Oleh: Alm. Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito Mahathera
Memang
adalah suatu fakta/kenyataan dari hidup ini bahwa pada suatu saat kita pasti
akan berpisah dengan apa yang sangat dicintai, juga akan berpisah dengan
jasmani kita sendiri. Apabila seorang yang sangat dicintai meninggal, kita akan
merasa sangat sedih dan sangat sukar rasanya mengatasi kesedihan ini. Tetapi
ajaran Sang Buddha dapat menolong kita mengatasi kesedihan ini dengan jalan
berusaha melihat kenyataan dari apa sebenarnya keadaan hidup dan kehidupan ini.
Dalam kitab Visuddhi Magga, Bab VIII, 39; kita dapat membaca
tentang bagaimana pendeknya waktu dari proses hidup dan kehidupan ini. Bahwa
menurut kebenaran mutlak atau kebenaran tertinggi, sesungguhnya proses hidup
dan kehidupan itu berlangsung sangat pendek dan cepat sekali, hanya persis
sesaat dari keadaan satu saat kesadaran yang muncul sekejap dan kemudian segera
lenyap. Sama seperti sebuah roda kereta yang berputar, menggelinding hanya pada
satu titik demi satu titik dan bila berhenti menggelinding, berhenti hanya pada
satu titik. Demikian pula proses dari hidup dan kehidupan ini berlangsung hanya
pada satu saat kesadaran yang muncul sesaat dan kemudian segera lenyap.
Dengan demikian berarti kita sesungguhnya telah mengalami
kematian/perubahan setiap saat, atau lahir dan mati setiap saat. Apabila
kesadaran yang timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini telah berhenti,
maka proses hidup dan kehidupan ini dikatakan telah berhenti. Senang, susah,
sedih, gembira, dan seterusnya hanya muncul bersama kesadaran yang
timbul-lenyap timbul-lenyap sangat cepat ini. Tiada dunia atau hidup dan
kehidupan bisa muncul apabila tiada kesadaran muncul. Apabila proses kesadaran
muncul, di situ muncul pula proses hidup dan kehidupan. Apabila proses
kesadaran berhenti maka proses hidup dan kehidupan disebut berhenti pula.
Apa yang kita namakan mati sesungguhnya tiada berbeda dengan
proses timbul-lenyap timbul-lenyap dari satu saat kesadaran. Tiap-tiap saat
kesadaran yang muncul, segera lenyap secara utuh, tetapi menyebabkan atau
mengkondisikan timbulnya saat kesadaran yang baru, yang segera lenyap pula,
demikian seterusnya dan seterusnya. Kesadaran akhir dari kehidupan ini, apa
yang dinamakan saat kesadaran kematian atau cuti-citta, begitu ia lenyap segera digantikan oleh saat pertama dari
kesadaran akan kehidupan berikutnya yang dinamakanpatisandhi-citta. Di
situ tidak terdapat sang aku pada setiap proses hidup dan kehidupan ini, dan
betul-betul tidak ada sang aku atau sang roh yang mengembara dari kehidupan
yang lalu, sekarang, atau kehidupan yang akan datang.
Adalah semata-mata kebodohanlah yang membuat kita berpikir bahwa
badan jasmani dan batin ini adalah kekal. Kita sangat melekat pada badan
jasmani dan batin ini dan menganggapnya sebagai aku dan milikku. Kita
berpendapat bahwa sang akulah yang melihat, mendengar, merasa, berpikir, dan
bergerak ke mana-mana. Melekat pada sang aku inilah yang menyebabkan dukkha.
Sang aku menginginkan dan berkhayal akan mengalami awet muda untuk waktu yang
sangat panjang, tetapi apabila kita mengalami masa tua, sakit, dan mendekati
kematian; kita merasa sedih, takut, cemas, seolah-olah tidak terima sama
sekali. Mereka yang bodoh dan tidak mengerti akan fakta dan kenyataan dari
hidup dan kehidupan ini, tidak akan bisa mengerti bahwa penderitaan bersumber
dan berasal dari kemelekatan, seperti apa yang dijelaskan dalam Kebenaran Mulia
Kedua tentang sebab dari derita. Kita seyogyanya berusaha menginsafi secara
benar-benar bahwa segala sesuatu yang disebut jasmani dan batin ini adalah anicca,
dukkha, anatta, sunnata, tathata,
dan idappaccayata.
Sang Buddha menunjukkan tentang ketidak-kekalan segala sesuatu (jasmani dan batin)
dengan berbagai macam jalan dan cara. Beliau mengajarkan ketidak-kekalan dari
jasmani ini untuk menolong kita agar tidak melekat pada pandangan keliru
tentang "badanku atau badan ini adalah kepunyaanku". Beliau
mengajarkan cara bermeditasi pada kekotoran, kebusukan, dan keburukan dari
jasmani ini, dengan bermeditasi pada mayat dalam berbagai tingkat kehancuran,
kita dapat membaca di dalam Maha Satipatthana Sutta, Digha Nikaya:
"Dan lagi, O, para bhikkhu, sebagai bhikkhu seharusnya berusaha bisa
melihat satu mayat yang ditaruh di kuburan, mati baru sehari atau dua hari,
tiga hari, lalu membengkak, warnanya berubah, terpecah-pecah, kemudian
merenungkan bahwa jasmani sendiri juga adalah secara alamiah sama, pasti akan
mengalami kematian".
Didalam Visuddhi Magga, Bab VI, 88, dijelaskan bahwa jasmani ini
juga sama kotornya, busuknya, buruknya seperti mayat; hanya sifat dari
kebusukan, keburukannya, tidak terang jelas dan tampak nyata pada jasmani yang
masih hidup ini karena disembunyikan oleh berbagai hiasan alamiah dan hiasan
buatan manusia sendiri yang sangat lihay. Untuk membuktikan jasmani yang masih
hidup ini penuh dengan kekotoran, kebusukan, kuburukan, Sang Buddha mengajarkan
apa yang tercantum pada Maha Satipatthana Sutta sebagai
berikut: "Dan lagi, O, para bhikkhu, seorang bhikkhu seyogyanya
merenungkan secara teliti bahwa jasmaninya sendiri terbungkus oleh kulit dan
penuh dengan bermacam-macam kekotoran, kebusukan, keburukan dari telapak kaki
naik ke atas dan dari ujung kepala turun ke bawah. Bahwa pada jasmani ini
terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, kulit, daging, sumsum, tulang,
ginjal, hati, limpa, dan seterusnya".
Juga
kita harus selalu merenungkan bahwa jasmani ini terdiri atas empat unsur pokok,
yaitu:
1.
|
Unsur tanah yang muncul dalam sifat padat/keras dan
lembut/halus.
|
2.
|
Unsur cair yang muncul dalam sifat cair atau perekat.
|
3.
|
Unsur api yang muncul dalam sifat panas dan dingin.
|
4.
|
Unsur angin yang muncul dalam sifat gerak dan tekanan.
|
Keempat unsur pokok ini, apakah mereka berada dalam mayat atau
dalam badan yang masih hidup, adalah sama. Itulah sebabnya mengapa perenungan
terhadap kekotoran, kebusukan, dan keburukan jasmani, dan merenungkan jasmani
ini yang terdiri atas keempat unsur pokok tersebut di atas yang berbeda-beda sifatnya,
sangat menolong kita untuk tidak melekat lagi pada jasmani ini dan tidak lagi
menganggap jasmani ini sebagai milikku dan kepunyaanku. Memang bukanlah suatu
keharusan atau paksaan bagi seseorang untuk selalu sadar akan proses batin dan
jasmani yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kita juga
seyogianya mempertimbangkan baik-baik apa sebenarnya yang menjadi tujuan kita.
Apakah kita terus-menerus ingin menjadi orang bodoh, penuh dengan kemelekatan
dan menganggap secara kokoh dan fanatik bahwa proses jasmani dan batin adalah
tergolong aku dan kepunyaanku? Apakah kita tetap menginginkan hidup dalam
kegelapan ataukah kita ingin mengembangkan kebijaksanaan untuk bisa mengakhiri
dukkha? Apabila kita memilih sang jalan untuk mengakhiri dukkha, kita harus
mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti apabila
kita sedang duduk, berdiri, berjalan, bekerja, dan seterusnya, apabila kita
sedang mendengar, membaui, mengecap, menyentuh, merasa, berpikir, senang,
susah, rindu, cemas, dan seterusnya; ketahuilah, maklumilah bahwasanya kesemua
proses jasmani dan batin ini adalah hanya gejala/fenomena jasmani dan batin
yang timbul sekejap, di situ ia timbul, di situ pulalah ia segera lenyap. Ia
timbul karena adanya sebab dan syarat dan ia segera lenyap, tetapi menjadi
sebab dan syarat pula bagi timbulnya proses batin dan jasmani yang baru.
Inilah satu-satunya jalan untuk bisa merealisasi bahwa segala
sesuatu yang disebut batin dan jasmani adalah anicca, dukkha, anatta,
sunnata, tathata, dan idappaccayata.
Dengan jalan ini kebodohan dan kemelekatan dapat diatasi. Tetapi kebodohan dan
kemelekatan itu tidak bisa dihancurkan secara total dalam waktu yang singkat.
Ia baru dapat dihancurkan secara total apabila seseorang telah mencapai
kesucian tertinggi tingkat Arahat. Pada waktu sang Buddha wafat mencapai
parinibbana, para bhikkhu yang masih punya kebodohan dan kemelekatan menangis
sedih dan berguling-guling di atas tanah, tetapi para bhikkhu yang kebodohan
dan kemelekatannya telah hancur, melihat wafatnya Sang Buddha sebagai peristiwa
yang wajar dan alamiah saja. Mereka penuh pengertian.
Marilah kita mengenang kembali sabda Sang Buddha kepada Ananda
ketika Sang Buddha mendekati waktu wafatNya mencapai Parinibbana sebagai
berikut:
"Ananda, jadilah pulau bagi dirimu sendiri, pelindung bagi
dirimu sendiri, jangan mencari perlindungan di luar, dengan Dhamma sebagai
pulaumu, Dhamma sebagai pelindungmu, tidak mencari perlindungan lain. Dan
bagaimana Ananda, seorang bhikkhu menjadi pulau bagi dirinya, perlindungan bagi
dirinya, dengan Dhamma sebagai pulaunya, Dhamma sebagai pelindungnya, tidak
mencari perlindungan lainnya? Bila ia mengembara merenungkan jasmani di dalam
badan jasmaninya dengan sungguh-sungguh disertai dengan pengertian yang jelas,
terang, dan dengan penuh kesadaran, setelah mengatasi nafsu keinginan dan duka
cita dalam memandang pada dunia, hidup dan kehidupan ini, ia mengembara
merenungkan perasaan di dalam perasaannya, pikiran di dalam pikirannya, dan
obyek mental di dalam obyek mental". Ini berarti tidak merenungkan adanya
sang aku di dalam badan, perasaan, pikiran, dan obyek mental. Inilah cara
satu-satunya untuk dapat melihat kebenaran tertinggi dari apa adanya yang
sebenarnya dari proses batin dan jasmani, yaitu Anicca, Dukkha, Anatta,
Sunnata, Tathata, dan Idappaccayata; pengertian mana yang dapat mengatasi
kebodohan dan kemelekatan, mengatasi dukkha, dan mengatasi kematian.
[Dikutip
dari Mutiara Dhamma ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar