkhu, yang mungkin ada pada setumpuk buih, gelombang, kilatan cahaya dan tabung kosong tak berdinding serta khayalan?’

Sang Buddha bersabda lebih lanjut: ‘Apapun bentuk materi, baik pada masa lalu, masa yang akan datang, maupun saat ini, baik bagian dalam maupun luar, kasar maupun halus, rendah maupun tinggi, dekat maupun jauh; berbentuk seperti itu yang tampak, yang direnungkan secara mendalam oleh siswa, diselidikinyalah dengan bijaksana dan sistematis, maka akan ditemukan bahwa semuanya berupa proses belaka, tanpa substansi dan samasekali tak berinti. Maka inti apa itu, oh para Bhikkhu, yang ada pada segala bentuk materi dan dalam perhatian’

Begitu pula Sang Buddha bersabda mengenai kelompok kehidupan yang lain: ‘Inti apa, oh para Bhikkhu, yang mungkin ada pada perasaan, pencerapan, bentuk pikiran dan kesadaran?’ Maka tampaklah oleh kita timbulnya pemikiran yang lebih luas dan maju dengan hasil merenungkan kelima unsur pengikat saling bergantung. Pada tingkat ini Pengertian Benar yang dikenal sebagai Vipassana mulai bekerja. Pada Pandangan Benar terungkap sifat sesungguhnya dari kelima unsur pengikat dan terlihat dari sinar Tiga Corak Umum atau Tilakkhana yaitu anicca, dukkha, dan anatta atau anatman, tanpa aku atau roh yang kekal. Sang Buddha menguraikan sebagai berikut :

‘Kelima unsur pengikat itu, oh para Bhikkhu, tidak kekal (anicca) dan apapun yang tidak kekal tidak memuaskan dan tanpa inti yang kekal, bukan aku pribadi. Dengan demikian harus dipandang sesuai dengan Kebijaksanaan yang sempurna (sammapaññaya). Dan siapa dapat memandang melalui Kebijaksanaan Sempurna ini maka batinnya tidak bergelora, bebas dari ikatan. Ia bebas, mencapai kebebasan.

Nagarjuna hanya mengulangi kata-kata ini sewaktu beliau berkata: ‘Jika pandangan tentang atman, Aku yang abadi, Roh, sudah terhenti, maka pandangan tentang keakuan inipun berhenti dan orang terbebas dari ide tentang aku dan kepunyaanku.’

Bukan saja kelima unsur pengikat ini tidak kekal, namun penyebabnya dan syaratnyapun menimbulkan kelima ikatan itu juga bersifat tidak kekal, tidak menyenangkan dan tanpa inti yang kekal.

Hal ini dijelaskan oleh Sang Buddha sebagai berikut : ‘Bentuk materi, perasaan, pencerapan, bentuk batin dan kesadaran, oh para Bhikkhu, tidaklah kekal; apapun penyebabnya dan syarat untuk menimbulkannya tidak kekal. Bagaimana mungkin sesuatu yang menumbuhkan tidak kekal itu kekal? Apa yang bersifat tidak kekal tak bernilai untuk diingini dan disenangi, tidak berharga bagi kita untuk mengikatkan diri padanya.....

Sebenarnya kita hidup hanya sesaat, dan selanjutnya berada pada kehidupan yang lain. Jadi kelangsungan hidup sebenarnya hanya sesaat. Ini terkadang dihubungkan sebagai kehidupan sesaat – tiap saat berlangsung kehidupan dan kematian. Hari ini adalah apa yang kita katakan sebagai ‘besok’ kemarin. Batin yang berada pada keadaan meditasi yang tidak terikat pada masa lalu dan yang akan datang maupun untuk hidup dengan kejernihan dan akal yang sehat.

Inti dari meditasi Vipassana terletak pada pengalaman langsung, tidak pada khotbah, petunjuk dalam buku meditasi sekalipun mereka bermanfaat. Jangan mengharap lebih dulu hasil-hasil meditasi, sebab latihan ini dilakukan tanpa ikatan atau terbelenggu pada apapun yang bersifat duniawi, sebab apapun yang dilekati cenderung gagal. Yang penting adalah tekun dan sabar.

Petunjuk ke arah perkembangan latihan Perhatian Benar (Satipatthana Sutta) selalu mengulang sebagai berikut : ‘Ia hidup tidak terikat, tidak mengikatkan diri pada apapun di dunia ini’ (anisi to ca viharati na ca kimci loke upadiyati). Inilah hasil yang diperoleh siswa meditasi.

MENGHILANGKAN KHAYALAN

Di saat kita gagal melihat sifat sebenarnya dari alam ini pandangan kita menjadi gelap. Karena praduga, keinginan dan harapan, kesenangan dan ketidaksukaan kita maka kita gagal melihat alat pencerap dari dan segala seginya dalam bentuk sebenarnya secara obyektip, lalu kita mengejar bayang-bayang, khayalan dan kepalsuan. Alat pencerap menyesatkan dan membodohi kita sehingga kita gagal melihat sifatnya yang sebenarnya, dan akibatnya kita memandang sesuatu secara terbalik. Batin yang kotor melihat apa yang tak benar sebagai benar, mengikuti bayang-bayang sebagai sesuatu yang kekal dan hasilnya adalah kebodohan, konflik, ketidakserasian dan akhirnya penderitaan.

Sang Buddha bersabda tentang Tiga Vipallasa (Skrt. Viparyasa), halusinasi dan bayangan yang mencengkram batin, yakni Saññavi pallasa, khayalan melalui pencerapan, cittavipallasa – melalui pikiran dan Ditthivipallasa – melalui pandangan. Nah, jika seseorang tercengkram oleh tiga macam khayalan ini maka ia mencerap, berpikir dan berpandangan yang selalu salah.

Ia menyangka pada apa yang tidak kekal sebagai kekal, apa yang menyakitkan sebagai menyenangkan, apa yang tanpa inti sebagai kekal, apa yang buruk sebagai indah. Cara berpikir dan berpandangan seperti itu salah. Jadi tiap khayalan bekerja dalam empat jalan dan menyesatkan manusia, mengaburkan pandangannya serta membingungkannya. Ia dibodohi oleh indriya pencerapannya sendiri. Ini semua karena refleksinya yang tidak bijak, perhatian yang tidak teratur (ayoniso-manasikara). Ia tidak mampu melihat sifat sebenarnya dari kehidupan, cara-caranya, kecenderungannya, hasil-hasil perbuatan yang tidak terlaksanakan; ia tidak mampu melihat bahwa kehidupan ini tidak kekal dan tidak mengandung kebahagiaan yang kekal dan ia masih saja mengikatkan diri padanya, sebenarnya masih terlalu hijau dalam kehidupan. Ia harus mendorong dirinya untuk menjadi matang dalam Pengertian Benar sebelum Buddha Dhamma mempunyai arti baginya. Kerudung nafsu keinginan, keserakahan dan kegelapan pandangannya terlalu tebal dan kuat baginya. Bahaya yang amat mencengkram dunia dan penghidupan terletak pada pengertian tentang kehidupan sebab apa saja yang bersangkut paut dengan hidup selalu berubah tanpa kecuali. Orang tak dapat berpegang pada apapun.

‘Wajah makhluk hidup hanya sekedar topeng yang menyembunyikan kematian’
Dengarlah kata-kata ahli sajak :

“Perhatikanlah, perhatikanlah, dunia ini hanya mimpi,
dan bentuk-bentuknya yang mengambang hanya sekedar debu mimpi;
Badan yang diwangikan minyak harum ini hanya sekedap saja, lebih cepat layu dari sekuntum bunga;
Semua harta yang kita miliki, mengikat lebih kuat daripada kemiskinan,
Uang, harta, masa muda dan kegairahan ditarik terus bagaikan rombongan kereta ke gurun kematian.”’

Oleh sebab itu berkatalah para Bijak zaman baheula :
‘Ke delapan gunung besar dan ketujuh lautan,
Matahari, para dewa yang memerintah atas semua ini,
Kalian semua, akupun, alam jagad raya ini akan berakhir,
‘Waktu’ menelan semua, mengapa masih menggemari permainan ‘Maya’?’

Hanya Pengertian Benar atau Pandangan Benar mampu melenyapkan khayalan ini dan menolong manusia mengenali sifat dan maksud sebenarnya dari segala penampilan ini. Hanya apabila seseorang mampu keluar dari kegelapan khayalan dan salah pandangan, maka ia akan bersinar dengan Kebijaksanaan bagai bulan purnama yang sedang dengan megahnya keluar dari awan yang tebal.

Bila membicarakan tentang ketiga latihan: Sila – Samadhi – Pañña yang membawa kebebasan dan kesucian batin, amatlah perlu menyelami dan mengetahui bagaimana kerja kecenderungan tersembunyi tapi kronis dari semua kotoran batin.

Jika kecenderungan kotoran batin terbaring tidur di dalam batin manusia disebut tersembunyi (anusaya). Ia ‘tidur’ sejauh ia tak diberi makan. Ke lima indriya pencerap dengan pikiran sebagai yang keenam, menyajikan makanan dalam bentuk obyek indriya nyata yaitu suara, bau-bauan, rasa, sentuhan-sentuhan dan obyek-obyek batin. Keenam macam makanan ini dapat berdiam diri ataupun menyerang. Pada salah satu hal, obyek indriya bersifat mendorong sehingga dengan segera kecenderungan yang sedang ‘tidur’ itu muncul ke permukaan. Penampilan kecenderungan ini disebut ‘pariutthana’ atau ‘samudagata’. Dan bila dibangunkan dan tampil akan cenderung membebaskan dirinya dan segera mencari saluran baru. Jika seseorang gagal melatih Perhatian Benar secara sistimatis (yonisomanasikara) dan gagal melemahkan kecenderungan yang sedang tumbuh itu, mereka melompat dan keluar melalui perkataan, perbuatan atau melalui keduanya dan ini disebut pelanggaran atau kemerosotan (vitaka-kama).

Pada ketiga tingkatan kecenderungan ini maka yang ketiga, tahap kemerosotan agak bersifat kasar, yang kedua ‘tahap muncul’ masih bersifat halus dan tahap pertama lebih halus. Ketiga senjata untuk dapat menumpasnya atau membebaskan cengkramannya adalah Sila, Samadhi dan Pañña.

Melalui Sila atau Kemoralan, semua kegiatan jasmani dan gerak batin rendah dapat dikendalikan hingga tahap ketiga yang kasar tersebut mampu diatasi. Oleh karena itu masa latihan batin dan jasmani (melalui) disiplin batin tertentu diperlukan, sekalipun tidak terlalu ketat.

Melalui Sila seseorang dapat tenang dan terkendali baik melalui ucapan dan perbuatan, namun tidak mampu mengendalikan pikiran sebab konsentrasinya kurang. Sila tidak mampu menguasai pikiran sekalipun ia merupakan bagian dari ketenangan batin. Dengan bantuan Perhatian Benar, Konsentrasi menetralisir tipe kedua kecenderungan dan dengan begini mampu mencegahnya keluar.

Namun Konsentrasi saja tidak mampu melenyapkan kecenderungan yang sedang tidur itu. Hanya dengan Pengertian benar yang dihasilkan dari Pandangan Terang (vipassana), semua dorongan hati dan semua kecenderungan dapat dicabut secara total.

Setelah semua ini tidak ada satupun yang mampu membuatnya bingung atau menundukkannya dengan berbagai ragam pesona dan rangsangan dalam bentuk apapun. Maka tidak mungkin lagi ia mempunyai kekeliruan pandangan terhadap gejala kehidupan ini; sebab ia mampu menembus segala kekeliruan sebagai akibat ia tidak ternoda, dan hanya dengan Vipassana yang mampu memberikannya.

Inilah ‘Kebebasan’ (Vimutti), gerak keluar (Nissarana) dari roda perputaran lingkaran ‘Samsara’ yang tampaknya selalu berulang.

Marilah kita ingat dan memperhatikan apa yang Sang Buddha sampaikan yang terdapat pada baris-baris pembukaan Kitab Satipatthana Sutta yang dapat dikatakan sebagai ‘salah satu Jalan yang amat penting dari petunjuk-petunjuk beliau’ yang diberikan sekitar 2500 tahun yang lalu untuk melatih diri, untuk menyeimbangkan dan menyucikan batin dimana telah diungkapkan sampai ‘dua kali’ dalam kumpulan Kitab Suci Tipitaka. Bunyinya sebagai berikut :

Satipatthana merupakan ‘satu-satunya’ jalan (ekayanomaggo) untuk menyucikan mahluk untuk dapat mengatasi penderitaan dan kesakitan, kepedihan dan kedukaan untuk mencapai ‘Jalan Benar’ dan Jalan merialisir Nibbana, yaitu dengan menegakkan Perhatian dan Kesadaran Benar.

K E S I M P U L A N

Sebagaimana telah kita bicarakan sebelumnya, titik tolak penghormatan kita kepada Sang Buddha (Buddha Sasana) adalah dengan 'Sila', kemoralan. Berpangkal pada dasar yang kuat dari Sila, siswa meditasi harus berusaha mengendalikan dan mendisiplinkan gerak pikiran. Sang Buddha telah menguraikan dan menunjukkan kepada siswaNya, cara untuk mengatasi kebiasaan yang tidak baik dalam berkata dan berbuat. Setelah berhasil menguasai ucapan dan perbuatan serta melakukan pencaharian dengan jujur, siswa memantapkan kebiasaan-kebiasaan yang baik bagi dirinya. Sementara melatih diri dalam berkata dan berbuat, ia berusaha menjaga pintu indrianya, sebab bila lemah di dalam mengendalikan indrianya maka pikiran-pikiran yang tidak baik akan mampu mengisi pikirannya. Ia memantapkan keseimbangan dengan melempar segala yang disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan. Pengendalian indrianya harus dilakukan dengan tekun. Ia makan secara sederhana dan penuh kesadaran dan membiasakan dirinya selalu waspada.

Jika kini ia telah tekun dan penuh kesadaran, ia akan melangkah lebih maju tanpa goyah untuk menempuh meditasi yang lebih sulit. Dengan memilih suatu subyek yang sesuai dengan sifatnya dan melanjutkan latihan dengan subyek yang dipilihnya dengan tanpa henti, ia akan memperoleh ketenangan dalam konsentrasi dan akan mampu mengatasi segala rintangan yang dapat merusak meditasinya. Jadi siswa meditasi yang berusaha dengan penuh perhatian dan kesadaran, menambah kemampuan mengendalikan pikirannya yang mudah bergerak. Dengan menguasai, perkataan, kelakuan, indria dan pikirannya, ia kini mampu menguasai dirinya.

Dengan melatih dirinya pada Sila dan Samadhi (Sila-sikkha dan Samadhi-sikkha), kini ia berusaha untuk memperoleh Kebijaksanaan atau Pandangan Terang terhadap segala hal dalam bentuk apa adanya (yathabhutam). Dengan memandang apapun sebagaimana adanya berarti sesuai dengan apa yang telah dibicarakan sebelumnya yaitu mampu melihat ketidakkekalan, ketidakpuasan dan ketiadaan aku yang kekal dari semua benda dan gabungannya yang bersyarat. Bagi siswa meditasi (pengikut Sang Buddha) seperti itu, 'dunia' bukanlah dipandang dari sudut luarnya atau suatu wilayah untuk percobaan, namun suatu tubuh manusia dengan kesadarannya. Ini adalah dalam lima ikatan. Inilah yang dicoba dipahaminya sebagai tidak kekal, tidak memuaskan, tanpa aku yang kekal. Dunia tubuh dan batin inilah yang diuraikan Sang Buddha pada waktu beliau mengatakan kepada Mogharaja : ‘Dengan penuh perhatian, wahai Mogharaja, dunia ini dipandang sebagai 'kosong' (suñña)- setelah melapaskan pendapaat adanya suatu 'diri' yang kekal- dengan demikian seseorang dapat mengatasi Mara (kematian).

Vipassana mencakup metode untuk memperoleh pengetahuan dengan melakukan pengamatan langsung yang membawa kepercayaan kepada diri sendiri, dan membuat batin menjadi bersih. Ia melampui para cerdik pandai, segala konsep dan teori yang hanya merupakan hasil dari pikiran belaka; ia langsung menembus ke dalam pengalaman sendiri pada kehidupan dan segala yang berhubungan dengan kehidupan.

Dengan memerlukan apa saja sesuai dengan penampilan yang sebenarnya dan menyadari sifat sebenarnya dari kelima unsur pengikat yang menumbuhkan ikatan, dengan membersihkan semua kotoran batin, ia melangsungkan kehidupan bebas tanpa ikatan terhadap apapun yang ada di dunia ini.

Dengan pemberian akhir yang dicapainya, ia berada pada suatu tingkatan di mana terbuka baginya Cahaya Nibbana, tidak terukur dengan kata-kata, sesuatu yang mantap yang tidak mampu dibayangkan oleh pikiran, kedamaian dan kebebasan yang tidak pernah sama dengan hasil perbuatan manusia biasa, suatu kepastian di atas landasan yang kukuh, kecemerlangan yang tiada taranya, suatu kebahagiaan dari kesunyian, hasil pembebasan dan kedamaian yang sempurna, tidak terukur dalamnya yang tidak dapat disamakan dengan apapun dan siapapun. Itulah Kebenaran Mutlak.

Itulah mahkota dari hasil kehidupan meditasi, buah yang teragung. Dengan dicapainya hasil ini, maka kelahiran, usia tua dan kematian berakhir. Semua pekerjaan yang harus dikerjakan telah selesai dan dunia tidak lagi menyembunyikan apa-apa. Singkatnya, dengan petunjuk tersebut siswa meditasi dengan latihan bertahap untuk mencapai tujuan akhir.

Para pembaca harus ingat bahwa di dalam usaha pembersihan (penyucian diri dan penguasaan diri sendiri demi kebebasan tidak ada paksaan atau dipaksakan oleh siapapun atau apapun, tidak ada hadiah atau ganjaran bagi perbuatan yang telah dilakukan atau yang tidak dilakukan; tidak ada pemberkahan dengan air suci; tidak ada persembahan bagi makhluk gaib atau penghormatan bagi para dewa, atau juga kepada air atau api. ‘Bukan karena tidak berambut ataupun rambut yang rapi, bukan karena kotor, bukan karena puasa ataupun berbaring di tanah atau debu atau penuh lalat atau selalu duduk diam, mampu mensucikan orang yang masih terikat’.

Mengapa? Sebab kesucian dan kotoran batin masing-masing tergantung pada keadaan masing-masing. Apapun yang dari luar diri, baik yang tampak maupun yang tidak tampak akan mampu memberi kita kesucian dan kebebasan.

Membebaskan diri sendiri dari semua belenggu batin terutama terletak pada usaha kita sendiri dan bukan pada kemampuan orang lain baik manusia biasa ataupun makhluk suci Pintu tetap bebas terbuka dari segala belenggu maupun kesuciannya, sebab semua itu tergantung oleh diri sendiri. Bahkan Sang Buddha yang paling Agungpun tidak bisa membebaskan semua manusia dari kotoran batin, kecuali hanya sekedar ‘Menunjukkan Jalan’. Dan jalan itu adalah Sila, Samadhi dan Pañña.

Semua persoalan hidup ini dapat dikembalikan pada satu soal saja yaitu persolan ‘Dukkha’, penderitaan Jalan keluar yang telah ditemukan oleh Sang Buddha dan para Buddha yang lain sepanjang zaman adalah ‘Jalan Mulia Berunsur Delapan’.

Nilai Jalan ini terletak pada pelaksanaannya. Jalan meditasi Sang Buddha adalah Jalan Mulia berunsur Delapan yang selalu membuka kesempatan bagi para khalifah untuk mencapai kedamaian dan kepastian menuju Nibbana.

Jalan sejauh seribu mil dimulai dari langkah pertama’ adalah pepatah kuno : ‘Ada yang berlari cepat ada yang berjalan saja, bahkan ada yang merangkak dengan susah payah, namun siapa yang gigih berusaha akan mencapai tujuan akhir’.

‘Penuh kesungguhan dan keuletan para siswa masa lampau
merenungkan ‘cara’ laku hidup dan usaha mereka,
Sekalipun saat ini hanya bekas peninggalan mereka,
Namun masih memungkinkan untuk mampu mencapai
Kebebasan Abadi’.

=========

DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR

Pada suatu saat ada seorang Bhikkhu menemui Sang Buddha. Setelah memberi hormat dan duduk di sampingNya, mereka berkata :‘Yang Mulia, tentang laku hidup sesuai dengan Dhamma (dhammavihari). Bagaimana sebenarnya orang hidup sesuai dengan Dhamma itu?’
Sang Buddha menjawab :

‘Wahai para Bhikkhu, seorang Bhikkhu menguasai Dhamma dan menghabiskan setiap hari dengan usaha menguasainya namun tidak menjauhkan diri dari khalayak ramai, tidak melatih diri dengan meditasi. Bhikkhu seperti itu dikatakan amat giat belajar, tapi sebenarnya tidak hidup sesuai dengan Dhamma.


Ada pula seorang Bhikkhu yang mengajarkan Dhamma sampai mendetail sebagaimana ia mendengarnya, dan setelah menguasainya ia menyakinkan orang tentang ini, namun tidak menyepi dan tidak melatih meditasi. Bhikkhu seperti ini dikatakan amat rajin menyakinkan orang namun sebenarnya tidak sesuai dengan Dhamma.


Ada pula seorang bhikkhu yang mengulang-ulang Dhamma sampai mendetail seperti yang pernah didengarnya, setelah mengulang-ulangnya namun ia tidak menyepi dan tidak melatih meditasi. Bhikkhu seperti itu dikatakan amat rajin mengulang-ulang Dhamma namun sebenarnya ia tidak hidup sesuai dengan Dhamma.


Ada pula seorang Bhikkhu, memusatkan perhatiannya secara penuh kepada Dhamma, giat menyelidiki, merenungkannya, setiap hari menghabiskan waktunya untuk merenungkan Dhamma namun tidak menyepi dan melatih diri dengan meditasi pemusatan. Bhikkhu demikian dikatakan menghabiskan melatih merenungkan Dhamma, namun sebenarnya ia tidak hidup sesuai dengan Dhamma.


Sedangkan apabila ada seorang Bhikkhu yang menguasai Dhamma dan tidak menghabiskan waktunya sehari-hari menguasai Dhamma, namun memisahkan diri dari khalayak ramai (menyepi) dan melatih dirinya dengan meditasi, maka sesungguhnya Bhikkhu seperti ini berperilaku sesuai dengan Dhamma’.

‘Wahai para Bhikkhu, sesungguhnya telah Kutekankan seseorang yang rajin mempelajari, yang rajin menyakinkan orang lain, yang rajin mengulang-ulang pelajaran, yang rajin merenungkan, dan yang memisahkan diri dari khalayak ramai serta melatih diri dengan meditasi, maka dialah yang sesungguhnya hidup sesuai dengan Dhamma’.

'Apakah yang seharusnya dilakukan oleh seorang Guru demi kasih sayangnya kepada siswanya, seperti yang telah dilakukan terhadap kalian. Inilah akar-akar pohon, inilah tempat sepi; latihlah meditasi, wahai para bhikkhu, janganlah acuh tak acuh, janganlah menyesak kemudian, inilah Ajaranku bagi kalian’.

==========

LAKU HIDUP YANG TERPUJI (BRAHMA VIHARA)

Brahma Vihara adalah subyek meditasi lain yang dapat dipilih orang, suatu subyek yang menguntungkan. Kata ‘Brahma’ dapat diartikan sebagai ‘Agung’ sangat luhur, terpuji; dan ‘Vihara’ adalah ‘Cara Hidup’.

Oleh karenanya Brahma Vihara berarti keadaan dan Laku yang terpuji. Kadang kala disebut juga sebagai ‘Kediaman Luhur’. Dapat juga disebut sebagai (seni) Hidup Mulia (terpuji), suatu laku hidup yang teragung (di jagad raya) yang terdiri atas :

Metta, cinta kasih universal/semesta.
Karuna, welas asih terhadap semua makhluk.
Mudita, simpati, turut bergembira atas keberhasilan orang lain.
Upekkha, keseimbangan batin.

Semua ini merupakan kebajikan yang terpuji untuk menuju laku hidup yang suci. Mereka melenyapkan ketidakbahagiaan dan ketidakharmonisan yang hanya mementingkan diri sendiri dan mempersatukan kerukunan dan persaudaraan. Juga dikatakan keadaan tidak terbatas dan bersifat luas (appamaññayo) sebab merupakan kebajikan yang ditujukan kepada semua makhluk hidup dengan tanpa pilih kasih, tanpa memandang keturunan, golongan, warna kulit, masyarakat manapun, tanpa ada perbedaan baik yang berada di Timur maupun Barat.

Subha-Vimokkha adalah istilah lain yang digunakan juga untuk menggambarkan sifat-sifat ini. Vimokkha berarti (kebebasan) pengutaraan batin melalui sesuatu yang baik (subha) dari diri seseorang. Sebagai ganti memperhatikan kejelekan orang lain, siswa meditasi mengarahkan perhatiannya kepada kebaikan yang ada pada orang lain tersebut. Dengan demikian ia mengembangkan keempat sifat terpuji dalam dirinya. Apa yang menjadi pembawaan pada batin manusia adalah segi-segi yang beraneka ragam, oleh karena itu jamak kiranya manusia berkelakuan bodoh dan memiliki pikiran yang tidak baik. Namun amat menarik untuk mengetahui bahwa setiap ragam dari sifat yang tidak baik itu juga mempunyai kebalikannya, yakni sifat-sifat yang baik, lalu ada sifat yang tidak baik pada orang yang paling baik dan ada segi sifat yang baik pada orang yang paling tidak baik diantara sesama kita.

Pandangan seorang Buddhis terhadap dunia ini adalah tidak ada makhluk hidup yang dianggap berada di luar ruang lingkup empat sifat terpuji ini. Sifat-sifat baik ini tidak membedakan manusia menurut ukuran tinggi dan rendahnya derajat, kaya atau miskin, kuat atau lemah, bijak atau tidak bijak, brahmana atau budak, atau membedakan umat Kristen, Hindu, Yahudi, Muslim, Buddhis dan sebagainya, sebab keempat sifat agung ini tidak mengenal batas. Namun manakala kita sudah mulai membedakan manusia berdasarkan pertimbangan yang salah, maka perasaan membeda-bedakan mulai mempengaruhi dan merupakan halangan terhadap perkembangan sifat-sifat baik ini di dalam diri seeorang.

‘Brahma Vihara adalah cinta kasih, belas kasihan, simpati terhadap keberhasilan orang lain dan keseimbangan batin, dapat diambil dengan subjek meditasi, dan ini disebut ‘Brahma Vihara Bhavana’ atau cara mengembangkan sifat Agung pada diri. Dengan mengembangkannya orang akan memantapkan diri pada suatu keadaan batin yang tenang dan murni. Melatih sifat-sifat ini dengan mudah dapat dilakukan pada diri sendiri. Misalnya jika bermeditasi dengan mengambil objek cinta kasih, lakukanlah dengan cara sbb: ‘Semoga saya sejahtera, semoga saya berbahagia, semoga saya terbebas dari penyakit, semoga saya tidak mengalami kemalangan, semoga saya dapat mempertahankan kebahagiaan saya sendiri’ dsb. Dan tujukanlah pemusatan pada Guru kita, teman atau kepada siapa saja, dan bahkan pada akhirnya kepada musuh kita, jika ada namun janganlah berusaha menciptakan permusuhan. Memang sulit nampaknya untuk memancarkan cinta kasih kepada musuh namun ini merupakan bentuk latihan untuk melenyapkan sifat pilih kasih tanpa adanya batasan yang dibuat-buat.

Mungkin ada pertanyaan, mengapa harus mencurahkan cinta kasih kepada diri sendiri terlebih dahulu? Tidakkah ini egois? Tampaknya begitu, namun dengan berbuat begitu akan memudahkan kebiasaan agar dapat memancarkan kepada makhluk lain. ‘Saya menyenangi kebahagiaan, biarlah orang lainpun menikmati kebahagiaan’ ‘Sebagaimana aku, biarlah mereka juga bahagia, sebagaimana mereka semoga dirikupun demikian’. Dengan memperbandingkan diri, kita mengembangkan cinta kasih terhadap semua.

DHAMMAPADA 130 :

‘Semua orang takut akan hukuman
Semua makhluk mendambakan kehidupan,
Dengan menganggap yang lain sebagai diri sendiri,
Maka seseorang tidak akan menyakitkan atau menyebabkan yang lain disakiti.’

I. M E T T A

Metta (skrt. maitri) adalah keinginan akan kesejahteraan semua makhluk tanpa kecuali. Ia mempunyai sifat sebagai seorang sahabat yang setia. Lawan langsung adalah itikad tidak baik dan kebencian, sedangkan lawan tidak langsung adalah nafsu keinginan jasmaniah, keterikatan nafsu indriya dan kegiuran atau kemelekatan keakuan (pema). Kesemuanya ini sangat berbeda dengan Metta. Cinta kasih jasmaniah apabila tidak dibedakan dengan Metta, dapat membawa kecelakaan atau kerugian baik bagi diri sendiri bagi orang lain. Haruslah waspada terhadap musuh terselubung ini yaitu keterikatan nafsu indriya dan kekikiran atau kemelekatan kepada materi. Apabila rasa cinta kasih timbul karena keterikatan, maka sesungguhnya bukan metta. Mencintai seseorang berarti mengembangkan keterikatan padanya dan jika yang kita cintai juga bereaksi sama, maka suatu ikatan terjadi, namun apabila perpisahan terjadi pada keduanya atau salah satu pihak melemah cintanya, maka akan terjadi keadaan yang tidak menyenangkan dan bahkan terjadi sesuatu yang amat menyedihkan.

Tentang Kebenaran Aria tentang penderitaan, Sang Buddha bersabda : ‘Berkumpul dengan orang yang tidak disenangi adalah penderitaan, berpisah dengan yang disukai adalah penderitaan, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan’.

Sedang Metta adalah suatu keadaan batin yang amat bersih : yang bagaikan air raksa yang tidak akan melekat pada apapun.

Memang amat sulit untuk mencintai seseorang dengan tanpa harus terikat, tanpa ada perasaan keakuan, baik mengenai diri ‘ku’ dan kepunyaan ‘ku’, sebab penekanan tentang ‘aku’ sudah dominan.

Juga amat sulit untuk membedakan perbedaan mengasihi antara si Anu dan si Polan, dengan tanpa membeda-bedakan kasih antara sesama; untuk memperlakukan semua bagaikan saudara atau mengasihi dengan tanpa keterikatan batin – hampir tidak mungkin – namun orang yang berusaha dan mencoba biarpun sedikit tentu akan memperoleh hasil, maka sungguh berharga untuk dicoba. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik yaitu dendam dan dendam amatlah tidak baik dan merusak siapa saja yang memeliharanya. Jika kita amat marah maka sebenarnya kita tak jauh daripada binatang buas. Kita menggeram dan menggigit, mencakar dan menerjang. Ini semua karena kebodohan. Ini merupakan kenyataan baik dari segi perorangan maupun sampai kepada hubungan antar negara.

Metta merupakan obat terbaik bagi kemarahan yang ada pada diri kita. Ia merupakan obat penyembuh yang mujarab bagi mereka yang sedang marah. Marilah kita mengembangkan cinta kasih bagi siapa pun yang memerlukan dengan hati yang lapang dan tidak terikat. Cinta kasih itu bahasa hati, bahasa dari hati ke hati, kekuatan yang menghubungkan dan mempersatu. Cinta kasih yang dikembangkan dengan mendalam akan mempunyai kekuatan bagaikan magnetik. Dengan memancarkan cinta kasih ini memungkinkan kita untuk menarik dan mempengaruhi orang lain.

Beberapa negara percaya bahwa jika mereka mempertahankan perdamaian, mereka harus mempersiapkan diri untuk perang. Namun penyelidikan ternyata tidak membenarkan pendapat ini. Petunjuk yang tidak goyah adalah seperti yang telah disabdakan oleh Sang Buddha pada 2500 tahun yang lalu :

‘Di dunia ini kejahatan tidak bisa diakhiri dengan kejahatan. Hanya dengan cinta kasih segalanya dapat diakhiri. Inilah hukum yang abadi’.

Melalui cinta kasih seseorang akan dapat menambah kebajikan dalam hidup ini. Dapat membuat kesemarakan dunia ini, menjadi lebih agung, lebih baik, lebih jujur, suatu dasar landasan yang lebih baik dari cara lainnya. Tidak ada nasib yang jelek daripada kebencian, tidak ada cara yang paling aman terhadap kebencian orang lain daripada batin yang penuh cinta kasih, hati yang sudah padam kebenciannya.

Jika seseorang telah mengembangkan cinta kasih yang mendalam akan terbebas dari keinginan untuk memiliki atau memegang erat, maka cinta kasih yang murni ini tidak akan ternoda sedikitpun oleh nafsu yang bagaimanapun kecilnya, maka cinta kasih seperti itu amat mantap namun tidak mencengkeram, halus caranya, namun pasti, amat kuat dan mampu menembus bagaikan intan tetapi tidak menyakiti, bersifat membantu tetapi tidak mencampuri, amat sejuk membahagiakan, lebih bersifat memberi daripada menuntut, tidak bangga namun agung, tidak lemah namun lembut, inilah sifat cinta kasih yang akan mengangkat seseorang pada ketinggian pencapaian batin, dan pada orang yang mempunyai sifat ini, tidak mungkin lagi ada itikad jahat.

Cinta kasih adalah kekuatan yang aktip. Setiap perbuatan cinta kasih dilakukan dengan tekad untuk menolong, membebaskan, membahagiakan, melapangkan jalan; cara yang amat lembut untuk disesuaikan dengan penaklukkan penderitaan, suatu keberhasilan berkah tertinggi.

Cara untuk mengembangkan cinta kasih ialah melempar jauh-jauh semua sifat jahat, kebencian dan dendam serta merenungkan keuntungan dari keadaan tidak membenci, dengan jalan memusatkan pikiran pada kenyataan sesuai hukum karma, bahwa sebenarnya tidak ada apapun yang harus dibenci dan bahwasanya kebencian adalah perasaan yang bodoh yang hanya menambah gelapnya batin, yang menghalangi Perhatian Benar.

Kebencian membatasi – cinta kasih membebaskan. Kebencian mengikat – cinta kasih melepaskan. Kebencian menggelisahkan, cinta kasih menumbuhkan kedamaian, Kebencian menggelegakkan darah – cinta kasih menenangkan, menumbuhkan kesabaran. Kebencian memecah belah – cinta kasih menyatukan. Kebencian mengeraskan – cinta kasih melembutkan. Kebencian menghalangi – cinta kasih membantu. Hingga dengan mempelajari dengan tepat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebencian dan manfaat cinta kasih maka seharusnya orang mengembangkan cinta kasih.

CINTA KASIH

Bagaikan seorang ibu yang mengasihi anak tunggalnya
dengan kasih sayang tak kenal batas, amat luas, tak terbendung, tak terukur, dan
untuk itu, ia siap mengorbankan diri sendiri.
Berikanlah cinta kasihmu bagi semua makhluk,
ke timur, ke barat, ke utara, dan ke selatan,
ke atas dan ke bawah,
kian menyebar, meluas, tanpa batas, tak pernah berhenti, amat luas meliputi segalanya.
Murnilah cinta kasih seperti itu, tidak mengikat,
tak dimengerti oleh yang dungu,
namun dimengerti yang bijak dan yang tahu,
mereka mampu menghargai bagaikan emas murni’.
(Kassapa Thera)

II. KARUNA (WELAS ASIH)

Karuna (Skrt.-Pali) didefinisikan sebagai berikut: ‘Sifat yang menggetarkan hati orang yang baik bila merasakan penderitaan orang lain’ atau ‘kualitas yang menumbuhkan perasaan lembut pada orang yang baik di saat melihat penderitaan makhluk lain’.

Kekerasan dan kekejaman merupakan kebalikan dari Karuna, sedangkan kesedihan merupakan lawan terselubung dari Karuna. Sekalipun yang disebut terakhir ini berpenampilan sebagai teman, namun ia bukan Karuna yang asli, ia hanya berupa simpati palsu, simpati pura-pura dan seseorang harus berusaha untuk mampu membedakan belas kasihan palsu dengan yang asli. Cara yang penuh Belas Kasihan akan menghindari kejahatan dan kekejaman dan berusaha melenyapkan penderitaan makhluk lain, memberikan sesuatu yang menenteramkan siapa saja, tanpa pandang bulu.

Dengan pengalaman dan teladan nyata, Sang Buddha merupakan orang Maha Karuna (seseorang yang penuh rasa belas kasihan). Beliau memancarkan Karuna untuk semua makhluk hidup dan tidak pernah menganjurkan kekerasan, kekejaman atau menimbulkan kesulitan.

Pada suatu saat Sang Buddha bersabda kepada para pengikutNya: ‘Saya tidak memusuhi dunia, dunialah yang memusuhi saya. Seorang pengikut Dhamma tidak memusuhi dunia atau siapa saja’. Petunjuk Sang Buddha tersebut penuh diliputi Karuna.

Kebajikan dan kejahatan tak bisa bersama-sama; kebajikan bersifat membangun, menegakkan, sedangkan kejahatan bersifat menghancurkan. Karuna tak dapat dikembangkan oleh orang yang mengutamakan keakuan. Hanya orang yang penuh pengorbanan yang memenuhi batinnya dengan pikiran yang bersih penuh rasa kasihan dan selalu ingin menolong yang lain. Orang yang egois tak mungkin berguna bagi yang lain sebab keakuannya menghalanginya untuk berbuat baik. Begitu dia menjadi egoistis dan mendahulukan kepentingan dirinya, maka ia gagal melembutkan kekerasan hatinya. Kekerasan tingkah laku dapat diatasi dengan perasaan belas kasihan, turut bersimpati. Jika Anda menyingkirkan Karuna dari Ajaran Sang Buddha berarti menghilangkan Inti Ajaran beliau, sebab semua sifat-sifat baik, semua kesucian laku hidup mempunyai dasar Karuna sebagai pangkal pijakan (karuna nidhanam hi silam).

Kebajikan-kebajikan (paramita) yang dilakukan oleh para Bodhi satta atau siapa saja menunjang pembentukkan Kebijaksanaan, Kesucian Batin, tampak pada laku Karuna.

Karuna (belas kasihan) diarahkan oleh Kebijaksanaan dan Pengertian Benar, dan sebaliknya Kebijaksanaan diarahkan oleh Karuna. Keduanya saling menunjang dan berjalan bersama-sama, merupakan tulang punggung dari Agama Buddha, prinsip saling menjaga dan menunjang.

Belas kasihan jelas bukan suatu kilasan sesaat dari pikiran. Ia adalah sesuatu yang bertahan lama dan terus-menerus. Jika seseorang gelisah atau murung, maka Karuna mendorong orang untuk bertindak dan menolong yang sedang dilanda derita.

Ini memerlukan kekuatan batin. Mereka yang tergesa-gesa mengatakan bahwa Karuna ini sekedar suatu pernyataan dari kelemahan pikiran sebab mempunyai sifat yang lembut maka mereka tidak mengerti apa yang mereka katakan. Mungkin mereka berpendapat bahwa menganiaya merupakan lambang kekuatan. Manusia cenderung terpesona menyelidiki berbagai mesin yang diciptakan Ilmu Pengetahuan duniawi. Sebenarnya yang lebih penting adalah menyelidiki gerakan mekanis batin. Penyelidikan seperti inilah yang mampu menghilangkan kesalahpahaman antar manusia.

Karena perang selalu dimulai dari pikiran manusia, Unesco dan lembaganya mengatakan: ‘Hasil pemikiran manusialah yang berpendapat bahwa pertahanan perdamaian harus dibuat’. Terdapat satu kesadaran yang mengikat yang kita perlukan untuk kembali dalam Dhamma, kejujuran, kebenaran jika kita hendak membentuk suatu masyarakat yang sehat dan berakhlak.

Dewasa ini, lebih dari waktu yang lain, kita memerlukan cahaya Dhamma. Jika orang mengerti Dhamma, ia mampu membedakan yang benar dari yang tidak benar, yang tidak baik dari yang baik, maka mereka akan menyadari kejahatan yang ditimbulkan perkelahian.

Hanya melalui terang Dhamma maka dunia mengetahui cara kerja batin. Sebagai kata pujangga:

‘Kehidupan bagaikan buih yang lalu lalang
Hanya dua hal yang tampak jelas bagaikan batu karang;
Belas kasihan kepada penderitaan orang lain
dan keberanian yang harus ada pada diri sendiri’.

III. MUDITA (SIMPATI)

Gembira atas keberhasilan orang lain merupakan sifat ketiga dari Berkah Mulia yang dikenal dalam bahasa Pali sebagai Mudita. Bukan sekedar simpati, namun simpati yang tanpa keakuan dan juga bersifat gembira. Lawan langsungnya adalah iri hati dan lawan terselubung adalah luapan emosi. Iri hati merupakan ketidakbaikkan yang membuat batin kita kotor dan membuat kita menderita.

Bila orang lain berada dalam keadaan murung, kita memperlihatkan simpati dan berusaha menghilangkan kemurungannya. Tapi manakala orang lain berhasil kita selayaknya menunjukkan kegembiraan atas keberhasilannya. Sifat ikut bergembira atas keberhasilan orang lain adalah seperti bila kita gembira atas keberhasilan kita sendiri.

Malangnya, orang-orang tertentu justru merasa iri dan tak senang akan keberhasilan orang lain, sebaliknya merasa gembira atas kegagalan atau kerugian orang lain. Ada beberapa orang tua merasa iri atas keberhasilan anak orang lain sedangkan anaknya sendiri tidak berhasil. Ini tak berguna dan membuahkan hasil yang tidak menguntungkan. Iri hati adalah kotoran batin yang banyak tampak pada berbagai manusia -- tak peduli apakah mereka cendekiawan, politikus atau orang terkenal. Dalam hal ini perlukah kita melihat orang-orang yang miskin dan tak terpelajar. Seringkali mereka lebih mudah diajak kerja sama dan tidak egois.

Daripada kita membiarkan diri tenggelam dalam iri dan dengki, lebih baik kita berusaha keras untuk melenyapkan berbagai rintangan batin dan mengisi serta mengejar harapan kita. Harus kita camkan, namun tak harus terlampau diperhatikan, apa yang disebut 'nasib baik'. Kamma atau penyebab moral amat berperan dalam kehidupan kita.

Mudita adalah sifat yang dipujikan bagi manusia, ia menghilangkan kebencian. Melalui meditasi dan mempelajari liku-liku kehidupan, kita akan mampu membentuk sifat baik (mudita) dengan merasa senang atas keberhasilan, kesejahteraan dan kemajuan orang lain. Dengan berbuat begitu, batin kita diisi dengan kegembiraan, tak rewel, bersih dan agung.

Di saat menyaksikan orang kelaparan, kita memberi makanan atas dasar Karuna. Manakala kita melihat ia makan pemberian kita, kita sadar bahwa laparnya telah dilenyapkan dan ia merasa bahagia. Dengan demikian kita juga turut merasa bahagia. Perbuatan-perbuatan menghilangkan keakuan ini membuat kita senang dan puas, sifat Mudita. Anda dapat menyaksikan bagaimana kedua sifat ini saling menunjang dan kerja sama.

IV. UPEKKHA (KESEIMBANGAN)

Yang keempat dan terakhir dari sifat yang luhur (Brahmavihara) adalah Upekkha (keseimbangan batin), dan bukan berupa ketidak-acuhan karena nafsu keinginan. Keseimbangan ini disebabkan oleh hasil batin yang tenang dan terpusat. Keempat sifat luhur ini saling mempengaruhi dan berkaitan, namun Keseimbangan batinlah yang memelihara yang lain: cinta kasih, belas kasihan dan Mudita. Keseimbangan batin adalah yang terpenting dan paling bernilai, amat dalam dan paling sulit untuk dikembangkan.

Hidup bukan sekumpulan bunga mawar, seseorang memerlukan kesabaran yang amat besar, tenaga dan kemantapan hati untuk dapat mengembangkan sifat ini tanpa terjerumus pada keakuan dan berpihak (subjektip). Keseimbangan batin menjaga ketiga sifat yang terdahulu dan memelihara siswa meditasi agar berada pada keselamatan dirinya. Ia menghasilkan kepercayaan bagi diri sendiri.

Kita selalu dihadapkan pada perubahan delapan macam dari kehidupan ini (atthalokadhamma), untung dan rugi, termashur dan tidak termashur, dipuji dan dicela, suka dan duka. Sesungguhnya amat berat untuk tidak terganggu bila tersentuh dengan salah satu darinya. Tetapi orang yang sudah seimbang batinnya tidaklah goyah. Ia tidak bergetar. Di tengah pujian dan celaan, untung dan rugi, suka dan duka, ia seteguh batu karang. Dikatakan bahwa 'mereka telah meninggalkan dan menanggalkan keinginan terhadap apapun. Mereka tidak lagi menghiraukan pikiran-pikiran untuk memiliki. Tidak disentuh oleh kesakitan (penderitaan) ataupun kebahagiaan, para Bijak tak menunjukkan kegairahan atau keputusan-asaan.'

Orang awampun yang mengerti sifat alam dan kehidupan makhluk dengan segala naik turunnya, yang mengembangkan keseimbangan batin, mampu menghadapi segala bentuk perubahan dari kehidupan ini dengan tabah. Ia mampu melihat segala sesuatu pada proporsi yang wajar dan perspektif dan bagaimana mereka datang dan pergi, tampak dan lenyap.

'Dengan bebas dari ketakutan dan kegelisahan, ia mampu mengenali kerapuhan dari sesuatu yang tak kekal. Batin yang tenang … maju terus, baik pada saat yang menguntungkan maupun merugikan, pada keteguhan langkah sendiri bagaikan lonceng yang berdetak terus di saat terjadi badai.'

Mengenai dan mengerti kerja 'kamma', hukum sebab dan akibat (pada batin) dan bagaimana Kamma terjadi masak (kammavipaka), amatlah penting bagi yang bersungguh-sungguh mengembangkan keseimbangan batinnya. Dalam sinar kamma seseorang mampu bersikap tidak terikat dengan makhluk lain, bahkan pada semua (apa saja). Penyebab yang paling dekat dengan keseimbangan batin adalah pengertian bahwa semua makhluk mendapatkan hasil dari kamma masing-masing (disini perbuatannya masing-masing). Lawan langsung dari Upekkha dan keterikatan dan lawan tersebung sarinya adalah kekejaman atau sifat acuh tak acuh akibat kebodohan batin.

Upekkha mengesampingkan baik keterikatan (anurodha) maupun kebencian (virodha). Keduanya amat ekstrim. Siswa meditasi yang mengikuti Jalan Tengah tidak terikat dengan apa yang menyenangkan atau pun yang tidak menyenangkan perasaaannya. Ia mempertahankan keseimbangan batinnya tanpa tergetar, tanpa meluap-luap, tanpa merasa tertekan maupun gelisah. Penyiar Wordworth mengamati: ‘Batin yang kuat acapkali didapatkan pada orang yang tidak dikenal dunia’ dan 2500 tahun yang lalu Sang Buddha bersabda :

‘Demikianlah, kosong itu berbunyi nyaring
yang penuh hening dan tenang;
Si dungu bagaikan guci berisi setengah,
Yang Bijaksana bagaikan telaga’.

‘Bahwasanya kita mampu memperoleh lebih dari kehidupan ini ialah dengan jalan menjauhkan keinginan bukan dengan mengorbankan – pelajaran hidup yang masih sulit untuk dicerna. Kita terlampau tinggi menilai pelengkap-pelengkap dan alat-alat kehidupan ini dan terlalu rendah menilai kesempatan untuk dapat hidup’. (Croft Cooke).

Metta merangkul semua makhluk, Karuna menyentuh orang yang sedang menderita, Mudita menumbuhkan semangat bagi yang berhasil dan Upekkha merangkul baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil, yang jahat maupun yang baik, yang dikasihi maupun yang diterlantarkan, yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, yang tampak buruk maupun yang cantik, tanpa pilih kasih.

‘……. Siswa meditasi mengalami kebahagiaan; dengan kebahagiaannya perhatiannya terpusat. Ia merenungkan dan menggenangi ke satu arah dengan hati penuh cinta kasih. Demikian pula ke arah kedua, ketiga, keempat, keatas, ke bawah dan ke sekelilingnya. Ia melanjutkan memancarkan cinta kasih berlimpah ruah, tumbuh membesar, tidak terbatas dan tidak terukur, tanpa kebencian, tanpa kebencian, tanpa tekad tidak baik. Ia merenung sambil memancarkan hati penuh belas kasihan (karuna) … penuh simpati (mudita) …. teguh dalam keseimbangan (upekkha) tanpa kebencian, tanpa itikad jahat.

Bagaikan hanya ada sekuntum bunga teratai dalam air jernih, air harum, sejuk, bening dengan tepiannya yang indah, dan ada orang yang tiba dari Timur, Barat, Utara, dan Selatan dibebani dengan rasa panas, lelah, kehausan dan kekeringan. Dengan datang ke kolom teratai itu ia akan menghilangkan dahaga dan panasnya.

Demikian juga … orang yang datang pada Ajaran ini dan Dhammavinaya yang dibabarkan oleh Sang Buddha, setelah mengembangkan Metta, Karuna, Mudita dan Upekkha akan memperoleh kedamaian dalam batinnnya -- adalah disertai dengan ketenangan dalam batinnya, siswa meditasi melakukan latihan dengan pergi menyepi.



Appendix 1

USAHA BENAR

Fungsi dari Usaha Benar terdiri dari empat tindakan yaitu untuk mencegah, meninggalkan, mengembangkan dan mempertahankan.

1. Usaha Benar dengan mencegah.

Seorang siswa meditasi mengerahkan usahanya untuk mencegah timbulnya kemauan jahat, pikiran yang tidak baik yang belum muncul. Dia berjuang dan mengembangkan tenaganya serta memperkuat batinnya (untuk mengakhirinya).

Seorang siswa meditasi di saat melihat bentuk, mendengar suara, membau bauan, mencecap, merasa ataupun mengamati objek batin, tidak menangkap tanda-tanda maupun keterangan (yaitu tidak tergerak oleh bentuk umum maupun detil mereka). Disebabkan oleh hasrat dan kemurungan, dan pikiran yang jahat serta tidak baik menyerobot masuk ke dalam diri seseorang yang tak terkendali indriyanya, maka dia mengusahakan pengendalian atas indriyanya. Inilah yang dikatakan sebagai mencegah.

2. Usaha Benar dengan meninggalkan.

Seorang siswa meditasi mengerahkan usahanya untuk meninggalkan pikiran yang tidak baik yang telah muncul. Dia berjuang dan mengembangkan tenaga serta memperkuat batinnya (untuk mengakhirinya).

Seorang siswa meditasi tidak memperbolehkan keinginan indriyanya yang telah muncul, melainkan meninggalkan, membuang dan menolaknya, mengakhiri serta melenyapkan mereka. Demikian juga dengan pikiran jahat yang telah timbul.
Inilah yang dikatakan sebagai meninggalkan.

3. Usaha Benar dengan mengembangkan.

Seorang bhikkhu mengerahkan usahanya untuk membuat dan mengembangkan pikiran yang baik yang belum muncul. Dia berjuang, mengembangkan tenaga serta memperkuat batinnya (untuk mengakhiri).

Seorang siswa meditasi mengembangkan faktor-faktor Penerangan Sempurna dengan menyendiri, bersikap tenang, menggunakan alat penghenti yang berakhir dengan kebebasan yaitu: Perhatian, menyelidiki Dhamma, Tenaga, Kegiuran, Ketenangan, Konsentrasi dan Keseimbangan Batin. Inilah yang disebut sebagai mengembangkan.

4. Usaha Benar dengan mempertahankan

Seorang bhikkhu mempertahankan objek konsentrasi (meditasi) yang menyenangkan … Inilah yang disebut sebagai mempertahankan.

Jadi inilah yang disebut sebagai empat usaha:

Pikiran jahat yang dimaksudkan disini adalah tiga akar kajahatan, yaitu: keserakahan, kebencian dan kebodohan batin (lobha, dosa dan moha). Bentuk nafsu yang lain bertetangga dengan ketiga akar penyebab ini, sementara pikiran yang baik menjadi kebalikan mereka.

Tujuan utama dari empat usaha ini adalah mencapai keberhasilan dalam meditasi. Empat usaha benar merupakan tuntutan meditasi. Sebagaimana telah kita baca sebelumnya, usaha benar ini termasuk dalam kelompok samadhi atau konsentrasi. Karena usaha benar sedemikian itu saling menunjang dan tergantung, ia bekerja bersama dan serentak dengan dua faktor lain dari kelompok tersebut, yaitu Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Tanpa usaha yang benar rintangan bagi kemajuan batin tidak dapat ditanggulangi. Usaha Benar membuang pikiran jahat dan yang tidak baik yang berlaku seperti rintangan bagi ketenangan menyerap dan mengusahakan serta mempertahankan faktor batin yang lebih baik yang membantu pengembangan konsentrasi.



Appendix 2

RINTANGAN-RINTANGAN BATIN
(NIVARANANI)

Oh para bhikkhu, ada lima macam rintangan batin yang menyebabkan kebutaan, mengaburkan pandangan dan ketidaktahuan yang melenyapkan pandangan, dengan disertai penderitaan dan tidak mengarah ke Nibbana.

Nivaranani berarti sesuatu yang menghalangi pengembangan batin. Ia disebut rintangan, sebab bersifat mencengkram, memotong dan merusak. Ia menutup pintu ke arah kebebasan. Apa kelima rintangan itu?

Kammacchanda : nafsu indriya

Vypada : itikad jahat

Thinamiddha : kelambanan dan kemalasan

Uddhacca-kukucca : kegelisahan dan ketakutan

Vicikiccha : keragu-raguan

1. Kammacchanda adalah kobaran nafsu terhadap objek indriya. Pikiran dipenuhi dengan nafsu yang dengan pasti merusak pengembangan batin. Ia mengganggu batin dan merintangi konsentrasi. Nafsu indriya muncul akibat panca indriya tidak terkendali, yang apabila tidak diawasi akan menumbuhkan nafsu pada pikiran sehingga batin menjadi kotor. Oleh sebab itu amat penting bagi siswa meditasi untuk mengawasi dan waspada terhadap rintangan ini yang menutupi usaha kearah kebebasan.

2. Vyapada adalah itikad jahat. Sebagaimana halnya dengan nafsu indriya, perhatian yang tak teratur dan tidak bijaksana menumbuhkan Vyapada. Dan jika tidak selalu diawasi akan makin berkembang, mempengaruhi batin dan mengaburkan pandangan. Ia memutar-balikkan seluruh kerja batin dan dengan demikian menghalangi kesadaran akan kebenaran dan menutup jalan ke arah Pembebasan. Nafsu dan itikad jahat yang berdasarkan kebodohan tidak hanya mengganggu pertumbuhan batin tapi juga menjadi sebab timbulnya ketegangan antar manusia dan antar negara.

3. Thinamiddha adalah kelambanan dan kemalasan, merupakan keadaan yang mengerikan dari batin dan bentuk-bentuk batin. Tidak seperti yang diperkirakan orang tentang kelambanan dan kemalasan, sebab para Arahat – makhluk-makhluk yang sempurna – yang terbebas dari sifat tidak baik juga mengalaminya. Bagaikan mentega yang terlalu keras untuk dioleskan, sifat ini membuat pikiran menjadikanku serta lemah dan dengan demikian mengurangi semangat dan kesungguhan siswa meditasi, membuatnya lesu dan malas secara batiniah. Keengganan akhirnya menumbuhkan kemalasan dan ketidak-acuhan (masa bodoh) yang lebih besar.

4. Uddhacca-kukucca adalah kegelisahan dan ketakutan, suatu sifat yang tidak baik yang menghambat kemajuan. Batin yang tidak tenang adalah bagaikan lebah manakala sarangnya digoyang, batin yang tidak mampu berkonsentrasi. Begitu juga dengan rasa takut. Di saat seseorang sedang meresahkan sesuatu disertai rasa was-was, seperti misalnya rasa resah akan pekerjaan yang belum selesai atau bila mengalami kerugian materi; ia tak akan pernah mampu berada dalam ketenangan batin. Hal ini mengganggu dan membuatnya resah dan menimbulkan rasa takutnya dan semua perasaan was-was tersebut menghalangi konsentrasinya.

5. Vicikkiccha adalah keragu-raguan yang merupakan rintangan terakhir. Arti harfiah kata Pali ini adalah : tanpa (vi = vigata) obat penyembuh (cikiccha). Seseorang yang menderita karena keragu-raguan sesungguhnya menderita penyakit yang kronis, dan jika ia tak mampu melenyapkan maka selanjutnya ia akan menderita terus-menerus. Dan selama seseorang tergantung pada keadaan batin seperti itu, ia akan memandang apapun secara skeptis. Dan ini amat merugikan perkembangan batin. Para penafsir menggambarkan penghalang ini sebagai ketidakmampuan mengambil keputusan yang tepat, termasuk juga keragu-raguan yang berhubungan dengan kemungkinan mencapai tingkatan Jhana yaitu kedalaman meditasi.

Jadi kelima rintangan batin ini baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama merintangi terciptanya ketenangan konsentrasi.

Batin yang terikat pada sifat seperti itu, tak dapat berkonsentrasi dengan baik pada objek apapun dengan nyaman. Memang benar seseorang dapat memusatkan perhatiannya (konsentrasi) pada objek atau pikiran mengenai sesuatu yang mengobarkan nafsu atau ketidakbaikan dan sebagainya, namun ini merupakan konsentrasi yang keliru (micchasamadhi). Jelaslah bahwa selama kotoran batin dan hawa nafsu (kilesa) terdapat pada diri seseorang, maka cetusan-cetusan pikiran jahat terus bermunculan. Bagaimanapun seorang siswa meditasi yang melatih dirinya dengan tekun dan tetap mampu mencegah perbuatan yang tidak baik sebab rintangan-rintangan ini berada di bawah kendalinya.

Seseorang harus mengembangkan lima kekuatan batin (faktor-faktor Jhana) yang disebut Jhananga untuk mampu mengatasi rintangan-rintangan ini. Mereka adalah :vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekagata, yang dengan tepat merupakan kebalikan dari kelima rintangan ini. Kelima faktor batin inilah yang meningkatkan siswa meditasi dari tingkat yang rendah sampai ke tingkatan yang lebih tinggi. Kesadaran yang disertai dengan peningkatan batin ini disebut Jhana.

Faktor-faktor jasmaniah ini dalam urutan tahap demi tahap, mampu memperlemah rintangan-rintangan batin yang membantu jalan menuju konsentrasi. Nafsu indriya, sebagai misal, dilemahkan oleh ekagata, yaitu penyatuan arah atau penyatuan pikiran (piti); kelambanan dan kemalasan dengan Vitakka; rasa takut dan gelisah dengan sukkha; keragu-raguan diatasi dengan vicara. Jika diletakkan bersisian akan terjadi urutan sebagai berikut :

Kamacchanda -- ekagata
Vyapada -- piti
Thinamiddha -- vitakka
Uddhaccakukkucca -- sukha
Vicikicca -- vicara

Appendix 3

SONA, SISWA MEDITASI YANG TEKUN

Ada suatu kisah tentang seorang bhikkhu yaitu bhante Sonakolivisa, yang berusaha dengan tekun dan rajin, namun tidak mencapai hasil apa-apa baik secara batin maupun jasmaniah. Timbullah pikiran sebagai berikut : ‘Siswa Sang Buddha sangat giat berusaha, termasuk diriku ini. Namun pikiranku masih belum bebas dari kotoran batin. Keluargaku kaya raya dan aku dapat menikmati kekayaanku dan bisa berbuat baik; seandainya aku mengakhiri latihanku ini dan kembali pada kehidupan umat biasa, untuk menikmati kekayaan dan melakukan kebaikan?

Sang Buddha membaca pikiran Sona, beliau mendekat dan bertanya:

Sona, apakah engkau berpikir: 'Para Siswa Sang Bhagava selalu hidup rajin berlatih diri …. dan berbuat baik?'


Demikianlah, Guru Agung.


Dan apa pendapatmu, Sona, tidaklah engkau merasa tidak trampil memetik kecapi sewaktu engkau masih menjadi umat biasa?


Demikianlah Guru Agung


Dan apa pandapatmu, hai Sona, jika senar kecapimu itu terlalu kencang, dapatkah ia mengeluarkan suara dan dapatkah dimainkan?


Tidak, tentu saja tidak, Sang Guru Agung


Dan Sona, bagaimana bila tali kecapi itu dipasang terlalu kendur, mampukah ia mengeluarkan nada yang sesuai?


Tentu saja tidak, Yang Mulia.


Tapi, Sona, di saat tali senar kecapimu dipasang tidak terlampau kendur maupun tidak terlalu kencang sehingga seimbang, apakah kecapi tersebut dapat dimainkan dan serasi bunyinya?


Tentu saja, Yang Mulia.


Demikian juga, wahai Sona, usaha yang terlampau bersemangat akan mengarah pada pengacauan. Dan jika terlalu kendur (tak bersemangat) akan membuatmu lengah. Oleh karena itu, tetapkanlah bagimu demikian: Dengan memahami keseimbangan dari sifat-sifat penunjang (saddha = keyakinan, viriya = semangat, sati = perhatian benar, samadhi = konsentrasi, pañña = kebijaksanaan) engkau akan berpegang teguh bagi pancapaian tujuan dengan usaha yang seragam.


Baik, Yang Mulia.

Maka bhikkhu Sona mengikuti petunjuk latihan Sang Buddha tersebut dan pada saatnya mencapai kesempurnaan dan tergolong sebagai salah seorang Arahat.

Appendix 4

MEGHILANGKAN PIKIRAN – PIKIRAN YANG MENYIMPANG

Risalat ke 20 Kitab Majjhima Nikaya (Vitakkasanthana Sutta) memberikan petunjuk-petunjuk praktis cara melenyapkan pikiran yang sedang kacau, yang amat diperlukan oleh siswa meditasi. Berikut ini adalah intisarinya. Sang Buddha memberi petunjuk sebagai berikut:

Para bhikkhu, seorang siswa meditasi yang menginginkan kemajuan harus dari waktu ke waktu memperhatikan lima hal:

1. Jika sewaktu memperhatikan objek, pikiran jahat yang disertai keinginan, kebencian dan kebodohan, maka ia harus memindahkan perhatiannya pada objek yang luhur untuk dapat mengatasinya. Maka pikiran kotor itu akan lenyap. Dengan lenyapnya pikiran yang kotor, maka batin akan mantap dan tenang, bersatu dan terpusat ke dalam. Sebagaimana seorang tukang kayu berserta pembantunya yang ahli menyingkirkan bahan yang kasar dan menggantinya dengan bahan yang lebih baik, demikian juga dengan siswa meditasi harus melenyapkan dan mengganti objek meditasinya. Dengan begitu pikiran yang tak baik yang disertai lobha, dosa dan moha tersingkir sehingga batin yang menjadi teguh.

2. Jika pikiran jahat tetap ada pada siswa meditasi yang sudah menggantinya maka ia harus memperhatikan ketidak-baikkan gerak pikirannya, dan merenungkannya sebagai berikut: ‘Kini pikiranku sedang tidak baik dan hanya membawa akibat yang menyakitkan’. Dengan cara ini, pikiran yang tidak baik dilenyapkan dan batin menjadi tenang.

3. Jika pikiran tersebut tetap timbul pada siswa meditasi yang sudah berusaha memperhatikannya ketidak-baikkan yang ditimbulkan oleh pikiran yang tidak baik ini, maka ia harus tidak memperhatikan lagi. Dengan demikian ia melenyapkannya. Dan bila pikiran jahat lenyap, batinnya menjadi teguh.

4. Jika pikiran jahat itu tetap ada sekalipun sudah tidak diberi perhatian, seorang siswa meditasi harus menyoroti akar (penyebab) pikiran jahat tersebut. Dengan lenyapnya ini, maka batin menjadi tenang dan teguh.

5. Jika pikiran jahat itu masih ada sekalipun siswa meditasi telah menyoroti penyebabnya, maka rapatkan gigi atas dan gigi bawah, letakkanlah lidah ke langit mulut, tutuplah mulut dan siswa meditasi mencoba membendung pikiran yang tidak baik dengan pikiran yang baik. Dengan demikian pikiran yang jahat akan lenyap dan dengan lenyapnya pikiran jahat maka batin menjadi teguh.

Jika melalui perenungan objek yang baik yaitu dengan memikirkan kerugian yang ditimbulkan oleh pikiran jahat; dengan tidak memberikan perhatian dan tidak merenungkan pikiran jahat; dengan merenungkan penghilangan akar-akar pikiran jahat; dengan membendung, mengatasi dan mengendalikan pikiran jahat dengan pikiran baik disertai dengan perapatkan gigi atas dan bawah dan lidah ditekankan ke langit-langit mulut, maka pikiran-pikiran jahat dapat disingkirkan. Selanjutnya batin menjadi teguh dan tenang, disatukan dan terarah ke dalam, maka siswa meditasi dapat disebut sebagai Penguasa Sang Jalan hamparan pikirannya. Ia mampu menunjukkan pikiran pada apa yang dikehendaki untuk dipikirkannya. Ia mampu memotong nafsu dan melenyapkannya sama sekali; menguasai keakuan dan kesombongan mengakhiri penderitaan.

Source : http://www.samaggi-phala.or.id

Tidak ada komentar: