Jumat, 01 Maret 2013

Mempersembahkan Jetavana



Anathapindika, seorang donatur utama Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk menemui Sang Guru Agung ketika Beliau sedang bersemayam di Veluvana (Hutan Bambu) di Rajagaha. Anathapindika lahir di Savatthi, putera seorang milyuner yang bernama Sumana. Sebelumnya ia bernama Sudattha, dan karena sifatnya yang dermawan, ia kemudian dikenal dengan nama Anathapindika (Si Pemberi Makan Kepada Yang Tidak Mampu). Anathapindika seorang pedagang yang sukses, yang berdagang dengan armada angkutan yang terdiri dari lima ratus kendaraan.

Pada suatu hari, dia datang ke Rajagaha untuk suatu urusan dagang. Saudara perempuannya adalah isteri pimpinan pedagang di Rajagaha. Ketika ia tiba di kediaman saudara perempuannya, saudara iparnya tidak datang menyambutnya seperti biasanya dan ia melihat adiknya sedang berada di halaman belakang, mempersiapkan suatu pesta. Para juru masak membuat hidangan khusus dan para pelayan hilir mudik mempersiapkan suatu perjamuan penting. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Anathapindika. Persiapan perjamuan itu begitu meriah, sehingga Anathapindika mengira akan dilangsungkan suatu pesta pernikahan atau mereka akan menjamu raja.

Pada saat pimpinan pedagang telah selesai mengatur persiapan perjamuan, dia menemui dan menyalami Anathapindika. Tidak dapat dilukiskan betapa bahagianya Anathapindika ketika mengetahui bahwa segala persiapan itu adalah untuk menyambut Sang Buddha pada kesokan harinya. Dengan mendengar kata "Buddha" saja, sudah membuat Anathapindika tertarik dan ingin menemui Sang Buddha. Anathapindika diberitahu bahwa Sang Buddha sedang berada di Hutan Sitavana, yang letaknya tidak jauh dari tempat itu, dan besok ia dapat bertemu dengan Sang Buddha. Ia lalu pergi tidur. Keinginannya untuk bertemu Sang Buddha begitu kuatnya, sehingga ia tidak dapat tidur sepanjang malam dan terbangun pagi-pagi sekali dan segera berangkat menuju Hutan Sitavana.

Karena keyakinannya yang besar kepada Sang Buddha, tampak cahaya memancar dari tubuhnya. Di dalam perjalanannya ke tempat Sang Buddha berada, ia harus melewati kuburan. Ketika itu masih gelap gulita, sehingga menimbulkan ketakutan di dalam dirinya. Ia berpikir untuk pulang kembali. Namun Yakkha yang bernama Siraka, tanpa menampakkan diri memberinya semangat. Ketakutan lenyap dan timbul keyakinannya yang kuat kepada Sang Buddha. Cahaya pagi hari mulai muncul dan dengan penuh semangat ia melanjutkan perjalanannya. Kejadian ini terjadi untuk kedua dan ketiga kalinya. Pada akhirnya ia tiba di hutan Sitavana di mana Sang Buddha sedang bermeditasi berjalan bolak-balik dengan perlahan dan teratur, sedang menunggu kedatangan Anathapindika. Sang Buddha menyapanya dengan nama keluarganya, Sudatta dan memintanya untuk menghadap Beliau.

Anathapindika merasa gembira mendengar Sang Buddha memanggilnya demikian dan dengan penuh hormat ia bertanya kepada Sang Buddha apakah Beliau tidur dengan perasaan bahagia. Sang Buddha menjawab : "Seseorang yang telah terbebas dari perbuatan jahat, tenang, terbebas dari kemelekatan, teguh dan tidak melekat pada nafsu-nafsu keinginan, selalu tidur dengan nyenyak."

"Setelah memutuskan belenggu dan dapat mengendalikan nafsu keinginan, batinnya tenang dan setelah mencapai bahagia, ia akan tidur dengan nyenyak."

Setelah mengucapkan kedua bait tersebut, Sang Buddha menguraikan Empat Kesunyataan Mulia kepada Anathapindika. Pengertian tentang Ajaran ini bahwa segala yang muncul pasti akan lenyap, menjadi terang dan jelas bagi Anathapindika. Dengan mendengar uraian Dhamma Yang Mulia ini, Anathapindika menjadi Sotapanna (pemenang arus, Tingkat Kesucian Pertama), ia lalu mengundang Sang Buddha beserta murid-murid Beliau untuk menerima persembahan dana darinya pada keesokan harinya, di tempat kediaman saudara iparnya. Anathapindika kemudian bernamaskara, memberikan hormatnya kepada Sang Buddha kemudian pulang.

Anathapindika kemudian mempersiapkan segala dana yang akan dipersembahkan kepada Sang Buddha seorang diri, meskipun saudara iparnya ingin membantu. Setelah mempersembahkan dana makanan Anathapindika mengundang Sang Buddha untuk melewatkan musim hujan di Savatthi dan Sang Guru Agung menerimanya dan berkata : 
"O, perumah tangga, Sang Tathagata menyukai tempat yang sepi."

Anathapindika mengerti permintaan yang terkandung di dalam persetujuan Sang Buddha, ia lalu mencari tempat yang tenang dan sunyi di dekat Savatthi, di mana Sang Buddha dapat menetap. Ia akhirnya menemukan tempat yang sesuai untuk Sang Buddha, yaitu taman milik Pangeran Jeta. Pangeran Jeta memberitahu Anathapindika bahwa taman itu tidak dijual, kecuali tanah tersebut ditutupi dengan kepingan-kepingan uang emas. Anathapindika menyatakan keinginannya membeli taman itu seharga berapapun yang dikatakan oleh Pangeran Jeta, tetapi Pangeran Jeta tetap tidak menyetujuinya. Anathapindika lalu merundingkan kepada para pejabat istana tentang pernyataan Pangeran Jeta yang akan menjual taman itu apabila ditutupi dengan kepingan uang emas dan para pejabat istana menyetujui permintaan tersebut. Anathapindika lalu memerintahkan para pegawainya untuk membawa beberapa kereta berisi kepingan-kepingan uang emas, dan menutupi Hutan Jeta itu dengan kepingan uang emas yang dibawa. Ada sebagian kecil tanah hutan itu uang tidak tertutupi dengan kepingan uang emas dan Pangeran Jeta yang melihat hal itu mengatakan bahwa bagian tanah tersebut adalah persembahan darinya. Anathapindika menyetujui dan membangun pintu gerbang dan sebuah bangunan.

Anathapindika lalu membangun Vihara Jetavana ini dengan indah, membangun ruangan-ruangan untuk belajar, ruangan persembahan dana, perapian, gudang, kamar mandi, koridor, sumur, kolam, kamar-kamar dengan penghangat ruangan, paviliun-paviliun. Milyuner ini menghabiskan lima puluh empat kati kepingan emas untuk menyelesaikan bangunan di Vihara Jetavana ini.

Sang Buddha berdiam di Vihara Jetavana selama sembilan belas masa musim hujan, masa vassa. Di Vihara Jetavana inilah Sang Buddha melewatkan sebagian besar masa hidup Beliau, dan di tempat ini pula Sang Buddha banyak membabarkan Dhamma Yang Mulia.



Tidak ada komentar: