Selasa, 13 Desember 2011

4.Bahaya Kemelekatan








       Prinsip esensial ajaran Buddha Dharma adalah: kosong dari segala fenomena; bukan untuk mempertontonkan kesaktian, kemampuan paranormal, atau apapun yang mistik dan gaib. Sang Buddha tidak menekankan pentingnya hal itu. Bagaimanapun, kekuatan seperti itu memang ada dan mungkin saja dikembangkan. Namun Dhamma jenis ini menyilapkan, sehingga Sang Buddha tidak menganjurkannya. Orang yang dipuji Sang Buddha adalah mereka yang mampu membebaskan diri dari penderitaan.

       Alat dan perlengkapan yang harus dimiliki untuk menyelesaikan latihan ini adalah: kemurahan-hati, kebajikan,samadhi dan kebijaksanaan. Kita harus mengambilnya dan berlatih dengannya. Bersamaan mereka membangun jalan ke-dalam bathin dan kebijaksanaan adalah awalnya.Jalan tersebut tidak dapat matang bila pikiran terbalut dengan kekotoran. Tapi bila kita cukup kuat, Jalan ini akan menyisihkan ketidakmurnian itu. Bagaimanapun kalau kekotorannya yang lebih kuat maka mereka akan menghancurkan Jalan. Praktik Dhamma itu ya cuma menyangkut: kedua kekuatan itu yang saling bertempur tanpa hentinya hingga mencapai ujung jalan.Mareka berperang terus sampai tamat.

       Menggunakan peralatan latihan mengandung tantangan yang keras dan melelahkan. Kita mengandalkan pada kesabaran,ketabahan dan kemandirian. Kita harus melakukannya sendiri, mengalaminya sendiri dan merealisasikannya sendiri pula. Namun demikian, para cendekiawan sering kebingungan. Contohnya, saat mereka duduk bermeditasi, sesaat pikiran mereka mengalami setitik ketenangan; mereka mulai perpikir, “Hei, ini pasti jhana pertama.” Beginilah cara kerja pikiran mereka.Dan begitu pemikiran-pemikiran seperti itu muncul, maka ketenangan yang baru dialaminya hancur-berantakan. — Tak lama kemudian mereka mulai berpikir lagi, itu pasti jhana kedua. – Janganlah memikirkan dan berspekulasi tentang itu.
Tidak ada papan yang mengumumkan tingkat samadhi yang kita alami. Di kenyataannya sungguh sama sekali berbeda.Tidak ada petunjuk apapun seperti petunjuk jalan yang memberitahu anda, “Jalan ini menuju Wat Nong Pah Pong”. Tidak seperti itu saya memahami pikiran. Tidak ada pengumuman.

       Walaupun banyak cendekiawan papan-atas telah menulis penjelasan-rinci tentang jhana pertama, kedua, ketiga dan keempat, apa yang tertulis hanyalah informasi eksternal.Apabila pikiran benar-benar memasuki kedamaian mendalam seperti itu, pikiran tidak tahu menahu mengenai apa yang tertulis. Pikiran memang mengetahui, tetapi apa yang diketahuinya tidaklah sama dengan teori yang kita pelajari. Jika para akademisi mencoba untuk menggenggam teorinya dan memeriksanya ke dalam meditasi, mereka duduk dan berpikir,“Hmmm…Apa ya ini? Apakah ini sudah jhana pertama?” Nah! Kedamaiannyapun buyar, dan mereka tidak mengalami apapun yang sungguh bermanfaat. Dan apa sebabnya? Karena terdapat nafsu, dan begitu ada nafsu kemelekatan maka apa yang terjadi? Pikiran segera keluar dari meditasi. Jadi penting bagi kita semua untuk menyingkirkan segala pemikiran dan spekulasi. Tinggalkanlah mereka seluruhnya. Cukup gunakan tubuh, ucapan dan pikiran dan ceburkan diri seluruhnya ke dalam praktik. Amati langsung cara kerja pikiran ini, tetapi janganlah menyeret serta buku-buku Dhamma saat anda mengamati pikiran. Kalau tidak, maka segalanya bakal berantakan, karena tidak ada isi buku yang cocok persis dengan kenyataan yang sebenarnya.

       Orang yang belajar terlalu banyak, yang penuh dengan pengetahuan teoritis, biasanya kesulitan dalam praktikmeditatif. Mereka cuma mandeg pada tingkat informasi. Kenyataannya adalah, pikiran dan bathin ini tidak bisa diukur dengan standar eksternal. Jika pikiran ini damai, sekedar biarkanlah ia menjadi damai. Pelbagai level kedamaian yang amat mendalam memang sungguh ada. – Secara pribadi, saya tidak tahu banyak teori tentang latihan. Waktu itu saya telah menjadi bhikkhu selama tiga tahun dan masih banyak pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya samadhi itu. Saya terus memikirkannya dan membayangkannya saat bermeditasi, tetapi pikiran saya malah menjadi kian gelisah dan bingung.Jumlah pemikiran-pemikiran kian bertambah. Dan ketika saya tidak bermeditasi kok malah lebih tenang. Aduh, sulitkah,sangat menjengkelkan! Tapi sekalipun saya menjumpai banyak hambatan, saya tak pernah menyerah. Saya teruskan saja. Kala saya tidak berusaha berbuat sesuatu yang khusus, pikiran saya relatif tenteram. Tapi manakala saya bertekad membuat pikiran menyatu dalam samadhi, ia malah kehilangan kontrol.“Apa yang sesungguhnya terjadi di sini,” pikir saya.“Mengapa ini terjadi?”


Tidak ada komentar: