Kamis, 29 November 2012

BERBAHAGIA KARENA INDERA YANG TERKENDALI

Kāyena saṁvaro sādhu, sādhu vācāya saṁvaro
Manasā saṁvaro sādhu, sādhu sabbattha saṁvaro.
Sabbattha saṁvuto bhikkhu, sabbādukkhā pamuccati.

”Sungguh baik mengendalikan tubuh; Sungguh baik mengendalikan ucapan;
Sungguh baik mengendalikan pikiran; Sungguh baik mengendalikan
semuanya (indra-indra). Seorang bhikkhu yang mengendalikan
semuanya akan terbebas dari semua dukkha.”
(Dhammapada 361)



Pada umumnya orang tidak suka menghadapi kenyataan hidup dan lebih suka membuai dirinya sendiri dalam sensasi-sensasi palsu. Kebanyakan pula orang selalu mencari dan mengejar yang belum pasti, tetapi tidak mempersiapkan yang pasti, orang belum hidup dengan realitas hidup, tetapi masih bersumber dari keinginan hidup. Ingin menjadi kaya, ingin mendapat kedudukan maupun kemasyhuran, ingin selalu sehat maupun panjang umur, dan setelah meninggal dunia ingin terlahir di alam surga. Inilah harapan atau keinginan-keinginan yang wajar namun belum pasti terjadi.

Ada yang pasti, yang dapat membawa kemajuan bagi kita, apakah itu? Melakukan kebajikan dalam Dhamma. Dengan pelaksanaan Dhamma, harapan atau keinginan yang wajar dapat diwujudkan. Namun, tidak berhenti sampai di situ, karena hal-hal tersebut belum membebaskan kita sepenuhnya dari noda-noda batin. Kondisi-kondisi baik itu harus kita jadikan sarana untuk menunjang kebahagiaan yang tertinggi, yaitu bebas dari noda-noda batin.

Pikiran yang selalu diarahkan keluar akan menjadi salah satu penyebab ketidakpuasan. Tidak tercapai apa yang diharapkan juga merupakan rangkaian dari penderitaan. Semakin banyak keinginan, semakin jauh pula dari kebahagiaan. Sangat tepat bahwa kebahagiaan dan penderitaan itu ditentukan oleh pikiran. Karena kebahagiaan dan penderitaan serta banyak hal lainnya bersumber dari pikiran. Pikiran menjadi pusat atas kontak antara indra dengan objeknya. Seperti kontak mata dengan wujud atau gambar, telinga dengan suara, lidah dengan rasa, hidung dengan aroma, kulit dengan sentuhan, dan pikiran dengan ide atau konsep. Semua inilah yang memunculkan keinginan-keinginan hingga kita berbuat begini dan begitu.

Dari masa ke masa, semua orang tentu ingin hidup bahagia, ingin mencapai kehidupan yang lebih baik, dan sukses dalam segala hal. Sebaliknya, tidak ada satu orang pun yang menginginkan penderitaan. Hidup ini selalu berproses atau mengalami perubahan. Apa saja yang ada di alam semesta ini pasti akan berubah. Perubahan dapat membawa kemunduran maupun kemajuan. Yang tidak mampu dapat berubah menjadi hidup lebih baik, yang sukses dapat berubah menjadi gagal, yang jahat dapat berubah menjadi baik, dan yang senang dapat berubah menjadi berduka. Semua ini terus terjadi karena fenomena perubahan itu sendiri. Mengalami kegagalan, kesusahan, dan jatuh dalam kesulitan merupakan hal yang wajar. Mengapa demikian? Karena kehidupan ini tidak dapat terlepas dari Delapan Kondisi Alam (aṭṭhalokadhamma), yaitu lābha (mendapatkan), alābha (tidak mendapatkan), yasa (berkedudukan), ayasa (tidak berkedudukan), nindā (hujatan), pasaṁsā (sanjungan), sukha (kebahagiaan), dan dukkha (penderitaan). Dan yang juga harus kita pahami bahwa kondisi-kondisi itu selalu berproses, tidak tetap, dan berubah-ubah.

Bagi orang yang kurang bijaksana, dalam kehidupan yang penuh makna ini memerlukan pandangan cerah untuk memahami kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan dan penderitaan itu merupakan dua hal yang selalu berdampingan dengan kita, hanya saja kalau kebahagiaan menyenangkan sedangkan penderitaan itu menyusahkan. Tergantung bagian mana yang timbul lebih dominan. Sesungguhnya tidak perlu mencari yang sulit-sulit, yang aneh-aneh, yang unik, atau pun yang mahal-mahal baru kita bisa merasa bahagia. Jika kita ingin bahagia, mulailah sejak saat ini bersikap ramah dan lembut terhadap diri sendiri juga terhadap lingkungan.

Ketidaklekatan terhadap kesenangan-kesenangan indra adalah salah satu faktor penting untuk memperoleh kebahagiaan karena sebagian besar masalah hidup (penderitaan) disebabkan oleh kelekatan itu sendiri. Melepas adalah penyebab kebahagiaan dan jalan menuju pencerahan. Tidak melekat terhadap kesenangan-kesenangan yang bersifat duniawi adalah baik dan patut dikembangkan. Namun, tidak melekat pada keduniawian di sini bukan berarti harus pergi ke gua atau ke hutan menyepi dan mengasingkan diri. Tetapi hal itu (ketidaklekatan) merupakan bentuk dari sebuah perjuangan atau usaha kita agar memperoleh pembebasan.

Di jalan menuju kebahagiaan, kita melaju melalui tingkatan yang berbeda-beda, mungkin sebagian orang menganggap mempraktikkan sῑla belumlah sempurna sehingga tidak sedikit pula orang yang menyepelekan praktik sῑla, padahal cukup ada kesempurnaan di sana. Mengembangkan sῑla dan pengendalian diri yang lahir dari perilaku baik merupakan titik awal kebahagiaan. Untuk memperoleh kebahagiaan orang harus mencapai kesempurnaan sῑla dengan mengendalikan indra-indra. Minimal dengan pelaksanaan lima latihan moral (pañcasῑla) dalam keseharian. Saat indra-indra menjadi lebih terkendali, kita mulai mengalami salah satu dari tingkatan pertama kebahagiaan yang lahir dari pengendalian indra.

Jika kita melatih pengendalian indra, kita akan mengalami sebuah hasil nyata yang sangat menyenangkan, murni, dan indah. Sebuah kebahagiaan yang tenang, tentram, damai, dan hening. Ketika kita mengembangkan pengendalian diri dan menjaga indra-indra dengan baik, maka kesadaran akan mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang.

Waktu terus bergulir tanpa dapat dihentikan, yakinlah bahwa semua kesulitan akan berlalu dengan seiringnya waktu hingga akhir dari perjuangan dan mencapai hasil, yaitu kebahagiaan. Karena kesuksesan dan kebahagiaan adalah milik orang yang mau berusaha dan tidak mudah putus asa.

Oleh: Bhikkhu Virasilo (30 September 2012)
sumber : Dhammacakkaonline

Living Meaningfully, Dying Joyfully

 Oleh Ajahn Brahm

Di dalam presentasi ini, saya akan menggunakan cerita-cerita dan anekdot-anekdot, beberapa cerita humor, untuk menunjukkan bagaimana caranya agar kita bisa menemukan sendiri arti dari kehidupan, untuk menjalani kehidupan yang berarti. Lalu, saya akan menunjukkan bahwa menjalani kehidupan yang berarti, yang sesuai dengan Dharma, akan mengatasi kesedihan karena kehilangan, dan memungkinkan kita meninggal dunia dengan sukacita.

oooooooo

Pada musim panas tahun 1969, beberapa saat setelah hari ulangtahun saya yang ke-18, saya sedang menikmati pengalaman pertama saya di hutan tropis. Saya sedang berwisata ke Semenanjung Yucatan di bagian timur laut Guatemala, menuju ke suatu daerah di mana baru saja ditemukan piramid-piramid peninggalan peradaban Maya yang telah lenyap.

Pada masa-masa itu, perjalanan sangatlah sulit. Perlu tiga atau empat hari bagi saya untuk menjelajahi beberapa ratus kilometer dari Guatemala City menuju ke kompleks kuil yang telah runtuh berantakan yang dikenal dengan nama Tical. Saya menelusuri sungai-sungai hutan belantara yang sempit dengan menggunakan perahu nelayan yang berlumuran minyak, menempuh perjalanan darat melalui jalan-jalan yang berdebu dengan duduk di atas tumpukan barang di belakang truk, dan melalui jalan-jalan kecil hutan rimba dengan memakai angkong yang sudah bobrok. Itu adalah suatu daerah yang terpencil, miskin dan belum tersentuh tangan manusia.

Ketika pada akhirnya saya tiba di areal kuil-kuil yang telah diabaikan dan piramid-piramid kuno yang begitu luas itu, saya tidak punya seorang pemandu wisata atau buku-buku pemandu untuk memberitahukan saya arti dari monumen-monumen batu yang menjulang ke langit dan yang begitu mengagumkan itu. Tidak ada seorang pun di sana. Jadi, saya pun mulai memanjat salah satu dari piramid-piramid yang tinggi itu.

Begitu sampai di puncaknya, tiba-tiba saya memahami arti dari sebuah piramid, apa tujuannya.

Selama tiga hari itu, saya menjelajahi hutan belantara itu sendirian. Jalan-jalan, gang-gang kecil dan sungai, adalah seperti terowongan yang melalui hutan yang begitu lebat. Hutan belantara dengan cepat menjadi langit-langit yang menutupi setiap jalan yang saya telusuri. Saya tidak bisa melihat langit selama berhari-hari. Bahkan, saya sama sekali tidak bisa melihat apa pun yang ada di depan sana. Saya berada di tengah-tengah hutan rimba.

Di puncak piramid itu, saya berada di atas segala macam penghalang dari hutan rimba. Saya tidak hanya bisa melihat posisi saya di tengah-tengah pemandangan yang terbentang luas di hadapan saya, tetapi sekarang saya juga bisa melihat ke segala arah, tanpa batas.

Berdiri di atas sana seolah-olah sedang berada di puncak dunia, saya membayangkan bagaimana jadinya bagi seorang Indian Maya yang masih muda yang dilahirkan di hutan, dibesarkan di hutan, yang menjalani seluruh kehidupan mereka di hutan. Saya membayangkan mereka di dalam beberapa ritual keagamaan, di mana mereka dituntun secara perlahan-lahan dengan tangan oleh seorang suci yang sudah tua, naik ke puncak sebuah piramid untuk pertama kalinya.

Ketika mereka naik melampaui ketinggian pepohonan dan menyibak dunia hutan belantara mereka yang terbentang di hadapan mereka, ketika mereka menerawang dengan melampaui batas dunia mereka ke angkasa dan di atasnya, mereka akan melihat kekosongan di atas sana dan di sekelilingnya, tanpa ada sesuatu dan seorang pun di antara mereka dan ketanpabatasan. Hati mereka akan dipenuhi oleh simbol-simbol Kebenaran Sejati yang jelas. Pemahaman akan tumbuh dan membuahkan hasilnya. Mereka akan memahami posisi mereka di dalam dunia mereka, dan mereka telah menyaksikan ketanpabatasan, kekosongan, yang mengelilingi semuanya. Mereka telah menemukan arti dari kehidupan mereka.

oooooooo

Menjalani kehidupan yang berarti, memerlukan pengetahuan dan pemahaman mendalam seperti ini. Kita semua perlu menyediakan waktu dan kedamaian untuk mendaki piramid yang ada di dalam diri kita masing-masing, untuk berdiri di atas dan melampaui segala penghalang dari hutan belantara di dalam kehidupan kita, meskipun untuk waktu yang singkat saja. Lalu, kita akan melihat sendiri posisi kita di tengah-tengah segala sesuatunya, kilasan singkat dari perjalanan hidup kita, dan memandang bebas pada ketanpabatasan yang memegang semuanya. Sebut saja itu meditasi jika anda suka, pengetahuan yang senyap atau penglihatan yang tidak bergerak. Ia seperti seorang Indian Maya yang naik ke puncak piramid dan melampaui hutan belantara tempat tinggalnya, untuk menemukan arti dari kehidupan.

oooooooo

Saya bisa saja memberitahukan anda apa yang dimaksud dengan “menjalani kehidupan yang berarti” itu, tetapi itu hanya akan menambah satu lagi filosofi ke dalam kebingungan ilmu pengetahuan spiritual yang mungkin saja telah membebani anda selama ini. Salah satu keindahan dari Buddhisme adalah bahwa ia tidak mengatakan kepada anda apa yang harus anda percayai, tetapi ia memberitahukan anda bagaimana cara untuk menemukannya.

Sebagai contoh, selama bertahun-tahun, saya mempercayai apa yang orang lain katakan kepada saya tentang kebahagiaan.

Ketika saya berumur 14 tahun, saya sedang belajar untuk menghadapi ujian O-level saya di sebuah SMA di London. Orangtua saya dan guru-guru menasehati saya untuk berhenti bermain sepakbola di sore hari dan pada akhir pekan, agar saya bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah saya di rumah. Mereka menjelaskan betapa pentingnya ujian O-level itu dan jika saya bisa lulus, maka saya akan bahagia.

Jadi, saya pun menuruti nasehat mereka dan lulus ujian dengan hasil yang sangat baik. Tetapi hal itu tidak membuat saya terlalu bergembira karena dengan keberhasilan saya itu berarti sejak saat itu saya harus belajar lebih keras lagi, selama dua tahun ke depan, untuk menghadapi ujian A-level. Orangtua saya dan guru-guru kembali menasehati saya untuk berhenti pergi ke luar rumah di malam hari dan pada akhir pekan, berhenti mengejar gadis-gadis selain mengejar bola kaki, dan sebaliknya agar saya tinggal di rumah dan belajar. Mereka mengatakan kepada saya betapa pentingnya ujian A-level itu dan jika saya bisa lulus, maka saya pun akan bahagia.

Jadi, saya pun menuruti nasehat mereka dan, sekali lagi, saya berhasil lulus ujian dengan hasil yang sangat baik. Tetapi sekali lagi, hal itu tidak menjadikan saya terlalu bergembira, karena sekarang saya harus belajar dengan sekuat tenaga, untuk tiga tahun lagi, di sebuah universitas, untuk meraih gelar sarjana. Orangtua saya (ayah saya kini telah meninggal dunia) dan guru-guru menasehati saya untuk menghindari bar-bar dan pesta pora, dan sebaliknya saya harus bekerja keras. Mereka mengatakan kepada saya betapa pentingnya gelar sarjana itu untuk bisa sukses di dalam hidup, dan jika saya bisa meraihnya, maka saya bisa bahagia.

Pada titik ini, saya mulai curiga.

Saya melihat beberapa orang teman lama saya yang telah berhasil meraih gelar sarjana mereka dan bekerja dengan lumayan keras. Mereka berkata kepada saya bahwa mereka bekerja begitu keras untuk menabung agar bisa membeli sesuatu yang penting. Bila mereka sudah punya cukup uang untuk membeli mobil, atau sebuah apartemen kecil, maka mereka akan bahagia.

Ketika mereka sudah membeli mobil kecil mereka, mereka masih saja tidak begitu bahagia. Mereka harus berjuang untuk mengatasi kekacauan di dalam kehidupan percintaan mereka, mencari pasangan hidup mereka masing-masing. Mereka bilang, bila mereka sudah menikah, maka mereka akan bahagia.

Begitu mereka telah menikah, mereka harus bekerja keras untuk membeli apartemen yang lebih besar lagi, atau bahkan sebuah rumah impian. “Bila kami sudah memiliki simpanan yang cukup untuk didepositokan, maka kami akan bahagia”, kata mereka.

Lalu mereka akan memiliki anak-anak yang membangunkan mereka di tengah malam, yang menghisap habis semua sisa uang mereka dan tiba-tiba saja menciptakan gelombang kekhawatiran yang baru. Untuk kesekian kalinya kebahagiaan akan terganggu. Dan seperti kebanyakan orang-orang yang berkata kepada saya, “Begitu anak-anak sudah dewasa, meninggalkan rumah dan mandiri, maka kami bisa melakukan apa pun yang kami inginkan”. Lalu mereka pun akan bahagia.

Pada saat anak-anak sudah meninggalkan rumah, para orangtua sudah beranjak pensiun. Mereka terus bekerja keras, berinvestasi dan menabung untuk hari tua mereka. “Bila kami pensiun nanti”, kata mereka, “Maka kami akan bahagia.”

Bahkan sebelum mereka pensiun, dan tentu saja sesudahnya, teman-teman dan sanak keluarga saya yang telah berusia lanjut, semuanya akan pergi ke gereja. Apakah anda pernah memperhatikan berapa banyak orang-orang lanjut usia yang suka pergi ke vihara dan gereja? Itu karena mereka semua berpikir, “Bila saya nanti meninggal, maka saya akan bahagia!”

Itu adalah jenis kebahagiaan yang mereka ingin saya mempercayainya: “Bila kamu mendapatkan ini atau itu, maka kamu akan bahagia.” Kebahagiaan selalu berupa mimpi tentang masa depan, seperti pelangi yang berjarak satu atau dua langkah ke depan, tetapi selamanya tidak dapat dicapai. Ada sesuatu yang salah. Tidak ada seorang pun yang benar-benar bahagia sekarang.

Itulah yang terjadi bila kita hanya percaya begitu saja pada orang lain, dan bukan dengan melihat kebenarannya sendiri. Jika anda menjalani kehidupan anda dengan mengumpulkan kakayaan, menimbun kemelekatan, atau bahkan mengejar surga – anda akan menemukan bahwa anda tidak menjalani kehidupan yang berarti.

oooooooo
Banyak pakar-pakar media zaman sekarang menyimpulkan bahwa mendapatkan pasangan hidup adalah kunci dari menjalani hidup yang berarti. Kebanyakan dari kita, menurut saya, menerima saja pendapat itu bulat-bulat tanpa mencoba mempertanyakannya secara sungguh-sungguh.

Mengapa meskipun kita tidak bisa memilih siapa-siapa saja yang akan dilahirkan menjadi anak-anak kita, namun kita tetap saja mencintai mereka selamanya, dan tanpa syarat? Walaupun pada kenyataannya mereka dilahirkan dengan kondisi yang jauh dari harapan kita, kita tetap saja menyayangi mereka? Di lain pihak, walaupun kita sudah memilih suami atau istri kita dengan sangat berhati-hati, menelusuri diri mereka dengan begitu cermat melebihi apa pun yang ada dalam hidup kita sebelum menandatangani kontrak, pada umumnya kita tidak mencintai mereka selamanya, dan tentu saja tidak pernah dengan tanpa syarat! Mengapa?

Itu karena cinta yang mengalir di antara pasangan hidup tidaklah sama dengan cinta yang mengalir di antara orangtua dan anaknya.

Di dalam sebuah artikel di majalah Time beberapa tahun lalu yang berjudul, “The Chemistry of Love”, para ahli kimia biologi mendemonstrasikan bahwa ketika pria bertemu wanita di sebuah acara makan malam yang romantis dan diterangi lilin, hormon-hormon akan dikeluarkan memasuki aliran darah untuk menimbulkan suatu perasaan mabuk kepayang. Pasangan anda secara harfiah dikatakan “menggairahkan anda”. Dan anda menyukai perasaan itu, bukan orangnya. Atau seperti Time menyebutnya, “Anda mencintai cara mereka di dalam membuat anda merasakan gairah tersebut”. Selanjutnya, ketika tubuh anda mulai mentolerir zat-zat kimia itu secara alamiah, pasangan anda tidak lagi menggairahkan anda. Itu hanyalah proses kimiawi saja. Jadi, tolong jangan pernah berteriak atau marah kepada pasangan anda, sebaliknya berteriak dan marahlah pada buku ilmu kimia!

Rasa cinta dan kasih sayang di antara orangtua dan anak adalah berbeda. Anda menyayangi mereka walaupun jika tidak ada apa pun untuk anda di sana. Anda mencintai mereka terlepas dari apa pun cara mereka mempengaruhi perasaan anda. Itu adalah cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, cinta tanpa syarat.

Ayah saya menunjukkan cinta seperti itu ketika saya masih berumur sekitar 13 tahun. Ketika hanya ada kami berdua, duduk di dalam mobil tuanya, di sebuah gang di London Barat, dia berpaling kepada saya dan berkata….

“Nak, apa pun yang engkau lakukan di dalam hidupmu, pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu.” Lalu dia pun melanjutkan mengendarai mobilnya pulang ke rumah kami.

Saya, pada saat itu, terlalu kecil untuk memahami apa yang dia maksud, tetapi cukup dewasa untuk mengetahui bahwa hal itu adalah sesuatu yang penting. Saya terus mengingatnya. Hanya setelah bertahun-tahun kemudian, lama setelah ayah saya meninggal dunia, ketika saya masih seorang bhikkhu muda, barulah saya bisa menguraikan arti sebenarnya dari kata-kata ayah saya tersebut.

Rumah ayah saya, rumah kami, adalah sebuah apartemen kontrakan yang kecil di daerah miskin di London Barat. Sebuah rumah yang tidak begitu cocok untuk dipamerkan kepada orang lain. Kami tidak pernah takut pada pencuri, karena kami pikir jika seorang pencuri menyelinap masuk dan melihat tempat tinggal kami, dia mungkin akan meninggalkan sesuatu untuk kami dari kantongnya sendiri karena merasa kasihan!

Apa yang ayah saya maksud, apa yang sebenarnya coba dia katakan adalah:
“Nak, apa pun yang engkau lakukan di dalam hidupmu, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu”.

Itulah yang dimaksud dengan cinta tanpa syarat. Itu adalah jenis cinta yang sering ditemukan di antara orangtua dan anaknya. Itu adalah cinta yang tidak mementingkan diri sendiri. Cinta tanpa ada embel-embel apa pun. Cinta yang membebaskan. “Apa pun yang engkau lakukan di dalam hidupmu, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu”.

oooooooo

Kembali kepada cerita tentang pasangan hidup, cinta jenis apa yang mengalir di antara anda dan pasangan anda? Anda bisa melakukan suatu ujicoba untuk menemukan jawabannya.

Bayangkanlah pasangan anda. Apakah anda benar-benar mencintai mereka? Apakah anda menginginkan mereka berbahagia? Apakah anda benar-benar peduli pada kesejahteraan mereka? Apakah kebahagiaan mereka adalah hal yang paling penting bagi anda di dunia ini?

Sekarang, bayangkan bahwa setelah menghadiri konferensi ini, anda pulang ke rumah dan menemukan bahwa pasangan anda telah berselingkuh dan melarikan diri ke Paris dengan sahabat karib anda sendiri. Bagaimana perasaan anda?

Jika anda benar-benar peduli pada kebahagiaan mereka, maka anda akan terharu ketika mendengar betapa bahagianya mereka berdua sekarang. Jika anda benar-benar mencintai pasangan anda, anda akan bergembira ketika mengetahui bahwa pasangan anda sekarang menjadi lebih berbahagia dengan sahabat karib anda dibandingkan dengan ketika dia masih bersama-sama dengan anda. Jika kebahagiaan orang yang anda cintai adalah begitu penting bagi anda, maka anda akan bersuka cita – Oh, betapa senangnya! — setelah mendengar berita bahwa mereka berdua sedang menikmati masa-masa indah mereka di bawah terang rembulan di Seine. Anda selalu menginginkan agar pasangan anda berbahagia, dan sekarang mereka sudah bahagia. Apa masalahnya?

oooooooo

Ujicoba ini menunjukkan bahwa cinta di dalam kebanyakan hubungan asmara adalah cinta yang egois, cinta dengan syarat. Ia bersumber dari kemelekatan dan akan bercabang, cepat atau lambat, menuju penderitaan. Mereka bilang ada tiga jenis cincin (ring) di dalam sebuah pernikahan:
- Cincin pertunangan (Engagement ring)
- Cincin pernikahan (Wedding ring)
- dan penderitaan (Suffer-ring)

oooooooo

Cinta yang tidak mementingkan diri sendiri adalah tanpa kemelekatan. Ia bersumber dari rasa memberi dan, tak terelakkan lagi, akan bercabang menuju kebebasan. Ia adalah jenis cinta yang berkata, “Apa pun yang kamu lakukan, pintu hatiku selalu terbuka untukmu”. Ia merupakan cara bagi kita untuk bisa menjalani kehidupan yang berarti.

Cinta tanpa kemelekatan seperti ini adalah merupakan dasar pijakan bagi segala jenis perbuatan kedermawanan. Jika anda memberi sumbangan agar bisa terkenal, itu bukan cinta tanpa kemelekatan. Jika anda melayani masyarakat karena ingin dipuji, itu bukanlah memberi. Jika anda bersahabat dengan orang lain karena ingin mendapat sesuatu sebagai imbalannya, maka itu bukanlah welas asih. Kedermawanan, seperti cinta tanpa kemelekatan, akan berkata, “Apa pun yang kamu lakukan, siapa pun kamu, saya memberikan hatiku kepadamu dan membaginya bersamamu”.

Bahkan para bhikkhu pun mempraktekkan kedermawanan. Kehidupan kebhikkhuan saya adalah suatu festival/ajang untuk memberi.

Seorang perempuan menelepon saya satu jam sebelum saya memberikan khotbah umum.

“Apakah anda berceramah malam ini?” dia bertanya dengan sopan.

“Ya, nyonya. Khotbah dimulai pada pukul 19.30″, jawab saya.

“Berapa biayanya untuk bisa menghadiri ceramah anda?” lanjutnya.

“Tidak ada, nyonya, sama sekali tidak ada”, saya menjelaskan.

“Bukan, bukan!” dia menyela, “Anda tidak mengerti. Berapa jumlah uang yang harus saya bayar?”

“Nyonya, anda tidak perlu membayar uang apa pun. Semua ceramah saya gratis”.

“Dengar!” teriaknya di ujung telepon, “DOLLAR! SEN! Berapa jumlah uang yang harus saya keluarkan dari kocek saya untuk bisa melewati pintu masuk?”

“Nyonya”, kata saya sambil menenangkannya, “Anda tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk bisa melewati pintu masuk, baik itu di pintu masuk maupun di pintu keluar. Kami tidak menanyakan nama anda ataupun memaksa anda untuk menyumbangkan apa pun. Jika anda tidak menyukai ceramahnya, anda bisa pergi meninggalkan ruangan di setiap saat. Gratis”.

Dan pembicaraan pun terhenti beberapa saat.

“Kalau begitu” katanya dengan nada heran, “Lalu apa yang kalian (maksudnya “para bhikkhu”) dapatkan dari semua ini?”

“Kebahagiaan, nyonya”, jawab saya, “Hanya kebahagiaan yang kami dapatkan”.

oooooooo

Pemberian tanpa kemelekatan seperti inilah yang membedakan antara kehidupan yang biasa-biasa saja dengan kehidupan yang berarti. Semakin banyak yang anda lepaskan, semakin kaya pula kehidupan seseorang. Itu sebabnya mengapa kotak-kotak amal di vihara-vihara saya di Perth itu dinamakan “Kotak-kotak Pelepasan”.

Sang Buddha bersabda di dalam Dhammapada ayat 204:
“Kepuasan adalah kekayaaan yang terbesar.”

Jadi, Buddhisme itu, yang mengajarkan kepuasan seperti itu melalui cinta kasih tanpa kemelekatan: “Apa pun yang kamu lakukan, pintu hatiku selalu terbuka untukmu”, adalah ajaran yang mengajarkan tentang penciptaan kekayaan. Arti dari kehidupan adalah untuk menghasilkan kekayaan seperti itu. Kepuasan adalah portofolio anda, cinta tanpa kemelekatan adalah saham anda, menjadikan investasi paling aman dengan dividen yang secara harfiah “berada di luar dunia ini”, semuanya dijamin oleh Kepala Bank Sentralnya, yakni Sang Buddha sendiri.

oooooooo

Seorang pengarang puisi romantis Inggris abad ke tujuhbelas, John Keates, mengawali puisinya yang terkenal “Endymion” dengan kata-kata:
“A thing of beauty, is a joy forever”.

Sesungguhnya, kebanyakan dari kita menemukan arti kehidupan ini melalui penghargaan kita akan keindahan – dengan memandang matahari terbenam yang indah di sore hari, melihat air terjun di hutan belantara yang belum terjamah tangan manusia, atau dengan berhenti sejenak untuk menikmati warna-warni bunga yang tersenyum di pinggir jalan. Keindahan memang memberikan arti bagi kehidupan, tetapi tidak sebanding dengan apa yang telah kita bicarakan sebelumnya.

Keindahan bagi seorang bhikkhu, kata Sang Buddha (di dalam Cakkavatti Sihanada Sutta), adalah kebajikan. Orang yang paling menawan di dunia adalah mereka yang memiliki hati yang murni. Adalah bagus untuk bersama-sama dengan orang yang baik. Dan seseorang yang suci di tengah-tengah orang banyak adalah seperti sekuntum bunga mawar yang muncul di tengah-tengah semak belukar berduri. Bahkan seseorang yang sudah tua dengan muka keriput, gigi ompong dan rambut beruban, yang telah menjalani kehidupan penuh kebajikan, akan bersinar dengan keindahan di dalam dirinya (inner beauty) yang akan membuat setiap super-model menjadi iri hati.

Guru-guru bhikkhu seperti saya menganjurkan semua pendengarnya untuk menjalani kehidupan yang bermoral, untuk mendapatkan keindahan di dalam diri (inner beauty), yang disebut John Keates, sebagai “a joy forever”. Itulah sebabnya mengapa saya menyebut Buddhist City Centre saya di Perth, Australia Barat, bukan dengan “Dhammaloka”, melainkan “Salon Kecantikan Ajahn Brahm”! Saya “mempermak” sedikit kehidupan anda, memberikan perawatan wajah pada kejujuran anda, dan menghilangkan keriput pada aturan kemoralan (sila) anda. Menjalani kehidupan dengan keindahan seperti itu adalah menjalani kehidupan yang berarti. Cobalah. Jika anda mendambakan saat-saat yang indah, maka jadilah orang yang baik.

oooooooo

Semua hal-hal yang baik akan berakhir. Kita semua akan mati. Sebagai bhikkhu, saya sudah sering menghadiri upacara pemakaman, kalau dihitung jumlahnya bisa melebihi jumlah bunga-bunga yang ada di kompleks pemakaman. Saya sudah sering mendengarkan para sanak saudara dan teman-teman yang setelah upacara pemakaman selesai berbicara tentang orang yang barusan meninggal tersebut. Sungguh luar biasa ketika ternyata apa yang mereka ingat bukanlah tentang harta kekayaan si mendiang, atau rumahnya, atau kekuasaannya. Apa yang mereka katakan setelah upacara pemakaman adalah tentang hal-hal yang bagus dari si mendiang, kebaikan hatinya dan betapa dermawannya dia. Seolah-olah mereka semua sedang menceritakan rangkuman seluruh kisah kehidupan dari orang yang baru meninggal tersebut. Dan apa yang diingat, satu-satunya yang diingat, adalah hal-hal seperti kedermawanan, kebajikan dan cinta tanpa mementingkan diri sendiri. Kualitas-kualitas seperti inilah, di dalam dunia akuntansi, yang disebut sebagai “bottom line” dari kehidupan seseorang. Ini merupakan arti dari kehidupan mereka dan yang memberi arti pada kehidupan mereka. Adalah aneh jika hanya melalui kematian sajalah baru kita bisa menyadari kebijaksanaan dari ajaran-ajaran Sang Buddha tentang apa yang dimaksud dengan menjalani kehidupan yang berarti.

oooooooo

Bagi seseorang yang memiliki “bottom line” yang menguntungkan, yang menjalani kehidupan mereka yang berarti, maka mereka bisa meninggal dengan penuh sukacita. Seorang umat Buddha akan memahami bahwa karena mereka telah mengumpulkan banyak karma baik, maka mereka bisa secara sah menanti dengan tenang saat-saat indah setelah mereka meninggal dunia. Mereka tahu bahwa mereka hanyalah mengganti tubuh tua yang sudah usang itu dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Itu seperti membeli sebuah mobil baru, kenderaannya berubah tetapi yang mengendarainya tetap orang yang sama. Adakah hal yang menyedihkan di sana?

Dan menjalani hidup yang berarti, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah suatu latihan untuk melepaskan. Anda melepaskan sejumlah kekayaan anda untuk mempraktekkan kemurahan hati. Anda melepaskan sifat-sifat tidak baik anda untuk menjalankan aturan kemoralan (sila). Anda melepaskan sifat egois anda untuk mempraktekkan welas asih. Dan anda melepaskan hawa nafsu untuk mempraktekkan meditasi. Dharma adalah suatu pedoman yang lengkap untuk melatih pelepasan.

Jadi, bila tiba saatnya untuk melepaskan tubuh anda dan mengalami proses kematian, seseorang yang terlatih di dalam Dharma akan melepaskan dengan sukacita. Di dalam pengalaman panjang saya menangani kematian, baik dari umat Buddha maupun non Buddha di negara-negara Barat, umat Buddha meninggal dunia dengan jauh lebih tenang dan sukacita daripada yang lain.

Pernah sekali, seorang murid saya menelepon saya dari rumah sakit. Perempuan ini, yang berusia empat puluhan, pada pagi itu telah didiagnosa mengidap kanker yang tidak bisa disembuhkan. Dia diperkirakan hanya bisa hidup sekitar dua atau tiga bulan lagi. Saya mengunjunginya pada siang hari itu juga. Di tempat tidur pasiennya, dia tersenyum dan berguyon dengan saya sambil membuat rencana untuk menghadapi kematiannya.

Ketika saya meninggalkan kamarnya, kepala perawat di rumah sakit itu meminta waktu untuk berbicara kepada saya. Dia memberitahukan saya bahwa dia sangat khawatir kalau murid saya itu akan menolak menerima kenyataan diagnosa tentang kematiannya yang sudah dekat itu. Saya harus menjawab dengan cukup yakin, bahwa murid saya itu tidak menolaknya sama sekali. Bahkan sebaliknya, dia malah membicarakan kematiannya dengan saya selama lebih dari satu jam! Anda lihat kan, si kepala perawat yang berpengalaman itu tidak pernah melihat sifat kerelaan yang muncul begitu saja seperti itu pada pasien-pasien yang lain. Yang dia lihat hanyalah ketakutan dan air mata, kemarahan dan pengingkaran. Dan dia secara keliru telah menafsirkan bahwa dengan tidak adanya sifat-sifat negatif seperti itu, adalah merupakan tanda-tanda pengingkaran. Dia belum pernah melihat umat Buddha meninggal dunia sebelumnya, dan dia merasa sulit untuk bisa memahami bagaimana mereka bisa menghadapi kematian dengan begitu sukacita.

Beberapa bulan kemudian, pada upacara pemakaman murid saya ini, dokter yang merawatnya yang beragama Kristen berkata bahwa dia begitu kagum melihat bagaimana umat Buddha bisa meninggal dunia dengan sukacita.

Bila anda memahami Dharma, dan hidup dengan pemahaman itu, maka tidak ada kesedihan apa pun tentang kematian. Satu-satunya hal yang membuat saya sedih adalah ketika orang-orang tidak menjalani kehidupan yang berarti dan menyia-nyiakan kehidupan mereka yang berharga.

oooooooo

Ayah saya meninggal dunia ketika saya berumur 16 tahun. Saya sangat mencintainya dan masih mencintainya sampai saat ini. Namun saya tidak pernah menangis pada upacara pemakamannya, dan tidak pernah menangis sejak saat itu. Saya tidak suka menangis. Perlu waktu bertahun-tahun bagi saya untuk memahami apa yang saya rasakan pada saat itu. Sekarang saya menggunakan pemahaman itu sebagai pedoman untuk menghadapi kematian, dengan sukacita. Inilah pemahaman saya.

Sebagai seorang anak muda, saya menyukai musik. Segala jenis musik, apakah itu klasik atau rock, jazz atau musik country. Saya suka menghabiskan sebagian besar malam hari saya di panggung-panggung konser dan klub-klub di pusat kota London, menikmati beberapa orkestra dan band-band, musisi-musisi dan penyanyi-penyanyi terbaik di dunia. London adalah suatu tempat yang bagus untuk tumbuh dewasa jika anda menyukai musik.

Ketika konsernya telah selesai, saya akan berdiri bersama orang-orang lain, bertepuk tangan dan berteriak agar konsernya dilanjutkan. Seringkali, orkestra atau band tersebut akan melanjutkan bermain musik selama beberapa menit lagi. Tetapi pada akhirnya mereka harus berhenti dan saya harus pulang ke rumah. Dan seingat saya ketika berjalan keluar dari panggung konser pada larut malam, kelihatannya hujan selalu turun di London, di dalam bentuknya yang paling menyusahkan yang dinamakan “gerimis”. Kondisinya sangat dingin, basah dan gelap, dan saya tahu bahwa saya mungkin tidak akan pernah menyaksikan orkestra yang hebat itu lagi. Namun, walaupun di dalam kondisi malam hari yang gelap gulita dan tidak menyenangkan itu, saya tidak pernah bersedih. Saya tidak pernah jatuh ke dalam keputusasaan. Sebaliknya, saya malah merasa gembira dan tergugah karena telah berkesempatan mendengarkan musik yang hebat itu. Sebuah pertunjukan yang luar biasa, sebuah pengalaman yang menakjubkan! Saya berada bertahun-tahun cahaya jauhnya dari kegelapan yang menyelimuti malam di kota London.

Itulah satu-satunya cara saya untuk menggambarkan perasaan saya ketika ayah saya meninggal. Ia adalah sebuah pertunjukan yang singkat, cuma enambelas tahun lamanya. Saya bertepuk tangan dan bersorak-sorai kegirangan meminta tambahan waktu di akhir pertunjukan. Ayah saya terus memainkan musik lebih lama sedikit dan, pada kenyataannya, itu merupakan sebuah pertunjukan yang luar biasa bagi kehidupannya. Ketika saya berjalan keluar dari krematorium di Mortlake, London Barat, setelah upacara pemakamannya, saya mengingat dengan jelas bahwa saat itu hujan gerimis dan suhu udara sangat dingin. Namun saya sama sekali tidak merasa sedih.

Saya merasa tergugah, terangkat dan tergerak begitu dalam. “Ayah, itu adalah pertunjukan yang menakjubkan. Itu adalah sebuah konser yang sangat luar biasa yang engkau perlihatkan di depan anakmu. Saya tidak akan pernah melupakan irama-irama dan nada-nada serta perasaan mendalam yang engkau berikan kepada orkestramu. Engkau adalah seorang maestro kehidupan. Betapa beruntungnya saya karena telah menjadi bagian dari konsermu”. Saya merasa tergugah, bukan bersedih. Saya merasa begitu berterima kasih, bukan berdukacita. Saya merasa telah menyaksikan salah satu kehidupan yang paling hebat di zaman saya.

Begitulah seseorang bisa meninggal dengan sukacita, dan dengan sukacita pula melihat kematian orang-orang kesayangannya. Di dalam dirinya, seseorang tahu: “Yang tercinta, sahabatku, pintu hatiku akan selamanya terbuka untukmu, tidak peduli apa pun yang pernah kamu lakukan, bahkan jika kamu meninggal”. Bahkan di dalam kematian, anda melepaskan mereka pergi. Cinta tanpa kemelekatan seperti ini adalah cinta yang membebaskan. Membebaskan orang-orang yang harus meninggalkan anda, dan membebaskan diri anda sendiri dari segala kesedihan.

Jadi, inilah yang saya maksud dengan menjalani kehidupan yang berarti, dan meninggal dengan sukacita. Ini adalah hal-hal yang telah saya saksikan sendiri ketika saya mendaki melampaui kebingungan di dunia ini di dalam meditasi kebhikkhuan saya, seperti mendaki sampai ke puncak piramid di hutan belantara Amerika Tengah. Ini adalah hal-hal yang dikatakan Sang Buddha di dalam Sutra-Sutra kuno. Dan kini ia telah tertulis di hati anda, siap untuk menuntun anda.

Bila anda menjalani kehidupan yang berarti, anda tidak hanya akan meninggal dunia dengan sukacita, tetapi anda juga akan memberikan kebahagiaan yang begitu besar kepada semua orang yang bertemu dengan anda, di dalam hidup anda dan di dalam kematian.

Terima kasih.

Ajahn Brahmavamso

Bodhinyana Monastery, Western Australia.

* Note : Disampaikan oleh Ven. Ajahn Brahmavamso di Global Conference on Buddhism 2002 (8 Desember 2002, Shah Alam, Malaysia).
* Sumber : The Buddhist Society Of Western Australia (http://www.bswa.org/)

Link English edition:
http://www.what-buddha-taught.net/Books6/Ajahn_Brahm_Living_Meaningfully_Dying _Joyfully.htm

Rabu, 21 November 2012

Melakukan Perbuatan Baik, Menguntungkan Diri Sendiri


Ditulis oleh Chufan/Minghui.org   
Erabaru.net

Seorang pedagang pada masa dinasti Qing, Zhang, pergi untuk menagih utang, menyeberangi Sungai Yangtze dari utara ke Jiangning, yang juga dikenal sebagai Nanjing.

Ia berencana untuk kembali ke rumah untuk liburan Tahun Baru tepat sebelum akhir tahun. Dengan barang-barang di bahunya, ia berangkat pagi-pagi buta, tetapi harus menunggu di bawah sebuah bangunan karena gerbang kota belum dibuka.

Setelah menunggu beberapa waktu, Zhang merasa begitu lelah sehingga ia menyerah, meletakkan tas kainnya yang penuh dengan emas dan perak, kemudian duduk di atasnya, dan memejamkan mata untuk beristirahat. Ketika gerbang kota dibuka, ia bergegas ke pintu gerbang dengan barang-barang di bahunya, tetapi ia benar-benar lupa akan tas kain yang telah ia duduki.

Ketika menyadari ia tidak membawa tas kain itu, ia telah pergi lebih dari satu li (0,3 mil) jauhnya. Dia segera bergegas kembali ke tempat ia beristirahat, tapi pasar sudah penuh sesak dengan orang-orang dan tasnya sudah hilang.

Zhang mengerutkan kening dan menunggu di dekat tempat itu, berharap seseorang akan mengembalikan tasnya. Seorang pria tua muncul dan bertanya apa yang terjadi. Dia mendengarkan, lalu mengundang Zhang ke rumahnya dan berkata, "Saya menemukan sebuah tas di bawah ketika membuka pintu pagi ini. Saya tidak tahu apakah itu adalah milikmu."

Zhang menjawab,"Di dalam tas ada dua kantung, masing-masing dengan sejumlah perak batangan.Yang lebih besar milik bos saya dan yang lebih kecil milik saya. " Orang tua itu memeriksa barang di dalam tas, isinya persis seperti yang Zhang katakan. Ia kemudian mengembalikan tas kepada Zhang.

Zhang tersentuh hingga menangis dan ingin berterima kasih kepada orang tua di depannya dengan memberi perak batangan miliknya. Orang tua tersebut tersenyum dan menjawab, "Saya tidak akan berkata apapun tentang tas Anda jika saya begitu mencintai uang. Apakah Anda mengerti? " Zhang kemudian menanyakan nama orang tua itu dan pulang.

Ketika Zhang sedang menunggu perahu di tepi sungai, angin kencang tiba-tiba bertiup. Banyak perahu terbalik, dan banyak penumpang yang tenggelam. Melihat peristiwa mengerikan ini, Zhang muncul hati welas asih dan berpikir, "Hari ini saya mendapatkan kembali perak batangan yang telah hilang. Tanpa itu, saya pasti mati. Saya benar-benar mendapat hidup saya kembali. " Menggunakan semua uang miliknya, Ia menyewa orang untuk menyelamatkan mereka yang tenggelam. Beberapa lusin orang terselamatkan oleh hati belas kasihnya.

Semua yang selamat datang untuk berterima kasih kepada Zhang karena telah menyelamatkan mereka. Salah satunya kebetulan anak dari pria tua yang telah mengembalikan tas Zhang yang telah hilang. Dia dalam perjalanan pulang ke Nanjing setelah menyelesaikan urusan dagang di daerah utara Sungai Yangtze.

Zhang terkejut akan hal ini. Dia kemudian menceritakan pengalaman pribadinya kepada orang-orang yang ada di sana, dan semua orang takjub akan keajaiban itu. Mereka menyadari itu pastilah hukum langit, dimana kebaikan dibalas dengan kebaikan.

Dalam cerita ini, orang tua tersebut tidak menyimpan barang berharga yang ia temukan untuk dirinya sendiri dan tidak meminta hadiah atas perbuatan baiknya. Dia tidak hanya menyelamatkan Zhang ketika dalam kesulitan, tetapi juga menanam sebuah benih di dalam hati Zhang untuk melakukan perbuatan baik, sehingga meletakkan kesempatan bagi anaknya sendiri untuk diselamatkan kemudian.

Dapatkah Anda membayangkan apa yang mungkin akan terjadi jika orang tua tersebut menyembunyikan harta yang ia temukan? Zhang mungkin akan bunuh diri karena kehilangan banyak uang, terutama uang majikannya, dan selanjutnya, tidak akan memiliki kesempatan untuk menyelamatkan banyak orang yang tenggelam, termasuk anak si orang tua.

Bahkan jika Zhang tidak mati dan berbelas kasih terhadap mereka yang tenggelam, ia tidak akan punya uang untuk menyewa orang untuk membantu menyelamatkan mereka. Di sisi lain, akan lebih buruk jika Zhang tidak peduli pada mereka yang tenggelam hanya karena kemalangannya sendiri.

Pepatah lama mengatakan, "Melakukan perbuatan baik tanpa mengharap balasan akan menginspirasi orang lain untuk berbelas kasih dan memecahkan masalah Anda sendiri; menolong orang yang membutuhkan akan membantu mereka mengumpulkan uang untuk melakukan perbuatan baik dan Anda akan menerima bantuan orang lain.”

Sebagai penutup, pepatah berikut memberi nasihat, "Adalah lebih baik melakukan perbuatan baik kecil untuk membangun berkah bagi masa depan daripada mengambil keuntungan untuk diri sendiri; adalah lebih baik untuk membantu orang lain setiap hari sehingga Anda mungkin akan dibantu pada masa-masa sulit." (hui/mas)

Cerita dari Xi Chao Xin Yu oleh Xu Xiling dan Qian Young, Dinasti Qing.

Pengemis Bertangan Satu dan Bhiksu



Ada Seorang pengemis yang hanya memiliki sebuah tangan. Ia datang ke suatu biara dan memohon sedekah kepada kepala biara.Tanpa sungkan kepala biara itu menunjuk setumpuk batu bata yang terletak di depan pintu seraya berkata,”Tolong kamu bantu saya memindahkan batu bata itu ke halaman belakang.” Pengemis itu dengan marah menjawab, ”Saya hanya memiliki satu tangan. Bagaimana dapat memindahkan? Tidak mau memberi ya sudah, tidak perlu mempermainkan orang!”

Kepala biara itu memandangnya, lalu menggunakan satu tangan mengambil sebuah batu bata lalu berkata, “Masalah seperti ini juga bisa dikerjakan dengan menggunakan satu tangan.”

Melihat keadaan itu si pengemis tak berdaya, terpaksa menggunakan satu tangan itu memindahkan batu bata. Selama dua jam penuh dia memindahkan semua batu bata itu. Kemudian kepala biara itu memberi sedikit uang, dengan sangat bersyukur pengemis itu berkata, ”Terima kasih.”
Kepala biara menjawab, ”Tidak perlu berterima kasih kepadaku, ini adalah uang hasil jerih payahmu sendiri.”
Pengemis itu membungkukkan badan dan berkata, ”Budi baik anda ini akan saya ingat untuk selamanya”. Lalu dia menegakkan badan dan melanjutkan perjalanannya.
Beberapa hari kemudian datang lagi seorang pengemis ke biara itu. Kepala biara lalu membawa pengemis itu ke halaman belakang, menunjuk setumpuk batu bata itu seraya berkata, ”Pindahkan batu bata ini ke halaman depan, dan saya akan memberimu uang.” Tapi pengemis yang memiliki dua tangan ini menganggap hina pekerjaan ini, lalu di tinggalnya pergi.
Para murid dengan tidak mengerti bertanya kepada kepala biara, ”Kemarin dulu anda menyuruh pengemis memindahkan batu bata dari halaman depan ke halaman belakang, kali ini anda juga menyuruh pengemis lain untuk memindahkan dari halaman belakang ke halaman depan, sebenarnya batu bata ini ingin anda letakkan di halaman depan atau halaman belakang biara?”
Kepala biara berkata kepada pengikutnya, ”Bata-bata itu diletakkan di depan atau di belakang adalah sama saja, tetapi mau memindahkan atau tidak bagi pengemis itu tidaklah sama.”
Beberapa tahun kemudian, seorang yang berpenampilan luar biasa datang ke biara. Namun ada hal yang kurang sempurna yaitu orang ini hanya memiliki satu tangan. Ternyata dia adalah pengemis yang memindahkan batu bata.Ia melakukan pekerjaan yang dia kerjakan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri untuk berjuang. Akhirnya dia memperoleh keberhasilan yang sukses, menjadi orang kaya yang ternama di daerahnya. Tetapi bagi pengemis yang memiliki dua tangan lengkap, hingga saat ini masih meminta sedekah di luar pintu gunung.



Pesan Moral :
Disini bisa dilihat, menyelamatkan manusia harus menyelamatkan hatinya. Nasi dalam duniawi bisa menghilangkan rasa lapar sesaat, tapi itu bukanlah makanan batin yang sebenarnya. Uang dalam duniawi bisa memuaskan keinginan sesaat manusia, tetapi bukanlah cahaya kehidupan yang sebenarnya.
Dengan pengetahuan intuitif menyadarkan kejujuran dan kebajikan yang ada dalam hati manusia, barulah bisa dari dasarnya menolong manusia untuk menjauhi kejahatan, terlepas dari lautan kesengsaraan.
Dengan prinsip yang sama, memberi orang sekantung uang, lebih baik menyadarkan kebaikan hatinya. Karena ketulusan dan niat (pikiran) baik merupakan satu jaminan yang paling dasar bagi satu kehidupan untuk bisa berjalan menuju ke masa yang akan datang. (The Epoch Times/lin)


Erabaru.net

Bhiksu Kaya dan Miskin



Di pedesaan Sichuan, Tiongkok kuno, ada 2 orang bhiksu yang seorang kaya dan yang seorang lagi miskin.

Bhiksu miskin berkata kepada bhiksu kaya, “Saya ingin pergi ke laut China selatan.”

Bhiksu yang kaya menjawab dengan sifat menghina, “Berdasarkan apa engkau dapat pergi kesana?”
Bhiksu miskin menjawab ,”Saya akan membawa sebuah botol air dan sebuah mangkok.”

Bhiksu kaya berkata lagi dengan suara mengejek, “Selama beberapa tahun ini, saya ingin menyewa kapal pergi tetapi tidak tercapai, engkau mengandalkan 2 barang ini bisa sampai?”

Setelah setahun berlalu, bhiksu miskin sudah pulang dari laut China selatan. Dia pergi menjumpai bhiksu kaya dan menyampaikan kabar ini kepadanya.

Bhiksu kaya setelah mendengar ceritanya merasa sangat malu. Karena jarak Xishu Sichuan sampai ke Laut China Selatan, adalah ribuan mil jauhnya, biarawan miskin dapat mencapainya sedang biarawan kaya tidak dapat pergi ke sana.

Dari kisah di atas menggambarkan bahwa orang jika hanya dapat bercita-cita tetapi tidak menjalankannya, maka akan seperti bhiksu kaya dari pendesaan Sichuan ini. Sedangkan orang miskin jika mempunyai cita-cita tinggi dan dengan sungguh-sungguh bekerja keras menggapai cita-citanya akan sama dengan bhiksu miskin ini. 


(Mingxin.net/hui/asr)
Erabaru.net

Selasa, 20 November 2012

KISAH TIKUS MEMBUNUH SINGA

Didalam sebuah hutan, hiduplah seekor tikus ahli filsafat. Ia mengetahui satu hal yang tidak pernah diketahui hewan-hewan lain.. Ia yakin bahwa gelisah bisa membunuh seseorang. Sebab, gelisah bisa membunuh kebahagiaan, memadamkan kilauan cahaya dan menghilangkan kenyamanan. Selain itu, kegelisahan juga bisa menghancurkan akal,
hati dan fisik.

Pada suatu hari, ia ingin mengajari teman-teman dan anak-anaknya dengan pelajaran tersebut. Tetapi sang tikus tidak ingin pelajarannya sekadar didengar dan dihafal saja. Ia ingin pelajaran itu dipraktekkan dan tertanam dalam sanubari.

Ketika sedang berceramah dihadapan hewan-hewan tersebut, tiba-tiba muncullah seekor singa. Tikus sang filosof kemudian berkata, "Tuan singa, aku hendak mengatakan sesuatu. Aku berharap engakau mau memberikan jaminan keamanan kepadaku."

Sang singa menjawab, "Aku menjamin keamananmu, wahai tikus yang pemberani."

Tikus kemudian berkata, "Dihadapan semua hewan-hewan ini, aku hendak menyatakan bahwa aku mampu membunuhmu jika engkau memberiku waktu selama sebulan penuh. Seluruh penghuni hutan ini akan melihat hal
itu."

Mendengar hal itu, sang singa langsung tertawa. Dengan nada mengejek, dia berkata, "Engkau mau membunuhku?"

"Benar", jawab filosof tikus mantap dan percaya diri.

"Aku setuju. Tetapi jika engkau tidak bisa melakukannya, engkau akan kupancung didepan semua hewan. Waktunya sebulan mulai dari sekarang."

"Baik, aku setuju."

Sepuluh hari telah berlalu dan singa sama sekali tidak pernah memikirkan ancaman tikus tersebut. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, terbersit dalam hatinya, "Apa yang sebenarnya hendak dilakukan oleh tikus itu? Kenapa ia kelihatan begitu meyakinkan? Bagaimana kalau ancaman itu benar-benar terjadi?"

Beberapa saat kemudian ia tertawa jungkir balik sambil berkata, "Bagaimana mungkin si tikus mampu membunuhku sedangkan aku punya anak-anak yang akan membelaku? Walaupun ia mengerahkan seluruh tikus yang ada sekalipun, tidak mungkin bisa membunuhku."

Beberapa hari kemudian, bisikan tersebut kembali hadir dalam benaknya. Untuk kali ini, ia merasakan bahwa bisikan tersebut terasa lebih kuat dari sebelumnya.

Waktu terus berjalan dan batas waktu yang ditentukan hampir berakhir. Sementara itu, sang tikus tidak datang untuk mencabut pernyataannya ataupun menyerah. Justru, filosof tikus malah terus mengumumkan ancamannya ke seluruh penghuni hutan.

Melihat kenyataan tersebut, sang singa terus berpikir, "Apakah filosof tikus mempunyai senjata yang ampuh atau telah mengumpulkan kekuatan yang luar biasa, atau membuat jebakan yang mematikan?"

Hari demi hari berganti dan pikiran-pikiran tersebut selalu muncul hingga membuat singa tidak doyan makan dan minum. Dia selalu memikirkan nasib dan akhir yang begitu mengerikan, seperti ancaman tikus tersebut.

Sebelum hari yang ditentukan tiba, tepatnya pada pagi hari yang keduapuluh lima , hewan-hewan menemukan singa tersebut telah mati didalam kandangnya.

Dia telah terbunuh oleh perasaan was-was dan ketakutan. Daging dan lemaknya telah terbakar oleh kesedihan yang ia rasakan, padahal sang tikus tidak pernah melakukan tipu muslihat atau merancang persengkongkolan apapun. Ia hanya mengetahui sebuah rahasia, bahwa menunggu musibah, memperkirakan bencana dan was-was terhadap sebuah
tragedi adalah senjata ampuh yang bisa membunuh jagoan pemberani ataupun sang perkasa yang tidak punya rasa takut.

pesan moral :


Jangan pernah menyia-nyiakan waktu.

Kebanyakan orang tidak pernah menghiraukan hari-hari yang dijalaninya, karena sibuk untuk masa depan. Cita-cita telah membuatnya lupa manisnya kehidupan yang sedang dia jalani. Yang ada hanyalah ketakutan akan masa depan. Mereka selalu resah dengan hari-
hari yang akan datang.

Mereka selalu berpikir bagaimana seandainya kehilangan pekerjaan? Bagaimana dia akan memberi makan anak-anak? Apa yang akan dia katakan kepada teman-teman? Serta bagaimana nasibnya kemudian?

Kalau kegelisahan mengenai hal-hal tersebut mampu diatasi, dia akan memikirkan hal-hal lain. Bagaimana seandainya dia menderita sakit, buta atau kaki buntung? Bagaimana bentuk tubuhnya nanti? Bagaimana dia akan menanggung semua itu?

Yang ada didalam kepala hanyalah musibah dan musibah. Barangkali, mobil yang dinaiki akan mengalami kecelakaan, barangkali pesawat yang ditumpangi akan jatuh, barangkali kapal yang ia naiki akan tenggelam dan barangkali saja bangunan tempat dia tinggal akan runtuh.

Dia pun takut kalau sampai hal-hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi. Orang seperti ini akan menjadi mangsa empuk serigala buas bernama kegelisahan dan makanan lezat hantu bernama kesedihan.


sumber:internet

Terciptanya bumi dan kehidupan di atasnya.






Penjelasan Sang Buddha mengenai terciptanya bumi dan kehidupan adalah terdapat pada Aganna Sutta yang merupakan kitab ke 27 dari Digha Nikaya (Dirghama), yakni yang merangkum khotbah-khotbah panjang dari Sang Buddha.

"Kemudian tibalah waktunya, “O, Vasettha, ketika, cepat atau lambat,pada suatu masa yang lama, dunia ini berlalu. Dan ketika ini terjadi,makhluk hidup sebagian besar terlahir di Alam Cahaya (Abhassara),dan di sanalah mereka tinggal, terbuat dari pikiran, diberi makan oleh kegiuran, bercahaya sendiri, melayang di udara, bersambung dalam kejayaan, dan demikianlah mereka bertahan selama waktu yang lama, periode yang lama dari waktu. Kemudian datanglah saatnya,O, Vasettha, cepat atau lambat dunia ini mulai berevolusi kembali.Ketika ini terjadi, makhluk-makhluk turun dari Alam Abhasara, biasanya melanjutkan hidupnya sebagai manusia."

Ilmu pengetahuan mengatakan mengenai kesetaraan antara materi dan energi. Tubuh kita inipun adalah terbentuk atas energi. Menurut ilmu pengetahuan dewasa ini, alam semesta telah mengalami penciptaan, pendewasaan, penyusutan, dan kemudian kemusnahan dalam bentuk big bang, namun big bang ini janganlah dipandang sebagai akhir dari alam semesta, melainkan sebagai titik tolak atas terciptanya alam semesta yang baru. Pada peristiwa big bang, alam semesta dipadatkan kembali menjadi energi yang meledak dan membentuk alam semesta baru.

Demikianlah terjadi tanpa akhir, secara mengejutkan Agama Buddhapun sudah mengakui hal ini 2500 tahun sebelumnya. Oleh karena itu ajaran Sang Buddha:

"Kemudian tibalah waktunya, O,Vasettha, ketika, cepat atau lambat, pada suatu masa yang lama, dunia ini berlalu" merujuk pada musnahnya alam semesta yang lama, dan semuanya terkondesasi menjadi energi,inilah yang dimaksud dengan Alam Abhassara atau Alam Cahaya, karena cahaya sendiri adalah manifestasi dari energi. Karena itu jelas sekali Sang Buddha menjelaskan bahwa pada saat itu mereka tidak memiliki wujud, dan hanya terdiri dari pikiran. Yang mana pikiran ini menunjukkan kesinambungan energi dari makhluk hidup, yang sangat sesuai dengan hukum kekekalan energi.

Ilmu pengetahuanpun mengakui bahwa bumi tidak langsung tercipta sekali jadi, yang sangat mengagumkan adalah Sang Buddha sudah mengetahui hal ini. Berbeda dengan pandangan-pandangan yang umum diakui 2500 tahun yang lalu, yang mengatakan bahwa dunia ini diciptakan secara langsung oleh makhluk adikodrati. Proses perkembangan bumi ini jelas sekali disebutkan Sang Buddha pada kalimat:

O, Vasettha, cepat atau lambat dunia ini mulai berevolusi kembali. Pada saat perkembangan terbentuknya dunia ini,maka makhluk-makhluk pun mulai meneruskan kelahirannya, yang nampak pada kalimat dari Sutta: "melanjutkan hidupnya sebagai manusia", yang dimaksud melanjutkan hidupnya sebagai manusia adalah meneruskan kelahirannya kembali hingga menjadi makhluk yang memiliki wujud fisik lagi.

Mengenai turunnya makhluk dari luar angkasa itu, para ilmuwan pun tidak menentangnya, mengingat adanya teori panspermia, yakni kehidupan dibawa dari angkasa luar. Hal itu telah dibuktikan dengan ditemukannya meteorit dari planet Mars, yang berisikan spora-spora kehidupan.

Mari kita baca lebih lanjut teks Sutta tersebut:

"Pada waktu itu semuanya merupakan satu dunia yang terdiri dari air, gelap gulita,. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasikonstelasi yang kelihatan, siang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada. Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja.

Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu, sama seperti madu lebah murni, demikianlah manisnya tanah itu."

Sungguh mengagumkan sekali Sang Buddha telah mengatakan bahwa kehidupan berawal dari air, dengan kalimat: "one world of water", menurut ilmu pengetahuan air sangatlah penting bagi kehidupan dan kehidupan bermula dari air. Baru pada tahun 1657, Anthonie van Leeuwenhoek, penemu mikroskop, menemukan bahwa ada makhluk sangat kecil yang hidup pada air hujan. Juga hal ini tidaklah bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa bumi ini dulunya cair.

Pada saat bumi baru terbentuk tentu saja masih terjadi kabut yang terjadi dari pendinginan bumi, oleh karena itu matahari dan bintang belum nampak, hal ini juga secara luar biasa dinyatakan dalam Sutta ini.

Jelas sekali Sutta ini mengatakan " No moon nor sun appeared, no stars were seen, nor constellations". Ini berarti bahwa sebenarnya matahari dan bintang-bintang sudah ada, namun belum nampak, jadi tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa matahari lebih tua dari bumi, banyak agama-agama yang timbul saat itu mengatakan bahwa bumi lebih tua dari matahari, namun inilah yang benar menurut ilmu pengetahuan:

Kutipan dari Buku "Geographica, the complete illustrated world reference." terbitan Periplus hal 10, sebagai berikut:

" A little less than 5 billions years ago, the sun was formed in a cloud of interstellar gas. The infant sun was surrounded by a cooling disk of gas and dust, the solar nebula, where knots of material were forming, cooling, breaking, and merging. The larger objects, called planetisimals, grew by accreting smaller particles, until a few protoplanets dominated. The protoplanets from the warm inner parts of disc became small rocky planets. Further out, in a cooler region, where ices of water, ammonia, and methane could condense, the giant planets formed. These planets grew in mass more rapidly, forming deep atmospheres would rocky cores. The giants planets copied the sun's creation disk in miniature to create the moons."


Di sini jelas bahwa matahari berusia 5 bilyun tahun, dan ada lebih dahulu sebelum planet2. Lebih jauh pada halaman 20 disebutkan bumi terbentuk sekitar 4500-5000 juta tahun yang lalu.Ilmu pengetahuan juga sepakat bahwa kehidupan pada awalnya adalah tidak berjenis kelamin atau aseksual, hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan Sang Buddha, bahwa: "Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja", yakni belum ada pembedaan atas jantan atau betina, laki-laki atau wanita. Bagian selanjutnya adalah menggambarkan munculnya tumbuhan bersel satu:"mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih di permukaan nasi susu masak yang mendingin" Ganggang bersel satu seperti diatoms, desmids dan lain-lain berkembang biak dengan membelah diri, dari satu menjadi dua, dua menjadi empat hingga mencapai ribuan yang membentuk suatu lapisan berwarna coklat keemasan pada permukaan air,beberapa yang lainnya membentuk lapisan berbunga-bunga atau berbuih-buih di atas permukaan air, dan memberikan rasa tertentu pada air. Jadi jelas secara mengagumkan Sutta ajaran Sang Buddha itu memberikan suatu penggambaran yang akurat mengenai munculnya kehidupan pertama berupa tumbuhan bersel satu.

Selanjutnya kita baca lagi bagian Sutta berikutnya:

"Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki pembawaan sifat serakah (lolajatiko) berkata, "Oh, apakah ini?" dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk ke dalam dirinya. Dan mahluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jarinya.

Dengan mencicipinya, maka mereka diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk ke dalam diri mereka. Maka mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan sari-sari tanah itu dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu menjadi lenyap.

Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari,bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak.Demikian pula dengan siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, musim-musim dan tahun-tahun pun terjadi. Demikianlah Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali. Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.
Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk. Sebagian mahluk memiliki bentuk yang indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang jelek.

Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang jelek, dengan berfikir: "Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita".

Sementara mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong dan congkak, maka sari tanah itupun lenyap. Dengan lenyapnya sari tanah itu, mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya "sayang, lezatnya! Saying lezatnya!". Demikian sekarang ini, apabila orang menikmati rasa enak, ia akan berkata "Oh, lezatnya! Oh, lezatnya!" yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti ucapan masa lampau, tanpa mereka mengetahui makna dari kata-kata tersebut."


Di sini jelas sekali hewan bersel satu menjadi makanan dari makhluk-makhluk purba lainnya, dan karena makanan itu maka mulai mengalami perubahan alias berevolusi,tubuh fisik mulai berkembang. Pada bagian ini Sang Buddha memasukkan ajaran moral yakni melawan keserakahan serta rasa sombong, jadi ajaran Buddha bukanlah semata-mata ajaran ilmiah belaka, melainkan juga ajaran moral.

Mengingat menurut Agama Buddha, tubuh fisik ini juga ditentukan oleh pikiran. Saat itu bumi beserta atmosfernya mulai cukup stabil dan dingin sehingga sangat membantu bagi perkembangan makhluk hidup berikutnya, maka saat itu matahari dan benda-benda langit lainnya mulai tampak.

Sutta berikutnya kita baca lagi:

"Kemudian, Vasettha, ketika sari tanah lenyap bagi mahluk-mahluk itu, muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko).Cara tumbuhnya adalah seperti tumbuhnya cendawan. Tumbuhan ini memiliki warna, rasa, dan bau, sama seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah warna tumbuhan itu, sama seperti madu lebah murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu. Kemudian mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuh-tumbuhan yang muncul dari tanah itu. Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang jelek. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah mememandang randah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang jelek, dengan berfikir, "Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita." Sementara mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itupun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (baladata) muncul, dan cara tumbuhnya adalah seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna, bau, dan rasa, sama seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu, sama seperti madu lebah murni, demikanlah manisnya tumbuhan itu."

Sesuai dengan ilmu pengetahuan, tumbuhan mulai berkembang di darat dan makin kompleks, seperti misalnya jamur, yang dalam Bahasa Pali disebut: Ahicchanttako,bagian juga menggambarkan evolusi terpisah antara dua kingdom dalam ilmu biologi, yakni kingdom plantaria (tumbuhan) dan animalia (hewan). Pada ayat di atas kita juga dapat mengetahui bahwa jumlah makhluk hidup makin beraneka ragam: ", maka tubuh mereka menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas". Ada makhluk yang bentuknya indah dan ada yang buruk. Juga para makhluk hidup makin tergantung dengan makanan mereka. Hal ini juga sejalan dengan ilmu pengetahuan, yakni Burung Finch Darwin, yang mana bentuk paruhnya ditentukan oleh jenis makanannya. Lalu tumbuhan juga berkembang makin kompleks dengan munculnya tumbuhan menjalar, ini menggambarkan keadaan jaman Prekambrium dan Kambrium.

Teks Sutta berikutnya:

Kemudian, Vaettha, mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuhan menjalar tersebut. Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang jelek. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah,memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang jelek, dengan berfikir, "Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita".

Sementara mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itupun lenyap. Dengan lenyapnya tumbuhan menjalar itu, mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya "kasihan kita, milik kita hilang!". Demikian pula sekarang ini, bilamana orang-orang ditanya apa yang menyusahkannya, mereka menjawab, "Kasihanilah kita! Apa yang kita miliki telah hilang" yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti ucapan pada masa lampau, tanpa mengetahui makna daripada kata-kata itu.

Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap bagi mahluk-mahluk itu, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak dalam alam terbuka (akattha pako), tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih.

Bilamana pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, maka keesokan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali.

Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.

Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.

Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga).

Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indria yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indria tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (methuna).


Dari ayat di atas kita mengetahui adalah bahwa fase selanjutnya munculnya tumbuhan-tumbuhan berbiji yang dikatakan sebagai: tumbuhan padi-padian pada Sutta di atas, juga makhluk mulai dibedakan atas jantan dan betina.

Pada periode evolusi ini, makhluk hidup mulai mengembangkan DNAnya, serta dengan bantuan lingkungannya, yakni air, panas dan lain sebagainya untuk membentuk sel-sel baru. Juga ada ajaran moral mengenai kecongkakan dan hawa nafsu.Demikianlah makhluk-makhluk tersebut akhirnya berkembang menjadi manusia.

Sumber: majalah Dharma Mangala