Dalam
praktiknya, upacara dan perayaan Buddhis memberikan keragaman dalam
pembelajaran kehidupan dan ajaran Buddha. Upacara Buddhis mencakup banyak
ibadah, beberapa di antaranya umum bagi seluruh pengikut Buddha, sementara yang
lainnya merupakan ciri khas budaya atau negara tertentu. Karena kita adalah
makhluk-makhluk yang memiliki rasio dan emosi, upacara kebaktian adalah penting
untuk membantu kita terhubung secara emosional dengan Buddha dan ajaran-Nya.
Ritual dapat memberikan kekhusukan yang berarti dalam latihan, membantu kita
memusatkan pikiran dan mencapai ketenangan. Ini harus dilakukan dengan
keyakinan tulus, bukan karena rasa takut, ketamakan, atau takhayul.
Altar
Altar
yang dijumpai di vihara-vihara atau di rumah-rumah pengikut Buddha adalah
sebuah titik fokus peribadahan pengikut Buddha terhadap Tiga Permata. Citra
(arca dan/atau gambar) Buddha di tengah altar mewakili dan mengingatkan kita
kepada Buddha, cita-cita Pencerahan, serta kesempurnaan Kebijaksanaan dan Welas
Asih-Nya. Hal ini membantu menginspirasi kita karena kita mengingat kembali
keagungan Buddha dan ajaran-Nya. Beberapa objek lain juga dapat diletakkan di
altar, seperti naskah-naskah suci Buddhis yang melambangkan Dharma. Di beberapa
altar juga terdapat gambar atau foto bhikkhu dan bhikkhuni yang melambangkan
Sangha. Ketika seorang pengikut Buddha berdiri di depan altar, objek-objek yang
dilihatnya di sana membantunya mengingat sifat-sifat Tiga Permata. Ini akan
menginspirasinya untuk berjuang mengembangkan sifat-sifat positif tersebut di
dalam dirinya.
Bersujud
Bersujud
di hadapan citra Buddha bukanlah memuja berhala, ini merupakan ungkapan rasa
hormat yang mendalam. Sujud merupakan pengakuan bahwa Buddha telah mencapai
Pencerahan Sempurna. Sikap seperti ini membantu kita untuk mengatasi perasaan
egois, untuk menjadi lebih siap belajar dari Buddha.
Beranjali
Menangkupkan
telapak tangan di depan dada (anjali) merupakan suatu tradisi sikap tubuh untuk
mengungkapkan penghormatan mendalam kepada Tiga Permata. Ketika sesama pengikut
Buddha saling menyapa, mereka menangkupkan telapak tangan seperti sekuntum
kuncup teratai (lambang kesucian dalam ajaran Buddha), sedikit membungkukkan
badan, dan dalam hati mengucap: “Sekuntum teratai untukmu, seorang bakal Buddha.”
Salam ini memberikan pengakuan adanya benih-benih Pencerahan atau benih
ke-Buddha-an di dalam diri orang lain, oleh karenanya kita mengharapkan
kesejahteraan dan kebahagiaan baginya. Menangkupkan telapak tangan juga
memiliki efek pemusatan dan penenangan pikiran.
Padakkhina
Padakkhina
merupakan kegiatan mengelilingi sebuah objek pemujaan, seperti stupa (bangunan
tempat menyimpan relik Buddha atau guru Dharma), pohon Bodhi (pohon yang
menaungi Buddha saat mencapai Pencerahan), atau citra Buddha, sebanyak tiga
kali atau lebih sebagai wujud sikap hormat. Hal ini dilakukan dengan meditasi
berjalan searah jarum jam—menjaga sisi kanan tubuh kita ke arah objek pemujaan.
Persembahan
Memberikan
persembahan di altar merupakan wujud bakti, yang mengekspresikan penghargaan
dan penghormatan kepada Tiga Permata. Setiap objek yang dipersembahkan memiliki
makna masing-masing.
Pelita
Persembahan
pelita (lilin atau lampu minyak) mengingatkan kita pada pancaran cahaya
Kebijaksanaan yang menghalau gelapnya ketidaktahuan dalam jalan menuju
Pencerahan. Hal ini mendorong kita untuk mencari terang Kebijaksanaan
tertinggi.
Menghormati
Buddha, kita mempersembahkan pelita:
Kepada-Nya,
yang merupakan terang dunia, kami persembahkan pelita. Dari pelita-Nya yang
agung, kami nyalakan pelita dalam diri kami. Semoga pelita Pencerahan bersinar
dalam hati kami.
Bunga
Persembahan
bunga-bunga yang segar dan indah, yang segera akan menjadi layu, tidak lagi
wangi, dan pudar warnanya, mengingatkan kita akan ketidakkekalan segala sesuatu,
termasuk kehidupan kita juga. Hal ini mendorong kita untuk menghargai setiap
momen dalam hidup kita sekaligus tidak melekat padanya.
Menghormati
Buddha, kita mempersembahkan bunga:
Bunga-bunga
yang saat ini segar dan mekar dengan indahnya. Bunga-bunga ini esok akan
memudar, layu, dan berguguran. Begitu jualah tubuh kita ini, seperti bunga,
akan lapuk juga.
Dupa
Persembahan
dupa wangi yang dibakar memenuhi udara sekitar melambangkan kebajikan dan efek
pemurnian tingkah laku yang bermanfaat. Hal ini mendorong kita untuk mengakhiri
semua kejahatan dan mengembangkan hal-hal yang baik.
Menghormati
Buddha, kita mempersembahkan dupa:
Dupa
nan harum semerbak di udara. Harumnya hidup nan sempurna, lebih semerbak
daripada dupa. Menyebar ke segenap penjuru dunia.
Air
Persembahan
air melambangkan kemurnian, kejernihan, dan ketenangan. Hal ini mendorong kita
untuk melatih pikiran, perkataan, dan perbuatan kita untuk mencapai
kualitas-kualitas di atas.
Buah-buahan
Buah-buahan
melambangkan buah dari pencapaian spiritual yang membawa ke buah
tertinggi—Pencerahan, yang merupakan tujuan akhir semua pengikut Buddha. Hal
ini mendorong kita untuk berjuang mencapai Pencerahan bagi kebahagiaan semua
makhluk.
Puja
Puja
adalah penguncaran ayat-ayat ajaran Buddha secara beralun. Di samping membantu
pengingatan akan ajaran Buddha, lantunan puja mempunyai efek menenangkan, baik
bagi penguncarnya maupun pendengarnya. Puja seharusnya dilakukan dengan
khidmat, dengan perhatian murni dan semangat. Seperti meditasi, puja membantu
kita berkonsentrasi dan mengembangkan kedamaian batin.
Ucapan-ucapan
Buddha juga dapat diuncarkan dengan perhatian murni pada Tiga Permata pada saat
kita merasa takut atau resah sehingga gangguan itu dapat teratasi. Hal ini bisa
terjadi karena Tiga Permata bebas dari segala cemaran dan rintangan seperti
ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin. Puja bisa dilakukan dalam segala
bahasa. Bahasa-bahasa yang populer antara lain adalah Pali, Sanskerta,
Mandarin, Tibet, Thai, Inggris, dan lain-lain.
Para
perumah tangga biasanya melakukan puja pada pagi dan sore hari. Tujuan puja
pagi adalah mengingatkan kita untuk sadar sepanjang hari akan ajaran yang
diuncarkan. Tujuan puja sore adalah untuk merenung kembali apakah sepanjang
hari tersebut kita telah melaksanakan apa yang telah kita tekadkan pada pagi
harinya. Walaupun pilihan puja berbeda-beda dari satu tradisi ke tradisi yang
lain, beberapa isi puja yang umum meliputi: Pernyataan Perlindungan, Lima Sila,
Pujian Kepada Tiga Permata, Sutta, Mantra, Penghormatan Kepada Para Buddha dan
Bodhisatta, Pengakuan Kesalahan, Sukacita Jasa Kebajikan, dan Pelimpahan Jasa.
Mantra
Mantra
adalah frasa-frasa atau ungkapan pendek yang melambangkan ajaran atau kualitas
tertentu yang mewakili Kebenaran dalam berbagai aspeknya (seperti mantra enam
suku kata: “Om Mani Padme Hum” yang melambangkan Welas Asih). Menguncarkan
mantra membantu membawa ketenangan dan kedamaian pikiran sembari memurnikannya.
Setiap mantra khusus dapat membantu menumbuhkan sifat-sifat positif dalam pikiran,
seperti Welas Asih, Kebijaksanaan, Semangat, dan sebagainya.
Penghormatan
Kepada Para Buddha dan Para Bodhisatta
Penghormatan
pada nama para Buddha dan Bodhisatta bisa dilafalkan untuk mengingat dan
membangkitkan kebajikan dan kualitas yang mereka lambangkan. Melakukan hal ini
akan mengingatkan kita bahwa seperti halnya para Buddha dan Bodhisatta, kita
pun dapat mencapai kesempurnaan dalam berbagai sifat.
Hari
Waisak
Waisak
adalah peristiwa tahunan yang terpenting bagi umat Buddha. Waisak memperingati
kelahiran, pencapaian Pencerahan, dan Parinirwana Buddha. Ketiga peristiwa ini
jatuh pada hari bulan purnama, bulan kelima penanggalan bulan. Peristiwa ini
diperingati oleh jutaan umat Buddha di seluruh dunia. Ini merupakan perayaan
untuk bersukacita dan berbagi niat baik bagi semua. Ini juga merupakan momen
untuk merenungkan kembali perkembangan spiritual kita.
Bagi
sebagian pengikut Buddha, perayaan Waisak dimulai pagi-pagi sekali dengan
berkumpul di vihara untuk melaksanakan Delapan Sila. Sebagian yang lain
bergabung dengan perayaan umum untuk mengikuti upacara dengan mengambil Tiga
Pernaungan, menjalankan Lima Sila, membuat persembahan di altar, dan
menguncarkan Sutta. Mereka juga bisa mengikuti prosesi dan padakkhina, serta
mendengarkan ceramah-ceramah Dharma.
Di
beberapa vihara, umat Buddha mengambil bagian dalam upacara pemandian arca bayi
Pangeran Siddhattha yang ditempatkan di bejana air wangi yang bertaburan bunga.
Air wangi digayung dengan sendok besar dan dicucurkan ke arca tersebut. Ini
melambangkan pemurnian perbuatan buruk dengan perbuatan baik.
Sebagian
umat hanya menyantap makanan vegetarian pada hari ini sembari merenungkan
ajaran Welas Asih universal. Pada hari Waisak, vihara-vihara dirias indah
dengan bendera Buddhis dan lampu-lampu; altar dipenuhi bunga-bunga,
buah-buahan, dan persembahan lainnya.
Hari
Uposatha
Saat
Uposatha atau hari bulan baru dan bulan purnama (tanggal 1 dan 15 penanggalan
bulan), banyak umat Buddha berhimpun di vihara untuk bermeditasi, melakukan
persembahan, menguncarkan Sutta, dan melakukan penghormatan kepada Tiga
Permata. Sebagian juga melaksanakan vegetarian pada hari-hari tersebut,
sekaligus menjalankan Delapan Sila.
Hari
Ullambana
Ullambana
adalah perwujudan rasa hormat umat Buddha kepada leluhur mereka dan Welas Asih
mereka kepada semua makhluk yang menderita di alam-alam menyedihkan. Peringatan
Ullambana pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan bulan didasarkan pada
kejadian saat Mogallana, siswa Buddha, melalui kekuatan meditasinya mendapati bahwa
ibunya terlahir kembali di salah satu alam menyedihkan. Karena sedih, Mogallana
memohon bantuan Buddha, yang kemudian menasihatinya untuk membuat persembahan
kepada Sangha, karena jasa perbuatan itu dapat membantu membebaskan penderitaan
ibunya dan makhluk-makhluk lain di alam-alam menyedihkan. Karena itulah,
melakukan persembahan untuk membebaskan penderitaan orang yang telah meninggal
dan makhluk-makhluk lain di alam sengsara menjadi perayaan umum yang populer.
Ullambana
dirayakan dengan mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan Sangha, menguncarkan
Sutta, dan melakukan perbuatan-perbuatan amal. Jasa dari perbuatan-perbuatan
ini lalu dilimpahkan kepada semua makhluk.
Upacara
Pengalihan Pelita
Dalam
upacara ini, para umat memegang sebatang lilin yang disulut setelah matahari
terbenam sambil berjalan mengitari vihara, objek suci, atau bangunan bersejarah
sembari menguncarkan mantra atau nama Buddha. Upacara ini melambangkan
penerusan pelita Kebijaksanaan (penyebaran Kebenaran) ke segenap penjuru dunia
untuk menghalau gelap ketidaktahuan. Pada tataran pribadi, hal ini bermakna
menyulut pelita Kebijaksanaan dalam diri kita.
Nyala
api yang dipindahkan ke lilin-lilin lain yang tak terhitung banyaknya tanpa
memadamkan nyalanya sendiri, melukiskan bahwa Kebijaksanaan tidak pernah habis
terbagi. Terbakarnya sumbu disertai lelehnya lilin mengingatkan kita pada
ketidakkekalan dan perubahan segala sesuatu yang terkondisi, termasuk hidup
kita sendiri. Merenungkan hal ini dapat membantu kita menghargai setiap momen
dalam hidup tanpa menjadi melekat padanya. Perhatian murni dapat dilatih dengan
menjaga agar nyala lilin tidak padam. Ini melambangkan penjagaan pikiran dari
faktor-faktor negatif yang merusak kehidupan spiritual. Dalam upacara ini,
menyaksikan secercah api yang menerangi kegelapan, hingga samudra cahaya yang
saling berbagi penerangan, sungguh sangat menginspirasi.
Upacara
Tiga Langkah Satu Sujud
Dalam
upacara ini, para pengikut biasanya berbaris sebelum matahari terbit dengan
mengitari vihara, membungkukkan badan satu kali setiap tiga langkah, sambil
menguncarkan mantra-mantra atau nama Buddha sebagai penghormatan. Pada setiap
sujud, Buddha dapat divisualisasikan tengah berdiri di telapak tangan kita yang
terbuka. Telapak tangan yang terbuka melambangkan bunga teratai, lambang
merekahnya kesucian (sekalipun akar teratai berada di lumpur kotor, bunganya
mekar dengan anggun dan bersih dari lumpur). Setiap sujud merupakan penyampaian
rasa hormat kepada Buddha (atau kepada para Buddha dan Bodhisatta yang tidak
terhitung jumlahnya). Latihan ini membantu pemurnian pikiran, mengikis ego, dan
mengurangi rintangan sepanjang jalan spiritual, sambil kita menyesali
tindakan-tindakan buruk yang lalu dan mencita-citakan kemajuan spiritual.
Dengan perhatian murni pada pikiran, perkataan, dan perbuatan selama latihan,
konsentrasi dan ketenangan dapat dicapai.
Upacara
yang panjang ini mengingatkan kita pada perjalanan menuju Pencerahan yang
panjang dan sulit. Namun, ini juga mengingatkan kita bahwa asalkan kita
bertekad kuat, seluruh rintangan akan dapat ditanggulangi. Keteguhan dalam
menuntaskan latihan ini dengan segala kesulitannya juga membantu memperkuat
keyakinan pada Buddha dan ajaran-Nya yang menuntun kita menuju Pencerahan.
Merekahnya
fajar pada akhir upacara melambangkan cahaya Kebijaksanaan yang menghalau
kegelapan batin karena kita terus melaju dalam perjalanan menuju Pencerahan.
(Internet)