Saddha (Pali) atau sradha (Sansekerta) memiliki arti keyakinan.Mendengarkan Dhamma
perlu disertai dengan perhatian. Ajaran Buddha Gotama tidak hanya menyodorkan
pilihan hitam atau putih. Dhamma mengajak kita untuk mengerti , lalu mengambil
keputusan—tidak memilih dengan membuta. Salah satu unsur yang terpenti ng untuk
mencapai kemajuan sebagai seorang umat Buddha adalah keyakinan. Juga penting pada
semua agama—yang dikenal dengan sebutan ‘iman’. Tetapi, dalam dunia Buddhis lebih
dikenal keyakinan (faith), untuk menerjemahkan saddha. Keyakinan dalam pengertian
Dhamma seperti yang dijelaskan Asanga—seorang pemikir Buddhis—bukanlah hanya
percaya. Keyakinan yang mengacu pada saddha,bukan hanya percaya begitu saja,
bukan hanya dari segi emosi semata.
Saya pernah berbicara dengan pakar
‘behaviour’ tentang perlunya harmoni dalam kehidupan berkeluarga. Pembicara ini
menggunakan isti lah yang sederhana, yang sejalan dengan Asanga—yamg berbicara
tentang keyakinan, yakni mengenai tiga faktor. Tiga faktor ini bersifat umum
atau universal. Para pendidik seharusnya sudah ‘familier’ dan mengerti dengan
benar.
Tiga
faktor tersebut adalah
1. Faktor kogniti f atau
aspek rasio (faktor ‘Mengerti ’)
Kogniti
f berarti pengerti an atau pengetahuan yang berhubungan dengan intelektualitas
kita. Demikian juga keyakinan umat Buddha harus ditopang dengan pengertian
terhadap yang diyakini. Apa dan siapa yang kita yakini? Kita harus tahu dan
yakin tanpa keraguan. Agar tidak timbul keraguan, maka kita harus menambah
pengetahuan tentang yang kita yakini itu. Dalam masyarakat dikenal ungkapan,
“Jangan membeli kucing dalam karung.” Tetapi faktor pengetahuan ini saja tidak
cukup. Karena banyak orang yang memuji agama Buddha karena mereka sudah mengerti
ajaran agama Buddha, tetapi dia ti dak menjadi umat yang sesungguhnya, yang
sebenarnya.
2. Faktor afekti f atau
aspek emosi (faktor ‘Menerima’)
Mana
yang lebih dulu muncul Bhante, menerima dulu atau mengerti dulu? Bisa
dua-duanya. Semula orang ti dak mengerti ajaran Buddha Gotama, dia membaca
buku, bertamu di rumah teman—membaca buku-bukunya, membaca terus. Baca lagi,
pengetahuannya bertambah dan bertambah. Dia mulai menerima ketika merasa cocok,
dan mengaku menjadi umat Buddha, dan kemudian dia ikut wisuda upasaka atau
upasika, berarti
faktor yang ke-2, yakni ‘menerima’ sudah muncul. Kalau ekstrim: menjadi
‘memiliki’, tetapi Anda ti dak perlu memiliki—‘menerima’ saja sudah cukup.
Namun
bisa sebaliknya, orang belum mengerti , tetapi sudah menerima. Mungkin karena
orang- tuanya Buddhis, sering melihat bhikkhu, melihat patung Buddha—yang
apabila ia melihat
patung Buddha, rasanya tentram. Tetapi dua unsure ini belum lengkap. Mengerti
tanpa menerima tidak akan menimbulkan keyakinan, sedangkan menerima tanpa mengerti
akan menimbulkan keyakinan yang membuta. Misalnya ada seseorang yang menganggap
Buddha itu Maha Dewa, kemudian dia meminta-minta dan berharap berkah. Ada
penerimaan, tetapi pengertiannya kurang. Yang ideal, mengerti dulu, lalu
menerima.
Tetapi
apabila menerima dulu, maka penerimaannya itu harus dilandasi pengertian.
Jangan menerima tanpa mengerti .
3. Faktor psikomotorik
atau aspek kehendak (faktor‘Melaksanakan’)
Mengerti
dan menerima—tanpa dilaksanakan, tidak akan membawa manfaat. Menerima dengan kesungguhan,
mengerti dengan jelas, tetapi tidak melaksanakan atau tidak praktik; tidak bisa
disebut mempunyai keyakinan. Umumnya kita mempunyai pengertian bahwa pokoknya—yang
penting—percaya, tidak tergoncangkan, tidak ingin berpindah ke keyakinan yang
lain;maka dia mempunyai keyakinan yang kuat. Perilakunya baik atau buruk,
apakah orang itu praktik atau tidak, tidak dihitung—tidak menjadi ukuran.
Banyak
orang yang mengaku beragama, tetapi berkelakuan buruk, tidak sedikit jumlahnya.
Dalam pengertian Dhamma,dia tidak mempunyai saddha, dia tidak beriman dengan
benar.
Apalagi
kalau keyakinannya ini digunakan untuk mengganggu yang lain, “Kalau Anda tidak
cocok dengan cara saya, saya akan menggiring Anda supaya Anda akhirnya menjadi
seperti saya.”Sedangkan praktik yang harus dilakukan malah diabaikan. Apakah dia
masih layak disebut mempunyai keyakinan? Karena banyak orang mengaku sudah
beragama tetapi belum tentu beriman.Masih banyak orang yang menyatakan beragama
tetapi malahan melakukan perilaku-perilaku yang sangat tercela. Yang penting itu
adalah ber-‘iman’-nya, bukan ber-‘agama’-nya. Beragama itu seperti formalitas.
Mengerti ayat, mengerti ajaran,mempuyai keyakinan, bahkan sampai fanati k,
tetapi perilakunya tetap
buruk. Sebenarnya orang seperti itu disebut tidak beriman.Karena keyakinan atau
iman harus mempunyai unsur yang ke-3, yaitu: ‘melaksanakan’. Tidak hanya
mengerti dan menerima, tidak hanya mengerti dan mempercayai, tetapi juga
melaksanakan.
Kalau
hanya mengerti dan menerima berarti ilmu. Agama Buddha yang dipelajari di dunia
akademik disebut kognitif—belum tentu ada unsur menerima. Siapa pun bisa
mempelajari, bukan umat Buddha pun bisa mempelajarinya, dan dengan mempelajari
dia bisa mengerti tetapi dia tidak menerima—karena dia sudah beragama yang lain.
Mengerti tidak menerima, tidak mungkin melaksanakan. Idealnya mengerti ,
menerima, kemudian melaksanakan.
Kalau melaksanakan tanpa menerima dan mengerti , bagaimana Bhante? Itu namanya
untung-untungan.Kadang-kadang berbuat baik, kadang-kadang tidak baik—karena
tidak ada tuntunannya, tidak ada polanya, seperti orang berjalan tanpa peta dan
dia tidak mengerti tujuan yang akan dituju.Mungkin bisa nyasar, mungkin jalan
buntu.
Mengerti
itu seperti membaca peta, belajar Dhamma dan mendengarkan ceramah seperti
belajar peta. Kemudian, karena orang yang mengajarkan peta tersebut mengajar
dengan pengalaman
yang benar, maka Anda mengatakan bahwa ajaran ini benar, orang ini tidak
membohongi. Cukup? Kalau Anda cukup di sini, maka Anda ti dak akan pernah
sampai ke tujuan. Mendekati tujuan saja tidak. Dari melaksanakan akan timbul
keyakinan yang kuat, meskipun Anda belum mencapai tujuan. Kalau Anda melangkah
untuk melaksanakan, apa yang dipelajari dari kognitif,yang Saudara terima, kini
menjadi kenyataan, meskipun kenyataan yang kita alami itu baru sebagian.
Mengalami sebagian kenyataan itu memperkuat penerimaan kita. Lebih kuat
dibandingkan menerima karena mengerti . Kalau Anda mengalami sendiri,maka
penerimaan Anda menjadi sangat kuat. Mengalami sendiri,melihat
sendiri, akan menimbulkan penerimaan yang kuat sekali.Kalau hanya mengerti ,
hanya akan menjadi wacana. Contohnya: dia mengerti kalau sakit dia tidak bisa
mengobati dirinya sendiri,lalu dia teringat mempunyai kenalan dokter yang baik.
Tetapi jika dia tidak mempunyai kehendak, dia tidak berjalan menuju ke tempat
dokter praktik, tidak tekun mengonsumsi obatnya, tentu dia tidak akan sembuh.
Jadi, praktik itu memperkuat saddha atau keyakinan kita. Tanpa praktik maka
selain saddha kita lemah, kita juga tidak akan mendapatkan manfaat.
Secara
garis besar, apakah yang diajarkan oleh Guru Agung kita?
Hal
itu terserah Saudara mampu melihat ajaran Guru Agung kita dari sudut mana.
Kalau Dhamma itu mau dipandang dari satu sudut pandang, bisa! Dua macam, juga
bisa. Lho, bukan Empat Kesunyataan Mulia, Bhante? Nanti dulu. Tiga aspek atau
tiga macam, juga bisa. Empat Kebenaran Ariya, bisa. Tujuh macam -satta
bojjhanga, juga bisa. Delapan aspek, bisa. Tiga puluh tujuh aspek bisa. Delapan
puluh empat ribu aspek, bisa. Tergantung Anda
mau menggunakan pendekatan dari mana, mau belajar Dhamma dari mana.
Yang
satu aspek apa Bhante? Lenyapnya penderitaan. Itulah tujuan ajaran Guru Agung
kita. Semua ajaran Guru Agung kita mempunyai rasa sama, yaitu kebebasan dari
penderitaan. Beliau pernah mengucapkan, “Para bhikkhu, maha samudra mempunyai
satu rasa, yaitu rasa asin; demikian juga Dhamma Vinaya ini, rasanya juga satu,
yaitu rasa kebebasan.” Di situ Guru Agung kita tidak menyinggung dukkha,
sebabnya dukkha, cara lenyapnya
dukkha. Guru Agung kita hanya mengatakan bebas dari penderitaan sebagai
satu-satunya rasa yang Beliau ajarkan. Ini tidak salah, ini benar.
Kalau
dua itu apa Bhante? Sering dikatakan Ajaran Guru Agung kita ini mempunyai dua
aspek, yaitu Dhamma dan Vinaya. Secara teori, Dhamma itu
khotbah-khotbah Beliau, instruksi-instruksi Beliau, dan Vinaya itu adalah
peraturan untuk para bhikkhu. Pada waktu
Guru Agung kita masih hidup, Beliau sering menggunakan kalimat, Dhamma Vinayo.
“Dhamma dan aturan yang Kuajarkan ini, rasanya satu yaitu rasa kebebasan.”
Lalu,
tiga aspek apa, Bhante? Kalau tiga aspek banyak. Ajaran Guru Agung kita ini
dapat dimengerti dengan Triratna. Kalau Anda mengerti Triratna, Anda mengerti
seluruh ajaran Guru Agung kita. Tetapi tiga aspek yang lain juga ada. Dhamma
itu mempunyai tiga aspek, yaitu ‘teori’, ‘pelaksanaan’, dan ‘pencapaian’. Tidak
hanya melaksanakan tanpa teori, tidak hanya teori tanpa pelaksanaan. Tetapi
teori, pelaksanaan, dan pencapaian. Ada tiga aspek yang lain, yaitu anicca,
dukkha, anatta. Kalau Anda mengerti anicca,dukkha,
anatta dengan
baik—tidak hanya mengerti secara kogniti f (intelektual), maka Anda akan bebas
dari penderitaan.
Pada
waktu kita menyebutkan anicca, dukkha, anatta, kita tidak menyebutkan
Empat
Kebenaran Ariya, Jalan Ariya Berunsur Delapan, sila – samadhi - pañña, tidak.
Tetapi ajaran Guru Agung kita sebagai jalan juga mempunyai aspek tiga, yaitu
tiga latihan yang terdiri atas sila, samadhi, dan pañña.
Kalau
yang empat? Ada Empat Kebenaran Ariya yaitu adanya dukkha, sebab dukkha,
lenyapnya dukkha, dan bagaimana cara melenyapkan dukkha. Yang aspek tujuh, satta
bojjhanga – tujuh faktor untuk pencerahan. Pencerahan adalah kata lain
dari kebebasan. Orang yang mencapai pencerahan adalah orang yang bebas dari
penderitaan. Faktor sembilan, yaitu sembilan faktor lokuttara. Faktor tiga
puluh tujuh, yaitu bodhipakkhiya Dhamma.
Faktor
empat puluh delapan ribu – ‘lha’ saya tidak hafal. Tiga puluh tujuh saja saya
tidak hafal, kecuali mahasiswa STAB yang baru lulus, mungkin tiga puluh tujuh factor
Bodhipakkhiya
Dhamma mereka hafal, tetapi saya tidak hafal. Jadi Anda bisa mendapatkan pengetahuan
(unsur kogniti f) Dhamma—bisa didapatkan dengan
pendekatan
yang mana, satu aspek, dua aspek, atau banyak aspek. Tetapi tetap, itu adalah
pengertian. Pengetahuan yang bisa Anda dapatkan dari mendengar, membaca,
berdiskusi,bertukar
pikiran, Dhammasakaccha, Dhammasavana; dan harus ada faktor menerima. Tetapi
kalau Anda membantah terus, maka kapan menerimanya? Dari menerima itulah
kemudian mulai melakukan praktik. Mengerti , menerima, dan melakukan.
Ingat Tiga ‘M’!
Sering juga ajaran Guru Agung kita tidak
disebutkan sebagai latihan sila, samadhi, dan pañña.
Tetapi dijelaskan sebagai tiga rangkaian perbuatan baik. Tentu ini menuntut pelaksanaan.
Tanpa pelaksanaan, itu hanya sebagai wacana perbuatan baik saja. Itu adalah
dana,
sila, dan bhavana. Kalau sila, samadhi, dan pañña adalah
ringkasan Jalan Ariya Berunsur Delapan. Di kesempatan lain, Guru Agung kita
juga sering memakai rangkaian yang lain.Mengapa Bhante, rangkaian-rangkaian itu
tidak sama pada waktu Guru
Agung kita mengajarkan Dhamma? Karena kemampuan orang yang dihadapi, yang
mendengar, yang menerima; tidak sama, dan Guru Agung kita jarang memberikan
khotbah Dhamma secara massal di depan lima ratus orang, seribu orang. Kalau toh Guru
Agung kita memberikan Dhamma di depan banyak orang,semuanya telah mencapai tingkat
kesucian sotapanna, atau yang lebih tinggi. Kalau mereka belum mencapai tingkat
kesucian,biasanya Beliau hanya berbicara berdua, bertiga, bahkan kadang-kadang berdialog
dengan satu orang. Dalam berdialog dengan seorang, Beliau dapat mengerti persis
kemampuan menangkap orang tersebut, dan Beliau bisa meramu apa yang akan Beliau
sampaikan sesuai dengan daya tangkapnya. Kalau lima orang yang mendengar, maka
daya tangkap serta kemampuan untuk menerima lima orang itu berbeda-beda.
Apalagi sekarang yang mendengar sekian banyak orang. Nanti Anda pulang selesai menghadiri
Dhammaclass ini, kalau ditanya di rumah, “Tadi Bhante Pannya cerita apa?” “3
M.” “Apa itu?” “Ya begitulah ‘3 M’.” Dan nanti kalau ada cerita yang lucu-lucu,
‘lha’ itu yang disimpan karena akan diceritakan lagi. Kemampuan mengerti saja
tidak sama bagi tiap orang, apalagi kesiapan menerima. Dalam bahasa Jawa, tidak
bisa di-gebyah uyah. Sepuluh orang tidak mempunyai penerimaan yang sama, oleh
karena itu lebih efektif kalau Guru Agung kita berbicara dengan pendengar yang
lebih kecil jumlahnya—dan Beliau bisa memberikan terapi. Laksana dokter, Beliau
memberikan terapi yang sesuai dengan penyakit pasiennya. Kalau sepuluh orang
diberikan obat yang sama, ya tidak cocok, karena mereka mempunyai penyakit
berbeda-beda.
Apalagi
kalau semuanya hanya diberi vitamin saja. Tentu, penyakit mereka tidak akan
sembuh.
Pada banyak kesempatan, Guru Agung kita
menjelaskan dengan tiga rangkaian, yaitu bukan rangkaian tentang sila,
samadhi, dan pañña; tetapi dana, sila, bhavana
sebagai kebajikan. Dan Beliau sering menggunakan tiga rangkaian ini kalau
Beliau berhadapan dengan umat awam—bukan bhikkhu, bukan orang yang meninggalkan
keduniawian, tetapi orang yang masih hidup di masyarakat, berkeluarga.
Bhavana di sini dapat
disinonimkan dengan samadhi (meditasi).
Hampir semua mengerti dana, sila, bhavana; tetapi saya
akan mengulas kembali secara singkat tentang dana, sila, dan bhavana.
Dana, sila, dan bhavana adalah kebajikan utama yang kalau
diuraikan, maka dari dana, sila, bhavana itu berkembang
menjadi dasa punnakiriyavatthu atau sepuluh macam perbuatan bajik.
Kalau nanti punya catatan buku Dhamma, ada sepuluh perbuatan bajik, nah itu
kalau diringkas menjadi tiga ini: dana,sila, dan bhavana.
1. Dana
Dana
adalah memberi, menolong, membantu. Saudara-saudara kita umat beragama lain
mengatakan beramal dengan materi, dengan nasehat, dengan obat, dengan segala
macam.Penjelasannya tidak hanya sederhana seperti itu. Orang berdana,orang
membantu atau orang menolong ini pun bertingkat-tingkat—pelaksanaannya
bertingkat-tingkat, sesuai dengan kondisi batinnya. Yang umum apa, Bhante?
Beramal sedikit, minta pahala banyak. Itu yang umum di semua agama, termasuk
dalam agama Buddha. Dana sedikit nanti buah karma-nya akan
banyak,berlipat-lipat. Yah, apa gunanya berdana seperti itu? Sebenarnya dia tidak
memberi, tetapi melipatgandakan.
Tetapi,
apakah itu tidak baik? Ya baik, daripada membuat bom.
Meskipun
dia berdana dengan pamrih yang luar biasa, yang kasar sekalipun, misal: ingin
dikenal, ingin disanjung, ingin populer,ingin ada pencalonan dirinya sebagai
ketua, dan sebagainya. Ya masih baik, dia mau memberi, dia tidak mengganggu.
Kecuali kalau
dengan ancaman, itu sudah menjadi kejahatan. Dia tidak menghancurkan, dia hanya
memberi meskipun pamrihnya luar biasa. Pamrih sekarang, pamrih kemudian, pamrih
masuk surge sekalian—itu pamrih-pamrih semua.
Itu
kebaikan? Ya, itu kebaikan, tetapi tidak menjurus pada vimutti ,tidak menjurus
pada kebebasan. Kebajikan, kebaikan, memang benar, tetapi ‘rasa’-nya bukan rasa
Sang Buddha. Karena rasa Guru Agung kita itu hanya satu—seperti laut, kalau
bukan asin maka
bukan air laut, ini air sumur atau air ledeng. Kalau asin ada kemungkinan air
laut, dan air laut selalu asin. Kalau perbuatan baik tidak menjurus pada
kebebasan dari penderitaan, itu bukan ajaran Guru Agung kita. Kebaikan sih
kebaikan, tetapi tidak semua kebaikan termasuk Dhamma.
Lho,
tidak semua kebaikan termasuk Dhamma, Bhante? Ya,hanya kebaikan yang membawa
pada kebebasan, yaitu bebas dari penderitaan, itulah yang termasuk Dhamma.
Kalau berbuat kebaikan sedikit dan mengharapkan pahala banyak itu namanya keserakahan
(lobha). Kalau keserakahannya bertambah, maka penderitaannya pun akan
bertambah.
Karena
penderitaan itu salah satu akarnya adalah keserakahan. Lawan kata dari malam adalah
siang, bersih adalah kotor, keras adalah lunak, tinggi adalah rendah, kaya?
Bukan miskin. Lawan kata kaya adalah serakah.Jadi kalau Anda serakah, masih
mencari, mencari, mencari; itu namanya belum kaya. Kalau sudah tidak mencari
lagi, melepas,melepas, melepas: dia betul-betul kaya. Lho mengapa? Karena dia
tidak mencari lagi. Lha, kalau masih mencari terus khan artinya dia masih
miskin.
Jadi
menurut ajaran Guru Agung kita, berdanalah yang benar. Benar dalam arti membawa
pada kebebasan dari penderitaan. Berdana dengan tujuan melatih diri untuk
melepas, tidak mengharapkan imbalan, buah karma, pahala, balasan, dan
sebagainya. Motivasi kita harus benar. Dari mana Bhante, motivasi itu didapat?
Kognitif. Kalau tidak pernah belajar bagaimana berdana yang benar, bagaimana
dia bisa melakukan perbuatan bajik berdana dengan benar? Meskipun dia berbuat
baik, tidak mengganggu, tidak membunuh, tidak menyakiti ; tetapi dia bisa melakukan
kebajikan itu dengan tidak benar atau dia hanya ikut-ikutan saja dengan yang
lain—kalau tidak mempunyai arah yang benar—sehingga tidak ada motivasi yang benar.Tetapi
dana yang diberikan itu tetap bermanfaat, Bhante?
Ooo,tetap bermanfaat. Sekali lagi daripada berbuat jahat, lebih baik berdana dengan
pamrih yang luar biasa. Itu masih baik,masih ada nilai kebaikannya. Meskipun tidak
membawa pada kebebasan. Kami pernah berbincang-bincang dengan seseorang,
“Bhante, orang menyokong itu kan lebih cepat
lebih baik. Lebih cepat, lebih banyak, lebih baik.” Dia mengatakan seperti
itu dan menambahkan, “Ikhlas, Bhante.”
Saya
mengatakan, “Nanti dulu Pak, ikhlasnya
itu belakangan saja.” “Lho, gimana Bhante, kalau orang itu mau berdana lebih
cepat, lebih banyak, tetapi tidak ikhlas, apakah baik, Bhante?” Baik, daripada
sedikit tetapi tidak ikhlas.
Kalau
saya ditanya, “Bhante kalau berdana
sedikit tetapi tidak ikhlas dibandingkan dengan banyak tidak ikhlas, Bhante pilih
yang mana?” Oo, saya pilih banyak walaupun tidak ikhlas.“Lho, mengapa Bhante?”
Biarin
saja, terusin saja, berdana tidak ikhlas
terusin saja, nanti lama-lama kan jadi ikhlas. Sambil diajari di Dhammaclass ini. Yah, dimulai dari
ti dak ikhlas dulu toh,daripada tidak berdana sama sekali. Kalau karena tidak
ikhlas,lalu tidak jadi menolong, tidak jadi memberi, lha, lebih-lebih lagi. Tidak ada orang yang mendapat
manfaat, dia juga tidak melakukan
kebaikan. Biar saja tidak ikhlas, lati han. Pelan-pelan diberitahu, dikhotbahi, diceramahi, nanti lama-lama akan ikhlas,motivasinya
akan menjadi benar. Anak-anak bisa jalan dimulai dari jatuh dulu, tidak bisa langsung lari. Pelan-pelan seiring dengan fisiknya yang bertambah kuat, belajar
mencari keseimbangan.Naik sepeda saja jatuh berkali-kali. Tidak apa-apa. Kalau
takut jatuh tidak akan bisa naik
sepeda. Sama seperti berdana yang tidak
ikhlas. Tidak apa-apa, terusin saja, lebih banyak lebih baik. Tidak ikhlas, Bhante? Tidak
apa-apa, nanti diajari, lama-lama akan
ikhlas. Daripada tidak berdana sama sekali.
Iya, ya,benar juga! Tidak mungkin orang
‘ujug-ujug’, tiba-tiba bisa berdana
dengan ikhlas. Itu ideal memang, memberi banyak dan ikhlas, ideal. Kalau kita tidak bisa mendapatkan kualitas nomor satu, kualitas di bawahnya tidak apa.
Latihanlah berbuat baik,daripada
kita berbuat jahat—mencuri, menyolong—lebih baik kita menolong walau dengan
seribu satu macam keinginan. Kalau bisa, keinginannya itu dibuang. Karena melatih
melepas itu lebih berharga daripada buah yang nanti dipetik.
Buah
yang dipetik itu juga tidak kekal.
Apa
toh hidup sejahtera, wajah cantik, suara merdu, semua karena buah beramal,
berbuat baik. Termasuk sehat, tampan:apakah akan sehat selamanya? Apakah akan
tampan selamanya? Apakah wajah cantik selamanya? Apakah pangkat selamanya?
Apakah
umur panjang tidak akan mati ? Semua hanyalah sementara. Kita mendapatkan wajah
cantik, makmur, sejahtera,tidak kekurangan, kedudukan tinggi, semua adalah buah
dari amal, dari kebaikan kita. Menurut hukum karma: benar, tetapi apakah itu
kekal? Tidak! Apakah di dunia ini ada yang kekal?
Anda
sudah siap menghadapi ketidakkekalan itu? Belum, karena Anda selalu ingin
mendapat, dapat, dapat, nyari, dapat, dapat,terus nyari, dapat, dapat—kalau tidak
dapat, kecewa; kalau dapat sedikit, kecewa; kalau dapat banyak, bahagia,
senang; terus menerus seperti itulah pola hidup Anda. Kapan Anda belajar untuk
melepas?
Padahal
di dunia ini tidak mungkin orang mendapat terus, jaya terus, sukses terus, maju
terus. Suatu saat harus melepas. Senang tidak senang, Anda harus bisa melepas.
Pergi
ke Yogya melepas keluarga, waktu berangkat saling bertangis-tangisan. Nanti
kalau sudah di Yogya, liburan tengah tahun pulang lagi ke sana, balik lagi ke
Yogya. Mau tidak mau kita harus melepas—melepas suasana, melepas keadaan yang
kita senangi, melepas teman-teman, melepas keinginan-keinginan yang sering kita
turuti ; sekarang di sini tidak bisa dituruti lagi; dan masih banyak lagi.
Kalau Bapak, Ibu, Saudara sudah mempunyai
latihan melepas,maka kalau terjadi perubahan, tidak akan menggetarkan, tidak akan
menggoncangkan, tidak membuat penderitaan. Biar perubahan terjadi, aku tidak
menderita. Karena aku mengerti semua berubah dan aku bisa menerima perubahan.
Aku juga bisa melatih untuk bisa menerima perubahan dengan berdana, ikhlas,
rela. Kalau berdana, menolong, beramal, tidak digunakan sebagai latihan untuk
melepas, lalu untuk apa? Tidak ada gunanya.Guru
Agung kita mengatakan, “Jangan meremehkan perbuatan baik meskipun kecil.”
Karena apabila itu digunakan sebagai sarana latihan yang benar, itu praktik
Dhamma yang benar.
Termasuk memberikan makan kepada seekor anjing. Itu ada nilainya. Jangan
mengatakan, “Apa gunanya sih member makan anjing?” Tentu saja ada gunanya jika
Anda mempunyai pengertian yang cukup, kemudian kesempatan itu Anda gunakan untuk
prakti k pengertian yang sudah Anda punyai, itu akan memberikan manfaat. Ada
yang sering memberikan makan pada anjing yang tidak tahu siapa pemiliknya, yang
dekil anjingnya; mengatakan, “Nanti kalau aku dilahirkan jadi anjing, biar ada yang
kasih makan.” Ada juga yang punya pemikiran seperti itu.Tidak
perlu begitu!! Tetapi masih lebih baik daripada anjingnya disiram dengan air
panas. Masih baik, meskipun berpamrih itu bukan praktik Dhamma yang benar.
2. Sila
Melakukan
kebajikan itu tidak hanya dengan memberi, menolong: dengan materi, makanan,
obat, dan sebagainya; sehingga ada orang yang berpikir kalau tidak memberi, tidak
bisa berbuat baik terhadap orang lain. Ada yang berpikiran seperti itu. Jadi
hanya orang-orang
kaya saja yang mempunyai kewajiban memberi.
Sedangkan
kita ini masih miskin, bagaimana kita mau memberi?
Kita
kan hanya menerima kebaikan, kita belum mampu berbuat kebaikan.
Kebaikan
yang kedua adalah sila, yaitu mengendalikan diri dari perilaku yang buruk,
tidak gampang emosi, tidak mudah naik darah, punya pengendalian diri. Dikatakan
sekarang IQ bukan jaminan untuk sukses. Bukan! Meskipun dia brilian, otaknya
encer, kreatif; tetapi emosinya juga kreatif—dia tidak mudah mengendalikan
emosinya, marah ya marah, pukul meja—orang ini tidak bisa maju, apalagi jadi
pimpinan. Hancur nanti jadinya.Kita
mau mengambil sebagai karyawan saja, nanti dulu. EQ diperlukan, tidak lagi IQ. IQ tidak menjadi jaminan hidup akan sukses.
Orang-orang yang pandai, dan pandai menghancurkan, juga banyak. Pembuat-pembuat
bom yang susah ditangkap itu juga bukan orang-orang yang bodoh, mungkin IQ-nya
luar biasa.
Kalau
Anda sekalian bisa mengendalikan diri, tidak berbuat yang jahat, itu latihan
Dhamma juga. Membebaskan diri kita dari kebencian, dari keserakahan, menuju ke
kebebasan juga. Tetapi untuk tidak berbuat jahat itu juga ada samādāna virati , tekad pengendalian
diri, kemudian ada kesungguhan. Orang tidak bisa menghentikan kejahatan dengan
meminta-minta kepada Yang Maha Kuasa, minta kepada Mahadewa, minta kepada
Bodhisatt va, minta kepada Sang Buddha, “Berikanlah hambamu ini kemampuan
jangan sampai berbuat jahat lagi.” Ya tidak bisa! Kalau Anda tidak mau berbuat
jahat ya harus stop.
Saya
mengumpamakan mobil. Anda mau berhenti , ya harus injak remnya. Kalau tidak
diinjak remnya, ya ti dak mungkin mobilnya berhenti meskipun teriak-teriak.
Mobilnya mau masuk jurang, Anda malah berteriak, “Tolong… tolong….” Injak
remnya!
Kalau remnya
tidak diinjak, akan masuk jurang. Teriakan-teriakan Anda tidak akan bisa
menghentikan mobil. Kalau Anda ingin stop berbuat jahat, supaya tidak mendapat
masalah, ya Anda harus injak rem untuk stop berbuat jahat. Tidak dengan meminta-minta.Sekali
lagi, hanya dengan tekad, dengan kesungguhan, stop kejahatan—tidak berbuat
jahat. Tidak ada jalan lain.
Saya
cerita di beberapa tempat, di Parakan mungkin ya. Kalau di Mendut itu banyak
turis masuk vihara. Ada kentongan seperti bel, tetapi dari kayu. Di dalamnya
ada kayunya, kalau ditarik akan bunyi “Dung…dung...dung....” Anak-anak senang
menarik-narik itu.
Lalu
ada anak orang Barat narik-narik bel itu, hingga jatuh pemukulnya. Ayahnya
dengan susah payah mengembalikan, tetapi sulit karena harus ditali di dalam
genta. Tetapi dia berusaha keras supaya pemukulnya nempel lagi. Anaknya
melihat. Itu merupakan contoh yang baik untuk anaknya bukan? Ooo, kalau
merusakkan itu harus bertanggung-jawab memperbaiki, meskipun tidak sempurna.
Tetapi kalau turis domesti k lain lagi.
Anaknya
pukul-pukul genta dan pemukulnya jatuh, ia lari cepat-cepat,jangan sampai nanti
ketahuan yang punya. Masih mending kalau ditaruh di atas lalu bertemu dengan
penjaga, dan minta maaf kalau anaknya telah menjatuhkan pemukul genta dan juga
mengatakan tidak bisa memperbaiki. Tidak apa-apa kalau seperti itu. Tapi kalau
cepat-cepat lari, lha anaknya kan juga melihat.Oo, kalau merusakkan barang
harus cepat-cepat pergi?!
Banyak
macam kalau cerita untuk itu. Kalau di Singapura mencari taksi itu mesti
mengantri dan semua dapat giliran. Sabar, tidak ada yang desak-desakan. Tetapi
orang yang sama datang di Cengkareng airport, ngantri chek-in tiket pesawat.
Dia ada di tengah-tengah antrian,
langsung nyelonong pindah ke depan sana.
Orang-orang Barat
mengatakan, “Di sini memang selalu begitu!” Kita malu mendengar komentar itu.
Bukankah
itu perbuatan buruk? Jadi perbuatan buruk itu tidak hanya nyolong, korupsi
kelas kakap, berzinah, membunuh.
Apa
yang saya contohkan itu juga merupakan perbuatan yang buruk. Kalau Saudara mau
melakukan hal yang baik, mencegah yang buruk, itu sangat berguna. Membiasakan
kita untuk tidak berbuat buruk, membiasakan kita untuk bertanggung-jawab,jika
salah minta maaf. Sehingga nanti apabila kita melakukan perbuatan yang salah,
lalu kita mau lari, rasanya tidak enak “di sini” (di dalam nurani). Kami pernah
mengantar bhiksu dari Jepang—sekarang
beliau sudah meninggal, yang memberikan patung Buddha putih di Mendut—bersama
dengan temannya melihat candi-candi. Pada waktu selesai melihat candi-candi, kami
hendak kembali naik mobil. Temannya itu sudah mau naik mobil, tapi turun lagi,
cari sana cari sini. Kami tanya, “Cari apa?” “Cari tong sampah”, sahutnya.
Karena dia mau membuang sampah itu secara sembangan, tidak enak. Sopir kami
tertawa,“Lha,
tong sampah sebesar ini kok tidak kelihatan, sekian besar,mobil kita ini di
dalamnya. Halaman ini kan tong sampah. Buat apa cari tong sampah ke mana-mana.”
Dia terbiasa di negaranya untuk tidak buang sampah sembarangan. Kalau kita, biasa
buang sampah sembarangan. Tidak salah, wong kita berada di dalam tong sampah?!
Saudara-saudara, mumpung umur Saudara
belum banyak coba mulai dari kebiasaan baik yang kecil-kecil. Buang sampah tidak
sembarangan; pada saat pergi, listrik-listrik yang tidak digunakan dimati kan.
Saya di kost bayar kok, keluar sebentar listrik kok harus dimati kan? Ya bayar
sih bayar, tetapi nanti menjadi kebiasaan. Kalau Anda sudah biasa begitu sampai
besok, maka Anda tidak akan pernah memati kan listrik kalau tidak terpaksa banget.
Seperti buang sampah sembarangan, AC ti dak berguna tidak dimatikan, apalagi TV
sampai tertidur pun tetap dihidupkan terus. Siapa yang akan nonton televisi
itu? Makhluk halus? Sampai nanti bangun, Oo, apa ini, sinetron semut-semut.
Kalau habis program
kan sinetron semut-semut keluar. Kalau semut-semut sudah keluar baru dimati
kan. Kan itu bukan kejahatan, Bhante? Ya, kelihatannya bukan kejahatan; tetapi
hal-hal yang semacam itu bisa menghancurkan lingkungan, bisa merugikan orang
lain.
Apalagi
kalau nanti Saudara-saudara sudah punya anak, anak Saudara apakah tidak
mencontoh hal-hal yang seperti itu? Lha, kalau saya menjadi bhikkhu bagaimana,
Bhante? Ya,kan punya murid, punya umat. Apa mereka tidak mencontoh nanti nya.
Tetapi di sini tidak biasa, Bhante, orang menyediakan tong sampah. Tidak biasa.
Mau mencari tong sampah di vihara ini juga sulit. Sampahnya bagaimana? Bawa
pulang saja sampahnya! Dikasih snack, diberi minuman, ‘masa’ vihara ini malah
dikasih sampah. Anda tidak perlu membayar di sini. Sudah dapat Dhamma selama
satu sampai dua jam, dapat makanan dan minuman, sampahnya dibawa pulang saja.
Nanti cari tong sampah, baru sampah itu dibuang. Itu kebajikan juga.
3. Bhavana (meditasi)
Saya
tidak akan banyak-banyak membahas meditasi. Cobalah melakukan meditasi yang
sederhana saja, mett a bhavana,mengembangkan cinta kasih. Itu kan perenungan,
Bhante,bukan
vipassana? Iyalah, tidak apa-apa. Perenungan memang—daripada tidak mau
perenungan, vipassana juga tidak mau.
Syukur
mulai latihan memperhati kan nafas (anapanasati ). Umat beragama lain banyak
yang belajar meditasi. Di vihara-vihara kita,kalau ada meditati on course, umat
beragama lain jumlahnya yang paling banyak, umat Buddha tidak pernah menjadi
nomor satu.
Kalau
di Vihara Mendut ada meditasi, yang nomor satu adalah umat Katolik atau Islam.
Kalau tidak Islam, ya Katolik. Buddhis nomor tiga. Kadang-kadang dari dua puluh
atau tiga puluh orang,Buddhis-nya hanya dua atau tiga orang saja, kecuali
meditasi satu minggu pada akhir tahun—umat Buddhisnya paling banyak.Mereka bukan
sekadar mau tahu, mau praktik dengan kesungguhan. Meditasi itulah yang
membersihkan pikiran. Dan kita tahu pikiran itu yang menggerakkan ucapan, tindakan,perbuatan—semua
perilaku kita dimulai dari pikiran kita. Kalau pikiran kita bersih, baik,
otomatis sila kita baik. Tidak perlu berbicara
tentang sila apabila Anda sudah mempunyai latihan meditasi yang baik, menjaga
pikiran dengan kesadaran dengan baik. Dan meditasi bukan wacana, meditasi harus
dilakukan,amat berbeda dengan wacana. Tadi dijelaskan bahwa wacana itu tidak
sekadar mengerti , tetapi juga menerima. Tidak sekadar menerima, tetapi juga
melaksanakan.
Ada
seorang pertapa yang bertapa di tempat yang sepi selama bertahun-tahun. Suatu
hari ada seorang penggembala datang ke tempat pertapa tersebut. Penggembala itu
bertanya, “Bapak sedang apa di sini?”
“Sedang semedi”, sahut sang pertapa.
“Apa semedi itu?” tanya si penggembala
lagi. “Merenungkan,berusaha untuk tahu
ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), tidak ada aku, hanyalah
perpaduan (anatta). Kalau kita bisa mengerti dan melihat itu, kita menjadi
orang suci—bebas dari penderitaan, tidak menderita lagi”, sambung sang
pertapa.
“Berapa lama bapak
bersemedi (meditasi) di sini?” “Kira-kira hampir dua puluh tahun.” Penggembala ini sedikit
nakal, lalu ia mengatakan kepada
pertapa bahwa jenggot yang dimiliki oleh kambingnya
lebih baik dibandingkan dengan jenggot si pertapa.
Spontan
pertapa itu ngamuk, “Apa maksudmu?! Ke
sini Cuma mau mengolok-olok orang tua. Jenggot saya dikatakan lebih jelek
dibandingkan jenggot kambing. Pergi kamu.” Lantas sang penggembala berpikir, “Kok begitu ya? Meditasi selama dua puluh tahun, dikatakan jenggotnya lebih
jelek dibandingkan jenggot kambing
saya langsung ngamuk.”
Sederhana
sekali, sangat sederhana. Kepancing begitu saja langsung ngamuk sang pertapa
itu. Kalau di buku Ajahn Bram‘Membuka Pintu Hati ’ itu kan ada cerita lain
lagi. Ada seorang bhiksu yang merasa sudah mencapai kesucian, dia membuat
syair. Saya tidak ingat persis syair tersebut. Kira-kira bunyinya seperti ini,
“Kalau yang bertentangan
sudah diatasi, maka batin akan menjadi hening.
Batin hening bebas dari
ikatan, bebas dari ikatan adalah kesucian.”
Syair
tersebut diberikan kepada gurunya. Zaman dulu, apabila ada yang mencapai
kesucian, maka membuat syair. Gurunya membaca lalu menambahkan ke dalam
syair
tersebut, “Kalau bebas dari yang
bertentangan kentut, batin tidak terikat kentut, batin menjadi suci kentut,
batin menjadi suci sudah bebas kentut.”
Lalu
syair tersebut dikembalikan kepada muridnya. Ngamuklah sang murid yang membuat
syair itu. “Guru ini kurang ajar, tidak menghargai murid, apa ini, orang sudah susah-susah
bikin syair, keluar dari pencapaian, malah ditulisi dengan kata-kata kentut,
kentut, kentut.” Gurunya tertawa dan mengatakan, “Orang suci kok kalah sama
kentut!” Katanya mengerti anatta, sunyata, tanpa aku; kok dikatakan kentut saja
sudah ngamuk. Jadi kogniti f berbeda sekali, berbeda jauh dengan pelaksanaan.
Jadi
kalau Saudara-saudara mau belajar Dhamma adalah sangat baik. Tidak harus
menjadi rohaniwan - seorang bhikkhu, tetapi yang Anda pelajari ini berguna bagi
Anda sendiri nanti apabila menghadapi masalah. Namun harus mulai praktik dari
sekarang.
Kalau
tidak praktik sekarang, banyak teori nanti malah bingung sendiri. Ada juga saya
menengarai alumni Vidyāsenā sini yang sampai
sekarang bingung terus. Saya bilang mbok kamu jangan window shopping terus.
Window shopping itu, kalau di Malioboro, masuk toko ini ga jadi, masuk toko itu
ga jadi. Padahal mau mencari kain satu potong saja untuk hem; semua toko
dimasuki ga jadi, ga jadi, ga jadi. Sampai malam pulang dan ditanya,
“Sudah beli kain untuk
hemnya?” Belum. “Lha tadi ke mana?” Tadi cuma lihat-lihat. Besok lagi, masuk
toko India, masuk toko Bombay, toko batik, bolak-balik mengulang lagi. Sudah
beli? Belum lagi. Kalau window shopping terus bagaimana?
Praktiklah.Kan
banyak, Bhante, cara bermeditasi bermacam-macam. Kan kita perlu coba-coba dulu. Ya, itu window shopping, tetapi setelah window shopping sebanyak empat atau
lima toko, beli—bawa pulang kainnya.
Kalau ingin mencoba teori ini, Sayadaw ini, Ajahn ini,
Vipassana itu, mencoba, silahkan. Kalau sudah dicoba, ambil salah satu untuk
praktik. Kalau coba-coba terus, ya tidak akan maju. Coba ini, coba itu tidak
jadi; ada Rinpoche datang dicoba,ga jadi; Sayadaw datang coba, ga jadi; Ajahn
ini datang coba, ga jadi.
Ambil
salah satu yang Anda cocok, kemudian berlatih dengan tekun. Tanpa praktik tidak
akan ada manfaat.Saya akan menutup dengan satu cerita. Betapa keyakinan itu
kalau tanpa
prakti k dan tanpa pengertian akan menjadi berbahaya. Tidak hanya membuta.
Membuta saja itu sudah berbahaya,Saudara. Bisa nabrak-nabrak. Iman yang membuta
itu bukan hanya sekadar tidak berharga, tetapi berbahaya!
Ada
seorang pemuja Kongco Kuan Kong—Dewa Kejujuran yang naik kuda, yang menjadi tokoh
kejujuran, keberanian, tidak senang dengan kejahatan, suka menolong. Berbakti
sekali dia,bersembahyang setiap hari, sangat percaya. Suatu hari rumahnya kebanjiran.
Air
semakin naik dan naik. Dia naik ke atas, naik ke atas lagi, sampai tinggal atap
rumahnya yang tidak kebanjiran.Dia naik ke atap. Dia berdoa minta tolong pada
Kongco Kuan Kong untuk
datang menyelamatkannya. “Bhante ini mau menghina Kuang Kong.” Tidak. Jangan
negative thinking dulu. Ikuti cerita ini sampai selesai. Waktu dia sampai di
atap itu ada perahu lewat,penyelamat SAR mengatakan, “Ayo, ayo, ikut. Bahaya ini, air mau naik.” “Tidak,” teriaknya. “Lho
kenapa?” “Kongco Kuan Kong akan datang menyelamatkan saya.” “Wah, ti dak mungkin.
Ayo cepat, ikut saya.” “Tidak, saya punya keyakinan.”
Air
naik terus, dia naik terus, naik lagi
sampai di bumbungan itu. Datang lagi perahu
yang
agak besar. “Ei, ikut, ikut, ikut. Bahaya!
Air di sana sudah naik.” “Ndak, Kongco Kuan Kong akan datang menyelamatkan saya.”
“Orang-orang bilang mati nanti kamu, kalau seperti ini terus!” “Tidak. Saya
punya keyakinan, punya iman.”
Airnya
naik terus sampai dia pegangan ke tiang listrik. Sekarang helicopter yang
datang dan bawa pengeras suara, “Ayo!
Tangkap talinya. Bahaya jika kamu ti dak ambil tali ini.” “Tidak. Saya yakin
Kongco Kuan Kong akan datang menyelamatkan saya”, jawab dia.
Bagaimana
akhir dari keyakinan yang membuta seperti itu? Jatuh dia, kedinginan, kelaparan,
gemetaran, dan mati . Di alam sana dia bertemu dengan Kongco Kuan Kong. Protes
dia, bahwa dia memuja Kwan Kong, ya berarti bertemu dengan Kuan Kong, “Saya
memuja Yang Mulia, tiap
hari, tiam hio pakai teh. Kenapa Kongco tidak menolong saya, sampai saya
kecebur mati tenggelam?”
Kongco
Kuan Kong tersenyum, “Siapa bilang saya
tidak menolong kamu?” “Mana? Kapan?”, tanyanya. “Saya kirim tiga utusan. Yang pertama perahu karet, tetapi kamu
menolak. Kedua perahu agak besar, kamu menolak. Yang ketiga saya mengirim
helikopter,kamu juga menolak. Siapa
bilang saya tidak menolong kamu? Saya mengirim tiga utusan dan semuanya kamu
tolak. Siapa yang salah?”
Itu cerita orang yang tidak memakai pengertian,
yakin,percaya membuta. Saya cerita ini, Bhante Uttamo mendengar dan melanjutkan
ceritanya, karena katanya cerita itu belum selesai dan masih ada lanjutannya. Lanjutan cerita dari Bhante Uttamo,Kongco
Kuan Kong mengatakan, “Bagaimana kudaku
bisa jalan kalau banjir kayak gitu? Kamu tidak pakai otak. Aku kirim perahu karet,
aku kirim perahu agak besar, dan aku kirim helikopter,tetapi kamu menolak. Kamu
pikir aku datang naik kuda? Tidak mungkin!”
Dan
lain-lain, Bhante Uttamo bisa meneruskan sampai bermacam-macam.
Itu
kan cerita rekaan, Bhante. Ya, tetapi kejadian yang mirip-mirip seperti ini
banyak terjadi di masyarakat. Kalau Anda beragama, atau Anda percaya apa
sajalah. Jangan hanya percaya saja, tanpa kognitif, tanpa mengerti , tanpa
belajar, kecewa nanti . Kalau mau ujian, mau ulangan, sembahyang Buddha kan tidak
bisa menolong, lalu mengundang-undang Bodhisattva, engkong,emaknya yang sudah
meninggal. Tidak benar. Di Buddhis tidak ada yang seperti itu.
Metafisis-metafisis seperti itu tidak ada.
Lalu
bagaimana, Bhante? Ya belajar. Kalau Anda belajar, ya Anda siap, tidak was-was.
Sudah belajar tetapi meleset, yah, karma yang lampau. Yang dipelajari tidak
keluar, yang keluar tidak dipelajari. Tidak ada hubungannya dengan tidak
berdoa, atau yang lulus itu doanya banyak. Dalam Buddhis tidak mengenal itu.
Ada persiapan, ada kesungguhan, ada usaha, ada karma baik yang dilakukan;
semuanya akan jalan. Oleh karena itu, mari ‘3 M’: Menerima, Mengerti , dan
Melaksanakan. Atau mengerti , lalu menerima dan melaksanakan.
Terima
kasih.
Kumpulan ceramah Sri Pannyavaro Mahathera
Vidyāsenā Production
Vihāra Vidyāloka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar