Tanggal 28
Februari 2000, ia telah meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Tepatnya
pada pukul 23.09 WIB. Di antara umat Buddha di Indonesia, mungkin cuma sedikit
yang tahu banyak soal kehidupannya. Kebanyakan hanya mengenalnya sebagai
seorang Bhikkhu yang mengepalai Vihãra Ratanavarana Arãmã, Sendang Coyo, Lasem.
Apalagi memang ia jarang sekali 'turun gunung'. Sehingga semakin sulit para
umat untuk mendekatinya.
Beruntunglah,
tidak lama setelah ia meninggal dunia, sempat disusun sebuah buku sederhana
yang menceritakan jejak-jejak kehidupannya selama ini dengan judul
"Selamat Jalan...YM Padhana Sasanadhaja Sudhammo Mahathera". Meskipun
dibuat agak terburu-buru, sehingga ada beberapa hal yang terlewatkan, buku yang
disusun oleh Anagarini Santini itu cukup mampu menggambarkan bagaimana sosok
Bhikkhu yang berusia 62 tahun itu. Sehingga kenangan mengenai almarhum tidak
sirna seiring dengan kepergiannya.
Ia lahir pada
21 April 1938 di Desa Sumenep, Madura. Orang tuanya, Malik dan Saliha,
memberinya nama Busaha Burhanudin. Ia merupakan anak tunggal. Tidak heran orang
tuanya cukup memanjakannya. Meskipun demikian, mereka tetap memperhatikan
pendidikan moral baginya. Berbagai nasehat senantiasa diberikan. Salah satu
yang terus diingatnya adalah "Jangan sampai kamu meminta kepada orang
lain, tetapi memberilah kepada orang lain".
Busaha tumbuh
menjadi anak yang cerdas. Ketertarikannya dengan bidang filosofi telah dimulai
sejak usia muda. Di usianya yang ke-7, misalnya, ia telah membuat sang ayah
pusing dengan berbagai pertanyaannya tentang hal-hal pelik seputar kehidupan.
Sayangnya,
didikan dan cinta kasih dari orang tuanya hanya bisa ia rasakan dalam waktu
yang cukup singkat. Ayah dan ibunya satu persatu meninggal dunia saat ia masih
bersekolah di Sekolah Teknik Menengah (STM). Setelah lulus tahun 1959, Busaha
muda memilih hidup mengembara dari hutan ke hutan yang ada di Pulau Jawa selama
kurang lebih empat setengah tahun. Tujuannya adalah untuk mencari makna
kehidupan. Selama pencariannya itu, berbagai pengalaman, baik manis maupun
pahit, dialaminya. Semuanya dijalani tanpa keluhan. Mengeluh adalah satu hal
yang selalu dihindari selama hidupnya.
Tahun 1964,
setelah keluar dari hutan, ia mulai mengenal Agama Buddha. Di tahun 1972, ia
bertemu dengan (alm.) Y.M. Girirakkhito Mahathera. Rupanya, pertemuan itu
membawa kesan yang mendalam. Tidak lama kemudian, tepatnya 10 November 1972
pukul 10.00 WIB, ia ditahbiskan menjadi Samanera oleh almarhum Bhante Giri di
Surabaya.
Dua tahun
berikutnya, ia diupasampada menjadi Bhikkhu Sudhammo oleh Somdet Phra
Nyanasamvara (Supreme Patriarch of Thailand) di Wat Bovonarives Vihara,
Bangkok, Thailand. Selama di negeri gajah putih itu, ia sempat kuliah di salah
satu universitas selama setahun. Setelah itu ia berguru kepada Ajahn Tate
Dasaramsi. Di antara para Bhikkhu lainnya yang juga berguru di tempat yang
sama, ia terkenal paling berani.
Di tahun 1976
terjadi sebuah peristiwa penting dan bersejarah yang melibatkan dirinya. Pada
23 Oktober 1976, ia bersama (alm.) Y.M. Khemasarano Mahathera, Y.M. Bhikkhu
Aggabalo (sudah lepas jubah dan sekarang dikenal sebagai Cornelis Wowor, M.A.),
Y.M. Bhikkhu Khemiyo (sudah lepas jubah), dan (alm.) Y.M. Bhikkhu Ñanavuttho
mendirikan Sangha Theravãda Indonesia (STI). Pendirian persaudaraan para
Bhikkhu aliran Theravãda itu bertempat di Vihãra Maha Dhammaloka (sekarang
Vihãra Tanah Putih), Semarang.
Selanjutnya,
ia mulai mencari tanah di daerah pegunungan untuk mendirikan sebuah vihara.
Pilihan jatuh pada Desa Sendang Coyo, Lasem. Desa ini terletak di daerah
pegunungan yang tandus dan cukup terjal. Akibatnya tenaga dan dana yang
diperlukan menjadi ekstra besar. Meskipun demikian, ia tidak mengenal rasa
putus asa dan tetap bersemangat. Bahkan beberapa pekerjaan dikerjakannya
sendiri. Seperti mengangkut pasir, memikul kayu, sampai mengaspal jalan
setapak. Setelah bertahun-tahun melewati masa-masa yang sulit, akhirnya ia
dapat mewujudkan impiannya.
Tahun 1985,
Vihãra Ratanavana Arãmã berhasil didirikan dengan ditandai selesainya bangunan
Dhammasala. Seiring dengan keberhasilan itu, berbagai perubahan terjadi. Ia
yang sebelumnya sangat pendiam berubah menjadi humoris. Badannya yang dulunya
kurus menjadi semakin berisi. Tanah yang dulunya tandus perlahan-lahan menjadi
subur. Kesulitan airpun bisa teratasi. Semua itu berkat kegigihannya. Ia kerap
kali berjalan ke gunung-gunung sekitar vihara hanya untuk mencari sumber air.
Agar biaya
perawatan dan pemeliharaan vihãra tidak tergantung pada dana yang diberikan
oleh umat, ia berusaha menciptakan sejumlah pos penggalian dana. Antara lain
dengan penjualan madu hutan dan tanaman-tanaman palawija yang diusahakan oleh
pengurus vihãra. Selain untuk vihãra, hasil penjualan itu dimanfaatkan juga
untuk biaya anak asuh yang berjumlah lebih dari 100 orang.
"Tidak
selamanya bisa mengandalkan dana dari umat. Bila suatu perubahan terjadi,
kemandirian bisa menopang," kata almarhum Bhante Sudhammo kepada pengurus
vihãra mengenai pos penggalian dana itu.
Ketika STI
memperingati ulang tahunnya yang ke-20 pada 23 Oktober 1996, ia dianugrahi
gelar Padhana Sasanadhaja (orang pertama yang mengibarkan bendera sasana) atas
jasa dan pengabdiannya selama menjadi Bhikkhu.
Dalam
mengerjakan suatu pekerjaan, almarhum Bhante Sudhammo acap kali tidak
memperhatikan kondisi kesehatannya. Walaupun dalam keadaan tidak sehat, sering
ia memaksakan untuk tetap berkonsentrasi terhadap pekerjaannya. Dan hal yang
dikuatirkan itu akhirnya terjadi. Pada 14 Desember 1998, ia mengalami serangan
stroke pertama kalinya yang membuatnya harus menjalani perawatan di rumah sakit
di Surabaya dan dilanjutkan ke salah satu rumah sakit di Tangerang.
Setelah
keluar dari rumah sakit, ia sempat beristirahat beberapa bulan di Vipassana
Graha, Lembang. Rupanya ia tidak tahan untuk berlama-lama meninggalkan
lingkungan vihãra yang begitu dicintainya, sehingga sekitar akhir tahun 1999
lalu dikabarkan almarhum sudah kembali ke Lasem. Ia kembali menyusun sejumlah
rencana untuk pengembangan vihãra yang sudah 14 tahun ditempatinya.
Beberapa
bulan kemudian, tepatnya 12 Februari 2000, ia terserang stroke lagi sehingga
harus dilarikan ke Rumah Sakit Adi Husada, Surabaya malam itu juga. Akibat
pembekuan aliran darah di sekitar otak yang menghambat pasokan oksigen ke
otaknya membuatnya harus menjalani perawatan medis secara intensif di ruang
ICU. Beberapa kali operasi dilakukan terhadap dirinya, terutama pada bagian
kepala. Beberapa kali pula ia sempat tidak sadarkan diri secara serius atau
koma. Jelas sakitnya kali ini jauh lebih parah dari sebelumnya.
Rupanya,
serangan stroke kali ini adalah yang terakhir kalinya. Meskipun pada hari-hari
terakhir, kondisinya sempat membaik, namun yang namanya ketidakkekalan bisa
terjadi kapan saja. Dan akhirnya pada 28 Februari 2000 pukul 23.09 WIB, detak
jantungnya berhenti untuk selamanya. Selamat jalan, Bhante Sudhammo!
(dari
berbagai sumber/bch). FOTO: Dok. BuddhistOnline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar