Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya I
Oleh : Tim Penerjemah Tripitaka
Penerbit : Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta, 1992
Pada suatu ketika Sang Bhagava tinggal di Savatthi di Jetavana, di Taman Anathapindika.
2. Kemudian pada suatu pagi, sejumlah bhikkhu berpakaian, mengambil mangkuk dan jubah luarnya, mereka pergi berpindapata ke Savatthi.
3. Lalu mereka berpikir: “Masih terlalu pagi untuk berpindapata di Savatthi; bagaimana bila kita pergi ke Taman Pertapa Sekte Lain?”
4. Karenanya mereka menuju ke Taman Pertapa Sekte Lain dan saling bertukar salam dengan Pertapa Sekte Lain; setelah bercakap-cakap dengan sopan dan bersahabat, mereka duduk di satu sisi. Setelah itu, para pertapa tersebut berkata kepada mereka:
5. “Teman-teman, Pertapa Gotama menguasai pengetahuan lengkap tentang nafsu-nafsu indera dan kami pun demikian; Pertapa Gotama menguasai pengetahuan tentang bentuk dan kami pun demikian; Pertapa Gotama menguasai pengetahuan tentang perasaan-perasaan dan kami pun demikian. Lalu apa selisihnya, apa perbedaan antara ajaran-ajaran Pertapa Gotama berupa Dhamma dengan ajaran kami, antara pesan-pesan Beliau dengan kami?”
6. Kemudian tanpa menyetujui atau menyangkal kata-kata ini, para bhikkhu berdiri dan meninggalkan tempatnya, (berpikir) “Kami akan mengetahui arti dari kata-kata ini bila Sang Bhagava hadir.”
7. Ketika mereka selesai berpindapata di Savatthi dan kembali sesudah selesai bersantap, mereka menemui Sang Bhagava. Sesudah memberi hormat kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi. Kemudian mereka menceritakan pada Sang Bhagava apa yang terjadi.
8. “Para bhikkhu, pertapa-pertapa dari sekte-sekte lain yang berkata demikian haruslah ditanyai begini: ‘Tetapi teman-teman, apakah kegembiraan, apakah bahaya dan apakah pembebasan, dalam masalah nafsu-nafsu indera? Apakah kegembiraan, apakah bahaya dan apakah pembebasan dalam masalah bentuk? Apakah kegembiraan, apakah bahaya dan apakah pembebasan dalam masalah perasaan-perasaan?’ Ditanya demikian para pertapa sekte lain akan gagal menjelaskan hal ini, bahkan mereka akan mengalami berbagai kesulitan. Mengapa? Karena ini bukan bidang mereka. Para bhikkhu, tidak Kulihat seorangpun di dunia ini, dengan para dewa, Mara dan Brahmananya, dalam generasi ini dengan para pertapa dan para brahmananya, dengan para raja dan para prajuritnya, yang dapat memberikan jawaban memuaskan atas pertanyaan ini, kecuali seorang Tathagata atau pengikut Tathagata, atau seorang yang mempelajari hal itu dari (sumber) tersebut.
(Nafsu Indera)
9. (i) Lalu apakah kegembiraan dalam masalah nafsu-nafsu indera? Para bhikkhu, ada lima saluran dari nafsu indera. Apakah kelimanya? Bentuk-bentuk dikenal melalui mata yang diharapkan, diinginkan, disetujui dan disukai, dihubungkan dengan nafsu indera dan dibangkitkan oleh hawa nafsu. Suara dikenal melalui telinga …. Bau-bauan dikenal melalui hidung …. Rasa dikenal melalui lidah …. Sentuhan dikenal melalui badan yang diharapkan, diinginkan, disetujui dan disukai, dihubungkan dengan nafsu indera dan dibangkitkan oleh nafsu. Ini adalah lima saluran dari nafsu indera.
Kenikmatan dan kegembiraan yang timbul pada lima saluran nafsu indera adalah kesenangan dalam masalah indera.
10. (ii) Lalu apakah bahaya dalam masalah nafsu-nafsu indera? Begini para bhikkhu, karena seorang anggota masyarakat dituntut mencari penghidupan, apakah itu memeriksa, membukukan, menghitung, menanam, berdagang, beternak, memanah, sebagai prajurit, atau apa saja tuntutan itu, ia harus menghadapi dingin, ia harus menghadapi panas, ia diganggu oleh nyamuk dan lalat, angin dan matahari dan binatang melata, menanggung risiko mati karena lapar dan haus.
Bahaya dalam masalah nafsu indera, berupa tumpukan penderitaan yang tampak di sini dan sekarang juga, indera yang menimbulkannya, nafsu indera sumbernya, nafsu indera sebagai penyebabnya, yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera.
11. Bila tidak ada harta yang didapat oleh anggota masyarakat itu, ketika ia bekerja, berjuang dan berusaha demikian, ia menderita, sedih dan menyesal, memukul dadanya, ia menangis sampai menjerit-jerit, (meratapi) ‘Pekerjaanku sia-sia, pekerjaanku tak ada hasilnya!’
Bahaya ini juga dalam hal nafsu indera … yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera.
12. Bila harta didapat oleh anggota masyarakat itu, ketika ia bekerja, berjuang dan berusaha, ia mengalami sakit dan ketakutan dalam melindungi hartanya: ‘Bagaimana supaya baik para raja ataupun para pencuri tidak mengambil harta ini ataupun kebakaran memusnahkannya ataupun banjir menghanyutkannya atau ahli warisnya yang mendendam merebutnya.’ Lalu sewaktu ia menjaga dan melindungi hartanya, para raja atau para pencuri merebutnya atau api membakarnya atau banjir menghanyutkannya atau ahli waris yang mendendam merebutnya. Lalu ia menderita, takut dan mengeluh, memukul dadanya dan menangis sampai menjerit-jerit, (meratapi) ‘Apa yang telah kumiliki kini tiada lagi.’
Bahaya ini juga dalam hal nafsu indera … yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera.
13. Lagi dengan nafsu indera yang menimbulkannya, nafsu indera sebagai sumbernya, nafsu indera sebagai penyebabnya, yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera, para raja berselisih dengan para raja, para prajurit dengan para prajurit, para pertapa dengan pertapa, para perumah-tangga dengan para perumah-tangga, ibu dengan anak, anak dengan ibu, ayah dengan anak, anak dengan ayah, saudara laki-laki dengan saudara laki-laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, teman dengan teman. Lalu dalam perselisihan, persengketaan dan pertengkaran itu, mereka menyerang satu sama lain dengan tinju atau pentungan atau tongkat atau dengan pisau, di mana mereka mengalami kematian dan penderitaan hebat.
Bahaya ini juga dalam hal nafsu indera … yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera.
14. Lagi dengan nafsu-nafsu indera menimbulkannya … (laki-laki) menghunus pedang, memakai perisai dan pelindung dada dan kotak tempat anak panah dan mereka bertempur masal dalam dua kelompok dengan panah-panah dan tombak-tombak beterbangan dan pedang-pedang berkelebatan; dan mereka terluka oleh panah-panah dan tombak-tombak itu, kepala mereka terpancung oleh pedang-pedang, di mana mereka mengalami kematian atau penderitaan hebat.
Bahaya ini juga dalam hal nafsu indera … yang menyebabkannya hanyalah nafsu-nafsu indera.
15. Lagi dengan nafsu indera yang menimbulkannya … (laki-laki) menghunus pedang, memakai perisai dan pelindung dada dan kotak tempat anak panah, mereka memperkuat serangan, dengan panah-panah dan tombak-tombak beterbangan, pedang-pedang berkelebatan; dan mereka terluka oleh panah-panah dan tombak-tombak itu. Tersiram oleh cairan mendidih, dihantam beban berat, kepala mereka terpancung oleh pedang, di mana mereka mengalami kematian dan penderitaan hebat.
Bahaya ini juga dalam hal nafsu indera … yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera.
16. Lagi dengan nafsu indera yang menimbulkannya … (laki-laki) melanggar hukum, mencuri, menjadi bandit, merampok di jalan raya, berzina dengan isteri orang lain; sehingga bila tertangkap, raja menjatuhkan berbagai macam hukuman bagi mereka. Mereka dilecut, dipukul dengan tongkat, dipukul dengan gada, tangan-tangan mereka dipotong, kaki-kaki mereka dipotong, tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dipotong, hidung mereka dipotong, mereka menghadapi kuali panas, pisau cukur tajam, parang, kalungan benda panas, tangan yang babak belur, pisau rumput; gonggongan anjing, tandukan rusa, penggantung daging, lempengan logam panas, cairan racun, jarum tajam, mereka diputar-putar dan mereka disiram minyak mendidih, dicabik-cabik oleh anjing, kepala mereka dipancung dengan pedang, yang karenanya mereka mengalami kematian atau penderitaan hebat.
Bahaya ini juga dalam hal nafsu indera … yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera.
17. Lagi dengan nafsu indera yang menimbulkannya, nafsu indera sebagai sumbernya, nafsu indera sebagai penyebabnya, hanya nafsu indera yang menimbulkannya, orang memuaskan diri dengan melakukan perbuatan yang tidak benar melalui badan jasmani, perkataan dan pikiran; pada saat jasmaninya hancur sesudah kematian, mereka muncul kembali dalam keadaan kekurangan, di tempat yang menyedihkan, dalam kehancuran dan bahkan di neraka. Bahaya dalam hal nafsu indera ini, bentuk dari penderitaan pada kehidupan mendatang, ditimbulkan oleh nafsu indera, nafsu indera sebagai sumbernya, nafsu indera sebagai penyebabnya, yang menimbulkannya hanyalah nafsu indera.
18. (iii) Lalu apakah pembebasan dalam masalah nafsu-nafsu indera? Adalah penghapusan nafsu-nafsu keinginan, meninggalkan nafsu-nafsu keinginan, untuk kesenangan indera. Ini adalah pembebasan dalam masalah nafsu-nafsu indera.
19. Bahwasanya para pertapa dan para brahmana yang tidak mengerti sebagaimana mestinya, kegembiraan sebagai kegembiraan, bahaya sebagai bahaya, pembebasan sebagai pembebasan, dalam masalah nafsu-nafsu indera, dapat memahami dengan benar atau mengajarkan kepada orang lain sehingga dapat memahami dengan benar nafsu-nafsu indera adalah tidak mungkin.
Bahwasanya para petapa dan para brahmana yang mengerti sebagaimana mestinya, kegembiraan sebagai kegembiraan, bahaya sebagai bahaya, pembebasan sebagai pembebasan, dalam masalah nafsu-nafsu indera, dapat memahami dengan benar atau mengajarkan kepada orang lain sehingga dapat rnemahami dengan benar nafsu-nafsu indera adalah mungkin.
(Bentuk)
20. (i) Lalu apakah kegembiraan dalam masalah bentuk? Katakanlah ada seorang gadis dari kasta Ksatria, Brahmana atau Sudra, pada usia limabelas atau enam belas, tidak terlalu tinggi atau pendek, tak terlalu kurus atau gemuk, tak terlalu hitam atau putih, bukankah kecantikan dan kejelitaannya sedang mencapai puncaknya?”
“Betul, Bhante.”
“Kenikmatan dan kegembiraan yang timbul dari kecantikan dan kejelitaan adalah kegembiraan dalam masalah bentuk.
21. (ii) Lalu apakah bahaya dalam masalah bentuk? Kemudian seorang melihat wanita yang sama pada usia delapan puluh, sembilan puluh atau seratus, tua, terbungkuk-bungkuk, memakai tongkat, lemah, kemudaannya hilang, giginya tanggal, rambutnya putih, rambutnya jarang, botak, berkerut-kerut, kulit bernoda. Bagaimana engkau membayangkan hal ini para bhikkhu, tidakkah kecantikan dan kejelitaannya yang dulu hilang dan bahaya menjadi nyata?”
“Betul, Bhante.”
“Para bhikkhu, ini adalah bahaya dalam masalah bentuk.
22. Berikutnya, seorang melihat wanita yang sama ini, susah, menderita dan sakit tua, terbaring menjijikkan di kotoran dan kencingnya sendiri, diangkat dan didudukkan oleh orang lain. Bagaimana engkau membayangkan hal ini para bhikkhu, tidakkah kecantikan dan kejelitaannya yang dulu hilang dan bahaya menjadi nyata?”
“Betul, Bhante.”
“Para bhikkhu, ini juga merupakan bahaya dalam masalah bentuk.
23. Berikutnya, seorang melihat wanita yang sama sebagai mayat dilempar di tanah kuburan, sesudah satu hari, dua hari, tiga hari meninggal, kembung, lebam, mengeluarkan cairan. Bagaimana engkau membayangkan hal ini, para bhikkhu, tidakkah kecantikan dan kejelitaannya yang dulu hilang dan bahaya menjadi nyata?”
“Betul, Bhante.”
“Para bhikkhu, ini juga merupakan bahaya dalam masalah bentuk.
24. Berikutnya, seorang mungkin melihat wanita yang sama sebagai mayat yang dilempar ke tanah kuburan, dicabik-cabik oleh burung-burung gagak, burung-burung elang, burung-burung pemakan bangkai, anjing-anjing, serigala-serigala dan bermacam-macam cacing. Bagaimana engkau membayangkan hal ini …? … bahaya dalam masalah bentuk.
25. ‘… sebuah tengkorak dengan daging dan darah yang melekat karena adanya otot-otot …’
26. ‘… sebuah tengkorak tanpa daging, berlumuran darah dan melekat karena adanya otot-otot …’
27. ‘… sebuah tengkorak tanpa daging atau darah dan melekat karena adanya otot-otot …’
28. ‘… tulang-tulang tanpa otot-otot, berserakaan di segala arah, di sini tulang tangan, di sana tulang kaki, di sana tulang kering, di sana tulang paha, di sana tulang belakang, di sana tulang tengkorak kepala …’
29. ‘ … tulang-tulang berwarna putih, warna kulit kerang …’
30. ‘… tulang-tulang tertimbun, lebih dari satu tahun …’
31. Berikutnya, seorang mungkin melihat wanita yang sama sebagai suatu mayat dilempar di tanah kuburan; tulang-tulang membusuk dan hancur jadi debu. Bagaimana engkau membayangkan hal ini para bhikkhu, tidakkah kecantikan dan kejelitaannya yang dulu hilang dan bahaya menjadi nyata?”
“Betul, Bhante.”
“Para bhikkhu, ini juga merupakan bahaya dalam masalah bentuk.
32. (iii) Lalu bagaimanakah pembebasan dari masalah ini? Adalah penghapusan nafsu-nafsu keinginan, meninggalkan nafsu keinginan terhadap suatu bentuk.
Inilah pembebasan dalam masalah bentuk.
33. Bahwasanya para pertapa dan para brahmana yang tidak mengerti, sebagaimana mestinya, kegembiraan sebagai kegembiraan, bahaya sebagai bahaya, pembebasan sebagai pembebasan, dalam masalah bentuk, dapat memahami dengan benar atau mengajarkan kepada orang lain sehingga dapat memahami dengan benar masalah bentuk adalah tidak mungkin.
(Perasaan-perasaan)
34. (i) Lalu apakah kegembiraan dalam hal perasaan-perasaan? Begini para bhikkhu, menahan dari nafsu-nafsu keinginan, menjauhkan diri dari dhamma yang merugikan, seorang bhikkhu memasuki dan tinggal dalam jhana pertama disertai penempatan pikiran dan pertahanan pikiran, dengan kebahagiaan dan kenikmatan yang timbul dari menahan diri.
Pada saat itu, ia tidak memilih antara kesusahan dirinya, atau kesusahan orang lain, atau kedua-duanya. Pada saat itu yang ia rasakan adalah perasaan bebas dari penderitaan batin. Kegembiraan dalam masalah yang terpenting adalah bebas dari penderitaan batin, Kukatakan.
35. Berikutnya, dengan terus-menerus menggunakan ketekunan, seorang bhikkhu memasuki dan tinggal dalam jhana yang kedua, yang menimbulkan kepercayaan diri dan pemusatan pikiran tanpa ketekunan awal dan berlanjut dengan kebahagiaan dan kenikmatan yang timbul dari pemusatan pikiran.
Pada saat itu … bebas dari penderitaan batin, Kukatakan.
36. Dengan melemahkan kebahagiaan seorang bhikkhu tinggal dalam ketenangan batin, perhatian dan kesadaran penuh, merasakan kenikmatan dengan jasmaninya, ia memasuki dan tinggal dalam jhana ketiga, tentang hal mana orang-orang suci menyatakan: ‘Ia yang mempunyai ketenangan batin dan perhatian penuh, mendapatkan kenikmatan berdiam di alam jhana.’
Pada saat itu … bebas dari penderitaan batin, Kukatakan.
37. Dengan meninggalkan kenikmatan dan rasa sakit dan lenyapnya rasa suka dan duka, seorang bhikkhu memasuki dan tinggal dalam jhana keempat, di mana tidak ada lagi rasa sakit dan nikmat dan mendapatkan kejernihan pikiran yang disebabkan ketenangan batin.
Pada saat seperti itu ia tidak memilih antara kesusahan dirinya, atau kesusahan orang lain, atau kedua-duanya. Pada saat itu yang ia rasakan adalah perasaan bebas dari penderitaan batin. Kegembiraan dalam masalah perasaan yang terpenting adalah bebas dari penderitaan batin, Kukatakan.
38. (ii) Lalu, apakah bahaya dalam masalah perasaan-perasaan? Perasaan-perasaan tidaklah kekal, menyakitkan dan tidak terpisahkan dari perubahan.
39. (iii) Lalu, apakah pembebasan dalam masalah perasaan-perasaan? Adalah menghilangkan nafsu keinginan, meninggalkan nafsu keinginan, terhadap masalah perasaan-perasaan.
Inilah pembebasan dalam masalah perasaan-perasaan.
40. Bahwasanya para pertapa dan para brahmana yang tidak mengerti, sebagaimana mestinya, kegembiraan sebagai kegembiraan, bahaya sebagai bahaya, pembebasan sebagai pembebasan, dalam masalah perasaan-perasaan dapat memahami dengan benar atau mengajarkan kepada orang lain sehingga dapat memahami dengan benar perasaan-perasaan adalah tidak mungkin.
Bahwasanya para pertapa dan para brahmana yang mengerti, sebagaimana mestinya, kegembiraan sebagai kegembiraan, bahaya sebagai bahaya, pembebasan sebagai pembebasan, dalam masalah pembebasan, dapat memahami dengan benar atau mengajarkan kepada orang lain sehingga dapat memahami dengan benar perasaan-perasaan adalah mungkin.”
Itulah yang dikatakan Sang Bhagava. Para bhikkhu merasa puas dan senang dengan kata-kata Sang Bhagava.
sumber : www.samaggi-phala.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar