Hari ini saya diundang kepala biara untuk membabarkan ajaran pada anda, jadi saya minta anda duduk dengan tenang dan memusatkan pikiran.
Karena kendala bahasa, kita harus menggunakan seorang penerjemah, tanpa perhatian yang seksama anda mungkin tidak akan mengerti.
Selama saya tinggal di sini saya merasa senang, baik guru maupun anda semua, para muridnya, telah memperlakukan saya dengan ramah, dengan penuh senyum, sepertinya anda telah mempraktekkan Dhamma yang sesungguhnya. Tempat kalian ini juga sangat mengagumkan, dan begitu luas!
Saya mengagumi dedikasi anda yang berusaha merenovasinya dan menyediakan tempat untuk berlatih Dhamma.Selama menjadi guru beberapa tahun ini, banyak masa sulit yang telah saya alami.
Saat ini kurang lebih ada 40 (empat puluh) cabang vihara saya, yaitu Wat Nong Ba Pong.
Tetapi sampai hari inipun masih ada murid saya yang sulit diajar.
Ada yang sudah mengerti tetapi tiak mau berlatih, dan ada yang tidak mengerti dan tidak mencoba mengerti.Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan terhadap mereka.
Mengapa manusia mempunyai pola pikir demikian?
Sikap tidak peduli itu tidak begitu baik, tetapi meskipun telah saya beritahu, mereka tetap tidak mau mendengarkan. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa. banyak orang yang diliputi keraguan saat berlatih, mereka selalu ragu.
Mereka semua ingin menuju Nibbana, tetapi mereka tidak mau melalui jalurnya, ini membingungkan.
Ketika saya menyuruh mereka meditasi mereka ketakutan atau kalau tidak mereka mengantuk.
Sering kali mereka ingin melakukan hal-hal yang tidak saya ajarkan.
Ketika saya bertemu dengan yang terhormat Kepala Biara di sini, saya menanyakan tentang murid-murid beliau.Beliau mengatakan hal yang sama terjadi di sini. Inilah yang membuat luka hati seorang guru.
Ajaran yang akan saya babarkan untuk anda hari ini adalah jalan untuk mengatasi masalah pada saat ini, pada hidup ini. Beberapa orang mengatakan mereka begitu sibuk sampai-sampai tidak punya waktu untuk berlatih Dhamma,
"Apa yang dapat kami lakukan?" tanya mereka.
Saya bertanya, "Apakah kalian bernafas saat bekerja?"
Jawab mereka, "Tentu saja!"
"Jadi bagaimana kalian bisa punya waktu untuk bernafas kalau kalian begitu sibuk?"
Mereka tidak tahu harus menjawab apa.
"Jika kalian punya sati (perhatian, kewaspadaan) saat bekerja, kalian akan punya cukup banyak waktu untuk berlatih."
Berlatih meditasi sama halnya dengan bernafas.
Saat bekerja kita bernafas, saat tidur kita bernafas, saat duduk kita bernafas...
mengapa kita punya waktu untuk bernafas?
Karena kita melihat betapa pentingnya bernafas, jadi kita selalu dapat menyediakan waktu untuk bernafas.
Begitu pula jika kita melihat pentingnya berlatih meditasi, maka kita akan mempunyai waktu untuk itu.
Pernahkah anda menderita?...
pernahkah anda bahagia?...
di sinilah kebenaran, di sinilah anda harus berlatih Dhamma.
Siapakah itu yang berbahagia? Pikiran yang berbahagia.
Siapa yang menderita?... Pikiran.
Di manapun hal-hal semacam itu muncul, di situ pulalah mereka lenyap.
Sudahkah anda mengalami penderitaan?...
sudahkah anda mengalami kebahagiaan?...
mengapa demikian?
Apa yang menyebabkan semua ini?... inilah masalah kita.
Jika kita mengetahui penderitaan, penyebab penderitaan, hilangnya penderitaan dan jalan yang menuju ke akhir penderitaan, kita dapat memecahkan masalah itu.
Ada dua macam penderitaan:
penderitaan biasa dan penderitaan tidak biasa.
Penderitaan biasa adalah penderitaan yang memang menjadi sifat dari semua kondisi,
berdiri adalah penderitaan, duduk adalah penderitaan, berbaring adalah penderitaan.
Ini adalah penderitaan yang memang ada di dalam setiap fenomena yang terkondisi.
Bahkan Sang Buddha-pun mengalami hal-hal semacam itu.
Beliau mengalami rasa nyaman dan rasa sakit, tetapi mengenalinya sebagai kondisi alami.
Beliau tahu bagaimana mengatasi perasaan-perasaan yang timbul dari rasa nyaman dan rasa sakit ini lewat pengertian terhadap sifat alami.
Karena pengertian inilah maka perasaan-perasaan yang timbul tidak mengganggu Beliau.
Jenis penderitaan yang kedua inilah yang penting, yaitu penderitaan yang masuk dari luar, penderitaan yang tidak biasa.
Jika kita sakit mungkin kita akan memerlukan suntikan dokter, saat jarum suntik disuntikan ada sedikit rasa sakit, ini hal yang wajar.
Saat jarum dicabut rasa sakit itupun ikut lenyap.
Ini adalah penderitaan yang biasa, tidak ada masalah, semua mengalami, penderitaan yang tidak biasa adalah penderitaan yang timbul dari apa yang kita sebut upadana, kemelekatan pada sesuatu, ibarat mendapat suntikan yang berisi racun, ini bukan lagi rasa sakit biasa, melainkan rasa sakit yang berakhir dengan kematian.
Demikian juga penderitaan yang timbul karena kemelekatan.
Pandangan yang salah, tidak mengetahui bahwa segala sesuatu yang terkondisi itu tidak kekal, adalah masalah yang lain lagi.
Keadaan yang terkondisi adalah alam samsara.
Bila kita tidak menginginkan adanya perubahan—kita pasti menderita.
Ketika kita berpikir bahwa badan ini adalah kita atau milik kita, rasa takut timbul saat kita melihat badan ini berubah menjadi tidak lebih baik.
Lihatlah nafas:
sesudah keluar ia harus masuk lagi.
Begitulah sifatnya.
Dan karena sifat inilah kita mampu bertahan hidup.
Jika kita hanya menghembuskan nafas keluar atau hanya menghirup masuk saja kita tidak dapat hidup, segala sesuatu tidak berjalan seperti itu, begitulah kondisi, tetapi kita tidak menyadari hal itu.
Misalnya, kita kehilangan sesuatu benda, jika kita berpikir bahwa benda itu benar-benar milik kita, kita akan berlarut-larut bersedih karenanya, dan jika kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang terkondisi, yang menjalani sifat alaminya, maka kita akan menderita.
Jika kita hanya menghirup nafas dan tidak menghembuskannya, menghembuskan nafas saja tanpa menghirupnya, dapatkah
kita hidup?
Hal yang terkondisi memang harus berubah.
Melihat hal ini adalah melihat Dhamma, melihat aniccam, perubahan.
Hidup kita tergantung dari perubahan semacam itu.
Bila kita mengetahui segala sesuatunya seperti apa adanya, kita dapat melepaskan.
Tujuan latihan Dhamma adalah mengembangkan pengertian tentang bagaimana berlangsungnya proses hukum alam, dan dengan demikian penderitaan tidak muncul.
Jika kita mempunyai pola pikir yang salah, maka kita akan berselisih dengan dunia, dengan Dhamma dan dengan kebenaran.
Misalkan anda sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Kebanyakan orang berpikir,
"Tolong, jangan biarkan saya mati, saya tidak mau mati, saya ingin sembuh."
Ini adalah cara berpikir yang salah, yang akan membawa penderitaan.
Anda harus berkata pada diri sendiri:
"Saya berusaha mengobati jasmani ini, jika saya akan sembuh, ya sembuh.
Dan jika saya akan mati, ya mati".
Ini adalah cara berpikir yang benar, karena kita tidak dapat sepenuhnya mengatur keadaan.
Jika kita berpikir seperti ini, sembuh atau tidak sembuh tidak jadi soal. Kita tidak bisa salah, dan kita tidak perlu khawatir.
Ingin sembuh dengan segala cara dan takut menghadapi kematian...
ini adalah pikiran yang tidak mengerti kondisi.
Kita harus berpikir,
"Jika saya sembuh, itu bagus, jika tidak itupun bagus".
Dengan begitu kita tidak dapat salah.
Kita tidak perlu menangis atau takut, karena kita telah menyesuaikan diri dengan segala sesuatu seperti apa adanya.
Sang Buddha melihat dengan jelas, ajaran Beliau selalu relevan, tidak pernah ketinggalan jaman.
Tidak pernah berubah, pada jaman sekarangpun masih tetap benar seperti dulu, belum ketinggalan jaman.
Segala sesuatunya masih tetap benar seperti dulu, belum ketinggalan jaman, segala sesuatunya masih seperti apa
adanya, belum berubah.
Dengan membawa ajaran ini ke dalam sanubari maka kita dapat memperoleh ketenangan dan kesejahteraan.
Dalam Ajaran, ada gambaran mengenai
"bukan diri":
'ini bukanlah aku, bukan milikku'.
Tetapi orang tidak suka mendengarkan Ajaran-ajaran seperti ini karena mereka terikat pada konsep diri, inilah penyebab penderitaan.
Kita harus mencatatnya.
Hari ini seorang wanita bertanya tentang bagaimana cara menghadapi kemarahan.
Saya katakan bahwa jika lain kali kemarahan itu timbul, pasanglah jam weker dan taruhlah di depan mata.
Kemudian sediakan dua jam untuk mengusir kemarahan itu.
Jika kemarahan itu benar-benar miliknya maka ia mungkin bisa mengusir kemarahan itu dengan berkata,
"Pergilah dalam waktu dua jam!"
Tetapi nyatanya kita tidak berkuasa memerintah seperti itu.
Kadang kala dalam dua jam kemarahan itu belum berlalu, sedangkan pada kesempatan lain satu jam saja sudah cukup.
Berpegangan pada kemarahan sebagai milik pribadi akan membawa penderitaan.
Jika ia benar-benar milik kita seharusnya ia patuh.
Jika tidak, berarti itu hanyalah tipuan.
Jangan terpedaya.
Jangan tertipu baik oleh pikiran sedih atau gembira, jangan tertipu baik oleh pikiran mencinta atau membenci, semuanya hanyalah tipuan.
Pernahkah anda marah?
Ketika anda marah, bagaimana rasanya:
nyaman atau tidak?
Jika terasa tidak enak mengapa tidak dibuang saja perasaan itu, mengapa repot-repot disimpan?
Bagaimana Anda dapat menyebut diri pandai dan bijaksana jika anda melekati hal-hal semacam itu?
Semenjak lahir sudah berapa kali anda ditipu oleh pikiran sehingga menjadi marah?
Ada hari-hari di mana pikiran bahkan dapat menyebabkan seluruh anggota keluarga bertengkar, atau menyebabkan anda menangis semalaman.
tetapi masih saja marah, kita masih melekat pada ini dan itu, kemudian menderita.
Jika anda tidak melihat ke dalam penderitaan maka anda akan tetap menderita.
Jika anda melihat penderitaan dalam kemarahan hari ini, buanglah!
Jika tidak dibuang kemarahan itu akan terus menerus dan pasti membawa penderitaan.
Tidak ada kesempatan untuk beristirahat, dunia samsara memang seperti ini.
Jika kita tahu sebagaimana adanya, kita dapat memecahkan masalahnya.
Ajaran Sang Buddha menyatakan bahwa alat terbaik untuk mengatasi penderitaan adalah melihat bahwa
"Ini bukanlah aku",
"Ini bukanlah milikku".
Ini adalah metode terhebat.
tetapi biasanya kita tidak memperhatikan hal ini.
Ketika penderitaan muncul, kita hanya menangis saja tanpa belajar darinya.
Kita harus benar-benar memperhatikan penderitaan yang timbul, penyebabnya dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, untuk mengembangkan ke-Buddha-an.
Perhatikanlah baik-baik, saya akan memberikan Dhamma di luar kitab, beberapa di antara anda mungkin tidak menyadari bahwa ini adalah ajaran Dhamma.
Kebanyakan orang melihat kitabnya tetapi tidak melihat Dhamma.
Hari ini saya akan memberikan ajaran di luar kitab, beberapa orang mungkin akan melewatkan intinya atau bahkan tidak mengerti.
Misalkan, ada dua orang yang sedang bercakap-cakap, dan kemudian melihat seekor ayam dan seekor itik.
Yang satu berkata:
"Mengapa ayam itu tidak seperti itik, mengapa itik itu tidak seperti ayam?"
Dia ingin agar ayam itu menjadi seperti itik dan itik menjadi seperti ayam.
Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Meskipun orang tersebut berharap sepanjang hidupnya maka hal itu tidak akan terjadi, karena ayam adalah ayam dan itik adalah itik.
Selama orang berpikir semacam itu ia akan menderita.
Orang yang satu mungkin melihat bahwa ayam adalah ayam dan itik adalah itik, begitu saja.
Tidak ada masalah, ia melihat dengan benar.
Jika anda menginginkan ayam menjadi itik atau sebaliknya, anda pasti akan menderita.
Demikian juga, hukum aniccam menyatakan bahwa segala sesuatunya tidak kekal.
Jika anda menginginkan segala sesuatunya menjadi kekal, anda akan menderita.
Tiap kali ketidak-kekalan menampakkan diri, anda akan kecewa.
Seseorang yang melihat bahwa segala sesuatu memang bersifat tidak kekal akan tenang.
Dia tidak akan berada dalam konflik, sebaliknya yang menginginkan segala sesuatunya kekal tidak akan tenang, bahkan mungkin tidak bisa tidur.
Itu adalah ketidak-pedulian tentang aniccam, ketidak-kekalan.
Jika anda ingin mengenal Dhamma, ke mana harus mencari?
Kita harus mencarinya dalam tubuh dan pikiran ini.
Anda tidak akan menemukannya di rak-rak buku.
Untuk benar-benar melihat Dhamma kita harus melihat pada tubuh dan pikiran, hanya dua hal ini.
Pikiran memang tidak terlihat oleh mata fisik, ia harus dilihat dengan "mata batin".
Sebelum Dhamma dapat direalisasikan kalian harus tahu ke mana harus mencari.
Dhamma yang ada di dalam tubuh harus dilihat pada tubuh.
Dan dengan apa kita melihat tubuh?
Dengan pikiran.
Kalian tidak akan melihat Dhamma jika mencari ke arah lain, karena baik kebahagiaan maupun penderitaan muncul persis di sini.
Atau sudah pernahkah anda melihat kebahagiaan tumbuh di pepohonan?
Atau dari sungai, atau cuaca?
Kebahagiaan dan penderitaan adalah perasaan yang muncul dari tubuh dan pikiran kita sendiri.
Maka dari itu Sang Buddha mengatakan pada kita untuk mengenali Dhamma persis di sini, Dhamma ada di sini dan di sinilah kita harus melihat.
Guru anda mungkin menyuruh anda mencarinya di buku-buku, tetapi jika anda benar-benar mengira bahwa di situlah Dhamma sebenarnya berada, anda tidak akan pernah melihatnya.
Setelah melihat buku-buku itu anda harus merenungkan ajaran itu.
Dengan demikian anda akan mengerti Dhamma.
Di mana letak Dhamma yang sebenarnya?
Ia berada persis di sini, di dalam tubuh dan pikiran kita.
Gunakanlah pikiran untuk merenungkan tubuh.
Ini adalah inti dari latihan perenungan.
Bila kita melakukan hal ini, kebijaksanaan akan muncul dalam pikiran, bila ada kebijaksanaan dalam pikiran kita, maka tidak jadi soal, kemanapun kita melihat akan ada Dhamma.
Kita akan melihat aniccam, dukkham dan anatta setiap
saat. Aniccam artinya sementara (transient).
Dukkham—jika kita melekat pada
hal-hal yang sementara kita pasti menderita, karena mereka bukan kita atau kepunyaan kita (anatta), tetapi jika kita tidak melihat hal ini, kita akan selalu melihatnya sebagai kita atau milik kita.
Ini artinya kita tidak melihat kebenaran dari konvensi (kesepakatan bersama), kita harus mengerti tentang konvensi. Sebagai contoh, semua yang hadir di sini mempunyai nama.
Apakah nama-nama itu dilahirkan bersama kita atau diberikan sesudahnya?
Mengertikah kalian?
Inilah konvensi.
Apakah konvensi itu berguna?
Tentu saja.
Sebagai contoh, misalkan ada empat orang lelaki yaitu A, B, C, dan D.
Mereka semua harus punya nama sendiri-sendiri untuk memudahkan komunikasi dan kerja bersama.
Jika kita ingin berbicara kepada Pak A kita dapat memanggil "Pak A" dan beliau akan datang, bukan yang lain.
Ini adalah kemudahan yang diberikan konvensi.
Tetapi jika kita melihat dalam-dalam kita akan melihat kekosongan.
Yang ada hanya empat elemen (tanah, air, angin dan api), hanya inilah tubuh kita.
Tetapi kita tidak melihatnya seperti itu karena kekuatan kemelekatan—Attavadupadana.
Jika kita mau melihat dengan jelas, kita akan melihat bahwa yang disebut manusia itu tidaklah seberapa.
Bagian yang padat adalah elemen tanah, bagian yang cair adalah elemen air, bagian yang bergerak
adalah elemen angin dan bagian yang panas adalah elemen api.
Perpaduan keempat elemen itulah yang kita sebut manusia.
Bila dipisah-pisahkan, kita hanya akan melihat tanah, air, angin dan api.
Lalu di mana orangnya?
Tidak ada.
Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada latihan yang lebih tinggi dari pada melihat bahwa "Ini bukan aku dan bukan milikku".
Semuanya hanyalah konvensi.
Jika kita memahami segala sesuatunya dengan jelas seperti ini kita akan berada dalam kedamaian.
Jika saat ini kita menyadari ketidak-kekalan, bahwa segala sesuatu bukanlah kita atau milik kita, ketika mereka hancur kita tidak akan terganggu, karena toh mereka bukan milik siapapun.
Mereka hanyalah elemen tanah, air, angin dan api.
Sulit bagi orang untuk melihat hal ini, tetapi bukan berarti tidak mungkin jika kita dapat melihat hal ini kita akan merasa tenteram, tidak akan ada begitu banyak kemarahan, ketamakan atau khayalan.
Akan selalu ada Dhamma dalam hati kita.
Tidak perlu ada rasa cemburu dan iri hati karena semua hanyalah elemen tanah, air, angin dan api, tidak lebih.
Ketika kita menerima kebenaran ini kita akan melihat kebenaran ajaran Sang Buddha.
Jika kita dapat melihat kebenaran ajaran Sang Buddha, kita tidak akan memerlukan terlalu banyak guru!
Tidak perlu mendengarkan ajaran setiap hari.
Jika mengerti, maka kita akan mengerjakan apa yang dituntut dari kita.
Apa yang membuat orang sulit diajar adalah mereka tidak mau menerima ajaran itu dan mendebat guru serta ajaran tersebut.
Di depan guru, mereka bertindak sedikit lebih baik, tetapi mereka menjadi pencuri di belakangnya.
Orang memang sulit diajar.
Orang-orang Thailand pun seperti ini, itulah sebabnya mereka harus mempunyai banyak guru.
Waspadalah, jika tidak waspada anda tidak akan melihat Dhamma, anda harus tanggap terhadap situasi.
Dengarkanlah ajaran, dan pertimbangkan baik-baik, apakah bunga ini indah?
Apakah anda dapat melihat keburukan bunga ini?...
Berapa lama mereka akan tetap indah?... Akan jadi seperti apakah
nantinya?...
Mengapa itu berubah?...
Dalam waktu tiga atau empat hari anda harus membuang bunga itu bukan?
Ia kehilangan keindahannya.
Orang melekat pada keindahan dan kebaikan.
Jika sesuatu tampak baik mereka langsung saja melekat.
Sang Buddha mengajar kita untuk melihat sesuatu yang indah sebagai sesuatu yang indah tanpa terikat padanya.
Jika ada perasaan menyenangkan jangan terpedaya.
Kebaikan (goodness), keindahan bukanlah sesuatu yang pasti, tidak ada sesuatupun di dunia ini yang pasti, inilah kesunyataan.
Hal-hal yang bukan benar adalah hal-hal yang berubah, misalnya kecantikan.
Kebenaran yang ada pada hal-hal semacam itu adalah bahwa semuanya berubah terus.
Jika kita percaya bahwa sesuatu itu benar-benar indah, maka saat keindahannya hilang, pikiran kita ikut kehilangan keindahannya.
Ketika sesuatu tidak lagi baik, pikiran kita ikut kehilangan kebaikannya.
Kita "menginvestasikan" pikiran kita dalam hal-hal materi seperti ini.
Ketika mereka rusak atau hancur kita menderita karena kita merasa memiliki.
Sang Buddha mengatakan pada kita untuk melihat hal-hal ini semata-mata sebagai stuktur alam.
Keindahan muncul dan dalam beberapa hari akan lenyap.
Bisa melihat ini berarti mempunyai kebijaksanaan.
Maka dari itu kita harus melihat ketidak-kekalan, jika melihat sesuatu yang indah, kita harus berkata kepada diri kita sendiri:
"Itu tidak indah."
Jika berpikir, bahwa sesuatu jelek kita harus mengatakan pada diri sendiri:
"Itu tidak jelak."
Cobalah untuk melihat seperti ini, teruslah merenung seperti ini.
Kita akan melihat kebenaran pada hal-hal yang tidak benar, melihat kepastian pada hal-hal yang tidak pasti.
Hari ini saya telah menerangkan jalan untuk mengerti penderitaan, apa yang menyebabkan penderitaan, hilangnya penderitaan dan jalan menuju akhir penderitaan.
Jika kalian mengerti penderitaan, kalian harus membuang penderitaan, jika kalian mengerti penyebab penderitaan, kalian harus membuang penyebab.
Berlatihlah untuk melihat hilangnya penderitaan.
Lihatlah aniccam, dukkham dan anatta maka penderitaan pun akan berkurang.
Ketika penderitaan menghilang ke mana kita harus pergi?
Untuk apa latihan yang kita jalankan?
Kita berlatih untuk melepaskan, bukan untuk mendapatkan.
Ada seorang wanita yang sore tadi memberitahukan pada saya bahwa dia menderita.
Saya bertanya padanya apa yang diinginkan dan dia menjawab ia ingin penerangan (enlightenment).
Saya berkata,
"Selama kamu masih menginginkan penerangan kamu tidak akan pernah mencapai penerangan.
Jangan menginginkan apapun."
Ketika kita mengerti kebenaran penderitaan kita membuang penderitaan.
Ketika kita mengerti sebab-sebabnya kita tidak menciptakan sebab-sebab tersebut,
kita berlatih untuk membawa penderitaan pada akhir jalan lenyapnya penderitaan.
Latihan yang menuju ke penghentian itu adalah dengan melihat
"Ini bukanlah diri",
"Ini bukan aku atau mereka".
Melihat dengan cara seperti ini memungkinkan penderitaan untuk hilang.
Ini seperti mencapai tujuan dan berhenti.
Itulah penghentian, mendekati Nibbana.
Dengan kata lain, maju adalah penderitaan, mundur adalah penderitaan, berhenti adalah penderitaan.
Tidak maju, tidak mundur, tidak berhenti... apa yang tersisa?
Tubuh dan pikiran berhenti di sini.
Inilah berhentinya penderitaan.
Sulit untuk dimengerti bukan?
Jika kita rajin terus menerus mempelajari ajaran ini kita akan melampaui segala sesuatu dan mencapai pengertian.
Akan ada penghentian.
Inilah ajaran utama Sang Buddha:
titik akhir, ajaran Sang Buddha berakhir pada titik tercapainya pelapasan total.
Hari ini saya menawarkan ajaran ini pada kalian semua dan juga YM Kepala Biara.
Jika ada yang salah mohon dimaafkan. tetapi jangan terburu-buru menghakimi benar atau salah, dengarkan saja dulu.
Jika saya memberi anda buah dan mengatakan bahwa buah itu enak, kalian catat saja komentar saya itu, tetapi jangan langsung percaya, karena kalian belum mencicipinya sendiri.
Ajaran yang saya berikan hari ini, juga demikian.
Jika anda ingin tahu apakah "buah" ini manis atau masam, kupas lalu cicipi.
Kemudian anda akan tahu apakah itu manis atau masam.
lalu anda dapat mempercayai saya karena telah membuktikannya sendiri.
Jadi tolong jangan buang "buah" ini, simpan dan rasakan, kenalilah rasanya sendiri.
Hari ini adalah hari yang sangat menguntungkan bagi kita semua.
Saya telah berkesempatan untuk bertemu dengan anda semua dan juga para guru terhormat lainnya.
Anda tadinya tidak berpikir bahwa kita akan bisa bertemu seperti ini karena kita tinggal berjauhan.
Saya rasa pasti ada alasan khusus kenapa kita bisa bertemu seperti ini.
Sang Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatunya pasti mempunyai sebab.
Jangan lupakan ini.
Pasti ada beberapa sebab, mungkin dalam kehidupan yang lalu kita semua adalah saudara, mungkin karena guru yang lain tidak datang saya yang datang, mengapa demikian?
Mungkin karena kita membuat penyebabnya sendiri saat ini.
Saya akan meninggalkan anda semua dengan ajaran ini, semoga anda tekun dalam latihan.
Tidak ada yang lebih baik dari pada berlatih Dhamma, Dhamma adalah pendukung kehidupan.
Orang bingung sekarang ini karena mereka tidak mengerti Dhamma.
Jika kita mempunyai Dhamma kita akan tenteram.
Saya merasa berbahagia berkesempatan membantu anda dan para guru untuk mengembangkan latihan Dhamma.
Saya meninggalkan anda dengan hati yang berisi harapan-harapan yang baik bagi anda.
Besok saya akan pergi, saya tidak yakin ke mana.
Ini adalah hal yang wajar, ada kedatangan harus ada kepergian, ada kepergian harus ada kedatangan.
Beginilah dunia.
Kita jangan terlalu terpengaruh oleh perubahan yang ada, ada kebahagiaan kemudian ada penderitaan, ada penderitaan kemudian ada kebahagiaan,
ada untung kemudian ada rugi, ada rugi kemudian ada untung, beginilah segala sesuatunya.
Pada masa Sang Buddha ada seorang murid yang tidak suka pada Sang Buddha, karena Sang Buddha selalu mendesak mereka untuk bertekun, untuk selalu waspada.
Mereka yang malas takut kepada Sang Buddha dan menolak Beliau, ketika Sang Buddha meninggal, satu kelompok murid menangis dan tertekan karena Sang Buddha tidak bisa membimbing mereka lagi, kelompok ini belum pandai.
Kelompok yang lain merasa senang dan lega karena Sang Buddha tidak akan bisa mendorong-dorong mereka dan memerintah mereka untuk berlatih dengan rajin dan sebagainya.
Kelompok yang ketiga tetap tenang, mereka merenungkan bahwa apa yang muncul pasti akan lenyap sebagai konsekwensinya.
Ada tiga kelompok ini.
Kalian ingin menjadi kelompok yang mana?
Kelompok yang menangis adalah kelompok yang masih belum mengerti Dhamma, kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak Sang Buddha.
Beliau selalu melarang mereka melakukan hal-hal tidak bermanfaat yang mereka inginkan, mereka hidup dalam ketakutan akan komentar-komentar Sang Buddha, jadi saat Beliau meninggal mereka merasa sangat lega.
Sekarang ini keadaan tidak begitu banyak berubah, ada kemungkinan guru-guru di sini mempunyai murid-murid yang menolak mereka, mungkin tidak secara langsung, hanya dalam hati.
Memang wajar bagi orang yang masih mempunyai kekotoran batin untuk bertindak seperti itu.
Bahkan Sang Buddha pun ada yang membenci.
Saya juga mempunyai murid yang seperti itu, saya mengatakan kepada mereka untuk berhenti berbuat jahat tetapi mereka menyayangi perbuatan jahat.
Jadi mereka membenci saya, banyak yang seperti ini, semoga kalian semua pandai membawa diri dalam berlatih Dhamma.
Semoga semua mengerti
Semoga semua makhluk berbahagia
oleh: Ven. Ajahn Chah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar