Rabu, 03 Oktober 2012

19.DVEDHAVITAKKA SUTTA



Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997 

1. Demikianlah saya dengar : Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Vihara milik Anathapindika, Savatthi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu : “Para bhikkhu.”"Ya, Bhante,” jawab mereka.Selanjutnya, Sang Bhagava berkata :

2. “Para bhikkhu, sebelum saya mencapai penerangan sempurna, ketika saya masih seorang Bodhisatva yang belum mencapai penerangan sempurna, terpikir olehku : ‘Seandainya saya membagi pikiranku menjadi dua bagian?’ Kemudian aku mulai menerapkan satu sisi pemikiran dengan keinginan-keinginan nafsu (kama), berpikir dengan kemauan jahat (byapada) serta berpikir dengan kekejaman (vihimsa), dan aku menerapkan sisi pemikiran yang lain dengan meninggalkan pemuasan nafsu indera (nekhamma), berpikir tanpa kemauan jahat (abyapada) serta berpikir tanpa kekejaman (avihimsa).

3. “Sementara saya hidup seperti itu, rajin, tekun dengan keteguhan hati, sebuah pikiran keinginan nafsu (kama) muncul kepadaku. Saya mengerti : ‘Pikiran keinginan nafsu muncul padaku. Hal ini mengarah pada penderitaanku, penderitaan orang lain dan penderitaan kedua pihak; hal ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana.’ Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku sendiri,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan kedua pihak,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana,’ hal itu mereda dalam diriku. Bilamana ada pikiran keinginan nafsu muncul dalam diriku, saya meninggalkannya, memindahkannya dan melenyapkannya.

4. “Sementara saya hidup seperti itu, rajin, tekun dengan keteguhan hati, sebuah pikiran kemauan jahat (vyapada) muncul padaku. Saya mengerti: ‘Pikiran kemauan jahat muncul padaku. Hal ini mengarah pada penderitaanku, penderitaan orang lain dan penderitaan kedua pihak; hal ini menghambat kebijaksanan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana.’ Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku sendiri,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan kedua pihak,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana,’ hal itu mereda dalam diriku. Bilamana ada pemikiran kemauan jahat muncul dalam diriku, saya meninggalkannya, memindahkannya dan melenyapkannya.

5. “Sementara saya hidup seperti itu, rajin, tekun dengan keteguhan hati, sebuah pikiran kejam (vihimsa) muncul padaku. Saya mengerti: ‘Pikiran kejam muncul padaku. Hal ini mengarah pada penderitaanku, penderitaan orang lain dan penderitaan kedua pihak; hal ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana.’ Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaanku sendiri,’ hal itu mereda dalam diriku; Ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan orang lain,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini mengarah pada penderitaan kedua pihak,’ hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: ‘Ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana,’ hal itu mereda dalam diriku. Bilamana ada pikiran kejam muncul dalam diriku, saya meninggalkannya, memindahkannya dan melenyapkannya.

6. “Para bhikkhu, apapun yang sering dipikir atau direnungkan oleh seorang bhikkhu, itu akan menjadi kecenderungan pikirannya. Bilamana ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran nafsu indera, (berarti) ia telah meninggalkan ‘pikiran pemuasan nafsu indera’ (nekkhamma), mengembangkan pikiran keinginan nafsu, dan pikirannya cenderung pada pikiran keinginan nafsu. Bilamana ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran kemauan jahat (byapada), (berarti) ia telah meninggalkan ‘pikiran tanpa kemauan jahat (abyapada)’, mengembangkan pikiran keinginan nafsu, dan pikirannya cenderung pada pikiran kemauan jahat. Bilamana ia sering memikirkan dan merenungkan pikiran kejam (vihimsa), (berarti) ia telah meninggalkan ‘pikiran tanpa kekejaman (avihimsa)’, mengembangkan pikiran keinginan nafsu, dan pikirannya cenderung pada pikiran kejam.

7. “Para bhikkhu, itu seperti pada akhir bulan musim-hujan, di musim gugur ketika hasil panen itu menjadi matang, seorang gembala akan menjaga sapi-sapinya sebidang tanah yang sempit di tengah-tengah tanaman yang akan dipanen, dan akan memukulkan tongkat di punggung atau di sisi tubuh mereka, mengendalikan serta memeriksa mereka. Mengapa hal itu dilakukan? Para bhikkhu, sebab ia mengetahui bahaya pembantaian, pengurungan, kehilangan atau celaan, bila (sapi-sapi) itu makan buah yang akan dipanen itu. Demikian pula, saya melihat kesalahan, keburukan dan kekotoran dalam pikiran buruk, serta manfaat yang muncul dari kesucian pikiran yang ‘meninggalkan pemuasan nafsu’ (nekkhamma).

8. “Para bhikkhu, sementara saya rajin, tekun dengan keteguhan hati, ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu’ (nekkhamavitakka) muncul dan saya mengerti: ‘Pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu. Pikiran ini tidak mencelakakan saya, tidak mencelakakan orang lain, juga tidak mencelakakan saya maupun orang lain. Pikiran ini (memotivasikan) perkembangan kebijaksanaan (panna), tidak menyebabkan kesedihan, namun mengarah pada pencapaian nibbana (nibbanasamvattanika).’Para bhikkhu, walaupun di waktu malam saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu indera’. Begitu pula, di waktu siang saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu’. Demikian pula, di waktu siang maupun malam ketika saya berpikir atau merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran bebas dari keinginan pemuasan nafsu’.Namun, setelah lama berpikir dan merenung, tubuh menjadi lelah; bila tubuh lelah, maka pikiran terganggu; jika pikiran terganggu, maka ‘pemusatan pikiran’ (samadhi) menghilang. Para bhikkhu, sehubungan dengan hal itu, maka saya menjaga pikiran dengan hanya memusatkan pada sebuah obyek yang ada dalam diriku, saya menenangkan pikiranku dengan baik, saya mengarahkan pikiranku menjadi terkonsentrasi; saya mengembangkan pikiranku dengan baik. Mengapa demikian? Karena dengan begitu pikiranku tidak terganggu.

9. “Para bhikkhu, sementara saya rajin, tekun dengan keteguhan hati, ‘pikiran tanpa kebencian’ (abhyapadavitakka) muncul … ‘pikiran tanpa kekejaman’ (avihimsavitakka) muncul dalam diriku dan saya mengerti: “Pikiran tanpa kekejaman telah muncul dalam diriku. Pikiran ini tidak mencelakakan saya, tidak mencelakakan orang lain, juga tidak mencelakakan saya maupun orang lain. Pikiran ini (memotivasikan) perkembangan kebijaksanaan (panna), tidak menyebabkan kesedihan, namun mengarah pada pencapaian nibbana (nibbanasamvattanika).”Para bhikkhu, walaupun di waktu malam saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran tanpa kekejaman’. Begitu pula, di waktu siang saya berpikir maupun merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran tanpa kekejaman’. Demikian pula, di waktu siang maupun malam ketika saya berpikir atau merenung, saya tidak menemukan bahaya yang muncul dari ‘pikiran tanpa kekejaman’.Namun, setelah lama berpikir dan merenung, tubuh menjadi lelah; bila tubuh lelah, maka pikiran terganggu; jika pikiran terganggu, maka ‘pemusatan pikiran’ (samadhi) menghilang. Para bhikkhu, sehubungan dengan hal itu, maka saya menjaga pikiran dengan hanya memusatkan pada sebuah obyek yang ada dalam diriku, saya menenangkan pikiranku dengan baik, saya mengarahkan pikiranku menjadi terkonsentrasi; saya mengembangkan pikiranku dengan baik. Mengapa demikian? Karena dengan begitu pikiranku tidak terganggu.

10. Para bhikkhu, pikiran maupun perenungan apa pun yang dilakukan berulang-ulang kali, maka pikiran akan berkecenderungan pada apa yang dipikirkan maupun direnungkan itu. Jika seorang bhikkhu berulang-ulang kali berpikir dan merenungkan ‘pembebasan dari keinginan memuaskan nafsu’ (nekhammavitakka), ia telah meninggalkan pikiran untuk memuaskan nafsu dan menyibukkan diri dengan berulang-ulang kali memikirkan kebebasan (dari nafsu). Maka pikiran bhikkhu itu berkecenderungan hanya pada memikirkan kebebasan. Jika seorang bhikkhu berulang-ulang kali memikirkan dan merenungkan tentang ‘tanpa kebencian’ … ‘tanpa kekejaman’, ia telah meninggalkan ‘pikiran kejam’ serta telah menyibukkan dirinya dengan berulang-ulang kali berpikir tanpa kekejaman. Maka pikiran bhikkhu itu cenderung hanya pada pikiran tanpa kekejaman.Para bhikkhu, itu seperti pada bulan terakhir dari musim panas, ketika semua hasil panen telah diangkut ke desa, seorang pengembala akan menjaga sapi-sapi dengan berada di bawah pohon atau di tempat terbuka, maka ia hanya akan memperhatikan sapi-sapi yang digembalakannya. Para bhikkhu, begitu pula, saya hanya perlu memperhatikan apa yang muncul dalam pikiranku.

11. Para bhikkhu, semangat tanpa lelah telah muncul dalam diriku, perhatian tanpa lupa telah mantap, tubuhku telah tenang dan tanpa gangguan, pikiranku telah terkonsentrasi dan terpusat (ekagata).Agak bebas dari nafsu indera, bebas dari dhamma yang tak berguna, saya mencapai dan berada dalam Jhana I yang disertai oleh vitakka (usaha pikiran untuk menangkap obyek), vicara (obyek telah tertangkap), kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) karena pemusatan pikiran. Dengan meninggalkan vitakka dan vicara, saya mencapai dan berada dalam Jhana II yang disertai ‘percaya diri’ (sampasa-danam), pemusatan pikiran, kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha) karena pemusatan pikiran, tanpa vitakka dan tanpa vicara.Dengan lenyapnya kegiuran (piti), saya diliputi ketenangan, penuh perhatian (sati) dan kebahagiaan jasmani saya mencapai dan berada dalam Jhana III, yang dinyatakan oleh para Ariya sebagai: “Ia senang karena memiliki ketenangan dan perhatian (sati).”Dengan lenyapnya kebahagiaan (sukha) dan penderitaan (dukkha) jasmani, yang didahului oleh lenyapnya ‘Kebahagiaan dan penderitaan batin’ (somanassadomanassa), saya mencapai dan berada pada Jhana IV, yang tanpa dukkha (adukkha) dan tanpa sukha (asukha) disertai ‘perhatian dan keseimbangan suci’ (upekhasati-parisuddhi).

12. Ketika batinnya (citta) telah suci, terang, tak ternoda, bersih dari kekotoran, lentur, mudah digunakan, mantap dan mencapai ketenangan, saya mengarahkan batin (citta) pada ‘pengetahuan tentang kehidupan-kehidupan yang lampau’ (pubbenivasanus-satinana).Saya mengingat banyak kehidupanku yang lampau, yaitu: satu kelahiran, dua kelahiran … lima kelahiran, sepuluh kelahiran … lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penjadian dunia (samvattakappa), banyak kappa penghancuran dunia (vivattakappa), dan banyak kappa penjadian dan penghancuran dunia (samvattavivattakappa): “Di sana saya bernama, ras, penampilan, makanan, mengalami kesenangan serta penderitaan, panjang usia seperti itu; meninggal dari sana, saya terlahir kembali di tempat-tempat lain; di sana pun saya bernama, ras, penampilan, makanan, mengalami kesenangan serta penderitaan, panjang usia seperti itu; dan meninggal dari alam itu, saya terlahir di sini.” Demikianlah, dengan rinci dan khusus, saya mengingat banyak kelahiran yang lampau.Inilah pengetahuan pertama yang saya capai pada masa pertama di malam hari. Kebodohan (avijja) dilenyapkan dan pengetahuan (vijja) muncul, kegelapan lenyap dan cahaya bersinar, begitulah seseorang yang hidup rajin, bersemangat dan waspada.

13. Ketika batinnya (citta) telah suci, terang, tak ternoda, bersih dari kekotoran, lentur, mudah digunakan, mantap dan mencapai ketenangan, saya mengarahkan batin (citta) pada ‘pengetahuan tentang lenyap dan munculnya makhluk-makhluk’ (cutupa-patanana). Dengan pandangan mata dewa (dibbacakkhu) yang suci dan melampaui kemampuan manusia biasa, saya melihat makhluk-makhluk lenyap (meninggal) dan muncul (lahir) kembali sebagai terhormat atau hina, berwajah cakap atau jelek, berprilaku baik atau jahat; saya mengerti bagaimana makhluk-makhluk hidup sesuai dengan karma mereka, sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang melakukan perbuatan baik melalui ucapan perbuatan dan pikiran, menghina para ariya, berpandangan keliru, melakukan perbuatan berdasarkan pandangan keliru mereka, setelah mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali dalam keadaan yang tidak menyenangkan, di alam yang menyedihkan, bahkan di neraka; sedangkan makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui ucapan, perbuatan dan pikiran, tidak menghina para ariya, berpandangan benar, melakukan perbuatan berdasarkan pada pandangan benar, setelah mereka meninggal dunia, mereka terlahir kembali dalam keadaan menyenangkan, di alam yang membahagiakan, bahkan di surga.” Demikianlah dengan dibba cakku yang suci dan melampaui kemampuan manusia biasa, saya melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali sebagai terhormat atau hina, berwajah cakap atau jelek, berprilaku baik atau jahat; saya mengerti bagaimana makhluk-makhluk hidup sesuai dengan karma mereka.Inilah pengetahuan kedua yang saya capai pada masa kedua di malam hari. Kebodohan (avijja) dilenyapkan dan pengetahuan (vijja) muncul, kegelapan lenyap dan cahaya bersinar, begitulah seseorang yang hidup rajin, bersemangat dan waspada.

14. Ketika batinnya (citta) telah suci, terang, tak ternoda, bersih dari kekotoran, lentur, mudah digunakan, mantap, dan mencapai ketenangan, saya mengarah batin (citta) pada ‘pengetahuan tentang pelenyapan kotoran batin’ (asavanamkhayanana). Saya memiliki pengetahuan: “Inilah Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah sebab Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah lenyapnya Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah Jalan untuk melenyapkan Dukkha.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah kekotoran-kekotoran batin.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah sebab kekotoran-kekotoran batin.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah lenyapnya kekotoran-kekotoran batin.” Saya memiliki pengetahuan: “Inilah Jalan untuk melenyapkan kekotoran-kekotoran batin.”Ketika saya mengetahui dan melihat seperti itu, batinku terbebas dari ‘kekotoran-batin nafsu indera’ (kamasava), ‘kekotoran-batin untuk menjadi’ (bhavasava) dan ‘kekotoran-batin kebodohan’ (avijjasava). Ketika terbebas, muncul pengetahuan: ‘telah terbebas’. Saya memiliki pengetahuan: “Kelahiran telah dilenyapkan, kehidupan suci telah direalisasi, apa yang harus dikerjakan telah dilaksanakan, tidak ada lagi sesuatu di seberang sana.”Inilah pengetahuan ketiga yang saya capai pada masa ketiga di malam hari. Kebodohan (avijja) dilenyapkan dan pengetahuan (vijja) muncul, kegelapan lenyap dan cahaya bersinar. Begitulah seseorang yang hidup rajin, bersemangat dan waspada.

15. Para bhikkhu, misalnya, di sebuah hutan besar terdapat rawa besar dan di dekatnya ada sekelompok rusa yang hidup di situ. Seandainya ada seseorang yang datang ke tempat itu dengan berkeinginan jahat, tidak bermanfaat dan mengganggu kelompok rusa itu. Ia menutup jalan yang aman dan baik, lalu membuka jalan jebakan dengan menempatkan umpan (benda berupa seperti) rusa jantan dan rusa betina sebagai pemikat. Setelah hal ini dilakukan, maka tidak seberapa lama kemudian, kelompok rusa itu akan menemui malapetaka dan kematian. Para bhikkhu, tetapi jika ada seseorang yang datang ke tempat itu dengan berkeinginan baik, aman ketenangan para rusa itu, maka ia akan membuka penutup jalan, mengamankan jalan dan menutupi jalan jebakan, membuang umpan (benda berupa seperti) rusa jantan dan betina sebagai pemikat. Setelah hal ini dilakukan, maka setelah beberapa waktu kemudian kelompok rusa itu akan berkembang biak, maju dan bertambah.Para bhikkhu, untuk menerangkan arti perumpamaan ini, adalah sebagai berikut: Rawa besar adalah nafsu indera; kelompok rusa adalah makhluk-makhluk. Orang yang berkeinginan jahat, tidak bermanfaat dan mengganggu adalah Mara, si Jahat. Jalan jebakan adalah Jalan Salah Berunsur Delapan. Apakah Jalan Salah Berunsur Delapan itu? Itu adalah Jalan yang terdiri dari Pandangan Salah, Pikiran Salah, Ucapan Salah, Perbuatan Salah, Mata Pencaharian Salah, Usaha Salah, Perhatian Salah dan Meditasi Salah. Umpan rusa jantan adalah Nandiraga, nafsu kemelekatan (pada obyek-indera). Rusa betina pemikat adalah kebodohan (avijja). Sedangkan, orang yang berkeinginan baik, aman dan ketenangan adalah Tathagata, Arahat Samma Sambuddha. Jalan yang aman adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan. Apakah Jalan Mulia Berunsur Delapan itu? Itu adalah Jalan yang terdiri dari Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Mata Pencaharian Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar.

16. Para bhikkhu, demikianlah saya telah membuka Jalan Mulia yang aman, damai dan meyenangkan, serta telah menutup Jalan Salah, dan telah membuang umpan Nandiraga, nafsu kemelekatan, juga telah melenyapkan betina pemikat, kebodohan, Avijja. Apapun yang harus dilakukan berdasarkan kasih sayang oleh seorang guru yang berkeinginan untuk mensejahterakan para siswanya, hal itu telah saya lakukan demi kasih sayangku pada kamu sekalian. Para bhikkhu, di sini banyak naungan pohon, tempat yang tenang, bermeditasilah. Jangan lalai (pamadattha), agar tidak menyesal nanti. Inilah pesanku pada kamu sekalian.”Demikianlah kata-kata Sang Bhagava. Para bhikkhu senang dan gembira terhadap kata-kata Sang Bhagava.
Sumber :www.samaggi-phala.or.id

Tidak ada komentar: