Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera
LATAR BELAKANG
Semakin hari tanggung jawab dan tugas pendidikan orangtua terhadap anak terasa semakin besar. Hal ini dapat terjadi karena di satu sisi, perkembangan dunia khususnya tentang informasi sangatlah luar biasa. Sedangkan di sisi lain, bekal orangtua untuk mendidik anak sangatlah minim. Ledakan arus informasi dapat dilihat dari adanya berbagai siaran TV dari dalam maupun luar negeri yang hampir setiap saat dapat ditonton. Akibatnya, pengetahuan anak sering melampaui orangtuanya. Perkembangan iptek, misalnya, anak dengan gampang dapat menyebutkan dan menanyakan arti istilah “kloning” yang mungkin jarang didengar orangtuanya, apalagi diketahui artinya. Demikian pula dengan adegan ciuman mesra sampai dengan adegan ranjang akan sering terlihat anak di TV. Lebih-lebih lagi bagi remaja yang mempunyai kesempatan memiliki seperangkat komputer yang dapat dihubungkan dengan dunia melalui internet, maka tampilan yang lebih “hot” semakin gampang diperoleh dengan bebas dan cepat.
Sesungguhnya, sebagai bekal mendidik anak, Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188 menyebutkan beberapa tugas orangtua terhadap anak-anaknya antara lain adalah menganjurkan anak berbuat baik, mencegah anak melakukan kejahatan dan memberi kesempatan anak memperoleh pendidikan. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan melalui sekolah saja, melainkan juga pendidikan mental kemoralan. Diharapkan dengan mendapatkan pendidikan yang layak anak mampu membedakan antara perbuatan baik dan jahat. Pengertian perbuatan baik maupun jahat bukan saja menyangkut perbuatan sehari-hari yang kita kenal, seperti halnya berdana – mencuri; menolong – membunuh mahluk hidup, bermeditasi – mabuk-mabukan dan sebagainya. Tetapi, termasuk juga menjaga kesusilaan. Secara lebih khusus lagi, memberikan pendidikan agar seseorang - dalam hal ini - remaja, mampu mempergunakan organ seksual dengan benar. Hal ini jelas sekali apabila kita ingat sila ketiga dari Pancasila Buddhis yaitu tekad untuk melatih diri menghindari perjinahan. Dengan kata lain, perjinahan adalah penyalahgunaan organ seksual.
Anak-anak sejak usia dini hendaknya mulai dikenalkan dengan pendidikan seksual yang sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaan mereka. Memang, kadang orangtua agak sulit dan canggung untuk memulai bersikap terbuka dengan anak-anak khususnya berbicara tentang pendidikan seksual. Padahal, dengan sikap keliru tersebut, anak justru akan berusaha mencari sendiri pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan seksual dari berbagai sumber yang mungkin kurang layak. Akibatnya, pengetahuan yang diperolehnya pun akan setengah-setengah bahkan mungkin keliru sama sekali. Lebih gawat lagi, akhirnya anak ingin mencoba pengetahuan yang serba tanggung itu. Tentu sebagai hasil akhirnya, kembali orangtua yang akan pusing tujuh keliling mengambil sikap menentukan langkah apabila anak lelakinya terbukti menghamili teman sekolahnya; atau sebaliknya, mungkin anak wanita yang masih belum lulus SMU harus berhenti sekolah karena mengandung. Sungguh hal yang memusingkan.
Untuk menghindari hal itulah maka makalah ini disusun. Diharapkan setelah membaca makalah ini orangtua akan memiliki sedikit pedoman untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Memang, keterangan dalam makalah ini tidak diberikan secara rinci karena dalam pelaksanaannya nanti hendaknya disesuaikan dengan situasi setiap keluarga. Perlu diingat di sini bahwa dalam memberikan pendidikan seksual, memang kita tidak dapat menghindari penggunaan istilah yang untuk sebagian orang dianggap jorok. Tetapi hal itu wajar, seperti yang pernah dikatakan oleh George Bernard Shaw: ”Kita tidak diajari untuk berpikir terhormat tentang seks. Akibatnya, kita tidak mempunyai bahasa untuk seks, kecuali yang tidak terhormat”
PEMBAHASAN
Pendidikan seks adalah upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Dengan kata lain, pendidikan seks pada dasarnya merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, serta komitmen agama agar tidak terjadi “penyalahgunaan” organ reproduksi tersebut. Dengan demikian, pendidikan seks ini bisa disebut juga pendidikan kehidupan berkeluarga.
Tujuan pendidikan seksual
1. Keterangan yang disampaikan adalah untuk menerangi bukan untuk merangsang
2. Memberi pengertian tentang konsekuensi dari setiap prilaku seksual
3. Membantu pengambilan keputusan yang matang dalam masalah seksual yang muncul.
Dari tujuan pendidikan seks di atas, dapatlah disusun beberapa topik yang perlu diberikan kepada remaja, yaitu:
1. Mengenal beda dan fungsi organ seksual pria maupun wanita
2. Mengenal resiko penyalahgunaan organ seksual tersebut
3. Memberikan bekal keagamaan sebagai pedoman pergaulan
1. MENGENALKAN FUNGSI DAN BEDA ORGAN SEKS
Dalam memperkenalkan perbedaan dan fungsi organ seksual pria maupun wanita, orangtua pada tahap pertama dapat menggunakan binatang sebagai alat bantu. Ajaklah anak mengamati perbedaan jenis kelamin antara kucing jantan dengan betina, misalnya. Tunjukkanlah perbedaan yang menonjol di antara kedua jenis kelamin. Kemudian, tunjukkan pula kegiatan seksual mereka. Hal ini dapat diperoleh dari gambar, film TV, atau mungkin kita mengajak anak-anak ke kebun binatang.
Apabila anak mulai mengerti perbedaan kelamin yang ada di sekitarnya, mulai kenalkanlah dengan perbedaan yang ada pada manusia. Dalam tahap ini, peranan orangtua sungguh-sungguh amat penting sebab ayah dan ibu sebenarnya mewakili jenis pria dan wanita. Ayah hendaknya mulai menerangkan setahap demi setahap kepada anak lelakinya tentang perkembangan organ seks yang telah dialaminya. Demikian pula hendaknya seorang ibu menerangkan perkembangan dirinya kepada anak wanitanya. Dalam usaha menerangkan ini, orangtua hendaknya mempunyai sedikit bahan bacaan agar keterangan yang diberikan dapat jelas dan terarah. Pembicaraan terbuka dan penuh persahabatan akan sangat membantu membangun suasana positif dalam memberikan pendidikan seks yang masih cukup sensitif dalam masyarakat kita. Jangan timbulkan suasana penuh ketegangan pada anak, santai saja. Ajaklah mereka berdialog. Dengarkanlah juga pengalaman maupun informasi tentang seks yang mereka dapatkan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Apabila informasi yang mereka dengar itu benar, katakanlah benar demikian pula apabila salah, arahkanlah mereka agar tidak tersesat.
2. MENGENALKAN RESIKO PENYALAHGUNAAN ORGAN SEKS
Setelah anak memahami perbedaan fisik antara pria dan wanita, kini orangtua hendaknya secara bijaksana mulai menunjukkan fungsi organ seks tersebut. Organ seks meliputi organ yang ada di luar tubuh, misalnya alat kelamin dan payudara; dan juga yang ada di dalam tubuh, misalnya rahim. Fungsi organ seks sesungguhnya selain digunakan untuk menjalankan berbagai macam aktifitas seksual juga untuk mengandung dan melahirkan. Dalam melaksanakan aktifitas seksual, salah satunya adalah melakukan hubungan seks. Hubungan seks hanya boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang sudah terikat dalam perkawinan. Sebab, sesungguhnya hubungan seks bertujuan untuk:
1. reproduksi (memiliki keturunan)
2. Memperkuat hubungan batin pasangan dan meningkatkan intimitas
3. Memberikan kenikmatan
4. Meningkatkan harga diri
5. Mengendorkan ketegangan
Jelaslah di sini bahwa hubungan seks sebagai sarana coba-coba dan hiburan di antara teman, pacar maupun sembarang lawan jenis adalah keliru! Pengertian ini pantas diingat karena dimasa kini, sering dijumpai remaja dalam masa pacaran telah berani melakukan hubungan seks. Akan tetapi, anehnya masyarakat sekitar sering juga dapat menerima hal semacam ini. Padahal, beberapa waktu yang lalu, apabila terdapat orang yang sedang pacaran ketahuan melakukan hubungan seks maka kejadian itu akan menjadi aib yang sangat memalukan bagi si pelaku maupun keluarganya. Inikah yang disebut kemajuan jaman? Apakah hal ini menunjukkan bahwa tata nilai masyarakat tentang seks sudah mulai berubah? Sesungguhnya, konsep masyarakat tentang seks akan selalu berubah karena memang tidak ada dasar pengambilan pandangan yang jelas, tidak ada kaitan baku yang hakiki. Hal yang dahulu dianggap penyimpangan, sekarang menjadi biasa, homoseksual, penggunaan alat kontrasepsi, misalnya.
Selain itu, penyebab kegiatan seksual pra nikah semakin banyak adalah karena:
1. Makin mundurnya rata-rata usia kawin sehingga desakan seks semakin berlanjut
2. Peralatan KB yang mudah didapat
3. Paling penting, pergeseran konsep cinta dari self-sacrifice (pengorbanan diri) menjadi self-service (melayani dan memuaskan diri sendiri).
4. Masyarakat makin permissive (mengijinkan) terhadap perilaku ini karena mereka pun kebanyakan sudah masuk dalam kelompok self service tersebut.
Hasil penelitian oleh Liu Dalin dari Pusat Penelitian Sosiologi Seks, Shanghai mengungkapkan bahwa 86 % masyarakat kota dapat menerima seks pra nikah walaupun mayoritas responden masih menganggap keperawanan adalah milik wanita yang paling berharga untuk dibawa ke perkawinan.
5. Tekanan dari sesama teman atau pasangannya sendiri:
“Kalau engkau cinta betul padaku, buktikanlah.”
“Jangan ketinggalan jaman, jadi manusia purba.”
6. Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kekaburan remaja akan cinta dan seks.
“Saya melakukannya sebab ingin ia mencintai saya.”
“Saya melakukannya sebab saya mencintainya.”
7. Remaja dewasa ini cenderung memberontak terhadap aturan-aturan orangtua, termasuk seks sebagai buah terlarang
8. Rasa ingin tahu dan penasaran akibat pemberitaan yang merangsang atau yang dibesar-besarkan di media massa, internet dlsb. Dalam suasana penasaran akan misteri seks, para remaja pun melakukan ‘riset’ nya sendiri-sendiri.
Meskipun dewasa ini kegiatan seksual pranikah hampir menjadi hal yang wajar, bukan berarti perbuatan ini diperbolehkan dan aman dilakukan, apalagi oleh para remaja. Ada beberapa konsekuensi logis yang mungkin diperoleh si pelaku. Konsekuensi pertama yaitu adanya perubahan yang dirasakan si pelaku pada dirinya sendiri. Perubahan ini meliputi perubahan secara fisik maupun mental. Secara fisik, si pelaku mungkin dapat terkena beberapa jenis penyakit yang berhubungan dengan kegiatan seksual. Bahkan ada kemungkinan kejangkitan penyakit AIDS yang hingga saat ini masih belum dapat diketemukan obat penyembuhnya. Atau, untuk remaja putri, resiko kehamilan sering harus ditanggung sendiri karena ditinggal si pacar setelah mengetahui kehamilannya. Sedangkan secara mental, si pelaku akan sering dibayangi dengan rasa bersalah, malu dan juga rendah diri karena merasa dirinya telah ternoda. Perasaan ini akan muncul dalam diri seseorang yang memang memiliki sedikit kemoralan. Bila tidak memiliki kemoralan sama sekali, mungkin mereka malah bangga dengan “prestasi” penyakit kelamin yang dimilikinya ataupun kehamilan semasa usia remaja ini. Sedangkan untuk mereka yang bermoral, jelas perbuatan yang melanggar sila ke tiga dalam Pancasila Buddhis ini tidak akan ada di dalam kamus kehidupannya.
Selain berpengaruh untuk si pelaku, hubungan seksual pra nikah juga dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan tempat si pelaku berada. Lingkungan pertama adalah orangtua dan keluarga. Mereka, paling tidak, akan malu mempunyai anak yang dipandang kurang bermoral tersebut. Lingkungan yang lain adalah para teman yang mungkin akan mencemoohnya dan bahkan, mengucilkannya.
3. MEMBERIKAN BEKAL KEAGAMAAN
Agama, dalam hal ini Agama Buddha mengajarkan Perbuatan Benar sebagai salah satu dari Jalan Mulia Beruas Delapan (Majjhima Nikaya I, 151), jadi pasti ada pedoman agar para generasi muda tidak gampang terjerumus oleh dampak negatif kemajuan jaman. Pedoman ini tampak jelas dalam peraturan pelaksanaan Pancasila Buddhis (Anguttara Nikaya III, 203). Pancasila Buddhis terdiri dari tekad untuk melatih menghindari pembunuhan serta penganiayaan, pencurian, perjinahan (pelanggaran kesusilaan), kebohongan dan mabuk-mabukan.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa perjinahan adalah merupakan penyalahgunaan organ seks. Adapun syarat suatu perbuatan disebut sebagai pelanggaran kesusilaan adalah:
1. Orang yang tidak pantas dikunjungi / obyek perjinahan
2. Niat melakukan hubungan seksual dengannya
3. Usaha melakukan hubungan seks
4. Terjadi hubungan seks
Berkenaan dengan perjinahan, Sang Buddha menjelaskan bahwa salah satu dari sepuluh cara perbuatan baik (Digha Nikaya II, 322; Digha Nikaya III, 269; Majjhima Nikaya I, 287) adalah: tidak melakukan perjinahan. Sebaliknya salah satu dari sepuluh perbuatan buruk (Digha Nikaya II, 320; Digha Nikaya III, 269; Majjhima Nikaya I, 286) adalah: melakukan perjinahan
Sang Buddha menganjurkan menghindari perjinahan karena perbuatan itu akan menimbulkan akibat yang akan merugikan si pelaku maupun lingkungannya. Salah satu uraian Sang Buddha tentang hal ini terdapat dalam Khuddaka Nikaya, Sutta Nipatta 18, Parabhava Sutta, 18, bahwa:
Barangsiapa tidak puas dengan istrinya sendiri, Terlihat bersama-sama dengan para pelacur dan istri-istri orang lain Inilah sebab musabab dari kemerosotan
Lebih lanjut dalam Anguttara Nikaya IV, 287, Sang Buddha menguraikan bahwa salah satu sebab yang dapat membawa keruntuhan bagi seseorang (Apãyamukha) adalah menggoda wanita.
Bahkan akibat buruk ini tidak hanya dalam kehidupan ini saja, melainkan juga dalam kehidupan yang akan datang, disebutkan bahwa:
Perjinahan, melakukan sendiri, menganjurkan, mengijinkan, ini membawa orang terlahir di alam neraka, di alam binatang, di alam setan; atau sekurang-kurangnya menjadikan orang itu akan dimusuhi oleh lingkungannya.
(Anguttara Nikaya VII, 4:4)
KESIMPULAN
Perkembangan teknologi jelas tidak akan pernah dapat dibendung oleh siapapun juga. Orangtua sebaiknya selain mengawasi perkembangan anak-anaknya, hendaknya juga dapat memberikan pendidikan sebagai pedoman yang jelas agar mereka memiliki kemantapan dalam menapaki kehidupan ini. Pendidikan seks perlu diberikan kepada para remaja sejak usia dini agar mereka dapat mengerti manfaat dan akibat dari penyalahgunaan organ seks mereka. Namun dari semua nasehat, remaja hendaknya diberi bekal moral agar dapat mandiri menghadapi dampak negatif gelombang pergaulan. Hal ini disebabkan kerena orangtua jelas tidak mampu mengawasi anaknya setiap saat. Anak suatu ketika harus dibiarkan mandiri. Bekal moral itu berupa petunjuk Sang Buddha yang terdapat dalam Anguttara Nikaya I, 51:
Hiri : Rasa malu berbuat jahat
Ottappa : Rasa takut akibat perbuatan jahat
Dengan tumbuhnya rasa malu dan takut melakukan perbuatan yang salah, anak akan selalu berusaha menghindari perbuatan keliru di mana pun ia berada. Pancasila Buddhis akan dapat dilaksanakan dengan baik di depan orangtua maupun apabila anak jauh dari orangtua. Sesungguhnya Sang Buddha telah bersabda dalam Khuddaka Nikaya, Jataka, 1048 bahwa tanpa pegetahuan dan tanpa belajar peraturan Vinaya, manusia niscaya akan menempuh kehidupan seperti kerbau buta di tengah rimba.
[ Dikutip dari Buku Dewasa dalam Dhamma, September 1998 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar