Minggu, 10 Juni 2012

KEYAKINAN



     Saddha (Pali) atau sradha (Sansekerta) memiliki arti keyakinan.Mendengarkan Dhamma perlu disertai dengan perhatian. Ajaran Buddha Gotama tidak hanya menyodorkan pilihan hitam atau putih. Dhamma mengajak kita untuk mengerti , lalu mengambil keputusan—tidak memilih dengan membuta. Salah satu unsur yang terpenti ng untuk mencapai kemajuan sebagai seorang umat Buddha adalah keyakinan. Juga penting pada semua agama—yang dikenal dengan sebutan ‘iman’. Tetapi, dalam dunia Buddhis lebih dikenal keyakinan (faith), untuk menerjemahkan saddha. Keyakinan dalam pengertian Dhamma seperti yang dijelaskan Asanga—seorang pemikir Buddhis—bukanlah hanya percaya. Keyakinan yang mengacu pada saddha,bukan hanya percaya begitu saja, bukan hanya dari segi emosi semata.
     Saya pernah berbicara dengan pakar ‘behaviour’ tentang perlunya harmoni dalam kehidupan berkeluarga. Pembicara ini menggunakan isti lah yang sederhana, yang sejalan dengan Asanga—yamg berbicara tentang keyakinan, yakni mengenai tiga faktor. Tiga faktor ini bersifat umum atau universal. Para pendidik seharusnya sudah ‘familier’ dan mengerti dengan benar.
Tiga faktor tersebut adalah
1. Faktor kogniti f atau aspek rasio (faktor ‘Mengerti ’)
Kogniti f berarti pengerti an atau pengetahuan yang berhubungan dengan intelektualitas kita. Demikian juga keyakinan umat Buddha harus ditopang dengan pengertian terhadap yang diyakini. Apa dan siapa yang kita yakini? Kita harus tahu dan yakin tanpa keraguan. Agar tidak timbul keraguan, maka kita harus menambah pengetahuan tentang yang kita yakini itu. Dalam masyarakat dikenal ungkapan, “Jangan membeli kucing dalam karung.” Tetapi faktor pengetahuan ini saja tidak cukup. Karena banyak orang yang memuji agama Buddha karena mereka sudah mengerti ajaran agama Buddha, tetapi dia ti dak menjadi umat yang sesungguhnya, yang sebenarnya.

2. Faktor afekti f atau aspek emosi (faktor ‘Menerima’)
Mana yang lebih dulu muncul Bhante, menerima dulu atau mengerti dulu? Bisa dua-duanya. Semula orang ti dak mengerti ajaran Buddha Gotama, dia membaca buku, bertamu di rumah teman—membaca buku-bukunya, membaca terus. Baca lagi, pengetahuannya bertambah dan bertambah. Dia mulai menerima ketika merasa cocok, dan mengaku menjadi umat Buddha, dan kemudian dia ikut wisuda upasaka atau upasika, berarti faktor yang ke-2, yakni ‘menerima’ sudah muncul. Kalau ekstrim: menjadi ‘memiliki’, tetapi Anda ti dak perlu memiliki—‘menerima’ saja sudah cukup.
Namun bisa sebaliknya, orang belum mengerti , tetapi sudah menerima. Mungkin karena orang- tuanya Buddhis, sering melihat bhikkhu, melihat patung Buddha—yang apabila ia melihat patung Buddha, rasanya tentram. Tetapi dua unsure ini belum lengkap. Mengerti tanpa menerima tidak akan menimbulkan keyakinan, sedangkan menerima tanpa mengerti akan menimbulkan keyakinan yang membuta. Misalnya ada seseorang yang menganggap Buddha itu Maha Dewa, kemudian dia meminta-minta dan berharap berkah. Ada penerimaan, tetapi pengertiannya kurang. Yang ideal, mengerti dulu, lalu menerima.
Tetapi apabila menerima dulu, maka penerimaannya itu harus dilandasi pengertian. Jangan menerima tanpa mengerti .

3. Faktor psikomotorik atau aspek kehendak (faktor‘Melaksanakan’)
Mengerti dan menerima—tanpa dilaksanakan, tidak akan membawa manfaat. Menerima dengan kesungguhan, mengerti dengan jelas, tetapi tidak melaksanakan atau tidak praktik; tidak bisa disebut mempunyai keyakinan. Umumnya kita mempunyai pengertian bahwa pokoknya—yang penting—percaya, tidak tergoncangkan, tidak ingin berpindah ke keyakinan yang lain;maka dia mempunyai keyakinan yang kuat. Perilakunya baik atau buruk, apakah orang itu praktik atau tidak, tidak dihitung—tidak menjadi ukuran.
Banyak orang yang mengaku beragama, tetapi berkelakuan buruk, tidak sedikit jumlahnya. Dalam pengertian Dhamma,dia tidak mempunyai saddha, dia tidak beriman dengan benar.

Apalagi kalau keyakinannya ini digunakan untuk mengganggu yang lain, “Kalau Anda tidak cocok dengan cara saya, saya akan menggiring Anda supaya Anda akhirnya menjadi seperti saya.”Sedangkan praktik yang harus dilakukan malah diabaikan. Apakah dia masih layak disebut mempunyai keyakinan? Karena banyak orang mengaku sudah beragama tetapi belum tentu beriman.Masih banyak orang yang menyatakan beragama tetapi malahan melakukan perilaku-perilaku yang sangat tercela. Yang penting itu adalah ber-‘iman’-nya, bukan ber-‘agama’-nya. Beragama itu seperti formalitas. Mengerti ayat, mengerti ajaran,mempuyai keyakinan, bahkan sampai fanati k, tetapi perilakunya tetap buruk. Sebenarnya orang seperti itu disebut tidak beriman.Karena keyakinan atau iman harus mempunyai unsur yang ke-3, yaitu: ‘melaksanakan’. Tidak hanya mengerti dan menerima, tidak hanya mengerti dan mempercayai, tetapi juga melaksanakan.

Kalau hanya mengerti dan menerima berarti ilmu. Agama Buddha yang dipelajari di dunia akademik disebut kognitif—belum tentu ada unsur menerima. Siapa pun bisa mempelajari, bukan umat Buddha pun bisa mempelajarinya, dan dengan mempelajari dia bisa mengerti tetapi dia tidak menerima—karena dia sudah beragama yang lain. Mengerti tidak menerima, tidak mungkin melaksanakan. Idealnya mengerti , menerima, kemudian melaksanakan. Kalau melaksanakan tanpa menerima dan mengerti , bagaimana Bhante? Itu namanya untung-untungan.Kadang-kadang berbuat baik, kadang-kadang tidak baik—karena tidak ada tuntunannya, tidak ada polanya, seperti orang berjalan tanpa peta dan dia tidak mengerti tujuan yang akan dituju.Mungkin bisa nyasar, mungkin jalan buntu.

Mengerti itu seperti membaca peta, belajar Dhamma dan mendengarkan ceramah seperti belajar peta. Kemudian, karena orang yang mengajarkan peta tersebut mengajar dengan pengalaman yang benar, maka Anda mengatakan bahwa ajaran ini benar, orang ini tidak membohongi. Cukup? Kalau Anda cukup di sini, maka Anda ti dak akan pernah sampai ke tujuan. Mendekati tujuan saja tidak. Dari melaksanakan akan timbul keyakinan yang kuat, meskipun Anda belum mencapai tujuan. Kalau Anda melangkah untuk melaksanakan, apa yang dipelajari dari kognitif,yang Saudara terima, kini menjadi kenyataan, meskipun kenyataan yang kita alami itu baru sebagian. Mengalami sebagian kenyataan itu memperkuat penerimaan kita. Lebih kuat dibandingkan menerima karena mengerti . Kalau Anda mengalami sendiri,maka penerimaan Anda menjadi sangat kuat. Mengalami sendiri,melihat sendiri, akan menimbulkan penerimaan yang kuat sekali.Kalau hanya mengerti , hanya akan menjadi wacana. Contohnya: dia mengerti kalau sakit dia tidak bisa mengobati dirinya sendiri,lalu dia teringat mempunyai kenalan dokter yang baik. Tetapi jika dia tidak mempunyai kehendak, dia tidak berjalan menuju ke tempat dokter praktik, tidak tekun mengonsumsi obatnya, tentu dia tidak akan sembuh. Jadi, praktik itu memperkuat saddha atau keyakinan kita. Tanpa praktik maka selain saddha kita lemah, kita juga tidak akan mendapatkan manfaat.

Secara garis besar, apakah yang diajarkan oleh Guru Agung kita?
Hal itu terserah Saudara mampu melihat ajaran Guru Agung kita dari sudut mana. Kalau Dhamma itu mau dipandang dari satu sudut pandang, bisa! Dua macam, juga bisa. Lho, bukan Empat Kesunyataan Mulia, Bhante? Nanti dulu. Tiga aspek atau tiga macam, juga bisa. Empat Kebenaran Ariya, bisa. Tujuh macam -satta bojjhanga, juga bisa. Delapan aspek, bisa. Tiga puluh tujuh aspek bisa. Delapan puluh empat ribu aspek, bisa. Tergantung Anda mau menggunakan pendekatan dari mana, mau belajar Dhamma dari mana.
Yang satu aspek apa Bhante? Lenyapnya penderitaan. Itulah tujuan ajaran Guru Agung kita. Semua ajaran Guru Agung kita mempunyai rasa sama, yaitu kebebasan dari penderitaan. Beliau pernah mengucapkan, “Para bhikkhu, maha samudra mempunyai satu rasa, yaitu rasa asin; demikian juga Dhamma Vinaya ini, rasanya juga satu, yaitu rasa kebebasan.” Di situ Guru Agung kita tidak menyinggung dukkha, sebabnya dukkha, cara lenyapnya dukkha. Guru Agung kita hanya mengatakan bebas dari penderitaan sebagai satu-satunya rasa yang Beliau ajarkan. Ini tidak salah, ini benar.

Kalau dua itu apa Bhante? Sering dikatakan Ajaran Guru Agung kita ini mempunyai dua aspek, yaitu Dhamma dan Vinaya. Secara teori, Dhamma itu khotbah-khotbah Beliau, instruksi-instruksi Beliau, dan Vinaya itu adalah peraturan untuk para bhikkhu. Pada waktu Guru Agung kita masih hidup, Beliau sering menggunakan kalimat, Dhamma Vinayo. “Dhamma dan aturan yang Kuajarkan ini, rasanya satu yaitu rasa kebebasan.”

Lalu, tiga aspek apa, Bhante? Kalau tiga aspek banyak. Ajaran Guru Agung kita ini dapat dimengerti dengan Triratna. Kalau Anda mengerti Triratna, Anda mengerti seluruh ajaran Guru Agung kita. Tetapi tiga aspek yang lain juga ada. Dhamma itu mempunyai tiga aspek, yaitu ‘teori’, ‘pelaksanaan’, dan ‘pencapaian’. Tidak hanya melaksanakan tanpa teori, tidak hanya teori tanpa pelaksanaan. Tetapi teori, pelaksanaan, dan pencapaian. Ada tiga aspek yang lain, yaitu anicca, dukkha, anatta. Kalau Anda mengerti anicca,dukkha, anatta dengan baik—tidak hanya mengerti secara kogniti f (intelektual), maka Anda akan bebas dari penderitaan.
Pada waktu kita menyebutkan anicca, dukkha, anatta, kita tidak menyebutkan Empat Kebenaran Ariya, Jalan Ariya Berunsur Delapan, sila – samadhi - pañña, tidak. Tetapi ajaran Guru Agung kita sebagai jalan juga mempunyai aspek tiga, yaitu tiga latihan yang terdiri atas sila, samadhi, dan pañña.

Kalau yang empat? Ada Empat Kebenaran Ariya yaitu adanya dukkha, sebab dukkha, lenyapnya dukkha, dan bagaimana cara melenyapkan dukkha. Yang aspek tujuh, satta bojjhanga – tujuh faktor untuk pencerahan. Pencerahan adalah kata lain dari kebebasan. Orang yang mencapai pencerahan adalah orang yang bebas dari penderitaan. Faktor sembilan, yaitu sembilan faktor lokuttara. Faktor tiga puluh tujuh, yaitu bodhipakkhiya Dhamma.
Faktor empat puluh delapan ribu – ‘lha’ saya tidak hafal. Tiga puluh tujuh saja saya tidak hafal, kecuali mahasiswa STAB yang baru lulus, mungkin tiga puluh tujuh factor Bodhipakkhiya Dhamma mereka hafal, tetapi saya tidak hafal. Jadi Anda bisa mendapatkan pengetahuan (unsur kogniti f) Dhamma—bisa didapatkan dengan
pendekatan yang mana, satu aspek, dua aspek, atau banyak aspek. Tetapi tetap, itu adalah pengertian. Pengetahuan yang bisa Anda dapatkan dari mendengar, membaca, berdiskusi,bertukar pikiran, Dhammasakaccha, Dhammasavana; dan harus ada faktor menerima. Tetapi kalau Anda membantah terus, maka kapan menerimanya? Dari menerima itulah kemudian mulai melakukan praktik. Mengerti , menerima, dan melakukan.
 Ingat Tiga ‘M’!

     Sering juga ajaran Guru Agung kita tidak disebutkan sebagai latihan sila, samadhi, dan pañña. Tetapi dijelaskan sebagai tiga rangkaian perbuatan baik. Tentu ini menuntut pelaksanaan. Tanpa pelaksanaan, itu hanya sebagai wacana perbuatan baik saja. Itu adalah dana, sila, dan bhavana. Kalau sila, samadhi, dan pañña adalah ringkasan Jalan Ariya Berunsur Delapan. Di kesempatan lain, Guru Agung kita juga sering memakai rangkaian yang lain.Mengapa Bhante, rangkaian-rangkaian itu tidak sama pada waktu Guru Agung kita mengajarkan Dhamma? Karena kemampuan orang yang dihadapi, yang mendengar, yang menerima; tidak sama, dan Guru Agung kita jarang memberikan khotbah Dhamma secara massal di depan lima ratus orang, seribu orang. Kalau toh Guru Agung kita memberikan Dhamma di depan banyak orang,semuanya telah mencapai tingkat kesucian sotapanna, atau yang lebih tinggi. Kalau mereka belum mencapai tingkat kesucian,biasanya Beliau hanya berbicara berdua, bertiga, bahkan kadang-kadang berdialog dengan satu orang. Dalam berdialog dengan seorang, Beliau dapat mengerti persis kemampuan menangkap orang tersebut, dan Beliau bisa meramu apa yang akan Beliau sampaikan sesuai dengan daya tangkapnya. Kalau lima orang yang mendengar, maka daya tangkap serta kemampuan untuk menerima lima orang itu berbeda-beda. Apalagi sekarang yang mendengar sekian banyak orang. Nanti Anda pulang selesai menghadiri Dhammaclass ini, kalau ditanya di rumah, “Tadi Bhante Pannya cerita apa?” “3 M.” “Apa itu?” “Ya begitulah ‘3 M’.” Dan nanti kalau ada cerita yang lucu-lucu, ‘lha’ itu yang disimpan karena akan diceritakan lagi. Kemampuan mengerti saja tidak sama bagi tiap orang, apalagi kesiapan menerima. Dalam bahasa Jawa, tidak bisa di-gebyah uyah. Sepuluh orang tidak mempunyai penerimaan yang sama, oleh karena itu lebih efektif kalau Guru Agung kita berbicara dengan pendengar yang lebih kecil jumlahnya—dan Beliau bisa memberikan terapi. Laksana dokter, Beliau memberikan terapi yang sesuai dengan penyakit pasiennya. Kalau sepuluh orang diberikan obat yang sama, ya tidak cocok, karena mereka mempunyai penyakit berbeda-beda.
Apalagi kalau semuanya hanya diberi vitamin saja. Tentu, penyakit mereka tidak akan sembuh.

     Pada banyak kesempatan, Guru Agung kita menjelaskan dengan tiga rangkaian, yaitu bukan rangkaian tentang sila, samadhi, dan pañña; tetapi dana, sila, bhavana sebagai kebajikan. Dan Beliau sering menggunakan tiga rangkaian ini kalau Beliau berhadapan dengan umat awam—bukan bhikkhu, bukan orang yang meninggalkan keduniawian, tetapi orang yang masih hidup di masyarakat, berkeluarga.
Bhavana di sini dapat disinonimkan dengan samadhi (meditasi). Hampir semua mengerti dana, sila, bhavana; tetapi saya akan mengulas kembali secara singkat tentang dana, sila, dan bhavana. Dana, sila, dan bhavana adalah kebajikan utama yang kalau diuraikan, maka dari dana, sila, bhavana itu berkembang menjadi dasa punnakiriyavatthu atau sepuluh macam perbuatan bajik. Kalau nanti punya catatan buku Dhamma, ada sepuluh perbuatan bajik, nah itu kalau diringkas menjadi tiga ini: dana,sila, dan bhavana.

1. Dana
Dana adalah memberi, menolong, membantu. Saudara-saudara kita umat beragama lain mengatakan beramal dengan materi, dengan nasehat, dengan obat, dengan segala macam.Penjelasannya tidak hanya sederhana seperti itu. Orang berdana,orang membantu atau orang menolong ini pun bertingkat-tingkat—pelaksanaannya bertingkat-tingkat, sesuai dengan kondisi batinnya. Yang umum apa, Bhante? Beramal sedikit, minta pahala banyak. Itu yang umum di semua agama, termasuk dalam agama Buddha. Dana sedikit nanti buah karma-nya akan banyak,berlipat-lipat. Yah, apa gunanya berdana seperti itu? Sebenarnya dia tidak memberi, tetapi melipatgandakan.
Tetapi, apakah itu tidak baik? Ya baik, daripada membuat bom.
Meskipun dia berdana dengan pamrih yang luar biasa, yang kasar sekalipun, misal: ingin dikenal, ingin disanjung, ingin populer,ingin ada pencalonan dirinya sebagai ketua, dan sebagainya. Ya masih baik, dia mau memberi, dia tidak mengganggu. Kecuali kalau dengan ancaman, itu sudah menjadi kejahatan. Dia tidak menghancurkan, dia hanya memberi meskipun pamrihnya luar biasa. Pamrih sekarang, pamrih kemudian, pamrih masuk surge sekalian—itu pamrih-pamrih semua.
Itu kebaikan? Ya, itu kebaikan, tetapi tidak menjurus pada vimutti ,tidak menjurus pada kebebasan. Kebajikan, kebaikan, memang benar, tetapi ‘rasa’-nya bukan rasa Sang Buddha. Karena rasa Guru Agung kita itu hanya satu—seperti laut, kalau bukan asin maka bukan air laut, ini air sumur atau air ledeng. Kalau asin ada kemungkinan air laut, dan air laut selalu asin. Kalau perbuatan baik tidak menjurus pada kebebasan dari penderitaan, itu bukan ajaran Guru Agung kita. Kebaikan sih kebaikan, tetapi tidak semua kebaikan termasuk Dhamma.
Lho, tidak semua kebaikan termasuk Dhamma, Bhante? Ya,hanya kebaikan yang membawa pada kebebasan, yaitu bebas dari penderitaan, itulah yang termasuk Dhamma. Kalau berbuat kebaikan sedikit dan mengharapkan pahala banyak itu namanya keserakahan (lobha). Kalau keserakahannya bertambah, maka penderitaannya pun akan bertambah.

Karena penderitaan itu salah satu akarnya adalah keserakahan. Lawan kata dari malam adalah siang, bersih adalah kotor, keras adalah lunak, tinggi adalah rendah, kaya? Bukan miskin. Lawan kata kaya adalah serakah.Jadi kalau Anda serakah, masih mencari, mencari, mencari; itu namanya belum kaya. Kalau sudah tidak mencari lagi, melepas,melepas, melepas: dia betul-betul kaya. Lho mengapa? Karena dia tidak mencari lagi. Lha, kalau masih mencari terus khan artinya dia masih miskin.

Jadi menurut ajaran Guru Agung kita, berdanalah yang benar. Benar dalam arti membawa pada kebebasan dari penderitaan. Berdana dengan tujuan melatih diri untuk melepas, tidak mengharapkan imbalan, buah karma, pahala, balasan, dan sebagainya. Motivasi kita harus benar. Dari mana Bhante, motivasi itu didapat? Kognitif. Kalau tidak pernah belajar bagaimana berdana yang benar, bagaimana dia bisa melakukan perbuatan bajik berdana dengan benar? Meskipun dia berbuat baik, tidak mengganggu, tidak membunuh, tidak menyakiti ; tetapi dia bisa melakukan kebajikan itu dengan tidak benar atau dia hanya ikut-ikutan saja dengan yang lain—kalau tidak mempunyai arah yang benar—sehingga tidak ada motivasi yang benar.Tetapi dana yang diberikan itu tetap bermanfaat, Bhante? 
Ooo,tetap bermanfaat. Sekali lagi daripada berbuat jahat, lebih baik berdana dengan pamrih yang luar biasa. Itu masih baik,masih ada nilai kebaikannya. Meskipun tidak membawa pada kebebasan. Kami pernah berbincang-bincang dengan seseorang,
Bhante, orang menyokong itu kan lebih cepat lebih baik. Lebih cepat, lebih banyak, lebih baik.” Dia mengatakan seperti itu dan menambahkan, “Ikhlas, Bhante.”
Saya mengatakan, “Nanti dulu Pak, ikhlasnya itu belakangan saja.” “Lho, gimana Bhante, kalau orang itu mau berdana lebih cepat, lebih banyak, tetapi tidak ikhlas, apakah baik, Bhante?” Baik, daripada sedikit tetapi tidak ikhlas.
Kalau saya ditanya, “Bhante kalau berdana sedikit tetapi tidak ikhlas dibandingkan dengan banyak tidak ikhlas, Bhante pilih yang mana?” Oo, saya pilih banyak walaupun tidak ikhlas.“Lho, mengapa Bhante?”
Biarin saja, terusin saja, berdana tidak ikhlas terusin saja, nanti lama-lama kan jadi ikhlas. Sambil diajari di Dhammaclass ini. Yah, dimulai dari ti dak ikhlas dulu toh,daripada tidak berdana sama sekali. Kalau karena tidak ikhlas,lalu tidak jadi menolong, tidak jadi memberi, lha, lebih-lebih lagi. Tidak ada orang yang mendapat manfaat, dia juga tidak melakukan kebaikan. Biar saja tidak ikhlas, lati han. Pelan-pelan diberitahu, dikhotbahi, diceramahi, nanti lama-lama akan ikhlas,motivasinya akan menjadi benar. Anak-anak bisa jalan dimulai dari jatuh dulu, tidak bisa langsung lari. Pelan-pelan seiring dengan fisiknya yang bertambah kuat, belajar mencari keseimbangan.Naik sepeda saja jatuh berkali-kali. Tidak apa-apa. Kalau takut jatuh tidak akan bisa naik sepeda. Sama seperti berdana yang tidak ikhlas. Tidak apa-apa, terusin saja, lebih banyak lebih baik. Tidak ikhlas, Bhante? Tidak apa-apa, nanti diajari, lama-lama akan ikhlas. Daripada tidak berdana sama sekali.
Iya, ya,benar juga! Tidak mungkin orang ‘ujug-ujug’, tiba-tiba bisa berdana dengan ikhlas. Itu ideal memang, memberi banyak dan ikhlas, ideal. Kalau kita tidak bisa mendapatkan kualitas nomor satu, kualitas di bawahnya tidak apa. Latihanlah berbuat baik,daripada kita berbuat jahat—mencuri, menyolong—lebih baik kita menolong walau dengan seribu satu macam keinginan. Kalau bisa, keinginannya itu dibuang. Karena melatih melepas itu lebih berharga daripada buah yang nanti dipetik.
Buah yang dipetik itu juga tidak kekal.
Apa toh hidup sejahtera, wajah cantik, suara merdu, semua karena buah beramal, berbuat baik. Termasuk sehat, tampan:apakah akan sehat selamanya? Apakah akan tampan selamanya? Apakah wajah cantik selamanya? Apakah pangkat selamanya?
Apakah umur panjang tidak akan mati ? Semua hanyalah sementara. Kita mendapatkan wajah cantik, makmur, sejahtera,tidak kekurangan, kedudukan tinggi, semua adalah buah dari amal, dari kebaikan kita. Menurut hukum karma: benar, tetapi apakah itu kekal? Tidak! Apakah di dunia ini ada yang kekal?
Anda sudah siap menghadapi ketidakkekalan itu? Belum, karena Anda selalu ingin mendapat, dapat, dapat, nyari, dapat, dapat,terus nyari, dapat, dapat—kalau tidak dapat, kecewa; kalau dapat sedikit, kecewa; kalau dapat banyak, bahagia, senang; terus menerus seperti itulah pola hidup Anda. Kapan Anda belajar untuk melepas?
Padahal di dunia ini tidak mungkin orang mendapat terus, jaya terus, sukses terus, maju terus. Suatu saat harus melepas. Senang tidak senang, Anda harus bisa melepas.
Pergi ke Yogya melepas keluarga, waktu berangkat saling bertangis-tangisan. Nanti kalau sudah di Yogya, liburan tengah tahun pulang lagi ke sana, balik lagi ke Yogya. Mau tidak mau kita harus melepas—melepas suasana, melepas keadaan yang kita senangi, melepas teman-teman, melepas keinginan-keinginan yang sering kita turuti ; sekarang di sini tidak bisa dituruti lagi; dan masih banyak lagi.

     Kalau Bapak, Ibu, Saudara sudah mempunyai latihan melepas,maka kalau terjadi perubahan, tidak akan menggetarkan, tidak akan menggoncangkan, tidak membuat penderitaan. Biar perubahan terjadi, aku tidak menderita. Karena aku mengerti semua berubah dan aku bisa menerima perubahan. Aku juga bisa melatih untuk bisa menerima perubahan dengan berdana, ikhlas, rela. Kalau berdana, menolong, beramal, tidak digunakan sebagai latihan untuk melepas, lalu untuk apa? Tidak ada gunanya.Guru Agung kita mengatakan, “Jangan meremehkan perbuatan baik meskipun kecil.” Karena apabila itu digunakan sebagai sarana latihan yang benar, itu praktik Dhamma yang benar. Termasuk memberikan makan kepada seekor anjing. Itu ada nilainya. Jangan mengatakan, “Apa gunanya sih member makan anjing?” Tentu saja ada gunanya jika Anda mempunyai pengertian yang cukup, kemudian kesempatan itu Anda gunakan untuk prakti k pengertian yang sudah Anda punyai, itu akan memberikan manfaat. Ada yang sering memberikan makan pada anjing yang tidak tahu siapa pemiliknya, yang dekil anjingnya; mengatakan, “Nanti kalau aku dilahirkan jadi anjing, biar ada yang kasih makan.” Ada juga yang punya pemikiran seperti itu.Tidak perlu begitu!! Tetapi masih lebih baik daripada anjingnya disiram dengan air panas. Masih baik, meskipun berpamrih itu bukan praktik Dhamma yang benar.

2. Sila
Melakukan kebajikan itu tidak hanya dengan memberi, menolong: dengan materi, makanan, obat, dan sebagainya; sehingga ada orang yang berpikir kalau tidak memberi, tidak bisa berbuat baik terhadap orang lain. Ada yang berpikiran seperti itu. Jadi hanya orang-orang kaya saja yang mempunyai kewajiban memberi.
Sedangkan kita ini masih miskin, bagaimana kita mau memberi?
Kita kan hanya menerima kebaikan, kita belum mampu berbuat kebaikan.
Kebaikan yang kedua adalah sila, yaitu mengendalikan diri dari perilaku yang buruk, tidak gampang emosi, tidak mudah naik darah, punya pengendalian diri. Dikatakan sekarang IQ bukan jaminan untuk sukses. Bukan! Meskipun dia brilian, otaknya encer, kreatif; tetapi emosinya juga kreatif—dia tidak mudah mengendalikan emosinya, marah ya marah, pukul meja—orang ini tidak bisa maju, apalagi jadi pimpinan. Hancur nanti jadinya.Kita mau mengambil sebagai karyawan saja, nanti dulu. EQ diperlukan, tidak lagi IQ. IQ tidak menjadi jaminan hidup akan sukses. Orang-orang yang pandai, dan pandai menghancurkan, juga banyak. Pembuat-pembuat bom yang susah ditangkap itu juga bukan orang-orang yang bodoh, mungkin IQ-nya luar biasa.
Kalau Anda sekalian bisa mengendalikan diri, tidak berbuat yang jahat, itu latihan Dhamma juga. Membebaskan diri kita dari kebencian, dari keserakahan, menuju ke kebebasan juga. Tetapi untuk tidak berbuat jahat itu juga ada samādāna virati , tekad pengendalian diri, kemudian ada kesungguhan. Orang tidak bisa menghentikan kejahatan dengan meminta-minta kepada Yang Maha Kuasa, minta kepada Mahadewa, minta kepada Bodhisatt va, minta kepada Sang Buddha, “Berikanlah hambamu ini kemampuan jangan sampai berbuat jahat lagi.” Ya tidak bisa! Kalau Anda tidak mau berbuat jahat ya harus stop.
Saya mengumpamakan mobil. Anda mau berhenti , ya harus injak remnya. Kalau tidak diinjak remnya, ya ti dak mungkin mobilnya berhenti meskipun teriak-teriak. Mobilnya mau masuk jurang, Anda malah berteriak, “Tolong… tolong….” Injak remnya! 
Kalau remnya tidak diinjak, akan masuk jurang. Teriakan-teriakan Anda tidak akan bisa menghentikan mobil. Kalau Anda ingin stop berbuat jahat, supaya tidak mendapat masalah, ya Anda harus injak rem untuk stop berbuat jahat. Tidak dengan meminta-minta.Sekali lagi, hanya dengan tekad, dengan kesungguhan, stop kejahatan—tidak berbuat jahat. Tidak ada jalan lain.
Saya cerita di beberapa tempat, di Parakan mungkin ya. Kalau di Mendut itu banyak turis masuk vihara. Ada kentongan seperti bel, tetapi dari kayu. Di dalamnya ada kayunya, kalau ditarik akan bunyi “Dung…dung...dung....” Anak-anak senang menarik-narik itu.
Lalu ada anak orang Barat narik-narik bel itu, hingga jatuh pemukulnya. Ayahnya dengan susah payah mengembalikan, tetapi sulit karena harus ditali di dalam genta. Tetapi dia berusaha keras supaya pemukulnya nempel lagi. Anaknya melihat. Itu merupakan contoh yang baik untuk anaknya bukan? Ooo, kalau merusakkan itu harus bertanggung-jawab memperbaiki, meskipun tidak sempurna. Tetapi kalau turis domesti k lain lagi.
Anaknya pukul-pukul genta dan pemukulnya jatuh, ia lari cepat-cepat,jangan sampai nanti ketahuan yang punya. Masih mending kalau ditaruh di atas lalu bertemu dengan penjaga, dan minta maaf kalau anaknya telah menjatuhkan pemukul genta dan juga mengatakan tidak bisa memperbaiki. Tidak apa-apa kalau seperti itu. Tapi kalau cepat-cepat lari, lha anaknya kan juga melihat.Oo, kalau merusakkan barang harus cepat-cepat pergi?!
Banyak macam kalau cerita untuk itu. Kalau di Singapura mencari taksi itu mesti mengantri dan semua dapat giliran. Sabar, tidak ada yang desak-desakan. Tetapi orang yang sama datang di Cengkareng airport, ngantri chek-in tiket pesawat. Dia ada di tengah-tengah antrian, langsung nyelonong pindah ke depan sana. 
Orang-orang Barat mengatakan, “Di sini memang selalu begitu!” Kita malu mendengar komentar itu.
Bukankah itu perbuatan buruk? Jadi perbuatan buruk itu tidak hanya nyolong, korupsi kelas kakap, berzinah, membunuh.
Apa yang saya contohkan itu juga merupakan perbuatan yang buruk. Kalau Saudara mau melakukan hal yang baik, mencegah yang buruk, itu sangat berguna. Membiasakan kita untuk tidak berbuat buruk, membiasakan kita untuk bertanggung-jawab,jika salah minta maaf. Sehingga nanti apabila kita melakukan perbuatan yang salah, lalu kita mau lari, rasanya tidak enak “di sini” (di dalam nurani). Kami pernah mengantar bhiksu dari Jepang—sekarang beliau sudah meninggal, yang memberikan patung Buddha putih di Mendut—bersama dengan temannya melihat candi-candi. Pada waktu selesai melihat candi-candi, kami hendak kembali naik mobil. Temannya itu sudah mau naik mobil, tapi turun lagi, cari sana cari sini. Kami tanya, “Cari apa?” “Cari tong sampah”, sahutnya. Karena dia mau membuang sampah itu secara sembangan, tidak enak. Sopir kami tertawa,“Lha, tong sampah sebesar ini kok tidak kelihatan, sekian besar,mobil kita ini di dalamnya. Halaman ini kan tong sampah. Buat apa cari tong sampah ke mana-mana.” Dia terbiasa di negaranya untuk tidak buang sampah sembarangan. Kalau kita, biasa buang sampah sembarangan. Tidak salah, wong kita berada di dalam tong sampah?!

     Saudara-saudara, mumpung umur Saudara belum banyak coba mulai dari kebiasaan baik yang kecil-kecil. Buang sampah tidak sembarangan; pada saat pergi, listrik-listrik yang tidak digunakan dimati kan. Saya di kost bayar kok, keluar sebentar listrik kok harus dimati kan? Ya bayar sih bayar, tetapi nanti menjadi kebiasaan. Kalau Anda sudah biasa begitu sampai besok, maka Anda tidak akan pernah memati kan listrik kalau tidak terpaksa banget. Seperti buang sampah sembarangan, AC ti dak berguna tidak dimatikan, apalagi TV sampai tertidur pun tetap dihidupkan terus. Siapa yang akan nonton televisi itu? Makhluk halus? Sampai nanti bangun, Oo, apa ini, sinetron semut-semut. Kalau habis program kan sinetron semut-semut keluar. Kalau semut-semut sudah keluar baru dimati kan. Kan itu bukan kejahatan, Bhante? Ya, kelihatannya bukan kejahatan; tetapi hal-hal yang semacam itu bisa menghancurkan lingkungan, bisa merugikan orang lain.
Apalagi kalau nanti Saudara-saudara sudah punya anak, anak Saudara apakah tidak mencontoh hal-hal yang seperti itu? Lha, kalau saya menjadi bhikkhu bagaimana, Bhante? Ya,kan punya murid, punya umat. Apa mereka tidak mencontoh nanti nya. Tetapi di sini tidak biasa, Bhante, orang menyediakan tong sampah. Tidak biasa. Mau mencari tong sampah di vihara ini juga sulit. Sampahnya bagaimana? Bawa pulang saja sampahnya! Dikasih snack, diberi minuman, ‘masa’ vihara ini malah dikasih sampah. Anda tidak perlu membayar di sini. Sudah dapat Dhamma selama satu sampai dua jam, dapat makanan dan minuman, sampahnya dibawa pulang saja. Nanti cari tong sampah, baru sampah itu dibuang. Itu kebajikan juga.

3. Bhavana (meditasi)
Saya tidak akan banyak-banyak membahas meditasi. Cobalah melakukan meditasi yang sederhana saja, mett a bhavana,mengembangkan cinta kasih. Itu kan perenungan, Bhante,bukan vipassana? Iyalah, tidak apa-apa. Perenungan memang—daripada tidak mau perenungan, vipassana juga tidak mau.
Syukur mulai latihan memperhati kan nafas (anapanasati ). Umat beragama lain banyak yang belajar meditasi. Di vihara-vihara kita,kalau ada meditati on course, umat beragama lain jumlahnya yang paling banyak, umat Buddha tidak pernah menjadi nomor satu.
Kalau di Vihara Mendut ada meditasi, yang nomor satu adalah umat Katolik atau Islam. Kalau tidak Islam, ya Katolik. Buddhis nomor tiga. Kadang-kadang dari dua puluh atau tiga puluh orang,Buddhis-nya hanya dua atau tiga orang saja, kecuali meditasi satu minggu pada akhir tahun—umat Buddhisnya paling banyak.Mereka bukan sekadar mau tahu, mau praktik dengan kesungguhan. Meditasi itulah yang membersihkan pikiran. Dan kita tahu pikiran itu yang menggerakkan ucapan, tindakan,perbuatan—semua perilaku kita dimulai dari pikiran kita. Kalau pikiran kita bersih, baik, otomatis sila kita baik. Tidak perlu berbicara tentang sila apabila Anda sudah mempunyai latihan meditasi yang baik, menjaga pikiran dengan kesadaran dengan baik. Dan meditasi bukan wacana, meditasi harus dilakukan,amat berbeda dengan wacana. Tadi dijelaskan bahwa wacana itu tidak sekadar mengerti , tetapi juga menerima. Tidak sekadar menerima, tetapi juga melaksanakan.
Ada seorang pertapa yang bertapa di tempat yang sepi selama bertahun-tahun. Suatu hari ada seorang penggembala datang ke tempat pertapa tersebut. Penggembala itu bertanya, “Bapak sedang apa di sini?” “Sedang semedi”, sahut sang pertapa.
“Apa semedi itu?” tanya si penggembala lagi. “Merenungkan,berusaha untuk tahu ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), tidak ada aku, hanyalah perpaduan (anatta). Kalau kita bisa mengerti dan melihat itu, kita menjadi orang suci—bebas dari penderitaan, tidak menderita lagi”, sambung sang pertapa.
“Berapa lama bapak bersemedi (meditasi) di sini?” “Kira-kira hampir dua puluh tahun.” Penggembala ini sedikit nakal, lalu ia mengatakan kepada pertapa bahwa jenggot yang dimiliki oleh kambingnya lebih baik dibandingkan dengan jenggot si pertapa.
Spontan pertapa itu ngamuk, “Apa maksudmu?! Ke sini Cuma mau mengolok-olok orang tua. Jenggot saya dikatakan lebih jelek dibandingkan jenggot kambing. Pergi kamu.” Lantas sang penggembala berpikir, “Kok begitu ya? Meditasi selama dua puluh tahun, dikatakan jenggotnya lebih jelek dibandingkan jenggot kambing saya langsung ngamuk.”
Sederhana sekali, sangat sederhana. Kepancing begitu saja langsung ngamuk sang pertapa itu. Kalau di buku Ajahn Bram‘Membuka Pintu Hati ’ itu kan ada cerita lain lagi. Ada seorang bhiksu yang merasa sudah mencapai kesucian, dia membuat syair. Saya tidak ingat persis syair tersebut. Kira-kira bunyinya seperti ini,
“Kalau yang bertentangan sudah diatasi, maka batin akan menjadi hening.
Batin hening bebas dari ikatan, bebas dari ikatan adalah kesucian.”
Syair tersebut diberikan kepada gurunya. Zaman dulu, apabila ada yang mencapai kesucian, maka membuat syair. Gurunya membaca lalu menambahkan ke dalam
syair tersebut, “Kalau bebas dari yang bertentangan kentut, batin tidak terikat kentut, batin menjadi suci kentut, batin menjadi suci sudah bebas kentut.”
Lalu syair tersebut dikembalikan kepada muridnya. Ngamuklah sang murid yang membuat syair itu. “Guru ini kurang ajar, tidak menghargai murid, apa ini, orang sudah susah-susah bikin syair, keluar dari pencapaian, malah ditulisi dengan kata-kata kentut, kentut, kentut.” Gurunya tertawa dan mengatakan, “Orang suci kok kalah sama kentut!” Katanya mengerti anatta, sunyata, tanpa aku; kok dikatakan kentut saja sudah ngamuk. Jadi kogniti f berbeda sekali, berbeda jauh dengan pelaksanaan.
Jadi kalau Saudara-saudara mau belajar Dhamma adalah sangat baik. Tidak harus menjadi rohaniwan - seorang bhikkhu, tetapi yang Anda pelajari ini berguna bagi Anda sendiri nanti apabila menghadapi masalah. Namun harus mulai praktik dari sekarang.
Kalau tidak praktik sekarang, banyak teori nanti malah bingung sendiri. Ada juga saya menengarai alumni Vidyāsenā sini yang sampai sekarang bingung terus. Saya bilang mbok kamu jangan window shopping terus. Window shopping itu, kalau di Malioboro, masuk toko ini ga jadi, masuk toko itu ga jadi. Padahal mau mencari kain satu potong saja untuk hem; semua toko dimasuki ga jadi, ga jadi, ga jadi. Sampai malam pulang dan ditanya,
“Sudah beli kain untuk hemnya?” Belum. “Lha tadi ke mana?” Tadi cuma lihat-lihat. Besok lagi, masuk toko India, masuk toko Bombay, toko batik, bolak-balik mengulang lagi. Sudah beli? Belum lagi. Kalau window shopping terus bagaimana?
Praktiklah.Kan banyak, Bhante, cara bermeditasi bermacam-macam. Kan kita perlu coba-coba dulu. Ya, itu window shopping, tetapi setelah window shopping sebanyak empat atau lima toko, beli—bawa pulang kainnya. Kalau ingin mencoba teori ini, Sayadaw ini, Ajahn ini, Vipassana itu, mencoba, silahkan. Kalau sudah dicoba, ambil salah satu untuk praktik. Kalau coba-coba terus, ya tidak akan maju. Coba ini, coba itu tidak jadi; ada Rinpoche datang dicoba,ga jadi; Sayadaw datang coba, ga jadi; Ajahn ini datang coba, ga jadi.
Ambil salah satu yang Anda cocok, kemudian berlatih dengan tekun. Tanpa praktik tidak akan ada manfaat.Saya akan menutup dengan satu cerita. Betapa keyakinan itu kalau tanpa prakti k dan tanpa pengertian akan menjadi berbahaya. Tidak hanya membuta. Membuta saja itu sudah berbahaya,Saudara. Bisa nabrak-nabrak. Iman yang membuta itu bukan hanya sekadar tidak berharga, tetapi berbahaya!
Ada seorang pemuja Kongco Kuan Kong—Dewa Kejujuran yang naik kuda, yang menjadi tokoh kejujuran, keberanian, tidak senang dengan kejahatan, suka menolong. Berbakti sekali dia,bersembahyang setiap hari, sangat percaya. Suatu hari rumahnya kebanjiran.
Air semakin naik dan naik. Dia naik ke atas, naik ke atas lagi, sampai tinggal atap rumahnya yang tidak kebanjiran.Dia naik ke atap. Dia berdoa minta tolong pada Kongco Kuan Kong untuk datang menyelamatkannya. “Bhante ini mau menghina Kuang Kong.” Tidak. Jangan negative thinking dulu. Ikuti cerita ini sampai selesai. Waktu dia sampai di atap itu ada perahu lewat,penyelamat SAR mengatakan, “Ayo, ayo, ikut. Bahaya ini, air mau naik.” “Tidak,” teriaknya. “Lho kenapa?” “Kongco Kuan Kong akan datang menyelamatkan saya.” “Wah, ti dak mungkin. Ayo cepat, ikut saya.” “Tidak, saya punya keyakinan.”
Air naik terus, dia naik terus, naik lagi sampai di bumbungan itu. Datang lagi perahu
yang agak besar. “Ei, ikut, ikut, ikut. Bahaya! Air di sana sudah naik.” “Ndak, Kongco Kuan Kong akan datang menyelamatkan saya.” “Orang-orang bilang mati nanti kamu, kalau seperti ini terus!” “Tidak. Saya punya keyakinan, punya iman.
Airnya naik terus sampai dia pegangan ke tiang listrik. Sekarang helicopter yang datang dan bawa pengeras suara, “Ayo! Tangkap talinya. Bahaya jika kamu ti dak ambil tali ini.” “Tidak. Saya yakin Kongco Kuan Kong akan datang menyelamatkan saya”, jawab dia.
Bagaimana akhir dari keyakinan yang membuta seperti itu? Jatuh dia, kedinginan, kelaparan, gemetaran, dan mati . Di alam sana dia bertemu dengan Kongco Kuan Kong. Protes dia, bahwa dia memuja Kwan Kong, ya berarti bertemu dengan Kuan Kong, “Saya
memuja Yang Mulia, tiap hari, tiam hio pakai teh. Kenapa Kongco tidak menolong saya, sampai saya kecebur mati tenggelam?”
Kongco Kuan Kong tersenyum, “Siapa bilang saya tidak menolong kamu?” “Mana? Kapan?”, tanyanya. “Saya kirim tiga utusan. Yang pertama perahu karet, tetapi kamu menolak. Kedua perahu agak besar, kamu menolak. Yang ketiga saya mengirim helikopter,kamu juga menolak. Siapa bilang saya tidak menolong kamu? Saya mengirim tiga utusan dan semuanya kamu tolak. Siapa yang salah?”
 Itu cerita orang yang tidak memakai pengertian, yakin,percaya membuta. Saya cerita ini, Bhante Uttamo mendengar dan melanjutkan ceritanya, karena katanya cerita itu belum selesai dan masih ada lanjutannya. Lanjutan cerita dari Bhante Uttamo,Kongco Kuan Kong mengatakan, “Bagaimana kudaku bisa jalan kalau banjir kayak gitu? Kamu tidak pakai otak. Aku kirim perahu karet, aku kirim perahu agak besar, dan aku kirim helikopter,tetapi kamu menolak. Kamu pikir aku datang naik kuda? Tidak mungkin!”
Dan lain-lain, Bhante Uttamo bisa meneruskan sampai bermacam-macam.
Itu kan cerita rekaan, Bhante. Ya, tetapi kejadian yang mirip-mirip seperti ini banyak terjadi di masyarakat. Kalau Anda beragama, atau Anda percaya apa sajalah. Jangan hanya percaya saja, tanpa kognitif, tanpa mengerti , tanpa belajar, kecewa nanti . Kalau mau ujian, mau ulangan, sembahyang Buddha kan tidak bisa menolong, lalu mengundang-undang Bodhisattva, engkong,emaknya yang sudah meninggal. Tidak benar. Di Buddhis tidak ada yang seperti itu. Metafisis-metafisis seperti itu tidak ada.
Lalu bagaimana, Bhante? Ya belajar. Kalau Anda belajar, ya Anda siap, tidak was-was. Sudah belajar tetapi meleset, yah, karma yang lampau. Yang dipelajari tidak keluar, yang keluar tidak dipelajari. Tidak ada hubungannya dengan tidak berdoa, atau yang lulus itu doanya banyak. Dalam Buddhis tidak mengenal itu. Ada persiapan, ada kesungguhan, ada usaha, ada karma baik yang dilakukan; semuanya akan jalan. Oleh karena itu, mari ‘3 M’: Menerima, Mengerti , dan Melaksanakan. Atau mengerti , lalu menerima dan melaksanakan.

Terima kasih.

Kumpulan ceramah Sri Pannyavaro Mahathera
Vidyāsenā Production
Vihāra Vidyāloka

Tidak ada komentar: