Jumat, 24 Februari 2012

Milinda Pañha (BAB ENAM BELAS)



1. Pertanyaan yang Diselesaikan dengan Kesimpulan


Raja Milinda menemui Nagasena di tempat kediamannya, dan setelah memberi hormat, raja duduk di satu sisi. Karena ingin mengetahui, mendengar dan mengingat di dalam pikiran, serta ingin menghalau kebodohan batinnya, raja mengumpulkan keberanian dan semangatnya, memantapkan pengendalian diri dan kewaspadaannya, dan kemudian berbicara kepada Nagasena:
“Sudah pernahkah Yang Mulia melihat Sang Buddha?”1
“Belum, baginda.”
“Sudah pernahkah guru-guru Anda melihat Sang Buddha?”
“Belum, baginda.”
“Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha itu tidak ada; tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan Sang Buddha.”
“Tapi, apakah para ksatria yang merupakan pendiri garis keturunan raja yang menurunkan baginda itu ada?”
“Tentu saja, Yang Mulia, tidak ada keraguan tentang hal itu.”
“Sudah pernahkah baginda melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Apakah para guru dan menteri negara yang menetapkan undang-undang sudah pernah melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan para ksatria di zaman dahulu itu.”
“Tetapi Nagasena, lencana kerajaan yang mereka gunakan masih dapat dilihat, dan dari situ kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa para ksatria di zaman dahulu itu benar-benar ada.”
“Demikian juga, O baginda, kita dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah hidup dan kita dapat mempercayai Beliau. Lencana kerajaan yang dipakai Sang Buddha masih dapat dilihat. Ada empat landasan kewaspadaan, empat usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima kekuatan moral, lima kemampuan yang mengendalikan, tujuh faktor pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dari semua itu kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa Sang Buddha benar-benar ada.”
“Berikanlah ilustrasi.”
“Seperti halnya orang yang melihat kota yang indah dan terencana dengan baik akan mengetahui bahwa kota itu ditata oleh arsitek yang ahli; demikian juga kota kebenaran yang dibangun oleh Sang Buddha dapat dilihat. Kota itu memiliki kewaspadaan yang tak terputus sebagai jalan utamanya, dan di jalan utama itu terdapat kios-kios pasar yang menjual bunga, wangi-wangian, buah, penawar, obat, nektar, permata tak ternilai, dan segala macam barang dagangan. Demikianlah, O baginda, kota kebenaran Sang Buddha direncanakan dengan baik, dibangun dengan kuat dan terlindung dengan baik sehingga kota itu tak dapat ditembus musuh; dan dengan metode menyimpulkan ini baginda dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah ada.”


“Apakah bunga di kota kebenaran itu?”
“Ada beberapa objek meditasi yang diperkenalkan oleh Sang Buddha: persepsi tentang ketidakkekalan, tentang ketidakpuasan, tidak adanya jiwa, sifat yang menjijikkan, bahaya, melepas, hilangnya nafsu, kekecewaan terhadap semua alam kehidupan, ketidakkekalan semua bentukan mental; meditasi dengan memperhatikan napas, persepsi mengenai sembilan macam mayat dalam proses pembusukan yang berlangsung, meditasi cinta kasih, kasih sayang, suka cita dengan simpati dan ketenang-seimbangan batin; serta kewaspadaan terhadap kematian dan kewaspadaan terhadap tiga puluh dua bagian tubuh.2 Siapa pun yang ingin terbebas dari usia tua dan kematian dapat memilih salah satu objek tersebut. Maka dia akan dapat terbebas dari nafsu keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, kesombongan dan pandangan salah. Dia dapat menyeberangi lautan samsara, membendung derasnya aliran nafsu keinginan, dan menghancurkan semua penderitaan. Dia kemudian dapat memasuki kota nibbana di mana terdapat rasa aman, ketenangan dan kebahagiaan.”


“Apakah wangi-wangian di kota kebenaran itu?”
“Wangi-wangian itu ada dalam bentuk pelaksanaan pengendalian diri lewat Tiga Perlindungan, lima sila, delapan sila, sepuluh sila, serta Patimokkha bagi para. bhikkhu. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:


‘Tak ada keharuman bunga yang dapat melawan arah angin,
Baik itu cendana, sari wewangian, atau bunga melati’.
Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan angin,
Ke segala arah menyebar harumnya nama orang yang bajik.’3


“Apakah buah di kota kebenaran itu?”
“Buah itu adalah buah pemenang-arus, buah yang-kembali-sekali-lagi, buah yang-tidak-kembali-lagi, dan buah Arahat, pencapaian kekosongan, pencapaian keadaan tanpa-tanda dan pencapaian hilangnya nafsu.”4


“Apakah obat penawar di kota kebenaran itu?”
“Empat Kesunyataan Mulia adalah penawar bagi racun kegelapan batin. Siapa pun yang merindukan pandangan terang yang tertinggi dan mendengar Ajaran ini akan terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesusahan, penderitaan, duka cita, ratap-tangis dan keputusasaan.”


“Apakah obat di kota kebenaran itu?”
“Obat-obat tertentu, O baginda, telah diberikan oleh Sang Buddha untuk menyembuhkan para dewa dan manusia. Inilah obat-obat itu: Empat Landasan Kewaspadaan, Empat Usaha Benar, Empat Landasan Keberhasilan, Lima Kemampuan Pengendali, Lima Kekuatan Moral, Tujuh Faktor Pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dengan obat-obat ini Sang Buddha menyembuhkan orang dari pandangan salah, pikiran salah, ucapan salah, tindakan salah, mata pencaharian salah, usaha salah, kewaspadaan salah dan konsentrasi salah. Beliau membebaskan mereka dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, kesombongan, kepercayaan tentang adanya diri, keraguan, kegelisahan, kemalasan dan kelambanan, tidak tahu malu dan kesembronoan serta semua kekotoran batin lainnya.”


“Apakah nektar di kota kebenaran itu?”
“Kewaspadaan terhadap tubuh adalah bagaikan nektar, karena semua makhluk yang dipenuhi nektar kewaspadaan terhadap tubuh ini akan terbebas dari segala penderitaan. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:


‘Mereka yang memanfaatkan kewaspadaan terhadap tubuh akan menikmati nektar keadaan tanpa-kematian.’5


“Apakah permata tak ternilai di kota kebenaran itu?”
“Moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan visi kebebasan, pengetahuan untuk membedakan, dan faktor-faktor pencerahan adalah permata tak ternilai dari Sang Buddha.
“Dan apakah permata tak ternilai dari moralitas? Yaitu nilai-nilai luhur pengendalian lewat peraturan Patimokkha; nilai-nilai luhur pengendalian kemampuan indera; nilai-nilai luhur mata pencaharian benar; nilai-nilai luhur perenungan terhadap penggunaan empat kebutuhan pokok secara benar, makanan yang dikumpulkan, obat-obatan, jubah, dan tempat tinggal; nilai-nilai luhur pengendalian sesuai dengan peraturan disiplin yang pokok, menengah dan kecil,6 serta nilai-nilai luhur yang sudah menjadi kebiasaan manusia mulia.”
“Dan apakah permata tak ternilai dari konsentrasi? Yaitu jhana pertama dengan buah-pikir pemicu dan buah-pikir yang bertahan, jhana kedua tanpa buah-pikir pemicu tetapi dengan buah-pikir yang bertahan, jhana ketiga tanpa buah-pikir pemicu maupun buah-pikir yang bertahan tetapi dengan sukacita yang murni, kebahagiaan dan pemusatan pikiran; dan ini merupakan konsentrasi pada kekosongan, pada keadaan-tanpa-tanda dan pada tiadanya nafsu keinginan. Ketika seorang bhikkhu mengenakan permata konsentrasi ini, maka buah-buah pikir yang jahat dan tidak bermanfaat akan terlepas dari pikirannya bagaikan air di daun teratai.
“Dan apakah permata tak ternilai dari kebijaksanaan? Yaitu pengetahuan tentang apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tercela dan apa yang terpuji, serta pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia.
“Dan apakah permata tak ternilai dari kebebasan? Tingkat Arahat adalah permata dari segala permata, permata tak ternilai dari kebebasan. Jika seorang bhikkhu mengenakannya, dia lebih cemerlang daripada yang lain.
“Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan dan visi kebebasan? Yaitu pengetahuan yang digunakan para Arya untuk meninjau lagi Sang Jalan, buah-buahnya dan nibbana, dan merenungkan kekotoran batin yang telah dapat dihilangkan dan kekotoran batin yang masih ada.
“Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan untuk membedakan? Yaitu pandangan terang analitis terhadap makna, hukum, bahasa dan kecerdasan. Siapa pun yang mengenakan permata ini tidak akan takut menghadapi berbagai macam pertemuan dan percaya diri karena tahu bahwa dia dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya.
“Dan apakah permata tak ternilai dari faktor-faktor pencerahan? Yaitu permata kewaspadaan, penyelidikan akan kebenaran, semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi dan ketenang-seimbangan batin. Jika dihiasi dengan permata-permata ini, seorang bhikkhu akan menerangi dunia dengan keluhurannya.”


2. Latihan Petapa


Raja melihat para bhikkhu di hutan, sendirian dan jauh dari orang lain, menjalankan latihan berat sesuai dengan sumpahnya. Raja juga melihat para perumah-tangga di rumah mereka yang memetik buah manis dari Jalan Mulia. Ketika mempertimbangkan kedua hal ini, raja merasakan keraguan yang mendalam. “Jika umat awam juga mewujudkan kebenaran, maka bersumpah seperti itu tentunya sia-sia saja. Baiklah! Akan saya tanyakan pada guru yang terbaik, yang bijaksana dalam tiga kitab suci yang berisi ajaran Sang Buddha, yang terampil menyanggah argumentasi lawannya. Dia akan mampu menghalau keraguanku!”7
Milinda mendatangi Nagasena, memberi hormat, duduk di satu sisi dan bertanya: “Yang Mulia Nagasena, apakah ada umat awam yang telah mencapai nibbana?”
“Tidak hanya seratus atau seribu, tetapi lebih dari semilyar8 yang telah mencapai nibbana.”
“Nagasena, jika perumah tangga yang hidup di rumahnya, yang menikmati kesenangan-kesenangan indera juga dapat mencapai nibbana, apakah gunanya sumpah tambahan tersebut? Jika musuh dapat dikalahkan hanya dengan tinju, apa gunanya mencari senjata? Jika pohon dapat dipanjat begitu saja, apa gunanya tangga? Jika berbaring di lantai sudah nyaman, apa gunanya ranjang? Demikian juga, jika orang awam sudah dapat mencapai nibbana bahkan sembari hidup di rumah, apa gunanya sumpah tambahan?”
“O baginda, ada dua puluh delapan keluhuran sumpah yang dinilai tinggi oleh para Buddha. Menjaga sumpah adalah:
1. Suatu cara hidup murni,
2. Buahnya membahagiakan,
3. Tidak tercela,
4. Tidak membawa penderitaan bagi yang lain,
5. Memberikan rasa yakin,9
6. Tidak menekan,10
7. Pasti menyebabkan tumbuhnya sifat-sifat yang baik,
8. Mencegah kemunduran,
9. Tidak mengotori batin,
10.Merupakan perlindungan,
11. Memenuhi keinginan,
12. Menjinakkan semua makhluk,
13. Baik bagi disiplin diri,
14. Pantas bagi seorang petapa,
15. Dia mandiri,11
16. Dia bebas,12
17. Menghancurkan nafsu,
18. Menghancurkan kebencian,
19. Menghancurkan kebodohan batin,
20. Mengikis kesombongan,
21. Memutus pikiran yang mengembara dan membuat pikiran terpusat,
22. Mengatasi keraguan,
23. Menghalau kelambanan,
24. Melenyapkan ketidak-puasan,
25. Membuatnya punya toleransi,
26. Tak ada bandingnya,
27.Tak terukur, dan
28.Mengarah pada hancurnya semua penderitaan.

“Dan siapa pun yang melaksanakan sumpah-sumpah itu akan memperoleh delapan belas sifat yang baik,

1. Perilakunya murni,
2. Prakteknya terpenuhi,
3. Tindakan dan kata-katanya terjaga baik,
4. Buah-buah pikirnya murni,
5. Semangatnya bangkit,
6. Ketakutannya berkurang,
7. Pandangan tentang diri terhalau,
8. Kemarahan lenyap dan
9. Cinta kasih tumbuh,
10.Dia makan dengan memahami sifat makanan yang menjijikkan,
11. Dia dihormati oleh semua makhluk,
12. Dia makan secukupnya,
13. Dia penuh kewaspadaan,
14. Dia tak-berumah dan
15. Dapat berdiam di mana pun yang sesuai baginya,
16. Dia jijik terhadap kejahatan,
17. Dia bersuka cita di dalam kesendirian dan
18. Dia selalu penuh perhatian.

“Dan ada sepuluh macam orang yang pantas mengambil sumpah itu:

1. Orang yang penuh keyakinan,
2. Orang yang tahu malu,
3. Orang yang penuh keberanian,
4. Orang yang tidak munafik,
5. Orang yang mengandalkan diri sendiri,
6. Orang yang tegar,
7. Orang yang berniat untuk berlatih,
8. Orang yang bertekad kuat,
9. Orang yang selalu introspeksi,
10.Orang yang penuh kasih sayang.


“Dan semua orang awam yang mewujudkan nibbana ketika hidup di rumahnya bisa melakukan hal itu karena telah mempraktekkan sumpah ini di dalam kelahiran mereka sebelumnya. Tidak akan ada perwujudan tujuan tingkat Arahat di dalam kehidupan kali ini tanpa sumpah tersebut. Tingkat Arahat hanya dapat dicapai dengan usaha yang amat sangat keras. Jadi nilai menjaga sumpah tersebut sangat tinggi, dan kuat adanya.
“Dan siapa pun, O baginda, yang mempunyai niat jahat, mengambil sumpah ini dengan tujuan mencari keuntungan materi, akan mendapatkan hukuman ganda: di dunia ini dia akan dipandang rendah dan dicemooh, dan sesudah mati dia akan menderita di neraka.
“Tetapi siapa pun, O baginda, yang perilakunya sesuai dengan kehidupan kebhikkhuan, yang layak menjadi bhikkhu, yang sedikit keinginannya dan berpuas hati, terbiasa dengan kesendirian, penuh semangat, tidak memiliki akal bulus, dan telah meninggalkan keduniawian bukan karena ingin memperoleh keuntungan dan ketenaran melainkan karena memiliki keyakinan terhadap Dhamma, yang menginginkan kebebasan dari usia tua dan kematian, dia pantas mendapat penghormatan ganda karena dia dicintai oleh dewa dan manusia, dan dengan cepat dia memperoleh empat buah, empat jenis kemampuan membedakan,13 visi berunsur-tiga,14 dan pengetahuan berunsur-enam yang lebih tinggi.15
“Dan apakah tiga belas sumpah tersebut?


1. Mengenakan jubah dari potongan-potongan kain,
2. Menggunakan hanya tiga jubah,
3. Hidup hanya dengan mengumpulkan dana makanan,
4. Mengumpulkan dana makanan dari satu rumah ke rumah lain tanpa pilih-pilih,
5. Makan sekali sehari,
6. Makan hanya dari mangkuk,
7. Menolak makanan yang ditawarkan sesudah itu,
8. Berdiam di hutan,
9. Berdiam di bawah pohon,.

10.Berdiam di tempat terbuka,
11. Berdiam di kuburan,
12. Menggunakan tempat tidur mana pun yang diberikan, dan
13. Tidak berbaring untuk tidur.16


“Dan dengan menjalankan sumpah-sumpah inilah Upasena dapat mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau sedang menyendiri,17 dan karena sumpah yang sama pula Sariputta memiliki keluhuran yang begitu tinggi sehingga dia dinyatakan sebagai orang kedua yang hanya kalah oleh Sang Buddha dalam kemampuannya membabarkan Dhamma.”18
“Bagus sekali Nagasena, seluruh Ajaran Sang Buddha, pencapaian adiduniawi dan semua hasil terbaik di dunia ini tercakup di dalam tiga belas latihan pertapa ini.”


Catatan:


1. Bandingkan D. i. Sta. 13.
2. Lihat Apendiks.
3. Dhp. syair 54.
4. Orang dengan tekad besar merenungkan ketidak-kekalan dan mencapai keadaan-tanpa-tanda, orang dengan ketenangan yang besar merenungkan ketidak-puasan dan mencapai keadaan tanpa nafsu keinginan, orang dengan kebijaksanaan yang besar merenungkan tiadanya ‘aku’ dan mencapai kekosongan.

5. A. i. 45.
6. Dijelaskan secara terperinci dalam Samañña Phala Sutta dari Digha Nikaya, ketiga bab ini menjelaskan semua jenis mata pencaharian yang salah bagi para bhikkhu, seperti meramal dan ikut campur dalam urusan perumahtangga, dan kelakuan salah lain seperti misalnya ikut bermain di dalam suatu permainan.

7. Terjemahan Rhys Davids.
8. Seperti halnya manusia, banyak dewa yang mencapai nibbana pada waktu mendengarkan Dhamma.

9. Bebas dari rasa takut terhadap perampok.
10.Terpaksa demi melindungi hartanya.
11. Tidak melekat pada keluarga.
12. Dan bebas pergi kemana pun juga. Vism. 59-83
13. Diskriminasi terhadap arti, hukum, bahasa dan kecerdasan.
14. Tevijja -ingatan akan kehidupan lampau, pengetahuan tentang muncul dan lenyapnya makhluk, pengetahuan akan hancurnya banjir (asava).

15. Abhiññana -kekuatan supra-normal seperti misalnya terbang di angkasa, memiliki telinga dewa yang luar biasa kemampuan dengarnya, penembusan pikiran, ditambah tiga hal di atas.

16. Lihat Vism. 59 dst, untuk detailnya.
17. Vin. iii. 230 dst.
18. A. i. 23, bandingkan S. i. 191.



sumber :www.samaggi-phala.or.id










Tidak ada komentar: