Oleh : YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera
Bhikkhu Sangha yang saya muliakan serta saudara-saudari sedharma yang berbahagia, malam ini saya memperoleh kesempatan untuk MEMBANGUN. Biasanya membangun vihara, kali ini membangun citra. Membangun citra diri pekerja sukses.
Saya pikir kok saya disuruh ceramah? Apakah saya ini termasuk seorang pekerja atau pengangguran? Mengapa demikian? Karena seorang bhikkhu sering dianggap pengangguran. Lebih parah lagi, ada ada yang mengatakan, “Enak ya jadi bhikkhu.” Kenapa? “Nganggur, tenang-tenang saja, nggak pikirin apa-apa.” Saya ngomong, “Lho, kalau enak jadi bhikkhu, kamu jadi bhikkhu saja. Mestinya yang jadi bhikkhu rombongan, buktinya yang jadi bhikkhu sedikit.” Kalau kita ngomong restoran disana enak, pasti pelanggannya banyak. Kalau menjadi bhikkhu enak, pasti yang jadi bhikkhu juga banyak.
Ya, tapi bagaimanapun juga bhikkhu bukanlah pengangguran, karena pekerjaannya banyak. Memang kami tidak mencangkul, tidak pergi ke kantor, tetapi kehidupan kami ini sama dengan yang lain. Kalau Anda mengatakan bhikkhu itu pengangguran, berarti Anda mengatakan guru juga pengangguran, karena bhikkhu juga adalah guru. Seperti malam ini, masa saya menganggur, duduk-duduk saja disini?
Jadi psikiater / psikolog juga pengangguran, kenapa? Karena menjadi bhikkhu juga merangkap jadi psikiater dan psikolog. Sering kita bertemu, “Bhante, anak saya nakal, Bhante.” Sebetulnya kami juga berpikir, “Justru saya jadi bhikkhu ini biar nggak punya anak, kamu kok tanya saya tentang anak kamu yang nakal. Gimana ini?” Tapi kan kami harus menasehati. Kalau menjawab begitu, ya besok pagi vihara tutup, orang-orang pada ngomel semua, “Bhantenya sadis.” Jadi yah…. Kami akhirnya menjawab.
Nah, kegiatan membimbing seperti ini kan kegiatannya seorang psikolog sebetulnya, tetapi kenapa kami berikan? Dan kenapa kami dianggap pengangguran? Karena bedanya kami tidak menerima gaji. Itu saja. Coba kalau sekarang orang konsultasi dengan bhikkhu, lalu dikenakan biaya sekali duduk sekian menit dibiayai sekian rupiah. Satu pertanyaan dikenai biaya sekali, dua pertanyaan dikenai biaya kali dua. Itu mungkin baru disebut bhikkhu pekerja, karena terima upah.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa seorang bhikkhu juga bekerja, tetapi di bidang batin. Anda juga jelas, karena Anda juga seorang pekerja. Pekerja tentunya bermacam-macam; pekerja di rumah sendiri, pekerja sebagai karyawan, pekerja sebagai atasan, semuanya termasuk dalam konteks pekerja. Apa boleh sih bekerja menurut Agama Buddha? Boleh, umat Buddha boleh bekerja.
Seorang umat itu boleh bekerja. Bahkan, kalau mau bekerja bukan sembarang kerja. Umat Buddha sebetulnya harus kaya. Wah….. kok harus kaya, gimana sih? O… iya, kalau umat Buddha nggak kaya, bagaimana vihara bisa dibangun? Kalau umat Buddha semuanya berkata, “Saya jadi umat Buddha sajalah, nggak usah pegang duit.” Kalau semua umat Buddha nggak pegang duit, vihara ini bagaimana? Anda datang kesini juga butuh duit. Sepeda motor, mobil juga butuh duit. Anda pakai pakaian juga perlu duit, tempat ini dibangun juga perlu duit. Kalau sekarang umat Buddha nggak punya duit, kan susah. Kenapa boleh kaya? Kenapa harus kaya? Karena memang kekayaan adalah merupakan salah satu tujuan umat Buddha.
Anda tentu tahu, di dalam kegiatan beberapa tradisi, atau Anda di rumah juga punya patung, Patung, FUK LUK SHOU. Punya Patung FUK LUK SHOU? Tahu nggak Patung FUK LUK SHOU itu? FUK LUK SHOU itu patung tiga dewa. FUKitu rezeki, patung yang membawa seperti tongkat di dada. LUK adalah pangkat atau kedudukan, patung yang topinya seperti Judge Bao. SHOU adalah panjang usia, digambarkan orang tua yang jidatnya maju. Apa Anda punya atau pernah melihat patung tersebut?
FUK LUK SHOU artinya punya rezeki, punya pangkat atau kedudukan dan umur yang panjang. Itu sebetulnya di dalam Agama Buddha juga ada, bahkan lebih dari itu, karena Agama Buddha selalu punya nilai tambah. Kalau Anda punya FUK LUK SHOU 3 in 1, dalam ketiga patung itu Anda punya tujuan, maka Agama Buddha pada malam ini akan memberikan 4 in 1.
Banyak rezeki atau kekayaan, punya kedudukan, umur panjang dan mati masuk surga. Ini…ngeri, 4 in 1 namanya. Ya… jadi disini kita akan melihat apa yang disebut kebahagiaan duniawi, atau kesuksesan. Apakah yang disebut sukses? Kesuksesan di dalam kehidupan dunia ini ada 4 hal. Yang tadi dikenal dengan FUL LUK SHOU cuma tiga. Kita punya yang ke empat, ‘mati masuk surga’.
Jadi mulai sekarang arahkan pikiran Anda, bahwa orang sukses di dalam Agama Buddha minimal 4 hal. Kalau Anda bekerja belum kaya, belum sukses, nanti kaya itu bagaimana? Kaya apa nanti kami terangkan. Mau kaya apa saja bisa. Kaya uang? Bisa. Kaya orang? Bisa. Pokoknya kaya apa saja bisa.
Punya pangkat kalau pendek umur, percuma. Kaya raya kalau pendek umur, percuma. Anda kerja susah payah, yang menikmati orang lain, pacar Anda, anak Anda masih kecil, cucu Anda. Kenapa? Karena Anda tidak panjang umur, Karena itu, harus panjang umur.
Sukses di dalam Agama Buddha, bukan di dalam kehidupan ini saja. Kalau hanya di dalam kehidupan ini saja, suksesnya masih terlalu kecil. Mati saja harus sukses. Mati dengan sukses itu berarti terlahir di surga. Itu baru mati sukses. Kalau kaya raya, berpangkat, panjang umur, mati lahir di neraka, itu belum sukses.
Kalau di dalam Agama Buddha dibicarakan tentang kekayaan, sekarang apa yang disebut kekayaan? Dan bagaimana cara memperolehnya? Karena kalau sekarang hanya diberitahu, “Ayo, kalian kaya, ayo kaya.” Kaya itu apa sih? Kaya itu bagaimana caranya? Jangan kuatir, di dalam ajaran Sang Buddha, yang merupakan sumber pengetahuan, cara untuk mencapai kekayaan juga diberikan.
Apa usaha untuk mencapai kekayaan? Kita ingat di dalam pepatah sewaktu kita masih kecil, ‘rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya’. Disini kelihatan, kalau kekayaan akan kita peroleh kalau punya kerajinan dan punya semangat. Bagaimana caranya kita bisa rajin di dalam bekerja? Tentu ada cara untuk rajin di dalam bekerja. Salah satu caranya adalah memilih pekerjaan harus sesuai dengan kita. Kadang-kadang saya tanya, “Kerja di bank ya?” “Iya.” “Wah enak dong, dulu jurusan apa?” “Saya lulusan STM, Bhante.” “Jurusan apa?” “Mesin.” “Jurusan mesin kerja di bank? Rugi kamu sekolah, investasinya rugi.” Lalu saya tanya lagi, “Wah, hebat, daganganmu lancar.” “Iya, Bhante.” “Dulu kuliah nggak?” “Kuliah, Bhante.” “Pasti Jurusan Manajemen ya.” “Bukan Bhante, Arsitektur.” “Lho, arsitek kok dagang di pasar?”
Orang yang hidup seperti ini sebetulnya sudah kuliahnya sulit, malah tersia-siakan. Sebetulnya yang terpenting dalam memilih pekerjaan supaya rajin, pekerjaan harus sesuai dengan hobby kita. Hal ini penting. Kesenangan apa saja di dalam diri kita bisa dipakai untuk bekerja.
Saya teringat ada seorang murid saya sewaktu mengajar di SMA, murid ini kurang cerdas. Kelas I mengikuti pelajaran susah, akhirnya tinggal kelas. Lalu tahun berikutnya, seharusnya tidak naik lagi, tapi kami guru-guru berpikir, “kasihan ya masa kelas I sampai 2 tahun.” Okelah dinaikkan, jadi sekarang kelas II. Di kelas II, eh tidak naik lagi. Wah sudah nggak ketulungan nih. Lalu bagaimana, “Sudahlah, kamu hobbynya apa?” “Saya hobbynya bercocok tanam. Jadi saya di kelas ngantuk saja.” “Baik, kalau begitu kamu salurkan hobby kamu yang bercocok tanam itu.” “Lho, cocok tanam apa?” “Kamu ikut orang yang suka bikin-bikin tanaman, nah disitu hobby kamu yang cocok tanam itu dikembangkan.” Lalu anak ini keluar dari sekolah. Satu tahun kemudian, saat rekan-rekannya di kelas III baru EBTANAS, anak ini datang membawa sedan, bergaya. Lalu kami tanya, “Lho, ini sedan kreditan ya?” “Bukan, ini saya beli sendiri.” “Dari mana duitnya?” “Bercocok tanam.” Ternyata dari kerja bercocok tanam itu dia sukses. Jadi dia kerjanya senang karena hobby, dan dapat duit lagi. Itu yang membuat dia rajin dan bersemangat.
Anda kalau hobby memasak, buka catering. Jadi yang menyicipinya banyak, dan duitnya dapat. Dulu ada yang tanya sama saya, “Kok Bhante mau jadi bhikkhu, dulu hobbynya apa?” Saya jawab, “Hobby saya ngomong.” Saya di kelas sewaktu kecil, di rapor saya ditulis, ‘banyak cakap-cakap dalam kelas’. Memang dari kecil saya senang ngomong, makanya sekarang saya jadi bhikkhu. Ngomong saja selama berjam-jam… ngomong saja, karena memang hobby. Jadi hobby tersalurkan, teman jadi banyak, kan senang. Kalau Anda senang ngomong, boleh jadi bhikkhu, atau jadi sales juga bisa. Karena jadi bhikkhu itu SALES DHARMA. Sekarang kan saya dalam rangka PROMOSI DHARMA nih.
Ada yang iseng tanya begini, “Bhante, sekarang kalau hobbynya tidur, apa kerja yang cocok?” Saya jawab, “Buka hotel. Kalau kamu buka hotel atau penyewaan kamar, kamu harus tahu kasur yang bagaimana yang enak untuk tidur, lampu yang bagaimana biar enak tidur, musik yang bagaimana untuk enak tidur. Jadi tidurmu nyenyak, tidurmu bisa dijadikan duit.”
Lebih nakal lagi, orang ngomong lagi, “Sekarang Bhante, saya kasih tebakan lagi. Kalau ada orang yang hobbynya ngintip, bagaimana?” Saya langsung jawab, ‘Jadi tukang photo. Jangan kuatir jadi tukang photo, yang ngintip dapat duit, dan yang diintip action. Nah…kan senang.” Akhirnya kita senang, aktivitas kita ngintip… ngintip terus. Mana ada tukang photo yang melek kedua-dua matanya, harus ngintip.
Ada orang suka ngurusin dompetnya orang lain. Dompet orang dilihat, dihitungin duitnya. Karena nggak jadi akuntan sekalian, audit duit orang. Kan enak itu, sekalian dapat duit lagi.
Karena itu, di dalam memilih pekerjaan, hobby sangat menentukan. Supaya bisa kaya, hobby ini sangat penting.
Berikutnya, karena kita hobby, maka kita rajin, dan akhirnya tentu kita memiliki harta. Setelah memiliki harta, kita harus berhati-hati menjaga milik kita. Apakah yang kita jaga? Yang pertama adalah ‘sistem’, sistem yang sudah kita gunakan. Kalau sistem sudah maju, kembangkan terus, dievaluasi untuk terus ditingkatkan. Sedangkan hasilnya, misalkan kita bisa beli rumah, maka rumah itu harus dijaga. Jangan rumahnya bocor disana, kita mengatakan, “Yang bocor kan masih disana, aku tidur disini saja. Nggak apa-apa, biarlah air turun mengalir kan ku tampung dan ku salurkan dengan pipa wavin…” Akhirnya rusak tempat kita. Lalu bocor lagi disini, “Sudahlah, kalau bocor disana, bocor disini, saya pindah kesitu saja.” Tidak diperbaiki akan menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada harta milik kita. Oleh karena itu, apa yang sudah kita miliki harus kita jaga. Agama Buddha, ajaran Sang Buddha ini mengajarkan orang hidup effisien. Jangan bisa kita beli, terus kita biarkan terbengkalai. Itu tidak boleh, harus effisien. Karena effisien adalah harta yang kita miliki harus dijaga; sistem yang kita kerjakan, sistem kita bekerja harus ditingkatkan, dievaluasi. Ini yang disebut berhati-hati dalam menjaga harta milik kita.
Nah berikutnya, kadang-kadang ini tidak dibahas dalam beberapa ilmu manajemen, punya teman yang baik. Teman sangat menentukan gaya hidup kita. Ada satu ilmu yang sudah lama yang tertulis dalam buku paritta kita, ASEVANĀ CA BĀLĀNAM PANDITANAŇCA SEVANĀ, yang artinya jangan bergaul dengan orang yang tidak bijaksana, bergaullah dengan orang yang bijaksana. Teman pergaulan sangat mempengaruhi gaya hidup kita. Dikatakan di dalam Dharma, andaikan sepotong kayu cendana dibungkus dengan daun, maka daun tersebut akan wangi kayu cendana. Tetapi kalau sepotong daging busuk kita bungkus dengan daun, daun ini pun akan busuk baunya.
Oleh karena itu, teman sangat mempengaruhi. Kalu teman kita malas ke vihara, begitu kita ke vihara dia akan bertanya, “Mau kemana kamu, pakai lipstik segala?” “Mau ke vihara.” “Sok suci kamu, gaya lu, kuno lu… Gimana sih, sekarang yang trendi bukan ke tempat ibadah, apalagi ke vihara. Yang trendi kalau minggu ke Dufan.” “Oh ya?” “Iya.” “Saya ketinggalan zaman ya? Ya sudahlah… saya ikut kamu deh.”
Itu adalah pengaruh lingkungan. Akhirnya orang malas ke vihara. Kenapa? Kalau ditanya, “Kenapa malas ke vihara?” “Nggak punya teman.” Hayo, siapa diantara kalian yang menjawab kalau malas ke vihara karena nggak punya teman? Berarti Anda di rumah selalu diintrik, “Mau kemana?” Ke vihara.” “Sok lu…” Akhirnya nggak punya teman. Sekarang harus diubah! Kalau nggak punya teman, harus cari teman. Ajak yang malas-malas itu!
Nah, sebaliknya, kalau sekarang teman kita yang rajin ke vihara ngajak ke vihara, “Hei, ayo ke vihara.” “Malas ah, capek…” “Eh… ke vihara itu seminggu cuma sekali, setahun cuma 52 kali. Masa kamu gitu saja ditinggal, sayang kan. Ayo berangkat.” Nah kan kita berangkat juga. Ini yang dikatakan teman yang mendukung.
Demikian pula di dalam pekerjaan. Kalau kita sudah mendapat hasil yang besar, nanti kadang-kadang teman kita ngajak, “Ayo, kamu kan sudah kaya… kamu kan sudah sukses, sekarang bagaimana kalau kita lipatgandakan kekayaanmu.” “Lho, caranya bagaimana?” “Setiap malam kan ada bola, dua kali main… tiga kali main, kita ikut saja. Mau pegang yang mana, Juventus…? Ikut. Mau satu banding satu setengah, Oke.” “Lho kan sayang duitnya.” Kamu kuno, nggak trendi. Zaman sekarang tuh kalo kaya, duit disimpan di bank itu jamuran, dan kalau kita ngambil nanti ditodong. Jadi… lebih bagus main pakai telepon, duit datang, kan enak…” “Iyalah… coba-coba.” “Ya, hari ini pegang apa?” “Juventuslah.” “Berapa?” “Satu juta.” “Kurang…bos besar kok satu juta.”
“Okelah, dua juta.” Rupa-rupanya kalah. Dari mana cerita ini? Dari teman kita yang nggak beres tuh. Oleh karena itu, hati-hati punya teman karena itu akan mempengaruhi gaya hidup kita.
Dan yang berikutnya supaya kita bisa lebih kaya, ada cara untuk menjaga kekayaan kita, yaitu jangan boros. Boros itu bagaimana? Apakah belanja Rp. 1.000,-/hari itu boros? Apakah belanja Rp. 1.000.000,-/hari termasuk boros? Nanti dulu, di dalam Dharma sudah disebutkan bagaimana cara kita untuk tidak boros, tetapi juga tidak kikir. Kalau boros, tidak boros tapi kikir itu juga keliru. Nah, di dalam Dharma disebutkan cara membagi / menggunakan kekayaan kita supaya kita bisa bertambah kaya. Omset/penghasilan bersih dibagi empat bagian.
Satu bagian dipakai untuk hidup (25%), termasuk untuk makan, minum, bayar PLN, PAM, Telkom, bayar pembantu dan untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, kalau ada orang yang menggunakan Rp. 1.000,- sehari jangan ngomong pelit. “Kamu hidup masa belanja makan untuk lauk sehari hanya seribu?” Rp. 1.000,- yang dibelanjakan dari Rp. 1.500,- yang dia peroleh pada hari itu, sebetulnya dia itu boros. Jadi Sang Buddha tidak memakai nilai tertentu, tetapi perbagian. Ini yang bisa bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Sekarang, “kamu sehari kok menghabiskan Rp. 1.000.000,-?” Nggak apa-apa kalau penghasilannya sehari Rp. 10.000.000,- Ini masih irit, karena baru 1/10 yang dibelanjakan. Kalau penghasilan bersihnya sehari Rp. 10.000.000,- dia boleh membelanjakan uangnya Rp. 2.500.000,-/hari. Tapi kalau cukup hanya belanja Rp. 5.000,- ya jangan Rp. 2.500.000,- dipakai semuanya, kan bisa ditabung di tempat lain.
Satu bagian hidup, dua bagian (50%) digunakan untuk menambah modal. Ini canggih, Dharma ini benar-benar mengajari manajemen yang baik. 50% untuk menambah modal, jadi usaha kita semakin besar. Kenapa? Karena duitnya masuk ke penambahan modal. Dan akhirnya, apa yang terjadi pada 25% yang terakhir? Didepositokan. Kenapa? Karena kita nggak sehat untuk selamanya. Kita bisa sakit. Sakit nggak bisa kerja, depositonya dipakai. Mau jalan-jalan ke luar negeri, depositonya yang dipakai. Jangan memakai bagian yang pertama, atau yang kedua, depositonya yang dipakai. Kalau Anda mau berdana, juga yang 25% yang terakhir yang dipakai.
Nah, cara membagi keuntungan juga begitu. Ini yang disebut tidak boros. 25% untuk hidup, 50% untuk modal usaha, dan 25% didepositokan atau untuk melakukan perbuatan baik. Ini yang disebut cara memperoleh kekayaan.
Berikutnya lagi, kalau tadi disebutkan kebahagiaan duniawi adalah punya kekayaan, pangkat, panjang usia dan lahir masuk surga, seperti yang termuat dalam Anguttara Nikaya II, 65. Maka akan kita lihat, setelah kaya itu kita tahu bagaimana cara memperolehnya, sekarang bagaimana cara kita menjaganya, bagaimana cara kita menggunakannya.
Kita akan lihat apakah yang disebut dengan memiliki pangkat. Anda memiliki pangkat, memiliki kedudukan itu sebetulnya dicapai bukan dengan main sikut-sikutan, bukan main intrik-intrikan, juga bukan dengan magic. Ada yang datang ke tempat saya, “Bhante, saya butuh bantuan, apakah Bhante bisa menolong? Begini Bhante, saya sudah lama jadi asisten manager, kenapa saya nggak naik-naik jadi manager? Tolong Bhante bikin managernya sakit, mati kalau perlu supaya saya diangkat jadi manager.” Saya ngomong, “Kamu datang bukan ngajak saya untuk berbuat baik, malah menjerumuskan saya ke lembah penderitaan. Apa dikira kalau menjadi bhikkhu kita ngurusin yang begituan? Bikin orang sakit? Orang sakit saja mau saya sembuhkan, kok orang sehat mau disakiti. Ini kan namanya nggak masuk akal.
Jadi bukan dengan cara itu supaya bisa menjadi manager. Tetapi ada caranya, dan caranya di dalam Agama Buddha adalah perjuangan dengan kerja keras. Kalau tadi kita lihat bahwa di dalam mencari pekerjaan supaya kaya kita harus mulai dari senang dengan pekerjaan itu, hobby dengan pekerjaan itu, sekarang kalau kita sudah hobby makan akan muncul semangat untuk berjuang, loyal pada pekerjaan kita. Sehingga memang syarat yang baik adalah mempunya kesenangan pada pekerjaan.
Kembali pada sumber kekayaan tadi, kita harus senang pada pekerjaan kita. Kalau sudah senang, maka akhirnya akan muncul sikap bertahan menghadapi kesulitan. Sebagai asisten manager, dihajar terus-terusan oleh manager, “Ya…saya senang pada pekerjaan ini, gangguanmu merupakan cambuk bagiku untuk maju. Ayo terus… ngomel terus…!”
Ada seorang filosof mengatakan, istrinya ngomel terus, tiap hari ngomel terus. Suatu hari ketika dia tampak susah., lalu teman-temannya bertanya, “Kenapa kamu? Mukamu kok tampak susah?” Hari ini istriku nggak ngomel….” “Lho, seharusnya kan kamu senang kalau istrimu tidak mengomel.” “Nggak, saya malah susah, karena hari ini hilang kesempatanku untuk melatih kesabaran.” Jadi dia melihat penderitaan itu ada hikmahnya, bukan ngawur-ngawur nggak karuan.
Nah, sekarang, karena kita hobby pada pekerjaan, maka kita akhirnya bisa bertahan untuk waktu yang lama menghadapi serangan, menghadapi gangguan. Selain kita mempunyai loyalitas pekerjaan karena kita hobby, maka perlu kita kembangkan sikap positif di dalam cara berpikir. Apakah sikap positif itu? Ada beberapa hal yang harus kita lihat. Hidup adalah perubahan, Anicca. Jadi kalau kita dulu dipuji oleh pacar, kalau dulu dipuji oleh pasangan hidup kita, ingat itu Anicca. Lama-lama bisa jadi “Jelek lu, kalau dipikir-pikir muka lu kayak monyet. Nggak salah nih aku milih kamu?” Kan repot. Tapi jangan terus emosi. Kalau kita bilang, “Monyet monyet biarin, kok kamu mau sama saya?” Kan bisa cekcok. Kalau kita menyadari bahwa hidup ini selalu berubah, ya nggak masalah, akhirnya akan selesai.
Kita menyadari perubahan di dalam kehidupan ini, rela ikhlas berubah. Walaupun kalau kita pikir kok kita asisten manager terus, kapan jadi managernya? Ingat hidup ini berubah. Nggak apa-apa, suatu ketika kita akan mencapai kedudukan itu. Tenang-tenang saja, nggak usah main magic ataupun klemik.
Nah, kalau kita sudah mengerti perubahan, kemudian kebaikan sifatnya relatif. Di dalam bekerja, kita sudah berusaha bekerja sebaik-baiknya, eh… masih kena kritik. Kadang lalu stress, “Gimana ini… saya sudah berusaha, kenapa saya masih dikritik? Sudahlah saya keluar saja.” Nanti keluar ya dikritik lagi. Dulu pernah murid Sang Buddha berkata, “Bhante, kita dikritik terus disini, kita pindah sajalah.” Sang Buddha berkata, “Lho, kalau pindah nanti dikritik lagi.” “Ya pindah lagi.” “Pindah lagi, kalau dikritik lagi?” “Ya pindah lagi.” Ini tidak akan selesai. Kenapa? Karena dia belum bisa menyelesaikan cara berpikirnya, bahwa kebaikan itu sifatnya adalah relatif.
Kadang kita anggap baik, orang lain menganggap tidak baik. Satu contoh, Anda duduk disini, baik nggak? Baik toh menurut Anda, tapi bisa dipandang secara negatif.
“Ngapain sih anak muda-anak muda ini duduk disini, lebih bagus nonton sama pacarnya masing-masing, besok kan libur.” Anda bisa dikritik begitu, kenapa? Karena hidup ini hanya seperti telapak tangan, bisa dilihat dari sisi mana saja.
Di dalam Dhammapada disebutkan bahwa ‘kita duduk dicela, berdiri dicela, tidak ada yang tidak dicela di dalam kehidupan’. Karena itu kita harus percaya pada diri sendiri bahwa apa yang kita kerjakan baik, maju terus. Dikritik apapun juga, maju terus. Bahkan kritikan kita anggap ada hikmahnya, pasti ada hikmahnya. Kalau sekarang kita dikritik, “Ini masakannya kok nggak enak?” “Oh… awas lu, aku akan belajar memasak sampai kamu minta lagi masakanku.” Ini kritikan. Kalau sekarang kita dikatakan, “Kamu kok make-upnya ngawur gitu, masa lipstiknya sampai ke gigi?” Kita bisa jawab, “Oh… sekarang gigi masih kena lipstik, tapi nanti sebentar lagi kamu akan sering melihat senyumku dengan gigi yang bebas dari lipstik.” Jadi kritikan itu dijadikan tekad, semangat untuk maju. Jangan, “Oh gitu ya, ya sudahlah saya nggak make-up lagi.” Nanti kalau nggak make-up, semua pada polos-polos datang ke vihara, bisa suram lampunya. Jadi kritikan dijadikan semangat untuk maju.
Saya pernah terkesan sekali dengan sebuah pengalaman. Ada orang menjual postcard kepada saya, postcardnya sih sebetulnya biasa-biasa saja. Gambar pemandangan, burung, orang, dan yang lainnya. Ketika itu saya ngomong, ‘Nggak beli, biasa saja sih.” Tapi yang menjual mengatakan, “Ini Bapak Bhikkhu belum tahu, ini dilukis oleh orang yang nggak punya tangan dan nggak punya kaki. Dilukis pakai mulut.” Kemudian dia menunjukkan brosur dan fotonya, dan saya baca brosur itu. Saya terkesan dengan satu kata-kata.
Ketika orang yang termasuk ke dalam yayasan ini, yang melukis pakai mulut, melakukan pameran di Jepang, dia diinterview oleh wartawan sana. “Kenapa Anda yang tidak punya tangan dan kaki bisa sampai terkenal di dunia?” Apa jawabannya? “Kekurangan saya adalah kelebihan saya.” Ini luar biasa sekali. Kekurangan saya adalah kelebihan saya. Dia menanamkan hikmah ‘saya nggak punya tangan dan kaki, tetapi saya punya semangat’. Hal ini membuat saya jadi beli, semuanya saya beli. Kenapa demikian? Karena saya terkesan, demikian luar biasa. Orang nggak punya tangan dan kaki, tapi bisa demikian.
Orang sering melihat bhikkhu gundul. Kekurangan bhikkhu adalah gundul rambutnya. Tapi saya melihat ini sebagai kelebihan. Karena dari sini orang jadi tahu kalau kita bhikkhu. Kalau besok bhikkhu gondrong, nggak laku. Kekurangan jadi kelebihan, Anda semua juga punya. Anda juga punya kekurangan, tapi bagaimana cara melihat / memandang kekurangan itu, ini yang penting. Karena itu saya bangga dengan rambut gundul saya ini. Saya mengatakan, “Ini Gunawan, gundul tapi menawan.” Karena ini menjadi ciri khas. Dan saya mengatakan nggak salah model gundul rambutnya, kenapa? Karena bintang-bintang top dunia, gundulin tuh rambut… pasti top. Ya, begitulah mengubah cara berpikir. Jadi semua ada hikmahnya, jangan kuatir.
Nah, yang terakhir lagi, kita memang harus mengerti bahwa sebetulnya di dalam kehidupan ini ada permainan hukum karma. Jadi kadang kita usaha begini-begitu, kalau memang nasibnya jelek, ya… jelek. Memang kita ini jadi sulit. Istilahnya kita bayar hutang karma lampau kita. Sudah berusaha masih saja diomelin. Ada orang sudah naik mobil pelan-pelan, masih saja ditubruk. Ini memang nasibnya lagi jelek. Sudah mobilnya diparkir, ketubruk juga, wah… kalau ini, nasibnya sudah nggak ketolong lagi. Tapi ini harus menjadi yang terakhir, jangan yang pertama.
Jangan kalau kita diomelin, “Kok kamu diomelin?” “Karmaku.” “Kenapa usahamu gagal?” “Karmaku.” Sudah, nggak usah belajar Agama Buddha kalau begitu, ngawur semuanya. Karma ini nomor terakhir, yang lain semua adalah usaha, perjuangan. Ya… kenapa kita gagal? Pasti ada hikmahnya. Buka toko, toko terbakar. Pasti ada hikmahnya. Apa itu? Kita harus lebih berhati-hati dalam menyusun barang dagangan kita.
Kemarin saya pergi ke Batam.. Disana ada sebuah toko yang terbakar. Dari lantai 4, hanya lantai dua yang terbakar, dan sembilan orang mati disitu. Dijual, orang nggak berani beli, karena tokonya seram. Ada suara orang mandi sendiri, padahal tidak ada orang di kamar mandi. Kran air bisa hidup sendiri, mati sendiri, padahal sudah saya omelin, “Jangan dihidupin, bayarnya mahal tuh.” Eh… makhluknya masih saja hidupin air. Gara-gara tidak laku dijual, gara-gara tidak berani dipakai orang, akhirnya toko tersebut dijadikan vihara. Senang sudah jadi vihara. Jadi begitu makhluknya ketemu saling menyapa. Dia mau macam-macam lagi? Mau gangguin orang yang lagi tidur? “Jangan ganggu-ganggu, saya gebukin lu..” Dia takut, ya sudah. Kenapa? Karena sembilan orang mati disitu. Ayah, ibu, anaknya 3, anak angkat 1, adiknya ayah, adiknya ibu, dan seorang pembantu. Sembilan orang mati semuanya. Ngeri sekali, ini adalah bagian dari karma. Tetapi itu ada hikmahnya, dengan terbakarnya tempat itu, di Batam akhirnya jadi ada vihara.
Selanjutnya kita akan lihat bahwa kalau sekarang kita punya pangkat, punya kekayaan, juga harus panjang usia. Apa sih maknanya panjang usia? Supaya kita dapat mempergunakan pangkat dan kekayaan kita dengan baik. Jangan untuk macam-macam. Caranya bagaimana supaya panjang usia? Ada teknik untuk panjang usia. Supaya panjang usia, maka yang paling penting kita harus menjaga kesehatan. Kalau Anda suka merokok, silahkan pesan tempat yang baik di alam sana. Kenapa? Karena sekali menghisap rokok, berarti Anda menghisap 13.000 jenis racun. Jadi… Anda boleh pesan tempat cepat-cepat. Kalau hidup Anda sudah gedek-gedek, karena minum pil gedek, silahkan Anda kencangin leher daripada karena gedek, tahu-tahu kepala Anda sudah mencelek kesana, copot kepalanya. Gaya hidup mempengaruhi kesehatan.
Karena itu, bagaimana gaya hidup Buddhist untuk menjaga kesehatan? Unik sekali…Agama Buddha memang luar biasa. Tidak salah Anda memilih Agama Buddha karena akan mengantar Anda menuju kebahagiaan lahir batin. Bagaimana cara menjaga kesehatan? Yang pertama adalah bebaskan diri dari stress. “Stress ini bagaimana, Bhante?” “Kunci stress ini justru kunci pokok Agama Buddha.” “Masa sih, kok saya nggak kenal di buku-buku?” “Iya dong, stress kan Bahasa Inggris. Sang Buddha menerangkan bukan pakai Bahasa Inggris. Kalau Sang Buddha menerangkan pakai Bahasa Inggris, murid-murid Beliau pasti bingung, karena Bahasa Inggris belum ada pada zaman itu.”
Kalau kita melihat kunci pokok Agama Buddha yang diterangkan oleh Sang Buddha, Beliau mengatakan, “Hidup sesungguhnya adalah Dukkha, berkumpul dengan yang dibenci, dan berpisah dengan yang dicintai. Itu adalah Dukkha. “Dukkha sama artinya dengan stress. Jadi kalau tadi diterjemahkan dalam bahasa yang lebih canggih, hidup adalah stress. Stress karena keinginan, ingin berkumpul dengan yang dicintai, ingin tidak bertemu dengan yang dibenci. Kenyataannya, kita berpisah dengan yang dicintai, dan berkumpul dengan yang dibenci, akhirnya stress.
Nah, bagaimana cara mengatasi stress? Mengendalikan keinginan, karena sumber keinginan adalah stress. Juga stress adalah keinginan. Bagaimana cara mengatasi keinginan? Dengan pengertian yang benar, perilaku yang benar, konsentrasi yang benar. Ini yang akan bisa mengatasi stress. Karena itu Anda tidak salah, sekarang Anda sudah melangkah menuju Agama Buddha, berarti Anda sudah satu langkah menuju panjang usia. Berbahagialah… Anda sudah memperoleh hidup yang baru. Hidup dengan sehat, panjang usia. Menjalani ajaran Sang Buddha anti stress, kalau nggak, ya sama saja.
Jadi, disini diartikan bahwa usia panjang adalah kita bisa mengerti cara mengatasi keinginan, mengendalikan keinginan, sehingga tidak stress. Salah satu cara supaya tidak stress adalah dengan menjalankan sila, delapan sila misalnya. Tidak menggunakan perhiasan, wangi-wangian dipakai hanya pada hari tertentu saja, tidak setiap hari.
Nah, apa hasilnya? Suatu ketika kalau Anda pergi ke tempat orang, kebetulan Anda lupa bawa aksesoris, Anda tidak akan stress. Kenapa? Karena Anda mengatakan, “Hitung-hitung menjalankan sila, nggak pakai aksesoris.” Tapi kalau Anda sudah terbiasa, begitu lupa membawa aksesoris, Anda akan bingung, hilang kepercayaan diri Anda.
Saya pernah main ke rumah seorang umat, kebetulan mendadak. Umat bisanya kalau make-up luar biasa. Maaf ibu-ibu, dan Anda yang suka make-up, eye shadow biasanya tebal, saya pikir ini tebal betulan atau dipukul suami ya? Biru sekali sampai matanya kelihatan berat. Lipstiknya tebal, saya pikir ini bibir atau bika?
Begitu pintu dibuka, sama-sama kaget. Kenapa? Saya melihat aslinya. Langsung dia bilang, “Sebentar Bhante.” Ditutup lagi pintunya. Bagaimana ini? Wah, luar biasa, terus dia suruh pembantunya bukain pintu dan lalu saya masuk. Lama saya tungguin, setengah jam lebih baru dia keluar, dengan full accessories. Padahal kebutuhan saya cuma lima menit. Cuma mau bilang, “Nanti malam jangan lupa datang datang ke acara.” Ah… tunggunya sampai setengah jam lebih. Menderita… menderita. Hidup ini memang stress.
Karena manusia kurang percaya diri, akhirnya stress. Keinginannya, mau selalu tampil begini, tapi kenyataan, kenyataan terkadang tidak cocok dengan keinginan. Itu yang menimbulkan stress. Karena itu, jalankanlah sila, salah satunya tidak pakai make-up. Cukup hari tertentu saja.
Kalau kita sudah bisa menghindari stress, maka yang berikutnya adalah jangan gampang terikat. Nanti Anda pikir, “Gimana ya mobilku disana, dicoret orang nggak ya? Hilang nggak ya?” Anda duduk disini, tetapi pikiran lari ke mobil terus. Lebih baik Anda tunggu di mobil, dengar pakai microphone jarak jauh. Kenapa? Karena itu terikat. Tapi juga saya katakan, jangan keterlaluan. Artinya Anda boleh jaga mobil, juga jangan keterlaluan. “Saya nggak melekat kok, nggak apa-apa mobil diparkir di jalan, hilang juga nggak apa-apa. Babe bisa beliin lagi kok.” Eh… nanti dulu, juga bukan begitu caranya. Ingat, Tadi disebutkan menjaga kekayaan salah satunya menjaga harta yang sudah kita miliki. Cuma jangan melekat, karena hidup ini Anicca. Sekarang ada, nanti bisa hilang. Ini yang harus kita pikirkan.
Kemudian berikutnya lagi, untuk menjaga kesehatan, makan secukupnya. Makan sesuai kebutuhan, jangan makan dengan keinginan.
Kadang-kadang orang hanya ingin makan tetapi tidak butuh makan; sudah kenyang, hajar terus. Padahal kalau perlu, makan hanya sesuai dengan kebutuhan. Banyak orang sekarang sakit macam-macam. Kenapa? Karena terlalu banyak makan. Kolesterolnya tinggi, tekanan darah tinggi, biaya hidup tinggi. Itu semua gara-gara makan tidak sedikit.
Ada satu cerita dan pengertian. Kadang ayam yang dijual di pasar, bagaimana supaya kelihatan segar? Diberi formalin. Formalin itu obat untuk mengawetkan orang mati lho, cairan untuk orang meninggal. Itu racun. Nah, kalau Anda pagi, siang dan malam makan ayam terus, apa nggak formalin tersebut bertumpuk di dalam tubuh? Lalu nanti jangan Anda ngomong, “Lho nanti kan saya jadi awet, Bhante, karena formalin banyak di dalam tubuh saya.” Awet mati, tetapi tidak awet hidup. Kemudian bumbu masak, itu kan juga ada zat-zat tertentu yang bisa menyebabkan kanker. Tetapi kalau jumlahnya sedikit, tubuh kita masih bisa menetralisirnya.
Oleh karena itu, kalau kita makan tidak terlalu berlebihan, maka tubuh kita masih bisa menetralisir zat racun, sehingga kita tetap awet. Tetapi kalau sekarang kita makannya berlebihan, tubuh nggak sempat menetralisir, diserap tubuh, akhirnya penyakit timbul pada diri kita. Karena itu, ingatlah semakin banyak kita makan, semakin banyak racun bertumpuk dalam tubuh kita.
Nah, berikutnya lagi, selain menghindari stress pikiran, tidak terikat pada barang, makan secukupnya, juga harus bisa menggunakan waktu. Kapan waktu kerja, kapan waktu istirahat harus bisa kita bedakan. Jangan waktu bekerja dipakai istirahat, dan waktu istirahat dipakai bekerja.
Kalau sudah waktunya jam 9 pagi, “Saya kok ngantuk sekali ya.” Jam 9 pagi adalah jam ngantuk. Karena kalau jam 7 pagi kita makan, 2 jam berikutnya, ngantuk luar biasa. Itu kalau diganjal dengan pulpen, pulpennya juga bengkok. “Kok ngantuk ya, … sudahlah, saya baring-baring dulu.” Nah ini dia, kerja dipakai untuk tidur. Nanti sudah jam tidur, nonton bola sampai jam 4 pagi. Ini jam tidur dipakai bekerja. Jam kerja dipakai untuk tidur. Nggak benar. Di dalam Dharma, kita harus bijaksana, waktu bekerja dipakai bekerja, waktu tidur dipakai untuk tidur.
Berikutnya lagi, disebutkan, jaga tingkah laku kita. Karena banyak gaya hidup kita yang merusak kesehatan, misalnya ekstasi. Tadi sudah disebutkan, kalau tingkah laku kita nggak dijaga, ketemu teman yang suka ngedrugs, minum-minum, gedek-gedek sendiri, ya… jangan disalahkan kalau berumur pendek.
Kemudian kemoralan disini bisa dengan menjalankan Pancasila. Jangan membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong, dan mabuk-mabukkan. Sukanya mabuk saja, ya.. jangan salahkan kalau umurnya pendek. Mabuk-mabukan nyetir mobil, akhirnya jalanan belok dikirain lurus, ya sudah… habis hidupnya.
“Lho kok mati?” Ya.. iya, siapa suruh mabuk-mabukkan sambil nyetir mobil. Dengan menjaga tingkah laku dan kemoralan, usiapun bisa jadi panjang. Nah ini adalah referensi dari Anguttara Nikaya 145.
Sekarang akan kita lihat point yang terakhir. Apa syarat kita supaya terlahir di surga? Sekarang kalau umur kita panjang, kekayaan sudah diperoleh, pangkat sudah oke, umur panjang digunakan untuk menggunakan kekayaan dengan sebaik-baiknya.
Kemudian pangkat kita jangan disalahgunakan untuk menggusur orang disana-sini. Supaya kalau kita mati, masuk surga. Perbuatan ini harus dilakukan terus-menerus untuk waktu yang lama selama kita masih hidup.
Syarat kita bisa terlahir di surga, yang pertama yaitu memiliki keyakinan. Memiliki keyakinan saja sudah bisa masuk surga. Agama Buddha ini memberikan surga dengan gampang. Surga di dalam Agama Buddha ada 26 tingkatan. Ini luar biasa. Banyak orang mengatakan, “Eh… Agama Buddha ini apa tidak ada surganya, kok tidak pernah diceritain?” Kita harus jawab, “Karena terlalu banyak, nggak perlu diceritain.” Terlalu sulit, ini harus diseminarkan tentang surga dalam Agama Buddha.
Kenapa surganya banyak? Karena tingkah laku seseorang, level perbuatan seseorang itu lain-lain. Makin banyak dan makin lama perbuatan baik seseorang dilakukan, makin tinggi surga yang diperolehnya. Makin jarang dia berbuat kebajikan, mungkin dia masuk surga, tetapi yang rendah saja. Karena levelnya yang bermacam-macam, di dalam Agama Buddha dikatakan ada 26 tingkatan. Karena itu masuk surga, nggak usah sulit-sulit. Gampang saja, salah satu modalnya adalah keyakinan. Siapa yang mati masuk surga dengan keyakinan? Kalau Anda kenal dengan yang namanya Mathakundali, seorang anak yang sakit, ketika dia meninggal, dia yakin pada Sang Buddha. Ketika melihat Sang Buddha, dia kagum. Timbul semangatnya kepada Sang Buddha. Mati dan terlahir di surga. Itu adalah satu bukti, bahwa kematian dengan modal keyakinan pada ajaran Sang Buddha bisa terlahir di surga.
Selain keyakinan, yang berikutnya adalah kemoralan, minimal Pancasila. Tidak membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong, dan tidak mabuk-mabukan. Ini juga akan membawa seseorang menuju ke alam surga. Kemudian juga kerelaan. Ini juga akan membuat kita terlahir di surga. Dari mana kerelaan muncul? Ingat pembagian pendapatan yang saya ceritakan tadi, bahwa omset yang kita dapatkan secara netto kemudian kita bagi empat. Satu bagian untuk hidup, dua bagian untuk menambah modal, dan satu bagian untuk berbuat baik. Nah, kerelaan ini berhubungan dengan bagian terakhir ini. Ini juga sarana terlahir di surga.
Yang berikutnya juga, memiliki kebijaksanaan. Mengerti mana yang harus dimengerti dan tahu mana yang harus dijalankan. Dasar-dasar ajaran Sang Buddha harus dijalankan, meditasi dan Vipassana (Meditasi pandangan terang) juga harus dilakukan. Ini harus dilakukan supaya terlahir di surga.
Jadi saudara-saudari sekalian, apakah yang menjadi kesimpulan kita? Bahwa di dalam Agama Buddha, kita melihat ada empat hal yang disebut sukses, yaitu kaya, punya pangkat, panjang usia, dan mati masuk surga. Kalau kita simpulkan dengan kata lain lagi, bahwa sesungguhnya kesuksesan adalah bersifat lahir dan batin, atau duniawi dan surgawi. Ingat, kaya, berpangkat, umur panjang bersifat duniawi. Mati masuk surga adalah bersifat surgawi. Jadi kesuksesan di dalam Agama Buddha sekali lagi, bukan duniawi saja tetapi juga setelah kehidupan ini.
Dan apakah yang dimaksud kesuksesan duniawi dan surgawi ini? Yaitu orang yang sukses secara materi : kaya, berpangkat, usia panjang; tetpai juga sekaligus bisa menggunakan kekayaannya, pangkatnya, dan usia panjang untuk melakukan kebajikan, untuk mengembangkan Dharma di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka dia ini sesungguhnya akan memperoleh kesuksesan yang disebut Sukses di dalam Dharma.
“Lho kok mati?” Ya.. iya, siapa suruh mabuk-mabukkan sambil nyetir mobil. Dengan menjaga tingkah laku dan kemoralan, usiapun bisa jadi panjang. Nah ini adalah referensi dari Anguttara Nikaya 145.
Sekarang akan kita lihat point yang terakhir. Apa syarat kita supaya terlahir di surga? Sekarang kalau umur kita panjang, kekayaan sudah diperoleh, pangkat sudah oke, umur panjang digunakan untuk menggunakan kekayaan dengan sebaik-baiknya.
Kemudian pangkat kita jangan disalahgunakan untuk menggusur orang disana-sini. Supaya kalau kita mati, masuk surga. Perbuatan ini harus dilakukan terus-menerus untuk waktu yang lama selama kita masih hidup.
Syarat kita bisa terlahir di surga, yang pertama yaitu memiliki keyakinan. Memiliki keyakinan saja sudah bisa masuk surga. Agama Buddha ini memberikan surga dengan gampang. Surga di dalam Agama Buddha ada 26 tingkatan. Ini luar biasa. Banyak orang mengatakan, “Eh… Agama Buddha ini apa tidak ada surganya, kok tidak pernah diceritain?” Kita harus jawab, “Karena terlalu banyak, nggak perlu diceritain.” Terlalu sulit, ini harus diseminarkan tentang surga dalam Agama Buddha.
Kenapa surganya banyak? Karena tingkah laku seseorang, level perbuatan seseorang itu lain-lain. Makin banyak dan makin lama perbuatan baik seseorang dilakukan, makin tinggi surga yang diperolehnya. Makin jarang dia berbuat kebajikan, mungkin dia masuk surga, tetapi yang rendah saja. Karena levelnya yang bermacam-macam, di dalam Agama Buddha dikatakan ada 26 tingkatan. Karena itu masuk surga, nggak usah sulit-sulit. Gampang saja, salah satu modalnya adalah keyakinan. Siapa yang mati masuk surga dengan keyakinan? Kalau Anda kenal dengan yang namanya Mathakundali, seorang anak yang sakit, ketika dia meninggal, dia yakin pada Sang Buddha. Ketika melihat Sang Buddha, dia kagum. Timbul semangatnya kepada Sang Buddha. Mati dan terlahir di surga. Itu adalah satu bukti, bahwa kematian dengan modal keyakinan pada ajaran Sang Buddha bisa terlahir di surga.
Selain keyakinan, yang berikutnya adalah kemoralan, minimal Pancasila. Tidak membunuh, mencuri, melanggar kesusilaan, berbohong, dan tidak mabuk-mabukan. Ini juga akan membawa seseorang menuju ke alam surga. Kemudian juga kerelaan. Ini juga akan membuat kita terlahir di surga. Dari mana kerelaan muncul? Ingat pembagian pendapatan yang saya ceritakan tadi, bahwa omset yang kita dapatkan secara netto kemudian kita bagi empat. Satu bagian untuk hidup, dua bagian untuk menambah modal, dan satu bagian untuk berbuat baik. Nah, kerelaan ini berhubungan dengan bagian terakhir ini. Ini juga sarana terlahir di surga.
Yang berikutnya juga, memiliki kebijaksanaan. Mengerti mana yang harus dimengerti dan tahu mana yang harus dijalankan. Dasar-dasar ajaran Sang Buddha harus dijalankan, meditasi dan Vipassana (Meditasi pandangan terang) juga harus dilakukan. Ini harus dilakukan supaya terlahir di surga.
Jadi saudara-saudari sekalian, apakah yang menjadi kesimpulan kita? Bahwa di dalam Agama Buddha, kita melihat ada empat hal yang disebut sukses, yaitu kaya, punya pangkat, panjang usia, dan mati masuk surga. Kalau kita simpulkan dengan kata lain lagi, bahwa sesungguhnya kesuksesan adalah bersifat lahir dan batin, atau duniawi dan surgawi. Ingat, kaya, berpangkat, umur panjang bersifat duniawi. Mati masuk surga adalah bersifat surgawi. Jadi kesuksesan di dalam Agama Buddha sekali lagi, bukan duniawi saja tetapi juga setelah kehidupan ini.
Dan apakah yang dimaksud kesuksesan duniawi dan surgawi ini? Yaitu orang yang sukses secara materi : kaya, berpangkat, usia panjang; tetpai juga sekaligus bisa menggunakan kekayaannya, pangkatnya, dan usia panjang untuk melakukan kebajikan, untuk mengembangkan Dharma di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka dia ini sesungguhnya akan memperoleh kesuksesan yang disebut Sukses di dalam Dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar