226. Semua agama memiliki kumpulan naskah suci, buku atau buku-buku yang dipercayai memiliki kewenangan dan yang menjadi dasar kepercayaan. Pada umumnya dinyatakan, bahwa naskah itu
berdasarkan wahyu (anussava), yang adalah kata-kata dari Tuhan atau Dewa dari masing-masing agama dan oleh karenanya dianggap sempurna dan memiliki kekuasaan penuh. Sang Buddha mengajarkan, bahwa agama yang didasarkan pada naskah-naskah berdasar wahyu tidaklah cukup (anassasikam)[M, I: 520], karena beberapa alasan.
227. Masalah pertama dari wahyu adalah ada demikian banyak agama, semuanya menyatakan naskah-suci mereka adalah kata-kata dari Tuhan, tetapi semua naskah berisi ajaran dan pemahaman yang berbeda. Tentu saja, tidaklah mungkin, bahwa semuanya adalah wahyu yang sejati dan masalahnya ialah kita tidak memiliki metode untuk menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Masalah ke dua dari wahyu adalah adanya kecenderungan bersikap terlalu "membuku", semuanya dirujuk ke buku. Mereka yang kepercayaannya disandarkan pada yang disebut naskah berdasar wahyu cenderung menghabiskan waktu memperdebatkannya kata demi kata, ayat demi ayat, sebab semua naskah dapat ditafsirkan bermacam-macam, mereka terlibat dalam perdebatan tentang 'yang mana adalah' dan 'yang mana bukanlah' tafsiran yang benar. Agama-agama berdasarkan wahyu cenderung terlalu memperhatikan buku-buku, sehingga mengabaikan penelitian oleh diri sendiri yang cermat dan pada pertumbuhan nilai spiritual sejati. Masalah ke tiga yang membuat kita ragu pada pernyataan-pernyataan agama yang berdasar wahyu, adalah seperti yang diutarakan dengan sangat baik oleh Ananda. Beliau berkata:
Beberapa guru, yang adalah penganut tradisi berpegang pada kebenaran wahyu dan mengajarkan hal-hal yang berdasarkan wahyu, berdasar apa yang telah diwariskan oleh kekuasaan kitab-suci. Sekarang, para guru itu mungkin mempunyai daya-ingat yang baik pada wahyu, mungkin juga mempunyai daya-ingat yang tidak baik pada wahyu; dan pada keadaan ini bisa benar dan bisa pula salah. Orang yang berakal-budi dengan merenungkan kenyataan ini, dan setelah merenungkannya, dia akan melihat bahwa agama seperti itu tidaklah memadai dan dengan demikian akan tidak tertarik dan meninggalkannya.[M, I: 520]
Walau "Tuhan" menyampaikan wahyu itu lewat nabi, juga tidak ada cara untuk dapat memastikan sepenuhnya, apakah nabi itu telah mendengarkan dan mengerti wahyu itu dengan tepat atau tidak. Walau didengarkan dan dimengerti dengan baik sekali pun, maka wahyu itu dapat saja tidak direkam dengan baik untuk pewarisannya kemudian. Dan memang pada kenyataannya, banyak naskah-naskah suci dari beberapa agama memiliki versi-versi yang berbeda dan beberapa bagian telah dikurangi atau ditambah, yang karenanya telah membuat kita ragu pada keasliannya.
228. Agama Buddha tidak menghadapi masalah-masalah seperti ini, karena tidak ada pernyataan yang mengatakan bahwa naskah-naskah suci adalah wahyu. Sebaliknya, naskah agama Buddha adalah penyampaian seorang manusia, yakni Sang Buddha, juga direkam oleh manusia. Demi keselamatan, penganut agama lain mampercayai segala sesuatu yang ada di naskah-suci, sedangkan seorang Buddhis harus mengerti dan memahaminya sendiri, naskah-suci hanyalah sarana untuk melaksanakan hal ini. Seperti yang disabdakan Sang Buddha dalam salah satu khotbah-Nya yang sangat terkenal, Khotbah pada suku Kalama (Kalama Sutta):
Janganlah bertindak hanya atas dasar kekuasaan kitab-suci (pitaka sampada) .... tapi bila engkau mengetahui sendiri: "Hal-hal ini adalah baik, hal-hal ini tidak akan dipersalahkan, hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, dan bila dilaksanakan serta diikuti, membawa kebajikan dan kebahagiaan," maka ikuti dan mantaplah dengannya.[A, I: 187]
Untuk agama lain, hal yang sangat penting adalah siapa yang mengucapkan naskah-suci itu, tapi bagi seorang Buddhis hal yang paling penting adalah apa yang diucapkan, dan apakah itu tepat dan berfaedah. Bila kita membaca sabda-sabda Sang Buddha, kita hendaknya membiarkan sabda-sabda itu menyarankan pemahaman bagi kita, kita merenungkan pemahamannya, mengerti dan membandingkannya dengan pengalaman sendiri.
229. Pula, umat Buddha tidak menyatakan kebenaran mutlak dari naskah-suci mereka dan memandang kitab-suci yang lain sebagai hal yang berbahaya. Seorang Buddhis dengan gembira dapat mengetahui nilai spiritual dari literatur suci lain dan darinya dapat menambah wawasannya sebab perhatian utama umat Buddha tidak pada pertahanan dan memperteguh dogma, tapi mengetahui kebenaran.
Walau demikan, nasehat dan petunjuk yang disampaikan dalam khotbah-khotbah Sang Buddha dan kebijaksanaan yang dikandungnya, hendaknya diberi penghormatan yang layak. Sering sebelum menyampaikan suatu khotbah, Beliau berkata pada orang yang berkumpul untuk mendengarkan-Nya:
Dengarkan baik-baik, perhatikanlah dan Saya akan berbicara.[M, I: 1]
Demikian pula hendaknya kita pada saat ini bila membaca khotbah-khotbah Beliau, penuh perhatian dan bersikap terbuka. Sang Buddha mendorong agar semua murid-Nya terbiasa dengan ajaran-Nya. Beliau berkata:
Beginilah hendaknya engkau melatih dirimu: Khotbah-khotbah yang diajarkan oleh Yang Mulia - dalam, mendasar, amat luhur - dari waktu ke waktu, kita akan melewatkan hari-hari kita untuk mempelajarinya." Dengan cara inilah hendaknya engkau melatih dirimu.[S, V: 407]
230. Dimasa-masa awal agama Buddha, seperti diketahui belum ada buku, khotbah-khotbah Sang Buddha dihafal sampai mengendap dalam ingatan. Untuk melakukan hal ini, seseorang duduk di dekat seorang yang menguasainya dan mendengarkannya dengan penuh perhatian secara berulang-ulang. Oleh karenanya, mereka yang mengetahui khotbah-khotbah sering disebut sebagai yang 'banyak mendengar' (bahusuta). Pada zaman ini, kata tadi mungkin maknanya sama dengan 'pembaca yang baik'. Sekarang khotbah-khotbah Sang Buddha telah tersebar dimana-mana dalam bentuk cetakan, dan tentunya tidak perlu lagi dihafalkan seperti dahulu kala. Namun demikian, akan bermanfaat untuk mengetahui beberapa bagian atau ayat yang penting di dalam hati, agar kebijaksanaan atau petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dibangkitkan setiap saat. Beberapa orang dengan mudah dapat mengutip demikian banyak bagian kitab-suci, namun tindakannya bertolak belakang dengan apa yang dikutipnya itu. Sang Buddha dengan cermat mengingatkan kita, bahwa pengetahuan teoritis dan menghafal kitab-suci adalah sesuatu yang tidak berharga, bila tidak di latar belakangi dengan usaha untuk berubah, tumbuh dan sadar. Beliau berkata:
Bila seseorang banyak menghafal naskah-naskah suci,
Tapi tidak bertindak sesuai dengannya,
Orang yang demikian adalah bagaikan pengembala sapi
Yang menghitung sapi milik orang lain.
Dia tidak mengambil bagian dalam berkah kehidupan suci.[Dp: 19]
Suatu peta yang digambar oleh seorang yang telah pernah mengunjungi suatu tempat yang akan pula kita datangi adalah suatu yang berharga. Seorang yang bijaksana akan menggunakan peta itu walau orang-orang lain hanya berbicara tentangnya tanpa bersama menuju ke tujuan itu. Demikian pula, walau orang-orang lain cukup puas dengan mengetahui naskah Buddhis tanpa menerapkannya, namun hendaknya tidak mencegah kita untuk mempelajari dan kemudian dengan hati-hati menjalani Jalan. Seperti dikatakan Aryasura:
Naskah suci dalah cahaya yang menghalau kegelapan dari kegelapan-batin; kekayaan yang tak dapat dicuri; senjata yang mengalahkan musuh yang bernama 'nafsu-keinginan'; penasehat terbaik bagi seorang untuk bertindak; teman yang tabah dalam keadaan yang sulit, obat yang tidak menyakitkan bagi penyakit yang diderita; prajurit perkasa yang kuat untuk mengalahkan pasukan kejahatan; harta tertinggi dari kemenangan dan kebahagiaan.[Jatakamala XXXI: 32-33]
MASA AWAL KEPERPUSTAKAAN BUDDHIS
231. Selama empat puluh tahun masa mengajar, Sang Buddha telah menyampaikan ribuan khotbah dengan berbagai metoda mengajar. Kadang-kadang Beliau hanya menyampaikan pembicaraan sederhana, lalu mungkin merangkum kambali topik utamanya dalam bentuk ayat-ayat, kadang-kadang pula Beliau bertanya-jawab, menggunakan pepatah, persamaan dan perumpamaan untuk memperjelasnya. Khotbah-khotbah, pepatah-pepatah dan ayat-ayat diingat secara rinci oleh orang yang mendengarkannya langsung, lalu meneruskannya pada orang lain. Dapat dipahami bahwa sampai akhir pengabdian Sang Buddha, beredar sangat banyak pelajaran-pelajaran lisan. Walau orang telah tahu menulis pada masa itu, namun tidak ada usaha untuk menjadikannya tertulis, sebab masyarakat India kuno pada masa itu menganggap ingatan lebih dapat dipercaya daripada pena seorang penulis dan ingatan jelas lebih dapat bertahan lebih lama di kepala seseorang dibanding lembaran-lembaran daun (yang ditulisi diatasnya). Memang, pada kenyataannya masa itu masyarakat India kuno telah mengembangkan dan menyempurnakan teknik untuk mengabdikan literatur di dalam ingatan mereka secara luar biasa.
232. Sewaktu Sang Buddha mencapai Nibbana-akhir di Kusinara, salah seorang murid senior Beliau, Maha Kassapa, dan sekelompok bhikkhu sedang dalam perjalanan menuju Kusinara untuk menjumpai Sang Buddha, namun mereka belum mendengar berita kemangkatan Guru mereka. Dalam perjalanan, mereka bertemu seorang pertapa pengembara yang kemudian menyampaikan berita kemangkatan Sang Buddha yang telah beberapa hari sebelumnya. Begitu mendengar berita ini, beberapa bhikkhu mulai meratap sedih, tapi salah seorang dari mereka, Subhadda, yang menjadi bhikkhu pada usianya yang sudah lanjut, malah berkata:
Sudahlah, kawan-kawan, tidak usah meratap atau menangis! Kita sebenarnya beruntung telah terlepas dari Pertapa Agung itu. Dia selalu saja menjemukan kita dengan berkata: "Adalah baik bila engkau berbuat begini atau adalah baik bila engkau tidak berbuat begitu!" Sekarang kita dapat berbuat atau tidak berbuat, sesuka hati kita.[D, II: 163]
Maha Kassapa kemudian menyadari bahwa andaikata banyak bhikkhu seperti Subhadda, ketidaksesuaian paham mengenai Dhamma akan segera muncul. Oleh karenanya diputuskan bahwa tiga bulan kemudian, pertemuan besar akan dilaksanakan. Lima ratus Arahat berkumpul untuk mendiskusikan ajaran Sang Buddha, menyusunnya, dan mengulanginya dan memantapkannya masing-masing dalam ingatan mereka. Pertemuan besar ini dilaksanakan di Gua Sattapanni di Rajagaha, pertemuan ini kemudian dikenal sebagai Konsili Pertama. Sewaktu konsili bersidang, Maha Kassapa menyambut lima ratus Arahat itu, dengan berkata:
Marilah, Para Yang Mulia, kita mengulangi Dhamma dan Tata-tertib (vinaya), sebelum apa yang bukan Dhamma berkembang dan apa yang Dhamma malah tertutup, sebelum apa yang bukan Tata-tertib berkembang dan apa yang Tata-tertib tertutup, sebelum mereka yang berucapkan bukan Dhamma menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang berucapkan bukan Tata-tertib menjadi kuat dan mereka yang berucapkan Tata-tertib menjadi lemah.[Vin, V: 284]
Sidang menunjuk Upali untuk mengulangi peraturan-peraturan untuk para bhikkhu dan bhikkhuni sebab dia memang ahli dalam bidang (Vinaya) itu, dan Ananda dipilih untuk mengulangi khotbah-khotbah, sebab dia lah yang menjadi pendamping dan senantiasa menyertai Sang Buddha selama dua puluh tahun, dia mendengarkan khotbah lebih sering dari yang lainnya. Sebagian dari diskusi diambil dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan Maha Kassapa kepada Ananda:
"Dimanakan, Ananda yang terhormat, Brahmajala Sutta diucapkan?"
"Tuan yang terhormat, diantara Rajagaha dan Nalanda di rumah peristirahatan agung di Ambalatthika."
"Kepada siapa?"
"Suppiya si-pengembara dan Brahmadatta si-Brahmin muda."
Lalu, Maha Kassapa menanyakan Ananda tentang tema dan perincian Samaññaphala Sutta.
"Dimanakah, Ananda yang terhormat, Samaññaphala Sutta diucapkan?"
"Di Rajagaha, di kebun mangga kepunyaan Jivaka."
"Kepada siapa?"
"Kepada Ajatasattu, putra dari ibunda Videhan."[Vin, V: 286]
Dengan cara ini pula Maha Kassapa bertanya tentang Lima Nikaya, dan setiap pertanyaan dapat terjawab oleh Ananda. Ananda selalu mengawali menjawab pertanyaan tentang setiap khotbah dengan berkata: "Sesuai yang saya dengar" (evam me sutam), yang berarti "Inilah yang saya ingat pernah dengarkan", oleh karenanya hampir setiap khotbah diawali dengan kata-kata tersebut.
233. Dalam beberapa abad kemudian, Dhamma masih tetap dihafalkan dengan berhati-hati, diingat dan diteruskan pada yang lainnya. Walau ini adalah kewajiban yang biasanya dilakukan oleh para bhikkhu dan bhikkhuni, tapi terdapat banyak bukti bahwa para umat awam laki-laki dan wanita, juga banyak mengetahui Dhamma di dalam hati dan memainkan peran dalam penerusannya. Didalam naskah-naskah, kita membaca seorang wanita menghafal bagian dari Samyutta Nikaya.[A, V: 46 ] Didalam catatan-catatan lama lainnya, diabad ke tiga sebelum Masehi, nama-nama beberapa umat awam biasa disebut-sebut bersama julukan mereka, antara lain 'penghafal Dhamma' (dhammakathika), 'yang mengetahui keranjang' (petakin), 'yang mengetahui khotbah-khotbah' (sutantika) dan 'yang mengetahui Lima Kumpulan' (pañcanekayika). Kira-kira seratus tahun sesudah Sang Buddha, dilaksanakan lagi suatu Konsili Ke dua, yang dihadiri sekitar tujuh ratus bhikkhu-bhikkhu pemimpin, semula mereka membicarakan beberapa pertentangan paham menyangkut tata-tertib kehidupan vihara, setelah bagian ini selesai, mereka menghafal Dhamma bersama. Pertemuan ini berlangsung di Vesali. Lalu kira-kira 230 tahun sesudah Sang Buddha, Raja Asoka melaksanakan Konsili ke tiga di ibu kota kerajaannya di Pataliputta, dan sekali lagi Dhamma secara keseluruhan dihafalkan bersama. Kemungkinan pada konsili inilah diputuskan untuk memasukkan buku Abhidhamma sebagai bagian ke tiga dari Kitab suci Buddhis. Juga kemungkinan untuk pertama kalinya disepakati untuk mengabadikan Dhamma dalam bentuk tertulis, walau tidak ada rekaman bahwa ini dilakukan sebelum tahun 50 Sebelum Masehi di Sri Lanka, dimana agama Buddha telah menyebar disana pada waktu itu. Sejak masa itu, kitab suci Buddhis tertulis di kitab-kitab yang dibuat dari daun palma, kulit kayu, sutra, dan terakhir seperti zaman kita ini, diatas kertas. Jadi kata-kata Sang Buddha benar adalah "indah pada permulaan, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya", dan dengan sangat hati-hati diwariskan pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar