Selasa, 07 Februari 2012

Suffering (Penderitaan)




Suffering
Penderitaan



109
There are two kinds of suffering: the suffering, which leads to more suffering, and the suffering, which leads to the end of suffering. The first is the pain of grasping after fleeting pleasures and aversion for the unpleasant, the continued struggle of most people day after day. The second is the suffering, which comes when you allow yourself to feel fully the constant change of experience - pleasure, pain, joy, and anger - without fear or withdrawal. The suffering of our experience leads to inner fearlessness and peace.

Ada dua macam penderitaan,
penderitaan yang mengarah pada penderitaan lainnya dan
penderitaan yang mengarah pada akhir dari penderitaan.
Pertama adalah kesakitan
setelah menikmati kesenangan yang telah berlalu
dan penolakan pada ketidaksenangan,
perjuangan terus menerus pada kebanyakan orang dari hari ke hari.
Kedua adalah penderitaan yang datang
ketika Anda membiarkan diri Anda sendiri untuk
merasakan secara penuh perubahan terus menerus dari pengalaman
--kesenangan,kesakitan, kebahagiaan, dan kemarahan
-- tanpa ketakutan atau menarik kembali.
Penderitaan dari pengalaman kita menuntun
pada ketidaktakutan dan kedamaian di dalam diri.


110
We want to take the easy way, but if there’s no suffering, there’s no wisdom. To be ripe for wisdom, you must really break down and cry in your practice at least three times.

Kita ingin mengambil jalan termudah,
tetapi bila tanpa penderitaan, tidak akan ada kebijaksanaan.
Untuk mematangkan kebijaksanaan, Anda harus benar-benar hancur dan
menangis dalam latihan, setidaknya selama tiga kali.


111
We don’t become monks or nuns to eat well, sleep well, and be very comfortable, but to know suffering:
1. how to accept it…
2. how to get rid of it…
3. how not to cause it.
So don’t do that which causes suffering, like indulging in greed, or it will never leave you.

Kita tidak menjadi bhikkhu atau bhikkhuni untuk makan enak,
tidur nyenyak, dan menjadi sangat nyaman;
tetapi untuk mengenal penderitaan :
1- Bagaimana menerimanya ....
2- Bagaimana menyingkirkannya ....
3- Bagaimana mengakhirinya ....
Jadi, jangan lakukan sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan,
seperti menuruti keserakahan
atau penderitaan tidak akan meninggalkan Anda.


112
In truth, happiness is suffering in disguise but in such a subtle form that you don’t see it. If you cling to happiness, it’s the same as clinging to suffering, but you don’t realize it. When you hold on to happiness, it is impossible to throw away the inherent suffering. They’re inseparable like that. Thus the Buddha taught us to know suffering, see it as the inherent harm in happiness, to see them as equal. So be careful! When happiness arises, don’t be overjoyed, and don’t get carried away. When suffering comes, don’t despair, don’t lose yourself in it. See that they have the same equal value.

Sebenarnya, kebahagiaan adalah penderitaan dalam penyamaran
namun dalam bentuk halus yang Anda tidak lihat.
Bila Anda melekat pada kebahagiaan,
sama halnya dengan melekat pada penderitaan,
tetapi Anda tidak menyadari.
Ketika Anda berpegangan pada kebahagiaan,
tidak mungkin membuang penderitaan yang melekat.
Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Itulah yang diajarkan Sang Buddha pada kita untuk mengenal penderitaan,
melihatnya seperti bahaya yang melekat pada kebahagiaan,
melihat keduanya sepadan. Jadi, berhati-hatilah!
Ketika kebahagiaan muncul,
jangan terlena dan jangan terbawa perasaan.
Ketika penderitaan datang,
jangan putus asa, jangan tenggelam di dalamnya.
Lihat, keduanya memiliki nilai yang setara.


113
When suffering arises, understand that there is no one to accept it. If you think suffering is yours, happiness is yours, you will not be able to find peace.

Ketika penderitaan muncul,
pahamilah bahwa tidak seorangpun bersedia menerimanya.
Bila Anda beranggapan penderitaan milik Anda, kebahagiaan milik Anda,
Anda tidak akan mampu menemukan kedamaian.


114
People who suffer will accordingly gain wisdom. If we don’t suffer, we don’t contemplate. If we don’t contemplate, no wisdom is born. Without wisdom, we don’t know. Not knowing, we can’t get free of suffering - that’s just the way it is. Therefore we must train and endure in our practice. When we then reflect on the world, we won’t be afraid like before. It isn’t that the Buddha was enlightened outside of the world but within the world itself.

Orang yang menderita akan langsung memperoleh kebijaksanaan.
Bila kita tidak menderita, kita tidak merenung.
Bila kita tidak merenung, tidak ada kebijaksanaan yang lahir.
Tanpa kebijaksanaan, kita tidak akan mengetahui.
 Tanpa mengetahui, kita tidak akan dapat bebas dari penderitaan—
demikianlah seharusnya.
Oleh karena itu kita harus berlatih dan bertahan dalam latihan kita.
Ketika kita merenungkan dunia,
kita tidak akan takut lagi seperti sebelumnya.
 Sang Buddha bukan mencapai Penerangan di luar dunia,
tetapi di dalam dunia ini.


115
Sensual indulgence and self-mortification are two paths the Buddha discouraged. This is just happiness and suffering. We imagine we have freed ourselves from suffering, but we haven’t. If we just cling to happiness, we will suffer again. That’s the way it is, people think contrarily.

Mengikuti hawa nafsu dan menyiksa diri adalah dua hal yang dihindari Sang Buddha.
Keduanya hanyalah kesenangan dan penderitaan.
Kita membayangkan diri kita telah bebas dari penderitaan,tetapi ternyata belum.
Jika kita hanya berpegang teguh pada kebahagiaan, kita akan menderita lagi.
Itulah yang sebenarnya, tetapi orang berpikir sebaliknya.


116
People have suffering in one place, so they go somewhere else. When suffering arises there, they run off again. They think they’re running away from suffering, but they’re not. Suffering goes with them. They carry suffering around without knowing it. If we don’t know suffering, then we can’t know the cause of suffering. If we don’t know the cause of suffering, then we can’t know the cessation of suffering. There’s no way we can escape it.

Orang-orang yang menderita di suatu tempat akan pergi ke tempat lain.
Ketika di tempat tersebut muncul penderitaan,mereka melarikan diri lagi.
Mereka berpikir bahwa mereka sedang menghindari penderitaan,
tetapi kenyataannya tidak. Penderitaan pergi bersamanya.
Mereka selalu membawa penderitaan tanpa menyadarinya.
Bila kita tidak mengenal penderitaan,
maka kita tidak dapat mengetahui penyebab penderitaan.
Bila kita tidak mengetahui penyebab penderitaan,
lalu kita tidak akan mengenal akhir penderitaan.
Tidak akan ada jalan untuk menghindarinya.


117
Students today have much more knowledge than students of previous times. They have all the things they need; everything is more convenient. But they also have a lot more suffering and confusion than before. Why is this?

Pelajar masa kini memiliki lebih banyak pengetahuan dari pelajar sebelumnya.
Mereka telah mendapatkan semua hal yang dibutuhkan,
segalanya lebih menyenangkan.
Tetapi mereka juga memiliki lebih banyak penderitaan
dan kebingungan di banding sebelumnya.
Mengapa demikian?


118
Do not be a bodhisatta; do not be an arahant; do not be anything at all. If you are a bodhisatta, you will suffer; if you are an arahant, you will suffer; if you are anything at all, you will suffer.

Jangan menjadi Bodhisatta,
jangan menjadi Arahat, jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita.



119
Love and hate are both suffering because of desire. Wanting is suffering; wanting not to have is suffering. Even if you get what you want, it’s still suffering because once you have it, you then live in the fear of losing it. How are you going to live happily with fear?

Cinta dan benci sama-sama merupakan penderitaan karena nafsu.
Menginginkan sesuatu merupakan penderitaan,
menginginkan untuk tidak memiliki adalah penderitaan
walaupun Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan,
hal itu juga merupakan penderitaan.
Karena sekali Anda mendapatkan,
Anda akan hidup dengan perasaan takut kehilangan.
Bagaimana Anda dapat hidup bahagia bersama ketakutan.



120
When you’re angry, does it feel good or bad? If it feels so bad, then why don’t you throw it away? Why bother to keep it? How can you say that you are wise and intelligent if you hold on to such things? Some days the mind can even cause the whole family to quarrel or cause you to cry all night. And, yet, we still continue to get angry and suffer. If you see the suffering of anger, then just throw it away. If you don’t throw it away, it’ll go on causing suffering indefinitely, with no chance of respite. The world of unsatisfactory existence is like this. If we know the way it is, we can solve the problem.

 Bila Anda sedang marah, apakah terasa baik atau buruk?
Bila terasa buruk, mengapa tidak Anda jauhi?
Mengapa terganggu dengan perasaan itu?
Bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa Anda bijak dan pandai
bila Anda berpegang pada kondisi seperti itu?
Suatu hari pikiran dapat menyebabkan seluruh keluarga bertengkar atau
menyebabkan Anda menangis sepanjang malam.
Dan, lalu , kita tetap terus marah dan menderita.
Bila Anda melihat penderitaan dari kemarahan, buanglah.
Bila Anda tidak membuangnya, akan tetap menyebabkan penderitaan,
tanpa ada kesempatan untuk menghentikan.
Dunia dari kehidupan yang tidak terpuaskan adalah seperti ini.
Bila kita mengetahui jalannya, maka kita dapat menyelesaikan masalah.


121
A woman wanted to know how to deal with anger. I asked her when anger arose whose anger it was. She said it was hers. Well, if it really was her anger, then she should be able to tell it to go away, shouldn’t she? But it really isn’t hers to command. Holding on to anger, as a personal possession will cause suffering. If anger really belonged to us, it would have to obey us. If it doesn’t obey us, that means that it’s only a deception. Don’t fall for it. Whether the mind is happy or sad, don’t fall for it. It’s all a deception.

Seorang wanita ingin mengetahui bagaimana mengendalikan kemarahan.
Saya bertanya ketika kemarahan muncul, kemarahan siapakah itu?
Dia menjawab, itu kemarahannya. Baik, bila itu kemarahannya,
lalu dia seharusnya dapat memerintah kemarahan itu untuk pergi,
bukankah demikian? Tetapi bukan kemampuannya untuk memerintah.
Berpegang pada kemarahan sebagai milik pribadi.
hanya akan menyebabkan penderitaan. Bila penderitaan benar-benar milik kita, seharusnya menurut pada perintah kita. Bila kemarahan tidak menuruti kita, kemarahan hanyalah muslihat. Jangan terpancing.
Bagaimanapun pikiran itu, sedih atau senang, jangan terpancing.
Semua hanyalah muslihat.


122
If you see certainty in that which is uncertain, you are bound to suffer.

Bila Anda melihat kepastian dalam sesuatu yang tidak pasti,
Anda terikat pada penderitaan.


123
The Buddha is always here teaching. See for yourself. Here is happiness and there is unhappiness. There is pleasure and there is pain. And they’re always here. When you understand the nature of pleasure and pain, there you see the Buddha, there you see the Dhamma. The Buddha is not apart from them.

Sang Buddha selalu di sini mengajar. Lihatlah diri Anda.
Terdapat kebahagiaan dan ketidakbahagiaan.
Terdapat kesenangan dan penderitaan. Dan selalu ada di sini.
Ketika Anda mengerti penderitaan dan kesenangan secara alami,
Anda telah melihat Buddha,
di sana Anda melihat Dhamma. Buddha tidak terpisah dari mereka.


124
Contemplating them together, we see that happiness and suffering are equal, just as hot and cold are. The heat from a fire can burn us to death, while the coldness from ice can freeze us to death. Neither is greater. It’s the same with happiness and suffering. In the world, everyone desires happiness and no one desires suffering. Nibbana has no desire. There is only tranquility.

Merenungkan semuanya bersama-sama,
kita melihat kebahagiaan dan penderitaan seimbang seperti panas dan dingin.
Panas dari api dapat membakar kita hingga meninggal
sedangkan dingin dari es dapat membekukan kita hingga meninggal.
Tidak ada yang lebih kuat. Ini sama dengan kebahagiaan dan penderitaan.
Di dunia, setiap orang menginginkan kebahagiaan
dan tidak ada yang menginginkan penderitaan.
Nibbana tidak memiliki keinginan. Hanya ada keseimbangan.



Tidak ada komentar: