Oleh: Yang Mulia Phra Ajahn
Yantra Amaro
Cara untuk mencapai kemajuan di dalam
praktek Dhamma dan mencapai kondisi normal kita yang harmoni dengan alam dan
jalan sang alam adalah dengan menyadari dan melaksanakan tugas kita, serta
melaksanakannya dengan sebaik mungkin yang dapat kita lakukan, yakni dengan
cinta kasih (metta) dan keseimbangan(upekkha).
Seseorang yang memiliki cinta kasih dan keseimbangan adalah orang yang sangat
bahagia. Upekkha berarti juga pikiran yang mantap,
yakni pikiran yang mencapai pemusatan pada satu titik dan kemudian memiliki
kebijaksanaan untuk dapat "membiarkan berlalu/tiada melekat". Salah
satu cara untuk melatih "tidak melekat" ini, adalah dengan
menentramkan pikiran dan mengontrol pikiran kita untuk mengetahui hanya saat
sekarang. Cara lainnya adalah dengan menyelidiki karakteristik/sifat-sifat dari
kehidupan atau Tilakkhana, yakni Ketidak-tetapan (aniccata), keadaan duka
(dukkhata), dan Ketiada-akuan (anattata). Bila kita menggabungkan kedua
cara/metode ini, kita akan mencapai konsentrasi yang sempurna serta
kebijaksanaan. Kita dapat meyakinkan pikiran untuk dapat melepas jika kita
mengerti dan menerima konsep "Ketanpa-akuan".
Fenomena atau kejadian alam adalah
tidak dapat dielakkan, dan kita tak dapat mengubahnya. Kita harus bisa
membiarkannya terjadi. Ini adalah disebut "Suddhadhamma pavattanti.
"Sabbe dhamma nalam-abhinivesaya", yang artinya "Dhamma tidak seharusnya
dilekati" —kita tidak semestinya melekat atau terikat kepada segala
sesuatunya, bahkan tidak juga - pada akhirnya - kepada Dhamma. Kita harus
menggunakan Dhamma hanya sebagai pedoman kita dalam melaksanakan tugas-tugas,
tetapi tidak melekat padanya. Alam adalah aliran yang alamiah/wajar, berkembang
dan berubah, dan kita hanya perlu mengetahui, menyadari, serta waspada akan hal
ini. Kita harus tetap tenang, tentram/damai, konsentrasi, tetapi jangan
menilai. Hanya disadari, disadari, dan disadari. Lihatlah dengan dalam dan
dengan sungguh-sungguh ke dalam dirimu sendiri, maka engkau akan semakin
sanggup untuk melepas.
Sebagai misal, saya tidak ingin batuk,
tetapi tetap saya batuk; anda tidak ingin merasakan sakit, tetapi perasaan
sakit tetap anda rasakan. Ini adalah contoh dari berlakunya konsep
"tiada-aku" (anatta). Jika batuk dan sakit merupakan kerja dari
"sang aku", maka saya semestinya dapat mengontrol mereka, bukankah
demikian? Meskipun demikian, kita harus berusaha dan tidak menyerah kepada
ketidak-nyamanan seperti itu, tetapi berusaha, dan membiarkan mereka
berlangsung; biarkan mereka "dengan urusan mereka sendiri". Kita hanya
dapat menyuruh sebagian dari jasmani kita untuk melakukan apa yang kita
inginkan, dan lagi hanya dengan cara yang sebagian kecil - tidak komplit.
Sehingga dengan demikian, kita harus melatih atau memaksa pikiran kita menuju
kepada titik di mana kita dapat - melepas-. Kita dapat memaksa diri kita
sendiri untuk mencapai ketentraman jika kita menyadari hal ini.
Bilamana anda pulang ke rumah, cobalah
untuk membuat diri anda diam dan tenang barang sejenak. Isilah batinmu dengan
cinta kasih dan kasih sayang, dan cobalah untuk menyadari bahwa tiada sesuatu
pun yang permanen atau kekal. Setiap makhluk sangat ingin bebas dari
penderitaan - semua benda yang hidup berusaha untuk terbebas dari
ketidak-nyamanan - dan merindukan kebahagiaan. Oleh karena itu, kita jangan
membuat orang lain tidak bahagia, jangan pula melukai satu dengan lainnya;
tetapi sebaliknya, bagilah cinta kasih dan kebaikan dengan mereka. Berusahalah
untuk selalu berpikir tentang cinta kasih, hingga hal itu menyerap ke dalam
perhatianmu dan mengisi batinmu. Berkatalah kepada dirimu sendiri:
"Semoga arus cinta kasih yang
dimiliki oleh Sang Buddha terhadap semua makhluk hidup, mengalir ke dalam
hatiku. Semoga saya menjadi baik dan mencintai semua makhluk yang sama-sama
menderita dalam usia tua/kelapukan, kesakitan, dan kematian. Semoga
kesempurnaan kebajikan (parami)dari Sang Buddha, cinta kasih-Nya yang luar
biasa, kasih sayang serta kebijaksanaan-Nya mengisi hatiku sebagai suatu berkah
mulia. Semoga saya mempunyai kekuatan untuk melatih Dhamma yang baik dengan semakin
baik. Tak peduli seberapa banyak kesulitan yang saya hadapi dalam hidup ini,
saya akan mengikuti ajaran Dhamma-Mu dan meneladani dengan perbuatan, jasmani,
ucapan dan pikiran. Semoga saya tetap teguh dalam sikap laku moral yang baik
(sila)dan dalam cinta kasih (metta). Semoga batinku semakin maju, menjadi orang
yang bermanfaat, mencapai kebijaksanaan, kemurnian, dan kedamaian. Semoga
kekuatan yang agung dari Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha menjadi pelindungku
dan sumber kekuatanku".
Pikirlah dengan dalam tentang hal ini
hingga anda benar-benar terserap/menyatu di dalamnya. Penuhi dan isilah batin
anda dengan kesejukan dan hening kedamaian dari Dhamma.
"Semoga kemarahan, konflik,
kekecewaan, dan kebencian yang biasanya saya lakukan, lenyap dari hatiku. Semoga
saya dimaafkan dari kekurangan atau kelalaian saya. Semoga saya dimaafkan dari
perbuatan salah terhadap orang tua saya, guru-guru saya, famili-famili, dan
teman-teman saya, serta yang lainnya, apakah dengan sengaja atau tidak sengaja,
yang telah lampau atau sekarang, tak peduli seberapa pun kecilnya".
Berpikirlah dengan rendah hati akan
hal berikut:
"Jika orang lain dengan sengaja
atau tidak sengaja melukai kita melalui jasmani, pikiran, atau ucapan, dan
menimbulkan akibat yang merugikan atau negatif, semoga mereka dapat dimaafkan.
Semoga semua dari mereka dan semua dari kita bebas dari penderitaan, mara
bahaya dan kesedihan, serta tertuntun ke kedamaian dan kebahagiaan melalui
Dhamma yang suci dan murni".
Berusaha dan bercita-citalah untuk
melatih Cinta-kasih
Dhamma(metta-dhamma) dengan penuh semangat, dan kita akan memiliki cinta kasih.
Kemudian buatlah pikiran kita agar memancarkan cinta kasih tersebut ke segala
arah/penjuru.
Marilah kita dengan rendah hati
menghormati Sang Triratna (Ratanattaya: Sang Buddha - Ia yang telah mencapai
Pencerahan Sempurna; Dhamma - Ajaran; dan Sangha - Pasamuan para Ariya Bhikkhu)
dan bertekadlah untuk dapat terlahir sebagai manusia, bukan binatang. Karena
dengan menjadi manusia berarti kita memiliki perhatian dan kebijaksanaan;
memiliki 2 kaki, 2 tangan, 2 lubang hidung, 2 mata, 2 telinga, tetapi hanya
satu otak dan satu hati. Perhatikan betapa spesialnya organ yang hanya sebuah
itu, tetapi meskipun demikian, otak dapat berpikir dengan sangat cakap. Pikiran
tidak timbul dari hati - fisik "hati" dan perasaan "hati"
adalah berbeda. Fungsi dari batin adalah untuk mengetahui, menyadari,
mengingat, berpikir, dan menunjang batin. Otak dan batin bekerja sama dengan
sangat erat satu sama lain. Jika sesuatu terjadi pada otak, kita tidak akan
dapat mengikuti Dhamma dan mencapai pencerahan. Dengarkan baik-baik dan
ingatlah ini; jika seseorang telah mencapai pencerahan, maka batinnya murni,
meskipun jika otaknya menjadi rusak atau tidak normal, ia tetap akan baik. Otak
bukanlah batin, dan batin bukanlah otak, tetapi terdapat hubungan yang sangat
erat di antara keduanya. Batin dan jasmani juga mempunyai hubungan yang erat;
bila jasmani lemah, maka batin juga ikut lemah. Tetapi jika jasmani dari
seorang Arahat(seorang yang telah mencapai Nibbana) menjadi lemah, batinnya
tidak ikut lemah, tetapi tetap dalam keadaan tenang dan damai.
Saat ini kita harus berusaha untuk
menemukan sesuatu yang dapat kita jadikan pegangan, sebuah perlindungan,
sehingga meskipun bila kita mati, kita akan tetap tenang. Mereka yang dapat
membebaskan batinnya atau menemukan Dhamma akan bebas dari kelahiran, usia tua,
kesakitan, dan kematian; termasuk semua problem yang disebabkan oleh kekotoran
batin (kilesa). Tak ada suatu apapun yang dapat mengganggu batin dari orang
semacam itu, karena batinnya telah bebas. Bila telah tiada keakuan, seseorang
tidak akan mengalami usia tua, kesakitan, atau kematian. Dia mencapai hidup
abadi (Nirantara) dan bebas dari perbudakan. Ini adalah jalan masuk menuju
hidup yang sesungguhnya.
Kehidupan dari orang-orang pada
umumnya adalah terbungkus ilusi, kepura-puraan, atau yang dibuat-buat. Mengapa
saya katakan demikian? Karena hidup kita ini sesungguhnya adalah tidak pasti
dan tidak tetap, sedangkan Nibbana adalah tetap, kosong, dan hampa. Tak ada
yang memasukinya (mengisinya), tak ada yang menyentuhnya, ia adalah kosong dan
bersih. Ia tidak dapat dibuat ruwet, karena tiada sesuatu yang dibuat ruwet.
Dalam kehidupan seseorang, seolah-olah ia memiliki segalanya tetapi sebenarnya
tidak memiliki apa-apa.
Salah satu aliran/sekte meyakini bahwa
Nibbana/Nirvana adalah suatu tempat yang disebut "Tanah Suci para
Buddha" (Buddhaksetra): Sang Buddha ada di sana, juga para Arahat, hidup
bersama dalam suatu kelompok untuk selamanya, dengan kekal abadi. Tetapi Pali
Canon >(Tipitaka) mengajarkan bahwa Nibbana bukanlah suatu tempat, tetapi
suatu kondisi dari lenyapnya kekotoran batin dan penderitaan. Kita dapat
memadamkan noda-noda atau kekotoran-kekotoran batin ini sekarang juga jika kita
mau mencobanya; dan anda akan merasa seolah-olah hidup/tinggal di sorga, pada
dunia/bumi sekarang ini. Kita dapat merasakannya sekarang juga: neraka, sorga,
atau Nibbana. Kita tak perlu menunggu untuk waktu yang akan datang. Jika hal
itu tidak dapat diperoleh sekarang, ia juga tidak akan dapat diperoleh di waktu
yang akan datang. Dengarkan dengan seksama sekali lagi. Jika kita berpikir ada
neraka, sorga, atau Nibbana, maka ia akan ada; tetapi jika kita berpikir bahwa
tidak ada neraka, sorga, atau Nibbana, maka ia juga tidak ada. Ini adalah yang
sebenarnya, tetapi seseorang tidak dapat mencapai kondisi tersebut hanya dengan
berpikir. Sebetulnya, kita tidak dapat membayangkan hal tersebut karena hal
tersebut tak terbayangkan. Bahkan meskipun jika kita berpikir hingga otak kita
miring atau pecah, tidak ada yang akan terjadi. Nibbana bukanlah pikiran, kita
tidak dapat hanya memikirkannya, tetapi kita harus merealisasikannya oleh diri
kita sendiri. Kita akan tahu bila kita sudah mencapai Nibbana, yang merupakan
suatu pengalaman yang tertinggi dan terbaik.
Kemelekatan kepada kepuasan akan harta
kekayaan, kekuasaan, penghargaan, nama, kebahagiaan, dan kesenangan, dimulai
dari bentuk yang bersifat badaniah
atau material (rupa), dan
dilanjutkan kepada bentuk yang bersifat non-material (arupa). Sebagian orang tidak
menginginkan hal-hal yang bersifat material, tetapi lebih suka yang
non-material - ini adalah hal yang amat halus. Jika saya mesti mengajarkan
tentang hal-hal yang bersifat non-materialataukeadaan
yang tanpa bentuk, itu akan memakan waktu semalam penuh. Hal tersebut dapat
diajarkan, tetapi tidak umum/biasa, sehingga kita lewati dulu, dan meneruskan
pada praktek yang lebih nyata. Adalah tidak perlu mengetahui banyak tentang
"kenon-materialan", kecuali itu adalah keadaan batin yang tidak
membutuhkan jasmani atau benda yang nyata. Beberapa orang tidak memerlukan
apapun, tak menginginkan apapun, tetapi ia puas dalam ketenaran dan pujian.
Kepuasan terhadap kebajikan (punnya) dan menjadi penuh dengan kebajikan adalah
juga bagian dari kenon-materialan (immateriality) ini. Tetapi kebajikan/jasa
adalah juga tidak pasti.
Sang Buddha tidak pernah mengatakan
bahwa membangun tempat ibadah yang besar akan menuntun kepada kesempurnaan
(parami)dan memperoleh jasa yang amat besar. Beliau mengatakan bahwa untuk
memperoleh kesempurnaan adalah tergantung dari praktek terhadap Dhamma. Yang
paling baik adalah membangun "keadaan batin di dalam Dhamma"
(vihara-dhamma). Keadaan batin tertinggi dalam Dhamma adalah pembebasan dalam
Dhamma vimutti-dhamma - yakni "tiada melekat". Tujuan tertinggi
adalah bebas dari penderitaan. Membangun rumah atau tempat ibadah bisa jadi
merupakan suatu bentuk dari penderitaan jika kita melekat kepadanya. Contohnya, Luang Pu Waen, salah seorang bhikkhu
yang terkenal di Thailand, membangun vihara yang besar, tetapi ia tinggal di
kuti yang kecil.
Jasmani kita ini dapat diibaratkan
seperti sebuah rumah, dan pada akhirnya - sebagai penyewa di dalam rumah - kita
harus meninggalkannya. Rumah jasmani kita mempunyai 9 saluran pembuangan, tidak
menyenangkan tetapi perlu. Mari kita periksa diri kita sendiri, rambut di atas
kepala kita, bulu badan, kuku, gigi, dan kulit - ini semua adalah obyek-obyek
yang dapat dipakai sebagai obyek meditasi. Sebagian orang dapat mencapai
pembebasan dalam meditasinya hanya dengan memakai obyek rambut.
"Rambut, rambut, berubah menjadi
putih.
Jangan bodohi dirimu bahwa hal itu tidak benar.
Suatu waktu ia begitu hitam, dan sekarang sudah mulai memutih;
Dan sekarang kulit kita melentur dan keriput.
Tak peduli bagaimana tekun kita merawatnya;
Kulit kita tetap akan melentur dan menggantung, pada akhirnya".
Jangan bodohi dirimu bahwa hal itu tidak benar.
Suatu waktu ia begitu hitam, dan sekarang sudah mulai memutih;
Dan sekarang kulit kita melentur dan keriput.
Tak peduli bagaimana tekun kita merawatnya;
Kulit kita tetap akan melentur dan menggantung, pada akhirnya".
Jika anda berhasil mengunakan rambut
dan kulit sebagai obyek meditasi (kammatthana), maka anda telah lebih dari
setengah jalan menuju sukses dalam kemampuan untuk melepas (tidak melekat)
terhadap jasmani. Jika anda dapat melakukan hal tersebut, maka untuk melepaskan
benda-benda lainnya tidaklah begitu sulit lagi.
Dan, sekarang saya akan mengakhiri
khotbah untuk hari ini.
Dikutip dari Buku Harta Yang Mulia
Sumber: Khotbah yang diberikan di
Sunnataram Forest Monastery, Bundanoon, New South Wales, Australia, pada
tanggal 11 Agustus 1990. ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar